Memaknai Pendidikan Karakter
Analisis Persamaan dan Perbedaan Karakter, Budi Pekerti, Akhlak, Moral
dan Afeksi
Analisis Bahasa Umum.
Judul bagian ini melibatkan sejumlah istilah yang
dapat membuat pembaca bingung: Karakter, Budi Pekerti, Akhlak, Afeksi, dan
Moral. Apakah istilah-istilah ini
memiliki persamaan atau perbedaan, atau keduanya, artinya ada persamaannya
sekaligus juga ada perbedaannya?
Istilah-istilah ini akan kita kaji dari segi bahasa harian dengan
merujuk pada kamus umum. Setelah pengkajian
bahasa harian ini, kita akan coba selami substansi dari masing-masing istilah
tersebut.
“Budi Pekerti” dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia (1996: 150) diletakkan dalam masukan “budi”, artinya: (1) alat
batin yang merupakan panduan akan dan perasaan untuk menimbang baik dan buruk;
(2) tabiat, akhlak, watak; (3) perbuatan baik, kebaikan; (4) daya upaya,
ikhtiar; (5) akal (dalam arti kecerdikan menipu atau tipu daya). Dan budi pekerti diartikannya sebagai tingkah
laku, perangai, akhlak; watak. Dalam
kamus umum ini kita menemukan bahwa budi pekerti sama dengan akhlak, watak,
tabiat, perbuatan baik, kebaikan.
Sinonimnya perlu kita tambahi dengan kata “susila”. Perlu dicatat disini bahwa arti yang nomor
(5) jarang digunakan orang dewasa ini: tidak pernah orang yang berbudi pekerti
dikaitkan dengan kelakuan cerdik menipu.
“Moral”, masih dari kamus yang sama
(1996: 665), didefinisikan sebagai: (1)
(ajaran tentang) baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap,
kewajiban, dan sebagainya; (2) kondisi mental yang membuat orang tetap berani,
bersemangat, bergairah, berdisiplin, dan sebagainya; (3) ajaran kesusilaan yang
dapat ditarik dari suatu cerita.
Definisi moral ini menyatakan bahwa moral adalah ajaran tentang
moral. Definisinya yang nomor (2)
menurut penulis menyatakan sebuah kondisi mental yang sudah menyerap suatu
ajaran moral.
Ringkasnya, berbagai pengertian di
atas dapat kita petakan dalam formulasi yang berikut ini :
Kata “karakter” belum muncul dalam paparan di atas. Karakter adalah istilah serapan dari bahasa
Inggris character. Encarta Dictionaries (Microsoft® Encarta® 2008.) menyatakan bahwa
“karakter” adalah kata benda yang memiliki arti: (1) kualitas-kualitas pembeda;
(2) kualitas-kualitas positif; (3) reputasi; (4) seseorang dalam buku atau
film; (5) orang yang luar biasa; (6) individu dalam kaitannya dengan
kepribadian, tingkah laku, atau tampilan; (7) huruf atau simbol; dan (8) unit
data komputer. Arti nomor (7) dan (8)
ini tidak relevan dengan kajian pendidikan karakter. Di samping itu terdapat kata karakteristik (characteristic) yang masih juga kata
benda yang artinya: fitur (ciri) pembatas (defining
feature), sebuah fitur atau kualitas yang membuat seseorang atau suatu hal
dapat dikenali. Kata sifat untuk
karakter adalah “khas” (typical),
artinya pembeda atau mewakili seseorang atau hal tertentu. Tentang “karakter” dan “karakteristik” ini
dpat disimpulkan melalui kalimat berikut: “Ia memiliki karakter herois” dan “Karakteristiknya
yang herois telah membuatnya memiliki nasib yang meyedihkan tersebut.”
Karakter, berdasarkan
kajian kamus umum di atas, merujuk pada beberapa hal berikut. Pertama,
karakter dikenakan pada orang atau bukan orang.
Dalam wacana pendidikan karakter, kata ini terutama berkenaan dengan
orang. Kedua, ia berkenaan dengan kualitas (bukan kuantitas) dan reputasi
orang. Ketiga, ia berkenaan dengan daya pembeda atau pembatas, membedakan
atau membatasi yang satu dari yang lainnya, membedakan orang/masyarakat yang
satu dengan orang/masyarakat yang lainnya.
Keempat, karakter dapat
merujuk pada kualitas negatif atau positif: orang dengan karakter mulia atau
orang berkarakter flamboyan. Keempat hal
tentang karakter dari kamus umum tersebut relevan dengan kajian kita tentang
karakter dalam pendidikan karakter.
Simpulannya, bahwa karakter adalah sebuah kata yang merujuk pada
kualitas orang dengan karakteristik tertentu.
Demikianlah, ternyata
semua kata tersebut: karakter, budi pekerti,
akhlak, moral, afeksi, susila, tabiat, watak memiliki arti yang sama. Dan dalam tulisan ini kata yang sering muncul
adalah: karakter, akhlak, moral, afeksi/afektif; karena kata-kata ini dewasa
ini sering muncul dalam percakapan harian tentang pendidikan karakter.
Analisis pedagogis. Ada sebuah definisi dari kamus umum tersebut
yang belum kita soroti, yaitu definisi yang nomor (6), yaitu: individu dalam
kaitannya dengan kepribadian, tingkah laku, atau tampilan. Definisi ini mulai memasuki wilayah
substantif wacana kita. Menurut penulis,
karakter berada dalam sekurang-kurangnya wilayah disiplin-disiplin: psikologi,
etika (cabang filsafat umum), antropologi budaya, dan pedagogika. Studi psikologi tentang karakter dan
pendidikan karakter sudah sangat maju.
Studi psikologi ini bersifat empiris-analitis. Studi filsafat (etika) bukan tertuju pada
karakter, tetapi pada isi karakter atau ajaran
karakter/moral/etik/akhlak/susila. Studi
etika bersifat rasional, radikal, kritis – sebagaimana halnya studi
filsafat. Studi antropologi budaya
tertuju pada isi karakter atau ajaran karakter/moral/etik/akhlak/susila dalam
bentuknya yang empiris, yang dihidupi dalam kehidupan harian kelompok-kelompok
sosial. Studi pedagogika melibatkan
semua studi tersebut dengan tujuan membantu individu atau kelompok agar
mengalami perkembangan karakter/moral/akhlak/susila/watak/tabiat.
Hurlock (1974: 8) dalam bukunya,
Personality Development, secara tidak
langsung mengungkapkan bahwa karakter terdapat pada kepribadian. Karakter mengimplikasikan sebuah standar
moral dan melibatkan sebuah pertimbangan nilai.
Karakter berkaitan dengan tingkah laku yang diatur oleh upaya dan
keinginan. Hati nurani, sebuah unsur esensial dari karakter, adalah sebuah
pola kebiasaan perlarangan yang mengontrol tingkah laku seseorang, membuatnya
menjadi selaras dengan pola-pola kelompok yang diterima secara sosial. Definisi karakter dari Hurlock, untuk
sementara ini, bersifat cukup bagi kita untuk memulai menganalisis secara lebih
jauh apa itu karakter dan implikasi-implikasinya.
Ajaran Moral.
Ajaran moral atau moralitas
dipelajari oleh filsafat moral atau etika.
Urusan utama etika (Audi, 1999: 284) adalah studi tentang kebaikan/hal yang baik/hal yang bernilai/moralitas/nilai
dan studi tentang tindakan yang baik. Pada kesempatan ini, akan dikaji secara
ringkas studi tentang kebaikan/nilai, dan studi tentang tindakan yang baik tidak
akan dikaji di sini.
