Rancangan Konseling
melalui Teknik
Restrukturisasi Kognitif
untuk Mereduksi Stres
Oleh :
Iman Lesmana
Rasional
Setiap individu mempunyai
respon dan cara yang berbeda dalam menghadapi situasi yang sama. Masing-masing
orang memandang dunia secara berbeda dan merespon terhadap suatu permasalahan pun berbeda pula. Kemampuan
seseorang untuk mengatasi masalah tergantung kepada bagaimana dia bersikap. Tidak adanya kemampuan untuk mengatasi
kejadian dan reaksi yang dialami individu dapat menimbulkan stres sehingga
dapat mempengaruhi kehidupan
sehari-hari. Stres merupakan suatu respon fisik dan psikologis yang biasa
dialami oleh individu hampir di semua kalangan, baik orang dewasa, remaja,
bahkan anak-anak. Jenis-jenis permasalahannya tentunya beraneka ragam. Pada umumnya, setiap individu pernah
mengalami stres, baik ringan, sedang, ataupun berat.
Stres hanya merupakan istilah yang menunjukkan
pada hal yang selalu dialami manusia dalam kehidupan sehari-hari. Secara
sederhana, stres dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan individu yang
terganggu keseimbangannya. Richard S. Lazarus (James Manktelow, 2009:3) mengungkapkan
bahwa stres adalah suatu kondisi atau perasaan yang dialami ketika seseorang
menganggap bahwa “tuntutan-tuntutan melebihi sumber daya sosial dan personal
yang mampu dikerahkan seseorang. Sementara Santrock (2003:557) mendefinisikan
stress sebagai respon individu terhadap keadaan atau kejadian yang memicu stres
(stressor), yang mengancam dan mengganggu kemampuan seseorang untuk
menanganinya. Santrock menerangkan bahwa stres yang dialami oleh seseorang
adalah reaksi atau respon dari diri sendiri akibat dari stressor atau penyebab
stres yaitu berupa kejadian yang tidak menyenangkan dan tekanan-tekanan yang
dialami.
Proses
kegiatan belajar pada dunia modern saat ini khususnya di Indonesia menuntut
siswa untuk bukan hanya sekedar datang
ke sekolah dan mengikuti materi yang disampaikan oleh beberapa guru mata
pelajaran ikut seta dalam kegiatan ujian, dan kemudian lulus begitu saja. Namun
siswa harus berperan lebih aktif dalam mendalami materi yang diberikan ditambah
lagi dengan adanya tambahan jam pelajaran yang membuat siswa lebih cepat jenuh
serta kurangnya waktu mereka untuk bermain,
terdapat berbagai aktivitas siswa
seperti mengikuti kegiatan non-akademik, aktivitas sosial dengan teman
sebaya, dan sebagainya. Pola hidup yang kompleks ini menjadi beban tambahan
disamping tekanan dalam proses pembelajaran sehingga mempengaruhi mood,
konsentrasi, bahkan prestasi akademik, Masalah-masalah siswa yang begitu kompleks dalam proses belajar
dapat menjadi stres akademik.
Stres
akademik merupakan salah satu respon stres yang terjadi di lingkungan
sekolah, Stres akademik muncul ketika
harapan untuk pencapaian prestasi akademik meningkat, baik dari orang tua, guru
ataupun teman sebaya dan stress ini meningkat seiring dengan tuntutan terhadap
anak yang berbakat dan berprestasi yang tidak pernah berhenti. Baumel dalam
Wulandari (2011:12) menyatakan bahwa stres akademik merupakan stres yang
disebabkan oleh stressor akademik, yaitu yang bersumber dari proses belajar
mengajar atau yang berhubungan dengan kegiatan belajar yang meliputi lama
belajar, banyak tugas, birokrasi,
mendapatkan beasiswa, keputusan
menentukan jurusan, dan karir serta kecemasan ujian dan manajemen waktu.
Fenomena stres sudah banyak terjadi di dunia pendidikan
khususnya Indonesia baik pada jenjang sekolah dasar, sekolah menengah pertama,
sekolah menengah atas dan sederajat.
Hasil study pendahuluan yang dilakukan peneliti menemukan sebuah kasus yang
terjadi di lingkungan sekolah SMK 5, tentang seorang siswa kelas XII yang
mengalami stroke ringan karena stres menghadapi ujian nasional. Siswa tersebut
menderita nyeri pada setengah anggota badan bagian kanannya dan tidak bisa
digerakkan. Karena sakit siswa tersebut
dibawa ke dokter ahli saraf. Hasil diagnosis dokter mengemukakan bahwa kaku
anggota badan siswa tersebut adalah akibat dari stres berlebihan, yang menekan
saraf-saraf motoriknya.
Hasil
laporan semester dua tahun 2014/2015 pada buku catatan konseling individual di
bidang akademik SMK Negeri 5 Bandung menunjukan 40% siswa kelas X yang
berprestasi mengalami stress belajar terutama pada mata pelajaran teknik gambar
bangunan.
Penelitian
Gusniati (Desmita, 2010:290) terhadap siswa pada salah satu sekolah unggulan di
Jakarta menemukan adanya fenomena stress yang dialami siswa di sekolah. Sekitar
40,74% siswa merasa terbebani dengan keharusan mempertahankan peringkat
sekolah, 62,96% siswa merasa cemas menghadapi ujian semester. 82,72% siswa
merasa takut mendapat nilai ulangan yang jelek. 80,25% merasa bingung
menyelesaikan PR yang terlalu banyak, dan 50,62% siswa merasa letih mengikuti
perpanjangan waktu belajar disekolah.
Penelitian
Nurdini (2009:97) mengenai tingkat stres pada peserta didik di SMKN 8 Bandung
menunjukan sebanyak 25,48 % peserta didik mengalami stres pada area fisik,
19,78% mengalami stress pada arean perilaku, 37,09 % peserta didik mengalami
stress pada area pikiran dan 17,65% mengalami stress pada area emosi. Hasil
penelitian Nurakhman (2009:49 ) di SMA Pasundan 2 Bandung yang menunjukan
terdapat 48,3% peserta didik yang tingkat stressnya berada pada kategori sangat
tinggi, 45% peserta didik yang berada pada kategori stress tinggi, 6,67%
peserta didik yang berada pada kategori sedang dan tidak seorangpun yang berada
pada kategori rendah (0%).
Stres akademik disebabkan oleh adanya stressor yang berasal
dari faktor internal dan eksternal. Stressor merupakan segala hal yang terjadi
pada diri seseorang dan yang memperkuat perasaan tidak dapat mengatasi dari
pada kondisi dapat mengatasi. Stressor menurut asalnya dapat dibedakan
menjadi stressor eksternal dan stressor internal (Chadha, 2006). Stressor
eksternal merupakan penyebab stres yang berasal dari luar diri individu seperti
banyaknya tugas-tugas dan persaingan dengan teman, sedangkan stressor internal
merupakan penyebab stres yang berasal dari dalam diri individu, yaitu tuntutan
dari diri sendiri seperti keinginan untuk selalu menjadi yang terbaik dan
kepribadian masing-masing individu.
Kondisi masa remaja yang menurut
Hurlock (1980) dikenal dengan masa rentan “badai dan tekanan” (storm and stress), menambah keyakinan
bahwa perlu adanya perhatian lebih terhadap stress yang dialami siswa. Hal ini
akan menjadi bahaya karena tidak menutup kemungkinan, pengalaman stres di
sekolah akan memicu munculnya dampak lain yang lebih parah. Misalnya Hiew &
Glendon (Spielberger& Sarason, 2005) dalam penelitiannya ia menyatakan
bahwa stres remaja yang disebabkan oleh sekolah menurunkan kemampuan untuk berkembang
lebih sehat, berfungsi baik dan matang pada kedewasaan.
Stressor eksternal untuk stres akademik telah banyak
diteliti, misalnya penelitian Irma, Daud & Khumas (2005) yang menyimpulkan
bahwa semakin baik manajemen waktu siswa maka semakin rendah tingkat stres akademik. Sedangkan untuk stressor internal masih
jarang penelitian yang membahas mengenai coping stress dengan stressor
internal, terutama yang berkaitan dengan pemikiran irasional yang datang dari
dalam diri siswa itu sendiri. Padahal tidak sedikit stres akademik yang
bersumber dari beratnya tuntutan yang berasal dari diri sendiri khususnya segi
kognitif nya.
Penelitian
Muhamad Saiful Sahri Yusof (2008) terhadap seratus siswa SMA di Malaysia
menunjukan 26,1% siswa mengalami tekanan
dalam belajar, yang stressornya berasal dari pikiran irasional siswa dengan
semua target akademiknya, siswa yang mengalami stress belajar memiliki prestasi
yang lebih dibandingkan siswa lain pada umumnya. Penelitian Qurrota
A’yuni Fitrian(2011) sebesar 32,5%. stres belajar dipengaruhi oleh
factor kepribadian dan neurosis individu.
Seorang
siswa yang mengalami stress dengan pelajarannya umumnya dikarenakan perasaan
negatif seperti khawatir jika
pelajarannya tidak selesai sebelum deadline yang diberikan. Cemas jika hasil
belajarnya jelek. Takut apabila prestasinya rendah. Dan merasa tidak aman jika
dirinya akan dihukum karena berbuat salah. Semua perasaan negatif itu merupakan
hasil dari olah pikir. Rasa khawatir muncul dari pikiran yang menyatakan bahwa
sesuatu tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya. Rasa cemas merupakan hasil
dari pikiran yang menyatakan bahwa hasil kerja sekarang belum maksimal sehingga
memiliki celah untuk dikritik. Rasa takut timbul karena pikiran difokuskan pada
hal yang tidak diinginkan (ditolak), bukannya pada hal yang diinginkan
(sukses). dan Rasa tidak aman adalah hasil pikiran logis-normatif bahwa setiap
kesalahan pasti ada hukumannya (Nurdini, 2009).
Sebagai
bagian integral dalam dunia pendidikan, bimbingan dan konseling memiliki
peranan penting dalam membantu siswa mengatasi berbagai permasalahan akademik
yang dapat menghambat tugas perkembangannya. Layanan bimbingan dan konseling
yang membantu siswa dalam menyelesaikan permasalah akademinya adalah layanan
bimbingan belajar, Yusuf (2006: 37) bimbingan akademik asalah bimbingan yang
diarahkan untuk membantu siswa dalam mengembangkan pemahaman dan keterampilan
dalam belajar dan memecahkan masalah-masalah akademik.
Stres
merupakan salah satu permasalahan subtantif yang dihadapi peserta didik di
dunia pendidikan yang bersumber dari tuntutan sekolah dan dunia pendidikan,
dalam ranah bimbingan dan kosnseling stres ada pada posisi layanan bimbingan
akademik sehingga diperlukan bantuan guru bimbingan dan konseling untuk
merancang layanan bimbingan yang tepat dan responsif, sebab jika tidak segera
di berikan bantuan maka akan menimbulkan gangguan dalam proses pencapaian
tugas-tugas perkembangan (ABKIN, 2007:25)
Penelitian
mengenai faktor penyebab stres sudah pernah dilakukan, dengan factor yang berasal
dari lingkungan sekolah seperti beban tugas yang tinggi, kerumitan tugas, tidak
tersedianya fasilitas dalam mengerjakan tugas, guru yang otoriter. Layanan
bimbingan dan konseling dalam menangani stres pun harus memperhatikan irrational believe dari diri individu
sendiri sehingga perlu penanganan yang dapat memfokuskan pada perubahan
pemikiran irasional nya menjadi rasional.
Penanganan
stres disebut juga dengan istilah coping stres menurit Lazarus dan Folkman
(Yusuf 2004:115) coping adalah proses pengolala tuntutan (internal atau
eksternal) yang ditaksir sebagai beban karena diluar kemampuan diri individu.
Coping terdiri atas upaya-upaya yang berorientasi pada kegiatan intrapsikis
untuk mengelola (seperti menuntaskan, tabah, mengurangi, atau meminimalkan)
tuntutan internal dan eksternal dan konflik diantaranya.
Coping stres
dalam penelitian ini diartikan sebagai tindakan merubah kognitif secara konstan
dan merupakan suatu upaya untuk mengatasi tuntutan internal dan eksternal yang
dinilai membebani atau melebihi sumber daya yang dimiliki individu.
Coping stres
yang salah menyebabkan stres akademik yang dialami siswa berdampak negatif. Sehingga di perlukan
penaganan yang tepat untuk dapat mengatasi masalah stres. salah satunya dapat dilakukan dengan cara mengubah pandangan
kognitifnya melalui teknik restrukturisasi kognitif. Karena Pikiran berpengaruh
sangat kuat bagi perasaan dan tindakan siswa yang mengalami stres akademik.
Konseling kognitif-perilaku bisa dijadikan salah satu alternatif bantuan untuk
mereduksi stres akademik yang dialami oleh siswa, hal ini sesuai dengan
pendapat Beck (1995:1) yang menyatakan bahwa
konseling restrukturisasi kognitif merupakan konseling yang secara
langsung dapat memecahkan masalah dengan memodifikasi disfungsi pikiran dan
perilaku. Dobson& Dobson (2009:17) menyatakan teknik restrukturisasi
kognitif baik digunakan untuk klien yang mengalami distress, distrosi kognitif, dan untuk klien yang memperlihatkan
resistensi terhadap metode perubahan perilaku.
Konseling restrukturisasi kognitif merupakan sebuah pendekatan yang
menekankan pada pentingnya peran aspek kognitif dalam
permasalahan permasalahan individu.
Standar
kompetensi program bimbingan dan konseling yang dirumuskan oleh ASCA (assotiation School Counselor of America) merumuskan
kompetensi yang harus dimiliki siswa dalam ranah akademik learning to learn dengan standar kompetensi keterampilan untuk
belajar dan memiliki tujuan agar siswa dapat memperoleh sikap, pengetahuan dan
keterampilan yang memberikan sumbangan bagi efektifitas belajar di sekolah
hingga melintasi sepanjang rentang kehidupannya, seperti Mengidentifikasi penyebab timbulnya
kecemasan-menghadapi-tes dan mengurutkan strategi untuk menumpas stress
tersebut, mengurutkan alasan pembuatan dan
pemenuhan tenggat waktu pengerjaan tugas.
Ekspektasi
standar serta ukuran kuantitatif dalam proses pembelajaran pada akhirnya memicu
terjadinya simplifikasi proses pendidikan yang dalam jangka panjang dapat
menimbulkan kerawanan dan kerapuhan kehidupan bangsa (Kartadinata, 2010).
Simplifikasi yang dimaksud adalah berupa pemusatan tujuan pada tujuan
individual yang bersifat intelektual yang diukur melalui ujian. Sehingga, siswa
di paksa untuk memenuhi harapan standar tersebut dan yang menjadikan
pembelajaran menjadi sebuah proses linier, sebagai sebuah kontrak kerja antara
guru dan peserta didik (Kartadinata, 2010).
Akibat yang muncul dari proses mekanisasi pembelajaran di
sekolah menjadikan sebuah tekanan tersendiri bagi peserta didik. Tuntutan
pemenuhan standar nilai, tugas yang sulit, metode pengajaran yang statis yang
berorientasi pada standar nilai, hingga tuntutan citra nama baik sekolah menjadikan
pengalaman stres siswa tak lagi dapat dielakkan. Bilimleri (2011) menyatakan
dalam proses pembelajaran, stres muncul dari pelajaran di kelas, tugas mata
pelajaran, atau tekanan psikologis lainnya yang dapat menghantarkan pada
kelelahan emosional, kecenderungan berkurangnya reaksi emosional dan fisik (desensitization), dan rasa berprestasi
rendah. Pendapat Bilimleri tersebut memberikan sinyal bahwa perlu ada perhatian
lebih jika gejala stres mulai muncul dalam proses pembelajaran. Karena tekanan
psikologis akan memunculkan akibat buruk bagi siswa seperti kelelahan emosi, desensitization, serta perasaan
rendahnya prestasi.
Seorang siswa, dalam masa pendidikannya sedang mengasah
fungsi kognitifnya agar bertambah tajam, jika justru mengalami banyak gangguan
pemikiran karena stress yang stressornya adalah lingkungan pendidikan itu
sendiri seperti, beban pelajaran yang tidak diimbangi dengan kemampuan siswa,
sistem pendidikan, dan tuntutan orang tua yang berlebihan maka siswa yang dalam
belajarnya akan mengalami stress dan mengalami penurunan kinerja otak serta
daya pikir, yang membuat prestasi dan
kemampuan belajar menjadi semakin rendah, yang kembali memicu stress yang
semakin besar, dan terus berulang.
Terkadang stres akademik siswa
dipandang sebagai hal yang biasa. Kelemahan dalam mengidentifikasi gejala
stres, tak adanya pemberian keterampilan coping
stress bagi siswa, hingga tak dimilikinya kompetensi guru
untuk memberikan penanganan, menjadikan stres siswa tak mendapatkan perhatian,
sehingga stress belajar yang banyak didapati dilapangan memerlukan perhatian
dan penanganan dari semua pihak baik intansi pendidikan, orang tua, dan guru. Penanganan stres yang salah dapat
menyebabkan stres belajar yang dialami para siswa berdampak lebih buruk. Sehingga di perlukan
penanganan yang tepat untuk dapat mengatasi masalah stres.
Permasalahan
stres akademik di sekolah memerlukan upaya batuan layanan bimbingan dan
konseling dalam rangka melakukan upaya kuratif terkait masalah akademik siswa,
selama ini guru bimbingan dan konseling di sekolah hanya memberikan konseling
seadanya untuk menangani siswa yang mengalami stres akademik, dikarnakan
keterbatasan waktu, keterampilan dan banyak hal lainnya menyebabkan kurangnya
penanganan serius terhadap siswa yang mengalami stres akademik, sehingga hasil
konseling pun tidak membuat perubahan
signifikan bagi siswa yang mengalami stres akademik, padahal
permasalahan stres akademik memerlukan upaya bantuan bimbingan dan konseling
yang bertujuan untuk mengatasi hambatan dan kesulitan yang dihadapi siswa dalam
pelaksanaan proses kegiatan belajar mengajar dan penyesuain dengan lingkungan
pendidikan serta segala tuntutannya.
Terkait
dengan pentingnya upaya bimbingan bagi siswa yang mengalami stres akademik
konselor perlu merancang layanan bimbingan belajar yang tepat bersifat
responsif, sebab jika tidak dibantu dapat menimbulkan gangguan dalam proses
pencapaian tugas perkembangannya (ABKIN, 2007:25)
Ada ratusan cara berbeda dalam
menangani stress, stress bisa ditangani dengan berbagai cara yang sangat mudah,
jika pikiran kita sudah terlatih, dan ada berbagi teknologi yang bisa
diaplikasikan dalam mengelola stress, seperti misalkan audio brainwave
entrainment, dan hardware keluaran Heartmate Institute yang disebut EmWave. Sementara strategi-strategi
psikoterapi sederhana seperti Silva
Method, Emotional Freedom Technique, Aplikasi Terapi Kognitif, dan beberapa
metode lain seperti Yoga, Meditasi, Zikir, dan masih banyak lagi. Salah satunya
dapat dilakukan dengan cara mengubah pandangan kognitifnya melalui teknik
restrukturisasi kognitif. Teknik restrukturisasi kognitif merupakan salah satu teknik dari pendekatan
behavioral. Menurut literatur, teknik restrukturisasi
kognitif pernah digunakan untuk mengatasi perilaku kenakalan pada remaja (juvenile delinquent), fobia, depresi serta perilaku agresi.
Penelitian yang telah dilakukan Meichenbaum (Correy,1990:497) berhasil
menangani sesuatu (restrukturisasi kognitif) manakala diaplikasikan pada
kecemasan untuk berbicara, kecemasan mengikuti tes, phobia, marah, ketidak
mampuan bersosialisasi, kecanduan, tidak berfungsinya hubungan, DO, dan bagi
anak-anak yang menarik diri dari lingkungannya.
Definisi Stres
Stres
merupakan suatu fenomena yang sering dialami oleh setiap orang dalam
kehidupannya dan tidak seorang pun dapat terhindar dari padanya. Secara harfiah stress adalah keras. Kata
stress berasal dari bahasa latin yakni Stingere
yang mengalami modifikasi berkelanjutan dari straise, strest, stresce dan kemudian stress. Di abad ke-17, kata
stress diartikan sebagai sebuah kesukaran, kesusahan, kesulitan dan atau
penderitaan. Istilah stres
ditemukan oleh Hans Selye (dalam Lazarus 1976) yang mendefinisikan stres
sebagai respon yang tidak spesifik dari tubuh pada tiap tuntutan yang dikenakan
padanya. Dengan kata lain istilah stres dapat digunaan untuk menunjukkan suatu
perubahan fisik yang luas yang disulut oleh berbagai faktor psikologis atau
faktor fisik atau kombinasi kedua faktor tersebut.
Siswa remaja adalah individu yang akan melalui tahap
transisi dan perantara dari masa kanak-kanak dan dewasa. Selama masa remaja,
banyak perubahan biologis, fisik, mental dan emosional yang terjadi, serta
perubahan tanggung jawab dan peran. Untuk menstabilkan perubahan tersebut,
siswa banyak dihadapkan dengan masalah dan konflik baik yang datang dari
dirinya pribadi maupun yang datang dari lingkungannya. Untuk beberapa siswa
yang tidak mampu menstabilkan kondisi tersebut, perubahan dapat membuat stress
dan muncul ketegangan tersendiri. Jika tidak ditangani pada tahap awal, siswa
mungkin mengalami masalah mental (Newman, 2005:6).
Stress diyakini disebabkan oleh berbagai masalah yang
ada seperti masalah di sekolah, keluarga, lingkungan sekitar dan masalah
keuangan. Remaja juga mengalami stress karena kadang-kadang terjebak antara
membuat keputusan yang mengikuti aturan dan perintah dengan kebebasan dan
menemukan dunianya. remaja harus mengikuti keinginan orang tua mereka yang sedang
mempersiapkan mereka untuk bersaing dalam sistem sosial dimana masyarakat
berebut menuju modernisasi sehingga mereka tidak tertinggal. Jika tidak
dikelola dengan baik, stress dapat memicu gangguan psikologis ketika mereka
dewasa.
Remaja yang memiliki peran sebagai siswa, seringkali
dihadapkan pada permasalahan akademik, manajemen karir dan juga masalah dalam
memecahkan masalah-masalah pribadi dan sosial. Hal tersebut merupakan faktor
yang berkontribusi terhadap stress. Siswa mulai bergeser dari kehidupan yang
bergantung pada orang lain pada kehidupan yang perlu melepaskan
ketergantungannya dan mulai membawa tanggung jawabnya sendiri.
Morris (1990:4) menyatakan remaja selalu menghadapi
stress di sekolah dan mereka bersaing satu sama lain untuk mendapatkan nilai
yang lebih baik. Levine (Dobson, 1980:19), menjelaskan stress memiliki hubungan
dengan situasi tertentu seperti lingkungan belajar di sekolah dan
ketidakmampuan untuk melakukan pekerjaan dengan sempurna dan kegagalan untuk
mencapai apa yang diinginkan. Masalah-masalah siswa melakukan hal-hal seperti
beradu fisik dengan guru, memfitnah dan menyakiti guru, menarik para peneliti
untuk melihat fenomena tersebut dihubungkan dengan situasi stress di kalangan
remaja.
Adams (Kamaruddin, 1997:23) menyatakan masalah
terbesar di kalangan remaja (siswa) adalah hal-hal yang berhubungan dengan
sekolah mereka. Selain itu, masalah umum pada siswa perempuan yaitu harus
berurusan dengan komunikasi dan masalah keluarga. Untuk siswa laki-laki,
masalah umum yang dialami yaitu masalah dengan terlibat dalam olahraga,
rekreasi dan juga keuangan. Banyak tanggung jawab dan tekanan yang menyebabkan
stress pada remaja seperti kebutuhan untuk mencapai nilai akademik yang baik,
pembentukan karakter, sikap dan juga selain berusaha untuk memahami dengan
kebutuhan pribadinya.
Menurut Lazarus (1976) stres adalah suatu keadaan psikologis
individu yang disebabkan kerena individu dihadapkan pada situasi internal dan
eksternal, merupakan bentuk interaksi antara individu dengan lingkungannya,
yang dinilai individu sebagai sesuatu yang membebani atau melampaui kemampuan
yang dimilikinya, serta mengancam kesejahteraannya.
Atkinson dkk
(2010:354) menjelaskan stress merupakan reaksi emosional sebagai salah satu
hasil dari gangguan kognitif yang cukup berat jika berhadapan dengan stressor
yang serius, sehingga berpengaruh pada konsentrasi dan mengorganisasikan
pikiran secara logis.
Selye (Hawari,
2008:17) menyatakan bahwa “Stress adalah respon tubuh yang sifatnya non
spesifik terhadap setiap tuntutan beban atas dirinya”. Sedangkan menurut Korchin (1976) keadaan stres muncul
apabila tuntutan-tuntutan yang luar biasa atau terlalu banyak mengancam
kesejahteraan atau integritas seseorang.
Berdasarkan dari definisi diatas, maka dapat disimpulkan bahwa
stres merupakan suatu kondisi pada individu yang tidak menyenangkan dimana dari
hal tersebut dapat menyebabkan terjadinya tekanan fisik maupun psikologis pada
individu. Kondisi yang dirasakan tidak menyenangkan itu disebabkan karena
adanya tuntutan-tuntutan dari lingkungan yang dipersepsikan oleh individu
sebagai sesuatu yang melebih kemampuan nya atau sumber daya yang dimilikinya,
karena dirasa membebani dan merupakan suatu ancaman bagi kesejahteraannya.
keadaan atau situasi dan peristiwa yang dirasakan mengancam
atau membahayakan yang menghasilkan perasaan tegang disebut sebagai stressor. Atau stimulus yang dapat membuat stress.
2. Stressor
Peristiwa atau keadaan yang menantang secara fisik
atau psikologis disebut juga dengan stressor. (Sarafino, 2008)
Menurut Lazarus & Folkman (dalam Morgan, 1987)
kondisi fisik lingkungan dan sosial yang merupakan penyebab dari kondisi stres
disebut dengan stressor.
Morris (1990) mengklasifikasikan stressor ke dalam
lima kategori, yaitu:
a)
Frustasi (Frustration)
terjadi ketika kebutuhan pribadi terhalangi dan seseorang gagal dalam mencapai
tujuan yang diinginkannya. frustrasi dapat terjadi sebagai akibat dari
keterlambatan, kegagalan, kehilangan, kurangnya sumber daya, atau diskriminasi.
b) Konflik (Conflicts),
jenis sumber stres yang kedua ini hadir ketika pengalaman seseorang dihadapi oleh dua atau lebih motif
secara bersamaan. Morris (1990) mengidentifikasi empat jenis konflik yaitu,: approach-approach, avoidence-avoidence,
approach-avoidence, dan multiple approach-avoidance conflict.
c)
Tekanan (Pressure), jenis dari sumber stress yang
ketiga yang diakui oleh Morris, tekanan didefinisikan sebagai stimulus yang
menempatkan individu dalam posisi untuk mempercepat, meningkatkan kinerjanya,
atau mengubah perilakunya.
d)
Mengidentifikasi
perubahan (Changes), tipe sumber
stres yang keempat ini seperti hal nya yang ada di seluruh tahap kehidupan,
tetapi tidak dianggap penuh tekanan sampai mengganggu kehidupan seseorang baik
secara positif maupun negative.
e)
Self-Imposed merupakan sumber stres yang berasal
dalam sistem keyakinan pribadi pada seseorang, bukan dari lingkungan. Ini akan
dialami oleh seseorang ketika ada tidaknya stres eksternal yang nyata.
Morris (1990) juga mengidentifikasikan empat
reaksi terhadap stres:
Reaksi dari fisiologis terhadap stres menekankan hubungan antara pikiran
dan fisik.
a)
Reaksi dari emosional yang diamati dalam reaksi
emosional terhadap stres ini adalah melalui emosi seperti rasa ketakutan,
kecemasan, rasa bersalah, kesedihan, depresi, atau kesepian.
b)
Reaksi dari kognitif mengacu pada pengalaman
individu terhadap stres dan penilaian kognitif yang terjadi dengan penilaiannya
mengenai peristiwa stres dan kemudian apa strategi coping yang mungkin paling
tepat untuk mengelola stres.
c)
Reaksi dari
perilaku yang berkaitan dengan reaksi emosional seseorang terhadap stres yang
dapat memberikan reaksi menangis, menjadi kasar kepada orang lain atau diri
sendiri dan, penggunaan mekanisme pertahanan seperti rasionalisasi.
