PERSPEKTIF
PSIKOLOGIS TENTANG STRES
Oleh :
Iman
Lesmana
Pandangan mengenai stress dijelaskan dari sudut pandang
beberapa teori tentang mengapa sebagian orang cenderung menilai suatu peristiwa
sebagai stress : teori psikoanalitik, teori kognitif, teori perilaku, dan teori
kepribadian (Atkinson, dkk, 2010:369).
a.
Teori
Psikoanalitik
Ahli psikoanalisis
membuat suatu perbedaan antara kecemasan objektif, yang merupakan respon masuk
terhadap situasi yang berbahaya, dan kecemasan neurotik, yaitu kecemasan yang
tidak proposional terhadap bahaya aktual. Freud (Atkinson, dkk, 2010:369) yakin
bahwa kecemasan neurotik berasal dari konflik bawah sadar di dalam seorang
individu antara implus id yang tidak dapat diterima (terutama implus seksual
dan agresif) dan batasan-batasan yang diberikan oleh ego dan superego. Banyak
implus id merupakan ancaman bagi individu karena bertentangan dengan
nilai-nilai pribadi dan sosial.
Menurut teori
psikoanalitik, semua individu memiliki suatu konflik bawah sadar. Tetapi bagi
sebagian orang konflik tersebut dirasakan lebih berat dan lebih banyak
intensitasnya dan orang tersebut melihat lebih banyak peristiwa dalam
kehidupannya sebagai stress.
Sebagai contoh
seorang wanita yang sejak masa kanak-kanak mungkin secara tidak sadar
menyatakan bahwa ia memiliki perasaan bermusuhan dengan ibunya, dan perasaan
tersebut bertentangan dengan keyakinan bahwa anak harus mencintai ibunya.
Apabila ia menyatakan perasaan yang sesungguhnya, ia akan menghancurkan konsep
diri sebagai anak yang berbakti dan akan beresiko kehilangan cinta dan dukungan
ibunya. Jika wanita ini mungkin merasakan konflik yang ringan dengan ibunya
seperti ketidaksepahaman tentang akan pergi berlibur, ia akan merasakan
peristiwa tersebut sebagai stressor yang berat. Wanita yang tidak memiliki
pertentangan perasaan dengan ibunya akan
merasakan hal ini sebagai stressor yang ringan.
b.
Teori
Kognitif
Para ahli kognitif
memperspektifkan stress sebagai hasil dari proses berpikir individu. Seseorang
memiliki berbagai skhemata dan ia mengatur sendiri kehidupan dengan menggunakan
rangkaian persfektif atau paradigma tersebut. Skema negatif orang yang stress
memicu dan dipicu oleh berbagai gangguan kognitif tertentu yang membuat orang
tersebut menerima realitas secara salah. Orang seringkali menunjukkan gangguan
kognitif yang cukup berat jika berhadapan dengan stressor yang mengganggu.
Mereka sulit berkonsentrasi dan mengorganisasikan pikiran secara logis dan
mungkin mudah terdistraksi. Sebagai akibatnya kemampuan melakukan pekerjaan
terutama yang komplek cenderung memburuk.
Gangguan kognitif
mungkin berasal dari dua sumber. Tingkat rangsangan emosional yang tinggi dapat
mengacu pengolahan informasi dipikiran, sehingga semakin cemas, marah, atau
terdepresinya kita setelah stressor, semakin besar kemungkinan kita mengalami
gangguan kognitif. Gangguan kognitif selama periode stress sering menyebabkan
seseorang secara kaku suatu pola perilaku karena mereka tidak dapat
mempertimbangkan pola alternatif. Gangguan kognitif juga dapat terjadi akibat
pikiran yang menganggu terus berjalan diotak jika berhadapan dengan suatu
stressor (Atkinson, dkk, 2010:370).
c.
Teori
Perilaku
Sementara Freud
(Atkinson, dkk, 2010:371) memandang konflik bawah sadar sebagai sumber internal
respon stress dan ahli kognisi memandang stress sebagai hasil dari proses
berpikir, ahli behavior mengasosiasikan respon stress dengan situasi tertentu.
Melalui pengalaman berulang dengan peristiwa yang tidak dapat dikendalikan,
orang menjadi yakin bahwa mereka tidak dapat melakukan apa-apa terhadap suatu
peristiwa, dengan demikian menjukkan pasivitas dan motivasi yang lebih rendah
dengan kata lain, mereka menyerah.
Individu mungkin juga
bereaksi terhadap situasi spesifik dengan ketakutan dan kecemasan karena
situasi tersebut menyebabkan mereka dalam bahaya atau mengalami stress. Siswa
yang gagal dalam ujian akhir di ruang kelas tertentu, mungkin merasa stress
pada tahun berikutnya saat ia kembali memasuki ruang kelas untuk mengikuti
ujian.
d.
Teori
Kepribadian
Suatu modifikasi dari
teori perilaku yang dipelajari yang diajukan oleh Abramason dan sejawatnya
(Atkinson, dkk, 2010:371) memfokuskan pada satu tipe gaya kepribadian yang
berkaitan dengan dengan atribusi atau penjelasan kausal yang diberikan
seseorang terhadap suatu peristiwa penting. Jika seseorang mempertalikan
peristiwa negatif dengan penyebab internal dari dirinya, yang stanil dalam
perjalanan waktu dan yang mempengaruhi banyak bidang kehidupan. Mereka paling
mungkin menunjukkan respons perilaku dan terdepresinya terhadap peristiwa
negatif.
Abramason dan
sejawatnya (Atkinson, dkk, 2010:372) menyatakan bahwa untuk membuat atribusi
suatu peristiwa dalam kehidupan yang dinamakan dengan gaya atribusional, dan
gaya tersebut mempengaruhi tingkat mana seseorang memandang peristiwa sebagai
penyebab stress.
Gaya atribusional
yang pesimistik juga berkaitan dengan penyakit fisik. Siswa dengan gaya
atribusional melaporkan lebih banyak penyakit dan melakukan lebih banyak
kunjungan kepusat kesehatan dibandingkan siswa dengan gaya atribusional
optimistik.
Riset lain telah
memfokuskan pada orang yang paling tahan terhadap stress, yang tidak mengalami
gangguan fisik atau emosional walaupun mengalami stress berat. Karakteristik
kepribadian individu yang tahan terhadap stress atau tabah diringkaskan dalam
pengertian “komitmen”,“kendali”, dan “tanggapan”. Karakteristik tersebut saling
berkaitan dengan faktor yang mempengaruhi penghayatan keparahan stressor.
Sebagai contohnya, rasa mampu mengendalikan peristiwa kehidupan mencerminkan
perasaan kompetensi dan juga mempengaruhi penilaian terhadap peristiwa stress.
Mekanisme Stress Berdasarkan Penilaian Kognitif
Lazarus
& folkman (1984:31) mendefinisikan penilaian kognitif sebagai suatu proses
pengkategorian stimulus atau situasi yang dihadapi dengan mempertimbangkan
kepentingan dan makna yang dimiliki oleh seseorang terhadap kesejahteraan
individu. Setiap siswa memiliki tantangan yang berbeda dalam melakukan
penilaian kognitif terhadap peristiwa atau kondisi yang berpotensi
mengakibatkan stress akademik. Perbedaan penilaian kognitif yang dimiliki
setiap siswa mengakibatkan perbedaan tingkatan stress yang dialami. Dengan kata
lain dapat dilihat reaksi yang berbeda dari siswa yang mengalami stress
akademik.
Penilaian
kognitif merupakan suatu proses yang dapat mempengaruhi terjadinya stress
akademik pada siswa. Lazarus & folkman (1984) mengemukakan beberapa hal
yang mendasari pentingnya konsep penilaian kognitif yaitu:
a.
proses kognitif adalah proses yang mengantarai terjadinya interaksi individu
dengan lingkungan terhadap munculnya reaksi.
b.
untuk mempertahankan diri dan berkembang, siswa harus bisa membedakan situasi
yang menyenangkan dan situasi yang mebahayakan bagi dirinya. Proses pembedaan
bersifat kompleks dn bergantung kepada
system kognitif. Dapat disimpulkan melalui penilaian kognitif, siswa dapat
melihat suatu situasi sebagai ancaman atau sebagai sebuah tantangan.
Penilaian kognitif
yang dikemukakan oleh lazarus & folkman (1984:3) dibedakan menjadi
penilaian primer dan penilaian sekunder. Menurut Lazarus & Folkman (1984:31) penilaian kognitif (cognitive appraisal) yaitu merupakan
proses evaluatif yang menentukan mengapa dan sampai sejauh mana transaksi yang
spesifik atau serangkaian transaksi antara individu dengan lingkungan yang
menimbulkan stres. Selain itu kognitif dapat diartikan sebagai suatu proses
pengkategorian terhadap stimulus atau situasi yang dihadapi, dengan perhitungan
makna serta pengaruhnya terhadap kesejahteraan seseorang.
Penilaian kognitif dikemukakan oleh Lazarus dan Folkman
(1984: 31) terdiri dari penilaian primer (primary appraisal) dan penilaian
sekunder (secondary appraisal). Kedua jenis penilaian ini tidak dapat dipandang
sebagai proses yang terpisah karena keduanya saling bergantung dan saling
mempengaruhi satu sama lain. Penilaian primer dan sekunder berinteraksi satu
sama lain membentuk derajat stres serta kualitas atau kekuatan reaksi emosional
sehingga akan membuat situasi semakin kompleks.
1.
Penilaian Primer (Primary Appraisal)
Devinisi penilaian primer menurut lazarus (Wan et al, 1992)
yaitu “… cognitive process of evaluating
educational events of experiences in term of the severity of demands.
Proses ini merupakan suatu proses mental yang berkaitan dengan evaluasi
terhadap suatu situasi. Proses ini terjadi untuk menentukan apakah suatu
stimulus atau situasi yang dihadapi oleh siswa berada dalam derajat penghayatan
tertentu. Pengkategorian dilakukan untuk memperhitungkan derajat ancaman
situasi serta kemampuan yang dimiliki dalam mengatasi situasi yang dihadapi
tersebut. Bentuk penghayatan yang dihasilkan melalui proses ini dikemukakan
oleh lazarus dan folkman (1984:32) yaitu :
a). irrelevant,
yaitu jika stimulus yang terjadi tidak berpengaruh terkadap kesejahteraan diri
siswa, sehingga dapat diabaikan, atau kejadian yang ada dilingkungan dinilai
sebagai kejadian yang tidak relevan apabila siswa memandang kejadian tersebut
sebagai sesuatu yang tidak mengganggu dirinya.
b). Begine Positive, yaitu jika stimulus atau situasi yang terjadi dinilai
sebagai hal yang positif dan dinggap dapat meningkatkan kesejahteraan bagi
siswa. Penilaian positif tidak berbahaya terjadi apabila hasil dari peristiwa
ditafsirkan secara positif.
c). Stressfull,yaitu
jika stimulus yang terjadi menimbulkan harm/
loss, threat, and challenge.
2.
Penilaian Sekunder (Secondary Appraisal)
Penilaian sekunder adalah keputusan tentang apa yang mungkin
dapat dilakukan meliputi evaluasi tentang pilihan strategi pengelolaan yang
sesuai dan evaluatif tentang konsekuensi yang akan muncul dalam konteks
tuntutan dan hambatan baik yang berasal dari internal maupun eksternal.
3.
Penilaian Kembali (Reappraisal)
Penilaian kembali menunjukkan pada perubahan penilaian yang
terjadi karena didasari oleh masuknya informasi baru, baik informasi yang
berasal dari lingkungan maupun informasi yang berasal dari reaksi siswa. Proses
penilaian kembali merubah bentuk penilaian yang didasarkan pada informasi baru
dari lingkungan atau diperoleh siswa berdasarkan pengalamannya.
Beberapa hal yang mendasari pentingnya konsep penilaian
kognitif menurut Lazarus dan Folkman (1984: 55) sebagai berikut:
1.
Faktor Personal
Ada dua karakteristik individu yang berpengaruh atau
menentukan suatu penilaian kognitif yaitu komitmen (sommitment) dan keyakinan
(belief).
2.
Faktor Situasional
Faktor situasional yang mempengaruhi penilaian kognitif
terbagi menjadi dua faktor yaitu faktor situasional yang potensial dan temporal
(Lazarus & Folkman, 1984: 83).
Mekanisme stress berdasarkan penilaian kognitif digambarkan
oleh Robert A. Baron (Nurdini, 2009:37) pada bagan berikut:
Bagan mekanisme stress akademik diatas dapat dilikaht bahwa
stress dapat terjadi pada setiap individu berawal dari stimulus yang muncul
kemudian individu akan merasakan kecemasan atau primary appraisal, dalam menghadapi kecemasan ada dua kemungkinan
reaksi yang ditunjukan individu yang pertama situasi dipersepsi tidak merugikan
sehingga tidak ada masalah dari kecemasan yang dirasakannya, dan yang kedua
situasi dipersepsi merugikan hal ini membuat individu memikirkan mekanisme atau
strategi untuk menanggulangi kecemasan atau secondary
appraisal. Mekanisme penanggulangan stress sendiri terbagi menjadi dua
yaitu mekanisme penanggulangan stress yang dipersepsi cukup baik sehingga
membuat individu terbebas dari stress dan yang kedua mekanisme penanggulangan
yang dipersepsi kurang baik yang akan menimbulkan stress dan harus segera
diberikan penanganan agar individu terbebas dari stres.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar