Minggu, 10 Mei 2020

Penguatan Integrasi Pendidikan


PENGUATAN INTEGRASI PENDIDIKAN DALAM
ERA DISUPSI

Oleh : 
Asep Rohiman Lesmana, M.Pd.

Pendidikan merupakan suatu entitas yang sangat erat dengan budaya dan peradaban  manusia. Kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi telah terlihat dan dapat  dinikmati umat manusia. Namun dibalik kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut juga tidak sedikit menimbulkan dampak negatif bagi banyak manusia, apalagi dalam era  globalisasi sekarang ini yang sangat berkaitan erat dengan moral bangsa. Ancaman yang  mungkin kurang disadari oleh generasi saat ini berkaitan dengan munculnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah degradasi moral bangsa. Pendidikan mengambil peran yang sangat penting dalam mengatasi polemik yang terjadi ini. Pendidikan dimaksudkan sebagai mesin dalam menciptakan generasi bangsa untuk menghadapi  masa depan dan menjadikan bangsa ini memiliki peradaban serta bermartabat di antara bangsabangsa lain di dunia. Zaman yang selalu berkembang menuntut pendidikan untuk selalu  menyesuaikan diri dan menjadi motor dalam proses pendewasaan dan pembangunan bangsa.  Dalam konteks globalisasi, pendidikan di Indonesia perlu membiasakan anak-anak untuk  memahami eksistensi bangsa dalam kaitan dengan eksistensi bangsa-bangsa lain dan segala  persoalan dunia. Berkaitan dengan perkembangan zaman, kita telah memasuki yang namanya era disrupsi teknologi. Pada era ini menuntut manusia di samping berpikir logis juga harus  cakap dalam menyikapi perkembangan informasi yang telah dikemas dalam sistem digital.  Pendidikan nasional perlu mempertimbangkan aspek-aspek itu sehingga sistem yang telah  dibentuk dapat relefan dengan perkembangan zaman. Birokrasi pendidikan di tingkat nasional perlu fokus pada kebijakan yang strategis dan visioner serta mampu mengkreasi sistem yang  mampu menjembatani antara nilai-nilai murni bangsa dengan perkembangan yang ada.

Kata kunci: Pendidikan, Moral Bangsa, Era Disrupsi dan Globalisasi.


PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan salah satu sektor terpenting dalam perkembangan peradaban di Negara  Republik Indonesia. Peran pendidikan dalam membangun moral bangsa Indonesia mulai sejak  zaman perjuangan, kemerdekaan hingga zaman millennial sekarang ini sangatlah besar. Namun  dengan adanya perkembangan zaman yang sangat cepat hingga sampailah kita pada era yang  dinamakan era disrupsi, pendidikan dituntut dapat menyeimbangkan peradaban masyarakat. Era  disrupsi mendorong kita dalam berpikir cepat dan berorientasi pada target. Dari semula yang  menggunakan sistem manual sekarang berubah menjadi sistem digital. Hingga pada sistem  pendidikanpun harus segera menyesuaikan dengan perkembangan zaman yang semakin mutakhir  ini.
Era disrupsi ini memberikan peluang bagi kita ungtuk mendapatkan informasi dalam bentuk  apapun. Informasi yang telah disediakan, sistem yang sangat mendukung transfer informasi itu tidak  membuat suatu sekat antara pembuat informasi dengan penerima informasi. Sebagian masyarakat  sudah mulai familiar dengan datangnya zaman yang menuntut serba cepat ini. Akan tetapi informasi  yang akan kita dapatkan sangat berbanding lurus dengan perangkat yang kita miliki. Semakin  canggih dan lengkapnya perangkat yang kita miliki, semakin lengkap pula informasi yang akan kita dapatkan. Kita akan dapat merasakan perubahan sistem dalam peradaban manusia ini dapat berdaya  guna bagi kehidupan kita.
Dalam dunia pendidikan nasional, mau tidak mau harus juga menyesuaikan dengan perubahan  zaman yang semakin mutakhir ini. Pendidikan sebagai sarana penyalur ilmu pengetahuan (transfer  knowledge) secara tidak langsung harus memiliki sistem yang dapat mendukung bagi  terselenggaranya kegiatan tersebut. Era disrupsi ini akan memberikan kemudahan pula bagi  kegiatan transfer pengetahuan dalam dunia pendidikan ini. Dapat diambil contoh ketersediaan  media pembelajaran yang canggih, sistem internet yang memadai, sistem pembelajaran dalam  jaringan (online) dan berbagai kecanggihan dunia pembelajaran informatika lainnya. Bagi peserta  pendidikan tentu wajib memiliki kecakapan penggunaan perangkat-perangkat yang digunakan  dalam memperoleh informasi.
Era yang serba cepat ini sangat sejalan dengan teori lama yang diciptakan oleh Charles Darwin,  yang menyatakan bahwa keberlangsungan hidup manusia sangat ditentukan dari kemampuannya  beradaptasi terhadap perubahan yang terjadi sebagai dampak dari proses pembelajaran yang  dialaminya. Teori Darwin itu dapat dikatakan relefan dengan munculnya era disruptif ini.  Berdasarkan uraian di atas, maka penulis merumuskan masalah yang akan dikaji dalam artikel  adalah bagaimana sistem pendidikan nasional dan bagaimana peran pendidikan dalam membangun  moral bangsa di era disrupsi.

PEMBAHASAN 
Sistem Pendidikan Nasional
Konsep sistem pendidikan nasional akan tergantung pada konsep tentang  sistem, konsep tentang pendidikan dan konsep tentang  pendidikan nasional. Perlu pula disadari  bahwa konsep mengenai pendidikan dan sistem pendidikan nasional tidak bisa semata-mata  disimpulkan dari praktek pelaksanaan pendidikan yang terjadi sehari-hari di lapangan, melainkan  harus dilihat dari segi konsepsi atau ide dasar yang melandasinya seperti yang biasanya tersurat dan  juga tersirat dalam ketetapan-ketetapan Undang-undang Dasar, Undang-undang Pendidikan dan  peraturan-peraturan lain mengenai pendidikan dan pengajaran.
Pengertian yang lebih jelas mengenai pendidikan, pendidikan nasiona1 dan sistem pendidikan  nasiona1 dapat dijumpai dalam Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem  Pendidikan  Nasional. Dalam undang-undang ini pendidikan didefinisikan sebagai Usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif  mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,  kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara( Pasal 1, ayat 1 ). Pendidikan nasional didefinisikan sebagai pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang  berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan  perubahan zaman. (pasal 1 ayat 2 ). Sedangkan yang dimaksud dengan sistem pendidikan nasional adalah keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional‖ (pasal 1 ayat  3 ). Jadi dengan demikian, sistem (pendidikan nasional
dapat dianggap sebagai jaringan satuan-satuan pendidikan yang dihimpun secara terpadu dan  dikerahkan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
Apa tujuan yang ingin diwujudkan oleh pendidikan nasional?. Kalau  pendidikan  nasional   didefinisikan sebagai pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 serta  berakar pada nilai-nilai agama dan kebudayaan nasional, maka pendidikan nasional dan sistem  pendidikan nasional akan terbatas pengertiannya pada pendidikan dan sistem pendidikan pada masa  sesudah proklamasi kemerdekaan, karena pendidikan pada masa penjajahan secara formal tidak  berakar pada kebudayaan nasional dan tidak berlandaskan pada Pancasila dan UUD 1945. Sebagai  konsekuensinya, rumusan-rumusan mengenai tujuan pendidikan nasional harus dicari dari  dokumen-dokumen pada masa sesudah proklamasi kemerdekaan.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan UU No. 20 Tahun 2003  tentang Sisdiknas amat mendasar dalam memberikan landasan filosofis serta berbagai prinsip dasar  dalam pembangunan pendidikan, seperti filosofi pendidikan nasional berdasarkan filsafat Pancasila,  paradigma pendidikan dan pemberdayaan manusia seutuhnya, paradigma pembelajaran sepanjang  hayat berpusat pada peserta didik, paradigma pendidikan untuk semua yang inklusif, dan Paradigma  Pendidikan untuk Perkembangan, Pengembangan, dan/atau Pembangunan masyarakat  Berkelanjutan.
Pendidikan yang efektif adalah suatu pendidikan yang memungkinkan peserta didik untuk  dapat belajar dengan mudah, menyenangkan dan dapat tercapai tujuan sesuai dengan yang  diharapkan. Dengan demikian, pendidik (dosen, guru, instruktur, dan trainer) dituntut untuk dapat  meningkatkan keefektifan pembelajaran agar pembelajaran tersebut dapat berguna. Selama ini,  banyak pendapat beranggapan bahwa pendidikan formal dinilai hanya menjadi formalitas saja untuk  membentuk sumber daya manusia Indonesia. Tidak peduli bagaimana hasil pembelajaran formal  tersebut, yang terpenting adalah telah melaksanakan pendidikan di jenjang yang tinggi dan dapat  dianggap hebat oleh masyarakat. Anggapan seperti itu jugalah yang menyebabkan efektifitas  pengajaran di Indonesia sangat rendah. Setiap orang mempunyai kelebihan dibidangnya masingmasing dan diharapkan dapat mengambil pendidikaan sesuai bakat dan minatnya bukan hanya  untuk dianggap hebat oleh orang lain2
Secara mendasar landasan filsafat Pancasila menyiratkan bahwa sistem pendidikan nasional  akan selalu menempatkan peserta didik sebagai makhluk yang diciptakan oleh Tuhan dengan segala  fitrahnya dengan tugas memimpin pembangunan kehidupan yang berharkat dan bermartabat,  sebagai makhluk yang mampu menjadi manusia yang bermoral, berbudi luhur, dan berakhlak mulia.  Oleh karena itu, pendidikan merupakan upaya memberdayakan peserta didik untuk berkembang  menjadi manusia seutuhnya, yaitu yang menjunjung tinggi dan memegang teguh norma-norma yang  berlaku di masyarakat maupun negara sehingga mempunyai tujuan hidup yang bermakna. 
Dalam usaha untuk menyediakan kesempatan belajar yang se1uas-1uasnya bagi setiap warga  negara serta mendorong terwujudnya masyarakat belajar melalui proses belajar yang berlangsung  seumur hidup, maka semua komponen atau satuan pendidikan harus tersedia dan terbuka bagi  semua warganegara yang memerlukan dan siap memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya. Begitu  juga, semua satuan pendidikan harus bekerja secara seimbang dan berinteraksi satu sama lain dalam  suatu kesatuan sistem yang merupakan suatu kebulatan. Misalnya, di negara kita pendidikan dalam  keluarga belum memainkan peranan yang berarti. Padahal landasan yang ditanamkan dalam keluarga sangat besar pengaruhnya bagi proses pendidikan anak selanjutnya. 0leh karena itu  partisipasi keluarga dalam proses pendidikan per1u ditingkatkan.
Keberhasilan komponen-komponen sistem pendidikan dalam menunaikan fungsinya juga  tergantung pada adanya beberapa sarana penunjang yang ikut membantu berfungsinya komponenkomponen atau satuan-satuan pendidikan tersebut. Beberapa di antara sarana penunjang dalam  sistem pendidikan kita adalah: kurikulum, tenaga kependidikan, sumberdaya pendidikan dan  pengelolaan.
Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan  pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran  untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu ( UU No. 20 tahun 2003 pasal 1 ayat 19 ). Kurikulum  disusun sebagai alat untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasiona1. Kuriku1um pada semua  jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan  pendidikan, potensi, potensi daerah, dan peserta didik. Kurikulum disusun sesuai dengan jenjang  pendidikan dalam kerangka negara kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan :  peningkatan iman dan taqwa; peningkatan akhlak mulia; peningkatan potensi, kecerdasan, dan  minat peserta didik; keragaman potensi daerah dan lingkungan; tuntutan pembangunan daerah dan  nasional; tuntutan dunia kerja; perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni; agama;  dinamika perkembangan global; persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan. (UU No. 20 thn  2003 pasal 36).
Perlu disadari bahwa UU No. 20 Tahun 2003 tidak mungkin dapat mengatur semua kegiatan  pendidikan yang terjadi di lapangan. Undang-undang pendidikan nasional hanya mampu  memberikan arah, dan memberikan prinsip-prinsip dasar untuk menuju arah tersebut, serta  mengatur prosedurnya secara umum. Realitas pe1aksanan pendidikan di lapangan akan banyak  ditentukan oleh petugas yang berada di barisan paling depan, yaitu guru, kepala sekolah dan tenagatenaga kependidikan lainnya. Pendidikan kita sekarang ini setidak-tidaknya sedang dihadapkan  pada empat masalah besar : masalah mutu, masalah pemerataan, masalah motivasi, dan masalah  keterbatasan sumberdaya dan sumberdana pendidikan.
a.       Secara umum pendidikan kita sekarang ini tampaknya lebih menekankan pada akumulasi  pengetahuan yang bersifat verbal dari pada penguasaan keterampilan, internalisasi nilai-nilai  dan sikap, serta pembentukan kepribadian. 
b.      Pola motivasi sebagian besar peserta didik lebih bersifat maladaptif daripada adaptif. Pola  motivasi maladaptif lebih berorientasi pada penampilan (performance) daripada pencapaian  suatu prestasi (achievement) (Dweck, 1986), suatu bentuk motivasi yang lebih mengutamakan  kulit luar daripada isi. 
c.       Kualitas proses dan hasil pendidikan belum merata di seluruh tanah air. Pendidikan kita  sekarang ini masih belum berhasil meningkatkan kualitas hasil belajar sebagian besar peserta  didik yang pada umumnya berkemampuan sedang atau kurang. 
d.      Pendidikan kita terkendala yang berkaitan dengan sarana/prasarana, sumberdana dan  sumberdaya, di samping kendala administrasi dan pengelolaan. 
Apabila    kondisi    pendidikan    seperti    ini    berlangsung terus dan tidak bisa diubah,  disangsikan apakah bangsa kita dapat bersaing dengan bangsa lain pada masa-masa yang akan  datang . Dalam menghadapi persaingan dalam mengejar keunggulan, khususnya keunggulan dalam  bidang ekonomi, manusia barus bisa ditingkatkan kualitasnya. Manusia yang berkualitas hendaknya  tidak diartikan sebagai manusia yang sekedar berpengetahuan luas, melainkan juga manusia yang  terampil, ulet, kreatif, efisien dan efektif, sanggup bekerja keras, terbuka, bertanggung jawab, punya  kesadaran nilai dan moral, di samping tentu saja beriman dan taqwa. Di samping itu, haruslah  diupayakan agar sebagian  besar manusia dapat memiliki sifat-sifat tersebut. Sebagai suatu  perbandingan, keberhasilan pendidikan Jepang terletak pada kesanggupannya meningkatkan  kemampuan sebagian besar anak didik mereka dengan cara mendorong dan mengajar mereka  bekerja keras sejak aval untuk mencapai prestasi yang maksimal dan tidak semata-mata  mengandalkankan pada bakat dan kemampuan alamiah. 

Peran Pendidikan Dalam Membangun Moral Bangsa Di Era Disrupsi  
Era Disrupsi sebenarnya berkaitan dengan perubahan konsep dalam dunia teknologi yang  dikenal dengan revolusi industri 4.0. Revolusi Industri 4.0 pertama kali diperkenalkan oleh Profesor  Klaus Schwab Ekonom terkenal asal Jerman itu menulis dalam bukunya, The Fourth Industrial  Revolution bahwa konsep itu telah mengubah hidup dan kerja manusia.
Revolusi industri yang pertama era 1.0 terjadi pada akhir abad ke-18. Ditandai dengan  ditemukannya alat tenun mekanis pertama pada 1784. Kala itu, industri diperkenalkan dengan  fasilitas produksi mekanis menggunakan tenaga air dan uap. Peralatan kerja yang awalnya  bergantung pada tenaga manusia dan hewan akhirnya digantikan dengan mesin tersebut. Banyak  orang menganggur tapi produksi diyakini berlipat ganda.
Revolusi industri 2.0 terjadi di awal abad ke-20. Kala itu ada pengenalan produksi massal  berdasarkan pembagian kerja.Sistem yang seperti ini pada waktu itu sangat membantu bagi  beberapa perusahaan lebih efektif dalam melakukan pengelolaan pekerjaan.  Pada awal tahun 1970  ditengarai sebagai perdana kemunculan revolusi industri 3.0. Dimulai dengan penggunaan  elektronik dan teknologi informasi guna otomatisasi produksi. Debut revolusi industri generasi  ketiga ditandai dengan kemunculan  pengontrol logika terprogram pertama (PLC), yakni modem  084-969. Sistem otomatisasi berbasis komputer ini membuat mesin industri tidak lagi dikendalikan  manusia. Dampaknya memang biaya produksi menjadi lebih murah.
Zaman Revolusi Industri 4.0 yang ditandai dengan sistem cyber-physical. Saat  ini industri mulai menyentuh dunia virtual, berbentuk konektivitas manusia, mesin dan data, semua  sudah ada di mana-mana. Istilah ini dikenal dengan nama internet of things. Dari pemahaman  konsep revolusi industri itulah seluruh sektor kehidupan wajib menyesuaikan diri dengan  perkembangannya. Revolusi zaman 4.0 kerap dinamakan era disrupsi.
Teknologi modern telah memungkinkan terciptanya komunikasi bebas lintas benua, lintas  negara, menerobos berbagai pelosok perkampungan di pedesaan dan menyelusup di gang-gang  sempit di perkotaan, melalui media audio (radio) dan audio visual (televisi, internet, dan lain-lain).  Fenomena modern yang terjadi di awal milenium ketiga ini popular dengan sebutan globalisasi.  Sebagai akibatnya, media ini, khususnya televisi, dapat dijadikan alat yang sangat ampuh di  tangan sekelompok orang atau golongan untuk menanamkan atau, sebaliknya, merusak nilai-nilai  moral, untuk mempengaruhi atau mengontrol pola fikir seseorang oleh mereka yang mempunyai  kekuasaan terhadap media tersebut. Persoalan sebenarnya terletak pada mereka yang menguasai  komunikasi global tersebut memiliki perbedaan perspektif yang ekstrim dalam memberikan kriteria  nilai-nilai moral; antara nilai baik dan buruk, antara kebenaran sejati dan yang artifisial. Di sisi lain  era kontemporer identik dengan era sains dan teknologi, yang pengembangannya tidak terlepas dari  studi kritis dan riset yang tidak kenal henti.
Dengan semangat yang tak pernah padam ini para saintis telah memberikan kontribusi yang  besar kepada kesejahteraan umat manusia di samping kepada sains itu sendiri. Hal ini sesuai dengan  identifikasi para saintis sebagai pecinta kebenaran dan pencarian untuk kebaikan seluruh umat  manusia. Akan tetapi, sekali lagi, dengan perbedaan perspektif terhadap nilai-nilai etika dan  moralitas agama, jargon saintis sebagai pencari kebenaran tampaknya perlu dipertanyakan.
Menurut UU Sistem Pendidikan Nasional No 20 tahun 2003 pendidikan adalah usaha sadar dan  terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara  aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaaan, pengendalian  diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,  masyarakat, bangsa, dan negara.
Era globalisasi adalah era perubahan dimana sesuatu yang sudah lama ada diperbarui dari segi  teknologi, budaya, politik, dan lain-lain. Dari semua itu banyak sekali perspektif dari para ahli  bahwa globalisasi sangat bagus untuk setiap perubahan. Akan tetapi, disisi lain globalisasi juga  berdampak pada moral atau etika seseorang baik etika yang baik maupun buruk. Seiring dengan  mudahnya mengakses segala informasi yang ada, manusia dapat belajar segala macam etika, etika  baik maupun etika buruk.
Di zaman modern ini, perilaku manusia sudah sangat disiplin dan formal karena mengacu pada  sebuah sistem yang tertata rapi dan membutuhkan kedisiplinan yang tinggi. Globalisasi seiring  dengan berbagai macam informasi di dunia ini, manusia dapat belajar dari berbagai adat, tradisi,  dan perilaku dari negara lain, serta diwajibkan untuk bisa beradaptasi dengan segala kondisi. Untuk  itu, moral yang baik sangat dibutuhkan di dunia modern yang canggih ini.
Untuk memahami sepenuhnya apa yang menggerakkan seseorang sehingga mampu melakukan  tindakan bermoral atau justru menghalanginyakita perlu melihat lebih jauh dalam tiga aspek karakter  lainnya yakni: kompetensi, kemauan, dan kebiasaan.3 
a. Kompetensi
Kompetensi moral adalah kemampuan mengubah pertimbangan dan perasaan moral ke dalam  tindakan moral yang efektif untuk dipergunakan dalam mengatasi permasalahan setiap hari. Untuk  menyelesaikan sebuah konflik secara adil, misalnya, kita membutuhkan keterampilan praktis seperti  mendengarkan, mengomunikasikan pandangan kita tanpa mencemarkan nama baik orang lain, dan  melaksanakan solusi yang dapat diterima semua pihak. Kompetensi juga berperan dalam situasisituasi moral lainnya. Untuk membantu seseorang yang tengah menghadapi kesulitan, kita harus  dapat memikirkan dan melaksanakan rencana yang sudah dibuat. Pelaksanaan rencana akan lebih  mudah jika sebelumnya kita telah memiliki pengalaman menolong orang yang tengah menghadapi  kesulitan.
b. Kehendak
Dalam situasi-situasi moral tertentu, membuat pilihan moral biasanya merupakan hal yang sulit  karena berbagai pertimbangan yang ada. Menjadi baik sering kali menuntut orang memiliki  kehendak untuk melakukan tindakan nyata, mobilisasi energi moral untuk melakukan apa yang  menurut kita harus dilakukan. Kehendak dibutuhkan untuk menjaga emosi agar tetap terkendali  oleh akal. Kehendak juga dibutuhkan untuk dapat melihat dan memikirkan suatu keadaan melalui  seluruh dimensi moral. Kehendak dibutuhkan untuk mendahulukan kewajiban, bukan kesenangan. Kehendak dibutuhkan untuk menahan godaan, bertahan dari tekanan teman sebaya, dan melawan  gelombang. Pada dasarnya kehendak merupakan inti keberanian moral.
c. Kebiasaan
Dalam banyak situasi, kebiasaan merupakan faktor pembentuk perilaku moral. Orang-orang  yang memiliki karakter yang baik bertindak dengan sungguhsungguh, loyal, berani, berbudi, dan  adil tanpa banyak tergoda oleh hal-hal sebaliknya. Mereka bahkan sering kali menentukan "pilihan  yang benar" secara tak sadar. Mereka melakukan hal yang benar karena kebiasaan.
Terdapat banyak faktor yang berkontribusi mempengaruhi kualitas moral dalam pribadi  manusia. Salah satu faktor tersebut; adalah keteladanan dari guru, orangtua, dan masyarakat.  Keteladanan ini dalam alam Indonesia dianggap langka. Terjadinya berbagai perilaku negatif yang  dilakukan oleh anak bangsa, salah satunya disebabkan oleh krisis keteladanan di kalangan  pemimpin bangsa. Kondisi ini menjadikan anak tidak lagi peduli dengan nasihat guru karena contoh  perilaku negatif yang dipertontonkan oleh elit politik yang diperoleh anak di luar kelas melalui  media massa jauh lebih berpengaruh terhadap pembentukan pribadinya. Akibatnya, sekolah, khususnya guru, tidak mampu lagi membendung budaya negatif itu.
Salah satu cara untuk menumbuhkan aspek moral feeling adalah dengan cara membangkitkan  kesadaran anak akan pentingnya memberikan komitmen terhadap nilai-nilai moral. Sebagai contoh  untuk untuk menanamkan kecintaan anak untuk jujur dengan tidak mencontek, orang tua harus  dapat menumbuhkan rasa bersalah, malu dah tidak empati atas tindakan mencontek tersebut.  Kecintaan ini (moral feeling) akan menjadi kontrol internal yang paling efektif, selain kontrol  eksternal berupa pengawasan orang tua terhadap tindak tanduk anak dalam keseharian.
Akulturasi dan asimilasi sangat berdampak pada moral orang-orang karena itu bisa  menghilangkan tradisi yang lama dan menciptakan budaya yang baru. Seperti kita ketahui,  Indonesia menganut asas keagamaan yang tinggi, berbeda-beda jenis agama tapi tetap menjunjung  tinggi integritas dan rasa saling menghargai. Akan tetapi, nilai-nilai bangsa sudah memudar seiring  bercampurnya nilai-nilai barat dengan nilai-nilai Indonesia. Penduduk Indonesia zaman sekarang  sudah menyeleweng dari nilai-nilai Pancasila yang sudah dibuat oleh para pejuang. Mereka lebih  mementingkan nilai-nilai hedonisme yang diajarkan oleh barat dan menghilangkan rasa cinta tanah  air mereka karena lebih dominan atau sudah tercemar pikirannya dengan budaya-budaya barat,  terutama merusak kaum remaja.
Sedangkan moral merupakan kondisi pikiran, perasaan, ucapan, dan perilaku manusia yang  terkait dengan nilai-nilai baik dan buruk. Moral secara ekplisit adalah hal-hal yang berhubungan  dengan proses sosialisasi individu, tanpa moral manusia tidak bisa melakukan proses sosialisasi.  Moral adalah nilai keabsolutan dalam kehidupan bermasyarakat secara utuh. Penilaian terhadap  moral diukur dari kebudayaan masyarakat setempat. Moral adalah perbuatan/tingkah laku/ucapan  seseorang dalam berinteraksi dengan manusia. Apabila yang dilakukan seseorang itu sesuai dengan  nilai rasa yang berlaku di masyarakat tersebut dan dapat diterima serta menyenangkan lingkungan  masyarakatnya, maka orang itu dinilai memiliki moral yang baik, begitu juga sebaliknya. Moral  adalah produk dari budaya dan agama. Setiap budaya memiliki standar moral yang berbeda-beda  sesuai dengan sistem nilai yang berlaku dan telah terbangun sejak lama. Moral juga dapat diartikan sebagai sikap, perilaku, tindakan, kelakuan yang dilakukan seseorang pada saat mencoba  melakukan sesuatu berdasarkan pengalaman, tafsiran, suara hati, serta nasihat, dll.
Pembelajaran moral dilakukan agar terbentuk perilaku moral pada peserta didik yang  memerlukan perhatian serta pemahaman terhadap dasar-dasar serta berbagai kondisi yang  mempengaruhi dalam lingkungannya. Pendidikan moral merupakan salah satu bentuk  penyelenggaraan pendidikan yang menitikberatkan pada peletakan dasar ke arah pertumbuhan dan  perkembangan kecerdasan spiritual dan emosional, afektif/sosioemosional (sikap dan perilaku serta  agama), bahasa dan komunikasi, sesuai dengan keunikan dan tahap-tahap perkembangan yang  dilalui untuk menciptakan rasa peka terhadap lawan interaksi dan juga peka terhadap lingkungan.6  Maka dapat disimpulkan bahwa pengertian pendidikan moral adalah usaha yang dilakukan  secara terencana untuk mengubah sikap, perilaku, tindakan, kelakuan yang dilakukan peserta didik  agar mampu berinteraksi dengan lingkungan masyarakatnya sesuai dengan nilai moral dan  kebudayaan masyarakat setempat.
Perkembangan moral pada manusia dapat berlangsung melalui beberapa cara, yaitu: (1)  Pendidikan langsung; melalui penanaman pengertian tentang tingkah laku yang benar dan salah atau  yang baik dan buruk oleh orangtua, guru, atau orang dewasa lainnya. Hal yang paling penting dalam  pendidikan moral adalah keteladanan dari orangtua, guru, dan orang dewasa lainnya dalam  melakukan nilai-nilai moral, (2) Identifikasi; yaitu dengan cara meniru penampilan atau tingkah  laku moral seseorang yang menjadi idolanya, seperti orangtua, guru, kiai, artis, atau orang dewasa  lainnya, (3) Proses coba-coba; yaitu dengan cara mengembangkan tingkah laku moral secara cobacoba. Tingkah laku yang mendatangkan pujian atau penghargaan akan terus dikembangkan,  sementara tingkah laku yang mendatangkan hukuman atau celaan akan dihentikannya.
Globalisasi mempengaruhi hampir semua aspek yang ada di masyarakat, termasuk diantaranya  aspek budaya. Kebudayaan dapat diartikan sebagai nilai-nilai (values) yang dianut oleh masyarakat  ataupun persepsi yang dimiliki oleh warga masyarakat terhadap berbagai hal. Baik nilai-nilai  maupun persepsi berkaitan dengan aspek-aspek kejiwaan/psikologis, yaitu apa yang terdapat dalam  alam pikiran. Aspek-aspek kejiwaan ini menjadi penting artinya apabila disadari, bahwa tingkah  laku seseorang sangat dipengaruhi oleh apa yang ada dalam alam pikiran orang yang bersangkutan.  Sebagai salah satu hasil pemikiran dan penemuan seseorang adalah kesenian, yang merupakan  subsistem dari kebudayaan.
Globalisasi memiliki sisi positif dan negatif terhadap pendidikan moral. Disatu sisi, arus  globalisasi merupakan harapan yang akan memberikan berbagai kemudahan bagi kehidupan  manusia. Namun disisi lain, era globalisasi juga memberikan dampak yang sangat merugikan.  Dengan perkembangan sektor teknologi dan informasi, manusia tidak lagi harus menunggu waktu,  untuk bisa mengakses berbagai informasi dari seluruh belahan dunia, bahkan yang paling pelosok  sekalipun. Kondisi ini menjadikan tidak adanya sekat serta batas yang mampu untuk menghalangi proses transformasi kebudayaan. John Neisbitt, menyebutkan kondisi seperti ini sebagai gaya  hidup global, yang ditandai dengan berbaurnya budaya antar bangsa, seperti terbangunnya tatacara hidup yang hampir sama, kegemaran yang sama, serta kecenderungan yang sama pula, baik dalam  hal makanan, pakaian, hiburan dan setiap aspek kehidupan manusia lainnya. Kenyataan semacam  ini, akan membawa implikasi pada hilangnya kepribadian asli, serta terpoles oleh budaya yang
cenderung lebih berkuasa. Dalam konteks ini, kebudayaan barat yang telah melangkah jauh dalam  bidang industri serta teknologi informasi, menjadi satu-satunya pilihan, sebagai standar  modernisasi, yang akan diikuti dan dijadikan kiblat oleh setiap individu. Globalisasi menyebabkan  perubahan sosial yang memunculkan nilai-nilai yang bersifat pragmatis, materialistis dan  individualistik.
Tidak terkecuali, bagi masyarakat Indonesia yang telah memiliki budaya lokal, terpaksa harus  menjadikan budaya barat sebagai ukuran gaya hidupnya, untuk bisa disebut sebagai masyarakat  modern. Disamping itu, sebagai bangsa yang beragama dan berkeyakinan penduduk yang telah  memiliki acuan berdasarkan keyakinan tersebut yang telah mampu mengangkat martabat serta  derajat masyarakat dan menjadi filter masuknya budaya barat, yang merupakan produk revolusi  industri, yang telah menjatuhkan martabat manusia. Dengan kebebasan individu dalam faham barat,  telah menjadikan masyarakat muslim melepaskan kontrolnya dari kepercayaan moralitas serta  spiritualitas (agama).
Berbagai perilaku destruktif, seperti alkoholisme, seks bebas, aborsi sebagai penyakit sosial  yang harus diperangi secara bersama-sama. Sehingga kenyataan ini menjadikan banyak orang yang  tidak lagi mempercayai kemampuan pemerintah, untuk menurunkan angka kriminalitas serta  berbagai penyakit sosial lainnya. Dari gambaran tersebut, terlepas dari mana yang paling signifikan,  namun kenyatan tersebut, telah menjadikan pendidikan moral serta agama sebagai salah satu upaya  untuk menanggulangi penyakit serta krisis sosial yang ada ditengah masyarakat.
Oleh karena itu, moral bukan saja bersifat personal, seperti jujur, adil dan bertanggungjawab,  akan tetapi juga berdimensi publik, yakni terciptanya etika kolektif, serta kehidupan sosial yang  santun. Dengan etika kolektif inilah, akan terbangun etika organisasi yang mengharuskan setiap  individu untuk berjalan bersama, menurut landasan etika kolektif tersebut. Namun demikian, pada  dasarnya etika publik ini terbentuk dari etika individu, sehingga tidak mungkin akan tercipta etika  publik, tanpa adanya kesadaran masing-masing pribadi akan nilai moralitas.
Pendidikan agama dan moral merupakan pedoman sangat penting bagi dalam proses belajar  mengajar sebagai salah satu antisipasi agar anak-anak didik kita terhindar hal-hal yang bertentangan  dengan agama di era globalisasi saat ini. Dikatakan, dengan kuatnya pendidikan agama akan  menciptakan generasi yang bermoral dan berkualitas. Kondisi itulah yang saat ini wajib ditanamkan  oleh sistem pendidikan nasional, sehingga melahirkan generasi-generasi yang berkualitas dengan  cirinya iman, ilmu dan amal. Wujud pemberian materi keagamaan dan materi pendidikan moral  yang diselipkan dalam kurikulum berbasis kompetensi diharapkan dapat memberikan pengaruh  kepada siswa dalam berperilaku, berfikir, berucap, dan bersikap yang diwujudkan dalam setiap  perilaku moral dan religiusitasnya.
Pendidikan moral bisa disamakan pengertiannya dengan pendidikan budi pekerti. Pendidikan  moral merupakan pendidikan nilai-nilai luhur yang berakar dari agama, adat-istiadat dan budaya  bangsa Indonesia dalam rangka mengembangkan kepribadian supaya menjadi manusia yang baik.  Secara umum, ruang lingkup pendidikan moral adalah penanaman dan pengembangan nilai, sikap  dan perilaku sesuai nilai-nilai budi pekerti luhur. Di antara nilai-nilai yang perlu ditanamkan adalah  sopan santun, berdisiplin, berhati lapang, berhati lembut, beriman dan bertakwa, berkemauan keras,  bersahaja, bertanggung jawab, bertenggang rasa, jujur, mandiri, manusiawi, mawas diri, mencintai  ilmu, menghargai karya orang lain, rasa kasih sayang, rasa malu, rasa percaya diri, rela berkorban, rendah hati, sabar, semangat kebersamaan, setia, sportif, taat asas, takut bersalah, tawakal, tegas,  tekun, tepat janji, terbuka, dan ulet. 
Disisi lain keluarga memiliki peran yang signifikan dalam membentuk mental dan moral  bangsa. Pendidikan nasional harus menciptakan sistem yang memberikan ruang bagi keluarga ikut  dalam berperan dikegiatan pendidikan formal. Keluarga adalah lingkungan pertama dimana jiwa  dan raga anak akan mengalami pertumbuhan dan kesempurnaan. Untuk itulah keluarga memainkan  peran yang amat mendasar dalam menciptakan kesehatan kepribadian anak dan remaja. Tentu saja  status sosial dan ekonomi keluarga di tengah masyarakat berpengaruh pada pola berpikir dan  kebiasaan anak. Dengan demikian, berdasarkan bentuk dan cara interaksi keluarga dan masyarakat,  anak akan memperoleh suasana kehidupan yang lebih baik, atau sebaliknya, akan memperoleh efek  yang buruk darinya.
Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah, dalam hal ini Menteri Pendidikan, untuk  memperbaiki moral generasi bangsa melalui pendidikan. Namun keinginan tersebut ternyata belum  membuahkan hasil yang signifikan. Pemerintah dalam melaksanakan pendidikan, masih lebih  banyak menitikberatkan pada kemampuan kognitif siswa, dengan mengesampingkan kemampuan  afektif atau perilaku siswa dan psikomotorik atau keterampilan.
Salah satu solusi agar pendidikan moral menjadi efektif adalah dengan menerapkan pendidikan  karakter di setiap jenjang pendidikan, mulai dari pendidikan dasar sampai pada pendidikan tinggi.  Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang  meliputi konsumen pengetahuan, kesadaran dan kemauan dan tindakan untuk melaksanakan nilainilai tersebut baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama, lingkungan maupun ke  bangsa sehingga menjadi insan kamil. Dengan penerapan pendidikan karakter, maka karakter dari  peserta didik akan terbentuk sejak mereka berada di bangku sekolah dasar, kemudian dilanjutkan  pada sekolah menengah dan perguruan tinggi. Dengan terbentuknya karakter tersebut, maka akan  menjadi perisai atau kontrol dalam diri seseorang, sehingga akan mengendalikan perilaku orang  tersebut. Intinya adalah, jika karakter sudah terbentuk, maka akan sulit untuk mengubah karakter  tersebut.Dengan menanamkan nilai-nilai kebaikan dalam setiap proses pendidikan, akan membantu  proses pembentukan karakter dari peserta didik yang bermoral dan bermartabat. 
Dengan terbentuknya karakter tersebut, maka karakter tersebut akan sulit hilang sehingga akan  menjadi watak perilaku seseorang dalam menjalani masa yang akan datang. Penerapan pendidikan  karakter dalam sistem kurikulum pendidikan dapat dilaksanakan dengan cara :
a.       Menyisipkan nilai–nilai moral di setiap proses belajar mengajar
b.      Membentuk kelas motivasi (motivation class), yang dalam hal ini lebih menekankan pada  penggugahan motivasi internal peserta didik
c.       Menambah mata pelajaran tentang pendidikan moral, dan peserta didik dipersyaratkan lulus
a.       mata pelajaran tersebut
d.      Menyeimbangkan porsi antara materi belajar akal (cerdas) dan hati (moral). 
Pendidikan moral harus menjadi agenda penting bagi pemerintah dengan cara menerapkan  pendidikan karakter di setiap jenjang pendidikan, mulai dari pendidikan dasar sampai pada  pendidikan tinggi. Pendidikan karakter akan mampu menjadi tameng kelemahan-kelemahan yang  mungkin terjadi di era disrupsi. Keluarga juga memiliki tanggungjawab yang penting dalam  memberikan edukasi terhadap anggota keluarga, karena keluarga adalah teman interaksi atau  diskusi yang paling tepat. Dengan penerapan pendidikan karakter, maka nilai-nilai kemuliaan moral  dan kebudayaan Indonesia dapat tersampaikan dan menjadi keyakinan yang idealis kepada setiap  individu. Dengan menanamkan nilai-nilai kebaikan dalam setiap proses pendidikan, akan membantu  proses pembentukan karakter dari  peserta didik yang bermoral dan bermartabat.


PENUTUP
Era disrupsi disamping memiliki nilai positif juga mendatangkan nilai negatif bagi bangsa ini.  Nilai positif dari era ini adalah tersedianya akses informasi yang luar biasa cepatnya. Namun disisi  lain masyarakat juga tidak mudah menolak adanya kebudayaan yang tidak sesuai dengan budaya  bangsa kita, oleh karena itu mereka terpengaruh dengan kebiasaan yang buruk melalui berbagai  pengaruh baik media elektronik, style, dan gaya hidup yang serba lebih ke modern-modernan.
Perkembangan teknologi dan budaya membuat sebagian orang di Indonesia menyalahgunakannya  dengan berbagai kemauan dan kehendak mereka sendiri. Jadi, ada baiknya kita bisa memilih  bagaimana budaya, teknologi dan lain sebagainya berguna bagi kita dan orang lain. 
Pendidikan moral adalah usaha yang dilakukan secara terencana untuk mengubah sikap,  perilaku, tindakan, kelakuan yang dilakukan peserta didik agar mampu berinteraksi dengan  lingkungan masyarakatnya sesuai dengan nilai moral dan kebudayaan masyarakat setempat.  Pendidikan moral harus memiliki porsi yang lebih dalam sistem pendidikan nasional. Ada beberapa  hal yang melatarbelakangi kemerosotan moral bangsa Indonesia dan hal itu perlu diketahui  sehingga kita mampu menemukan solusi yang terbaik dan membantu dalam penyelesaian masalah  tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

BUKU
Agus Zaenul Fitri. (2012). Pendidikan Karakter berbasis Nilai dan Etika di Sekolah, Ar Ruzz
Media: Yogyakarta.
Dasim, Budimansyah. (2010). Penguatan Pendidikan Kewarganegaraan untuk Membangun  Karakter Bangsa. Widya Aksara Press: Bandung.
Masnur Muslich. (2014). Pendidikan karakter menjawab tantangan krisis multidimensional.
BumiAksara: Jakarta.
Syamsu Yusuf. (2008). Psikologi Perkembangan Anak & Remaja. Rosda: Bandung.
Yudi Latif. (2011). Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila.
Kompas Gramedia: Jakarta.


JURNAL
Fatimah Ibda. (2012). Pendidikan Moral Anak Melalui Pengajaran Bidang Studi Ppkn Dan  Pendidikan Agama, Jurnal Ilmiah DIDAKTIKA VOL. XII NO. 2, hlm.338-347
Ilham Hudi. (2017). Pengaruh Pengetahuan Moral Terhadap Perilaku Moral Pada Siswa SMP  Negeri Kota Pekan Baru Berdasarkan Pendidikan Orangtua, Jurnal Moral Kemasyarakatan   VOL.2, NO.1, Hal. 30-44
Nur Azizah. (2006). Perilaku Moral dan Religiusitas Siswa Berlatar Belakang Pendidikan Umum  dan Agama, Jurnal Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada Volume 33, No. 2,  hlm. 6-7.
R. Andi Ahmad Gunadi. (2013). Membentuk Karakter Melalui Pendidikan Moral Pada Anak Usia  Dini Di Sekolah Raudhatul Athfal (R.A) Habibillah, Jurnal Ilmiah WIDYA Volume 1 Nomor 2,  hlm.85-86

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem  Pendidikan Nasional,  Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78.

DATA ELEKTRONIK
https://www.kompasiana.com/ahmadfaruq/57dd95f46d7e616e563d5a94/perubahan-moral-pada-eraglobalisasi, diakses tanggal 18 Agustus 2018.
https://goenable.wordpress.com/tag/pentingnya-menumbuhkan-pendidikan-moral-di-eraglobalisasi/,  diakses tanggal 18 Agustus 2018.
http://www.academia.edu/13107208/Pengaruh_Globalisasi_Terhadap_Nilai_Moral_Suatu_Bangsa,
diakses tanggal 18 Agustus 2018.
https://www.pontianakpost.co.id/kembalikan-nilai-moral-anak-bangsa, diakses tanggal 18 Agustus
2018.
https://asiswanto.net/?page_id=1694, diakses tanggal 18 Agustus 2018.

Penguatan Integrasi Pendidikan

PENGUATAN INTEGRASI PENDIDIKAN DALAM ERA DISUPSI Oleh :  Asep Rohiman Lesmana, M.Pd. Pendidikan merupakan suatu entitas yang s...