Hawari
(2008:44) membagi stressor menjadi dua bagian yaitu stressor psikososioal dan
stressor traumatik.
a)
Stressor psikososial adalah setiap keadaan
atau peristiwa yang menyebabkan perubahan dalam kehidupan seseorang sehingga
orang tersebut terpaksa mengadakan adaptasi atau penyesuaian diri untuk
menanggulanginya. Stressor psikososial tersebut meliputi perkawinan, orang tua,
antar pribadi, pekerjaan, lingkungan, keuangan, hukum, perkembangan, penyakit
fisik, faktor keluarga dan trauma.
b)
Stressor traumatik yaitu stressor psikososial
yang berdampak pada trauma mental yang dapat berlangsung selama hayat bila
tidak segera diobati (seumur hidup). Yang termasuk stressor traumatik antara
lain kerusuhan bernuansa SARA, pengungsian, demo anarkis, huru-hara,
penculikan, penyanderaan, kekerasan, peperangan, kriminalitas, perkosaan,
kecelakaan, dan bencana alam.
Pendapat lain dari Goliszek (2005:114) yang
membagi stressor menjadi tiga yaitu peristiwa yang dialami orang tua, peristiwa
yang dialami keluarga dan peristiwa yang dialami individu.
a) Peristiwa
yang dialami orang tua antara lain kematian orang tua, perpisahan orang tua,
orang tua pemabuk atau pemakai obat terlarang, orang tua yang baru saja terkena
PHK, proses perdamaian orang tua yang tadinya berpisah, orang tua yang menikah
lagi dan orang tua yang ditahan atau dipenjarakan.
b) Peristiwa
yang dialami keluarga antara lain meninggalnya salah satu anggota keluarga,
berpisah dengan orang tua dalam waktu lama, anggota keluarga menderita sakit
parah, lahirnya saudara kandung, bertambahnya orang di dalam rumah, kematian
hewan peliharaan, berpindah rumah atau tempat tinggal, kurangnya perhatian dari
orang tua dan keluarga mengalami masalah keuangan.
c) Peristiwa
yang dialami anak yang dapat menjadi stressor adalah menderita sakit fisik atau
cacat, perlakuan tidak senonoh secara seksual atau dieksploitasi secara seksual
oleh orang yang lebih tua, perlakuan kasar secara fisik, termasuk hukuman
fisik, memulai dan mengakhiri masa sekolah atau bekerja.
3. Sumber-sumber Stres
Sumber stres dapat berubah-ubah seiring dengan berkembangnya individu sumber
stress punakan bervariasi, tetapi kondisi stres dapat terjadi setiap saat
selama hidup berlangsung. Menurut Sarafino (2008) sumber datangnya stres ada
tiga yaitu:
a. Diri Individu
Stress
dapat bersumber pada orang yang mengalami stress lewat penyakit (ilnes) dan pertentangan (conflict). Dalam hal ini menderita
penyakit, membawa tuntutan fisik dan psikologis pada orang yang menderitanya.
Tinggi-rendah dan berat-ringannya tuntutan tergantung dari macam penyakit dan
usia orang yang menderita. Penyakit ringan umumnya mendatangkan stress yang
ringan. Tetapi penyakit yang berat mengakibatkan kadar stress yang berat. Pada
usia muda, daya tahan tubuh terhadap penyakit lebih kuat dari pada usia lanjut.
Maka terhadap penyakit yang sama, rasa stress pada usia muda dan usia lanjut
berdeda.
Penyebab
stress yang berasal dari dalam diri orang yang mengalami stress dapat juga
disebabkan oleh adanya pertentangan batin (conflict).
Pertentangan batin terjadi karena ada dua kekuatan motivasi yang berbeda,
bahkan berlawanan. Berhadapan dengan dua dorongan itu dan memilih diantara
keduanya dapat menjadikan orang stress.
Hal ini
berkaitan dengan adanya
konflik. Menurut Miller
dalam Sarafino (2008), pendorong dan penarik dari konflik
menghasilkan dua kecenderungan yang berkebalikan, yaitu approach dan avoidance.
b. Keluarga
Sarafino (2008)
menjelaskan bahwa perilaku,
kebutuhan, dan kepribadian
dari setiap anggota keluarga berdampak pada interaksi dengan orang-orang
dari anggota lain dalam keluarga yang kadang-kadang menghasilkan stres. Menurut
Sarafino (2008) faktor dari keluarga yang
cenderung memungkinkan munculnya stres adalah
hadirnya anggota baru, perceraian
dan adanya keluarga yang sakit, cacat, dan kematian
c. Komunitas dan masyarakat
Keluarga
merupakan kesatuan inti dalam masyarakat, dapat menjadi sumber stress
tersendiri. Meskipun jumlahnya terbatas, setiap anggota keluarga memiliki
perilaku, kebutuhan dan kepribadian yang berbeda-beda. Perilaku yang tidak
mengenakkan, watak, dan sifat-sifat yang tidak dapat dipadukan mengakibatkan
terjadinya konflik antar anggota keluarga. hal-hal yang datang dari hubungan
antar pribadi dan situasi keluarga yang ada, keluarga dapat menjadi sumber
stress karena peristiwa–peristiwa yang berkaitan dengan para anggota keluarga
sendiri. Keluarga juga dapat menjadi sumber stress karena ada anggota keluarga
yang sakit dan kematian anggota keluarga dapat membuat stress bagi anggota
keluarga yang lainnya.
1) Faktor penyebab stress dari lingkungan
Ada
dua lingkungan pokok, yaitu lingkungan kerja dan lingkungan hidup sekitar.
Lingkungan kerja dapat menjadi sumber stress karena beberapa alasan, antara
lain tuntutan kerja, rasa kurang memiliki pengendalian, hubungan antar manusia
yang buruk, kurang pengakuan dan peningkatan jenjang karir, serta rasa kurang
aman dalam bekerja. Dalam lingkungan hidup sekitar, sumber stress dapat
diakibatkan karena lingkungan yang penuh polusi, bising, kekurangan tempat
bergerak dan susah untuk menarik udara segar.
Harjana
(1994:26) menyatakan bahwa faktor penyebab stress berasal dari orang yang
terkena stress sendiri (internal sources)
atau diluarnya (eksternal sources) yang dapat berasal dari keluarga dan lingkungan,
baik lingkungan kerja maupun lingkungan sekelilingnya.
Dari berbagai pendapat diatas dapat
disimpulkan bahwa faktor-faktor penyebab stress adalah stress yang berasal dari
diri sendiri antara lain: frustasi, konflik, krisis, dan suatu penyakit yang
diderita oleh individu. Sedangkan stress yang berasal dari lingkungan antara
lain: lingkungan keluarga dan lingkungan tempat tinggal.
4. Jenis Stres
Selye (dalam
Rice, 1992) mengategorikan jenis stres menjadi dua, yaitu:
a. Distres (Stres Negatif)
Seyle (1992)
menyebutkan distres merupakan stres yang bersifat tidak menyenangkan. Stres
dirasakan sebagai suatu keadaan dimana individu mengalami rasa cemas,
ketakutan, khawatir, atau gelisah. Sehingga individu mengalami keadaan
psikologis yang negatif, menyakitkan, atau timbul keinginan untuk
menghindarinya.
b. Eustres (Stres Positif)
Seyle (1992)
menyebutkan bahwa eustres bersifat menyenangkan dan merupakan pengalaman yang
memuaskan. Eustres dapat meningkatkan kewaspadaan, koginisi, dan performansi
individu. Eustres juga dapat meningkatkan motivasi individu untuk menciptakan
sesuatu.
Berdasarkan
penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa jenis stres terbagi menjadi dua, yaitu
distres (stres negatif) dan eustres (stres positif).
5.
Dampak Stres
Stres dapat berpengaruh
pada kesehatan dengan dua cara. Pertama, perubahan yang diakibatkan oleh stres
secara langsung mempengaruhi fisik sistem tubuh yang dapat mempengaruhi
kesehatan. Kedua, secara tidak langsung stres mempengaruhi perilaku individu sehinggga
menyebabkan timbulnya penyakit atau memperburuk kondisi yang sudah ada
(Safarino, 2008).
Kondisi dari stres memiliki dua aspek:
fisik/biologis (melibatkan materi atau tantangan yang menggunakan fisik) dan
psikologis (melibatkan bagaimana individu memandang situasi dalam hidup mereka)
dalam Sarafino, 2008.
a. Aspek Biologis
Ada beberapa gejala fisik
yang dirasakan ketika seseorang sedang mengalami stres, diantaranya adalah
sakit kepala yang berlebihan, tidur menjadi tidak nyenyak, gangguan pencernaan,
hilangnya nafsu makan, gangguan kulit, dan produksi keringat yang berlebihan di
seluruh tubuh (Sarafino, 2008).
b. Aspek Psikologis
Ada 3 gejala psikologis
yang dirasakan ketika seseorang sedang mengalami stres. Ketika gejala tersebut
adalah gejala kognisi, gejala emosi, dan gejala tingkah laku (Sarafino, 2008):
1). Gejala kognisi
Gangguan daya ingat
(menurunnya daya ingat, mudah lupa dengan suatu hal), perhatian dan konsentrasi
yang berkurang sehingga seseorang tidak fokus dalam melakukan suatu hal,
merupakan gejala-gejala yang muncul pada aspek gejala kognisi 2). Gejala emosi
Mudah marah, kecemasan yang
berlebihan terhadap segala sesuatu, merasa sedih dan depresi merupakan
gejala-gejala yang muncul pada aspek gejala emosi
3). Gejala tingkah laku
Tingkah laku negatif yang
muncul ketika seseorang mengalami stres pada aspek gejala tingkah laku adalah
mudah menyalahkan orang lain dan mencari kesalahan orang lain, suka melanggar
norma karena dia tidak bisa mengontrol perbuatannya dan bersikap tak acuh pada
lingkungan, dan suka melakukan penundaan pekerjaan.
