Selasa, 10 Desember 2019

Konseling Pasca Trauma


Kerangka Konseptual Gangguan Kecemasan
Pasca Trauma


Gangguan kecemasan pasca trauma  (post traumatic stress disorder) adalah gangguan psikologis  atau kecemasan yang terjadi pada orang-orang yang pernah mengalami suatu peristiwa yang luar biasa.
Menurut Schiraldi (2000) gangguan kecemasan pasca trauma muncul dari pemajanan/penampakan atas suatu peristiwa atau serangkaian peristiwa yang sangat menekan. seperti perkosaan, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), kekerasan terhadap anak, perang, kecelakaan, bencana alam, dan kerusuhan politik.
Peristiwa traumatis yang menjadi pemicu gangguan kecemasan pasca trauma berbeda dengan pemicu gangguan kecemasan biasa . Peristiwa-peristiwa   yang menjadi pemicu kecemasan pasca trauma biasanya bersifat luar biasa, tiba-tiba dan sangat menekan  Menurut Scheraldi (2000)  peristiwa yang menjadi pemicu kecemasan pasca trauma dikategorikan sebagai traumatic stessor, sedangkan yang menjadi pemicu kecemasan biasa disebut “ordinary stressor” atau sebagai “adjustment stressor”.. Pada inividu yang mengalami “ordinary stressor” kebanyakan mampu mengatasinya, sebaliknya untuk peristiwa yang termasuk “traumatic stressor” belum tentu semua individu mampu mengatasinya karena adanya perbedaan kapasitas  untuk menghadapi “catastrophic stress”
Kalangan psikiater memperkirakan bahwa 1 sampai 3 persen dari populasi penduduk dunia  secara klinis pernah mengalami gangguan kecemasan  pasca trauma (Schiraldi, 2000).
Definisi  dan Indikator Gangguan Stres Pasca Trauma (PTSD).
Menurut Schiraldi (2000) gangguan kecemasan pasca trauma (PTSD) merujuk pada gangguan psikologis dan luka emosional yang dialami oleh individu yang mengalami suatu peristiwa tragis dan luar biasa.  The American Psychiatric Association secara formal mengkategorikannya sebagai suatu gangguan kecemasan dengan indikator dan ciri-ciri diagnostik tertentu yang berbeda dengan kecemasan biasa.
Menurut Schiraldi (1999), mengacu pada Diagnostic and Statistical Manual of Mnetal Disorder (DSM-IV) yang dikeluarkan oleh American Psychiatric Association (1994) ada enam indikator yang menunjukkan bahwa seseorang itu mengidap PTSD, yakni: (a) Pemajanan/pemunculan stressor (exposure to Stressor); (b) Peristiwa yang dialami lagi (Event Re-experienced); (c) Penghindaran (Avoidance); (d) Pemunculan (Arousal); (e) Durasi gejala dalam criteria B (mengalami gejala lebih dari satu bulan); (f) gangguan kehidupan (Life Distrupted).
Gejala dari pemajanan/pemunculan stressor (exposure to Stressor) terjadi pada (1) orang yang mengalami, menyaksikan, atau memperhatikan/ memperlajari peristiwa yang melibatkan kematian yang tragis, kecelakaan serius atau kekejaman pada diri sendiri dan orang lain; (2) orang yang mengalami ketakutan, ketidakberdayaan atau ketakutan yang hebat (pada anak-anak, respon tersebut dapat mengakibatkan perilaku yang kacau atau memprovokasi).
Gejala dari peristiwa yang dialami lagi (Event Re-experienced) ditunjukan oleh (1) perilaku mengungkit-ungkit kembali peristiwa yang mengganggu (image, pikiran, atau persepsi); (2) mengingat-ingat kembali mimpi buruk dari suatu peristiwa; (3) berperilaku atau merasa seolah-olah trauma tersebut muncul kembali (perasaan muncul kembali, ilusi, halusinasi, dan kembali ke masa lalu yang bersifat disosiatif); (4) distress psikologis yang hebat atas munculnya tanda-tanda internal atau eksternal yang mensimbolkan/ mirip dengan suatu aspek dari trauma tersebut; (5) reaksi psikologis yang muncul berulang-ulang seperti pada gejala diatas.
Gejala lain yang muncul dari indikator penghindaran (avoidance) di antaranya adalah (1) upaya-upaya untuk menghindari pikiran, perasaan atau hal lain yang dapat mengingatkan kembali pada peristiwa traumatis; (2) upaya-upaya untuk menghindarkan diri dari aktivitas, tempat, atau orang yang terkait dengan peristiwa traumatis; (3) ketidakmampuan mengingat aspek penting dari peristiwa traumatik; (4) berkurangnya minat atau partisipasi secara nyata pada aktivitas yang dahulunya merupakan aktivitas yang menyenangkan; (5) perasaan terasing; (6) rentang afeksi terbatas (misalnya tidak dapat merasakan kelembutan hati atau seksualitas); (7) merasa masa depan suram (berkenaan dengan karir, pernikahan, anak-anak dsb). Gejala yang muncul dari gangguan kehidupan (life disrupted) adalah gangguan yang menyebabkan distress dalam fungsi sosial atau bidang penting lainnya.