Studi tentang nilai. Studi tentang nilai/kebaikan tertuju untuk
menjawab: (1) apa komponen-komponen esensial untuk kehidupan yang baik, dan (2)
apa jenis-jenis hal yang baik pada dirinya sendiri. Yang pertama, menghasilkan teori-teori eudaimonia/human well being/kesejahteraan manusia (kebahagiaan/happiness dan bertumbuh subur/flourishing). Perasaan senang/bahagia adalah komponen
esensial kehidupan, dan karena itu harus menjadi tujuan kehidupan, dianut oleh hedonisme, tokoh klasiknya
Epicurus. Epicurus mengajarkan bahwa berbuat
baik – pengerahan daya intelektual seseorang dan kebajikan-kebajikan moral
dengan cara-cara teladan dan berguna, misalnya – sarana yang terbukti baik dan
benar untuk mengalami kesenangan yang paling memuaskan dari kehidupan. Hedonisme ini terbagi dua, hedonisme egoistik
yang tertuju pada kesenangan pribadi, dan hedonisme universal yang tertuju pada
kesenangan bersama atau semua orang.
Sejak modernisasi diluncurkan oleh peradaban Barat, hedonisme egoistik
ini menjadi dominan dan merusak banyak nilai-nilai kehidupan Timur yang luhur.
Hedonisme abad modern ini berbeda dari ajaran Epicurus. Bukan perasaan senang
sebagai komponen esensial kehidupan yang baik, tetapi adalah perbuatan baik;
perbuatan baik membuat kita senang/bahagia, ini dianut oleh perfeksionisme. Tokohnya antara lain: Plato, Aristoteles, kaum Stoik, Nietcsche dan Muhammad Iqbal.
Teori komponen esensial ini bertumpu pada asumsi (anggapan dasar yang
menjadi titik tolak) bahwa manusia secara alami mencari kehidupan yang
baik. Teori ini disajikan karena menurut
penulis bersifat praktis bagi mereka yang tidak belajar filsafat untuk
berfilsafat etika. Caranya dengan mulai
menjawab pertanyaan-pertanyaan: apa komponen esensial kehidupan yang baik dan
apa perbuatan baik itu? Jawaban-jawaban
yang diberikan harus juga mempertimbangkan konsekuensi-konsekuensi logis atau
implikasi-implikasi-(isyarat)-nya untuk bidang-bidang kehidupan tertentu. Apapun dapat kita ajukan sebagai jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan tersebut, namun jawaban hendaknya disertai dengan
penjelasan yang merupakan pertanggungjawaban kita secara rasional.
“Saling menghargai
antarmanusia”, contohnya, dalah sebuah jawaban yang dapat kita pilih. Alasannya, kehidupan yang damai sepanjang
masa dan dimanapun adalah tujuan penting umat manusia. Tanpa kedamaian kehidupan akan sulit
diarungi. Lalu, apa “saling menghargai
antarmanusia itu?” atau “Bagaimana kita mempraktikkannya dalam kehidupan kita?” Salah satu jawabannya, yaitu: “perbuatan
menghormati orang lain, tidak merendahkannya.
Di samping teori
komponen esensial yang bertumpu pada asumsi metafisika bahwa manusia secara
alami mencari kebaikan, terdapat teori
nilai intrinsik. Teori nilai intrinsik
tidak mengandung juga tidak mengandaikan tesis-tesis metafisika apapun. Yang menjadi isu dalam teori ini adalah apa
yang baik pada dirinya sendiri, dan seseorang dapat mengambil sebuah posisi
terhadap isu ini tanpa terikat pada tesis apapun tentang realitas atau
bukan-realitas dari kebaikan atau tentang transendensi atau imanensinya. Sejumlah hal yang dianggap baik pada dirinya
sendiri oleh para filsuf akan mencakup kehidupan, kebahagiaan, kesenangan,
pengetahuan, kebajikan, persahabatan, keindahan, dan harmoni. Daftar ini dapat diperpanjang dengan
mudah. Gambaran sederhana pandangan
penganut teori nilai intrinsik ini dapat dilukiskan melalui kalimat
berikut. “Persahabatan adalah baik,
karena persahabatan itu baik”.
