MEMBANGUN
PERADABAN BANGSA MELALUI PENDIDIKAN
Oleh :
Asep Rohiman
lesmana
1.
Pendidikan
dalam Perspektif Sosial-Budaya, Ekonomi dan Politik
Reformasi pendidikan telah
dilakukan, dan regulasi atas perubahan kebijakan pembangunan pendidikan
nasional telah dimulai. Untuk itu, seluruh kebijakan yang terkait dengan
perubahan, penyempurnaan dan pengembangan program pada semua jalur, jenjang dan
jenis pendidikan harus diarahkan pada upaya untuk memberikan layanan pendidikan
yang bermutu, sesuai dengan standar pendidikan yang telah ditetapkan.
Pembangunan pendidikan nasional
merupakan upaya bersama seluruh komponen pemerintah dan masyarakat yang dilakukan
secara terencana dan sistematis untuk mewujudkan peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan
yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Berdasarkan amanat
UU.No.20 Tahun 2003 pasal l butir 1, pendidikan mempunyai posisi strategis
untuk meningkatkan kualitas, harkat dan martabat setiap warga negara sebagai
bangsa yang bermartabat dan berdaulat. Dalam konteks tersebut pendidikan harus
dilihat sebagai human investment yang mempunyai perspektif
multidimensional baik sosial, budaya, ekonomi dan politik.
Dalam perspektif
sosial-budaya, pendidikan akan melahirkan insan-insan terpelajar yang
mempunyai peranan penting dalam proses transformasi sosial di dalam masyarakat.
Pendidikan menjadi faktor determinan dalam mendorong percepatan mobilitas
vertikal dan horisontal masyarakat yang mengarah pada pembentukan konstruksi
sosial baru. Konstruksi sosial baru ini menurut Anderson & Windham (1982). terdiri
atas lapisan masyarakat kelas menengah terdidik, yang menjadi elemen penting
dalam memperkuat daya rekat sosial (social cohesion).
Sebagaimana
diketahui, bahwa layanan pendidikan berlangsung pata tiga tahapan yaitu
pendidikan untuk anak-anak dalam lingkungan pranata keluarga, pendidikan untuk
anak-anak di lingkungan pranata persekolahan formal, dan pendidikan untuk orang
dewasa di lingkungan pranata masyarakat luas di lingkungan sistem pendidikan
formal. Konsep lingkungan ‘pranata’ sering diidentikan dengan konsep
institusi. Dalam terminologi sosiologi
disebut social institution yang diartikan sebagai an interrelated
system of social roles and norms organized about the satisfaction of an
important social need of function (Theodorson, 1969:206:207, atau dalam
istilah Koentjaraningrat (1974:23-26) pranata sosial tidak hanya terbatas pada
sistem peran dan norma sosial, tetapi mencakup peralatan dan manusia yang
melaksanakan peran-peran disebut.
Kemudian, dikenal pula istilah
lembaga (institusi) yang dianggap sebagai badan atau organisasi yang berfungsi dalam
lapangan kehidupan yang khas, seperti halnya organisasi-organisasi satuan
pendidikan. Lembaga ini pun dapat dipandang sebagai sebuah sistem pranata
sosial. Namun, untuk melihat hubungan timbal balik antara pranata sosial dangan
kehidupan masyarakat tidak sesederhana yang diungkapkan dalam bahasan ini. Hal
yang paling jelas bahwa pendidikan akan melahirkan lapisan masyarakat terdidik
itu menjadi kekuatan perekat yang menautkan unit-unit sosial di dalam
masyarakat: keluarga, komunitas masyarakat, dan organisasi sosial yang kemudian
menjelma dalam bentuk organisasi besar berupa lembaga negara. Dengan demikian,
pendidikan dapat memberikan sumbangan penting pada upaya memantapkan integrasi
sosial untuk terwujudnya integrasi nasional.
Di samping itu, pendidikan juga
merupakan wahana penting dan media yang
efektif untuk mengajarkan norma, mensosialisasikan nilai, dan menanamkan etos
kerja di kalangan warga masyarakat. Pendidikan juga dapat menjadi instrumen
untuk memupuk kepribadian bangsa, memperkuat identitas nasional, dan
memantapkan jati diri bangsa. Bahkan peran pendidikan menjadi lebih penting
ketika arus globalisasi semakin kuat, yang membawa pengaruh nilai-nilai dan
budaya yang seringkali bertentangan dengan nilai-nilai dan kepribadian bangsa
Indonesia. Dalam konteks ini, pendidikan dapat menjadi wahana strategis untuk
membangun kesadaran kolektif (collective conscience) sebagai warga
mengukuhkan ikatan-ikatan sosial, dengan tetap menghargai keragaman budaya,
ras, suku-bangsa, dan agama, sehingga dapat memantapkan keutuhan nasional.
Dalam perspektif ekonomi,
pendidikan merupakan human invesment yang akan menghasilkan
manusia-manusia yang handal untuk menjadi subyek penggerak pembangunan ekonomi
nasional. Dalam pandangan Suryadi (2002) investasi di bidang pembangunan
pendidikan bernilai sangat strategis dalam jangka panjang, sebab
manusia-manusia terdidik akan memberikan kontribusi yang amat besar terhadap
kemajuan pembangunan, termasuk untuk memacu pertumbuhan ekonomi.
Di era global sekarang ini,
berbagai bangsa di dunia telah mengembangkan knowledge-based economy (KBE),
yang mensyaratkan dukungan SDM
berkualitas. Karena itu, pendidikan mutlak diperlukan guna menopang
pengembangan ekonomi berbasis pengetahuan - education for the knowledge
economy (EKE). Dalam konteks ini, satuan pendidikan harus pula berfungsi
sebagai pusat penelitian dan pengembangan (research and development), yang
menghasilkan produk-produk riset unggulan yang mendukung KBE. Pengembangan
ekonomi nasional berbasis pada keunggulan sumber daya alam dan sosial yang
tersedia, ditambah dengan ketersediaan SDM bermutu sangat menentukan kemampuan
bangsa dalam memasuki kompetensi global dan ekonomi pasar bebas, yang menuntut
daya saing tinggi.
Oleh karena itu, pendidikan
harus mampu melahirkan lulusan-lulusan bermutu yang memiliki pengetahuan, menguasai
teknologi, dan mempunyai keterampilan teknis yang memadai. Pendidikan juga
harus dapat menghasilkan tenaga-tenaga profesional yang memiliki kemampuan
kewirausahaan, yang menjadi salah satu pilar utama aktivitas perekonomian
nasional. Bahkan peran pendidikan menjadi sangat penting dan strategis untuk
meningkatkan daya saing nasional dan membangun kemandirian bangsa, yang menjadi
prasyarat mutlak dalam memasuki persaingan antarbangsa di era global.
Dalam perspektif politik,
pendidikan harus mampu mengembangkan kapasitas individu untuk menjadi
warganegara yang baik (good citizens), yang memiliki tingkat kesadaran
yang tinggi terhadap hak, kewajiban dan tanggung jawab dalam kehidupan berbangsa, dan bemegara, pendidikan harus
dapat melahirkan individu yang memiliki visi dan idealisme untuk membangun
kekuatan bersama sebagai bangsa. Menurut Alfred & Carter (1995) bahwa visi
dan idealisme itu haruslah merujuk dan bersumber pada paham ideologi nasional,
yang dianut oleh seluruh komponen bangsa. Dalam jangka panjang, pendidikan
niscaya akan melahirkan lapisan masyarakat terpelajar yang kemudian membentuk critical
mass, yang menjadi elemen pokok dalam upaya membangun masyarakat madani.
Dengan demikian, pendidikan
dalam dimensi yang integratif merupakan usaha seluruh komponen masyarakat dan
bangsa untuk meletakkan landasan sosial, budaya, ekonomi dan politik yang kokoh
bagi terciptanya masyarakat civil society yang demokratis. Dalam dimensi ini pula proses
pembangunan pendidikan dapat bertumpu pada golongan masyarakat kelas terdidik
yang menjadi pilar utama, sehingga
dapat pula menjadi salah satu
tiang penyangga bagi upaya-upaya dalam mewujudkan pembangunan masyarakat dan
bangsa yang dinginkan.
2.
Pembangunan
Manusia dan Tolok Ukur SDM di Indonesia
Aspek manusia dalam pembangunan dewasa
ini, senantiasa menjadi pusat perhatian, sehingga pembangunan manusia (human
development) dirumuskan sebagai perluasan pilihan bagi penduduk (enlarging
the choice of people), yang dapat dilihat sebagai proses upaya ke arah
"perluasan pilihan" dan sekaligus sebagai taraf yang dicapai dari
upaya tersebut (UNDP, 1990). Di antara pilihan tersebut, pilihan yang
terpenting adalah peningkatan derajat kesehatan, kemampuan baca tulis dan
ketrampilan untuk dapat berpatisipasi dalam masyarakat dan kegiatan ekonomi,
dan untuk mempunyai akses terhadap sumber daya yang dibutuhkan agar dapat hidup
secara layak.
Tujuan utama dari pembangunan manusia, yaitu untuk
memperbanyak pilihan-pilihan yang dimiliki manusia, tidak mungkin tercapai
tanpa adanya kebebasan untuk memilih apa yang mereka inginkan dan bagaimana
mereka akan menjalam kehidupan. Manusia harus bebas untuk melakukar, apa yang
menjadi pilihannya di dalam sistem pasar yang berfungsi dengan baik dan mereka
harus memiliki suara yang menentukan dalam membentuk kerangka politik mereka.
Orang yang memiliki kebebasan politik dapat berpartisipasi dalam perencanaan
dan pengambilan keputusan yang dilakukan dalam kerangka aturan-aturan yang
demokratis menuju konsensus dan konsolidasi.
Menurut UNDP (1995), paradigma
pembangunan manusia terdiri dari 4 (ermpat) komponen utama, yaitu: (1) Produktivitas,
masyarakat harus dapat meningkatkan produktivitas mereka dan berpartisipasi
secara penuh dalam proses memperoleh penghasilan dan pekerjaan berupah. Oleh
karena itu, pertumbuhan ekonomi adalah salah satu bagian dari jenis pembangunan
manusia, (2) Ekuitas, masyarakat harus punya akses untuk memperoleh
kesempatan yang adil. Semua hambatan terhadap peluang ekonomi dan politik harus dihapus agar masyarakat
dapat berpartisipasi di dalam dan memperoleh manfaat dari kesempatan-kesempatan
ini, (3) Kesinambungan, akses untuk memperoleh kesempatan harus
dipastikan tidak hanya untuk generasi sekarang tapi jugs generasi yang akan
datang. segala bentuk permodalan fisik, manusia, lingkungan hidup, harus
dilengkapi, (4) Pemberdayaan, pembangunan harus dilakukan oleh
masyarakat dan bukan hanya untuk mereka. Masyarakat harus berpartisipasi penuh
datum mengambil keputusan dan proses-proses yang mempengaruhi kehidupan mereka.
Kaitan erat dengan peningkatan kualitas
SDM adalah tingkat pendidikan dan kesehatan individu penduduk merupakan faktor
dominan yang perlu mendapat priontas utama untuk dapat ditingkatkan. Dengan
tingkat pendidikan dan kesehatan penduduk yang tinggi menentukan kemampuan
untuk menyerap dan mengelola sumber-sumber pertumbuhan ekonomi baik dalam
kaitannya dengan teknologi sampai kelembagaan yang penting dalam upaya
meningkatkan tingkat kesejahteraan penduduk itu sendiri yang semuanya bermuara
pada aktivitas perekonomian yang maju. Oleh sebab itu, dalam rangka memacu
pertumbuhan ekonomi perlu pula dilakukan pembangunan manusia, termasuk dalam
konteks ekonomi daerah. Kebijakan pembangunan yang tidak mendorong peningkatan
kualitas manusia hanya akan membuat daerah yang bersangkutan tertinggal dari
daerah lain. Dan hasilnya dapat dirasakan oleh seluruh strata penduduk
merupakan wujud dari komitmen tujuan nasional yang ingin
mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum mencapai masyarakat
yang adil dan makmur.
Upaya untuk mengetahui dan mengidentifikasi seberapa besar kemajuan
pembangunan yang telah dicapai suatu wilayah tentunya diperlukan data-data yang
cukup up to date dan akurat. Data-data yang disajikan diharapkan sebagai
bahan evaluasi terhadap apa yang telah dilakukan oleh pemerintah tersebut.
Apakah pembangunan puskesmas dan puskesmas pembantu telah secara nyata
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat? Apakah pembangunan gedung SD juga telah
mampu meningkatkan tingkat partisipasi sekolah di wilayah ini? Apakah program
Paket Kelompok Belajar (Kejar) telah mampu meningkatkan kemampuan baca tulis
penduduk secara umum? Dalam konteks tersebut diatas diperlukan pula
ukuran-ukuran yang tepat untuk digunakan sebagai indikator. Untuk itu perlu
kiranya diketengahkan mengenal berbagal ukuran-ukuran yang biasa digunakan
sebagai indikator pembangunan.
Berbagai program seperti pengadaan pangan, perbaikan gizi, peningkatan
kesehatan dan peningkatan kegiatan olah raga dilaksanakan dalam upaya
peningkatan taraf kualitas fisik penduduk. Tolok ukur yang dapat digunakan
untuk menentukan keberhasilan (pembangunan) dalam beberapa hal agak sulit
ditentukan. Alat ukur yang sering digunakan untuk menilai kualitas hidup selama
ini sebenarnya hanya mencakup kualitas fisik, bukan kualitas non-fisik.
Kesulitan muncul karena untuk menilai keberhasilan pembangunan non-fisik
indikatornya lebih abstrak dan bersifat komposit.
Salah satu pengukuran taraf kualitas fisik penduduk yang banyak digunakan
adalah Indeks Mutu Hidup (IMH). Ukuran ini sebenarnya banyak mendapat kritik
karena mengandung beberapa kelemahan, terutama yang menyangkut aspek statistik
dan keterkaitan antar variabel yang digunakannya. Terlepas dan kelemahan tersebut,
ada nilai lebih dan IMH yang membuat indikator ini banyak digunakan sebagai
ukuran untuk menilai keberhasilan program pembangunan pada satu wilayah. Nilai
lebih dari IMH ini adalah kesederhanaan didalam penghitungannya. Di samping
itu, data yang digunakan untuk menghitung IMH ini pada umumnya sudah banyak
tersedia. IMH juga bisa dihitung setiap tahun untuk setiap wilayah (nasional,
propinsi, maupun kabupaten/kota), sehingga dapat dilakukan perbandingan antar
wilayah.
Sejalan dengan makin tingginya intensitas dalam permasalahan pembangunan,
kesederhanaan IMH pada akhirnya kurang mampu untuk menjawab tuntutan
perkembangan pembangunan yang semakin kompleks itu. Karenanya perlu indikator
lain yang lebih reprensentatif dengan tuntutan permasalahan. Dalam kaitan ini,
indikator Indeks Pembangunan manusia (IPM)
merupakan salah satu alternatif yang bisa diajukan. Indikator ini, di
samping mengukur kualitas fisik melalui angka harapan hidup (AHH) juga kualitas
nonfisik (intelektualitas) melalui rata-rata penduduk bersekolah (RLS) dan
angka melek huruf (AMH), juga mempertirnbangkan kemampuan ekonomi
masyarakat di wilayah itu yang digambarkan dari nilai purcashing power
parity index (PPP). Jadi indikator IPM terasa lebih komprehensif
dibandingkan dengan IMH.
Investasi dalam pendidikan
secara dini akan menjamin terwujudnya pemenuhan hak azasi manusia, meningkatnya
kualitas SDM, pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, terwujudnya masyarakat
sejahtera, mempunyai kemampuan mengelola teknologi, mempunyai keunggulan komparatif
yang tinggi, dan menjamin kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara. Untuk
sampai pada kondisi tersebut memerlukan dukungan potensi insan-insan yang
memiliki kemampuan untuk berkiprah pada jaman yang dicita-citakan masyarakat.
Hartanto (1999) menganalisis
kondisi masyarakat yang dimulai dari kondisi apa yang disebutnya masyarakat
peramu sampai pada ahirnya menjadi masyarakat pengetahuan. Pada kondisi
masyarakat peramu, untuk kelangsungan hidupnya cukup hanya mengandalkan daya
tahan fisik dan naluri. Pada masyarakat pertanian tujuan hidupnya hanya untuk
kebutuhan fisiologik dan cukup dengan mengandalkan kemampuan dan energi fisik.
Pada masyarakat industri, masih berorientasi pada kebutuhan fisiologi dari orde
yang sedikit lebih meningkat, dan cukup hanya mengandalkan keterampilan dan
kecekatan dalam bekerja. Pada masyarakat pelayanan, orientasi kehidupan sudah
mengarah pada kebutuhan hidup yang nyaman, dan cukup hanya mengandalkan
kemampuan bekerja secara cerdas. Dan pada masyarakat golongan terahir yaitu
masyarakat berpengetahuan, orientasi hidupnya sudah berada pada tingkatan yang
lebih tinggi, yaitu kehidupan yang harus serba bermakna, dan tidak cukup hanya
mengandalkan berbagai kemampuan dan keterampilan pada masyarakat sebelumnya,
tetapi harus dibarengi dengan kemampuan bekerja sama dengan orang lain secara
cerdas.
Gambaran masyarakat seperti
yang dikemukakan Hartanto tadi, pada dasarnya berkenaan dengan aspek-aspek
kehidupan yang hakiki, yaitu aspek perilaku (psiko-sosial), budaya dan
politik, serta mata pencaharian. Ketiga aspek tersebut saling mempengaruhi
sehingga akan berpengaruh pula terhadap tingkat kesiapan masyarakat untuk dapat
menyesuaikan diri dalam pertempran global. Dalam teori penguatan masyarakat sipil (civil society),
akan muncul kondisi masyarakat serba siap dalam menghadapi segala
tantangan kehidupan, yang bercirikan:
(1) Rasa
memiliki dari warga masyarakat termasuk kelembagaannya terhadap program
intervensi yang dirancang atau diluncurkan oleh para perancang pembangunan;
(2) Kemandirian
atau keswadayaan masyarakat baik sebagai penggagas,
pelaksana maupun pemanfaat pembangunan;
(3) Kepercayaan
diri yang mapan terhadap
potensi, sumber daya dan kemampuan untuk membangun diri, masyarakat, negara dan
bangsanya.
Untuk sampai kepada kondisi
masyarakat tersebut diperlukan SDM yang memiliki keilmuan, keimanan, dan
perilaku shaleh. Dalam istilah Solihin Abu Izzudin (2006), disebut keshalehan
pribadi dan keshalehan sosial. Keshalehan pribadi dan keshalehan
sosial dibentuk dari keseimbangan antara ilmu, iman dan amal seseorang, yang
diwujudkan dalam bentuk perilaku. Insan-insan yang shaleh ini sangat
diperlukan, bukan hanya sekedar untuk kepentingan politik dalam mendongkrak IPM,
tetapi yang lebih utama adalah membentuk ‘tenaga pembangunan’ untuk
mengikis habis manusia-manusia ‘kloning’ yang lahir sebagai
‘efek-samping’ dari teori Human Capital (Irianto, 2006).
Gambaran tersebut semakin
menegaskan bahwa sistem penyelenggaraan pembangunan memerlukan manusia-manusia
yang memiliki keshalehan pribadi maupun keshalehan sosial. Bagaimana mungkin
membangun generasi yang shaleh, sementara para pelaksananya tidak dalam keadaan
shaleh. Bagaimana mungkin membangun SDM yang memiliki daya saing, sementara
para pengelola pembangunan sendiri tidak memiliki daya saing. Karena itu, dalam
upaya membangun SDM yang dibutuhkan harus dimulai dari pribadi masing-masing,
baik pribadi sebagai anggota keluarga, masyarakat, maupun sebagai anggota aparatur
pemerintah, dengan keshalehan pribadi dan keshalehan sosial.
Dalam tulisan ini, saya sengaja mengutif
dimensi-dimensi yang paling bisa dijadikan bekal untuk bangkit dari
keterpurukan serta ‘berjihad’ membangun kembali bangsanya. Merujuk ide yang
dikemukakan Solihin, dimensi-dimensi keshalehan pribadi seseorang mencakup
shaleh dalam aqidah, shaleh dalam ibadah, shaleh dalam ahlak, dan shaleh dalam
keluarga (Abu Izzudin, 2006:236-250).
Keshalehan dalam aqidah adalah ruh atau jiwa yang berwujud dalam motivasi untuk
hidup lebih baik dan semangat kejuangan ke arah yang lebih berharga dan lebih
bermakna. Keshalehan dalam ibadah merupakan konsistensi terhadap tujuan hidup
yang berwujud dalam disiplin dan komitmen kedirian, kekeluargaan, dan
kemasyarakatan. Keshalehan dalam akhlak ialah perilaku sehari-hari sebagai
perwujudan dari aqidah dan ibadah. Dan kesalehan dalam keluarga merupakan
perwujudan dari ketiganya.
Potret individu yang memiliki
keshalehan pribadi ialah orang-orang yang: (1) Suka mengajak kebaikan kepada
orang lain, dengan contoh, teladan dan fasilitasi terhadap orang lain; (2)
Berorientasi sebagai pemberi kontribusi, bukan sebagai peminta-minta; (3)
Lapang dada terhadap perbedaan dan keragaman; (4) Respek terhadap keunikan
orang lain.
Selanjutnya, Abu Izzudin (2006:251-280) mengemukakan
pula potret individu yang memiliki keshalehan sosial ialah: (1) Orang yang paling kokoh
sikapnya (atsbatuhum mauqiifan); (2) Orang yang paling lapang dadanya (arhabuhum
shadran); (3) Orang yang paling dalam pemikirannya (a’maquhum fikran); (4) Orang
yang paling luas cara pandangnya (aus’uhum nazharan); (5) Orang
yang paling rajin amal-amalannya (ansyatuhum ‘amalan); (6) Orang yang paling solid
penataan organisasinya (aslabuhum tanzhiman); (7) Orang
yang paling banyak manfaatnya (aktsaruhum naf’an).
Keshalehan
pribadi dan keshalehan sosial akan tercermin dalam kehidupan keluarga, karena
keluarga merupakan wujud konkrit unit organisasi masyarakat yang paling
sederhana, tetapi memiliki kekuatan pengaruh yang sangat besar. Keluarga yang shaleh merupakan dambaan
setiap orang. Oleh karena itu, keluarga yang memiliki
keshalehan pribadi dan keshalehan sosial merupakan tiang-tiang yang kokoh
masyarakat dan bangsanya. Karena itu, bangsa yang berkualitas terdiri dari
golongan masyarakat yang berkualitas, dan masyarakat yang berkualitas merupakan
kumpulan keluarga yang shaleh, dan keluarga yang berkualitas terdiri dari
individu-individu yang memiliki keshalehan pribadi dan keshalehan sosial.
Referensi :
Abdul Wahab, Solichin. (1990). Pengantar Analisis Kebijaksanaan Negara, Jakarta: Rineka
Cipta.
Abu Izzudin, Solihin. (2006). Zero to Hero, Yogyakarta: Pro
U-Media.
Alfred, Richard L. & Patricia Carter. (1995). Building the
Future: Comprehensive Educational Master Planning Report 1995-2005,
University of Alabama & Community College Consortium.
Cohn,
Elchanan. (1979). The Economic of Education, Revised Edition,
Cambridge, Massachusetts: Ballinger Publishing Co.
Dunn, William, N. (1994). Public Policy Analysis: An Introductions,
London: Prentice-Hall, Inc; Englewood Cliffs
Dye, Thomas R. (1981). Policy
Analysis, Alabama: University of Alabama Press.
Education for the Knowledge Economy (EKE) dalam [www.amazon.com/ Leading-Learning-Organization-Communication-Competencies/dp/
0791443671]
Goodgin,
Robert E. (1982). Political Theory
and Public Policy,
Chicago: University of Chicago Press.
Grindle, Merilee S. (1980). Politics
and Policy Implementation in the Third World, NJ: Priceton Press.
Hartanto, Frans
Mardi. (1999). Mengelola Perubahan di Era
Pengetahuan, Jakarta: Gramedia.
Human
Development Index, [http://en.wikipedia.org/wiki/Human_
Development_Index]
Indonesian Corruption Watch, “Otonomi Daerah: Lahan Subur
Korupsi”, Laporan Ahir Tahun 2004 ICW,
[www.antikorupsi.org/docs/latinfopub2004.pdf]
Irianto, Yoyon Bahtiar. (2006).
Pembangunan Manusia dan Pembaharuan Pendidikan, Bandung:
Laboratorium Administrasi Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia.
Jalal, Fasli dan Dedi Supriadi. (2001), Reformasi
Pendidikan dalam Konteks Otonomi Daerah, Yogyakarta: AdiCita Karya Nusa.
Koentjaraningrat.
(1984). Antropologi Budaya, Jakarta;
Ghalia Indonesia.
Miller,
Eric. (1991). Future Vision, Napervile: Sourcebooks Trade.
Nataatmadja, Hidajat. (1982). Krisis Global Ilmu Pengetahuan
dan Penyebuhannya (Al-Furqon), Bandung: Penerbit Iqro.
Pal, Leslie A. (1996). Public Policy Analysis: An Introduction,
Ontario: Nelson Canada.
Peraturan Pemerintah No.38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan
Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.
Setiawan, Deddy. (2007). “Kepemimpinan
Pemerintah daerah dalam Pengelolaan Pendidikan:
Studi
Tentang Kontribusi Gaya Kepemimpinan Pejabat Pemerintah Daerah terhadap Peningkatan
Kinerja Pengelolaan Pendidikan di Pemerintahan Daerah Kabupaten Garut”, Disertasi, Bandung: SPS-UPI.
Suryadi, Ace. (2002). Pendidikan, Investasi SDM, dan
Pembangunan: Isu, Teori dan Aplikasi, Jakarta: Balai Pustaka.
Yazdi, Muhammad Taqi Mishbah. (2003). Buku Daras Filsafat Islam, Bandung:
Mizan.
Undang-Undang
No.20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.
United Nations Development Program
(UNDP) dalam [http://undp.org/]