PENGUATAN INTEGRASI PENDIDIKAN DALAM
ERA DISUPSI
Oleh
:
Asep Rohiman Lesmana, M.Pd.
Pendidikan merupakan
suatu entitas yang sangat erat dengan budaya dan peradaban manusia. Kemajuan dalam bidang ilmu
pengetahuan dan teknologi telah terlihat dan dapat dinikmati umat manusia. Namun dibalik
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut juga tidak sedikit menimbulkan
dampak negatif bagi banyak manusia, apalagi dalam era globalisasi sekarang ini yang sangat berkaitan
erat dengan moral bangsa. Ancaman yang
mungkin kurang disadari oleh generasi saat ini berkaitan dengan
munculnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah degradasi moral
bangsa. Pendidikan mengambil peran yang sangat penting dalam mengatasi polemik
yang terjadi ini. Pendidikan dimaksudkan sebagai mesin dalam menciptakan
generasi bangsa untuk menghadapi masa
depan dan menjadikan bangsa ini memiliki peradaban serta bermartabat di antara
bangsabangsa lain di dunia. Zaman yang selalu berkembang menuntut pendidikan
untuk selalu menyesuaikan diri dan
menjadi motor dalam proses pendewasaan dan pembangunan bangsa. Dalam konteks globalisasi, pendidikan di
Indonesia perlu membiasakan anak-anak untuk
memahami eksistensi bangsa dalam kaitan dengan eksistensi bangsa-bangsa
lain dan segala persoalan dunia.
Berkaitan dengan perkembangan zaman, kita telah memasuki yang namanya era
disrupsi teknologi. Pada era ini menuntut manusia di samping berpikir logis
juga harus cakap dalam menyikapi
perkembangan informasi yang telah dikemas dalam sistem digital. Pendidikan nasional perlu mempertimbangkan
aspek-aspek itu sehingga sistem yang telah
dibentuk dapat relefan dengan perkembangan zaman. Birokrasi pendidikan
di tingkat nasional perlu fokus pada kebijakan yang strategis dan visioner
serta mampu mengkreasi sistem yang mampu
menjembatani antara nilai-nilai murni bangsa dengan perkembangan yang ada.
Kata kunci:
Pendidikan, Moral Bangsa, Era Disrupsi dan Globalisasi.
PENDAHULUAN
Pendidikan
merupakan salah satu sektor terpenting dalam perkembangan peradaban di
Negara Republik Indonesia. Peran
pendidikan dalam membangun moral bangsa Indonesia mulai sejak zaman perjuangan, kemerdekaan hingga zaman
millennial sekarang ini sangatlah besar. Namun
dengan adanya perkembangan zaman yang sangat cepat hingga sampailah kita
pada era yang dinamakan era disrupsi,
pendidikan dituntut dapat menyeimbangkan peradaban masyarakat. Era disrupsi mendorong kita dalam berpikir cepat
dan berorientasi pada target. Dari semula yang
menggunakan sistem manual sekarang berubah menjadi sistem digital.
Hingga pada sistem pendidikanpun harus
segera menyesuaikan dengan perkembangan zaman yang semakin mutakhir ini.
Era disrupsi ini memberikan peluang
bagi kita ungtuk mendapatkan informasi dalam bentuk apapun. Informasi yang telah disediakan,
sistem yang sangat mendukung transfer informasi itu tidak membuat suatu sekat antara pembuat informasi
dengan penerima informasi. Sebagian masyarakat
sudah mulai familiar dengan datangnya zaman yang menuntut serba cepat
ini. Akan tetapi informasi yang akan
kita dapatkan sangat berbanding lurus dengan perangkat yang kita miliki.
Semakin canggih dan lengkapnya perangkat
yang kita miliki, semakin lengkap pula informasi yang akan kita dapatkan. Kita
akan dapat merasakan perubahan sistem dalam peradaban manusia ini dapat
berdaya guna bagi kehidupan kita.
Dalam dunia pendidikan nasional, mau
tidak mau harus juga menyesuaikan dengan perubahan zaman yang semakin mutakhir ini. Pendidikan
sebagai sarana penyalur ilmu pengetahuan (transfer knowledge) secara tidak langsung harus
memiliki sistem yang dapat mendukung bagi
terselenggaranya kegiatan tersebut. Era disrupsi ini akan memberikan
kemudahan pula bagi kegiatan transfer pengetahuan
dalam dunia pendidikan ini. Dapat diambil contoh ketersediaan media pembelajaran yang canggih, sistem
internet yang memadai, sistem pembelajaran dalam jaringan (online)
dan berbagai kecanggihan dunia pembelajaran informatika lainnya. Bagi peserta pendidikan tentu wajib memiliki kecakapan
penggunaan perangkat-perangkat yang digunakan
dalam memperoleh informasi.
Era yang serba cepat ini sangat
sejalan dengan teori lama yang diciptakan oleh Charles Darwin, yang menyatakan bahwa keberlangsungan hidup
manusia sangat ditentukan dari kemampuannya
beradaptasi terhadap perubahan yang terjadi sebagai dampak dari proses
pembelajaran yang dialaminya. Teori
Darwin itu dapat dikatakan relefan dengan munculnya era disruptif ini. Berdasarkan uraian di atas, maka penulis
merumuskan masalah yang akan dikaji dalam artikel adalah bagaimana sistem pendidikan nasional
dan bagaimana peran pendidikan dalam membangun
moral bangsa di era disrupsi.
PEMBAHASAN
Sistem Pendidikan Nasional
Konsep
sistem pendidikan nasional akan tergantung pada konsep tentang sistem, konsep tentang pendidikan dan konsep
tentang pendidikan nasional. Perlu pula
disadari bahwa konsep mengenai
pendidikan dan sistem pendidikan nasional tidak bisa semata-mata disimpulkan dari praktek pelaksanaan
pendidikan yang terjadi sehari-hari di lapangan, melainkan harus dilihat dari segi konsepsi atau ide
dasar yang melandasinya seperti yang biasanya tersurat dan juga tersirat dalam ketetapan-ketetapan
Undang-undang Dasar, Undang-undang Pendidikan dan peraturan-peraturan lain mengenai pendidikan
dan pengajaran.
Pengertian
yang lebih jelas mengenai pendidikan, pendidikan nasiona1 dan sistem
pendidikan nasiona1 dapat dijumpai dalam
Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional. Dalam
undang-undang ini pendidikan didefinisikan sebagai Usaha sadar dan terencana
untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik
secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara( Pasal 1,
ayat 1 ). Pendidikan nasional didefinisikan sebagai pendidikan yang berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
yang berakar pada nilai-nilai agama,
kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman. (pasal 1 ayat 2 ). Sedangkan
yang dimaksud dengan sistem pendidikan nasional adalah keseluruhan komponen
pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan
nasional‖ (pasal 1 ayat 3 ). Jadi dengan
demikian, sistem (pendidikan nasional
dapat dianggap sebagai
jaringan satuan-satuan pendidikan yang dihimpun secara terpadu dan dikerahkan untuk mewujudkan tujuan pendidikan
nasional.
Apa
tujuan yang ingin diwujudkan oleh pendidikan nasional?. Kalau pendidikan
nasional didefinisikan sebagai
pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 serta berakar pada nilai-nilai agama dan kebudayaan
nasional, maka pendidikan nasional dan sistem
pendidikan nasional akan terbatas pengertiannya pada pendidikan dan
sistem pendidikan pada masa sesudah
proklamasi kemerdekaan, karena pendidikan pada masa penjajahan secara formal
tidak berakar pada kebudayaan nasional
dan tidak berlandaskan pada Pancasila dan UUD 1945. Sebagai konsekuensinya, rumusan-rumusan mengenai
tujuan pendidikan nasional harus dicari dari
dokumen-dokumen pada masa sesudah proklamasi kemerdekaan.
Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas amat mendasar dalam
memberikan landasan filosofis serta berbagai prinsip dasar dalam pembangunan pendidikan, seperti
filosofi pendidikan nasional berdasarkan filsafat Pancasila, paradigma pendidikan dan pemberdayaan manusia
seutuhnya, paradigma pembelajaran sepanjang
hayat berpusat pada peserta didik, paradigma pendidikan untuk semua yang
inklusif, dan Paradigma Pendidikan untuk
Perkembangan, Pengembangan, dan/atau Pembangunan masyarakat Berkelanjutan.
Pendidikan
yang efektif adalah suatu pendidikan yang memungkinkan peserta didik untuk dapat belajar dengan mudah, menyenangkan dan
dapat tercapai tujuan sesuai dengan yang
diharapkan. Dengan demikian, pendidik (dosen, guru, instruktur, dan
trainer) dituntut untuk dapat
meningkatkan keefektifan pembelajaran agar pembelajaran tersebut dapat
berguna. Selama ini, banyak pendapat
beranggapan bahwa pendidikan formal dinilai hanya menjadi formalitas saja
untuk membentuk sumber daya manusia
Indonesia. Tidak peduli bagaimana hasil pembelajaran formal tersebut, yang terpenting adalah telah
melaksanakan pendidikan di jenjang yang tinggi dan dapat dianggap hebat oleh masyarakat. Anggapan
seperti itu jugalah yang menyebabkan efektifitas pengajaran di Indonesia sangat rendah. Setiap
orang mempunyai kelebihan dibidangnya masingmasing dan diharapkan dapat
mengambil pendidikaan sesuai bakat dan minatnya bukan hanya untuk dianggap hebat oleh orang lain2
Secara
mendasar landasan filsafat Pancasila menyiratkan bahwa sistem pendidikan
nasional akan selalu menempatkan peserta
didik sebagai makhluk yang diciptakan oleh Tuhan dengan segala fitrahnya dengan tugas memimpin pembangunan
kehidupan yang berharkat dan bermartabat,
sebagai makhluk yang mampu menjadi manusia yang bermoral, berbudi luhur,
dan berakhlak mulia. Oleh karena itu,
pendidikan merupakan upaya memberdayakan peserta didik untuk berkembang menjadi manusia seutuhnya, yaitu yang
menjunjung tinggi dan memegang teguh norma-norma yang berlaku di masyarakat maupun negara sehingga
mempunyai tujuan hidup yang bermakna.
Dalam
usaha untuk menyediakan kesempatan belajar yang se1uas-1uasnya bagi setiap
warga negara serta mendorong terwujudnya
masyarakat belajar melalui proses belajar yang berlangsung seumur hidup, maka semua komponen atau satuan
pendidikan harus tersedia dan terbuka bagi
semua warganegara yang memerlukan dan siap memberikan pelayanan yang
sebaik-baiknya. Begitu juga, semua satuan
pendidikan harus bekerja secara seimbang dan berinteraksi satu sama lain
dalam suatu kesatuan sistem yang
merupakan suatu kebulatan. Misalnya, di negara kita pendidikan dalam keluarga belum memainkan peranan yang
berarti. Padahal landasan yang ditanamkan dalam keluarga sangat besar
pengaruhnya bagi proses pendidikan anak selanjutnya. 0leh karena itu partisipasi keluarga dalam proses pendidikan
per1u ditingkatkan.
Keberhasilan
komponen-komponen sistem pendidikan dalam menunaikan fungsinya juga tergantung pada adanya beberapa sarana
penunjang yang ikut membantu berfungsinya komponenkomponen atau satuan-satuan
pendidikan tersebut. Beberapa di antara sarana penunjang dalam sistem pendidikan kita adalah: kurikulum,
tenaga kependidikan, sumberdaya pendidikan dan
pengelolaan.
Kurikulum
adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai
pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran
untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu ( UU No. 20 tahun 2003 pasal 1
ayat 19 ). Kurikulum disusun sebagai
alat untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasiona1. Kuriku1um pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan
dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi, potensi daerah, dan
peserta didik. Kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka negara kesatuan
Republik Indonesia dengan memperhatikan :
peningkatan iman dan taqwa; peningkatan akhlak mulia; peningkatan
potensi, kecerdasan, dan minat peserta
didik; keragaman potensi daerah dan lingkungan; tuntutan pembangunan daerah
dan nasional; tuntutan dunia kerja;
perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni; agama; dinamika perkembangan global; persatuan
nasional dan nilai-nilai kebangsaan. (UU No. 20 thn 2003 pasal 36).
Perlu
disadari bahwa UU No. 20 Tahun 2003 tidak mungkin dapat mengatur semua
kegiatan pendidikan yang terjadi di
lapangan. Undang-undang pendidikan nasional hanya mampu memberikan arah, dan memberikan
prinsip-prinsip dasar untuk menuju arah tersebut, serta mengatur prosedurnya secara umum. Realitas
pe1aksanan pendidikan di lapangan akan banyak
ditentukan oleh petugas yang berada di barisan paling depan, yaitu guru,
kepala sekolah dan tenagatenaga kependidikan lainnya. Pendidikan kita sekarang
ini setidak-tidaknya sedang dihadapkan
pada empat masalah besar : masalah mutu, masalah pemerataan, masalah
motivasi, dan masalah keterbatasan
sumberdaya dan sumberdana pendidikan.
a.
Secara umum pendidikan kita sekarang ini tampaknya
lebih menekankan pada akumulasi
pengetahuan yang bersifat verbal dari pada penguasaan keterampilan,
internalisasi nilai-nilai dan sikap,
serta pembentukan kepribadian.
b.
Pola motivasi sebagian besar peserta didik lebih
bersifat maladaptif daripada adaptif. Pola
motivasi maladaptif lebih berorientasi pada penampilan (performance) daripada pencapaian suatu prestasi (achievement) (Dweck, 1986), suatu bentuk motivasi yang lebih
mengutamakan kulit luar daripada
isi.
c.
Kualitas proses dan hasil pendidikan belum merata di
seluruh tanah air. Pendidikan kita
sekarang ini masih belum berhasil meningkatkan kualitas hasil belajar
sebagian besar peserta didik yang pada
umumnya berkemampuan sedang atau kurang.
d.
Pendidikan kita terkendala yang berkaitan dengan
sarana/prasarana, sumberdana dan
sumberdaya, di samping kendala administrasi dan pengelolaan.
Apabila kondisi
pendidikan seperti ini
berlangsung terus dan tidak bisa diubah,
disangsikan apakah bangsa kita dapat bersaing dengan bangsa lain pada
masa-masa yang akan datang . Dalam
menghadapi persaingan dalam mengejar keunggulan, khususnya keunggulan
dalam bidang ekonomi, manusia barus bisa
ditingkatkan kualitasnya. Manusia yang berkualitas hendaknya tidak diartikan sebagai manusia yang sekedar
berpengetahuan luas, melainkan juga manusia yang terampil, ulet, kreatif, efisien dan efektif,
sanggup bekerja keras, terbuka, bertanggung jawab, punya kesadaran nilai dan moral, di samping tentu
saja beriman dan taqwa. Di samping itu, haruslah diupayakan agar sebagian besar manusia dapat memiliki sifat-sifat
tersebut. Sebagai suatu perbandingan,
keberhasilan pendidikan Jepang terletak pada kesanggupannya meningkatkan kemampuan sebagian besar anak didik mereka
dengan cara mendorong dan mengajar mereka
bekerja keras sejak aval untuk mencapai prestasi yang maksimal dan tidak
semata-mata mengandalkankan pada bakat
dan kemampuan alamiah.
Peran Pendidikan Dalam Membangun Moral Bangsa Di Era Disrupsi
Era
Disrupsi sebenarnya berkaitan dengan perubahan konsep dalam dunia teknologi
yang dikenal dengan revolusi industri
4.0. Revolusi Industri 4.0 pertama kali diperkenalkan oleh Profesor Klaus Schwab Ekonom terkenal asal Jerman itu
menulis dalam bukunya, The Fourth
Industrial Revolution bahwa konsep
itu telah mengubah hidup dan kerja manusia.
Revolusi
industri yang pertama era 1.0 terjadi pada akhir abad ke-18. Ditandai
dengan ditemukannya alat tenun mekanis
pertama pada 1784. Kala itu, industri diperkenalkan dengan fasilitas produksi mekanis menggunakan tenaga
air dan uap. Peralatan kerja yang awalnya
bergantung pada tenaga manusia dan hewan akhirnya digantikan dengan
mesin tersebut. Banyak orang menganggur
tapi produksi diyakini berlipat ganda.
Revolusi
industri 2.0 terjadi di awal abad ke-20. Kala itu ada pengenalan produksi
massal berdasarkan pembagian
kerja.Sistem yang seperti ini pada waktu itu sangat membantu bagi beberapa perusahaan lebih efektif dalam melakukan
pengelolaan pekerjaan. Pada awal tahun
1970 ditengarai sebagai perdana
kemunculan revolusi industri 3.0. Dimulai dengan penggunaan elektronik dan teknologi informasi guna
otomatisasi produksi. Debut revolusi industri generasi ketiga ditandai dengan kemunculan pengontrol logika terprogram pertama (PLC),
yakni modem 084-969. Sistem otomatisasi
berbasis komputer ini membuat mesin industri tidak lagi dikendalikan manusia. Dampaknya memang biaya produksi
menjadi lebih murah.
Zaman
Revolusi Industri 4.0 yang ditandai dengan sistem cyber-physical. Saat ini
industri mulai menyentuh dunia virtual, berbentuk konektivitas manusia, mesin
dan data, semua sudah ada di mana-mana.
Istilah ini dikenal dengan nama internet
of things. Dari pemahaman konsep
revolusi industri itulah seluruh sektor kehidupan wajib menyesuaikan diri dengan perkembangannya. Revolusi zaman 4.0 kerap
dinamakan era disrupsi.
Teknologi modern telah
memungkinkan terciptanya komunikasi bebas lintas benua, lintas negara, menerobos berbagai pelosok
perkampungan di pedesaan dan menyelusup di gang-gang sempit di perkotaan, melalui media audio
(radio) dan audio visual (televisi, internet, dan lain-lain). Fenomena modern yang terjadi di awal milenium
ketiga ini popular dengan sebutan globalisasi.
Sebagai akibatnya, media ini, khususnya televisi, dapat dijadikan alat
yang sangat ampuh di tangan sekelompok
orang atau golongan untuk menanamkan atau, sebaliknya, merusak nilai-nilai moral, untuk mempengaruhi atau mengontrol
pola fikir seseorang oleh mereka yang mempunyai
kekuasaan terhadap media tersebut. Persoalan sebenarnya terletak pada
mereka yang menguasai komunikasi global
tersebut memiliki perbedaan perspektif yang ekstrim dalam memberikan
kriteria nilai-nilai moral; antara nilai
baik dan buruk, antara kebenaran sejati dan yang artifisial. Di sisi lain era kontemporer identik dengan era sains dan
teknologi, yang pengembangannya tidak terlepas dari studi kritis dan riset yang tidak kenal
henti.
Dengan
semangat yang tak pernah padam ini para saintis telah memberikan kontribusi
yang besar kepada kesejahteraan umat
manusia di samping kepada sains itu sendiri. Hal ini sesuai dengan identifikasi para saintis sebagai pecinta
kebenaran dan pencarian untuk kebaikan seluruh umat manusia. Akan tetapi, sekali lagi, dengan
perbedaan perspektif terhadap nilai-nilai etika dan moralitas agama, jargon saintis sebagai
pencari kebenaran tampaknya perlu dipertanyakan.
Menurut
UU Sistem Pendidikan Nasional No 20 tahun 2003 pendidikan adalah usaha sadar
dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk
memiliki kekuatan spiritual keagamaaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,
serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa, dan negara.
Era
globalisasi adalah era perubahan dimana sesuatu yang sudah lama ada diperbarui
dari segi teknologi, budaya, politik,
dan lain-lain. Dari semua itu banyak sekali perspektif dari para ahli bahwa globalisasi sangat bagus untuk setiap
perubahan. Akan tetapi, disisi lain globalisasi juga berdampak pada moral atau etika seseorang
baik etika yang baik maupun buruk. Seiring dengan mudahnya mengakses segala informasi yang ada,
manusia dapat belajar segala macam etika, etika
baik maupun etika buruk.
Di
zaman modern ini, perilaku manusia sudah sangat disiplin dan formal karena
mengacu pada sebuah sistem yang tertata
rapi dan membutuhkan kedisiplinan yang tinggi. Globalisasi seiring dengan berbagai macam informasi di dunia ini,
manusia dapat belajar dari berbagai adat, tradisi, dan perilaku dari negara lain, serta
diwajibkan untuk bisa beradaptasi dengan segala kondisi. Untuk itu, moral yang baik sangat dibutuhkan di
dunia modern yang canggih ini.
Untuk
memahami sepenuhnya apa yang menggerakkan seseorang sehingga mampu
melakukan tindakan bermoral atau justru
menghalanginyakita perlu melihat lebih jauh dalam tiga aspek karakter lainnya yakni: kompetensi, kemauan, dan
kebiasaan.3
a. Kompetensi
Kompetensi moral adalah kemampuan mengubah
pertimbangan dan perasaan moral ke dalam
tindakan moral yang efektif untuk dipergunakan dalam mengatasi
permasalahan setiap hari. Untuk
menyelesaikan sebuah konflik secara adil, misalnya, kita membutuhkan
keterampilan praktis seperti mendengarkan,
mengomunikasikan pandangan kita tanpa mencemarkan nama baik orang lain,
dan melaksanakan solusi yang dapat
diterima semua pihak. Kompetensi juga berperan dalam situasisituasi moral
lainnya. Untuk membantu seseorang yang tengah menghadapi kesulitan, kita harus dapat memikirkan dan melaksanakan rencana
yang sudah dibuat. Pelaksanaan rencana akan lebih mudah jika sebelumnya kita telah memiliki
pengalaman menolong orang yang tengah menghadapi kesulitan.
b. Kehendak
Dalam situasi-situasi moral
tertentu, membuat pilihan moral biasanya merupakan hal yang sulit karena berbagai pertimbangan yang ada.
Menjadi baik sering kali menuntut orang memiliki kehendak untuk melakukan tindakan nyata,
mobilisasi energi moral untuk melakukan apa yang menurut kita harus dilakukan. Kehendak
dibutuhkan untuk menjaga emosi agar tetap terkendali oleh akal. Kehendak juga dibutuhkan untuk
dapat melihat dan memikirkan suatu keadaan melalui seluruh dimensi moral. Kehendak dibutuhkan
untuk mendahulukan kewajiban, bukan kesenangan. Kehendak dibutuhkan untuk
menahan godaan, bertahan dari tekanan teman sebaya, dan melawan gelombang. Pada dasarnya kehendak merupakan
inti keberanian moral.
c. Kebiasaan
Dalam banyak situasi, kebiasaan merupakan faktor
pembentuk perilaku moral. Orang-orang
yang memiliki karakter yang baik bertindak dengan sungguhsungguh, loyal,
berani, berbudi, dan adil tanpa banyak
tergoda oleh hal-hal sebaliknya. Mereka bahkan sering kali menentukan
"pilihan yang benar" secara
tak sadar. Mereka melakukan hal yang benar karena kebiasaan.
Terdapat
banyak faktor yang berkontribusi mempengaruhi kualitas moral dalam pribadi manusia. Salah satu faktor tersebut; adalah
keteladanan dari guru, orangtua, dan masyarakat. Keteladanan ini dalam alam Indonesia dianggap
langka. Terjadinya berbagai perilaku negatif yang dilakukan oleh anak bangsa, salah satunya
disebabkan oleh krisis keteladanan di kalangan
pemimpin bangsa. Kondisi ini menjadikan anak tidak lagi peduli dengan
nasihat guru karena contoh perilaku
negatif yang dipertontonkan oleh elit politik yang diperoleh anak di luar kelas
melalui media massa jauh lebih
berpengaruh terhadap pembentukan pribadinya. Akibatnya, sekolah, khususnya
guru, tidak mampu lagi membendung budaya negatif itu.
Salah
satu cara untuk menumbuhkan aspek moral
feeling adalah dengan cara membangkitkan
kesadaran anak akan pentingnya memberikan komitmen terhadap nilai-nilai
moral. Sebagai contoh untuk untuk
menanamkan kecintaan anak untuk jujur dengan tidak mencontek, orang tua
harus dapat menumbuhkan rasa bersalah,
malu dah tidak empati atas tindakan mencontek tersebut. Kecintaan ini (moral feeling) akan menjadi
kontrol internal yang paling efektif, selain kontrol eksternal berupa pengawasan orang tua terhadap
tindak tanduk anak dalam keseharian.
Akulturasi
dan asimilasi sangat berdampak pada moral orang-orang karena itu bisa menghilangkan tradisi yang lama dan
menciptakan budaya yang baru. Seperti kita ketahui, Indonesia menganut asas keagamaan yang tinggi,
berbeda-beda jenis agama tapi tetap menjunjung
tinggi integritas dan rasa saling menghargai. Akan tetapi, nilai-nilai
bangsa sudah memudar seiring
bercampurnya nilai-nilai barat dengan nilai-nilai Indonesia. Penduduk
Indonesia zaman sekarang sudah
menyeleweng dari nilai-nilai Pancasila yang sudah dibuat oleh para pejuang.
Mereka lebih mementingkan nilai-nilai
hedonisme yang diajarkan oleh barat dan menghilangkan rasa cinta tanah air mereka karena lebih dominan atau sudah
tercemar pikirannya dengan budaya-budaya barat,
terutama merusak kaum remaja.
Sedangkan
moral merupakan kondisi pikiran, perasaan, ucapan, dan perilaku manusia
yang terkait dengan nilai-nilai baik dan
buruk. Moral secara ekplisit adalah hal-hal yang berhubungan dengan proses sosialisasi individu, tanpa
moral manusia tidak bisa melakukan proses sosialisasi. Moral adalah nilai keabsolutan dalam
kehidupan bermasyarakat secara utuh. Penilaian terhadap moral diukur dari kebudayaan masyarakat
setempat. Moral adalah perbuatan/tingkah laku/ucapan seseorang dalam berinteraksi dengan manusia.
Apabila yang dilakukan seseorang itu sesuai dengan nilai rasa yang berlaku di masyarakat
tersebut dan dapat diterima serta menyenangkan lingkungan masyarakatnya, maka orang itu dinilai memiliki
moral yang baik, begitu juga sebaliknya. Moral
adalah produk dari budaya dan agama. Setiap budaya memiliki standar
moral yang berbeda-beda sesuai dengan
sistem nilai yang berlaku dan telah terbangun sejak lama. Moral juga dapat
diartikan sebagai sikap, perilaku, tindakan, kelakuan yang dilakukan seseorang
pada saat mencoba melakukan sesuatu
berdasarkan pengalaman, tafsiran, suara hati, serta nasihat, dll.
Pembelajaran
moral dilakukan agar terbentuk perilaku moral pada peserta didik yang memerlukan perhatian serta pemahaman terhadap
dasar-dasar serta berbagai kondisi yang
mempengaruhi dalam lingkungannya. Pendidikan moral merupakan salah satu
bentuk penyelenggaraan pendidikan yang
menitikberatkan pada peletakan dasar ke arah pertumbuhan dan perkembangan kecerdasan spiritual dan
emosional, afektif/sosioemosional (sikap dan perilaku serta agama), bahasa dan komunikasi, sesuai dengan
keunikan dan tahap-tahap perkembangan yang
dilalui untuk menciptakan rasa peka terhadap lawan interaksi dan juga
peka terhadap lingkungan.6 Maka dapat
disimpulkan bahwa pengertian pendidikan moral adalah usaha yang dilakukan secara terencana untuk mengubah sikap,
perilaku, tindakan, kelakuan yang dilakukan peserta didik agar mampu berinteraksi dengan lingkungan
masyarakatnya sesuai dengan nilai moral dan
kebudayaan masyarakat setempat.
Perkembangan
moral pada manusia dapat berlangsung melalui beberapa cara, yaitu: (1) Pendidikan langsung; melalui penanaman
pengertian tentang tingkah laku yang benar dan salah atau yang baik dan buruk oleh orangtua, guru, atau
orang dewasa lainnya. Hal yang paling penting dalam pendidikan moral adalah keteladanan dari
orangtua, guru, dan orang dewasa lainnya dalam
melakukan nilai-nilai moral, (2) Identifikasi; yaitu dengan cara meniru
penampilan atau tingkah laku moral
seseorang yang menjadi idolanya, seperti orangtua, guru, kiai, artis, atau
orang dewasa lainnya, (3) Proses
coba-coba; yaitu dengan cara mengembangkan tingkah laku moral secara cobacoba.
Tingkah laku yang mendatangkan pujian atau penghargaan akan terus
dikembangkan, sementara tingkah laku
yang mendatangkan hukuman atau celaan akan dihentikannya.
Globalisasi
mempengaruhi hampir semua aspek yang ada di masyarakat, termasuk
diantaranya aspek budaya. Kebudayaan
dapat diartikan sebagai nilai-nilai (values)
yang dianut oleh masyarakat ataupun
persepsi yang dimiliki oleh warga masyarakat terhadap berbagai hal. Baik
nilai-nilai maupun persepsi berkaitan
dengan aspek-aspek kejiwaan/psikologis, yaitu apa yang terdapat dalam alam pikiran. Aspek-aspek kejiwaan ini
menjadi penting artinya apabila disadari, bahwa tingkah laku seseorang sangat dipengaruhi oleh apa
yang ada dalam alam pikiran orang yang bersangkutan. Sebagai salah satu hasil pemikiran dan
penemuan seseorang adalah kesenian, yang merupakan subsistem dari kebudayaan.
Globalisasi
memiliki sisi positif dan negatif terhadap pendidikan moral. Disatu sisi,
arus globalisasi merupakan harapan yang
akan memberikan berbagai kemudahan bagi kehidupan manusia. Namun disisi lain, era globalisasi
juga memberikan dampak yang sangat merugikan.
Dengan perkembangan sektor teknologi dan informasi, manusia tidak lagi
harus menunggu waktu, untuk bisa mengakses
berbagai informasi dari seluruh belahan dunia, bahkan yang paling pelosok sekalipun. Kondisi ini menjadikan tidak
adanya sekat serta batas yang mampu untuk menghalangi proses transformasi
kebudayaan. John Neisbitt, menyebutkan kondisi seperti ini sebagai gaya hidup global, yang ditandai dengan berbaurnya
budaya antar bangsa, seperti terbangunnya tatacara hidup yang hampir sama,
kegemaran yang sama, serta kecenderungan yang sama pula, baik dalam hal makanan, pakaian, hiburan dan setiap
aspek kehidupan manusia lainnya. Kenyataan semacam ini, akan membawa implikasi pada hilangnya
kepribadian asli, serta terpoles oleh budaya yang
cenderung lebih
berkuasa. Dalam konteks ini, kebudayaan barat yang telah melangkah jauh
dalam bidang industri serta teknologi
informasi, menjadi satu-satunya pilihan, sebagai standar modernisasi, yang akan diikuti dan dijadikan
kiblat oleh setiap individu. Globalisasi menyebabkan perubahan sosial yang memunculkan nilai-nilai
yang bersifat pragmatis, materialistis dan
individualistik.
Tidak
terkecuali, bagi masyarakat Indonesia yang telah memiliki budaya lokal,
terpaksa harus menjadikan budaya barat
sebagai ukuran gaya hidupnya, untuk bisa disebut sebagai masyarakat modern. Disamping itu, sebagai bangsa yang
beragama dan berkeyakinan penduduk yang telah
memiliki acuan berdasarkan keyakinan tersebut yang telah mampu
mengangkat martabat serta derajat
masyarakat dan menjadi filter masuknya budaya barat, yang merupakan produk
revolusi industri, yang telah
menjatuhkan martabat manusia. Dengan kebebasan individu dalam faham barat, telah menjadikan masyarakat muslim melepaskan
kontrolnya dari kepercayaan moralitas serta
spiritualitas (agama).
Berbagai perilaku
destruktif, seperti alkoholisme, seks bebas, aborsi sebagai penyakit
sosial yang harus diperangi secara
bersama-sama. Sehingga kenyataan ini menjadikan banyak orang yang tidak lagi mempercayai kemampuan pemerintah,
untuk menurunkan angka kriminalitas serta
berbagai penyakit sosial lainnya. Dari gambaran tersebut, terlepas dari
mana yang paling signifikan, namun
kenyatan tersebut, telah menjadikan pendidikan moral serta agama sebagai salah
satu upaya untuk menanggulangi penyakit
serta krisis sosial yang ada ditengah masyarakat.
Oleh
karena itu, moral bukan saja bersifat personal, seperti jujur, adil dan
bertanggungjawab, akan tetapi juga berdimensi
publik, yakni terciptanya etika kolektif, serta kehidupan sosial yang santun. Dengan etika kolektif inilah, akan
terbangun etika organisasi yang mengharuskan setiap individu untuk berjalan bersama, menurut
landasan etika kolektif tersebut. Namun demikian, pada dasarnya etika publik ini terbentuk dari
etika individu, sehingga tidak mungkin akan tercipta etika publik, tanpa adanya kesadaran masing-masing
pribadi akan nilai moralitas.
Pendidikan
agama dan moral merupakan pedoman sangat penting bagi dalam proses belajar mengajar sebagai salah satu antisipasi agar
anak-anak didik kita terhindar hal-hal yang bertentangan dengan agama di era globalisasi saat ini.
Dikatakan, dengan kuatnya pendidikan agama akan
menciptakan generasi yang bermoral dan berkualitas. Kondisi itulah yang
saat ini wajib ditanamkan oleh sistem
pendidikan nasional, sehingga melahirkan generasi-generasi yang berkualitas
dengan cirinya iman, ilmu dan amal.
Wujud pemberian materi keagamaan dan materi pendidikan moral yang diselipkan dalam kurikulum berbasis
kompetensi diharapkan dapat memberikan pengaruh
kepada siswa dalam berperilaku, berfikir, berucap, dan bersikap yang
diwujudkan dalam setiap perilaku moral
dan religiusitasnya.
Pendidikan
moral bisa disamakan pengertiannya dengan pendidikan budi pekerti.
Pendidikan moral merupakan pendidikan
nilai-nilai luhur yang berakar dari agama, adat-istiadat dan budaya bangsa Indonesia dalam rangka mengembangkan
kepribadian supaya menjadi manusia yang baik.
Secara umum, ruang lingkup pendidikan moral adalah penanaman dan
pengembangan nilai, sikap dan perilaku
sesuai nilai-nilai budi pekerti luhur. Di antara nilai-nilai yang perlu
ditanamkan adalah sopan santun,
berdisiplin, berhati lapang, berhati lembut, beriman dan bertakwa, berkemauan
keras, bersahaja, bertanggung jawab,
bertenggang rasa, jujur, mandiri, manusiawi, mawas diri, mencintai ilmu, menghargai karya orang lain, rasa kasih
sayang, rasa malu, rasa percaya diri, rela berkorban, rendah hati, sabar,
semangat kebersamaan, setia, sportif, taat asas, takut bersalah, tawakal,
tegas, tekun, tepat janji, terbuka, dan
ulet.
Disisi
lain keluarga memiliki peran yang signifikan dalam membentuk mental dan
moral bangsa. Pendidikan nasional harus
menciptakan sistem yang memberikan ruang bagi keluarga ikut dalam berperan dikegiatan pendidikan formal.
Keluarga adalah lingkungan pertama dimana jiwa
dan raga anak akan mengalami pertumbuhan dan kesempurnaan. Untuk itulah
keluarga memainkan peran yang amat
mendasar dalam menciptakan kesehatan kepribadian anak dan remaja. Tentu
saja status sosial dan ekonomi keluarga
di tengah masyarakat berpengaruh pada pola berpikir dan kebiasaan anak. Dengan demikian, berdasarkan
bentuk dan cara interaksi keluarga dan masyarakat, anak akan memperoleh suasana kehidupan yang
lebih baik, atau sebaliknya, akan memperoleh efek yang buruk darinya.
Berbagai
upaya telah dilakukan oleh pemerintah, dalam hal ini Menteri Pendidikan,
untuk memperbaiki moral generasi bangsa
melalui pendidikan. Namun keinginan tersebut ternyata belum membuahkan hasil yang signifikan. Pemerintah
dalam melaksanakan pendidikan, masih lebih
banyak menitikberatkan pada kemampuan kognitif siswa, dengan
mengesampingkan kemampuan afektif atau
perilaku siswa dan psikomotorik atau keterampilan.
Salah
satu solusi agar pendidikan moral menjadi efektif adalah dengan menerapkan
pendidikan karakter di setiap jenjang
pendidikan, mulai dari pendidikan dasar sampai pada pendidikan tinggi. Pendidikan karakter adalah suatu sistem
penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi konsumen pengetahuan, kesadaran dan
kemauan dan tindakan untuk melaksanakan nilainilai tersebut baik terhadap Tuhan
Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama, lingkungan maupun ke bangsa sehingga menjadi insan kamil. Dengan
penerapan pendidikan karakter, maka karakter dari peserta didik akan terbentuk sejak mereka
berada di bangku sekolah dasar, kemudian dilanjutkan pada sekolah menengah dan perguruan tinggi.
Dengan terbentuknya karakter tersebut, maka akan menjadi perisai atau kontrol dalam diri
seseorang, sehingga akan mengendalikan perilaku orang tersebut. Intinya adalah, jika karakter sudah
terbentuk, maka akan sulit untuk mengubah karakter tersebut.Dengan menanamkan nilai-nilai
kebaikan dalam setiap proses pendidikan, akan membantu proses pembentukan karakter dari peserta
didik yang bermoral dan bermartabat.
Dengan
terbentuknya karakter tersebut, maka karakter tersebut akan sulit hilang
sehingga akan menjadi watak perilaku
seseorang dalam menjalani masa yang akan datang. Penerapan pendidikan karakter dalam sistem kurikulum pendidikan
dapat dilaksanakan dengan cara :
a.
Menyisipkan nilai–nilai moral di setiap proses belajar
mengajar
b.
Membentuk kelas motivasi (motivation class), yang dalam hal ini lebih menekankan pada penggugahan motivasi internal peserta didik
c.
Menambah mata pelajaran tentang pendidikan moral, dan
peserta didik dipersyaratkan lulus
a.
mata pelajaran tersebut
d.
Menyeimbangkan porsi antara materi belajar akal
(cerdas) dan hati (moral).
Pendidikan
moral harus menjadi agenda penting bagi pemerintah dengan cara menerapkan pendidikan karakter di setiap jenjang
pendidikan, mulai dari pendidikan dasar sampai pada pendidikan tinggi. Pendidikan karakter akan
mampu menjadi tameng kelemahan-kelemahan yang
mungkin terjadi di era disrupsi. Keluarga juga memiliki tanggungjawab
yang penting dalam memberikan edukasi
terhadap anggota keluarga, karena keluarga adalah teman interaksi atau diskusi yang paling tepat. Dengan penerapan
pendidikan karakter, maka nilai-nilai kemuliaan moral dan kebudayaan Indonesia dapat tersampaikan
dan menjadi keyakinan yang idealis kepada setiap individu. Dengan menanamkan nilai-nilai
kebaikan dalam setiap proses pendidikan, akan membantu proses pembentukan karakter dari peserta didik yang bermoral dan bermartabat.
PENUTUP
Era disrupsi disamping memiliki
nilai positif juga mendatangkan nilai negatif bagi bangsa ini. Nilai positif dari era ini adalah tersedianya
akses informasi yang luar biasa cepatnya. Namun disisi lain masyarakat juga tidak mudah menolak
adanya kebudayaan yang tidak sesuai dengan budaya bangsa kita, oleh karena itu mereka
terpengaruh dengan kebiasaan yang buruk melalui berbagai pengaruh baik media elektronik, style, dan gaya hidup yang serba lebih
ke modern-modernan.
Perkembangan teknologi dan budaya
membuat sebagian orang di Indonesia menyalahgunakannya dengan berbagai kemauan dan kehendak mereka
sendiri. Jadi, ada baiknya kita bisa memilih
bagaimana budaya, teknologi dan lain sebagainya berguna bagi kita dan
orang lain.
Pendidikan moral adalah usaha yang
dilakukan secara terencana untuk mengubah sikap, perilaku, tindakan, kelakuan yang dilakukan
peserta didik agar mampu berinteraksi dengan
lingkungan masyarakatnya sesuai dengan nilai moral dan kebudayaan
masyarakat setempat. Pendidikan moral
harus memiliki porsi yang lebih dalam sistem pendidikan nasional. Ada
beberapa hal yang melatarbelakangi
kemerosotan moral bangsa Indonesia dan hal itu perlu diketahui sehingga kita mampu menemukan solusi yang
terbaik dan membantu dalam penyelesaian masalah
tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Agus Zaenul Fitri.
(2012). Pendidikan Karakter berbasis
Nilai dan Etika di Sekolah, Ar Ruzz
Media: Yogyakarta.
Dasim, Budimansyah.
(2010). Penguatan Pendidikan Kewarganegaraan untuk
Membangun Karakter Bangsa. Widya
Aksara Press: Bandung.
Masnur Muslich. (2014). Pendidikan karakter menjawab tantangan
krisis multidimensional.
BumiAksara: Jakarta.
Syamsu Yusuf. (2008). Psikologi Perkembangan Anak & Remaja.
Rosda: Bandung.
Yudi Latif. (2011). Negara Paripurna: Historisitas,
Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila.
Kompas Gramedia:
Jakarta.
JURNAL
Fatimah Ibda. (2012). Pendidikan Moral Anak Melalui Pengajaran
Bidang Studi Ppkn Dan Pendidikan Agama,
Jurnal Ilmiah DIDAKTIKA VOL. XII NO. 2, hlm.338-347
Ilham Hudi. (2017). Pengaruh Pengetahuan Moral Terhadap Perilaku
Moral Pada Siswa SMP Negeri Kota Pekan
Baru Berdasarkan Pendidikan Orangtua, Jurnal Moral Kemasyarakatan VOL.2, NO.1, Hal. 30-44
Nur Azizah. (2006). Perilaku Moral dan Religiusitas Siswa Berlatar Belakang Pendidikan
Umum dan Agama, Jurnal Psikologi
Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada Volume 33, No. 2, hlm. 6-7.
R. Andi Ahmad Gunadi.
(2013). Membentuk Karakter Melalui
Pendidikan Moral Pada Anak Usia Dini Di
Sekolah Raudhatul Athfal (R.A) Habibillah, Jurnal Ilmiah WIDYA Volume 1
Nomor 2, hlm.85-86
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Republik Indonesia.
Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003
Nomor 78.
DATA ELEKTRONIK
https://www.kompasiana.com/ahmadfaruq/57dd95f46d7e616e563d5a94/perubahan-moral-pada-eraglobalisasi,
diakses tanggal 18 Agustus 2018.
https://goenable.wordpress.com/tag/pentingnya-menumbuhkan-pendidikan-moral-di-eraglobalisasi/, diakses tanggal 18 Agustus 2018.
http://www.academia.edu/13107208/Pengaruh_Globalisasi_Terhadap_Nilai_Moral_Suatu_Bangsa,
diakses tanggal 18
Agustus 2018.
https://www.pontianakpost.co.id/kembalikan-nilai-moral-anak-bangsa,
diakses tanggal 18 Agustus
2018.
https://asiswanto.net/?page_id=1694, diakses tanggal
18 Agustus 2018.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar