Rabu, 23 Oktober 2019

Pendidikan Karakter


Memaknai Pendidikan Karakter

Analisis Persamaan dan Perbedaan Karakter, Budi Pekerti, Akhlak, Moral dan Afeksi
Analisis Bahasa Umum.  Judul bagian ini melibatkan sejumlah istilah yang dapat membuat pembaca bingung: Karakter, Budi Pekerti, Akhlak, Afeksi, dan Moral.  Apakah istilah-istilah ini memiliki persamaan atau perbedaan, atau keduanya, artinya ada persamaannya sekaligus juga ada perbedaannya?  Istilah-istilah ini akan kita kaji dari segi bahasa harian dengan merujuk pada kamus umum.  Setelah pengkajian bahasa harian ini, kita akan coba selami substansi dari masing-masing istilah tersebut.
            “Budi Pekerti” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1996: 150) diletakkan dalam masukan “budi”, artinya: (1) alat batin yang merupakan panduan akan dan perasaan untuk menimbang baik dan buruk; (2) tabiat, akhlak, watak; (3) perbuatan baik, kebaikan; (4) daya upaya, ikhtiar; (5) akal (dalam arti kecerdikan menipu atau tipu daya).  Dan budi pekerti diartikannya sebagai tingkah laku, perangai, akhlak; watak.   Dalam kamus umum ini kita menemukan bahwa budi pekerti sama dengan akhlak, watak, tabiat, perbuatan baik, kebaikan.  Sinonimnya perlu kita tambahi dengan kata “susila”.  Perlu dicatat disini bahwa arti yang nomor (5) jarang digunakan orang dewasa ini: tidak pernah orang yang berbudi pekerti dikaitkan dengan kelakuan cerdik menipu.
            “Moral”, masih dari kamus yang sama (1996: 665), didefinisikan  sebagai: (1) (ajaran tentang) baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dan sebagainya; (2) kondisi mental yang membuat orang tetap berani, bersemangat, bergairah, berdisiplin, dan sebagainya; (3) ajaran kesusilaan yang dapat ditarik dari suatu cerita.  Definisi moral ini menyatakan bahwa moral adalah ajaran tentang moral.  Definisinya yang nomor (2) menurut penulis menyatakan sebuah kondisi mental yang sudah menyerap suatu ajaran moral.
            Ringkasnya, berbagai pengertian di atas dapat kita petakan dalam formulasi yang berikut ini :





Kata “karakter” belum muncul dalam paparan di atas.  Karakter adalah istilah serapan dari bahasa Inggris character.  Encarta Dictionaries (Microsoft® Encarta® 2008.) menyatakan bahwa “karakter” adalah kata benda yang memiliki arti: (1) kualitas-kualitas pembeda; (2) kualitas-kualitas positif; (3) reputasi; (4) seseorang dalam buku atau film; (5) orang yang luar biasa; (6) individu dalam kaitannya dengan kepribadian, tingkah laku, atau tampilan; (7) huruf atau simbol; dan (8) unit data komputer.  Arti nomor (7) dan (8) ini tidak relevan dengan kajian pendidikan karakter.  Di samping itu terdapat kata karakteristik (characteristic) yang masih juga kata benda yang artinya: fitur (ciri) pembatas (defining feature), sebuah fitur atau kualitas yang membuat seseorang atau suatu hal dapat dikenali.  Kata sifat untuk karakter adalah “khas” (typical), artinya pembeda atau mewakili seseorang atau hal tertentu.  Tentang “karakter” dan “karakteristik” ini dpat disimpulkan melalui kalimat berikut: “Ia memiliki karakter herois” dan “Karakteristiknya yang herois telah membuatnya memiliki nasib yang meyedihkan tersebut.”

            Karakter, berdasarkan kajian kamus umum di atas, merujuk pada beberapa hal berikut.  Pertama, karakter dikenakan pada orang atau bukan orang.  Dalam wacana pendidikan karakter, kata ini terutama berkenaan dengan orang.  Kedua, ia berkenaan dengan kualitas (bukan kuantitas) dan reputasi orang.  Ketiga, ia berkenaan dengan daya pembeda atau pembatas, membedakan atau membatasi yang satu dari yang lainnya, membedakan orang/masyarakat yang satu dengan orang/masyarakat yang lainnya.  Keempat, karakter dapat merujuk pada kualitas negatif atau positif: orang dengan karakter mulia atau orang berkarakter flamboyan.  Keempat hal tentang karakter dari kamus umum tersebut relevan dengan kajian kita tentang karakter dalam pendidikan karakter.  Simpulannya, bahwa karakter adalah sebuah kata yang merujuk pada kualitas orang dengan karakteristik tertentu.
            Demikianlah, ternyata semua kata tersebut: karakter, budi pekerti, akhlak, moral, afeksi, susila, tabiat, watak memiliki arti yang sama.  Dan dalam tulisan ini kata yang sering muncul adalah: karakter, akhlak, moral, afeksi/afektif; karena kata-kata ini dewasa ini sering muncul dalam percakapan harian tentang pendidikan karakter.
Analisis pedagogis.   Ada sebuah definisi dari kamus umum tersebut yang belum kita soroti, yaitu definisi yang nomor (6), yaitu: individu dalam kaitannya dengan kepribadian, tingkah laku, atau tampilan.  Definisi ini mulai memasuki wilayah substantif wacana kita.  Menurut penulis, karakter berada dalam sekurang-kurangnya wilayah disiplin-disiplin: psikologi, etika (cabang filsafat umum), antropologi budaya, dan pedagogika.  Studi psikologi tentang karakter dan pendidikan karakter sudah sangat maju.  Studi psikologi ini bersifat empiris-analitis.  Studi filsafat (etika) bukan tertuju pada karakter, tetapi pada isi karakter atau ajaran karakter/moral/etik/akhlak/susila.  Studi etika bersifat rasional, radikal, kritis – sebagaimana halnya studi filsafat.  Studi antropologi budaya tertuju pada isi karakter atau ajaran karakter/moral/etik/akhlak/susila dalam bentuknya yang empiris, yang dihidupi dalam kehidupan harian kelompok-kelompok sosial.  Studi pedagogika melibatkan semua studi tersebut dengan tujuan membantu individu atau kelompok agar mengalami perkembangan karakter/moral/akhlak/susila/watak/tabiat.
            Hurlock (1974: 8) dalam bukunya, Personality Development, secara tidak langsung mengungkapkan bahwa karakter terdapat pada kepribadian.  Karakter mengimplikasikan sebuah standar moral dan melibatkan sebuah pertimbangan nilai.  Karakter berkaitan dengan tingkah laku yang diatur oleh upaya dan keinginan.  Hati nurani, sebuah unsur esensial dari karakter, adalah sebuah pola kebiasaan perlarangan yang mengontrol tingkah laku seseorang, membuatnya menjadi selaras dengan pola-pola kelompok yang diterima secara sosial.   Definisi karakter dari Hurlock, untuk sementara ini, bersifat cukup bagi kita untuk memulai menganalisis secara lebih jauh apa itu karakter dan implikasi-implikasinya.

Ajaran Moral.  Ajaran moral atau moralitas dipelajari oleh filsafat moral atau etika.  Urusan utama etika (Audi, 1999: 284) adalah studi tentang kebaikan/hal yang baik/hal yang bernilai/moralitas/nilai dan studi tentang tindakan yang baik.   Pada kesempatan ini, akan dikaji secara ringkas studi tentang kebaikan/nilai, dan studi tentang tindakan yang baik tidak akan dikaji di sini.
            Studi tentang nilai. Studi tentang nilai/kebaikan tertuju untuk menjawab: (1) apa komponen-komponen esensial untuk kehidupan yang baik, dan (2) apa jenis-jenis hal yang baik pada dirinya sendiri.  Yang pertama, menghasilkan teori-teori eudaimonia/human well being/kesejahteraan manusia (kebahagiaan/happiness dan bertumbuh subur/flourishing).  Perasaan senang/bahagia adalah komponen esensial kehidupan, dan karena itu harus menjadi tujuan kehidupan, dianut oleh hedonisme, tokoh klasiknya Epicurus.  Epicurus mengajarkan bahwa berbuat baik – pengerahan daya intelektual seseorang dan kebajikan-kebajikan moral dengan cara-cara teladan dan berguna, misalnya – sarana yang terbukti baik dan benar untuk mengalami kesenangan yang paling memuaskan dari kehidupan.  Hedonisme ini terbagi dua, hedonisme egoistik yang tertuju pada kesenangan pribadi, dan hedonisme universal yang tertuju pada kesenangan bersama atau semua orang.  Sejak modernisasi diluncurkan oleh peradaban Barat, hedonisme egoistik ini menjadi dominan dan merusak banyak nilai-nilai kehidupan Timur yang luhur. Hedonisme abad modern ini berbeda dari ajaran Epicurus. Bukan perasaan senang sebagai komponen esensial kehidupan yang baik, tetapi adalah perbuatan baik; perbuatan baik membuat kita senang/bahagia, ini dianut oleh perfeksionisme.  Tokohnya antara lain: Plato, Aristoteles, kaum Stoik, Nietcsche dan Muhammad Iqbal.    

Teori komponen esensial ini bertumpu pada asumsi (anggapan dasar yang menjadi titik tolak) bahwa manusia secara alami mencari kehidupan yang baik.  Teori ini disajikan karena menurut penulis bersifat praktis bagi mereka yang tidak belajar filsafat untuk berfilsafat etika.  Caranya dengan mulai menjawab pertanyaan-pertanyaan: apa komponen esensial kehidupan yang baik dan apa perbuatan baik itu?  Jawaban-jawaban yang diberikan harus juga mempertimbangkan konsekuensi-konsekuensi logis atau implikasi-implikasi-(isyarat)-nya untuk bidang-bidang kehidupan tertentu.  Apapun dapat kita ajukan sebagai jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut, namun jawaban hendaknya disertai dengan penjelasan yang merupakan pertanggungjawaban kita secara rasional.

            “Saling menghargai antarmanusia”, contohnya, dalah sebuah jawaban yang dapat kita pilih.  Alasannya, kehidupan yang damai sepanjang masa dan dimanapun adalah tujuan penting umat manusia.  Tanpa kedamaian kehidupan akan sulit diarungi.  Lalu, apa “saling menghargai antarmanusia itu?” atau “Bagaimana kita mempraktikkannya dalam kehidupan kita?”  Salah satu jawabannya, yaitu: “perbuatan menghormati orang lain, tidak merendahkannya.
            Di samping teori komponen esensial yang bertumpu pada asumsi metafisika bahwa manusia secara alami mencari kebaikan,  terdapat teori nilai intrinsik.  Teori nilai intrinsik tidak mengandung juga tidak mengandaikan tesis-tesis metafisika apapun.  Yang menjadi isu dalam teori ini adalah apa yang baik pada dirinya sendiri, dan seseorang dapat mengambil sebuah posisi terhadap isu ini tanpa terikat pada tesis apapun tentang realitas atau bukan-realitas dari kebaikan atau tentang transendensi atau imanensinya.  Sejumlah hal yang dianggap baik pada dirinya sendiri oleh para filsuf akan mencakup kehidupan, kebahagiaan, kesenangan, pengetahuan, kebajikan, persahabatan, keindahan, dan harmoni.  Daftar ini dapat diperpanjang dengan mudah.  Gambaran sederhana pandangan penganut teori nilai intrinsik ini dapat dilukiskan melalui kalimat berikut.  “Persahabatan adalah baik, karena persahabatan itu baik”.  “Kesenangan adalah baik, karena kesenangan itu baik”.  Kebaikan yang intrinsik, dan bukan kebaikan instrumental atau kebaikan dalam rangka mencapai tujuan yang lainnya.  Kebaikan sebagai sarana untuk mencapai tujuan lainnya dianut oleh teori nilai instrumental.
            Perspektif teori nilai intrinsik dan lawannya, teori nilai instrumental sering kita butuhkan dalam rangka memahami sebuah nilai.  Contoh, ada uang abang sayang, tidak ada uang abang ditendang, adalah sikap instrumentalisme yang sering ditolak masyarakat.  Dan sikap ini didamping oleh instrumentalisme yang sama: “Selagi muda dan cantik adalah kesayangan abang, dan ketika tua dan keriput bukan lagi kesayanngan abang.”  Instrumentalisme yang demikian ini menimbulkan masalah keadilan dan kemanusiaan.

Ajaran moral yang dianut oleh individu atau kelompok, pada langkah berikutnya dijadikan standar moral oleh individu dan kelompok tersebut untuk mengukur suatu perbuatan moral.  Ajaran moral yang dianut oleh seseorang atau oleh suatu kelompok sosial dapat kita kaji dengan menerapkan pemahaman kita tentang berbagai teori nilai yang dipaparkan di atas.

            Ada banyak pola untuk memetakan nilai-nilai.  Paparan di atas adalah sebuah pola dari studi filsafat moral yang dikemukakan dalam The Cambridge Dictionary of Philosophy (Audi, 1999).  Lickona (1991:  ) memiliki peta konsep filosofis sistem nilai yang tampaknya lebih sederhana.  Ia menyatakan bahwa nilai-nilai terdiri atas obligatory values dan non-obligatory values.  Nilai-nilai yang non-obligatory adalah nilai-nilai seni atau keindahan.  Nilai seni tidak mewajibkan orang untuk berbuat sesuatu, tetapi membuat orang menjadi apresiatif terhadapnya.  Nilai-nilai yang obligatory atau mewajibkan adalah nilai-nilai moral.  Lickona merinci lebih lanjut nilai-nilai moral ini sebagai (1) respect and responsibility to man dan (2) respect and responsibility to nature.  Penulis kira, orang Indonesia dengan Pancasilanya akan senang menambahinya dengan yang ke-(3) respect and resposibility to God.
Karakter.  Ada ajaran moral dan standar moral, dan ada juga pertimbangan moral atau nilai yang menjadi komponen-komponen karakter sebagaimana diungkapkan oleh Hurlock di atas.  Pertimbangan nilai adalah sebuah pertimbangan tentang baik atau buruk sesuatu berdasarkan pandangan pribadi tentang moralitas.  Karakter, selanjutnya, berkaitan dengan tingkah laku yang yang diatur oleh upaya dan keinginan.  Jika demikian halnya, karakter berkaitan dengan tingkah laku yang tidak otomatis dimiliki seseorang: ketika dilahirkan ia otomatis memilikinya dan ketika ia memerlukannya karakter muncul secara otomatis.  Karakter diatur oleh upaya dan keinginan.  Pernyataan ini mengasumsikan kebebasan manusia.  Karena itu upaya dan keinginan ini muncul dari dalam batin individu.  Upaya dan keinginan ini dicurahkan secara suka rela.
            Selanjutnya, jika upaya dan keinginan tersebut tidak secara otomatis  dimiliki manusia, dari mana mereka berasal.  Mereka berasal dari pengalaman dan pendidikan individu.  Karakter adalah aspek tingkah laku hasil belajar, bukan tersedia secara genetik.  Unsur esensial karakter adalah hati nurani.  Banyak pakar pendidikan karakter bersepakat atas hal ini.  Hanya atas definisi yang disediakan oleh Hurlock, orang dapat tidak bersepakat.  Hurlock mengungkapkan karakter sebagai a pattern of inhibitory conditioning (sebuah pola kebiasaan perlarangan).  Di sini Hurlock menunjukkan bahwa hati nurani sebagai produk dari pembiasaan larangan-larangan, ia behavioristis.  Ada filsuf yang mengungkapkan bahwa hati nurani adalah bawaan/inherent manusia, begitu dilahirkan ia memiliki hati nurani.  Asumsi teori komponen esensial di atas yang berbunyi “manusia secara alamiah mencari kebaikan” mengimpliksikan adanya hati nurani bawaan ini.  Yang berikutnya, hati nurani bukan hanya terbentuk oleh larangan-larangan, tetapi juga berisi kerisauan, kegelisahan atau panggilan batin, kecintaan akan kebaikan.  Seseorang melakukan kebaikan bukan hanya karena larangan atau suruhan/perintah, tetapi juga karena kecintaannya akan kebaikan.
            Yang terakhir tentang karakter, masih dalam rangka menganalisis definisi karakter dari Hurlock di atas, yaitu keselarasan individu dengan pola-pola kelompok sosial tempat individu itu hidup – sebagai hasil dari kontrol hati nurani terhadap tingkah laku individu.  Pola-pola kelompok dapat mencakup pola-pola tingkah laku overt dan covert.  Pola tingkah laku overt (terbuka bagi observasi) meliputi utamanya: kecenderungan, kebiasaan, kesiapan untuk perbuatan-perbuatan yang dapat diobservasi dengan mata telanjang.  Contohnya: kebiasaan makan, kebiasaan berpakaian, kebiasaan berbicara, dan gerakan-gerakan jasmaniah seseorang.  Adapun pola tingkah laku covert (tersembunyi bagi observasi) mencakup tingkah laku kognitif dan afektif, tingkah laku mental atau kesadaran.  Tingkah laku ini tidak dapat diobservasi secara langsung.  Mereka dapat diketahui melalui penyimpulan atas tingkah laku overt-nya, interviu, angket/kuesioner, observasi partisipatif, dan laporan-diri.  Bentuknya sama dengan tingkah laku yang overt, meliputi: kecenderungan, kebiasaan, dan kesiapan berbuat. Pola-pola kelompok atau pola-pola tingkah laku kelompok dipelajari oleh bidang studi antropologi budaya.     

Afeksi.  Di samping karakter, terdapat istilah afeksi, berasal dari affect.  Dalam Encarta Dictionaries terdapat tiga kata affect dengan arti yang berbeda-beda.  Yang relevan di sini adalah yang ketiga.  Affect di sini adalah sebuah kata benda, artinya perasaan yang berkaitan dengan tindakan: sebuah emosi atau mood yang berkaitan dengan sebuah ide atau tindakan, atau ekspresi eksternal dari perasaan tersebut.  Kata jadiannya adalah affective, kata sifat atau ajektiva, artinya hal yang berkenaan dengan ekspresi emosi: berkaitan dengan ekspresi eksternal dari emosi yang terkait dengan sebuah ide atau tindakan.  Dengan demikian jika kita berbicara tentang pendidikan afektif, maka yang dimaksud adalah pendidikan emosi, bukan pendidikan pikiran, rasio, atau kognisi.  Dalam Merriam-Webster’s 11th Collegiate Dictionary, affect diartikannya sebagai  sehimpunan manifestasi dari suatu emosi yang dialami secara subjektif.  Dalam wacana praktik dan studi pendidikan, afektif sering diungkapkan dengan sikap (attitude).  Memang salah satu komponen dari afeksi adalah sikap.

Kedudukan BK Kurtilas


BIMBINGAN DAN KONSELING DALAM IMPLEMENTASI KURIKULUM 2013


Pengembangan kurikulum 2013 dimaksudkan untuk meningkatkan mutu pendidikan dan didalamnya  terdapat perubahan program yang berkaitan langsung dengan layanan bimbingan dan konseling adalah peminatan peserta didik. Peminatan peserta didik dimaknai sebagai proses dalam memfasilitasi perkembangan peserta didik agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya sehingga mencapai perkembangan optimal. Tercapainya perkembangan optimal diharapkan peserta didik mampu mengambil pilihan dan keputusan secara sehat dan bertanggung jawab serta  memiliki daya adaptasi tinggi terhadap dinamika kehidupan yang dihadapinya.
Peminatan peserta didik  merupakan  suatu proses  pengambilan pilihan dan keputusan oleh peserta didik dalam bidang keahlian  yang didasarkan atas pemahaman potensi diri dan peluang yang ada.  Dalam konteks ini, bimbingan dan konseling membantu peserta didik untuk memahami diri, menerima diri, mengarahkan diri, mengambil keputusan diri, merealisasikan keputusannya secara bertanggung jawab. Bimbingan dan konseling membantu peserta didik mencapai perkembangan optimal dan kemandirian dalam kehidupannya serta menyelesaikan permasalahan yang sedang dihadapi. Di samping itu juga membantu individu dalam memilih,  meraih dan  mempertahankan karier untuk mewujudkan kehidupan yang produktif dan sejahtera, serta untuk menjadi warga masyarakat yang peduli kemaslahatan umum melalui pendidikan.
Sehubungan dengan itu, Kurikulum 2013 dalam implementasinya (1) Dapat menyiapkan peserta didik sukses dalam menghadapi tantangan kehidupan di era globalisasi dengan tetap berpijak pada nilai-nilai luhur Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945,  (2) Menitikberatkan pada pencapaian kompetensi sikap, keterampilan, dan pengetahuan sebagai keutuhan yang harus dicapai oleh peserta didik, (3) Memiliki spirit yang kuat untuk memulihkan proses pendidikan sebagai proses pembelajaran yang mendidik dan wahana pengembangan karakter, kehidupan yang demokratis, dan kemandirian sebagai softskills, serta penguasaan sains, teknologi, dan seni sebagai hardskills,  (4) memandang bahwa peserta didik aktif dalam proses pengembangan potensi dan perwujudan dirinya dalam konteks sosial kultural, sehingga menuntut profesionalitas guru yang mampu mengembangkan  strategi pembelajaran yang dapat  menstimulasi peserta didik untuk belajar lebih aktif  dalam mencapai keberhasilannya, (5) Menekankan penilaian berbasis proses pembelajar an yang mendidik dan hasil belajar peserta didik, (6) Mengakui dan menghormati perbedaan kemampuan dan kecepatan  belajar peserta didik, hal ini memerlukan pendampingan, remediasi dan akselerasi secara berkala, terutama bagi peserta didik yang belum mencapai batas kompetensi yang ditetapkan, (7) memberikan kesempatan peserta didik untuk mengembangkan berbagai  potensi yang dimilikinya sesuai dengan kesempatan dan layanan pendidikan yang diselnggarakan, (8) Menuntut adanya kolaborasi yang baik antara guru mata pelajaran, guru bimbingan dan konseling dan orang tua/wali dalam mengoptimalkan perkembangan  peserta didik, (9) Proses pendidikan mengarah kepada orientasi perkembangan dan pembudayaan peserta didik. Oleh karena itu, keberhasilan proses pendidikan dalam mencapai tujuan pendidikan nasional melibatkan manajemen, pembelajaran, serta bimbingan dan konseling.
Bimbingan dan konseling merupakan bagian integral dalam  pendidikan yang  memposisikan kemampuan peserta didik untuk mengeksplorasi, memilih, berusaha meraih, dan  mempertahankan karier yang ditumbuh-kembangkan secara komplementer oleh guru bimbingan dan konseling dan oleh guru mata pelajaran  dalam setting pendidikan.
Peminatan peserta didik  yang difasilitasi oleh bimbingan dan konseling, tidak berakhir pada penetapan pilihan dan keputusan bidang keahlian yang dipilih peserta didik, melainkan harus diikuti layanan pembelajaran yang mendidik, aksesibilitas perkembangan yang luas, dan penyiapan lingkungan perkembangan belajar yang mendukung. Untuk itu, bimbingan dan konseling berperan  secara kolaboratif   dalam hal sebagai berikut.

a.        Menguatkan Pembelajaran yang Mendidik
Proses belajar yang mendidik dan layanan bimbingan dan konseling yang memandirikan serta suasana yang kondusif lingkungan sekolah untuk pembelajaran diharapkan dapat memfasilitasi perkembangan potensi peserta didik. Suasana belajar dan proses pembelajaran dimaksud pada hakikatnya adalah proses mengadvokasi dan memfasilitasi perkembangan peserta didik yang dalam implementasinya memerlukan penerapan prinsip-prinsip bimbingan dan konseling.  Bimbingan dan konseling dalam kurikulum dan pembelajaran untuk mengembangkan lingkungan belajar yang mendukung perkembangan potensi peserta didik.  Untuk mewujudkan lingkungan belajar dimaksud, guru hendaknya: (1) memahami kesiapan belajar peserta didik dan penerapan prinsip bimbingan dan konseling dalam pembelajaran, (2) melakukan asesmen potensi peserta didik, (3) melakukan diagnostik kesulitan perkembangan dan  belajar peserta didik, (4) mendorong terjadinya internalisasi nilai  sebagai proses individuasi peserta didik.  Perwujudan keempat prinsip tersebut  dapat dikembangkan melalui kolaborasi kerja antara guru matapelajaran, guru wali kelas dengan guru bimbingan dan konseling.

b.        Memfasilitasi Advokasi dan Aksesibilitas
Peminatan peserta didik dalam Kurikulum 2013 merupakan suatu wilayah garapan profesi bimbingan dan konseling, tercakup dalam program perencanaan individual atau penyaluran dan penempatan. Bimbingan dan konseling berperan melakukan advokasi, aksesibilitas, dan fasilitasi agar terjadi diferensiasi dan diversifikasi layanan pendidikan bagi  pengembangan pribadi, sosial, belajar dan karir peserta didik. Untuk mencapai perkembangan optimal bidang pribadi, social, belajar dan karir diperlukan kolaborasi  yang harmonis dan sinergis serta edukatif antara guru bimbingan dan konseling  dengan guru mata pelajaran. Bentuk kolaborasinya adalah dalam (1) memahami potensi peserta didik secara mendalam dan pengembangan kesiapan belajar peserta didik, (2) merancang ragam program pembelajaran dan melayani kekhususan kebutuhan peserta didik, (3)  membimbing pencapaian perkembangan pribadi, sosial, belajar dan karir secara optimal.

c.         Menyelenggarakan Fungsi Outreach
Pengembangan Kurikulum 2013 menekankan bahwa kurikulum dirancang berbasis kompetensi dan dalam pembelajaran adalah sebagai proses pemberdayaan dan pembudayaan serta memperhatikan peminatan peserta didik. Untuk mendukung realisasi prinsip tersebut, bimbingan dan konseling tidak cukup menyelenggarakan fungsi-fungsi inreach tetapi juga melaksanakan fungsi outreach yang berorientasi pada penguatan daya dukung lingkungan perkembangan sebagai lingkungan belajar. Dalam konteks ini kolaborasi guru bimbingan dan konseling dengan guru mata pelajaran hendaknya terjadi dalam konteks kolaborasi yang lebih luas, antara lain: (1) kolaborasi dengan orang tua/keluarga, (2) kolaborasi dengan dunia kerja dan lembaga pendidikan, (3) membangun hubungan kerjasama dengan  institusi terkait lainnya untuk membantu perkembangan peserta didik secara optimal.
Kartadinata (2011:15) menjelskan bimbingan dan konseling adalah upaya pedagogis untuk memfasilitasi perkembangan individu dari kondisi apa adanya kepada konseling bagaimana seharusnya sesuai dengan potensi yang dimilikinya; bimbingan dan konseling adalah sebuah upaya normatif. Perlu penegasan perbedaan dan hubungan antara bimbingan dan konseling. Myrick (2003:3) melihat bahwa bimbingan lebih bernuansa pedagogis. Bimbingan meresap ke dalam kurikulum sekolah atau proses pembelajaran yang bertujuan untuk memaksimumkan perkembangan potensi individu dan bimbingan menembus konstelasi layanan yang terarah kepada pengembangan pribadi, karir, dan penyesuaian sekolah, yang secara umum dilaksanakan oleh pendidik profesional seperti konselor dan/atau dalam hal tertentu melibatkan guru dan personil lainnya. Karena sifat normatif pedagogis ini maka fokus orientasi bimbingan dan konseling adalah penciptaan suasana pedagogis dalam memfasilitasi pengembangan perilaku individu untuk jangka panjang; menyangkut ragam proses perilaku yang mencakup pendidikan, karir, pribadi, keluarga, dan proses pengambilan keputusan. Dalam upaya memfasilitasi perkembangan individu itu seorang konselor hendaknya memiliki kemampuan untuk memahami gambaran perilaku individu masa depan dan konselor harus mampu “datang lebih awal” memasuki dunia individu masa depan dimaksud. Ini menyiratkan seorang konselor perlu memiliki falsafah hidup dan kepribadian yang matang, memahami universal tujuan bimbingan dan konseling yang berdasarkan filsafat hidup manusia, dan filsafat pendidikan, sebagai landasan didalam upaya memfasilitasi perkembangan konseli.
Layanan bimbingan dan konseling disekolah merupakan bagian integral dari keseluruhan upaya pendidikan yang dilakukan guru bimbingan dan konseling yang menggunakan proses pengenalan diri peserta didik  tentang kekuatan dan kelemahannya dengan peluang dan tantangan yang terdapat dalam ligkungannya, untuk menumbuhkembangkan kemandirian dalam mengambil berbagai keputusan penting dalam perjalanan hidupnya, sehingga mampu memilih, meraih serta mempertahankan karir (kemajuan hidup) untuk mencapai  hidup yang efektif, produktif, dan sejahtera dalam konteks kemaslahatan umum. Bimbingan dan konseling merupakan  upaya proaktif dan sistematik dalam memfasilitasi peserta didik  mencapai tingkat perkembangan yang optimal, pengembangan perilaku efektif, pengembangan lingkungan perkembangan, dan peningkatan keberfungsian individu di dalam lingkungannya. Semua perubahan perilaku tersebut merupakan proses perkembangan, yakni proses interaksi antara individu dengan lingkungan perkembangan melalui interaksi yang sehat dan produktif. Bimbingan dan konseling memegang tugas dan tanggung jawab untuk mengembangkan lingkungan perkembangan, membangun interaksi dinamis antara individu dengan lingkungannya, membelajarkan individu untuk mengembangkan, memperbaiki, dan memperhalus perilaku.
Bimbingan dan konseling pada hakikatnya merupakan proses memfasilitasi pengembangan nilai-nilai inti karakter melalui proses interaksi yang empatik antara guru bimbingan dan konseling dengan  peserta didik. Guru bimbingan dan konseling membantu peserta didik untuk mengenal  kelebihan dan kelemahan  dirinya, memahami peluang dan tantangan di lingkungannya  serta mendorong penumbuhan kemandirian peserta didik  untuk mengambil berbagai keputusan penting dalam perjalanan hidupnya secara bertanggung jawab dan mampu mewujudkan kehidupan yang produktif, sejahtera, bahagia serta peduli terhadap kemaslahatan umat manusia. Penyelenggaraan bimbingan dan konseling di satuan pendidikan adalah menyangkut upaya memfasilitasi peserta didik agar mampu mengembangkan potensi dirinya atau mencapai tugas-tugas perkembangannya dalam aspek fisik, emosi, intelektual, sosial, dan moral-spiritual.
Pendidikan sebagai fasilitasi proses perkembangan setiap peserta didik yang sedang berada dalam proses berkembang atau menjadi (on-becoming), yaitu berkembang ke arah kematangan atau kemandirian. Untuk mencapai kematangan tersebut, peserta didik memerlukan bimbingan agar memiliki pemahaman yang baik tentang dirinya dan lingkungannya serta  pengalaman dalam menentukan arah kehidupannya. Proses perkembangan peserta didik tidak selalu berlangsung secara mulus, dalam alur yang  lurus,  searah dengan potensi, harapan dan nilai-nilai yang dianut. Perkembangan peserta didik tidak lepas dari pengaruh lingkungan, baik fisik, psikis maupun sosial yang selalu berubah dan mempengruhi gaya hidup (life style). Sifat yang melekat pada lingkungan adalah perubahan. Pertumbuhan jumlah penduduk yang cepat, kesenjangan tingkat sosial ekonomi masyarakat, revolusi teknologi informasi, pergeseran fungsi atau struktur keluarga, dan perubahan struktur masyarakat dari agraris ke industri yang dapat menimbulkan iklim lingkungan kehidupan yang kurang sehat.
Layanan bimbingan dan konseling  didasarkan kepada upaya pencapaian  tugas perkembangan, pengembangan potensi, dan pengentasan masalah-masalah peserta didik sebagai suatu keutuhan yang diselenggarakan secara intensif dan kolaboratif. Tugas-tugas perkembangan dirumuskan sebagai standar kompetensi belajar, pribadi, sosial dan moral-spriritual, serta karir yang harus dicapai tiap peserta didik sesuai usia kronologisnya, sehingga pendekatan ini disebut juga sebagai bimbingan dan konseling berbasis nilai-nilai inti karakter.

DAFTAR PUSTAKA

Dikmen. (2013). Materi Bimbingan Teknis Pengembangan Karir Guru BK. Jakarta : Direktorat Pembinaan Pendidikan dan Tenaga Kependididikan, Direkrorat Jenderal Pendidikan Menengah, Kementerian Pendidikan dan Kebudayan Replublik Indonesia.

Kartadinata, Sunaryo. (2011). Menguak Tabir Bimbingan dan Konseling Sebagai Upaya Pedagogis : Kiat Mendidik Sebagai Landasan Profesional Tindakan Konselor. Bandung : UPI PRESS.

Mendikbud. (2013). Pedoman Peminatan Peserta Didik. Jakarta : Badan Pengembangan SDM Pendidikan dan Kebudayaan dan Penjaminan Mutu Pendidikan.

Myrick Robert D. (2003). Developmental Guidance and Counseling : A Practical Aproach Menneapolis. Educational Media Corporation.

Permendikmud Nomor 70 Tahun 2013. Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum bagi SMK dan MAK. Mendikbud.

Permendikbud Nomor 81A Tahun 2013. Implementasi Kurikulum 2013. Mendikbud.


Keterampilan Konseling


KETERAMPILAN KONSELING SEBAGAI KOMPONEN PENTING KEBERHASILAN PROSES KONSELING

A.    Kedudukan Keterampilan Konseling dalam Proses Konseling
Konseling sebagai suatu profesi, sebagaimana halnya profesi-prosfesi lain memunculkan banyak karakteristik professional. Bertolak dari konsep konselinng sebagai proses interaksi sosial yang memberikan pengaruh dengan jalan menciptakan kemudahan bagi klien dalam mengembangkan diri ke arah yang diharapkan. Karakteristik professional dari segi konselor__menurut Dorn (1979) menunjuk pada kepakaran (expertness), terpercaya (truswrthiness), keaktrkatifan social (Social Attractiveness) dan kekuatan Sosial (Social Power). Segi kepakaran seorang konselor berkaitan erat dengan ilmu yang dipelajarinya secara formal. Jika dilihat dari esensi profesi yang terletak pada segi pelayanan terhadap masyarakat maka kepakaran seorang konselor akan terwujud apabila masyarakat penerima pelayanan mempersepsikan pekerjaan yang itu dilakuakan oleh seorang yang mendapat pendidikan dan latihan khusus. Persepsi masyarakat terhadap konselor tidak terlepas dari harapan (ekspektasi) masyarakat terhadap apa yang diperoleh konselor. Apa yang diperbuat oleh konselor dalam proses konseling turut membentuk persepsi masyarakat terhadap kepakaran konselor. Secara psikologis prinsip ini mengandung implikasi bahwa ilmu keprofesian konseling yang dipelajari mesti tampil di dalam perbuatan konseling. Konseling merupakan instrument untuk menciptakan situasi yang menimbulkan kemudahan bagi klien dalam mengklarifikasi harapan, dan mengembangkan atau mengubah perilaku. Sifat terpercaya seorang konselor sebagai orang yang mampu membantu. Sifat terpercaya ini tumbuh apabila klien menyadari akan reputasi dan peranan konselor sebagai orang yang memberi bantuan dan tidak berorientasi pada interes dan keuntungan pribadi. Persepsi klien atau masyarakat terhadap konselor sebagai seorang professional yang dapat dipercaya akan terbentuk dari sikap terbuka, jujur, tulus, dan keotentikan pembimbing dalam bertindak.
Keaktraktifan social berkenaan dengan bagaimana pembimbing memperlakukan klien dalam proses konseling. Sikap menguasai, menerima kehadiran klien tanpa pamrih, dan empati adalah perilaku atau tindakan yang dapat membuat klien senang berhubungan dengan pembimbing. Suasana yang tercipta dari proses bimbingan dengan karakteristik ini akan menjadi dasar bagi konselor untuk menciptakan pengaruh terhadap klien.
Segi pengaruh sosial berkaitan dengan seberapa jauh seorang konselor dapat dipercaya sebagai agen yang membawa pengaruh positif pada pertumbuhan dan perkembangan klien. Hal ini dapat terjadi manakala seorang konselor mampu: 1) membawa klien pada situasi yang baru, yakni pada situasi yang berbeda dengan situasi sebelumnya; 2) memberikan informasi normatif tentang bagaimana orang lain merasakan dan bertingkahlaku, dan 3) memberikan eksplorasi falsafah tingkahlaku manusia, sehingga pada gilirannya klien memiliki sikap dan tingkahlaku yang bertanggungjawab. Menurut Goodyear dan Robyak (Dorn, 1984:90) seorang konselor akan mampu memiliki kekuatan social bila ditopang oleh Legitimate power, Expert Power, Referent Power dan Ecological Power.
Bertolak dari konsep pengaruh sosial dari Dorn ini, jelas bahwa dalam proses konseling seorang konselor merupakan agen yang memberi pengaruh pada klien. Implikasi dari masalah ini, untuk menopang fungsi dan perannya seorang konselor hendaknya memiliki kemampuan dan keterampilan untuk “mengubah” tingkahlaku klien. Bila disimak lebih lanjut pendapat Dorn tentang perlunya seorang konselor memiliki kemampuan dan keterampilan untuk “mengubah” klien, sejalan dengan Comb, Avila dan Purkey (1978); Borck dan Pawcet (1982), Dyer (1977), Egan & Gerard (1982), Brammer & Shosrom (1979), Robert Carkhuff (1979), Nicolson & Golson (1983), dan Ivey (1978). Ivey menyebutkan bahwa keterampilan konseling sangat penting dalam menunjang keberhasilan proses konseling. Keterampilan konseling akan membawa pada proses konseling yang efektif. Dari pengamatan yang dilakukan oleh Ivey (1978) menunjukkan bahwa hampir semua ahli teori-teori konseling  mengakui perlunya keterampilan konseling.
Dari keyakinan bahwa seorang konselor memerlukan keterampilan konseling, akhirnya Ivey sendiri mengembangkan model keterampilan konseling. Selanjutnya jenis keterampilan dari Ivey akan dibahas pada bagian jenis-jenis keterampilan konseling.
Di samping Ivey, ahli lain yang mengakui perlunya keterampilan konseling dikuasai oleh konselor adalah Brammer. Brammer (1979) menyebutkan bahwa keterampilan-keterampilan konseling diperlukan untuk pemahaman diri ke dalam tujuh (7) kelompok keterampilan. Ketujuh kelompok keterampilan yang dimaksud adalah: (1) keterampilan mendengarkan, (2) keterampilan mengarahkan, (3) keterampilan merefleksi atau memantulkan, (4) keterampilan merangkumkan, (5) keterampilan memperhadapkan (confronting), (6) keterampilan menafsirkan, dan (7) keterampilan memberi keterangan.
Keterampilan untuk menjamin ketenangan dan menggunakan krisis (Comport and Crisis Utilization) oleh Brammer dikelompokkan ke dalam delapan kelompok, yaitu: (1) keterampilan melakukan kontak, (2) keterampilan memberikan ketentraman, (3) keterampilan untuk melentukkan (relaxing skill), (4) keterampilan untuk memusatkan, (5) keterampilan menginterpretasi krisis, (6) keterampilan mengembangkan alternatif tindakan, (7) keterampilan merujuk, dan (8) keterampilan memperbaharui dan membangun sistem cokongan.
Di samping dua kelompok keterampilan di atas, Brammer juga menyebutkan satu kelompok keterampilan lagi yang perlu dimiliki oleh konselor, yakni keterampilan memberi bantuan untuk mengambil tindakan positif. Termasuk ke dalam keterampilan ini adalah: modeling, keterampilan memberi ganjaran, keterampilan untuk menghilangkan perilaku, keterampilan untuk mengontrol yang bersifat menolak, keterampilan untuk menghilangkan kepekaan.
Dewasa ini telah muncul sejumlah ahli yang mengembangkan model-model keterampilan konseling.

B.     Model-model Keterampilan Konseling
Bila melakukan orientasi terhadap ahli-ahli yang menembangkan model keterampilan konseling, tercatat ada sejumlah nama yang dapat disebutkan diantaranya adalah: L. D Schmidt, Allan E. Ivey, Bruce Hosking, Gerard Egan dan Robert Carkhuff. Menurut M.D Dahlan (1987:17) model-model keterampilan konseling dari ahli-ahli tersebut sampai sekarang masih dikembangkan.
Dilihat dari sejarah perkembangannya keterampilan konseling yang disajikan secara sistematis dimulai sejak Allan Ivey dkk. Menyusun buku Microcounseling, Inovations in Interviewing-Training (Springfield, III, Charles C. Thomas, 1971 (Bruce Hosking, 1978). Menurut Hosking, tujuan utamanya adalah untuk menjembatani jurang antara teori dan praktek konseling, yang dipusatkan pada kekhususan sikap konselor. Menurut Ivey, keterampilan konseling ini (Ivey menyebutnya Microcounseling) dikembangkan agar konselor menguasai keterampilan-keterampilan yang benar-benar tepat, sesuai dengan tuntutan kondisi setempat.
Secara singkat keterampilan-keterampilan konseling yang dikembangkan oleh Ivey adalah: 1) keterampilan attending, dan 2) keterampilan influencing. Termasuk ke dalam keterampilan attending adalah open question, closed question, minimal encourage, paraphrase, reflecting feeling, dan summarization. Sedangkan yang termasuk ke dalam keterampilan influencing adalah directions, expression content, expression feeling, summarization, interpretation, dan direct mutual communication.
Dengan mengembangkan pandangan-pandangan Ivey, Hosking (1978) mengembangkan microcounseling. Menurut Hosking, Microcounseling dikembangkan atas keyakinan bahwa ia akan meningkatkan efektivitas helping. Menurut Hosking lagi, persiapan minimal yang apat dilakukan unutk meningkatkan efektivitas helping dibangun dari empat hal yang saling berkaitan. Keempat hal yang dimaksud adalah melakukan kursus konseling, melakukan latihan khusus dalam keterampilan konseling yang aktual, mengembangkan pertumbuhan pribadi melalui kursus-kursus atau seminar dan bekerja di lapangan di bawah pengawasan seorang ahli. Dengan keempat keyakinan itu, Hosking mengembangkan keterampilan konseling yang sifatnya self-instructional. Melalui buku kerja yang dikembangkannya, calon konselor baik secara perorangan maupun secara kelompok dapat meningkatkan keterampilannya. Keterampilan-keterampilan konseling yang dikembangkan oleh Hosking adalah: attending, paraphrasing, identifying feeling, and emotions, reflecting feelings, confrontation, dan summarizing.
Di samping oleh Ivey & Hosking keterampilan-keterampilan konseling yang sistematis, dikembangkan pula oleh Gerard Egan sepertinya halnya Ivey dan Hosking, Egan mengembangkan keterampilan konseling yang diarahkan untuk meningkatkan keterampilan konselor. Konselor seperti  helping profession lainnya sering dihadapkan pada situasi yang kritis, manakala dihadapkan kliennya. Situasi-situasi yang kritis tersebut dapat diatasi manakala konselor memiliki ketrampilan dan keahlian. Keterampilan-keterampilan yang perlu dimiliki oleh seorang konselor diantaranya adalah: (1) keterampilan untuk menolong klien dalam mengeksplorasi dan mengklarifikasi situasi permasalahan klien, termasuk kedalam keterampilan ini adalah: attending dan listening sebagai dasar bagi responding yang efektif; helper response and client self – eksploration; dan dasar-dasar helping respect, genuineness dan perubahan social, (2) keterampilan untuk mengembangkan perspektif  baru dan penyusunan tujuan. Termasuk ke dalam keterampilan ini adalah keterampilan Summarizing, information giving, and advance empathy, the skill of confrontation, Counselor Self Sharing, and Immediacy, dan The Task of Setting Goals, dan (3) keterampilan untuk mengembangkan dan mengurutkan program. Termasuk ke dalam keterampilan ini adalah keterampilan untuk menolong klien dalam mengidentifikasi kemungkinan-kemungkinan programnya, memilih program, dan menyusun langkah-langkah pelaksanaannya, mengimplementasikan program, dan mengevaluasinya.
Di Indonesia model keterampilan konseling masih jarang dikembangkan. Sebatas pengetahuan penulis, tercatat ada dua nama yang telah mengembangkan model keterampilan konseling di Indonesia, yakni Toga Hutahuruk & S. Pribadi dan M. D Dahlan. Toga Hutahuruk bersama S. Pribadi menyusun model keterampilan konseling (microcounseling) dengan menyadur model Hosking. Keterampilan konselingyang dikembangkan oleh Toga Hutahuruk dan S. Pribadi sama seperti yang dikembangkan oleh Hosking, yakni keterampilan responding, mengundang pembicaraan terbuka, paraphrase, identifikasi perasaan, refleksi perasaan, konfrontasi, dan merngkaskan. Sementara itu seperti diungkapkan, M. D Dahlan mengembangkan latihan keterampilan yang didasarkan pada dua karya Gerard Egan. Bila ditelaah alur pikirnya, menurut M. D Dahlan terlihat adanya pola pemberian bantuan yang menjembatani terapi humanistis dengan behavioristik. Di satu pihak ia berpegang pada pandangan Rational-Emotive Therapy, dan di pihak lain ia patuh pada pandangan Behavior Therapy. Arena itu, menurut M. D Dahlan (1986:11) konseling yang dilakukan mengikuti langkah-langkah yang jelas; (a) menunjukkan pada klien bahwa klein perlu mengubah pola pikirnya; (b) membantu klien memahami bagaimana dan mengapa demikian; (c) menunjukkan bahwa gangguan itu dipelihara oleh klien; (d) mendorong klien agar mengubah dirinya sendiri melaui proses latihan. Menurut M. D Dahlan didasarkan pada alur piker tersebut, konselor bertindak sebagai guru yang mengajar cara bertingkahlaku, mengarahkan berperilaku serta menerangkan kelemahan klien untuk segera diperbaiki.
Dengan penyesuaian pada kondisi realistis dan hasil uji coba buku Latihan Keterampilan Konseling ini dapat digunakan dalam Mata Kuliah Proses Belajar Mengajar Konseling dan Konseling Mikro (M. D Dahlan, 1986:120)
Menurut M. D Dahlan, keterampilan konseling yang dilatihkan dijabarkan dari tugas konselor dalam memberikan bantuan kepada klien secara efektif. Sekurang-kurangnya ada tujuh keterampilan yang dapa dilakukan oleh konselor agar proses konseling berjalan efeltif. Ketujuh keterampilan yang dimaksud adalah: (a) membantu klien menemukan kekuatan dan kelemahan diri, (b) membantu klien mengenali pusat perhatian mereka melalui proses klarifikasi situasi masalah, (c) membantu klien melihat dirinya sendiri, baik yang kondusif bagi pencapaian tujuan yang ditetapkan olehnya, ataupun yang kurang kondusif, baik yang kontradiktif, maupun yang sejalan, (d) membantu klien menetapkan sasaran yang ingin mereka capai, berupa rumusan yang lebih kongkrit dan spesifik, (e) membantu klien menemukan berbagai cara untuk mencapai sasaran yang telah ditetapkan (taksiran berbagai kemungkinan), (f) membantu klien memilih jenis program yang paling cocok dan paling sesuai dengan gaya, dukungan dan lingkungan mereka, dan (g) membantu klien melaksanakan program yang telah mereka pilih, dimulai dengan analisis lapangan, merancang sumber pendukung serta mengatasi hambatan yang mereka hadapi.
Ketrampilan konseling yang dikembangkan oleh M. D Dahlan dikembangkan dalam dua buku, yakni buku kerja dan buku latihan. Secara garis besar jenis-jenis keterampilan yang diajarkan seperti tersaji pada buku latihan keterampilan konseling seni memberikan bantuan dapat disebutkan sebagai berikut.
1.      Pengukuran dan identifikasi masalah. Pada kelompok ini dilatihkan jenis-jenis keterampilan: 1) mengenal kekuatan dan kelemahan diri sendiri; 2) mengenal tugas hidup dan adegan social (Sosial Setting); 3) mengenal konflik dengan lingkungan; 4) mengukur dampak lembaga social terhadap kehidupan peserta; 5) mengukur keterampilan menyelesaikan tugas.
2.      Eksplorasi dan pemusatan perhatian pada masalah awal. Pada kelompok keterampilan ini dilatihkan jenis-jenis keterampilan: 6) memilih masalah untuk ditelusuri lebih lanjut; 7) keterampilan penampilan fisik; 8) keterampilan mendengar dan eksplorasi kongkrit (berbicara kongkrit tentang pengalaman, tingkahlaku, perasaan dan emosi, tingkahlaku dan perasaan sekaligus; 9) empati yang akurat tahap primer (mendeskripsikan perasaan klien; menghayati perasaan dan emosi sendiri, menghayati perasaan secara mendalam; mengidentifikasi perasaan klien; mengidentifikasi pengalaman, tingkahlaku klien dan perasaan yang mengirinnginya. Merespon klien dengan empati tahap primer; empati tahap primer dalam kehidupan sehari-hari); 10) penggunaan probing dalam klarifikasi pengalaman tingkahlaku dan perasaan; mengombinasikan empati dengan probing; melihat kembali proses pemberian bantuan pada tahap awal.
3.      Keterampilan Challenging dan mengembangkan perspektif baru. Pada kelompok ini dilatihkan jenis-jenis keterampilan: 12) meringkas dalam usaha klarifikai masalah; 13) pemberian informasi dan perspektif baru; 14) empati lanjutan yang akurat; 15) membandingkan empati tahap primer dengan lanjutan; 16) mengungkap pengalaman sendiri dalam wawancara konseling; 17) ketepatan mengungkapkan pengalaman sendiri; 18) pengungkapan pengalaman sendiri dalam wawancara konseling; 19) konfrontasi: mempertentangkan berbagai perbedaan; dan 20) eksplorasi hubungan antarpribadi dalam kehidupan;
4.      Merumuskan tujuan. Pada kelompok ini dilatihkan jenis-jenis keterampilan: 21) mengkongkritkan tujuan; 22) mencek kembali: Rumusan tujuan; 23) merumuskan tujuan yang sesuai dengan masalah yang dihadapi sendiri;
5.      Mencari alternatif Program. Pada kelompok ini dilatihkan jenis-jenis keterampilan: 24) brainstorming sebagai teknik mencari alternatif program; 25) membantu klien mencari alternatif program;
6.      Memilih program terbaik. Pada kelompok ini dilatihkan jenis-jenis keterampilan : 26) memilih unsure-unsur program (membuat urutan program; menggunakan lembaran pertimbangan); 27) mengurutkan langkah-langkah program (menetapkan sub tujuan; merumuskan sub progam; merumuskan sub program yang sesuai dengan masalah sendiri; merumuskan sumber pendukung untuk pelaksanaan program);
7.      Melaksanakan program. Pada kelompok ini dilatihkan jenis-jenis keterampilan: 28) menganalisis wahana dan mengidentifkasi sumber pendukung; dan 29) menurunkan kekuatan sumber daya yang menghambat.
8.      Menilai proses membantu dengan belajar dari kegagalan. Bila disimak lebih jauh nampak bahwa keterampilan keterampilan konseling yang dikembangkan oleh M. D Dahlan sangat komprehensif. Keterampilan-keterampilan konseling yang dikembangkan oleh M. D Dahlan meliputi keterampilan-keterampilan yang mengacu pada proses konseling yang lengkap. Dari keterampilan-keterampilan konseling yang diungkapkan oleh M. D Dahlan nampak bahwa dalam proses konseling dan atau setiap langkahnya memerlukan sejumlah keterampilan yang perlu dikuasai oleh seorang konselor. Dengan demikian nampak jelas bahwa dalam proses konseling seorang konsleror membutuhkan sejumlah keterampilan yang mendukung keberhasilan tugas-tugasnya.
Setelah diteliti dan kemudian dilakukan perbandingan antar berbagai keterampilan konseling yang dikembangkan oleh para ahli, meskipun ada beberapa perbedaan nampak unsure-unsur kesamaannya. Bahkan bila disimak lebih lanjut semua ahli yang mengembangkan proses konseling sepakat bahwa sejak dimulai sampai berakhirnya proses konseling, seorang konselor tidak dapat melepaskan diri dari keharusan menguasai berbagai keterampilan konseling.
Seorang konselor yang tidak menguasai keterampilan konseling akan terjebak pada proses konseling yang tidak terarah. Kalau hal ini sampai terjadi pada saat ia melakukan proses konseling, klien yang ditangani akan menanggung akibatnya. Dan ini sangat membahayakan baik bagi konselor maupun bagi kliennya.

Era Digital 1


Isu dan Tantangan pada Era Digital

Pendidikan pada jaman tertentu membawa dampak pada perkembangan teknologi. Sejak abad ke 18 terjadi revolusi industri yang mengubah perilaku manusia. Revolusi pertama pada tahun 1784 ditandai dengan diketemukannya dan digunakannya alat-alat produksi mekanik, jalan kereta api, dan mesin uap. Kehidupan menjadi lebih nyaman karena mobilitas dan produktivitas manusia meningkat, terutama dalam bidang pertanian dan transportasi. Revolusi kedua yang terjadi di paruh kedua abad 19 ditandai dengan produksi masal, tenaga listrik, dan assembly line. Revolusi ketiga pada pertengahan abad ke 20 ditandai dengan lahirnya komputer, otomatisasi produksi, dan munculnya barang2 elektronik. Revolusi keempat yang sampai masih berjalan dimulai di awal abad 21 yang ditandai dengan kecerdasan buatan (artificial intelligence), big data, robot, dan hal-hal lain yang sekarang belum ada.
Dalam kehidupan sehari-hari, seiring dengan kemajuan teknologi di berbagai bidang tersebut, terjadi juga perubahan perilaku manusia yang menggunakan hasil kemajuan itu. Tengok misalnya penemuan pendingin ruangan elektrik (air conditioner, AC) oleh Willis Carrier tahun 1902 di Buffalo, New York, sesudah dia lulus dari Universitas Cornell. Hadirnya teknologi pendingin ruangan mengubah banyak perilaku manusia termasuk industri. Sebelum ada AC penduduk Amerika membangun rumah dengan banyak ruang terbuka untuk memungkinkan angin lalu lalang, mereka suka duduk-duduk di bawah pohon di musim panas. Namun dengan dipasangnya AC di rumah mereka, mereka lebih suka ada di dalam rumah yang tertutup dengan pendingin. AC sudah menjadi bagian dari hidup sehari-hari manusia, demi kenyamanan, selain rumah, hotel – super market, rumah sakit, bahkan kandang binatang tertentu oleh manusia diberi AC. Selain AC, alat pendingin air dan makanan, yaitu lemari pendingin atau kulkas juga mengubah perilaku manusia. Berbelanja makanan yang semula dilakukan setiap pagi, sekarang bisa dilakukan hanya seminggu sekali, karena kebutuhan bahan makanan selama itu bisa disimpan di kulkas. Ibu-ibu yang dulunya pergi ke pasar untuk membeli bahan makanan untuk dimasak hari itu, bertemu dengan tetangga, mengobrol di pasar, sudah menyusut jumlahnya. Televisi (TV) adalah produk teknologi  Barat yang masuk ke Indonesia di tahun 1960an. Bahkan pemerintah RI membangun TVRI tahun 1962 untuk meliput siaran Asian Games yang dilaksanakan di Indonesia. TV adalah alat pembelajaran dan penyebaran informasi yang amat ampuh, bahkan diakui sebagai alat pemersatu sebuah bangsa. Berbeda dengan radio, TV menyuguhkan berita, hiburan, dan pendidikan secara audiovisual. Gambar yang langsung dapat dilihat oleh pemirsa mempunyai dampak psikologis berbeda dibandingkan hanya mendengar suara saja. Meskipun demikian, suara yang didengar, sebagaimana buku yang dibaca, memberikan kesempatan tak terhingga untuk menginterpretasikan apa yang didengar atau dibaca. Imajinasi pendengar dan pembaca bisa amat kreatif bahkan liar, yang banyaknya sebanyak pemirsa atau pembaca. Gambar yang ada di TV, sebaliknya, memberi peluang yang lebih terbatas untuk menginterpretasi.
Tayangan televisi sudah lama diprihatinkan orangtua dan pemerintah. Tayangan televisi yang agresif dan mengandung pornografi sudah dideklarasikan sebagai tayangan yang dianggap merusak mental terutama anak dan remaja. Di tahun 1994 dimana hanya ada beberapa stasiun televisi swasta di Indonesia, ada terdapat 29 film anak-anak yang ditayangkan dalam satu minggu. Anak-anak prasekolah yang mempunyai kebiasaan menonton film yang agresif ternyata juga menampilkan perilaku agresif, bahkan mampu menghasilkan fantasi agresif (Wimbarti, 2002). Pada penelitian ini, anak adalah pemirsa pasif, tidak ada interaksi langsung dengan tokohtokoh yang ada dalam tayangan tersebut. Dan cara menonton pasif ini mampu memantik perilaku anak-anak menjadi agresif, karena adanya efek peniruan.
Bagaimana bila anak, remaja, atau orang dewasa tidak hanya pasif menonton, tapi aktif secara virtual dan tenggelam dalam bermain peran di dalam game internet, apakah dampaknya sama dengan bila mereka hanya menonton, ataukah dampaknya lebih dahsyat?

a.      Perkembangan Anak dan Keberadaan Internet
Sejak awal tahun 1990, revolusi teknologi sudah mengubah cara manusia melakukan komunikasi, dan komunikasi berteknologi tinggi ini sudah menjadi peradaban baru manusia. Peradaban baru dalam berkomunikasi ini ditandai dengan mudahnya alat komunikasi tingkat tinggi didapatkan dan diakses oleh banyak orang, murah dan tidak membutuhkan bertemu langsung dengan lawan komunikasinya. Karakteristik teknologi informasi dan komunikasi memberikan kesempatan bagi setiap orang termasuk anak dan remaja untuk mengisi waktu-waktu luangnya (walau hanya sedikit) dengan cara-cara yang mereka sukai.
Keberadaan internet memang seperti pisau berujung dua dan disikapi oleh masyarakat, terutama orangtua dengan positif dan negatif. Terhadap internet ini orangtua memandang berbahaya bagi anak-anak, meracuni pikiran anak dengan isi internet yang tidak sesuai dengan usia anak. Namun di sisi lain, anak Jaman Now bila tidak mengenal internet akan terugikan secara kognitif dan sosial, sebab dari internet anak bisa mendapatkan stimulasi kognitif dan mendapatkan teman baru.
Kajian yang dilakukan oleh Johnson (2010) ternyata mengamini pendapat ini, anak-anak sekolah yang menggunakan internet dibandingkan dengan yang tidak menggunakan internet, ternyata kemampuan membacanya lebih bagus dan rerata nilai akademiknya lebih tinggi saat diukur lagi 6 bulan, 12 bulan, dan 16 bulan kemudian. Ini menandakan penggunaan internet oleh anak mempunyai dampak positif terhadap prestasi belajar dalam kurun waktu yang cukup lama. Mengapa demikian? Anak yang sering mengakses internet dihadapkan pada fitur-fitur yang ada di layar yang juga sering terdapat pada buku bacaan. Kebiasaan berinteraksi dengan fitur internet membuat anak familiar dengan tulisan maupun simbol-simbol yang banyak dijumpai di buku bacaan. Penggunaan internet menstimulasi proses kognitif yang terlibat dalam menginterpretasikan teks yang sedang dibaca, termasuk di dalamnya adalah proses metakognitif yang terjadi. Proses metakognitif yang dimaksud adalah merencanakan, strategi untuk mencari, dan mengevaluasi informasi yang didapat.
Ketiga kegiatan itu adalah hal penting saat berselancar di website. Di saat menggunakan internet, selain jari-jari tangan, mata pengguna juga memegang peranan penting. Pemakaian internet oleh anak-anak ternyata juga membantu meningkatkan perkembangan kognitif mereka. Penelitian Van Deventer dan White (2002) lebih dari 15 tahun yang lalu sudah mengkonfirmasi hal tersebut, pada penggunaan game video. Terutama pada area kecerdasan visual, maka penggunaan games meningkatkan kemampuan pemainnya untuk memonitor beberapa stimulus yang muncul bersamaan di layar, untuk membaca diagram, untuk mengenali ikon, dan membayangkan hubungan-hubungan spasial obyek yang muncul di layar. Pada remaja awal berumur 10-11 tahun yang bermain game video dengan fasih, ternyata juga punya kemampuan memonitor diri yang baik, ingatan visual yang baik, dan rekognisi pola yang lebih lancar daripada remaja yang tidak bermain game video. Namun di sisi lain, dalam relasi sosial, anak dan remaja yang banyak bermain game video juga terbukti perhatiannya mudah terganggu, konsentrasi terpecah, kasar, dan agresif.
Perjalanan hidup setiap manusia biasanya digambarkan seperti mengarungi dunia yang berlapis bak bawang. Artinya, ada unsur di luar diri manusia yang mempengaruhi, yang antara lain adalah mikrosistem, mesosistem, exosistem dan makrosistem seperti yang digambarkan berikut ini.  Subsistem teknoekologi yang merupakan lingkungan mikrosistem yang langsung dihadapi anak bersifat hidup dan tak hidup. Lingkungan hidup misalnya teman-temannya, dan lingkungan tak hidup termasuk alat-alat komunikasi, informasi, dan teknologi untuk rekreasi (televisi, telpon, e-book, komputer, internet, dan sebagainya). Semakin komplek subsistem yang dihadapi oleh anak, maka anak membutuhkan proses kognitif yang makin komplek juga. Internet dalam hal ini, memungkinkan anak dan orang dewasa untuk menjangkau informasi yang komplek, internet menjadi jembatan antara diri individu dengan dunia luar yang menuntut proses yang lebih luhur.
Orangtua dan guru adalah kelompok yang mencemaskan penggunaan internet anak-anak dan remaja. Psikolog khususnya, mengkhawatirkan kalau penggunaan internet yang berlebihan di antara anak dan remaja akan mengganggu kesejahteraan subyektif mereka. Mereka yang memakai internet berlebihan banyak dilaporkan mempunyai kesejahteraan subyektif yang rendah, misalnya munculnya depresi dan jauh dari kehidupan sosial yang wajar. Australia sebagai negara maju, mempunyai warganegara dewasa pengguna internet sebanyak 83%; di antara remaja Australia yang berumur 15–17 tahun, 97% nya adalah orang-orang yang rajin ber-online-ria. Ini prosentase yang lebih tinggi dibandingkan Amerika Serikat (93%) dan Eropa (86%). Di negara kanguru ini ternyata ada hasil penelitian menarik
yang dilakukan oleh Posso di tahun 2016, yaitu pelajar yang memakai waktunya di atas rata-rata sibuk dengan media sosialnya ternyata prestasi matematikanya di bawah rata-rata. Sebaliknya, mereka yang sibuk dengan game internet bisa mencapai nilai matematika di atas rata-rata!.
Penggunaan internet untuk bermain game online, offline, atau media sosial tidak akan membuat cemas masyarakat luas bila tidak ada dampak negatifnya. Kekhawatiran tersebut nampaknya riil bila sudah meninjau informasi berikut ini. Survey yang melibatkan 23.533 orang dewasa menunjukkan mereka yang kecanduan memakai internet ternyata menunjukkan gangguan mental. Munculnya gejala ADHD, obsesif kompulsif, cemas dan depresi biasa terlihat di antara orang-orang ini. Apakah ada variasi dampak penggunaan itu antara pria dan wanita? YA! Pengguna laki-laki ternyata berkaitan kuat dengan penggunaan berlebihan game video, sedangkan para wanitanya gangguan mental banyak terkait dengan media sosial. Mereka yang statusnya tidak menikah ternyata gangguan mental berkaitan dengan sukanya menggunakan game video dan media sosial. Survey ini dilakukan di tahun 2016 oleh sekelompok ilmuwan yakni Andreassen, Billieux, Griffiths, Kuss, Demetrovics, Mazzoni, dan Pallesen.

b.     Era Teknologi Digital dan Perubahan Perilaku
Kecanduan internet dapat juga dibahasakan dengan penggunaan internet yang bermasalah;, gangguan kecanduan internet, penggunaan internet berlebihan, yang semuanya menunjuk pada pemakaian internet yang berlebihan, yang menimbulkan konsekuensi negatif secara psikologis, mengganggu kehidupan sosial dan pekerjaan, dan kehidupan akademis seseorang.
Sebetulnya, seberapa banyak orang Indonesia yang menggunakan internet? Bagaimana komposisi umurnya? Pada tahun 2016, Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia melaporkan bahwa jumlah penggunanya adalah 132,7 juta orang, jumlah yang lebih dari 50% penduduk Indonesia. Dari jumlah itu 18,4% nya adalah pengguna anak sampai dewasa awal berumur 10 – 24 tahun. Daya penetrasi internet pada anak dan remaja dalam rentang itu adalah 75,5%. Pertanyaannya adalah, di manakah mereka tinggal? Laporan dari Kementerian Komunikasi dan Informatika Indonesia menunjukkan bahwa pengguna internet terbesar di Indonesia berasal dari Jakarta, Banten, dan Yogyakarta. Aktivitas memakai internet yang dilakukan kebanyakan adalah untuk mengakses Youtube (40%), bermain game online (63%), mencari informasi akademik (65%) dan menggunakan media sosial (77%).
Dimanakah umumnya orang Indonesia mengakses internet? Ini menarik. Survey tahun 2017 yang dilakukan oleh Nielsen Cross-Platform 2017 (Lubis, 2017) menunjukkan orang mengakses internet hampir di semua tempat yaitu Kendaraan Umum (53%), Kafe atau Restoran (51%), dan acara Konser (24%). Belum dilaporkan apakah pengaksesan dari rumah dan tempat kerja juga tinggi.
Pada jaman manusia di bumi ini masih hidup pada masa mencari makan dengan berburu, menangkap ikan, dan bercocok tanam, tentu saja telpon, televisi, apalagi internet, belum ada. Pada masa itu komunikasi langsung dan cepat amat diperlukan untuk keberlangsungan hidup. Adanya tanda-tanda akan ada banjir, binatang buas datang, penyakit menular dan semacamnya, yang mengancam keberlangsungan hidup diri atau komunitasnya harus diketahui seawal mungkin. Setiap orang dewasa harus selalu dalam keadaan waspada, tidak boleh ketinggalan berita, karena ketinggalan berita dapat berarti ancaman bagi hidup seseorang atau komunitas (suku). Setiap orang dewasa selalu ingin tidak ketinggalan mengetahui keadaan setiap saat.
Fenomena ini disebut fear of missing out (FoMO). Komunikasi secara oral relatif tidak banyak berubah, namun komunikasi tertulis berkembang amat pesat terutama dengan munculnya Social Networking Sites (SNS). Facebook digunakan oleh 1,74 juta orang di seluruh dunia dan merupakan platform yang terpopuler. Karena jejaring online menggunakan Facebook, Instagram, Twitter atau pelayanan pengiriman berita menjadi amat popular di antara anak dan remaja, maka konsekuensi anak dan remaja mengalami FoMO amat besar.
FoMO masih ada pada jaman now ini, tetapi dalam bentuk yang berbeda. Stimulusnya berbeda, sumber dari ketakutan ini berbeda. Jaman sekarang sumber dari FoMO adalah sosial media. Dalam sepuluh tahun terakhir ini fenomena FoMO begitu merebaknya sehingga istilah ini dimasukkan ke dalam Oxford Dictionary di tahun 2013. Kamus itu menerjemahkan FoMO sebagai munculnya kecemasan yang dialami seseorang bila ia ketinggalan berita menarik yang terjadi dimana saja, terutama di media sosial. Orang yang mengalami FoMO, ingin selalu terhubung dengan media sosial untuk mengetahui apa yang terjadi pada kenalan-kenalannya, apa yang mereka kerjakan, kemana mereka pergi, dengan siapa, bagaimana suasananya. Orang seperti merasa tidak mau ketinggalan, selalu harus ada dengan siapa saja, dimana saja. Tidak betah dalam keadaan sendiri. Bila tidak terhubung dengan kenalannya dia akan merasa gelisah. Selalu memastikan bahwa ponselnya ada di dekatnya, setiap ada notifikasi selalu tergesa-gesa untuk membukanya.
Andrew Przybylski dari Oxford Internet Institute banyak meneliti tentang bermain game elektronik dan kaitannya dengan adaptasi psikososial remaja. Anak dan remaja di Inggris yang hanya sedikit bermain game, ternyata juga lebih sehat mentalnya, kehidupannya memuaskan dan dapat berekspresi dengan sehat dibandingkan mereka yang terlalu banyak bermain game.
Lebih jauh lagi, mereka yang banyak berkutat menggunakan media sosial cenderung akan mengalami FoMO. FoMO akan mendorong orang untuk membuka Facebook, bukan Facebook yang menyebabkan orang mengalami FoMO. Orang yang mengalami FoMO akan selalu memonitor teleponnya saat bangun tidur di pagi hari, sampai mereka mau tidur lagi di malam hari, bahkan di saat mereka menyetir mobil. Di Spanyol Fuster, Chamarro, & Oberst (2017) membenarkan dugaan bahwa FoMO berkaitan dengan banyaknya menggunakan media sosial, intensitasnya dalam menggunakan jaringan sosial, kecanduan memakai ponsel, dan akses terhadap jejaring sosial. Tentang Instagram, Majalah Time (MacMillan, 2017) melaporkan bahwa berdasarkan penelitiannya terhadap 1.500 remaja dan orang dewasa awal, Instagram ternyata adalah media sosial yang terburuk, ditilik dari sudut pandang kesehatan mental. Instagram memang dipuji sebagai lahan untuk expresi diri dan identitas diri, akan tetapi juga berkaitan dengan tingginya kecemasan, depresi, bullying, dan FoMO.

Berbeda dengan Instagram, YouTube diakui sebagai media sosial yang mempromosikan kesehatan dan kesejahteraan penggunanya. FoMO pada dasarnya adalah emosi ketakutan. Bila ini berkenaan dengan emosi, maka dimanakah secara neuropsikologis FoMO ini berada di otak? Amigdala, bagian dari sistem limbik di otak adalah sumber dari emosi dan ingatan jangka panjang. Amigdala memberi sinyal kepada otak untuk flight atau fight ketika orang merasa terancam atau tidak aman.
Fenomena FoMO hampir mirip dengan perasaan adanya pengucilan atau eksklusi sosial. Saat seseorang mengalami FoMO, otak akan menghantarkan sinyal stres mirip saat seseorang mengalami pengucilan dari aktivitas. Individu yang mengalami ekslusi sosial
mengalami kenaikan aktivitas di otak yang berkaitan dengan rasa sakit. Saat seseorang merasa dikucilkan, korteks singulat anterior dan korteks prefrontal ventral kanan menjadi aktif. Saat merasa distres seperti perasaan dikucilkan, korteks singulat anterior berfungsisebagai “sistem alarm” yang membuat otak menjadi waspada selama perasaan dikucilkan tersebut muncul. Hal ini menunjukkan bahwa saat seseorang merasa terkucil, badan orang itu bereaksi seperti saat dia merasakan sakit. Terkait dengan FoMO, orang merasa dia terkucil dari orang-orang lain, perasaan terkucil ini menimbulkan kecemasan dan distres saat dia tahu bahwa orang-orang lain beraktivitas bersamasama, sedangkan dia tidak ikut (Lopera, 2016).
Bagaimana sekarang jalan keluar dari FoMO? Kerapkali penyebab FoMO adalah ketidakbahagiaan hidup. Untuk menjadi bahagia, orang berusaha mencari kebahagiaan itu dari luar dirinya. Disarankan orang yang mengalami FoMO untuk menemukan kebahagiaan dari dalam dirinya. Memulai dengan diri sendiri, yaitu dengan memberikan Perhatian. Berikan perhatian lebih pada aktivitas sekolah, pada aktivitas di rumah, atau di lingkungan. Artinya, mulailah menyibukkan diri dengan ikut dalam kegiatan di lingkungan sekolah seperti OSIS, olahraga, kegiatan sosial, yang membuat individu sibuk dalam dunia nyata.
Penggunaan internet berlebihan akan menjurus ke kecanduan internet dimana orang yang kecanduan menjadi kurang atau tidak bisa berfungsi normal dalam kehidupan sehari-harinya. Kecanduan internet dapat menimbulkan kriminalitas di kala orang itu membutuhkan uang untuk dapat selalu online. Mencuri atau merampas uang dengan kekerasan sering dilakukan remaja agar selalu dapat terhubung dengan internet. Mengurung diri kamar, lupa makan, minum, dan tidur sehingga mengganggu kesehatan juga bagian dari orang yang kecanduan internet. Dalam beberapa studi ternyata orang-orang yang kesepian dan pemalu adalah calon dari pecandu internet. Sedangkan orang-orang yang lebih tangguh dapat melindungi dirinya sendiri dari kecanduan internet (Nitu, 2017; Terwase & Ibaishwa, 2014).
Manusia hidup sejak kecil meniru perilaku orang yang ada di sekitarnya, baik yang riil maupun non-riil seperti yang ditampilkan dalam video atau film. Di banyak negara, termasuk Indonesia banyak anak dan remaja melakukan tindak kekerasan yang merupakan copycat dari apa yang sudah ditontonnya di layar. Semakin mirip tokoh yang ada di layar dengan dirinya, maka akan semakin mudah bagi pemirsanya untuk meniru langsung. Kemiripan itu antara lain dalam hal: warna kulit, warna rambut, jenis kelamin, umur, dan asal (orang se negara – orang asing). Di awal tahun 1990-an di mana internet masih belum berkembang, dan permainan game video belum merebak seperti sekarang, anak-anak dan remaja menonton televisi atau film di bioskop. Menonton tayangan TV yang penuh kekerasan, meskipun anak sebagai pemirsa pasif, ternyata dapat menimbulkan efek imitasi/meniru pada anak-anak (Wimbarti, 2002). Sekarang, anak tidak lagi sebagai pemirsa pasif dalam bermain game video, akan tetapi bermain langsung dan meleburkan dirinya sebagai tokoh
dalam game video. Game video dengan judul yang sudah provokatif keras ini akan amat mudah di”reacting” kembali oleh pemainnya di dunia nyata: “Manhunt,” “Thrill Kill,” “Gears of War” dan “Mortal Kombat.” Adanya dampak bermain game video terhadap perilaku kekerasan anak dan remaja mengakibatkan turunnya kemampuan prososial, empati dan keterlibatan moral dalam perilaku anak dan remaja. Anak menjadi seperti robot yang tanpa perasaan, kasar, yang akhirnya menggunakan cara keras untuk menyelesaikan masalah.
Sebuah lingkaran kekerasan yang dipicu oleh menonton dan bermain game video keras. Dalam tesisnya akhir-akhir ini Prisca Anindya Dewi (2018) menemukan bahwa kecanduan bermain game video berkaitan erat dengan munculnya agresivitas pada remaja laki-laki. Namun demikian bila orangtua berperan aktif sebagai mediator anak dalam bermain game video, agresivitas anak dapat dihindari. Menilik banyaknya dampak negatif dari pemakaian internet yang tidak bijaksana menimbulkan pertanyaan yang menggelitik. Sebetulnya, bagaimana sih temperamen atau kepribadian dari orangorang yang kecanduan internet? Kecanduan internet sendiri banyak dipertanyakan, apakah dampak pada orang yang kecanduan internet sama dengan kecanduan obat-obatan (narkoba) atau kecanduan sex? Kecanduan internet mempunyai karakteristik sebagai aktivitas yang terus menerus dengan dunia maya, tergantung berlebihan ke dunia maya, dengan disertai perubahan mood, kurang toleran, menarik diri dan sifatnya kambuhan (muncul kembali, kambuh).
Kecanduan internet juga dianggap sebagai perilaku kecanduan seperti kecanduan menonton televisi, kecanduan game video, dan berjudi yang patologis (Lee & Jung, 2012). APA sendiri memasukkan diagnosis terkait penggunaan internet sebagai bermain game video online dan tidak berminat pada hal-hal lain; mengalami gangguan klinis atau distres sebagai akibat dari bermain game internet yang berlebih-lebihan; mengalami dampak negatif dalam kehidupan akademis maupun kerja karena tersitanya waktu untuk bermain video online atau game komputer; dan mengalami gejala menarik diri (withdrawl) bila tak bisa mendapatkan akses ke game online (APA, 2013). Yang termuat dalam DSM-5 tidak termasuk fenomena seperti orang yang menghabiskan banyak waktu dengan internet, masalah yang berkaitan dengan bermain game online atau banyak memakai media social seperti Facebook.
Remaja yang bermasalah dalam penggunaan internet (Problematic Internet User = PIU) dibandingkan dengan remaja yang bermasalah dalam penggunaan obat-obatan (Problematic Drug Users = PDU) ternyata mempunyai temperamen yang berbeda. Remaja yang bermasalah dalam penggunaan internet dalam kehidupan sosialnya ternyata lebih tidak sensitif dibandingkan dengan temannya yang bermasalah dalam penggunaan obat-obatan (Lee & Jung, 2012). Mereka yang kecanduan internet adalah orang-orang yang cenderung menghindari keadaan yang sulit, kurang bisa mengarahkan dirinya sendiri, kurang dapat menata hidupnya sendiri, dan kurang bisa diajak bekerjasama. Selanjutnya, pecandu internet ini juga dilaporkan mempunyai gen dan kepribadian yang mirip dengan pasien penderita depresi (Lee & Jung, 2012).
Penggunaan internet yang merupakan jelmaan dari revolusi industri level 4 disikapi bermacam-macam oleh orangtua dan profesional (guru, dokter, psikolog dan sebagainya). Meskipun internet menunjukkan pengaruh yang positif bagi kemampuan kognitif manusia termasuk dalam kemampuan matematika, namun ternyata dampak negatifnya terhitung lebih banyak. Hal ini membutuhkan kewaspadaan bagi para penggunanya. Sebetulnya internet juga mempunyai daya rusak yang tinggi terhadap kehidupan masyarakat, terutama media sosial.
Terjadinya kesalahpahaman, terjadinya pengiriman berita palsu (hoax) melalui media sosial adalah dampak negatif dari penggunaan internet, yang berpotensi mempunyai daya rusak besar terhadap suatu bangsa. Sayang kajian tentang hoax ini tidak akan dilakukan di sini. Kenyataan bahwa penggunaan internet terutama game internet mempunyai daya rusak pada penggunanya, yang disejajarkan dengan kerusakan akibat kecanduan yang lain, maka keluarga, sekolah, dan institusi tempat kerja perlu melakukan deteksi dini dan mengupayakan pertolongan bagi anggotanya yang sudah kecanduan. FoMO perlu disikapi dengan bijak, karena adanya FoMO menunjukkan kehidupan yang tidak bahagia. Karena anak-anak pra remaja di Indonesia banyak yang telah menggunakan internet, maka pendampingan terhadap mereka perlu dipikirkan. Propaganda Kesehatan Mental di sekolah yang berkenaan dengan penggunaan internet bisa dikembangkan untuk prevensi kecanduan game internet. Ramdhani (2016) menyatakan bahwa terapi perilaku kognitif (cognitive behavior therapy) seperti self talk, dan mindfulness dapat dilatihkan untuk menambah kemampuan orang mengontrol dirinya terutama dalam penggunaan internet yang berlebihan.


Referensi : 

Adepina, dkk. (2018). Isu-Isu Masyarakat Digital Kontemporer. Seri Literasi Digital. Dapat diakses http:/literasidigital.id.

Azhar, Tauhid Nur, dkk. (2018). Gence : Membedah Anatomi Peradaban Digital. Bandung. Tasdiqiya Publisher.

Jaringan Pegiat Literasi Digital (Japelidi). (2018). Panduan Literasi Digital.  Yogyakarta.

Japelidi. (2018). Yuk, Jadi Gamer Cerdas: Berbagi Informasi Melalui Literasi. Yogyakarta. Cetakan 1, 12 September 2018. ISBN 978-602-71877-5-7. Prodi Magister Ilmu Komunikasi UGM.

Kominfo. (2018). Panduan Internet bagi Orang Tua. Siberkreasi. Jakarta.  Tidak Diterbitkan. 

Penguatan Integrasi Pendidikan

PENGUATAN INTEGRASI PENDIDIKAN DALAM ERA DISUPSI Oleh :  Asep Rohiman Lesmana, M.Pd. Pendidikan merupakan suatu entitas yang s...