“Kesenangan adalah baik, karena kesenangan itu baik”. Kebaikan yang intrinsik, dan bukan kebaikan
instrumental atau kebaikan dalam rangka mencapai tujuan yang lainnya. Kebaikan sebagai sarana untuk mencapai tujuan
lainnya dianut oleh teori nilai instrumental.
Perspektif teori nilai
intrinsik dan lawannya, teori nilai instrumental sering kita butuhkan dalam rangka
memahami sebuah nilai. Contoh, ada uang
abang sayang, tidak ada uang abang ditendang, adalah sikap instrumentalisme
yang sering ditolak masyarakat. Dan
sikap ini didamping oleh instrumentalisme yang sama: “Selagi muda dan cantik
adalah kesayangan abang, dan ketika tua dan keriput bukan lagi kesayanngan
abang.” Instrumentalisme yang demikian
ini menimbulkan masalah keadilan dan kemanusiaan.
Ajaran moral yang dianut oleh individu atau kelompok, pada langkah
berikutnya dijadikan standar moral oleh individu dan kelompok tersebut untuk
mengukur suatu perbuatan moral. Ajaran
moral yang dianut oleh seseorang atau oleh suatu kelompok sosial dapat kita
kaji dengan menerapkan pemahaman kita tentang berbagai teori nilai yang
dipaparkan di atas.
Ada banyak pola untuk
memetakan nilai-nilai. Paparan di atas
adalah sebuah pola dari studi filsafat moral yang dikemukakan dalam The Cambridge Dictionary of Philosophy (Audi,
1999). Lickona (1991: ) memiliki peta konsep filosofis sistem nilai
yang tampaknya lebih sederhana. Ia
menyatakan bahwa nilai-nilai terdiri atas obligatory
values dan non-obligatory
values. Nilai-nilai yang non-obligatory adalah nilai-nilai seni
atau keindahan. Nilai seni tidak
mewajibkan orang untuk berbuat sesuatu, tetapi membuat orang menjadi apresiatif
terhadapnya. Nilai-nilai yang obligatory atau mewajibkan adalah
nilai-nilai moral. Lickona merinci lebih
lanjut nilai-nilai moral ini sebagai (1) respect
and responsibility to man dan (2) respect
and responsibility to nature. Penulis
kira, orang Indonesia dengan Pancasilanya akan senang menambahinya dengan yang
ke-(3) respect and resposibility to God.
Karakter.
Ada ajaran moral dan standar
moral, dan ada juga pertimbangan moral atau nilai yang menjadi komponen-komponen
karakter sebagaimana diungkapkan oleh Hurlock di atas. Pertimbangan nilai adalah sebuah pertimbangan
tentang baik atau buruk sesuatu berdasarkan pandangan pribadi tentang
moralitas. Karakter, selanjutnya,
berkaitan dengan tingkah laku yang yang diatur oleh upaya dan keinginan. Jika demikian halnya, karakter berkaitan
dengan tingkah laku yang tidak otomatis dimiliki seseorang: ketika dilahirkan
ia otomatis memilikinya dan ketika ia memerlukannya karakter muncul secara
otomatis. Karakter diatur oleh upaya dan
keinginan. Pernyataan ini mengasumsikan
kebebasan manusia. Karena itu upaya dan
keinginan ini muncul dari dalam batin individu.
Upaya dan keinginan ini dicurahkan secara suka rela.
Selanjutnya, jika upaya
dan keinginan tersebut tidak secara otomatis
dimiliki manusia, dari mana mereka berasal. Mereka berasal dari pengalaman dan pendidikan
individu. Karakter adalah aspek tingkah
laku hasil belajar, bukan tersedia secara genetik. Unsur esensial karakter adalah hati nurani.
Banyak pakar pendidikan karakter bersepakat atas hal ini. Hanya atas definisi yang disediakan oleh
Hurlock, orang dapat tidak bersepakat.
Hurlock mengungkapkan karakter sebagai a pattern of inhibitory conditioning (sebuah pola kebiasaan
perlarangan). Di sini Hurlock
menunjukkan bahwa hati nurani sebagai produk dari pembiasaan larangan-larangan,
ia behavioristis. Ada filsuf yang
mengungkapkan bahwa hati nurani adalah bawaan/inherent manusia, begitu dilahirkan ia memiliki hati nurani. Asumsi teori komponen esensial di atas yang
berbunyi “manusia secara alamiah mencari kebaikan” mengimpliksikan adanya hati
nurani bawaan ini. Yang berikutnya, hati
nurani bukan hanya terbentuk oleh larangan-larangan, tetapi juga berisi kerisauan,
kegelisahan atau panggilan batin, kecintaan akan kebaikan. Seseorang melakukan kebaikan bukan hanya
karena larangan atau suruhan/perintah, tetapi juga karena kecintaannya akan
kebaikan.
Yang terakhir tentang karakter,
masih dalam rangka menganalisis definisi karakter dari Hurlock di atas, yaitu
keselarasan individu dengan pola-pola kelompok sosial tempat individu itu hidup
– sebagai hasil dari kontrol hati nurani terhadap tingkah laku individu. Pola-pola kelompok dapat mencakup pola-pola
tingkah laku overt dan covert.
Pola tingkah laku overt (terbuka
bagi observasi) meliputi utamanya: kecenderungan, kebiasaan, kesiapan untuk
perbuatan-perbuatan yang dapat diobservasi dengan mata telanjang. Contohnya: kebiasaan makan, kebiasaan
berpakaian, kebiasaan berbicara, dan gerakan-gerakan jasmaniah seseorang. Adapun pola tingkah laku covert (tersembunyi bagi observasi) mencakup tingkah laku kognitif
dan afektif, tingkah laku mental atau kesadaran. Tingkah laku ini tidak dapat diobservasi
secara langsung. Mereka dapat diketahui
melalui penyimpulan atas tingkah laku overt-nya,
interviu, angket/kuesioner, observasi partisipatif, dan laporan-diri. Bentuknya sama dengan tingkah laku yang overt, meliputi: kecenderungan,
kebiasaan, dan kesiapan berbuat. Pola-pola kelompok atau pola-pola tingkah laku
kelompok dipelajari oleh bidang studi antropologi budaya.
Afeksi. Di samping karakter, terdapat istilah afeksi, berasal dari affect.
Dalam Encarta Dictionaries terdapat tiga kata affect dengan arti yang berbeda-beda. Yang relevan di sini adalah yang ketiga. Affect di
sini adalah sebuah kata benda, artinya perasaan yang berkaitan dengan tindakan:
sebuah emosi atau mood yang berkaitan
dengan sebuah ide atau tindakan, atau ekspresi eksternal dari perasaan
tersebut. Kata jadiannya adalah affective, kata sifat atau ajektiva,
artinya hal yang berkenaan dengan ekspresi emosi: berkaitan dengan ekspresi
eksternal dari emosi yang terkait dengan sebuah ide atau tindakan. Dengan demikian jika kita berbicara tentang
pendidikan afektif, maka yang dimaksud adalah pendidikan emosi, bukan
pendidikan pikiran, rasio, atau kognisi.
Dalam Merriam-Webster’s 11th Collegiate Dictionary, affect diartikannya sebagai sehimpunan manifestasi dari suatu emosi yang
dialami secara subjektif. Dalam wacana
praktik dan studi pendidikan, afektif sering diungkapkan dengan sikap (attitude). Memang salah satu komponen dari afeksi adalah
sikap.