Faktor-Faktor  Penyebab  Gangguan  Kecemasan Pasca Trauma
Menurut Schiraldi (1999) ada tiga faktor utama yang menjadi penyebab terjadinya gangguan kecemasan pasca trauma yakni; (1) kesengajaan manusia (buatan manusia, disengaja, dendam); (2) Ketidaksengajaan manusia (kecelakaan, bencana); (3) Perbuatan alam/bencana alam.
Schiraldi (1999) menambahkan yang menjadi penyebab terjadinya gangguan kecemasan pasca trauma yang termasuk ke dalam faktor kesengajaan manusia adalah (a) pertempuran, perang sipil, resistensi bertempur; (b) pelecehan termasuk di dalamnya pelecehan seksual, pelecehan fisikal, pelecehan emosional. Bentuk-bentuk pelecehan seksual meliputi: hubungan seks sedarah (incest), perkosaan, dipaksa telanjang, eksibisionisme atau pornografi, sentuhan/pemanjaan yang tidak tepat. Bentuk-bentuk pelecehan fisikal yang dapat menyebabkan gangguan kecemasan pasca trauma adalah pemukulan, penendangan, ancaman/penyerangan, pencekikan, pengikatan, pengejaran, pemaksaan untuk memakan/ meminum sesuatu secara tidak wajar dan berlebihan serta membahayakan, ancaman dengan senjata, pelecehan yang dilakukan oleh orang tua terhadap anak. Sedangkan bentuk-bentuk pelecehan emosional meliputi: isolasi, ancaman untuk berselingkuh, intimidasi, merendahkan nama, pengabaian ekonomi, perebutan kekuasaan, penghancuran benda, penyiksaan binatang peliharaan, tidak memberikan nafkah dsb; (c) penyiksaan (bentuk yang terburuk adalah perilaku seksual menyimpang dengan mengkomunikasikan kekerasan fisik, emosional dan spiritual); (d) perbuatan kriminal seperti mutilasi, perampokan, kekerasan/ ancaman terhadap keluarga; (e) sandera, tawanan perang, karantina, pembajakan; (f) pelecehan pemujaan; (g) terorisme; (h) pemboman; (i) menyaksikan suatu pembunuhan, kejahatan seksual, ancaman/ penyerangan, penyiksaan; (j) serangan penembak gelap; (k) menyaksikan reaksi ketakutan orang tua; (l) menyaksikan efek alkoholisme pada keluarga; (m) bunuh diri atau bentuk lain dari kematian mendadak; (n) ancaman kematian; (o) kerusakan atau kehilangan bagian tubuh.
Faktor lain yang menjadi penyebab terjadinya gangguan kecemasan pasca trauma adalah akibat dari ketidaksengajaan manusia adalah (a) industrial (misalnya sebuah alat derek yang jatuh); (b) kebakaran; (c) ledakan kendaraan bermotor, kapal yang karam; (d) bencana nuklir; (e) runtuhnya bangunan; (f) kerusakan akibat operasi pada tubuh atau kehilangan bagian tubuh. Sedangkan faktor perbuatan alam/ bencana alam yang dapat menyebabkan terjadinya PTSD di antaranya adalah (a) angin rIbut; (b) angin topan; (c) tornado; (d) banjir; (e) gempa bumi; (f) salju longsor dan (g) tsunami.
           
Akibat Gangguan Kecemasan Pasca Trauma (PTSD)
Wilson dalam Schiraldi (1999) merangkum bahwa gangguan kecemasan pasca trauma berpengaruh pada kapasitas-kapasitas psikologi, konsep diri, perkembangan dan hubungan seseorang (termasuk kapasitas keintiman, cinta dan seksualitas). Jika tidak ditangani, gangguan kecemasan pasca trauma akan bertambah parah dan memberikan dampak munculnya gangguan pada aspek fisik (physical fatigue), emosi (emotional fatigue), mental (mental fatigue), perilaku (behavioral fatigue), spiritual (spiritual fatigue). Menurut Schiraldi (1999) symptom yang muncul pada aspek kelelahan fisik di antaranya adalah: suhu badan meninggi (tension), menggigil (trembling), badan terasa lesu (fatigue), mual-mual (tingling), pening (nausea), ketidakmampuan menyelesaikan masalah (digestive track problem), sesak napas (rapid breathing), panic (event panic attack).
Aspek emosi (emotional fatigue) di antaranya adalah iritasi (irritation), hilangnya gairah hidup (moodiness), ketakutan (fear), dikendalikan emosi (exaggerated emotions), merasa rendah diri (loss of confidence).
Aspek mental (mental fatigue) di antaranya kebingungan (confussion), tidak dapat berkonsentrasi (inability to concentrate), tidak mampu mengingat dengan baik (remember), tidak dapat menyelesaikan masalah (lack decision making).
Aspek perilaku (behaviour fatigue) di antaranya adalah sulit tidur, kehilangan selera makan, makan berlebihan, banyak merokok, minum alcohol, menghindar, sering menangis, tidak mampu berbicara, tidak bergerak, gelisah, terlalu banyak gerak, mudah marah, ingin bunuh diri, menggerakan anggota tubuh secara berulang-ulang, rasa malu berlebihan, mengurung diri, menyalahkan orang lain.
Aspek spiritual (spiritual fatigue) di antaranya adalah putus asa (discouragement), hilang harapan (hopeless), menyalahkan tuhan, berhenti ibadah, tidak berdaya (despair), meragukan keyakinan, tidak tulus, dll.

Pendekatan  Penanganan Gangguan Kecemasan Pasca Trauma
Penanganan terhadap individu yang mengalami gangguan kecemasan pasca trauma dapat menggunakan beragam model termasuk pendidikan, ekspossure, eksplorasi perasaan dan keyakinan dan pelatihan keterampilan pemecahan masalah.
Pendekatan yang umum digunakan untuk penanganan gangguan kecemasan pasca trauma adalah (1) cognitive-bevioral therapy yang bertujuan untuk mengubah emosi, pikiran dan perilaku individu; (2) pharmacotherapy untuk mengurangi kecemasan, depresi, sulit tidur, distress dan mati rasa yang kadang-kadang menggunakan obat-obatan; (3) eye movement desentization and reprocessing yang mengkombinasikan exposure therapy dan cognitive behavioral dengan menggerakkan beberapa organ tubuh; (4) group treatment (sebagai model ideal) karena adanya  kesempatan untuk berbagi rasa empati, kohesi, dan rasa aman, dan; (5) brief psychodynamic psychotherapy yang berfokus pada koflik emosional yang disebabkan oleh peristiwa trauma khususnya pada awal-awal kehidupan.
Bryson (2005) berpendapat bahwa pendekatan yang paling tepat untuk menangani anak-anak trauma adalah: (a) Cognitif Bahavioral Therapy, (b) Exposure Theraphy, (c) Brief Psychodinamic Psikoterapy; (d) Eye Movement Decensitization and Reprocessing; (e) Family Theraphy; (f) Self-Helf or Support Group Theraphy.

a.  Terapi Perilaku-Kognitif
Cognitive Behavioral Therapy (CBT) adalah jenis konseling yang bertujuan untuk mengajari klien bagaimana mengubah pikiran dan pola perilaku tertentu terhadap kejadian traumatis yang dialami atau disaksikan. Dasar teori CBT adalah  pikiran dan perilaku yang dipandang dapat mempengaruhi gejala dan tindakan untuk menyelesakan masalah. Dalam CBT, klien dan terapis bekerja sama untuk mengidentifikasi dan merubah cara berpikir dan cara merespon secara emosional terhadap gejala trauma.
Cognitive Behavioral Therapy mengajarkan klien tentang gangguan, gejalanya dan bagaimana memprediksi munculnya suatu gejala. Selanjutnya, CBT memfokuskan pada  bagaimana cara berfikir positif dan strategi pemecahan masalah yang tidak hanya untuk  gangguan kecemasan pasca trauma tetapi juga bagaimana mengembangkan hubungan dan merespon kejadian dalam kehidupan sehari-hari. Melalui CBT, konselor mengajarkan latihan untuk mengurangi gejala fisik yang berkembang selama stress dan membantu mengontrol gejalanya. Latihan ini juga membantu mengurangi gejal fisik dan emosi yang dialami ketika dihadapkan pada situasi yang mengingatkan pada kejadian traumatis.

b.  Exposure Theraphy
Terapi pengungkapan bertujuan mengurangi tekanan fisik atau  emosional  yang dialami ketika berhadapan dengan objek, situasi atau memori khusus. Selama terapi pengungkapan, klien dibantu untuk mengurangi pengalaman traumatis, melawan ketakutan terhadap situasi atau objek traumatis, dan mengatasi tekanan melalui lingkungan terkontrol.
Selama terapi berlangsung, konselor membantu klien mengingat atau membayangkan objek yang menakutkan atau tekanan pikiran. Konselor juga membantu klien  mengatasi tekanan fisik dan mental yang berkembang selama pengalaman terapi berlangsung. Konfrontasi dan belajar untuk menanggulangi tekanan perasaan dapat mengurangi gejala sedikit demi sedikit.
Aktivitas selama terapi tergantung pada ketakutan, tekanan pikiran atau pengalaman traumatis. Hipnosis dan realitas virtual kadang kadang diperlukan. Umumnya selama terapi klien didorong untuk: a) membicarakan ketakutan, tekanan pikiran atau perasaan, b) mempelajari cara menghadapi ketakutan, menangani pikiran tekanan fisik dan emosi, dan c) melihat ketakutan, tekanan pikiran atau tekanan fisik dan emosi dengan cara yang berbeda.
Klien juga diajarkan bagaimana menggunakan macam-macam teknik relaksasi seperti latihan pernapasan untuk mengatasi tekanan emosi dan fisik serta ketakutan. Teknik relaksasi membantu klien memelihara kendali diri ketika  berhadapan dengan objek yang ditakuti, situasi atau tekanan pikiran..

c.   Brief Psychodinamic Psychoteraphy
Brief psychodinamic psychoteraphy model terapi yang berdasar pada kepercayaan bahwa reaksi, perasaan dan pikiran saat ini dipengaruhi oleh pengalaman masa lalu dan peraan dan pikiran bawah sadar. Brief Psychodinamic Psychoteraphy memfokuskan pada persoalan saat ini. Selama sesi terapi berlangsung, konselor mengartikan pernyataan untuk membantu klien anda menyadari ketidaksadaran pikiran dan perasaan dan membantu mengapa klien  bereaksi secara khusus. Klien diminta untuk melengkapi tugas menulis, membaca artikel atau buku pelajaran yang terkait dengan persoalan yang dihadapi dan meminta orang yang terdekat untuk turut menghadiri sesi terapi.

d.   Eye Movement Desentization and Reprocessing (EMDR)
EMDR (Eye Movement Desensitization and Reprosesing) adalah teknik yang digunakan dalam perawatan sindrom pasca trauma (PTSD). Jenis ini adalah terapi yang memiliki beberapa tahap, termasuk latihan gerakan mata atau menggunakan ketukan dan pengulangan nada. Ini termasuk elemen dari terapi perilaku kognitif yang berfokus pada perubahan pikiran tertentu dan pola perilaku terhadap objek yang ditakuti atau situasi dalam lingkungan terkontrol.
Selama EMDR, klien mengidentifikasi memori dan gambaran yang berhubungan dengan kejadian traumatis dan bagaimana merespon secara fisik dan emosional ketika anda memikirkan peristiwa traumatis. EMDR membatu klien  mengganti efek negatif, reaksi traumatis  menjadi lebih  positif. Meskipun efektivtias EMDR masih terus dikaji namun beberapa teori yang muncul. Para ahli tahu bahwa orang dengan mudah menerima ingatan normal dan kejadian tapi mungkin lari dari masalah dan melakukan distorsi terhadap kenyataan ketika mengingat pengalaman traumatis. Beberapa ahli percaya bahwa pergerakan mata, ketukan nada dapat mengaktifkan mekanisme penyembuhan diri yang membantu ingatan menjadi lebih normal. Melalui pergerakan mata, ketukan atau nada nampak membuat lebih mudah untuk melawan dan memproses gangguan  pikiran dan ingatan.
EMDR tidak menghilangkan ketakutan yang beralasan namun  mengurangi jumlah tekanan fisik dan emosi yang diakibatkan oleh memori traumatik atau objek dan situasi yang ditakutkan.  Aktivitas selama terapi EMDR berlangsung adalah a) terapis menggerakan tangan kebelakang dan memanjangjkan 1 kaki jauhnya dari wajah klien, b) klien melihat terapis menggerakan tangan sambil berfikir atau mendikusikan kejadian traumatis, objek atau situasi yang ditakuti atau penyebab tekanan emosional, dan c) setelah beberapa sesi, tekanan emosi dan fisik diharapkan dapat dikurangi.
Jika konselor menyarankan untuk mencoba EMDR, tanyakan pada seseorang yang memiliki keahlian atau baca informasi tentang itu. Jika anda memilih perawatan, bicarakan pengalaman selama terapi berlangsung. Anda dapat memilih untuk berhenti  menggunakan terapi ini jika merasa tidak memberikan dampak positif. 

e.   Self-Help or Support Group
Self-help atau support group dapat membantu untuk beberapa orang. Kelompok biasanya terdiri dari beberapa orang yang memiliki masalah yang bertemu untuk tujuan khusus, memberi dukungan, menerapkan nasihat yang diterima, dan mendorong  orang untuk  berpartisipasi dalam kelompok. Self-help atau support group berbeda dalam setiap sesi konseling. Kelompok mungkin hanya untuk beberapa sesi atau berkelanjutan.  Proses yang terjadi dalam Self-help atau support group memiliki ciri-ciri sebagai berikut; a) setiap anggota saling membantu untuk memecahkan masalah; b) anggota bertemu secara reguler, biasanya seminggu sekali atau bila diperlukan  saja; c) sesi dapat dihadiri orang yang bersangkutan teman atau keluarga,;d) doronglah anggota untuk berpartisipasi dalam kelompok.
Self-help atau support group tidak direkomendasikan untuk semua orang  karena ada beberapa orang merasa tidak nyaman berbicara dalam kelompok. Hadiri setidaknya tiga kali pertemuan kelompok sebelum memutuskan untuk tidak melanjutkan partisipasi dalam sesi terapi.
Di samping yang telah disebutkan di atas, dewasa ini sesungguhnya telah banyak pendekatan yang digunakan dalam menangani kasus-kasus PTSD. Menurut Schiraldi (2000) pendekatan yang dugunakan untuk menangani  dan merawat kasus-kasus PTSD adalah; (1) Prinsiple of Memory Work; (2) Cognitif Restructuring; (3) Confiding Consealed Wounds;  (4) Resolving Guild; (5) Resolving Guilt; (6) Though Fild Theraphy; (7) The Rewind Tehcnique; (8) Traumatic Insident Reduction (TIR); (9) Eye Movement Desensitization and Reprosessing (EMDR); (10) The Counting Method; (11) Dream Management and Processing; (12) Healing Imagery; (13) Healing Rituals; (14)Grieving Loses;  (15) Making Sense of Trauma: Coming to Terms with Suffering); (16) Hypnosis; (17) Expressive Art Therapis; (18) Life Review;  (19) Building Self Esteem; (20) Unfinished Bussiness: Rosolving Anger; (21) Prolonged Exposure; (22)  dan Complementary Approach.
            Dalam expressive art theraphy, menurut Schiraldy(2000) konselor dapat menggunakan teknik; (1) Visual Arts Theraphy; (2) Movement/Dance Theraphy; (3) Music Theraphy; (4) Language Arts Theraphy; (5) Drama Theraphy; dan (6) Play/Sand-Tray Theraphy.


Referensi :

Rusmana, Nandang. (2008). Konseling Kelompok bagi Anak Berpengalaman Traumatis. Bandung: Rizki Press.

Penguatan Integrasi Pendidikan

PENGUATAN INTEGRASI PENDIDIKAN DALAM ERA DISUPSI Oleh :  Asep Rohiman Lesmana, M.Pd. Pendidikan merupakan suatu entitas yang s...