Selasa, 15 Oktober 2019

Konseling Restrukturasi Kognitif


Rancangan Konseling melalui Teknik  Restrukturisasi Kognitif
untuk Mereduksi Stres

Oleh :
Iman Lesmana

Rasional
Setiap individu mempunyai respon dan cara yang berbeda dalam menghadapi situasi yang sama. Masing-masing orang memandang dunia secara berbeda dan merespon terhadap suatu  permasalahan pun berbeda pula. Kemampuan seseorang untuk mengatasi masalah tergantung kepada bagaimana dia bersikap.  Tidak adanya kemampuan untuk mengatasi kejadian dan reaksi yang dialami individu dapat menimbulkan stres sehingga dapat  mempengaruhi kehidupan sehari-hari. Stres merupakan suatu respon fisik dan psikologis yang biasa dialami oleh individu hampir di semua kalangan, baik orang dewasa, remaja, bahkan anak-anak. Jenis-jenis permasalahannya tentunya beraneka ragam. Pada umumnya, setiap individu pernah mengalami stres, baik ringan, sedang, ataupun berat.
             Stres hanya merupakan istilah yang menunjukkan pada hal yang selalu dialami manusia dalam kehidupan sehari-hari. Secara sederhana, stres dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan individu yang terganggu keseimbangannya.  Richard S. Lazarus (James Manktelow, 2009:3) mengungkapkan bahwa stres adalah suatu kondisi atau perasaan yang dialami ketika seseorang menganggap bahwa “tuntutan-tuntutan melebihi sumber daya sosial dan personal yang mampu dikerahkan seseorang. Sementara Santrock (2003:557) mendefinisikan stress sebagai respon individu terhadap keadaan atau kejadian yang memicu stres (stressor), yang mengancam dan mengganggu kemampuan seseorang untuk menanganinya. Santrock menerangkan bahwa stres yang dialami oleh seseorang adalah reaksi atau respon dari diri sendiri akibat dari stressor atau penyebab stres yaitu berupa kejadian yang tidak menyenangkan dan tekanan-tekanan yang dialami.
            Proses kegiatan belajar pada dunia modern saat ini khususnya di Indonesia menuntut siswa untuk  bukan hanya sekedar datang ke sekolah dan mengikuti materi yang disampaikan oleh beberapa guru mata pelajaran ikut seta dalam kegiatan ujian, dan kemudian lulus begitu saja. Namun siswa harus berperan lebih aktif dalam mendalami materi yang diberikan ditambah lagi dengan adanya tambahan jam pelajaran yang membuat siswa lebih cepat jenuh serta kurangnya waktu mereka untuk bermain,  terdapat berbagai aktivitas siswa  seperti mengikuti kegiatan non-akademik, aktivitas sosial dengan teman sebaya, dan sebagainya. Pola hidup yang kompleks ini menjadi beban tambahan disamping tekanan dalam proses pembelajaran sehingga mempengaruhi mood, konsentrasi, bahkan prestasi akademik, Masalah-masalah siswa  yang begitu kompleks dalam proses belajar dapat menjadi stres akademik. 
            Stres akademik merupakan salah satu respon stres yang terjadi di lingkungan sekolah,  Stres akademik muncul ketika harapan untuk pencapaian prestasi akademik meningkat, baik dari orang tua, guru ataupun teman sebaya dan stress ini meningkat seiring dengan tuntutan terhadap anak yang berbakat dan berprestasi yang tidak pernah berhenti. Baumel dalam Wulandari (2011:12) menyatakan bahwa stres akademik merupakan stres yang disebabkan oleh stressor akademik, yaitu yang bersumber dari proses belajar mengajar atau yang berhubungan dengan kegiatan belajar yang meliputi lama belajar, banyak tugas, birokrasi,  mendapatkan beasiswa,  keputusan menentukan jurusan, dan karir serta kecemasan ujian dan manajemen waktu.
            Fenomena stres sudah banyak terjadi di dunia pendidikan khususnya Indonesia baik pada jenjang sekolah dasar, sekolah menengah pertama, sekolah menengah atas dan sederajat. Hasil study pendahuluan yang dilakukan peneliti menemukan sebuah kasus yang terjadi di lingkungan sekolah SMK 5, tentang seorang siswa kelas XII yang mengalami stroke ringan karena stres menghadapi ujian nasional. Siswa tersebut menderita nyeri pada setengah anggota badan bagian kanannya dan tidak bisa digerakkan. Karena sakit siswa  tersebut dibawa ke dokter ahli saraf. Hasil diagnosis dokter mengemukakan bahwa kaku anggota badan siswa tersebut adalah akibat dari stres berlebihan, yang menekan saraf-saraf motoriknya.
Hasil laporan semester dua tahun 2014/2015 pada buku catatan konseling individual di bidang akademik SMK Negeri 5 Bandung menunjukan 40% siswa kelas X yang berprestasi mengalami stress belajar terutama pada mata pelajaran teknik gambar bangunan.
Penelitian Gusniati (Desmita, 2010:290) terhadap siswa pada salah satu sekolah unggulan di Jakarta menemukan adanya fenomena stress yang dialami siswa di sekolah. Sekitar 40,74% siswa merasa terbebani dengan keharusan mempertahankan peringkat sekolah, 62,96% siswa merasa cemas menghadapi ujian semester. 82,72% siswa merasa takut mendapat nilai ulangan yang jelek. 80,25% merasa bingung menyelesaikan PR yang terlalu banyak, dan 50,62% siswa merasa letih mengikuti perpanjangan waktu belajar disekolah.
Penelitian Nurdini (2009:97) mengenai tingkat stres pada peserta didik di SMKN 8 Bandung menunjukan sebanyak 25,48 % peserta didik mengalami stres pada area fisik, 19,78% mengalami stress pada arean perilaku, 37,09 % peserta didik mengalami stress pada area pikiran dan 17,65% mengalami stress pada area emosi. Hasil penelitian Nurakhman (2009:49 ) di SMA Pasundan 2 Bandung yang menunjukan terdapat 48,3% peserta didik yang tingkat stressnya berada pada kategori sangat tinggi, 45% peserta didik yang berada pada kategori stress tinggi, 6,67% peserta didik yang berada pada kategori sedang dan tidak seorangpun yang berada pada kategori rendah (0%).
Stres akademik disebabkan oleh adanya stressor yang berasal dari faktor internal dan eksternal. Stressor merupakan segala hal yang terjadi pada diri seseorang dan yang memperkuat perasaan tidak dapat mengatasi dari pada kondisi dapat mengatasi. Stressor menurut asalnya dapat dibedakan menjadi stressor eksternal dan stressor internal (Chadha, 2006). Stressor eksternal merupakan penyebab stres yang berasal dari luar diri individu seperti banyaknya tugas-tugas dan persaingan dengan teman, sedangkan stressor internal merupakan penyebab stres yang berasal dari dalam diri individu, yaitu tuntutan dari diri sendiri seperti keinginan untuk selalu menjadi yang terbaik dan kepribadian masing-masing individu.
           Kondisi masa remaja yang menurut Hurlock (1980) dikenal dengan masa rentan “badai dan tekanan” (storm and stress), menambah keyakinan bahwa perlu adanya perhatian lebih terhadap stress yang dialami siswa. Hal ini akan menjadi bahaya karena tidak menutup kemungkinan, pengalaman stres di sekolah akan memicu munculnya dampak lain yang lebih parah. Misalnya Hiew & Glendon (Spielberger& Sarason, 2005) dalam penelitiannya ia menyatakan bahwa stres remaja yang disebabkan oleh sekolah menurunkan kemampuan untuk berkembang lebih sehat, berfungsi baik dan matang pada kedewasaan.
Stressor eksternal untuk stres akademik telah banyak diteliti, misalnya penelitian Irma, Daud & Khumas (2005) yang menyimpulkan bahwa semakin baik manajemen waktu siswa maka semakin rendah tingkat stres akademik. Sedangkan untuk stressor internal masih jarang penelitian yang membahas mengenai coping stress dengan stressor internal, terutama yang berkaitan dengan pemikiran irasional yang datang dari dalam diri siswa itu sendiri. Padahal tidak sedikit stres akademik yang bersumber dari beratnya tuntutan yang berasal dari diri sendiri khususnya segi kognitif nya.
Penelitian Muhamad Saiful Sahri Yusof (2008) terhadap seratus siswa SMA di Malaysia menunjukan 26,1% siswa mengalami  tekanan dalam belajar, yang stressornya berasal dari pikiran irasional siswa dengan semua target akademiknya, siswa yang mengalami stress belajar memiliki prestasi yang lebih dibandingkan siswa lain pada umumnya. Penelitian Qurrota A’yuni Fitrian(2011) sebesar 32,5%. stres belajar dipengaruhi oleh factor kepribadian dan neurosis individu.
Seorang siswa yang mengalami stress dengan pelajarannya umumnya dikarenakan perasaan negatif seperti  khawatir jika pelajarannya tidak selesai sebelum deadline yang diberikan. Cemas jika hasil belajarnya jelek. Takut apabila prestasinya rendah. Dan merasa tidak aman jika dirinya akan dihukum karena berbuat salah. Semua perasaan negatif itu merupakan hasil dari olah pikir. Rasa khawatir muncul dari pikiran yang menyatakan bahwa sesuatu tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya. Rasa cemas merupakan hasil dari pikiran yang menyatakan bahwa hasil kerja sekarang belum maksimal sehingga memiliki celah untuk dikritik. Rasa takut timbul karena pikiran difokuskan pada hal yang tidak diinginkan (ditolak), bukannya pada hal yang diinginkan (sukses). dan Rasa tidak aman adalah hasil pikiran logis-normatif bahwa setiap kesalahan pasti ada hukumannya (Nurdini, 2009).
Sebagai bagian integral dalam dunia pendidikan, bimbingan dan konseling memiliki peranan penting dalam membantu siswa mengatasi berbagai permasalahan akademik yang dapat menghambat tugas perkembangannya. Layanan bimbingan dan konseling yang membantu siswa dalam menyelesaikan permasalah akademinya adalah layanan bimbingan belajar, Yusuf (2006: 37) bimbingan akademik asalah bimbingan yang diarahkan untuk membantu siswa dalam mengembangkan pemahaman dan keterampilan dalam belajar dan memecahkan masalah-masalah akademik.
Stres merupakan salah satu permasalahan subtantif yang dihadapi peserta didik di dunia pendidikan yang bersumber dari tuntutan sekolah dan dunia pendidikan, dalam ranah bimbingan dan kosnseling stres ada pada posisi layanan bimbingan akademik sehingga diperlukan bantuan guru bimbingan dan konseling untuk merancang layanan bimbingan yang tepat dan responsif, sebab jika tidak segera di berikan bantuan maka akan menimbulkan gangguan dalam proses pencapaian tugas-tugas perkembangan (ABKIN, 2007:25)
Penelitian mengenai faktor penyebab stres sudah pernah dilakukan, dengan factor yang berasal dari lingkungan sekolah seperti beban tugas yang tinggi, kerumitan tugas, tidak tersedianya fasilitas dalam mengerjakan tugas, guru yang otoriter. Layanan bimbingan dan konseling dalam menangani stres pun harus memperhatikan irrational believe dari diri individu sendiri sehingga perlu penanganan yang dapat memfokuskan pada perubahan pemikiran irasional nya menjadi rasional. 
Penanganan stres disebut juga dengan istilah coping stres menurit Lazarus dan Folkman (Yusuf 2004:115) coping adalah proses pengolala tuntutan (internal atau eksternal) yang ditaksir sebagai beban karena diluar kemampuan diri individu. Coping terdiri atas upaya-upaya yang berorientasi pada kegiatan intrapsikis untuk mengelola (seperti menuntaskan, tabah, mengurangi, atau meminimalkan) tuntutan internal dan eksternal dan konflik diantaranya.
Coping stres dalam penelitian ini diartikan sebagai tindakan merubah kognitif secara konstan dan merupakan suatu upaya untuk mengatasi tuntutan internal dan eksternal yang dinilai membebani atau melebihi sumber daya yang dimiliki individu.
Coping stres yang salah menyebabkan stres akademik yang dialami siswa  berdampak negatif. Sehingga di perlukan penaganan yang tepat untuk dapat mengatasi masalah stres. salah satunya dapat dilakukan dengan cara mengubah pandangan kognitifnya melalui teknik restrukturisasi kognitif. Karena Pikiran berpengaruh sangat kuat bagi perasaan dan tindakan siswa yang mengalami stres akademik. Konseling kognitif-perilaku bisa dijadikan salah satu alternatif bantuan untuk mereduksi stres akademik yang dialami oleh siswa, hal ini sesuai dengan pendapat Beck (1995:1) yang  menyatakan bahwa konseling restrukturisasi kognitif merupakan konseling yang secara langsung dapat memecahkan masalah dengan memodifikasi disfungsi pikiran dan perilaku. Dobson& Dobson (2009:17) menyatakan teknik restrukturisasi kognitif baik digunakan untuk klien yang mengalami distress, distrosi kognitif, dan untuk klien yang memperlihatkan resistensi terhadap metode perubahan perilaku.  Konseling restrukturisasi kognitif merupakan sebuah pendekatan yang menekankan pada pentingnya peran aspek kognitif dalam permasalahan permasalahan individu.
            Standar kompetensi program bimbingan dan konseling yang dirumuskan oleh ASCA (assotiation School Counselor of America) merumuskan kompetensi yang harus dimiliki siswa dalam ranah akademik learning to learn dengan standar kompetensi keterampilan untuk belajar dan memiliki tujuan agar siswa dapat memperoleh sikap, pengetahuan dan keterampilan yang memberikan sumbangan bagi efektifitas belajar di sekolah hingga melintasi sepanjang rentang kehidupannya, seperti Mengidentifikasi penyebab timbulnya kecemasan-menghadapi-tes dan mengurutkan strategi untuk menumpas stress tersebut, mengurutkan alasan pembuatan dan pemenuhan tenggat waktu pengerjaan tugas.
            Ekspektasi standar serta ukuran kuantitatif dalam proses pembelajaran pada akhirnya memicu terjadinya simplifikasi proses pendidikan yang dalam jangka panjang dapat menimbulkan kerawanan dan kerapuhan kehidupan bangsa (Kartadinata, 2010). Simplifikasi yang dimaksud adalah berupa pemusatan tujuan pada tujuan individual yang bersifat intelektual yang diukur melalui ujian. Sehingga, siswa di paksa untuk memenuhi harapan standar tersebut dan yang menjadikan pembelajaran menjadi sebuah proses linier, sebagai sebuah kontrak kerja antara guru dan peserta didik (Kartadinata, 2010).
            Akibat yang muncul dari proses mekanisasi pembelajaran di sekolah menjadikan sebuah tekanan tersendiri bagi peserta didik. Tuntutan pemenuhan standar nilai, tugas yang sulit, metode pengajaran yang statis yang berorientasi pada standar nilai, hingga tuntutan citra nama baik sekolah menjadikan pengalaman stres siswa tak lagi dapat dielakkan. Bilimleri (2011) menyatakan dalam proses pembelajaran, stres muncul dari pelajaran di kelas, tugas mata pelajaran, atau tekanan psikologis lainnya yang dapat menghantarkan pada kelelahan emosional, kecenderungan berkurangnya reaksi emosional dan fisik (desensitization), dan rasa berprestasi rendah. Pendapat Bilimleri tersebut memberikan sinyal bahwa perlu ada perhatian lebih jika gejala stres mulai muncul dalam proses pembelajaran. Karena tekanan psikologis akan memunculkan akibat buruk bagi siswa seperti kelelahan emosi, desensitization, serta perasaan rendahnya prestasi.
           Seorang siswa, dalam masa pendidikannya sedang mengasah fungsi kognitifnya agar bertambah tajam, jika justru mengalami banyak gangguan pemikiran karena stress yang stressornya adalah lingkungan pendidikan itu sendiri seperti, beban pelajaran yang tidak diimbangi dengan kemampuan siswa, sistem pendidikan, dan tuntutan orang tua yang berlebihan maka siswa yang dalam belajarnya akan mengalami stress dan mengalami penurunan kinerja otak serta daya pikir, yang  membuat prestasi dan kemampuan belajar menjadi semakin rendah, yang kembali memicu stress yang semakin besar, dan terus berulang.
           Terkadang stres akademik siswa dipandang sebagai hal yang biasa. Kelemahan dalam mengidentifikasi gejala stres, tak adanya pemberian keterampilan coping stress bagi siswa,  hingga tak dimilikinya kompetensi guru untuk memberikan penanganan, menjadikan stres siswa tak mendapatkan perhatian, sehingga stress belajar yang banyak didapati dilapangan memerlukan perhatian dan penanganan dari semua pihak baik intansi pendidikan, orang tua, dan guru. Penanganan stres yang salah dapat menyebabkan stres belajar yang dialami para siswa  berdampak lebih buruk. Sehingga di perlukan penanganan yang tepat untuk dapat mengatasi masalah stres.
           Permasalahan stres akademik di sekolah memerlukan upaya batuan layanan bimbingan dan konseling dalam rangka melakukan upaya kuratif terkait masalah akademik siswa, selama ini guru bimbingan dan konseling di sekolah hanya memberikan konseling seadanya untuk menangani siswa yang mengalami stres akademik, dikarnakan keterbatasan waktu, keterampilan dan banyak hal lainnya menyebabkan kurangnya penanganan serius terhadap siswa yang mengalami stres akademik, sehingga hasil konseling pun tidak membuat perubahan  signifikan bagi siswa yang mengalami stres akademik, padahal permasalahan stres akademik memerlukan upaya bantuan bimbingan dan konseling yang bertujuan untuk mengatasi hambatan dan kesulitan yang dihadapi siswa dalam pelaksanaan proses kegiatan belajar mengajar dan penyesuain dengan lingkungan pendidikan serta segala tuntutannya.
           Terkait dengan pentingnya upaya bimbingan bagi siswa yang mengalami stres akademik konselor perlu merancang layanan bimbingan belajar yang tepat bersifat responsif, sebab jika tidak dibantu dapat menimbulkan gangguan dalam proses pencapaian tugas perkembangannya (ABKIN, 2007:25)
Ada ratusan cara berbeda dalam menangani stress, stress bisa ditangani dengan berbagai cara yang sangat mudah, jika pikiran kita sudah terlatih, dan ada berbagi teknologi yang bisa diaplikasikan dalam mengelola stress, seperti misalkan audio brainwave entrainment, dan hardware keluaran Heartmate Institute yang disebut EmWave. Sementara strategi-strategi psikoterapi sederhana seperti Silva Method, Emotional Freedom Technique, Aplikasi Terapi Kognitif, dan beberapa metode lain seperti Yoga, Meditasi, Zikir, dan masih banyak lagi. Salah satunya dapat dilakukan dengan cara mengubah pandangan kognitifnya melalui teknik restrukturisasi kognitif. Teknik restrukturisasi kognitif  merupakan salah satu teknik dari pendekatan behavioral. Menurut literatur, teknik restrukturisasi kognitif pernah digunakan untuk mengatasi perilaku kenakalan  pada remaja (juvenile delinquent), fobia, depresi serta perilaku agresi. Penelitian yang telah dilakukan Meichenbaum (Correy,1990:497) berhasil menangani sesuatu (restrukturisasi kognitif) manakala diaplikasikan pada kecemasan untuk berbicara, kecemasan mengikuti tes, phobia, marah, ketidak mampuan bersosialisasi, kecanduan, tidak berfungsinya hubungan, DO, dan bagi anak-anak yang menarik diri dari lingkungannya.

Definisi Stres
Stres merupakan suatu fenomena yang sering dialami oleh setiap orang dalam kehidupannya dan tidak seorang pun dapat terhindar dari padanya. Secara harfiah stress adalah keras. Kata stress berasal dari bahasa latin yakni Stingere yang mengalami modifikasi berkelanjutan dari straise, strest, stresce dan kemudian stress. Di abad ke-17, kata stress diartikan sebagai sebuah kesukaran, kesusahan, kesulitan dan atau penderitaan. Istilah stres ditemukan oleh Hans Selye (dalam Lazarus 1976) yang mendefinisikan stres sebagai respon yang tidak spesifik dari tubuh pada tiap tuntutan yang dikenakan padanya. Dengan kata lain istilah stres dapat digunaan untuk menunjukkan suatu perubahan fisik yang luas yang disulut oleh berbagai faktor psikologis atau faktor fisik atau kombinasi kedua faktor tersebut.
            Siswa remaja adalah individu yang akan melalui tahap transisi dan perantara dari masa kanak-kanak dan dewasa. Selama masa remaja, banyak perubahan biologis, fisik, mental dan emosional yang terjadi, serta perubahan tanggung jawab dan peran. Untuk menstabilkan perubahan tersebut, siswa banyak dihadapkan dengan masalah dan konflik baik yang datang dari dirinya pribadi maupun yang datang dari lingkungannya. Untuk beberapa siswa yang tidak mampu menstabilkan kondisi tersebut, perubahan dapat membuat stress dan muncul ketegangan tersendiri. Jika tidak ditangani pada tahap awal, siswa mungkin mengalami masalah mental (Newman, 2005:6).
Stress diyakini disebabkan oleh berbagai masalah yang ada seperti masalah di sekolah, keluarga, lingkungan sekitar dan masalah keuangan. Remaja juga mengalami stress karena kadang-kadang terjebak antara membuat keputusan yang mengikuti aturan dan perintah dengan kebebasan dan menemukan dunianya. remaja harus mengikuti keinginan orang tua mereka yang sedang mempersiapkan mereka untuk bersaing dalam sistem sosial dimana masyarakat berebut menuju modernisasi sehingga mereka tidak tertinggal. Jika tidak dikelola dengan baik, stress dapat memicu gangguan psikologis ketika mereka dewasa.
Remaja yang memiliki peran sebagai siswa, seringkali dihadapkan pada permasalahan akademik, manajemen karir dan juga masalah dalam memecahkan masalah-masalah pribadi dan sosial. Hal tersebut merupakan faktor yang berkontribusi terhadap stress. Siswa mulai bergeser dari kehidupan yang bergantung pada orang lain pada kehidupan yang perlu melepaskan ketergantungannya dan mulai membawa tanggung jawabnya sendiri.
Morris (1990:4) menyatakan remaja selalu menghadapi stress di sekolah dan mereka bersaing satu sama lain untuk mendapatkan nilai yang lebih baik. Levine (Dobson, 1980:19), menjelaskan stress memiliki hubungan dengan situasi tertentu seperti lingkungan belajar di sekolah dan ketidakmampuan untuk melakukan pekerjaan dengan sempurna dan kegagalan untuk mencapai apa yang diinginkan. Masalah-masalah siswa melakukan hal-hal seperti beradu fisik dengan guru, memfitnah dan menyakiti guru, menarik para peneliti untuk melihat fenomena tersebut dihubungkan dengan situasi stress di kalangan remaja.
Adams (Kamaruddin, 1997:23) menyatakan masalah terbesar di kalangan remaja (siswa) adalah hal-hal yang berhubungan dengan sekolah mereka. Selain itu, masalah umum pada siswa perempuan yaitu harus berurusan dengan komunikasi dan masalah keluarga. Untuk siswa laki-laki, masalah umum yang dialami yaitu masalah dengan terlibat dalam olahraga, rekreasi dan juga keuangan. Banyak tanggung jawab dan tekanan yang menyebabkan stress pada remaja seperti kebutuhan untuk mencapai nilai akademik yang baik, pembentukan karakter, sikap dan juga selain berusaha untuk memahami dengan kebutuhan pribadinya.
Menurut Lazarus (1976) stres adalah suatu keadaan psikologis individu yang disebabkan kerena individu dihadapkan pada situasi internal dan eksternal, merupakan bentuk interaksi antara individu dengan lingkungannya, yang dinilai individu sebagai sesuatu yang membebani atau melampaui kemampuan yang dimilikinya, serta mengancam kesejahteraannya.
 Atkinson dkk (2010:354) menjelaskan stress merupakan reaksi emosional sebagai salah satu hasil dari gangguan kognitif yang cukup berat jika berhadapan dengan stressor yang serius, sehingga berpengaruh pada konsentrasi dan mengorganisasikan pikiran secara logis.
Selye (Hawari, 2008:17) menyatakan bahwa “Stress adalah respon tubuh yang sifatnya non spesifik terhadap setiap tuntutan beban atas dirinya”. Sedangkan menurut Korchin (1976) keadaan stres muncul apabila tuntutan-tuntutan yang luar biasa atau terlalu banyak mengancam kesejahteraan atau integritas seseorang.
Berdasarkan dari definisi diatas, maka dapat disimpulkan bahwa stres merupakan suatu kondisi pada individu yang tidak menyenangkan dimana dari hal tersebut dapat menyebabkan terjadinya tekanan fisik maupun psikologis pada individu. Kondisi yang dirasakan tidak menyenangkan itu disebabkan karena adanya tuntutan-tuntutan dari lingkungan yang dipersepsikan oleh individu sebagai sesuatu yang melebih kemampuan nya atau sumber daya yang dimilikinya, karena dirasa membebani dan merupakan suatu ancaman bagi kesejahteraannya.
keadaan atau situasi dan peristiwa yang dirasakan mengancam atau membahayakan yang menghasilkan perasaan tegang disebut sebagai stressor. Atau stimulus yang dapat membuat stress.

2. Stressor
Peristiwa atau keadaan yang menantang secara fisik atau psikologis disebut juga dengan stressor. (Sarafino, 2008)
Menurut Lazarus & Folkman (dalam Morgan, 1987) kondisi fisik lingkungan dan sosial yang merupakan penyebab dari kondisi stres disebut dengan stressor. 
Morris (1990) mengklasifikasikan stressor ke dalam lima kategori, yaitu:
a)     Frustasi (Frustration) terjadi ketika kebutuhan pribadi terhalangi dan seseorang gagal dalam mencapai tujuan yang diinginkannya. frustrasi dapat terjadi sebagai akibat dari keterlambatan, kegagalan, kehilangan, kurangnya sumber daya, atau diskriminasi.
b)      Konflik (Conflicts), jenis sumber stres yang kedua ini hadir ketika pengalaman  seseorang dihadapi oleh dua atau lebih motif secara bersamaan. Morris (1990) mengidentifikasi empat jenis konflik yaitu,: approach-approach, avoidence-avoidence, approach-avoidence, dan multiple approach-avoidance conflict.
c)       Tekanan (Pressure), jenis dari sumber stress yang ketiga yang diakui oleh Morris, tekanan didefinisikan sebagai stimulus yang menempatkan individu dalam posisi untuk mempercepat, meningkatkan kinerjanya, atau mengubah perilakunya.
d)      Mengidentifikasi perubahan (Changes), tipe sumber stres yang keempat ini seperti hal nya yang ada di seluruh tahap kehidupan, tetapi tidak dianggap penuh tekanan sampai mengganggu kehidupan seseorang baik secara positif maupun negative.
e)     Self-Imposed merupakan sumber stres yang berasal dalam sistem keyakinan pribadi pada seseorang, bukan dari lingkungan. Ini akan dialami oleh seseorang ketika ada tidaknya stres eksternal yang nyata.
Morris (1990) juga mengidentifikasikan empat reaksi terhadap stres:
Reaksi dari fisiologis terhadap stres menekankan hubungan antara pikiran dan fisik.
a)     Reaksi dari emosional yang diamati dalam reaksi emosional terhadap stres ini adalah melalui emosi seperti rasa ketakutan, kecemasan, rasa bersalah, kesedihan, depresi, atau kesepian.
b)     Reaksi dari kognitif mengacu pada pengalaman individu terhadap stres dan penilaian kognitif yang terjadi dengan penilaiannya mengenai peristiwa stres dan kemudian apa strategi coping yang mungkin paling tepat untuk mengelola stres.
c)       Reaksi dari perilaku yang berkaitan dengan reaksi emosional seseorang terhadap stres yang dapat memberikan reaksi menangis, menjadi kasar kepada orang lain atau diri sendiri dan, penggunaan mekanisme pertahanan seperti rasionalisasi.
 Hawari (2008:44) membagi stressor menjadi dua bagian yaitu stressor psikososioal dan stressor traumatik.
a)     Stressor psikososial adalah setiap keadaan atau peristiwa yang menyebabkan perubahan dalam kehidupan seseorang sehingga orang tersebut terpaksa mengadakan adaptasi atau penyesuaian diri untuk menanggulanginya. Stressor psikososial tersebut meliputi perkawinan, orang tua, antar pribadi, pekerjaan, lingkungan, keuangan, hukum, perkembangan, penyakit fisik, faktor keluarga dan trauma.
b)     Stressor traumatik yaitu stressor psikososial yang berdampak pada trauma mental yang dapat berlangsung selama hayat bila tidak segera diobati (seumur hidup). Yang termasuk stressor traumatik antara lain kerusuhan bernuansa SARA, pengungsian, demo anarkis, huru-hara, penculikan, penyanderaan, kekerasan, peperangan, kriminalitas, perkosaan, kecelakaan, dan bencana alam.
Pendapat lain dari Goliszek (2005:114) yang membagi stressor menjadi tiga yaitu peristiwa yang dialami orang tua, peristiwa yang dialami keluarga dan peristiwa yang dialami individu.
a)     Peristiwa yang dialami orang tua antara lain kematian orang tua, perpisahan orang tua, orang tua pemabuk atau pemakai obat terlarang, orang tua yang baru saja terkena PHK, proses perdamaian orang tua yang tadinya berpisah, orang tua yang menikah lagi dan orang tua yang ditahan atau dipenjarakan.
b)     Peristiwa yang dialami keluarga antara lain meninggalnya salah satu anggota keluarga, berpisah dengan orang tua dalam waktu lama, anggota keluarga menderita sakit parah, lahirnya saudara kandung, bertambahnya orang di dalam rumah, kematian hewan peliharaan, berpindah rumah atau tempat tinggal, kurangnya perhatian dari orang tua dan keluarga mengalami masalah keuangan.
c)      Peristiwa yang dialami anak yang dapat menjadi stressor adalah menderita sakit fisik atau cacat, perlakuan tidak senonoh secara seksual atau dieksploitasi secara seksual oleh orang yang lebih tua, perlakuan kasar secara fisik, termasuk hukuman fisik, memulai dan mengakhiri masa sekolah atau bekerja.

3. Sumber-sumber Stres 
Sumber stres dapat berubah-ubah  seiring dengan berkembangnya individu sumber stress punakan bervariasi, tetapi kondisi stres dapat terjadi setiap saat selama hidup berlangsung. Menurut Sarafino (2008) sumber datangnya stres ada tiga yaitu:
a.  Diri Individu
 Stress dapat bersumber pada orang yang mengalami stress lewat penyakit (ilnes) dan pertentangan (conflict). Dalam hal ini menderita penyakit, membawa tuntutan fisik dan psikologis pada orang yang menderitanya. Tinggi-rendah dan berat-ringannya tuntutan tergantung dari macam penyakit dan usia orang yang menderita. Penyakit ringan umumnya mendatangkan stress yang ringan. Tetapi penyakit yang berat mengakibatkan kadar stress yang berat. Pada usia muda, daya tahan tubuh terhadap penyakit lebih kuat dari pada usia lanjut. Maka terhadap penyakit yang sama, rasa stress pada usia muda dan usia lanjut berdeda.
Penyebab stress yang berasal dari dalam diri orang yang mengalami stress dapat juga disebabkan oleh adanya pertentangan batin (conflict). Pertentangan batin terjadi karena ada dua kekuatan motivasi yang berbeda, bahkan berlawanan. Berhadapan dengan dua dorongan itu dan memilih diantara keduanya dapat menjadikan orang stress.
Hal  ini  berkaitan  dengan  adanya  konflik.  Menurut  Miller  dalam  Sarafino  (2008), pendorong dan penarik dari konflik menghasilkan dua kecenderungan yang berkebalikan, yaitu approach dan avoidance.

b.  Keluarga
Sarafino  (2008)  menjelaskan  bahwa  perilaku,  kebutuhan,  dan  kepribadian  dari setiap anggota keluarga berdampak pada interaksi dengan orang-orang dari anggota lain dalam keluarga yang kadang-kadang menghasilkan stres. Menurut Sarafino (2008) faktor dari  keluarga  yang  cenderung  memungkinkan  munculnya stres  adalah  hadirnya  anggota baru, perceraian dan adanya keluarga yang sakit, cacat, dan kematian

c.  Komunitas dan masyarakat
Keluarga merupakan kesatuan inti dalam masyarakat, dapat menjadi sumber stress tersendiri. Meskipun jumlahnya terbatas, setiap anggota keluarga memiliki perilaku, kebutuhan dan kepribadian yang berbeda-beda. Perilaku yang tidak mengenakkan, watak, dan sifat-sifat yang tidak dapat dipadukan mengakibatkan terjadinya konflik antar anggota keluarga. hal-hal yang datang dari hubungan antar pribadi dan situasi keluarga yang ada, keluarga dapat menjadi sumber stress karena peristiwa–peristiwa yang berkaitan dengan para anggota keluarga sendiri. Keluarga juga dapat menjadi sumber stress karena ada anggota keluarga yang sakit dan kematian anggota keluarga dapat membuat stress bagi anggota keluarga yang lainnya.

1)       Faktor penyebab stress dari lingkungan
Ada dua lingkungan pokok, yaitu lingkungan kerja dan lingkungan hidup sekitar. Lingkungan kerja dapat menjadi sumber stress karena beberapa alasan, antara lain tuntutan kerja, rasa kurang memiliki pengendalian, hubungan antar manusia yang buruk, kurang pengakuan dan peningkatan jenjang karir, serta rasa kurang aman dalam bekerja. Dalam lingkungan hidup sekitar, sumber stress dapat diakibatkan karena lingkungan yang penuh polusi, bising, kekurangan tempat bergerak dan susah untuk menarik udara segar.
Harjana (1994:26) menyatakan bahwa faktor penyebab stress berasal dari orang yang terkena stress sendiri (internal sources) atau  diluarnya (eksternal sources) yang dapat berasal dari keluarga dan lingkungan, baik lingkungan kerja maupun lingkungan sekelilingnya.
Dari berbagai pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor penyebab stress adalah stress yang berasal dari diri sendiri antara lain: frustasi, konflik, krisis, dan suatu penyakit yang diderita oleh individu. Sedangkan stress yang berasal dari lingkungan antara lain: lingkungan keluarga dan lingkungan tempat tinggal.

4. Jenis Stres
Selye (dalam Rice, 1992) mengategorikan jenis stres menjadi dua, yaitu:
a. Distres (Stres Negatif)
Seyle (1992) menyebutkan distres merupakan stres yang bersifat tidak menyenangkan. Stres dirasakan sebagai suatu keadaan dimana individu mengalami rasa cemas, ketakutan, khawatir, atau gelisah. Sehingga individu mengalami keadaan psikologis yang negatif, menyakitkan, atau timbul keinginan untuk menghindarinya.
b. Eustres (Stres Positif)
Seyle (1992) menyebutkan bahwa eustres bersifat menyenangkan dan merupakan pengalaman yang memuaskan. Eustres dapat meningkatkan kewaspadaan, koginisi, dan performansi individu. Eustres juga dapat meningkatkan motivasi individu untuk menciptakan sesuatu.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa jenis stres terbagi  menjadi dua, yaitu distres (stres negatif) dan eustres (stres positif).

5. Dampak Stres
Stres dapat berpengaruh pada kesehatan dengan dua cara. Pertama, perubahan yang diakibatkan oleh stres secara langsung mempengaruhi fisik sistem tubuh yang dapat mempengaruhi kesehatan. Kedua, secara tidak langsung stres mempengaruhi perilaku individu sehinggga menyebabkan timbulnya penyakit atau memperburuk kondisi yang sudah ada (Safarino, 2008).
 Kondisi dari stres memiliki dua aspek: fisik/biologis (melibatkan materi atau tantangan yang menggunakan fisik) dan psikologis (melibatkan bagaimana individu memandang situasi dalam hidup mereka) dalam Sarafino, 2008.
a. Aspek Biologis
Ada beberapa gejala fisik yang dirasakan ketika seseorang sedang mengalami stres, diantaranya adalah sakit kepala yang berlebihan, tidur menjadi tidak nyenyak, gangguan pencernaan, hilangnya nafsu makan, gangguan kulit, dan produksi keringat yang berlebihan di seluruh tubuh (Sarafino, 2008).
b. Aspek Psikologis
Ada 3 gejala psikologis yang dirasakan ketika seseorang sedang mengalami stres. Ketika gejala tersebut adalah gejala kognisi, gejala emosi, dan gejala tingkah laku (Sarafino, 2008):
1). Gejala kognisi
Gangguan daya ingat (menurunnya daya ingat, mudah lupa dengan suatu hal), perhatian dan konsentrasi yang berkurang sehingga seseorang tidak fokus dalam melakukan suatu hal, merupakan gejala-gejala yang muncul pada aspek gejala kognisi 2). Gejala emosi
Mudah marah, kecemasan yang berlebihan terhadap segala sesuatu, merasa sedih dan depresi merupakan gejala-gejala yang muncul pada aspek gejala emosi
3). Gejala tingkah laku
Tingkah laku negatif yang muncul ketika seseorang mengalami stres pada aspek gejala tingkah laku adalah mudah menyalahkan orang lain dan mencari kesalahan orang lain, suka melanggar norma karena dia tidak bisa mengontrol perbuatannya dan bersikap tak acuh pada lingkungan, dan suka melakukan penundaan pekerjaan.

Rancangan Konseling
Kegiatan konseling untuk mereduksi stress akademik merupakan salah satu tujuan konseling akademik, yaitu upaya membantu konseli mengatasi kesulitan belajar, mengembangkan cara belajar yang efektif, membantu mereka supaya sukses dalam belajar dan agar mampu menyesuaikan diri terhadap semua tuntuntan pendidikan. (Nurihsan, 2003  21). Tujuan dari pengembangan program konseling salah satunya adalah untuk membantu siswa agar memiliki keterampilan belajar dan membantu mereka meraih kesuksesan akademik. Konseling restrukturisasi kognitif banyak digunakan untuk mengintervensi gangguan psikologis dan psikopatologi, salah satunya adalah stress akademik, secara umum intervensi ini melibatkan proses kognitif dan perilaku. Pendekatanyang berorentasi kognitif-perilaku dikembangkan karena ketidakpuasan terhadap’ insight-oriented’ dan ‘Behavioral therapies’ pendekatan kognitif perilaku dapat dipandang sebagai ‘bidirectional integration’ perspektif terapetik (Agustin, 2010:49)
            Asumsi dasar restrukturisasi kognitif dalam mereduksi stress akademik adalah proses kognitif berperan penting dalam perilaku dan perilaku dikendalikan oleh inteaksi yang kompleks antara peristiwa internal dan kekuatan lingkungan. Konseling restrukturisasi kognitif memiliki karakteristik sebagai berikut:
 (a) Berdasarkan model kognitif respon emosional,
 (b) Waktu pelksanaannya lebih singkat namun dampaknya lebih cepat diketahui,
 (c) Tidak terlalu mementingkan hubungan melainkan fokus pada pengajarkan keterampilan menolong diri sendiri,
(d) Merupakan upaya kolaboratif antara konseli dengan konselor,
(e) Berdasarkan filsafat bersika[ tenang dalam menghadapi masalah,
(f) Menggunakan metode tanya-jawab,
(g) Bersifat terstruktur dan direktif,
(h) Berdasarkan model pendidikan,
(i) Menggunakan model belajar induktif
(j) Menggunakan metode homework sebagai strategi kunci. 

Sejarah Teknik Restrukturisasi Kognitif
Sejarah teknik konseling restrukturisasi kognitif  tidak dapat dilepaskan dari perkembangan teori perilaku dan teori beberapa model kognitif, restrukturisasi kognitif merupakan alternatif teknik dari konseling kognitif behavioral yang telah di kembangkan oleh beberapa ahli kognitif behavioral, seperti Michael Mahoney dan Donald Meichenbaum.
Konseling kognitif behavioral merupakan salah satu dari sekian banyak pendekatan dalam terapi dalam konseling. Pendekatan tersebut beragam ada yang berorientasi pada pendekatan psikodinamis, behavioristik, humanistik, dan pendekatan yang berorientasi pada budaya. Namun setiap pendekatan memiliki kelebihan dan kekurangannya sendiri. Mahoney & Arnkoff (2003) membagi teknik kongseling kognitif-perilaku ke dalam tiga kategori, yaitu: (a) restrukturisasi kognitif; mencakup terapi emotif-rasional, pengajaran diri, dan terapi kognitif, (b) terapi keterampilan menangani situasi; meliputi pemodelan, tertutup, latihan pengelolaan kecemasan, dan suntikan stress, dan (c) terapi pemecahan masalah; meliputi pemecahan masalah behavioral dan science personal.
Restrukturisasi kognitif merupakan salah satu teknik yang dipandang oleh beberapa ahli sebagai teknik yang lebih integratif dan merupakan teknik yang memiliki pengaruh dari pendekatan cognitive therapy dan behavioral therapy. Bush (2003) mengungkapkan bahwa konseling kognitif-perilaku merupakan perpaduan dari dua pendekatan dalam psikoterapi yaitu cognitivetherapy dan behavior therapy. Terapi kognitif memfokuskan pada pikiran, asumsi dan kepercayaan. Terapi kognitif memfasilitasi individu belajar mengenali dan mengubah kesalahan.
Teori restrukturisasi kognitif  (Oemarjoedi, 2003:6) pada dasarnya meyakini pola pemikiran manusia terbentuk melalui proses Stimulus-Kognisi-Respon (SKR), yang saling berkaitan dan membentuk semacam jaringan SKR dalam otak manusia, di mana proses kognitif menjadi faktor penentu dalam menjelaskan bagaimana manusia berpikir, merasa dan bertindak. restrukturisasi kognitif  dikarakterisasikan kadalam tiga asumsi mendasar, pertama seseorang dianggap sebagai active knower, yang secara sengaja melibatkan diri dalam memahami dirinya. Kedua, bahasa berfungsi sebagai wadah utama tempat seseorang merestrukturisasi pemahamanya tentang dunia. Oleh karena itu para terapis secara khusus tertarik kepada produk bahasa seperti cerita dan metafora yang bisa dilihat sebagai cara untuk menstrukturkan pengalaman. Ketiga, adanya dimensi perkembangan dalam kapasitas manusia untuk mengkonstruksi dunia mereka (Mc Leod,2006).
            Dobson (2010:41) mendefinisikan “konseling kognitif perilaku sebagai pendekatan konseling yang menyatakan kognisi menengahi perilaku dan reaksi emosi terhadap lingkungan dan menentukan tingkat penyesuaian individu”. Teknik restrukturisasi kognitif merupakan salah satu teknik dalam konseling perilaku yang berfokus pada aspek kognitif membantu seseorang dalam memahami lebih baik masalahnya (Neenan & Dryden, 2004:78).
Menurut McKay dan Fanning (2000), proses restrukturisasi kognitif dapat dilakukan dengan cara mengidentifikasi kesalahan berfikir yang berupa kritik diri. Kemudian dilanjutkan dengan menata ulang pikiran seseorang dengan menyangkal kritik diri tersebut. Yahav dan Cohen (2008) mengungkapkan bahwa perilaku atau emosi seseorang yang maladaptif dipengaruhi oleh proses berfikir yang salah. Pikiran ini yang membuat individu kesulitan menghadapi situasi tertentu sehingga perilakunya menjadi mudah menyerah, ragu-ragu, dan tidak berdaya untuk menghadapi masalah seorang diri. Mckay dan Fanning (2000) menjelaskan adanya pikiran negative berupa kritik dalam diri membuat individu mudah mengingat kegagalannya daripada keberhasilan atau kelebihan yang dimilkinya. Individu juga mudah menyalahkan diri atas sebuah kesalahan yang terjadi serta membandingkan kemampuan atau prestasi diri dengan orang lain. Pikiran negatif sulit diketahui karena pikiran tersebut erat dengan cara seseorang memandang suatu realitas. Bila individu tersebut berpikir negatif maka pikiran tersebut dapat mengontrol pikiran individu sehingga konsekuensinya individu akan merasa cemas, takut, tidak aman, dan sulit menghadapi permasalahannya.
Restrukturisasi kognitif digunakan dalam mereduksi stres akademik siswa memfokuskan pada kognitif yang menyimpang akibat ketidak mampuan menerima dirinya yang dapat merugikan baik secara fisik maupun psikisnya. Asumsi primer dari restrukturisasi kognitif adalah bahwa kemungkinan besar seseorang mengatasi kesulitan emosional dan periakunya, dengan mengubah keyakinan-keyakinan yang menciptakan dan memelihara emosi dan perilaku itu (Froggatt Wayne, 2003:21) restrukturisasi kognitif ini diarahkan kepada modifikasi fungsi berpikir, merasa dan bertindak, serta memutuskan kembali. Hingga diharapkan mampu membantu siswa mereduksi perilaku yang tidak diharapkan..atau menghadapi ketakutan untuk akhirnya menemukan bahwa seseorang dapat mengatasinya juga meningkatkan toleransi terhadap ketidaknyamanan dengan pemanjaan diri secara terkendali.
Langkah-langkah terapi:
Meichenbaum mengusulkan bahwa perubahan perilaku terjadi melalui suatu urutan proses menengahi yang meliputi interaksi kata-kata internal, struktur kognitif, dan perilaku serta resultant dari hasil akhirnya ada tiga aspek yang perlu dirubah yaitu
a. Fase Observasi diri
Langkah awal dalam proses perubahan itu sendiri dari konseli yang belajar cara mengamati perilaku mereka sendiri. Pada saat mengawali terapi, ciri dari dialog internal konseli adalah pernyataan serta imajinasi negatif tentang diri mereka sendiri sehingga konseli menyadari bahwa ia bukanlah korban dari perasaan negatif, melainkan sebenarnya konseli juga ikut andil dalam menciptakan pandangan-pandangan negatif terhadap dirinya tersebut melalui apa yang ia katakan pada dirinya sendiri. Dengan harapan konseli mendapatkan struktur kognitif baru yang memungkinkan mereka untuk bisa melihat masalah dengan cara pandang baru.
b. Memulai Dialog Internal yang Baru
Setelah  konseli mengetahui adanya perilaku malladaptif pada dirinya, sehingga konseli dapat melihat  dan menggunakan alternative perilaku adaptif yang akan membawa pada perubahan behavioral, kognitif dan afektifnya. Konseli diajarkan untuk mengubah dialog internal mereka dengan dialog yang dapat menunjukan perilaku baru, sehingga terjadi perubahan pada struktur kognitif konseli.
c. Mempelajari Keterampilan Baru
Fase ini konseli dibimbing untuk memiliki keterampilan dalam menangani masalah agar lebih efektif, yang dapat dipraktekan dalam kehidupan nyata contoh konseli dengan masalah perilaku tidak sehat. Restrukturisasi kognitif dapat membantu dalam mengubah pandangan negatif konseli mengenai perilaku tidak sehatnya sehingga  konseli lebih dapat mereduksi perilaku tidak sehat DOualnya. Pada saat yang bersamaan konseli harus memfokuskan pada penggunaan gaya kalimat baru terhadap dirinya sendiri dan terus menghadapi serta mengevaluasi hasilnya. Sehingga konseli dapat berprilaku sesuai apa yang dia pikirkan dan melakukan perilaku  yang sehat.

Tahapan Teknik Konseling Restrukturisasi Kognitif
            Pendekatan konseling restrukturisasi kognitif diawali dengan asesmen perilaku. khususnya mengenai proses kognitif. Asesmen tidak hanya untuk perilaku yang tampak tetapi juga perilaku emosional dan kognitif, seperti imajinasi, atribusi, keyakinan, harapan, dan pernyataan diri. Tujuan wawancara perilaku adalah untuk mengidentiflkasi target perilaku dan mengendalikan variabel merancang strategi intervensi yang tepat (Bond et ai, 2004). Menurut Laidlaw et al (2003), fokus asesmen adalah menentukan determinan perilaku dan apa yang dirasakan, dipikirkan, dan dilakukan klien dalam situasi khusus.
Tahapan-tahapan dari teknik restrukturisasi kognitif yang digunakan untuk mereduksi stress adalah :


a.   Tahapan pertama : Assesmen dan Diagnosa.
Langkah pertama yang dilakukan yaitu mendiagnosa masalah yang dialami oleh siswa. Tujuannya adalah untuk memperoleh informasi awal mengenai stres akademik yang dialami. Pada tahap ini konselor mencoba  memperoleh informasi tentang kondisi siswa. Selain itu juga pada tahap ini konselor memberikan motivasi kepada siswa untuk melakukan perubahan sehingga diharapkan munculnya komitmen untuk melakukan setiap sesi konseling dengan baik.
b.Tahap kedua : Memonitor pikiran dan perasaan.
Tahap selanjutnya yaitu memonitor pola pikir dan perasaan siswa saat menghadapi berbagai situasi, Dalam tahap ini konselor memfasilitasi siswa untuk belajar mengenali dan memahami pikiran dan perasaan diri sendiri, terutama dalam aspek kognitif, mengubah cara pandang melalui pikirannya, serta memberikan ide untuk mengubah cara pandang yang kurang tepat. Kemudian mengajarkan siswa untuk berfikir tentang hal-hal yang menyebabkan terjadinya stres akademik.
c.Tahap ketiga : Decatastrophizing.
Setelah konselor mengetahui pikiran, perasaan dan verbalisasi salah siswa dari sesi konseling sebelumnya, maka pada sesi ini  konselor memberikan stimulus kepada siswa agar dapat mengevaluasi situasi akademik yang dipikir memberatkan dengan memberikan alternative dari pikiran negatif yang muncul dengan alternatif pikiran yang positif yang lebih baik, dan membimbing siswa pada pola pikir yang dapat mereduksi perilaku tidak sehat, DO, siswa diberikan penjelasan berdasarkan pengalaman yang dialami siswa. Dengan begitu siswa  memahami pengalaman dan dapat mengubah hubungan yang salah antara situasi permasalahan dengan kebiasaan mereaksi permasalahan.
d.Tahap keempat : Reframing .
Reframing adalah strategi yang memodifikasi atau merubah persepsi konseli dari situasi atau perilaku yang ada dengan melihat dari perspektif yang berbeda.Pada sesi ini, siswa diajak untuk melakukan pembelajaran atau pengkondisian serta membuktikan pengalamannya. Contoh bagi siswa yang selalu merasa dirinya tidak mampu untuk mereduksi perilaku stresnya, dapat dilatih untuk terbiasa menghadapi dan meyakinkan dirinya bahwa ia memiliki kemampuan untuk tidak melakukan perilaku negatif tersebut kembali. Intervensi tingkah laku dalam mereduksi stres akademik akan membantu siswa membangun hubungan situasi permasalahan dengan kebiasaan mereaksi permasalahan. Siswa belajar mengubah perilaku, menenangkan pikiran dan tubuh sehingga merasa lebih baik, berfikir lebih jelas dan membantu membuat keputusan.
e.Tahap kelima : Berhenti berfikir.
Teknik ini digunakan pada saat disfungsi pemikiran siswa mulai muncul kembali. Pertama kali saat siswa mengidentifikasi pikiran tentang masalah dan membicarakan masalah (melalui imajinasi) konselor akan berkata STOP setelah itu konseli dilatih untuk dapat menghentikan pikiran negatifnya.
            Tahapan dalam melaksakan teknik restrukturisasi kognitif (Dobson & Dryden, 2009:117-127):
a.   Tahapan identifikasi pikiran-pikiran negatif
            Sebelum konseli diberikan bantuan untuk merubah pikiran-pikiran yang mengalami distorsi, terlebih dahulu konselor perlu membantu konseli untuk menyadari pikiran-pikiran negative yang konseli miliki dan memberitahukan secara langsung kepada konselor. Pada tingkatan umum, konseli didorong untuk kembali pada pengalaman dan melakukan refleksi pengalaman-pengalaman yang sudah dilalui. 
b.   Tahapan metode pengumpulan pikiran-pikiran negative
            Pada praktisi Beck pada tahun 1979; Dobson&Dobson pada tahun 2009 mengatakan bahwa konseling kognitif perilaku menggunakan Dysfunction Thought Record. Penggunaan Dysfunction Though Record dianggap dapat mendefinisikan karakteristik asesmen kognitif konseli. Ditahap awal konseling, konseli diminta untuk membawa buku catatan kecil untuk menuliskan tigas pekerjaan rumah, hal-hal yang berhubungan dengan perlakuan dalam konseling, dan mencatat pikiran-pikiran negatif (Fadhilah, 2013:37).
c.    Tahapan intervensi pikiran-pikiran negatif
            Menurut Dobson & Dobson (2009:127) menyatakan bahwa langkah intervensi pikiran-pikiran negatif diberikan kepada konseli apabila konselor sudah mendapatkan banyak informasi mengenai pikiran-pikiran negatif konseli itu sendiri. Beberapa hal mengenai pikiran-pikiran negative yang meliputi hal-hal, yaitu:
1) Menemukan pikiran-pikiran negatif  yang berhubungan dengan reaksi emosi yang kuat
2)            Menemukan pikiran-pikiran yang berkaitan dengan pola respon perilaku yang kuat
3)            Menemukan pikiran-pikiran yang memiliki tingkatan keyakinan yang tinggi
4)           Menemukan pikiran-pikiran yang berulang karena pikiran-pikiran yang dikemukakan berulang-ulang menunjukkan pola berpikir konseli.

Proses Konseling Restrukturisasi Kognitif
            Menurut teori cognitive behavioral therapy yang dikemukakan oleh Aaron T. Beck (Oemarjoedi, 2003), konseling CBT trmasuk didalamnya teknik restrukturisasi kognitif memerlukan sedikitnya 12 sesi pertemuan. Setiap langkah disusun secara sistematis dan terencana.
Proses Konseling Restrukturisasi Kognitif

No
Proses
Sesi
1
Assesmen dan Diagnosis
1-2
2
Pendekatan Kognitif
2-3
3
Formulasi Status
3-5
4
Fokus Terapi
4-10
5
Intervensi Tingkah Laku
5-7
6
Perubahan core beliefs
8-11
7
Pencegahan
11-12

Melihat kultur yang ada di Indonesia, penerapan sesi yang berjumlah 12 sesi pertemuan dirasakan sulit untuk dilakukan. Oemarjoedi (2003) mengungkapkan beberapa alasan tersebut berdasarkan pengalaman berikut ini.
a. Terlalu lama, sementara siswa mengharapkan hasil yang dapat segera dirasakan manfaatnya.
b. Terlalu rumit, di mana mahasiswa yang mengalami gangguan umumnya datang dan berkonsultasi dalam kondisi pikiran yang sudah begitu berat, sehingga tidak mampu lagi mengikuti program terapi yang merepotkan, atau karena kapasitas intelegensi dan emosinya yang terbatas.
c. Membosankan, karena kemajuan dan perkembangan konseling menjadi sedikit demi sedikit.
d. Menurunnya keyakinan mahasiswa akan kemampuan konselornya, antara lain karena alasan-alasan yangtelah disebutkan di atas, yang dapat berakibat pada kegagalan terapi.
Berdasarkan beberapa alasan di atas, penerapan terapi kognitif-perilaku di Indonesia seringkali mengalami hambatan, sehingga memerlukan penyesuaian yang lebih fleksibel. Jumlah pertemuan terapi yang tadinya memerlukan 12 sesi bisa saja diefisiensikan menjadi kurangdari 12 sesi. Oemarjoedi (2003) mengungkapkan efisiensi konseling bisa dilakukan hingga menjadi 5 sesi. Efisiensi terapi menjadi 5 sesi diharapkan dapat memberikan bayangan yang lebih jelas dan mengundang kreativitas yang lebih tinggi. Berikut disajikan tahapan konseling yang diungkapkan oleh Oemarjoedi (2003 : 24-26).



Proses Konseling Kognitif-Perilaku
yang telah Disesuaikan dengan Budaya Indonesia

NO
Proses
Sesi
1
Assesmen dan Diagnosis
1
2
Mencari emosi negatif  pikiran otomatis dan keyakinan
utama yang berhubungan dengan gangguan
2
3
Menyususn rencana intervensi dengan memberikan
konsekuensi positif-negatif  kepada siswa
3
4
Formulasi status, fokus terapi, intervensi tingkah laku
4
5
Pencegahan
5

Tujuan Teknik Konseling Restrukturisasi Kognitif dalam Mereduksi Stress Siswa
Tujuan dari teknik konseling restrukturisasi kognitif yaitu mengajak konseli untuk menentang pikiran dan emosi yang salah dengan menampilkan bukti-bukti yang bertentangan dengan keyakinan mereka tentang masalah yang dihadapi. Konselor diharapkan mampu menolong konseli untuk mencari keyakinan yang sifatnya dogmatis dalam diri konseli dan secara kuat mencoba menguranginya.
Dalam proses konseling, beberapa ahli cognitive  behavioral therapy (NACBT, 2007; Oemarjoedi, 2003) berasumsi bahwa masa lalu tidak perlu menjadi fokus penting dalam konseling. Oleh sebab itu dalam pelaksanaan konseling lebih menekankan kepada masa kini dari pada masa lalu, akan tetapi bukan berarti mengabaikan masa lalu. Namun tetap menghargai masa lalu sebagai bagian dari hidup konseli dan mencoba membuat konseli menerima masa lalunya, untuk tetap melakukan perubahan pada pola pikir masa kini untuk mencapai perubahan di waktu yang akan datang. Oleh sebab itu, teknik konseling restrukturisasi kognitif lebih banyak bekerja pada status kognitif saat ini untuk dirubah dari status kognitif negatif menjadi status kognitif positif.
Secara umum, tujuan program intervensi Teknik Konseling Restrukturisasi Kognitif menurut Monintja (2008) adalah
1. Membantu konseli untuk mengoreksi self-beliefs yang salah atau menyimpang yang mengakibatkan cara berpikir tidak rasional, yang selanjutnya menimbulkan gangguan psikologis dengan cara berpikir yang lebih rasional untuk mengatasi gangguan-gangguan tersebut
2. Membantu konseli mengatasi problem psikologis (yang umumnya dimanifestasikan dalam bentuk emosional) yang mengganggu keberfungsian social dan individu.
Mengacu pada konsep diatas maka tujuan umum penggunaan teknik restrukturisasi kognitif dalam penelitian ini adalah mereduksi stress akademik siswa. Secara khusus, tujuan program intervensi teknik konseling restrukturisasi kognitif adalah untuk memfasilitasi siswa agar mampu:
a.        Memperbaiki dan merubah sikap, persepsi, cara berpikir, keyakinan serta pandangan-pandangannya yang negatif dan tidak logis menjadi lebih positif agar dapat mengembangkan diri dan meningkatkan pengelolaan stress akademik siswa.
b.        Mengidentifikasi masalah emosi dan perilaku mereka serta untuk mengatasi masalah-masalah berkaitan dengan pekiran-pikiran yang memiliki tingkat keyakianan yang tinggi mengenai stress akademik siswa
c.         Menghilangkan gangguan-gangguan emosional yang merusak diri sendiri berkaitan dengan pikiran-pikiran negatif yang dapat meningkatkan stress akademik siswa.
d.        Mengidentifikasi dan mengatasi pikiran-pikiran negatif yang dapat meningkatkan stress akademiknya.
e.        Mengembangkan keterampilan menjadi konselor untuk dirinya sendiri dalam mengelola stress akademik.


Asumsi Dasar Teknik Konseling Restrukturisasi Kognitif
Beberapa asumsi yang melandasi intervensi Teknik Konseling Restrukturisasi Kognitif yang bertujuan mereduksi stres siswa antara lain:
1)          Selama masa remaja tuntutan terhadap prestasi dan tugas-tugas akademik  sangat besar dan jika tidak direspon secara tepat bisa menimbulkan dampak yang tidak menguntungkan bagi perkembangan psikologis remaja di masa mendatang. Kondisi tersebut terjadi karena dapat menyelesaikan permasalahan akademik merupakan salah satu tugas perkembangan pada masa remaja.
2)         Ditinjau dari faktor kognisi, pada masa remaja, individu mulai memasuki tahap perkembangan kognitif pada level tertinggi, yaitu operasional formal. Pada tahap operasional formal, remaja diharapkan mampu mengintegrasikan pengalaman-pengalaman masa lalu dengan tantangan di masa kini dan mendatang, serta mampu membuat rencana untuk masa depan. Kemampuan-kemampuan tersebut dapat tercermin pada kemampuan remaja untuk mengelola stresnya.
3)         Layanan konseling dalam program bimbingan dan konseling memiliki peran penting untuk membantu siswa mengatasi berbagai masalah yang dialaminya. Kegiatan konseling memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan eksplorasi hingga memunculkan pemahaman atas masalah yang dialaminya.
4)        yang berasal dari konsep Teknik Konseling Restrukturisasi Kognitif merupakan salah satu teknik yang mengintegrasikan aspek kognitif, afeksi, serta behavioural.
5)        Integrasi ketiga aspek penting (kognitif, afeksi, serta behavioral) yang terkait dengan masalah stres siswa membuat Teknik Konseling Restrukturisasi Kognitif dapat mendekati masalah secara menyeluruh dan memberikan dampak positif yang signifikan.

Tujuan Intervensi
Secara umum, tujuan program intervensi Teknik Konseling Restrukturisasi Kognitif adalah mereduksi stres siswa. Secara khusus, tujuan program intervensi Teknik Konseling Restrukturisasi Kognitif adalah untuk memfasilitasi siswa agar mampu:
1)       Memperbaiki dan merubah sikap, persepsi, cara berpikir, keyakinan serta pandangan-pandangannya yang negatif dan tidak logis menjadi lebih positif agar dapat mengembangkan diri dan meningkatkan pengelolaan stres siswa.
2)       Mengidentifikasi masalah emosi dan perilaku mereka serta untuk mengatasi masalah-masalah berkaitan dengan pekiran-pikiran yang memiliki tingkat keyakianan yang tinggi mengenai stres siswa
3)       Menghilangkan gangguan-gangguan emosional yang merusak diri sendiri berkaitan dengan pikiran-pikiran negatif yang dapat meningkatkan stres siswa.
4)     Mengidentifikasi dan mengatasi pikiran-pikiran negatif yang dapat meningkatkan stresnya.
5)     Mengembangkan keterampilan menjadi konselor untuk dirinya sendiri dalam mengelola stres.

Kompetensi Konselor Teknik Restrukturisasi Kognitif
Untuk mendukung terlaksananya program intervensi Konseling teknik restrukturisasi kognitif dalam meningkatkan stres siswa, maka konselor diharapkan telah menguasai seperangkat kompetensi, yang terbagi menjadi dua jenis kriteria, yaitu:
1) Kriteria Umum Kompetensi Konselor
Kriteria umum kompetensi konselor yang harus dimiliki oleh konselor diantaranya:
a).  Memiliki latar belakang pendidikan minimal S1 Bimbingan dan Konseling, dan atau telah memiliki sertifikat konselor profesional yang diperoleh dari lembaga penyelenggara pendidikan profesi konselor.
        b).   Memiliki pengetahuan dan keterampilan yang memadai mengenai konsep stres siswa.


2).  Kriteria Khusus Kompetensi Konselor
Kriteria khusus kompetensi konselor yang harus dimiliki oleh konselor teknik restrukturisasi kognitif, diantaranya:
a)        Tertarik dan termotivasi untuk membantu konseli.
b)       Menunjukkan penerimaan tanpa syarat terhadap konseli sebagai manusia yang tidak lepas dari kesalahan.
c)        Menggunakan berbagai macam teknik terapeutik dalam proses konseling (eklektisisme) tetapi tetap sejalan dan konsisten dengan teori teknik restrukturisasi kognitif
d)        Menunjukkan toleransi terhadap frustrasi yang tinggi ketika konseli tidak mencapai perubahan secepat yang diharapkan, mengadopsi fokus penyelesaian masalah, tidak menggunakan sesi konseling untuk kepuasan pribadi atau memenuhi kebutuhan pribadi, serta tidak under-involved maupun over-involved dengan konseli.
e)        Menikmati peran sebagai pengajar yang aktif-direktif.
f)         Setia terhadap filosofi, ilmu pengetahuan, logika, dan empirisme (juga terhadap hukum-hukum agama).
g)        Merupakan guru dan komunikator yang terampil.
h)        Menerima diri secara tanpa syarat terkait kegagalan terapeutik yang mungkin dilakukan serta sedapat mungkin meminimalkan kegagalan tersebut di masa yang akan datang
i)          Fokus terhadap penyelesaian masalah.
j)          Bereksperimen dan mengambil resiko dalam proses konseling.
k)        Memiliki selera humor yang baik dan digunakan secara tepat dalam konseling.
l)          Memiliki energi dan kuat; serta mengaplikasikan teknik restrukturisasi kognitif dengan cara yang konsisten dengan keilmuan tetapi tetap dalam penyampaian yang fleksibel dan non-dogmatis.
Peran Konselor Teknik Restrukturisasi Kognitif
Untuk mencapai tujuan teknik restrukturisasi kognitif, maka peran konselor adalah sebagai berikut:
1)             Konselor lebih edukatif-direktif kepada konseli yaitu dengan banyak memberikan cerita dan penjelasan, khususnya pada tahap awal.
2)            Mengkonfrontasikan masalah konseli secara langsung.
3)            Menggunakan pendekatan yang dapat memberi semangat dan memperbaiki cara berpikir konseli, kemudian memperbaiki mereka untuk dapat mendidik dirinya sendiri.
4)           Dengan gigih dan berulang-ulang dalam menekankan bahwa pemikiran negatif itulah yang menyebabkan hambatan emosional pada konseli.
5)           Menyerukan konseli menggunakan kemampuan rasional (rational power) dari pada emosinya.
6)           Menggunakan pendekatan didaktik dan filosofis.
7)            Menggunakan humor dan memotivasi sebagai jalan mengkonfrontasikan berpikir secara irrasional.

Karakteristik Hubungan
Karakteristik hubungan yang dibangun dalam proses konseling adalah sebagai berikut
1)       Hubungan antara konseli dengan terapis atau konselor terjalin dengan baik. Hubungan ini bertujuan agar konseling dapat berjalan dengan baik. Konselor meyakini bahwa sangat penting untuk mendapatkan kepercayaan dari konseli. Namun, hal ini tidak cukup bila tidak diiringi dengan keyakinan bahwa konseli dapat belajar mengubah cara pandang atau berpikir sehingga akhirnya konseli dapat memberikan konseling bagi dirinya sendiri.
2)      Restrukturisasi kognitif  merupakan konseling kolaboratif yang dilakukan terapis atau konselor dan konseli. Konselor harus mampu memahami maksud dan tujuan yang diharapkan konseli serta membantu konseli dalam mewujudkannya. Peranan konselor yaitu menjadi pendengar, pengajar, dan pemberi semangat.
3)      Restrukturisasi kognitif didasarkan pada filosofi stoic (orang yang pandai menahan hawa nafsu). tidak menginformasikan bagaimana seharusnya konseli merasakan sesuatu, tapi menawarkan keuntungan perasaan yang tenang walaupun dalam keadaan sulit.
4)     Restrukturisasi kognitif mengunakan metode sokratik. Terapis atau konselor ingin memperoleh pemahaman yang baik terhadap hal-hal yang dipikirkan oleh konseli. Hal ini menyebabkan konselor sering mengajukan pertanyaan dan memotivasi konseli untuk bertanya dalam hati, seperti “Bagaimana saya tahu bahwa mereka sedang menertawakan saya?” “Apakah mungkin mereka menertawakan hal lain”.
5)     Restrukturisasi kognitif memiliki program terstruktur dan terarah. Konselor memiliki agenda khusus untuk setiap sesi atau pertemuan. memfokuskan pada pemberian bantuan kepada konseli untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Konselor tidak hanya mengajarkan apa yang harus dilakukan oleh konseli, tetapi bagaimana cara konseli melakukannya.
6)     Restrukturisasi kognitif didasarkan pada model pendidikan. didasarkan atas dukungan secara ilmiah terhadap asumsi tingkah laku dan emosional yang dipelajari. Oleh sebab itu, tujuan konseling yaitu untuk membantu konseli belajar meninggalkan reaksi yang tidak dikehendaki dan untuk belajar sebuah reaksi yang baru. Penekanan bidang pendidikan yang mempunyai nilai tambah agar bermanfaat untuk hasil tujuan jangka panjang.
7)      Restrukturisasi kognitif merupakan teori dan teknik didasarkan atas metode induktif. Metode induktif mendorong konseli untuk memperhatikan pemikirannya sebagai sebuah jawaban sementara yang dapat dipertanyakan dan diuji kebenarannya. Jika jawaban sementaranya salah (disebabkan oleh informasi baru), maka konseli dapat mengubah pikirannya sesuai dengan situasi yang sesungguhnya.
8)     Tugas rumah merupakan bagian terpenting dari teknik restrukturisasi kognitif, karena dengan pemberian tugas, konselor memiliki informasi yang memadai tentang perkembangan konseling yang akan dijalani konseli. Selain itu, dengan tugas rumah konseli terus melakukan proses konselingnya walaupun tanpa dibantu konselor. Penugasan rumah inilah yang membuat restrukturisasi kognitif  lebih cepat dalam proses konselingnya.

Sasaran Program Intervensi
Sasaran program intervensi teknik konseling restrukturisasi kognitif  adalah mereduksi seluruh indikator stres siswa. Terdapat aspek stres yang menjadi target intervensi. Populasi yang menjadi subjek intervensi/konseli dalam restrukturisasi kognitif  untuk meningkatkan stres siswa adalah siswa yang secara khusus yang teridentifikasi mengalami tingkat stres sangat tinggi, tinggi, sedang, rendah, dan sangat rendah Dengan demikian, diharapkan subjek intervensi/konseli yang memiliki tingkat stres sangat tinggi, dapat direduksi stresnya menuju kategori sedang atau bahkan rendah, dan dapat mempertahankan dan memelihara karakteristik tersebut serta  meningkatkan kualitas dari karakteristik siswa yang dapat mengelola stresnya dengan baik.

Pelaksanaan Intervensi
Tahapan-tahapan dari teknik restrukturisasi kognitif yang digunakan untuk mereduksi stres adalah :
1)       Tahapan pertama : Assesmen dan Diagnosa.
Langkah pertama yang dilakukan yaitu mendiagnosa masalah yang dialami oleh siswa. Tujuannya adalah untuk memperoleh informasi awal mengenai stres akademik yang dialami. Pada tahap ini konselor mencoba  memperoleh informasi tentang kondisi siswa. Selain itu juga pada tahap ini konselor memberikan motivasi kepada siswa untuk melakukan perubahan sehingga diharapkan munculnya komitmen untuk melakukan setiap sesi konseling dengan baik.
2)      Tahap kedua : Memonitor pikiran dan perasaan.
Tahap selanjutnya yaitu memonitor pola pikir dan perasaan siswa saat menghadapi berbagai situasi, Dalam tahap ini konselor memfasilitasi siswa untuk belajar mengenali dan memahami pikiran dan perasaan diri sendiri, terutama dalam aspek kognitif, mengubah cara pandang melalui pikirannya, serta memberikan ide untuk mengubah cara pandang yang kurang tepat. Kemudian mengajarkan siswa untuk berfikir tentang hal-hal yang menyebabkan terjadinya stres akademik.
3)      Tahap ketiga : Decatastrophizing.
Setelah konselor mengetahui pikiran, perasaan dan verbalisasi salah siswa dari sesi konseling sebelumnya, maka pada sesi ini  konselor memberikan stimulus kepada siswa agar dapat mengevaluasi situasi akademik yang dipikir memberatkan dengan memberikan alternative dari pikiran negatif yang muncul dengan alternatif pikiran yang positif yang lebih baik, dan membimbing siswa pada pola pikir yang dapat mereduksi perilaku tidak sehat, siswa diberikan penjelasan berdasarkan pengalaman yang dialami siswa. Dengan begitu siswa  memahami pengalaman dan dapat mengubah hubungan yang salah antara situasi permasalahan dengan kebiasaan mereaksi permasalahan.

4)     Tahap keempat : Reframing .
Reframing adalah strategi yang memodifikasi atau merubah persepsi konseli dari situasi atau perilaku yang ada dengan melihat dari perspektif yang berbeda.Pada sesi ini, siswa diajak untuk melakukan pembelajaran atau pengkondisian serta membuktikan pengalamannya. Contoh bagi siswa yang selalu merasa dirinya tidak mampu untuk mereduksi perilaku stresnya, dapat dilatih untuk terbiasa menghadapi dan meyakinkan dirinya bahwa ia memiliki kemampuan untuk tidak melakukan perilaku negatif tersebut kembali. Intervensi tingkah laku dalam mereduksi stres akademik akan membantu siswa membangun hubungan situasi permasalahan dengan kebiasaan mereaksi permasalahan. Siswa belajar mengubah perilaku, menenangkan pikiran dan tubuh sehingga merasa lebih baik, berfikir lebih jelas dan membantu membuat keputusan.
5)     Tahap kelima : Berhenti berfikir.
Teknik ini digunakan pada saat disfungsi pemikiran siswa mulai muncul kembali. Pertama kali saat siswa mengidentifikasi pikiran tentang masalah dan membicarakan masalah (melalui imajinasi) konselor akan berkata STOP setelah itu konseli dilatih untuk dapat menghentikan pikiran negatifnya.

Proses Intervensi
Pelaksanaan intervensi dilakukan sesuai dengan rancangan intervensi yang telah dibuat. Pelaksanaan intervensi dilakukan setelah kondisi baseline sudah stabil. Pelaksanaan intervensi dilaksanakan selama 4-6 sesi , setiap sesi dilakukan seminggu sekali dengan waktu antara 60-80 menit persesi. Penentuan jadwal intervensi berdasarkan kesepakatan antara peneliti dan siswa.

Evaluasi dan Indikator Keberhasilan Program Intervensi
Mengukur keberhasilan dari keseluruhan program intervensi konseling yang diberikan kepada konseli, maka dilakukan evaluasi terhadap proses dan hasil konseling.
Indikator keberhasilan program intervensi konseling ditentukan oleh adanya peningkatan skor yang dicapai konseli antara ssebelum pemberian perlakuan treatment intervensi konseling. Sedangkan Indikator keberhasilan setiap sesi intervensi konseling ditentukan oleh penguasaan konseli terhadap pengetahuan dan keterampilan tertentu seperti yang dituliskan dalam garis besar isi program intervensi konseling.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Penguatan Integrasi Pendidikan

PENGUATAN INTEGRASI PENDIDIKAN DALAM ERA DISUPSI Oleh :  Asep Rohiman Lesmana, M.Pd. Pendidikan merupakan suatu entitas yang s...