Rancangan
Konseling
Kegiatan
konseling untuk mereduksi stress akademik merupakan salah satu tujuan konseling
akademik, yaitu upaya membantu konseli mengatasi kesulitan belajar,
mengembangkan cara belajar yang efektif, membantu mereka supaya sukses dalam
belajar dan agar mampu menyesuaikan diri terhadap semua tuntuntan pendidikan.
(Nurihsan, 2003 21). Tujuan dari
pengembangan program konseling salah satunya adalah untuk membantu siswa agar
memiliki keterampilan belajar dan membantu mereka meraih kesuksesan akademik.
Konseling restrukturisasi kognitif banyak digunakan untuk mengintervensi
gangguan psikologis dan psikopatologi, salah satunya adalah stress akademik,
secara umum intervensi ini melibatkan proses kognitif dan perilaku.
Pendekatanyang berorentasi kognitif-perilaku dikembangkan karena ketidakpuasan
terhadap’ insight-oriented’ dan ‘Behavioral therapies’ pendekatan
kognitif perilaku dapat dipandang sebagai ‘bidirectional
integration’ perspektif terapetik (Agustin, 2010:49)
Asumsi
dasar restrukturisasi kognitif dalam mereduksi stress akademik adalah proses
kognitif berperan penting dalam perilaku dan perilaku dikendalikan oleh
inteaksi yang kompleks antara peristiwa internal dan kekuatan lingkungan.
Konseling restrukturisasi kognitif memiliki karakteristik sebagai berikut:
(a) Berdasarkan model kognitif respon
emosional,
(b) Waktu pelksanaannya lebih singkat namun
dampaknya lebih cepat diketahui,
(c) Tidak terlalu mementingkan hubungan
melainkan fokus pada pengajarkan keterampilan menolong diri sendiri,
(d) Merupakan upaya kolaboratif antara
konseli dengan konselor,
(e) Berdasarkan filsafat bersika[ tenang dalam menghadapi
masalah,
(f) Menggunakan metode tanya-jawab,
(g) Bersifat terstruktur dan direktif,
(h) Berdasarkan model pendidikan,
(i) Menggunakan model belajar induktif
(j) Menggunakan metode homework
sebagai strategi kunci.
Sejarah Teknik
Restrukturisasi Kognitif
Sejarah teknik konseling
restrukturisasi kognitif tidak dapat
dilepaskan dari perkembangan teori perilaku dan teori beberapa model kognitif, restrukturisasi kognitif merupakan alternatif teknik dari
konseling kognitif behavioral yang telah di kembangkan oleh beberapa ahli
kognitif behavioral, seperti Michael Mahoney dan Donald Meichenbaum.
Konseling kognitif behavioral merupakan
salah satu dari sekian banyak pendekatan dalam terapi dalam konseling.
Pendekatan tersebut beragam ada yang berorientasi pada pendekatan psikodinamis,
behavioristik, humanistik, dan pendekatan yang berorientasi pada budaya. Namun
setiap pendekatan memiliki kelebihan dan kekurangannya sendiri. Mahoney &
Arnkoff (2003) membagi teknik kongseling kognitif-perilaku ke dalam tiga
kategori, yaitu: (a) restrukturisasi kognitif; mencakup terapi emotif-rasional,
pengajaran diri, dan terapi kognitif, (b) terapi keterampilan menangani
situasi; meliputi pemodelan, tertutup, latihan pengelolaan kecemasan, dan
suntikan stress, dan (c) terapi pemecahan masalah; meliputi pemecahan masalah behavioral
dan science personal.
Restrukturisasi kognitif merupakan
salah satu teknik yang dipandang oleh beberapa ahli sebagai teknik yang lebih
integratif dan merupakan teknik yang memiliki pengaruh dari pendekatan cognitive therapy dan behavioral therapy. Bush (2003)
mengungkapkan bahwa konseling kognitif-perilaku merupakan perpaduan dari dua
pendekatan dalam psikoterapi yaitu cognitivetherapy dan behavior
therapy. Terapi kognitif memfokuskan pada pikiran, asumsi dan kepercayaan.
Terapi kognitif memfasilitasi individu belajar mengenali dan mengubah
kesalahan.
Teori restrukturisasi kognitif (Oemarjoedi, 2003:6) pada dasarnya meyakini
pola pemikiran manusia terbentuk melalui proses Stimulus-Kognisi-Respon (SKR),
yang saling berkaitan dan membentuk semacam jaringan SKR dalam otak manusia, di
mana proses kognitif menjadi faktor penentu dalam menjelaskan bagaimana manusia
berpikir, merasa dan bertindak. restrukturisasi kognitif dikarakterisasikan kadalam tiga asumsi
mendasar, pertama seseorang dianggap sebagai active knower, yang secara
sengaja melibatkan diri dalam memahami dirinya. Kedua, bahasa berfungsi sebagai
wadah utama tempat seseorang merestrukturisasi pemahamanya tentang dunia. Oleh
karena itu para terapis secara khusus tertarik kepada produk bahasa seperti
cerita dan metafora yang bisa dilihat sebagai cara untuk menstrukturkan pengalaman.
Ketiga, adanya dimensi perkembangan dalam kapasitas manusia untuk
mengkonstruksi dunia mereka (Mc Leod,2006).
Dobson
(2010:41) mendefinisikan “konseling kognitif perilaku sebagai pendekatan
konseling yang menyatakan kognisi menengahi perilaku dan reaksi emosi terhadap
lingkungan dan menentukan tingkat penyesuaian individu”. Teknik restrukturisasi
kognitif merupakan salah satu teknik dalam konseling perilaku yang berfokus
pada aspek kognitif membantu seseorang dalam memahami lebih baik masalahnya (Neenan
& Dryden, 2004:78).
Menurut McKay dan Fanning (2000), proses
restrukturisasi kognitif dapat dilakukan dengan cara mengidentifikasi kesalahan
berfikir yang berupa kritik diri. Kemudian dilanjutkan dengan menata ulang
pikiran seseorang dengan menyangkal kritik diri tersebut. Yahav dan Cohen
(2008) mengungkapkan bahwa perilaku atau emosi seseorang yang maladaptif
dipengaruhi oleh proses berfikir yang salah. Pikiran ini yang membuat individu
kesulitan menghadapi situasi tertentu sehingga perilakunya menjadi mudah
menyerah, ragu-ragu, dan tidak berdaya untuk menghadapi masalah seorang diri.
Mckay dan Fanning (2000) menjelaskan adanya pikiran negative berupa kritik
dalam diri membuat individu mudah mengingat kegagalannya daripada keberhasilan
atau kelebihan yang dimilkinya. Individu juga mudah menyalahkan diri atas
sebuah kesalahan yang terjadi serta membandingkan kemampuan atau prestasi diri
dengan orang lain. Pikiran negatif sulit diketahui karena pikiran tersebut erat
dengan cara seseorang memandang suatu realitas. Bila individu tersebut berpikir
negatif maka pikiran tersebut dapat mengontrol pikiran individu sehingga
konsekuensinya individu akan merasa cemas, takut, tidak aman, dan sulit
menghadapi permasalahannya.
Restrukturisasi
kognitif digunakan dalam mereduksi stres akademik siswa memfokuskan pada
kognitif yang menyimpang akibat ketidak mampuan menerima dirinya yang dapat
merugikan baik secara fisik maupun psikisnya. Asumsi primer dari
restrukturisasi kognitif adalah bahwa kemungkinan besar seseorang mengatasi
kesulitan emosional dan periakunya, dengan mengubah keyakinan-keyakinan yang
menciptakan dan memelihara emosi dan perilaku itu (Froggatt Wayne, 2003:21)
restrukturisasi kognitif ini diarahkan kepada modifikasi fungsi berpikir,
merasa dan bertindak, serta memutuskan kembali. Hingga diharapkan mampu
membantu siswa mereduksi perilaku yang tidak diharapkan..atau menghadapi
ketakutan untuk akhirnya menemukan bahwa seseorang dapat mengatasinya juga
meningkatkan toleransi terhadap ketidaknyamanan dengan pemanjaan diri secara
terkendali.
Langkah-langkah
terapi:
Meichenbaum
mengusulkan bahwa perubahan perilaku terjadi melalui suatu urutan proses
menengahi yang meliputi interaksi kata-kata internal, struktur kognitif, dan
perilaku serta resultant dari hasil akhirnya ada tiga aspek yang perlu dirubah
yaitu
a. Fase Observasi diri
Langkah awal dalam proses perubahan itu
sendiri dari konseli yang belajar cara mengamati perilaku mereka sendiri. Pada
saat mengawali terapi, ciri dari dialog internal konseli adalah pernyataan
serta imajinasi negatif tentang diri mereka sendiri sehingga konseli menyadari
bahwa ia bukanlah korban dari perasaan negatif, melainkan sebenarnya konseli
juga ikut andil dalam menciptakan pandangan-pandangan negatif terhadap dirinya
tersebut melalui apa yang ia katakan pada dirinya sendiri. Dengan harapan
konseli mendapatkan struktur kognitif baru yang memungkinkan mereka untuk bisa
melihat masalah dengan cara pandang baru.
b. Memulai Dialog Internal yang Baru
Setelah konseli mengetahui adanya perilaku
malladaptif pada dirinya, sehingga konseli dapat melihat dan menggunakan alternative perilaku adaptif
yang akan membawa pada perubahan behavioral, kognitif dan afektifnya. Konseli
diajarkan untuk mengubah dialog internal mereka dengan dialog yang dapat
menunjukan perilaku baru, sehingga terjadi perubahan pada struktur kognitif
konseli.
c. Mempelajari Keterampilan Baru
Fase
ini konseli dibimbing untuk memiliki keterampilan dalam menangani masalah agar
lebih efektif, yang dapat dipraktekan dalam kehidupan nyata contoh konseli
dengan masalah perilaku tidak sehat. Restrukturisasi kognitif dapat membantu
dalam mengubah pandangan negatif konseli mengenai perilaku tidak sehatnya
sehingga konseli lebih dapat mereduksi
perilaku tidak sehat DOualnya. Pada saat yang bersamaan konseli harus
memfokuskan pada penggunaan gaya kalimat baru terhadap dirinya sendiri dan
terus menghadapi serta mengevaluasi hasilnya. Sehingga konseli dapat berprilaku
sesuai apa yang dia pikirkan dan melakukan perilaku yang sehat.
Tahapan Teknik Konseling Restrukturisasi Kognitif
Pendekatan
konseling restrukturisasi kognitif diawali dengan asesmen perilaku. khususnya
mengenai proses kognitif. Asesmen tidak hanya untuk perilaku yang tampak tetapi
juga perilaku emosional dan kognitif, seperti imajinasi, atribusi, keyakinan,
harapan, dan pernyataan diri. Tujuan wawancara perilaku adalah untuk
mengidentiflkasi target perilaku dan mengendalikan variabel merancang strategi
intervensi yang tepat (Bond et ai, 2004). Menurut Laidlaw et al (2003),
fokus asesmen adalah menentukan determinan perilaku dan apa yang dirasakan,
dipikirkan, dan dilakukan klien dalam situasi khusus.
Tahapan-tahapan
dari teknik restrukturisasi kognitif yang digunakan untuk mereduksi stress
adalah :
a. Tahapan pertama : Assesmen
dan Diagnosa.
Langkah pertama yang dilakukan yaitu
mendiagnosa masalah yang dialami oleh siswa. Tujuannya adalah untuk memperoleh
informasi awal mengenai stres akademik yang dialami. Pada tahap ini konselor
mencoba memperoleh informasi tentang
kondisi siswa. Selain itu juga pada tahap ini konselor memberikan motivasi
kepada siswa untuk melakukan perubahan sehingga diharapkan munculnya komitmen
untuk melakukan setiap sesi konseling dengan baik.
b.Tahap kedua : Memonitor pikiran dan
perasaan.
Tahap selanjutnya yaitu memonitor pola pikir
dan perasaan siswa saat menghadapi berbagai situasi, Dalam tahap ini konselor
memfasilitasi siswa untuk belajar mengenali dan memahami pikiran dan perasaan
diri sendiri, terutama dalam aspek kognitif, mengubah cara pandang melalui
pikirannya, serta memberikan ide untuk mengubah cara pandang yang kurang tepat.
Kemudian mengajarkan siswa untuk berfikir tentang hal-hal yang menyebabkan
terjadinya stres akademik.
c.Tahap ketiga : Decatastrophizing.
Setelah
konselor mengetahui pikiran, perasaan dan verbalisasi salah siswa dari sesi
konseling sebelumnya, maka pada sesi ini konselor
memberikan stimulus kepada siswa agar dapat mengevaluasi situasi akademik yang
dipikir memberatkan dengan memberikan alternative dari pikiran negatif yang
muncul dengan alternatif pikiran yang positif yang lebih baik, dan membimbing
siswa pada pola pikir yang dapat mereduksi perilaku tidak sehat, DO,
siswa diberikan penjelasan berdasarkan pengalaman yang dialami siswa. Dengan
begitu siswa memahami pengalaman dan
dapat mengubah hubungan yang salah antara situasi permasalahan dengan kebiasaan
mereaksi permasalahan.
d.Tahap keempat : Reframing .
Reframing adalah strategi yang memodifikasi atau merubah persepsi
konseli dari situasi atau perilaku yang ada dengan melihat dari perspektif yang
berbeda.Pada sesi ini, siswa diajak untuk melakukan pembelajaran atau
pengkondisian serta membuktikan pengalamannya. Contoh bagi siswa yang selalu
merasa dirinya tidak mampu untuk mereduksi perilaku stresnya, dapat dilatih
untuk terbiasa menghadapi dan meyakinkan dirinya bahwa ia memiliki kemampuan
untuk tidak melakukan perilaku negatif tersebut kembali. Intervensi tingkah
laku dalam mereduksi stres akademik akan membantu siswa membangun hubungan
situasi permasalahan dengan kebiasaan mereaksi permasalahan. Siswa belajar
mengubah perilaku, menenangkan pikiran dan tubuh sehingga merasa lebih baik,
berfikir lebih jelas dan membantu membuat keputusan.
e.Tahap kelima :
Berhenti berfikir.
Teknik
ini digunakan pada saat disfungsi pemikiran siswa mulai muncul kembali. Pertama
kali saat siswa mengidentifikasi pikiran tentang masalah dan membicarakan
masalah (melalui imajinasi) konselor akan berkata STOP setelah itu konseli
dilatih untuk dapat menghentikan pikiran negatifnya.
Tahapan
dalam melaksakan teknik restrukturisasi kognitif (Dobson & Dryden,
2009:117-127):
a.
Tahapan identifikasi pikiran-pikiran negatif
Sebelum
konseli diberikan bantuan untuk merubah pikiran-pikiran yang mengalami
distorsi, terlebih dahulu konselor perlu membantu konseli untuk menyadari
pikiran-pikiran negative yang konseli miliki dan memberitahukan secara langsung
kepada konselor. Pada tingkatan umum, konseli didorong untuk kembali pada
pengalaman dan melakukan refleksi pengalaman-pengalaman yang sudah
dilalui.
b.
Tahapan metode pengumpulan pikiran-pikiran
negative
Pada praktisi Beck
pada tahun 1979; Dobson&Dobson pada tahun 2009 mengatakan bahwa konseling
kognitif perilaku menggunakan Dysfunction
Thought Record. Penggunaan Dysfunction
Though Record dianggap dapat mendefinisikan karakteristik asesmen kognitif
konseli. Ditahap awal konseling, konseli diminta untuk membawa buku catatan
kecil untuk menuliskan tigas pekerjaan rumah, hal-hal yang berhubungan dengan
perlakuan dalam konseling, dan mencatat pikiran-pikiran negatif (Fadhilah,
2013:37).
c.
Tahapan intervensi pikiran-pikiran negatif
Menurut Dobson & Dobson
(2009:127) menyatakan bahwa langkah intervensi pikiran-pikiran negatif
diberikan kepada konseli apabila konselor sudah mendapatkan banyak informasi
mengenai pikiran-pikiran negatif konseli itu sendiri. Beberapa hal mengenai
pikiran-pikiran negative yang meliputi hal-hal, yaitu:
1)
Menemukan pikiran-pikiran negatif yang berhubungan dengan reaksi emosi yang
kuat
2)
Menemukan pikiran-pikiran yang berkaitan
dengan pola respon perilaku yang kuat
3)
Menemukan pikiran-pikiran yang memiliki
tingkatan keyakinan yang tinggi
4)
Menemukan pikiran-pikiran yang berulang
karena pikiran-pikiran yang dikemukakan berulang-ulang menunjukkan pola
berpikir konseli.
Proses Konseling
Restrukturisasi Kognitif
Menurut teori cognitive
behavioral therapy yang dikemukakan oleh Aaron T. Beck (Oemarjoedi, 2003),
konseling CBT trmasuk didalamnya teknik restrukturisasi kognitif memerlukan
sedikitnya 12 sesi pertemuan. Setiap langkah disusun secara sistematis dan
terencana.
Proses Konseling Restrukturisasi Kognitif
No
|
Proses
|
Sesi
|
1
|
Assesmen dan
Diagnosis
|
1-2
|
2
|
Pendekatan
Kognitif
|
2-3
|
3
|
Formulasi
Status
|
3-5
|
4
|
Fokus Terapi
|
4-10
|
5
|
Intervensi
Tingkah Laku
|
5-7
|
6
|
Perubahan core beliefs
|
8-11
|
7
|
Pencegahan
|
11-12
|
Melihat kultur yang ada di Indonesia,
penerapan sesi yang berjumlah 12 sesi pertemuan dirasakan sulit untuk
dilakukan. Oemarjoedi (2003) mengungkapkan beberapa alasan tersebut berdasarkan
pengalaman berikut ini.
a. Terlalu lama, sementara siswa mengharapkan hasil yang
dapat segera dirasakan manfaatnya.
b. Terlalu rumit, di mana mahasiswa yang mengalami gangguan
umumnya datang dan berkonsultasi dalam kondisi pikiran yang sudah begitu berat,
sehingga tidak mampu lagi mengikuti program terapi yang merepotkan, atau karena
kapasitas intelegensi dan emosinya yang terbatas.
c. Membosankan, karena kemajuan dan perkembangan konseling
menjadi sedikit demi sedikit.
d. Menurunnya keyakinan mahasiswa akan kemampuan
konselornya, antara lain karena alasan-alasan yangtelah disebutkan di atas,
yang dapat berakibat pada kegagalan terapi.
Berdasarkan beberapa alasan di atas,
penerapan terapi kognitif-perilaku di Indonesia seringkali mengalami hambatan,
sehingga memerlukan penyesuaian yang lebih
fleksibel. Jumlah pertemuan terapi yang tadinya memerlukan 12 sesi bisa saja
diefisiensikan menjadi kurangdari 12 sesi. Oemarjoedi (2003) mengungkapkan
efisiensi konseling bisa dilakukan hingga menjadi 5 sesi. Efisiensi terapi
menjadi 5 sesi diharapkan dapat memberikan bayangan yang lebih jelas dan
mengundang kreativitas yang lebih tinggi. Berikut disajikan tahapan konseling
yang diungkapkan oleh Oemarjoedi (2003 : 24-26).
Proses Konseling Kognitif-Perilaku
yang telah Disesuaikan dengan Budaya Indonesia
NO
|
Proses
|
Sesi
|
1
|
Assesmen dan Diagnosis
|
1
|
2
|
Mencari emosi negatif pikiran otomatis dan keyakinan
utama yang berhubungan dengan
gangguan
|
2
|
3
|
Menyususn rencana intervensi
dengan memberikan
konsekuensi positif-negatif kepada siswa
|
3
|
4
|
Formulasi status, fokus terapi,
intervensi tingkah laku
|
4
|
5
|
Pencegahan
|
5
|
Tujuan Teknik
Konseling Restrukturisasi Kognitif dalam Mereduksi Stress Siswa
Tujuan dari teknik konseling restrukturisasi
kognitif yaitu mengajak konseli untuk menentang pikiran dan emosi yang salah
dengan menampilkan bukti-bukti yang bertentangan dengan keyakinan mereka
tentang masalah yang dihadapi. Konselor diharapkan mampu menolong konseli untuk
mencari keyakinan yang sifatnya dogmatis dalam diri konseli dan secara kuat
mencoba menguranginya.
Dalam proses konseling, beberapa ahli cognitive
behavioral therapy (NACBT, 2007; Oemarjoedi, 2003) berasumsi bahwa
masa lalu tidak perlu menjadi fokus penting dalam konseling. Oleh sebab itu
dalam pelaksanaan konseling lebih menekankan kepada masa kini dari pada masa
lalu, akan tetapi bukan berarti mengabaikan masa lalu. Namun tetap menghargai
masa lalu sebagai bagian dari hidup konseli dan mencoba membuat konseli
menerima masa lalunya, untuk tetap melakukan perubahan pada pola pikir masa
kini untuk mencapai perubahan di waktu yang akan datang. Oleh sebab itu, teknik
konseling restrukturisasi kognitif lebih banyak bekerja pada status kognitif
saat ini untuk dirubah dari status kognitif negatif menjadi status kognitif
positif.
Secara
umum, tujuan program intervensi Teknik Konseling Restrukturisasi Kognitif
menurut Monintja (2008) adalah
1. Membantu konseli untuk mengoreksi self-beliefs yang salah atau menyimpang
yang mengakibatkan cara berpikir tidak rasional, yang selanjutnya menimbulkan
gangguan psikologis dengan cara berpikir yang lebih rasional untuk mengatasi
gangguan-gangguan tersebut
2. Membantu konseli mengatasi problem
psikologis (yang umumnya dimanifestasikan dalam bentuk emosional) yang
mengganggu keberfungsian social dan individu.
Mengacu
pada konsep diatas maka tujuan umum penggunaan teknik restrukturisasi kognitif
dalam penelitian ini adalah mereduksi stress
akademik siswa. Secara khusus, tujuan
program intervensi teknik konseling restrukturisasi kognitif adalah untuk
memfasilitasi siswa agar mampu:
a.
Memperbaiki
dan merubah sikap, persepsi, cara berpikir, keyakinan serta
pandangan-pandangannya yang negatif dan tidak logis menjadi lebih positif agar
dapat mengembangkan diri dan meningkatkan pengelolaan stress akademik siswa.
b.
Mengidentifikasi
masalah emosi dan perilaku mereka serta untuk mengatasi masalah-masalah
berkaitan dengan pekiran-pikiran yang memiliki tingkat keyakianan yang tinggi
mengenai stress akademik siswa
c.
Menghilangkan
gangguan-gangguan emosional yang merusak diri sendiri berkaitan dengan
pikiran-pikiran negatif yang dapat meningkatkan stress akademik siswa.
d.
Mengidentifikasi
dan mengatasi pikiran-pikiran negatif yang dapat meningkatkan stress
akademiknya.
e.
Mengembangkan keterampilan menjadi konselor untuk dirinya sendiri
dalam mengelola stress akademik.
Asumsi
Dasar Teknik Konseling Restrukturisasi Kognitif
Beberapa
asumsi yang melandasi intervensi Teknik Konseling Restrukturisasi Kognitif yang
bertujuan mereduksi stres siswa
antara lain:
1)
Selama
masa remaja tuntutan terhadap prestasi dan tugas-tugas akademik sangat besar dan jika tidak direspon secara
tepat bisa menimbulkan dampak yang tidak menguntungkan bagi perkembangan
psikologis remaja di masa mendatang. Kondisi tersebut terjadi karena dapat
menyelesaikan permasalahan akademik merupakan salah satu tugas perkembangan
pada masa remaja.
2)
Ditinjau
dari faktor kognisi, pada masa remaja, individu mulai memasuki tahap
perkembangan kognitif pada level tertinggi, yaitu operasional formal. Pada
tahap operasional formal, remaja diharapkan mampu mengintegrasikan pengalaman-pengalaman
masa lalu dengan tantangan di masa kini dan mendatang, serta mampu membuat
rencana untuk masa depan. Kemampuan-kemampuan tersebut dapat tercermin pada
kemampuan remaja untuk mengelola stresnya.
3)
Layanan
konseling dalam program bimbingan dan konseling memiliki peran penting untuk
membantu siswa mengatasi berbagai masalah yang dialaminya. Kegiatan konseling
memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan eksplorasi hingga
memunculkan pemahaman atas masalah yang dialaminya.
4)
yang
berasal dari konsep Teknik Konseling Restrukturisasi Kognitif merupakan salah
satu teknik yang mengintegrasikan aspek kognitif, afeksi, serta behavioural.
5)
Integrasi
ketiga aspek penting (kognitif, afeksi, serta behavioral) yang terkait
dengan masalah stres siswa membuat Teknik Konseling Restrukturisasi Kognitif
dapat mendekati masalah secara menyeluruh dan memberikan dampak positif yang
signifikan.
Tujuan
Intervensi
Secara
umum, tujuan program intervensi Teknik Konseling Restrukturisasi Kognitif
adalah mereduksi stres siswa. Secara khusus, tujuan
program intervensi Teknik Konseling Restrukturisasi Kognitif adalah untuk
memfasilitasi siswa agar mampu:
1) Memperbaiki dan merubah sikap, persepsi, cara berpikir,
keyakinan serta pandangan-pandangannya yang negatif dan tidak logis menjadi
lebih positif agar dapat mengembangkan diri dan meningkatkan pengelolaan stres
siswa.
2) Mengidentifikasi
masalah emosi dan perilaku mereka serta untuk mengatasi masalah-masalah
berkaitan dengan pekiran-pikiran yang memiliki tingkat keyakianan yang tinggi
mengenai stres siswa
3) Menghilangkan
gangguan-gangguan emosional yang merusak diri sendiri berkaitan dengan
pikiran-pikiran negatif yang dapat meningkatkan stres siswa.
4) Mengidentifikasi dan mengatasi pikiran-pikiran negatif yang
dapat meningkatkan stresnya.
5) Mengembangkan keterampilan menjadi konselor untuk dirinya
sendiri dalam mengelola stres.
Kompetensi
Konselor Teknik Restrukturisasi Kognitif
Untuk
mendukung terlaksananya program intervensi Konseling teknik restrukturisasi
kognitif dalam meningkatkan stres siswa, maka konselor diharapkan telah
menguasai seperangkat kompetensi, yang terbagi menjadi dua jenis kriteria,
yaitu:
1) Kriteria Umum Kompetensi Konselor
Kriteria umum kompetensi konselor yang harus dimiliki oleh
konselor diantaranya:
a). Memiliki latar belakang pendidikan minimal S1
Bimbingan dan Konseling, dan atau telah memiliki sertifikat konselor
profesional yang diperoleh dari lembaga penyelenggara pendidikan profesi
konselor.
b).
Memiliki pengetahuan dan keterampilan yang memadai mengenai konsep stres
siswa.
2).
Kriteria Khusus Kompetensi Konselor
Kriteria
khusus kompetensi konselor yang harus dimiliki oleh konselor teknik
restrukturisasi kognitif, diantaranya:
a)
Tertarik
dan termotivasi untuk membantu konseli.
b) Menunjukkan penerimaan tanpa syarat terhadap konseli sebagai
manusia yang tidak lepas dari kesalahan.
c)
Menggunakan
berbagai macam teknik terapeutik dalam proses konseling (eklektisisme) tetapi tetap sejalan dan konsisten dengan teori
teknik restrukturisasi kognitif
d)
Menunjukkan
toleransi terhadap frustrasi yang tinggi ketika konseli tidak mencapai
perubahan secepat yang diharapkan, mengadopsi fokus penyelesaian masalah, tidak
menggunakan sesi konseling untuk kepuasan pribadi atau memenuhi kebutuhan
pribadi, serta tidak under-involved maupun
over-involved dengan konseli.
e)
Menikmati
peran sebagai pengajar yang aktif-direktif.
f)
Setia
terhadap filosofi, ilmu pengetahuan, logika, dan empirisme (juga terhadap
hukum-hukum agama).
g)
Merupakan
guru dan komunikator yang terampil.
h)
Menerima
diri secara tanpa syarat terkait kegagalan terapeutik yang mungkin dilakukan
serta sedapat mungkin meminimalkan kegagalan tersebut di masa yang akan datang
i)
Fokus
terhadap penyelesaian masalah.
j)
Bereksperimen
dan mengambil resiko dalam proses konseling.
k)
Memiliki
selera humor yang baik dan digunakan secara tepat dalam konseling.
l)
Memiliki
energi dan kuat; serta mengaplikasikan teknik restrukturisasi kognitif dengan
cara yang konsisten dengan keilmuan tetapi tetap dalam penyampaian yang
fleksibel dan non-dogmatis.
Peran Konselor Teknik Restrukturisasi
Kognitif
Untuk mencapai tujuan teknik restrukturisasi kognitif, maka
peran konselor adalah sebagai berikut:
1)
Konselor
lebih edukatif-direktif kepada
konseli yaitu dengan banyak memberikan cerita dan penjelasan, khususnya pada
tahap awal.
2)
Mengkonfrontasikan
masalah konseli secara langsung.
3)
Menggunakan
pendekatan yang dapat memberi semangat dan memperbaiki cara berpikir konseli,
kemudian memperbaiki mereka untuk dapat mendidik dirinya sendiri.
4)
Dengan
gigih dan berulang-ulang dalam menekankan bahwa pemikiran negatif itulah yang
menyebabkan hambatan emosional pada konseli.
5)
Menyerukan
konseli menggunakan kemampuan rasional (rational
power) dari pada emosinya.
6)
Menggunakan
pendekatan didaktik dan filosofis.
7)
Menggunakan
humor dan memotivasi sebagai jalan mengkonfrontasikan berpikir secara
irrasional.
Karakteristik
Hubungan
Karakteristik hubungan yang dibangun dalam proses konseling
adalah sebagai berikut
1) Hubungan antara konseli dengan terapis atau konselor
terjalin dengan baik. Hubungan ini bertujuan agar konseling dapat berjalan
dengan baik. Konselor meyakini bahwa sangat penting untuk mendapatkan
kepercayaan dari konseli. Namun, hal ini tidak cukup bila tidak diiringi dengan
keyakinan bahwa konseli dapat belajar mengubah cara pandang atau berpikir
sehingga akhirnya konseli dapat memberikan konseling bagi dirinya sendiri.
2) Restrukturisasi kognitif
merupakan konseling kolaboratif yang dilakukan terapis atau konselor dan
konseli. Konselor harus mampu memahami maksud dan tujuan yang diharapkan
konseli serta membantu konseli dalam mewujudkannya. Peranan konselor yaitu
menjadi pendengar, pengajar, dan pemberi semangat.
3) Restrukturisasi kognitif didasarkan pada filosofi stoic (orang
yang pandai menahan hawa nafsu). tidak menginformasikan bagaimana seharusnya
konseli merasakan sesuatu, tapi menawarkan keuntungan perasaan yang tenang
walaupun dalam keadaan sulit.
4) Restrukturisasi kognitif mengunakan metode sokratik. Terapis
atau konselor ingin memperoleh pemahaman yang baik terhadap hal-hal yang
dipikirkan oleh konseli. Hal ini menyebabkan konselor sering mengajukan
pertanyaan dan memotivasi konseli untuk bertanya dalam hati, seperti “Bagaimana
saya tahu bahwa mereka sedang menertawakan saya?” “Apakah mungkin mereka
menertawakan hal lain”.
5) Restrukturisasi kognitif memiliki program terstruktur dan
terarah. Konselor memiliki agenda khusus untuk setiap sesi atau pertemuan.
memfokuskan pada pemberian bantuan kepada konseli untuk mencapai tujuan yang
telah ditetapkan sebelumnya. Konselor tidak hanya mengajarkan apa yang harus
dilakukan oleh konseli, tetapi bagaimana cara konseli melakukannya.
6) Restrukturisasi kognitif didasarkan pada model pendidikan.
didasarkan atas dukungan secara ilmiah terhadap asumsi tingkah laku dan
emosional yang dipelajari. Oleh sebab itu, tujuan konseling yaitu untuk
membantu konseli belajar meninggalkan reaksi yang tidak dikehendaki dan untuk
belajar sebuah reaksi yang baru. Penekanan bidang pendidikan yang mempunyai nilai
tambah agar bermanfaat untuk hasil tujuan jangka panjang.
7) Restrukturisasi kognitif merupakan teori dan teknik
didasarkan atas metode induktif. Metode induktif mendorong konseli untuk
memperhatikan pemikirannya sebagai sebuah jawaban sementara yang dapat
dipertanyakan dan diuji kebenarannya. Jika jawaban sementaranya salah
(disebabkan oleh informasi baru), maka konseli dapat mengubah pikirannya sesuai
dengan situasi yang sesungguhnya.
8) Tugas rumah merupakan bagian terpenting dari teknik
restrukturisasi kognitif, karena dengan pemberian tugas, konselor
memiliki informasi yang memadai tentang perkembangan konseling yang akan
dijalani konseli. Selain itu, dengan tugas rumah konseli terus melakukan proses
konselingnya walaupun tanpa dibantu konselor. Penugasan rumah inilah yang
membuat restrukturisasi kognitif lebih
cepat dalam proses konselingnya.
Sasaran
Program Intervensi
Sasaran
program intervensi teknik konseling restrukturisasi kognitif adalah mereduksi seluruh indikator stres
siswa. Terdapat aspek stres yang menjadi target intervensi. Populasi yang
menjadi subjek intervensi/konseli dalam restrukturisasi kognitif untuk meningkatkan stres siswa adalah siswa yang
secara khusus yang teridentifikasi mengalami tingkat stres sangat tinggi,
tinggi, sedang, rendah, dan sangat rendah Dengan demikian, diharapkan subjek
intervensi/konseli yang memiliki tingkat stres sangat tinggi, dapat direduksi
stresnya menuju kategori sedang atau bahkan rendah, dan dapat mempertahankan
dan memelihara karakteristik tersebut serta
meningkatkan kualitas dari karakteristik siswa yang dapat mengelola
stresnya dengan baik.
Pelaksanaan
Intervensi
Tahapan-tahapan
dari teknik restrukturisasi kognitif yang digunakan untuk mereduksi stres
adalah :
1) Tahapan pertama : Assesmen
dan Diagnosa.
Langkah pertama yang dilakukan yaitu
mendiagnosa masalah yang dialami oleh siswa. Tujuannya adalah untuk memperoleh
informasi awal mengenai stres akademik yang dialami. Pada tahap ini konselor mencoba memperoleh informasi tentang kondisi siswa.
Selain itu juga pada tahap ini konselor memberikan motivasi kepada siswa untuk
melakukan perubahan sehingga diharapkan munculnya komitmen untuk melakukan
setiap sesi konseling dengan baik.
2) Tahap kedua : Memonitor pikiran dan perasaan.
Tahap selanjutnya yaitu memonitor pola pikir
dan perasaan siswa saat menghadapi berbagai situasi, Dalam tahap ini konselor
memfasilitasi siswa untuk belajar mengenali dan memahami pikiran dan perasaan
diri sendiri, terutama dalam aspek kognitif, mengubah cara pandang melalui
pikirannya, serta memberikan ide untuk mengubah cara pandang yang kurang tepat.
Kemudian mengajarkan siswa untuk berfikir tentang hal-hal yang menyebabkan
terjadinya stres akademik.
3) Tahap ketiga : Decatastrophizing.
Setelah
konselor mengetahui pikiran, perasaan dan verbalisasi salah siswa dari sesi
konseling sebelumnya, maka pada sesi ini konselor
memberikan stimulus kepada siswa agar dapat mengevaluasi situasi akademik yang
dipikir memberatkan dengan memberikan alternative dari pikiran negatif yang
muncul dengan alternatif pikiran yang positif yang lebih baik, dan membimbing
siswa pada pola pikir yang dapat mereduksi perilaku tidak sehat, siswa
diberikan penjelasan berdasarkan pengalaman yang dialami siswa. Dengan begitu
siswa memahami pengalaman dan dapat
mengubah hubungan yang salah antara situasi permasalahan dengan kebiasaan
mereaksi permasalahan.
4) Tahap keempat : Reframing .
Reframing adalah strategi yang memodifikasi atau merubah persepsi
konseli dari situasi atau perilaku yang ada dengan melihat dari perspektif yang
berbeda.Pada sesi ini, siswa diajak untuk melakukan pembelajaran atau
pengkondisian serta membuktikan pengalamannya. Contoh bagi siswa yang selalu
merasa dirinya tidak mampu untuk mereduksi perilaku stresnya, dapat dilatih
untuk terbiasa menghadapi dan meyakinkan dirinya bahwa ia memiliki kemampuan
untuk tidak melakukan perilaku negatif tersebut kembali. Intervensi tingkah
laku dalam mereduksi stres akademik akan membantu siswa membangun hubungan
situasi permasalahan dengan kebiasaan mereaksi permasalahan. Siswa belajar
mengubah perilaku, menenangkan pikiran dan tubuh sehingga merasa lebih baik,
berfikir lebih jelas dan membantu membuat keputusan.
5) Tahap kelima : Berhenti berfikir.
Teknik
ini digunakan pada saat disfungsi pemikiran siswa mulai muncul kembali. Pertama
kali saat siswa mengidentifikasi pikiran tentang masalah dan membicarakan
masalah (melalui imajinasi) konselor akan berkata STOP setelah itu konseli
dilatih untuk dapat menghentikan pikiran negatifnya.
Proses Intervensi
Pelaksanaan
intervensi dilakukan sesuai dengan rancangan intervensi yang telah dibuat.
Pelaksanaan intervensi dilakukan setelah kondisi baseline sudah stabil. Pelaksanaan intervensi dilaksanakan selama 4-6 sesi ,
setiap sesi dilakukan seminggu sekali dengan waktu antara 60-80 menit persesi. Penentuan jadwal intervensi
berdasarkan kesepakatan antara peneliti dan siswa.
Evaluasi
dan Indikator Keberhasilan Program Intervensi
Mengukur
keberhasilan dari keseluruhan program intervensi konseling yang diberikan
kepada konseli, maka dilakukan evaluasi terhadap proses dan hasil konseling.
Indikator
keberhasilan program intervensi konseling ditentukan oleh adanya peningkatan
skor yang dicapai konseli antara ssebelum pemberian perlakuan treatment intervensi konseling.
Sedangkan Indikator keberhasilan setiap sesi intervensi konseling ditentukan
oleh penguasaan konseli terhadap pengetahuan dan keterampilan tertentu seperti
yang dituliskan dalam garis besar isi program intervensi konseling.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar