Kerangka Konseptual Gangguan Kecemasan
Pasca Trauma
Gangguan
kecemasan pasca trauma (post traumatic stress disorder) adalah
gangguan psikologis atau kecemasan yang
terjadi pada orang-orang yang pernah mengalami suatu peristiwa yang luar biasa.
Menurut Schiraldi
(2000) gangguan kecemasan pasca trauma muncul dari pemajanan/penampakan atas
suatu peristiwa atau serangkaian peristiwa yang sangat menekan. seperti
perkosaan, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), kekerasan terhadap anak,
perang, kecelakaan, bencana alam, dan kerusuhan politik.
Peristiwa
traumatis yang menjadi pemicu gangguan kecemasan pasca trauma berbeda dengan
pemicu gangguan kecemasan biasa . Peristiwa-peristiwa yang menjadi pemicu kecemasan pasca trauma
biasanya bersifat luar biasa, tiba-tiba dan sangat menekan Menurut Scheraldi (2000) peristiwa yang menjadi pemicu kecemasan pasca
trauma dikategorikan sebagai traumatic
stessor, sedangkan yang menjadi pemicu kecemasan biasa disebut “ordinary stressor” atau sebagai “adjustment stressor”.. Pada inividu yang
mengalami “ordinary stressor”
kebanyakan mampu mengatasinya, sebaliknya untuk peristiwa yang termasuk “traumatic stressor” belum tentu semua
individu mampu mengatasinya karena adanya perbedaan kapasitas untuk menghadapi “catastrophic stress”
Kalangan
psikiater memperkirakan bahwa 1 sampai 3 persen dari populasi penduduk
dunia secara klinis pernah mengalami
gangguan kecemasan pasca trauma
(Schiraldi, 2000).
Definisi dan
Indikator Gangguan Stres Pasca Trauma (PTSD).
Menurut Schiraldi (2000) gangguan kecemasan pasca trauma (PTSD) merujuk
pada gangguan psikologis dan luka emosional yang dialami oleh individu yang
mengalami suatu peristiwa tragis dan luar biasa. The
American Psychiatric Association secara formal mengkategorikannya sebagai
suatu gangguan kecemasan dengan indikator dan ciri-ciri diagnostik tertentu
yang berbeda dengan kecemasan biasa.
Menurut Schiraldi (1999), mengacu pada Diagnostic
and Statistical Manual of Mnetal Disorder (DSM-IV) yang dikeluarkan oleh American Psychiatric Association (1994)
ada enam indikator yang menunjukkan bahwa seseorang itu mengidap PTSD, yakni:
(a) Pemajanan/pemunculan stressor (exposure
to Stressor); (b) Peristiwa yang dialami lagi (Event Re-experienced); (c) Penghindaran (Avoidance); (d) Pemunculan (Arousal);
(e) Durasi gejala dalam criteria B (mengalami gejala lebih dari satu bulan);
(f) gangguan kehidupan (Life Distrupted).
Gejala dari pemajanan/pemunculan stressor (exposure to Stressor) terjadi pada (1) orang yang mengalami, menyaksikan,
atau memperhatikan/ memperlajari peristiwa yang melibatkan kematian yang
tragis, kecelakaan serius atau kekejaman pada diri sendiri dan orang lain; (2)
orang yang mengalami ketakutan, ketidakberdayaan atau ketakutan yang hebat
(pada anak-anak, respon tersebut dapat mengakibatkan perilaku yang kacau atau
memprovokasi).
Gejala dari peristiwa yang dialami lagi (Event Re-experienced) ditunjukan oleh (1) perilaku
mengungkit-ungkit kembali peristiwa yang mengganggu (image, pikiran, atau
persepsi); (2) mengingat-ingat kembali mimpi buruk dari suatu peristiwa; (3)
berperilaku atau merasa seolah-olah trauma tersebut muncul kembali (perasaan
muncul kembali, ilusi, halusinasi, dan kembali ke masa lalu yang bersifat
disosiatif); (4) distress psikologis yang hebat atas munculnya tanda-tanda
internal atau eksternal yang mensimbolkan/ mirip dengan suatu aspek dari trauma
tersebut; (5) reaksi psikologis yang muncul berulang-ulang seperti pada gejala
diatas.
Gejala lain yang muncul dari indikator penghindaran (avoidance) di antaranya adalah (1) upaya-upaya untuk menghindari pikiran, perasaan atau hal lain yang
dapat mengingatkan kembali pada peristiwa traumatis; (2) upaya-upaya untuk
menghindarkan diri dari aktivitas, tempat, atau orang yang terkait dengan
peristiwa traumatis; (3) ketidakmampuan mengingat aspek penting dari peristiwa
traumatik; (4) berkurangnya minat atau partisipasi secara nyata pada aktivitas
yang dahulunya merupakan aktivitas yang menyenangkan; (5) perasaan terasing;
(6) rentang afeksi terbatas (misalnya tidak dapat merasakan kelembutan hati
atau seksualitas); (7) merasa masa depan suram (berkenaan dengan karir,
pernikahan, anak-anak dsb). Gejala yang muncul dari gangguan kehidupan (life disrupted) adalah gangguan yang
menyebabkan distress dalam fungsi sosial atau bidang penting lainnya.
Faktor-Faktor Penyebab
Gangguan Kecemasan Pasca Trauma
Menurut Schiraldi
(1999) ada tiga faktor utama yang menjadi penyebab terjadinya gangguan
kecemasan pasca trauma yakni; (1) kesengajaan manusia (buatan manusia,
disengaja, dendam); (2) Ketidaksengajaan manusia (kecelakaan, bencana); (3)
Perbuatan alam/bencana alam.
Schiraldi (1999)
menambahkan yang menjadi penyebab terjadinya gangguan kecemasan pasca trauma
yang termasuk ke dalam faktor kesengajaan manusia adalah (a) pertempuran,
perang sipil, resistensi bertempur; (b) pelecehan termasuk di dalamnya
pelecehan seksual, pelecehan fisikal, pelecehan emosional. Bentuk-bentuk
pelecehan seksual meliputi: hubungan seks sedarah (incest), perkosaan, dipaksa telanjang, eksibisionisme atau
pornografi, sentuhan/pemanjaan yang tidak tepat. Bentuk-bentuk pelecehan
fisikal yang dapat menyebabkan gangguan kecemasan pasca trauma adalah
pemukulan, penendangan, ancaman/penyerangan, pencekikan, pengikatan,
pengejaran, pemaksaan untuk memakan/ meminum sesuatu secara tidak wajar dan
berlebihan serta membahayakan, ancaman dengan senjata, pelecehan yang dilakukan
oleh orang tua terhadap anak. Sedangkan bentuk-bentuk pelecehan emosional
meliputi: isolasi, ancaman untuk berselingkuh, intimidasi, merendahkan nama,
pengabaian ekonomi, perebutan kekuasaan, penghancuran benda, penyiksaan
binatang peliharaan, tidak memberikan nafkah dsb; (c) penyiksaan (bentuk yang
terburuk adalah perilaku seksual menyimpang dengan mengkomunikasikan kekerasan
fisik, emosional dan spiritual); (d) perbuatan kriminal seperti mutilasi,
perampokan, kekerasan/ ancaman terhadap keluarga; (e) sandera, tawanan perang,
karantina, pembajakan; (f) pelecehan pemujaan; (g) terorisme; (h) pemboman; (i)
menyaksikan suatu pembunuhan, kejahatan seksual, ancaman/ penyerangan,
penyiksaan; (j) serangan penembak gelap; (k) menyaksikan reaksi ketakutan orang
tua; (l) menyaksikan efek alkoholisme pada keluarga; (m) bunuh diri atau bentuk
lain dari kematian mendadak; (n) ancaman kematian; (o) kerusakan atau
kehilangan bagian tubuh.
Faktor lain yang
menjadi penyebab terjadinya gangguan kecemasan pasca trauma adalah akibat dari
ketidaksengajaan manusia adalah (a) industrial (misalnya sebuah alat derek yang
jatuh); (b) kebakaran; (c) ledakan kendaraan bermotor, kapal yang karam; (d)
bencana nuklir; (e) runtuhnya bangunan; (f) kerusakan akibat operasi pada tubuh
atau kehilangan bagian tubuh. Sedangkan faktor perbuatan alam/ bencana alam
yang dapat menyebabkan terjadinya PTSD di antaranya adalah (a) angin rIbut; (b)
angin topan; (c) tornado; (d) banjir; (e) gempa bumi; (f) salju longsor dan (g)
tsunami.
Akibat
Gangguan Kecemasan Pasca Trauma
(PTSD)
Wilson dalam Schiraldi (1999) merangkum
bahwa gangguan kecemasan pasca trauma berpengaruh pada kapasitas-kapasitas
psikologi, konsep diri, perkembangan dan hubungan seseorang (termasuk kapasitas
keintiman, cinta dan seksualitas). Jika tidak ditangani, gangguan kecemasan
pasca trauma akan bertambah parah dan memberikan dampak munculnya gangguan pada
aspek fisik (physical fatigue), emosi
(emotional fatigue), mental (mental fatigue), perilaku (behavioral fatigue), spiritual (spiritual fatigue). Menurut Schiraldi
(1999) symptom yang muncul pada aspek kelelahan fisik di antaranya adalah: suhu
badan meninggi (tension), menggigil (trembling), badan terasa lesu (fatigue), mual-mual (tingling), pening (nausea), ketidakmampuan menyelesaikan masalah (digestive track problem), sesak napas (rapid breathing), panic (event
panic attack).
Aspek emosi (emotional fatigue) di antaranya adalah iritasi (irritation), hilangnya gairah hidup (moodiness), ketakutan (fear), dikendalikan emosi (exaggerated emotions), merasa rendah
diri (loss of confidence).
Aspek mental (mental fatigue) di antaranya kebingungan (confussion), tidak dapat berkonsentrasi (inability to concentrate), tidak mampu mengingat dengan baik (remember), tidak dapat menyelesaikan
masalah (lack decision making).
Aspek perilaku (behaviour fatigue) di antaranya adalah sulit tidur, kehilangan
selera makan, makan berlebihan, banyak merokok, minum alcohol, menghindar,
sering menangis, tidak mampu berbicara, tidak bergerak, gelisah, terlalu banyak
gerak, mudah marah, ingin bunuh diri, menggerakan anggota tubuh secara
berulang-ulang, rasa malu berlebihan, mengurung diri, menyalahkan orang lain.
Aspek spiritual (spiritual fatigue) di antaranya adalah putus asa (discouragement), hilang harapan (hopeless), menyalahkan tuhan, berhenti ibadah, tidak berdaya (despair), meragukan keyakinan, tidak
tulus, dll.
Pendekatan
Penanganan Gangguan Kecemasan Pasca Trauma
Penanganan terhadap
individu yang mengalami gangguan kecemasan pasca trauma dapat menggunakan beragam model
termasuk pendidikan, ekspossure,
eksplorasi perasaan dan
keyakinan dan pelatihan keterampilan pemecahan masalah.
Pendekatan yang umum
digunakan untuk penanganan gangguan kecemasan pasca trauma adalah (1) cognitive-bevioral therapy yang
bertujuan untuk mengubah emosi, pikiran dan perilaku individu; (2) pharmacotherapy untuk mengurangi
kecemasan, depresi, sulit tidur, distress dan mati rasa yang kadang-kadang
menggunakan obat-obatan; (3) eye movement
desentization and reprocessing yang mengkombinasikan exposure therapy dan cognitive behavioral dengan menggerakkan
beberapa organ tubuh; (4) group treatment
(sebagai model ideal) karena adanya
kesempatan untuk berbagi rasa empati, kohesi, dan rasa aman, dan; (5) brief psychodynamic psychotherapy yang
berfokus pada koflik emosional yang disebabkan oleh peristiwa trauma khususnya
pada awal-awal kehidupan.
Bryson (2005) berpendapat bahwa
pendekatan yang paling tepat untuk menangani anak-anak trauma adalah: (a) Cognitif Bahavioral Therapy, (b) Exposure
Theraphy, (c) Brief Psychodinamic Psikoterapy; (d) Eye Movement Decensitization
and Reprocessing; (e) Family Theraphy; (f) Self-Helf or Support Group Theraphy.
a. Terapi Perilaku-Kognitif
Cognitive
Behavioral Therapy (CBT) adalah
jenis konseling yang bertujuan untuk mengajari klien bagaimana mengubah pikiran
dan pola perilaku tertentu terhadap kejadian traumatis yang dialami atau
disaksikan. Dasar teori CBT adalah
pikiran dan perilaku yang dipandang dapat mempengaruhi gejala dan
tindakan untuk menyelesakan masalah. Dalam CBT, klien dan terapis bekerja sama
untuk mengidentifikasi dan merubah cara berpikir dan cara merespon secara
emosional terhadap gejala trauma.
Cognitive Behavioral Therapy mengajarkan
klien tentang gangguan, gejalanya dan bagaimana memprediksi munculnya suatu
gejala. Selanjutnya, CBT memfokuskan pada
bagaimana cara berfikir positif dan strategi pemecahan masalah yang
tidak hanya untuk gangguan kecemasan
pasca trauma tetapi juga bagaimana mengembangkan hubungan dan merespon kejadian
dalam kehidupan sehari-hari. Melalui CBT, konselor mengajarkan latihan untuk
mengurangi gejala fisik yang berkembang selama stress dan membantu mengontrol
gejalanya. Latihan ini juga membantu mengurangi gejal fisik dan emosi yang
dialami ketika dihadapkan pada situasi yang mengingatkan pada kejadian
traumatis.
b.
Exposure Theraphy
Terapi
pengungkapan bertujuan mengurangi tekanan fisik atau emosional
yang dialami ketika berhadapan dengan objek, situasi atau memori khusus.
Selama terapi pengungkapan, klien dibantu untuk mengurangi pengalaman
traumatis, melawan ketakutan terhadap situasi atau objek traumatis, dan
mengatasi tekanan melalui lingkungan terkontrol.
Selama terapi
berlangsung, konselor membantu klien mengingat atau membayangkan objek yang
menakutkan atau tekanan pikiran. Konselor juga membantu klien mengatasi tekanan fisik dan mental yang
berkembang selama pengalaman terapi berlangsung. Konfrontasi dan belajar untuk
menanggulangi tekanan perasaan dapat mengurangi gejala sedikit demi sedikit.
Aktivitas selama
terapi tergantung pada ketakutan, tekanan pikiran atau pengalaman traumatis.
Hipnosis dan realitas virtual kadang kadang diperlukan. Umumnya selama terapi
klien didorong untuk: a) membicarakan ketakutan, tekanan pikiran atau perasaan,
b) mempelajari cara menghadapi ketakutan, menangani pikiran tekanan fisik dan
emosi, dan c) melihat ketakutan, tekanan pikiran atau tekanan fisik dan emosi dengan
cara yang berbeda.
Klien juga
diajarkan bagaimana menggunakan macam-macam teknik relaksasi seperti latihan
pernapasan untuk mengatasi tekanan emosi dan fisik serta ketakutan. Teknik
relaksasi membantu klien memelihara kendali diri ketika berhadapan dengan objek yang ditakuti,
situasi atau tekanan pikiran..
c.
Brief Psychodinamic Psychoteraphy
Brief psychodinamic psychoteraphy model
terapi yang berdasar pada kepercayaan bahwa reaksi, perasaan dan pikiran saat
ini dipengaruhi oleh pengalaman masa lalu dan peraan dan pikiran bawah sadar. Brief Psychodinamic Psychoteraphy
memfokuskan pada persoalan saat ini. Selama sesi terapi berlangsung, konselor
mengartikan pernyataan untuk membantu klien anda menyadari ketidaksadaran
pikiran dan perasaan dan membantu mengapa klien
bereaksi secara khusus. Klien diminta untuk melengkapi tugas menulis,
membaca artikel atau buku pelajaran yang terkait dengan persoalan yang dihadapi
dan meminta orang yang terdekat untuk turut menghadiri sesi terapi.
d. Eye Movement Desentization and Reprocessing
(EMDR)
EMDR
(Eye Movement Desensitization and Reprosesing) adalah teknik yang digunakan dalam
perawatan sindrom pasca trauma (PTSD). Jenis ini adalah terapi yang memiliki
beberapa tahap, termasuk latihan gerakan mata atau menggunakan ketukan dan
pengulangan nada. Ini termasuk elemen dari terapi perilaku kognitif yang
berfokus pada perubahan pikiran tertentu dan pola perilaku terhadap objek yang
ditakuti atau situasi dalam lingkungan terkontrol.
Selama EMDR,
klien mengidentifikasi memori dan gambaran yang berhubungan dengan kejadian
traumatis dan bagaimana merespon secara fisik dan emosional ketika anda
memikirkan peristiwa traumatis. EMDR membatu klien mengganti efek negatif, reaksi traumatis menjadi lebih
positif. Meskipun efektivtias EMDR masih terus dikaji namun beberapa
teori yang muncul. Para ahli tahu bahwa orang dengan mudah menerima ingatan
normal dan kejadian tapi mungkin lari dari masalah dan melakukan distorsi
terhadap kenyataan ketika mengingat pengalaman traumatis. Beberapa ahli percaya
bahwa pergerakan mata, ketukan nada dapat mengaktifkan mekanisme penyembuhan
diri yang membantu ingatan menjadi lebih normal. Melalui pergerakan mata,
ketukan atau nada nampak membuat lebih mudah untuk melawan dan memproses gangguan pikiran dan ingatan.
EMDR tidak
menghilangkan ketakutan yang beralasan namun
mengurangi jumlah tekanan fisik dan emosi yang diakibatkan oleh memori
traumatik atau objek dan situasi yang ditakutkan. Aktivitas selama terapi EMDR berlangsung
adalah a) terapis menggerakan tangan kebelakang dan memanjangjkan 1 kaki
jauhnya dari wajah klien, b) klien melihat terapis menggerakan tangan sambil
berfikir atau mendikusikan kejadian traumatis, objek atau situasi yang ditakuti
atau penyebab tekanan emosional, dan c) setelah beberapa sesi, tekanan emosi
dan fisik diharapkan dapat dikurangi.
Jika konselor
menyarankan untuk mencoba EMDR, tanyakan pada seseorang yang memiliki keahlian
atau baca informasi tentang itu. Jika anda memilih perawatan, bicarakan
pengalaman selama terapi berlangsung. Anda dapat memilih untuk berhenti menggunakan terapi ini jika merasa tidak
memberikan dampak positif.
e. Self-Help or Support Group
Self-help
atau support group
dapat membantu untuk beberapa orang. Kelompok biasanya terdiri dari beberapa
orang yang memiliki masalah yang bertemu untuk tujuan khusus, memberi dukungan,
menerapkan nasihat yang diterima, dan mendorong
orang untuk berpartisipasi dalam
kelompok. Self-help atau support group berbeda dalam setiap sesi
konseling. Kelompok mungkin hanya untuk beberapa sesi atau berkelanjutan. Proses yang terjadi dalam Self-help atau support group memiliki
ciri-ciri sebagai berikut; a) setiap anggota saling membantu untuk memecahkan
masalah; b) anggota bertemu secara reguler, biasanya seminggu sekali atau bila
diperlukan saja; c) sesi dapat dihadiri
orang yang bersangkutan teman atau keluarga,;d) doronglah anggota untuk
berpartisipasi dalam kelompok.
Self-help atau support group tidak
direkomendasikan untuk semua orang
karena ada beberapa orang merasa tidak nyaman berbicara dalam kelompok.
Hadiri setidaknya tiga kali pertemuan kelompok sebelum memutuskan untuk tidak
melanjutkan partisipasi dalam sesi terapi.
Di samping yang
telah disebutkan di atas, dewasa ini sesungguhnya telah banyak pendekatan yang
digunakan dalam menangani kasus-kasus PTSD. Menurut Schiraldi (2000) pendekatan yang dugunakan untuk
menangani dan merawat kasus-kasus PTSD
adalah; (1) Prinsiple of Memory Work; (2)
Cognitif Restructuring; (3) Confiding Consealed Wounds; (4) Resolving Guild; (5) Resolving Guilt; (6)
Though Fild Theraphy; (7) The Rewind Tehcnique; (8) Traumatic Insident
Reduction (TIR); (9) Eye Movement Desensitization and Reprosessing (EMDR); (10)
The Counting Method; (11) Dream Management and Processing; (12) Healing
Imagery; (13) Healing Rituals; (14)Grieving Loses; (15) Making Sense of Trauma: Coming to Terms
with Suffering); (16) Hypnosis; (17) Expressive Art Therapis; (18) Life Review; (19) Building Self Esteem; (20) Unfinished
Bussiness: Rosolving Anger; (21) Prolonged Exposure; (22) dan Complementary Approach.
Dalam expressive art theraphy, menurut Schiraldy(2000) konselor dapat
menggunakan teknik; (1) Visual Arts
Theraphy; (2) Movement/Dance Theraphy; (3) Music Theraphy; (4) Language Arts
Theraphy; (5) Drama Theraphy; dan (6) Play/Sand-Tray Theraphy.
Referensi :
Rusmana,
Nandang. (2008). Konseling Kelompok bagi
Anak Berpengalaman Traumatis. Bandung: Rizki Press.