Selasa, 01 Oktober 2019

Keterampilan Konseling


URGENSI KETERAMPILAN DASAR KONSELING INDIVIDUAL

Oleh :
Asep Rohiman Lesmana


Pentingnya keterampilan konseling merupakan inti dari keseluruhan proses konseling yang tidak perlu diragukan lagi. Hampir semua pakar bimbingan dan konseling (BK) mengakui betapa pentingnya keterampilan konseling dikuasasi oleh konselor dalam melaksanakan konseling. Carkhuff (1985) menyatakan bahwa dengan penguasaan akan sejumlah keterampilan konseling seorang konselor akan tiba pada suatu keadaan di mana proses konseling berjalan secara efektif. Hasil penelaahan naturalistic (Rogers et al 1967; Truak & Carkhuff, 1980) menunjukkan adanya perbedaan dampak yang tampak pada klien yang ditangani oleh tenaga professional dengan tenaga yang nonprofessional.
Dewasa ini telah banyak model keterampilan koseling yang ditawarkan oleh para ahli. Tercatat nama Robert Charkhuff, L. D Schmidt, Allen E, Ivey dan kawan-kawan, Bruce Hosking, dan Gerrard Egan sebagai tokoh yang terus- menerus mengembangkan keterampilan konseling (Dahlan,1987).
Di Indonesia, M.D Dahlan termasuk salah seorang yang mempelopori pengembangan model keterampilan konseling ala Indonesia. Dengan melandaskan diri pada dua buku karya Gerrard Egan (The Skilled Helper, dan Exercise in Helping Skills) mencoba mengembangkan model keterampilan konseling sesuai dengan alam pikiran manusia. Model keterampilan konseling yang dikembangkan oleh M.D Dahlan didasarkan atas pertimbangan bahwa setiap klien yang meminta bantuan kepada konsleor, memiliki harapan yang unik.
Menurut Dahlan (1987:13) sekiranya konsleor tidak menyentuh atau kurang mengembangkan harapan klien selama pertemuan awal, klien akan merasa kecewa. Begitu juga sebaliknya, sekiranya konselor mampu mengembangkan pemahaman akan diri klien, maka hubungan konselor-klien akan lebih luwes. Menurut Dahlan, pada umumnya klien mengharapkan perlakuan khusus dari konselor. Pernyataan yang diajukan oleh klien menunjukkan arti dan maksud tersendiri yang memerlukan kearifan dari konselor untuk mengartikannya.
Dengan pokok-pokok pikiran ini, Dahlan memandang bahwa seorang konselor dituntut memiliki berbagai keterampilan melaksanakan konseling serta karakteristik yang memadai (Dahlan, 1987:14). Menurut Dahlan, di antara karakteristik yang perlu dipenuhi oleh konselor__tanpa memandang pendekatan/ teknik yang digunakan adalah:
a.       Empati, berupa kemampuan untuk melihat, memahami dan merasakan dunia klien. Agar klien dapat dibantu, dunia dan dirinya harus dipahami. Klien harus yakin bahwa konselor mendengarkan keluhan dirinya dengan sungguh-sungguh, sehingga memahami perasaan dan keadaannya yang unik. Bukankah konseling itu dipandang sebagai usaha untuk memahami orang lain dengan tujuan khusus?
b.       Tenang, berupa kemampuan untuk memberikan respon kepada klien tanpa menampakkan perubahan mimic muka, sekalipun terganggu perasaannya. Konselor hendaknnya mampu memperlihatkan kepuasannya dalam berhubungan dengan klien. Secepat konselor terlihat gelisah di sat berhubungan dengan klien, secepat itu pula hubungannya menjadi tidak efektif. Namun sebaliknya, apabila konselor memperlihatkan ketenangan serta kepuasan berkomunikasi dengan klien, maka hubungan itu akan menunjukkan efektivitasnya.
c.        Selalu siap berdialog dengan klien. Kesiapan berdialog dengan klien ini memungkinkan terjadinya hubungan yang unik antara klien dengan konselor. Mungkin saja ada konselor yang dapat mengadakan empati, tenang menghadapi klien, tetapi belum siap berdialog untuk mengungkapkan makna, perasaan, pikiran dan kegiatan klien. Kesiapan berdialog dengan klien akan membantu mengurangi penderitaan klien mencari bantuan. Untuk membrikan jawaban kepada klien, konselor hendaknya dapat menghindari kata-kata yang dapat menutup kemungkinan untuk berdialog, misalnya: “Wah, hari ini saya sangat lelah”. Tiap peristiwa dan komentar tanpa dialog, akan memperlemah dasar-dasar hubungan dengan klien.
d.       Menumbuhkan keberanian klien untuk berbicara. Pertemuan awal hendaknya menumbuhkan keyakinan klien agar dapat membuka diri berbicara terus terang dengan konselor. Tentu saja keyakinan ini tidak muncul dengan sendirinya, namun secara berangsur-angsur tumbuh setelah klien melihat sikap konselor yang dapat menyimpan rahasia (dapat dipercaya) dan percaya akan kemampuan klien untuk menyelesaikan masalah. Menurut M. D Dahlan, keberhasilan konseling tidak hanya terletak pada teknik-teknik yang digunakan, akan tetapi tumbuh dari keyakinan klien bahwa konsleor dapat menyimpan rahasia. Menurut M. D Dahlan, menumbuhkan keberanian berarti pula konselor menampilkan diri sebagai manusia yang dapat dipercaya untuk menyimpan rahasia orang lain. Penampilan ini handaknya terkomunikasikan pada klien di awal pertemuan.
e.       Melaksanakan kegiatan konseling yang terarah. Konselor diharapkan dapat membantu klien untuk mencapai tujuan yang jelas. Kejelasan tujuan yang ingin dicapai, memungkinkan tahapan perubahan tingkahlaku klien yang terarah pula, sehingga konselor bertindak sebagai fasilitator pemberian bantuan dalam waktu yang pendek.
Karakteristik seperti diungkapkan oleh Dahlan di atas meskipun nampak sebagai suatu karakteristik yang melekat erat pada diri konselor, namun dalam pengembangan dan penginternalisasiannya memerlukan proses latihan yang panjang. Oleh karena itu, agar memiliki  cukup bekal, seorang konselor memerlukan latihan keterampilan konseling sebelum terjun menangani klien. Berkaitan dengan ini mengembangkan suatu latihan yang mengarah pada peningkatan keterampilan konseling merupakan upaya yang penting dan mendasar.
1.      Jenis Keterampilan Attending dan Responding Ala Carkhuff sebagai Obyek Penelitian
Telah diungkapkan bahwa di Indonesia upaya untuk melatihkan keterampilan adalah sesuatu yang jarang ditemukan.
Seperti juga telah diungkapkan yang menjadi penyebabnya adalah: 1) kegiatan belajar-mengajar yang masih menitikberatkan pada penguasaan teori; 2) kurangnnya ahli yang menguasai keterampilan konseling; dan 3) langkanya bahan atau model latihan yang dapat diajarkan. Berkaitan dengan masih langkanya model latihan keterampilan yang dapat diajarkan pada calon konselor, maka pada kesempatan ini penulis bermaksud mengembangkan model latihan keterampilan yang secara teoritis dan empiric dapat dipertanggungjawabkan. Teori yang menjadi dasar pengembangan latihan adalah “The Art of Helping” dari Robert Carkhuff. Pada teori ini dibahas mengenai keterampilan ynag mengacu pada upaya pengembangan dan pertumbuhan klien dalam proses konseling. Keempat keterampilan yang dimaksud oleh Carkhuff adalah: Attending, Responding, Personalizing, dan Initiating.       
            Attending adalah suatu keterampilan konseling yang berkaitan dengan upaya konselor untuk memperhatikan need klien, dan melibatkan diri (involve) secara langsung dengan klien. Termasuk ke dalam keterampilan attending ini adalah attending secara personal (attending personally), pengamatan (observing), dan mendengarkan (listening). Menurut Carkhuff, apabila konselor mampu melakukan attending dengan baik pada seorang klien, maka ia akan mampu untuk membangkitkan harga diri klien, membangkitkan suasana yang aman, sehingga pada gilirannnya klien mampu mengekspresikan dirinya secara bebas pada konsleor. Akhirnya, klien akan merasa senang untuk memasuki (involve) proses konseling.
            Responding merupakan keterampilan dasar konseling yang berkaitan dengan upaya konselor untuk memahami, memasuki, dan merespon terhadap pikiran dan perasaan klien. Bila konselor mampu merespon pikiran dan perasaan klien, maka klien akan semakin terangsang untuk menyatakan pikiran dan perasaannya secara lebih terbuka sehingga dengan responding ini diharapkan klien mampu mengeksplorasi pikiran dan perasaan-perasaannya. Termasuk ke dalam keterampilan responding ini adalah responding terhadap Isi (responding to content), responding terhadap perasaan (responding to feeling) dan responding terhadap makna (responding to meaning).
            Personalizing adalah keterampilan dasar konseling yang berkaitan dengan upaya konselor untuk memfasilitasi klien agar memahami diri dan mengenal permasalahan-permasalahannya. Dengan mengenal diri dan permasalahn-permasalahannya klien diharapkan mampu mempersiapakan dirinya untuk memilih dan mengambil suatu tindakan pemecahan masalahnya. Termasuk ke dalam keterampilan personalizing ini adalah personalizing meaning, personalizing problems dan personalizing goal.
            Initiating merupakan keterampilan dasar konseling yang berkaitan dengan upaya konselor untuk mengambil prakarsa dalam merumuskan tujuan klien dan memilih manakah di antara tujuan tersebut yang akan dicapai. Mengacu pada aktivitas action klien, keterampilan initiating konselor mencakup: pengembangan tujuan (defining goal), pengembangan program-program (developing programs), pengembangan jadwal-jadwal kegiatan (deceloping schedules), penembangan penguatan (developing reinforcement), dan individualisasi langkah-langkah (individualing steps). (Carkhuff, 1983:218).


PRE
I
II
III
HELPER:
Attending
Responding
Personalizing
Initiating
HELPEE:
Involving
Exploring
Understanding
Acting

Tahap Kegiatan Konseling dalam Kategori Tindakan Helper - Helpee

Dari gambar tersebut Nampak bahwa kerangka hubungan yang jelas antara pola tindakan konselor dengan tindakan klien. Apabila konselor menunjukkan kerangka perilaku attending, responding, personalizing, dan initiating, maka klienpun diharapkan akan memperlihatkan pola perilaku involving, exploring, understanding, dan acting. Bila kedua kerangka perilaku terjadi daam suatu proses konseling akan nampak bahwa proses konseling tersebut berjalan secara efektif. Dengan demikian keberhasilan proses konseling dapat dilihat dari seberapa jauh konselor mampu  mengembangkan perilaku attending, responding, personalizing, dan initiating dalam proses konseling. Menurut Berenson (1976; dala Carkhuff , 1983: 166-286) baik secara parsial maupun dalam konteks model latihan, perilaku attending, responding, personalizing, dan initiating secara emiprik telah terbukti mampu memfasilitasi perilaku klien ke arah keberhasilan proses konseling. Selanjutnya mereka mengatakan kebermaknaan perilaku attending telah dinyatakan oleh Barker, 1971; Birdwihistell, 1967; Ekman et al, 1972; Garfield, 1971; Genther & Moghan, 1977; Genther & Sacuzzo, 1977; Hall, 1959, 1976; Ivey & Authier, 1971, 1978; Mehrabian, 1972; Scefflen, 1969; Smith-Hanen, 1977. Selanjutnya kebermaknaan perilaku responding telah diakui oleh Aspy & Roebuck, 1977; Carkhuff, 1969; Carkhuff & Barenson, 1967, 1977; Rogers et al, 1967; Truax & Carkhuff, 1967. Menurut Carkhuff dan Barenson, responding skill dapat menstimuli klien untuk melakukan eskplorasi pengalaman-pengalamannya. Kebermaknaan perilaku responding dalam proses konseling telah diakui oleh Adler, 1927; Anthony, 1971; Barenson & Michel, 1974; Binswanger, 1956; Carkhuff, 1969; Carkhuff & Barenson, 1976; Freud, 1933; Formm, 1947; Heidegger, 1962; Herney, 1945; Jung, 1939; May, 1961; Rank, 1929; Sullivan, 1948. Perilaku responding dapat membantu klien untuk memfokuskan diri pda tujuan yang akan dipilih sebagai dasar alternatif tindakan yang akan diambil. Kebermaknaan initiating telah diakui oleh Authier et al, 1975; Carkhuff, 1969, 1971, 1974, 1975; Carkhuff & Anthony, 1979; Collingwood et al, 1978; Golstein
et al, 1976; Ivey, 1976; Sprinthall & Mosher, 1971. Menurut Carkhuff dan Beronson (1976), seorang konselor yang bekerja dengan keterampilan initiating akan merangsang klien untuk mencapai tujuannya.
            Bila dilihat dari kerangka kepentingan pengembangan latihan keterampilan konsleing bagi para calon konselor, nampak bahwa keterampilan konseling dari Carkhuff ini menyiratkan langkah-langkah yang operasional dan terintegrasi. Keoprasionalan dan keintegrasian keterampilan dari Carkhuff tercermin dari adanya pola hubungan timbal balik antara tindakan konselor di satu pihak dengan perubahan tingkahlaku klien di pihak lain. Dijelaskan oleh Carkhuff bahwa bila konselor mampu mengembangkan tindakan A-R-P-I maka klien akan memunculkan tindakan I-E-A-U dalam proses konseling. Dengan keoperasionalan dan keintegrasian ini sangat menguntungkan karena calon konselor akan memperoleh kemudahan dan keyakinan untuk melakukan self-report dan feedback bagi pengembangan proses konselingnya.
            Secara teoritis dan empirik keempat keterampilan konseling yang dikembangkan oleh Carkhuff telah teruji pengaruh dan efektivitasnya dalam menumbuhkan dan mengembangkan perspektif pemikiran konseli. Atas pertimbangan kedalaman (deepness), ke-observable-an dan urgensinya keterampilan attending dan responding diputuskan untuk dijadikan subyek penelitian. Dilihnya attending dan responding sebagai subyek penelitian didasarkan atas pertimbangan bahwa di dalam proses konseling, kedua keterampilan ini memiliki nilai yang strategis dan fundamental.
            Nilai strategis dari attending adalah bahwa ia merupakan keterampilan konselor yang akan mendasari dan mendorong tergeraknya klien untuk memasuki proses konseling. Sebagai diketahui kesiapsediaan klien untuk memasuki proses konseling merupakan modal awal bagi lancarnya proses konseling. Dari berbagai pengalaman para ahli, klien banyak yang enggan (relacted) memasuki proses konseling karena konselor gagal menciptakan attending pada awal proses konseling merupakan tantangan bagi setiap konselor dalam proses konseling.
            Nilai strategis dari responding ialah bahwa hal tersebut  merupakan kunci pembuka yang akan membawa klien memahami diri dan pemasalahannya. Dari beberapa ahli wawancara dengan siswa yang pernah menjadi klien, terungkap kesan negative dari siswa terhadap konselor dan proses konseling karena kegagalan dan kesalahan konselor dalam memimpin “dialog” dan “wawancara” klien. Kesan mereka terhadap konselor adalah tukang “interogasi” yang senantiasa mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang menyudutkan dan membuat mereka merasa malu. Menurut mereka, para konselor selalu ingin mengtahui rahasia dan permasalahan klien tanpa memberi kepastian akan jalan keluarnya. Menurut para siswa, para konsleor banyak mengajukan pertanyaan, tetapi pertanyaan-pertanyaan yang diajukan itu dirasakan tidak terarah.
            Komponen attending dan responding terhadap makna yang menjadi fokus kajian adalah :
1.       Attending secara fisik (attending Physically)
a.      Attending secara konteks (Attending contextually)
b.      Attending secara Personal (Attending Personally)
2.       Pengamatan (Observing)
a.      Pengamatan terhadap energi fisik dan psikis klien (Observing Energy Level)
b.      Pengamatan terhadap tingkat kesehatan klien (Observing Health)
c.       Pengamatan terhadap penampilan dan tingkahlaku klien (Observing Apperance and Behavior)
d.      Pengamatan terhadap perasaan-perasaan klien (Observing Identifies Feeling)
e.      Pengamatan terhadap tingkat kongeruensi sikap dan tindakan klien (Observing The Degree of Congruence)
f.        Pengamatan terhadap tingkat keakuratan tindakan klien (Accuratelly)
g.      Pengamatan terhadap diri sendiri (Observing Your Self)
3.       Mendengarkan (Listening)
a.      Memahami esensi persoalan klien (Knowing What to Listen For)
b.      Mengembangkan pemikiran tanpa prasangka (Being Non Judgemental)
c.       Memfokuskan diri pada keterampilan klien (Resisting Distraction)
d.      Mengungkapkan kembali ekspresi-ekspresi klien (Recalling The Expression)
e.      Mencari esensi pemasalahan klien (Looking for Themes)
f.        Merefleksi pikiran dan perasaan klien (Reflecting on What Is Said).
4.      Responding terhadap Makna
a.      Memahami perasaan dari esensi permasalahan klien (Feeling About Content)
b.      Memahami alasan mengapa klien memiliki perasaan tertentu (Providing a Reason for The Feeling).
c.       Memberi respon yang dipertukarkan ( responding Interchangably)
d.      Menangkap esensi makna dan perasaan klien (Capturing Both The Feeling and The Contents)
e.      Memberi respon terhadap berbagai perasaan dan isi permasalahan klien (Responding to Many feeling and Contents)
f.        Merespon terhadap isi dan peraasaan-perasaan klien yang sulit dipahami (Responding to Difficult Feeling and Contents)
g.      Merespon dengan mengajukan pertanyaan (Responding with Questions).
Komponen-komponen dari keterampilan di atas selanjutnya dikembangkan menjadi alat latihan keterampilan konseling.

Referensi :

Carkhuff, Robert. R & Anthony, William. A. (1979). The Skills of Helping. Massachusetts, USA : Human Resource Development Inc.
Carkhuff, Robert. R & Pierce, Richard. M. (1977). The Art of Helping : Trainer’s Guide. Massachusetts, USA : Human Resource Development Inc.
Carkhuff, Robert. R. (1983). The Art of Helping : Fifth Edition. Massachusetts, USA : Human Resource Development Inc.
Hafina, Anne. (2008). Model Latihan Keterampilan Konseling Individual bagi Mahasiwa. Disertasi Program Doktoral SPs UPI. Bandung: tidak diterbitkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Penguatan Integrasi Pendidikan

PENGUATAN INTEGRASI PENDIDIKAN DALAM ERA DISUPSI Oleh :  Asep Rohiman Lesmana, M.Pd. Pendidikan merupakan suatu entitas yang s...