Selasa, 22 Oktober 2019

Contingency Management


Contingency Management : Recognizing
Cause & Effect

Pendahuluan
Model pengajaran manajemen kontingensi ini termasuk ke dalam rumpun behaviorisme, dimana dalam model ini dijelaskan bahwa konselor lebih memperhatikan kecenderungan-kecenderunagn respon yang dapat diamati, yaitu berupa perilaku seketika yang terjadi setelah diberikan penguatan (kontingen). Maka manajemen kontingensi adalah kontrol sistematis dari stimulus yang menguatkan ketika diberikan pada waktu-waktu yang dipilih dan hanya setelah respon yang diinginkan telah diberikan. Model Manajemen Kontingensi memiliki empat kategori konsekuensi yang dapat mempengaruhi perilaku dalam manajemen kontingensi, yaitu penguatan positif, penguatan negatif, kepunahan, dan hukuman. Manajemen kontingensi memiliki banyak kegunaan, termasuk mengurangi perilaku-perilaku yang tidak diinginkan seperti yang berhubungan dengan hiperdependensi, agresi, kepasifan, depresi, penarikan diri, dan aktivitas-aktivitas penolakan pada tugas. Manajemen kontingensi mungkin dengan baik digunakan untuk mengurangi penyesuaian perilaku-perilaku buruk, dan model-model perilaku lainnya digunakan untuk mengembangkan keterampilan-keterampilan baru. Model ini juga bernilai dalam mengembangkan perilaku-perilaku baru, seperti keterampilan-keterampilan akademik, sosial, dan manajemen diri, dan merupakan alat yang bernilai untuk merubah respon-respon emosional, seperti mengurangi rasa takut atau menghilangkan kecemasan. Akhirnya, manajemen kontingensi cukup efektif untuk memperkuat dan mempertahankan perilaku-perilaku yang ada. Model manajemen kontingensi ini juga didukung oleh teori Pembiasaan Klasikal Pavlov, Pengkondisian Operan: Skinner, Teori Belajar Sosial: Bandura, dan melalui eksperimen trial and error learning yang ditemukan oleh Thorndike. Semua tokoh tersebut termasuk dalam rumpun behaviorism, sebab tujuan akhir dari beberapa program manajemen kontingensi adalah kemampuan mentransfer perilaku-perilaku kepada situasi-situasi baru yang sama.

Pembahasan
A.     Orientasi Model
1.        Tujuan dan Asumsi
Tujuan akhir dari beberapa program manajemen kontingensi adalah kemampuan mentransfer perilaku-perilaku kepada situasi-situasi baru yang sama. Hal yang tidak tersirat dalam tujuan ini adalah kemampuan bertahan, perilaku-perilaku penyesuaian baru akan menjadi intrinsik dan berada di bawah kontrol diri individu dan pemantauan terhadap diri sendiri.
Manajemen kontingensi memiliki banyak kegunaan, termasuk mengurangi perilaku-perilaku yang tidak diinginkan seperti yang berhubungan dengan hiperdependensi, agresi, kepasifan, depresi, penarikan diri, dan aktivitas-aktivitas penolakan pada tugas. Perilaku-perilaku tersebut perlu ditiadakan dari konsekuensi pendorongnya, sebab seringkali orang-orang perlu mengganti cara-cara berperilaku yang lebih adaptif. Manajemen kontingensi mungkin dengan baik digunakan untuk mengurangi penyesuaian perilaku-perilaku buruk, dan model-model perilaku lainnya digunakan untuk mengembangkan keterampilan-keterampilan baru. Model ini juga bernilai dalam mengembangkan perilaku-perilaku baru, seperti keterampilan-keterampilan akademik, sosial, dan manajemen diri, dan merupakan alat yang bernilai untuk merubah respon-respon emosional, seperti mengurangi rasa takut atau menghilangkan kecemasan. Akhirnya, manajemen kontingensi cukup efektif untuk memperkuat dan mempertahankan perilaku-perilaku yang ada.
2.      Konsep-Konsep
Para ahli teori perilaku menganggap perilaku manusia sebagai suatu fungsi dari lingkungan langsung, khususnya, stimulus yang memancing dan stimulus yang menguatkan. Ciri pentingnya adalah hubungan antara respon dan stimulus yang menguatkan. Jika penguatan diberikan seketika dan hanya ketika respon muncul, maka kita mengatakannya sebagai kontingen. Maka manajemen kontingensi adalah kontrol sistematis dari stimulus yang menguatkan ketika diberikan pada waktu-waktu yang dipilih dan hanya setelah respon yang diinginkan telah diberikan. Orang-orang yang membuat program-program manajemen kontingensi harus menyadari respon-respon yang diinginkan dan juga respon-respon yang tak diinginkan. Mereka juga harus mempertimbangkan stimulus yang memancing, secara cermat mengamati apakah yang memicu respon-respon adaptasi buruk. Seringkali lingkungan dapat diatur sehingga petunjuk-petunjuk yang tak diinginkan diminimalkan, dan petunjuk-petunjuk yang memfasilitasi perilaku-perilaku yang diinginkan ditingkatkan.
Manajemen kontingensi berdasarkan pada prinsip operant dimana perilaku dipengaruhi oleh konsekuensi-konsekuensi yang mengikuti. Agar hubungan operant atau kontingen dibangun, konsekuensi yang menguatkan harus mengikuti.  Jika perilaku tidak didorong, maka menjadi hilang. Maka penguatan adalah konsekuensi yang meningkatkan kesempatan respon tertentu.  Respon-respon yang diinginkan dapat diperkuat melalui penguatan positif dan negatif. Penguatan bersifat positif jika penambahannya pada lingkungan, seperti senyum atau pelukan menghasilkan respon-respon adaptif. Penguatan bersifat negatif jika peniadaannya dari situasi setelah respon menghasilkan perilaku yang diinginkan. Berteriak dan mengancam adalah contoh dari penguatan negatif. 
Ada beberapa jenis penguatan yang memasukan sosial, materi dan aktivitas. Banyak penguatan-penguatan tersebut muncul secara natural dalam lingkungan, walaupun tidak secara sistematis dan seringkali untuk perilaku yang tidak diinginkan. Kebanyakan peristiwa yang menguatkan bersifat sosial, seperti senyuman, pelukan, pujian, perhatian, atau kontak fisik. Penguatan-penguatan sosial bekerja terutama dengan baik terhadap anak-anak kecil. Beberapa anak secara total tidak merespon terhadap stimulus sosial, tetapi beberapa darinya lebih banyak merespon dibandingkan yang lainnya. Penguatan-penguatan material dapat dikonsumsi, seperti permen dan makanan-makanan lainnya, mainan, gambar atau musik. Tanda juga dapat diberikan sebagai penguatan. Ini dapat ditukar untuk hadiah atau hak istimewa.  Bintang emas adalah penguatan kelas klasik. Tentu saja, uang selalu menjadi penguatan materi yang bernilai.
Kelompok penguatan terakhir disebut dengan penguatan aktivitas. Pada tahun 1965, Premack membuat prinsip formal yang disebut dengan prinsip Premack.  Pada dasarnya prinsip ini mengatakan bahwa anda dapat membuat orang-orang untuk terlibat dalam satu aktivitas jika anda menjanjikan mereka hak istimewa dari terlibat dalam aktivitas lainnya yang lebih diinginkan ketika selesai.  Para guru menggunakan prinsip ini setiap saat ketika mereka memberikan konseli waktu bebas setelah menyelesaikan kerja mereka.  Penguatan-penguatan aktivitas yang umum untuk anak-anak termasuk membaca, istirahat, game, dan menonton televisi.
Memilih penguatan yang tepat melibatkan beberapa pemikiran yang cermat dan perhatian pada pilihan-pilihan individu. Pengamatan perilaku yang cermat adalah alat yang mutlak diperlukan untuk mengidentifikasikan penguatan terbaik.Seringkali stimulus yang memancing perilaku penyesuaian buruk memberikan petunjuk yang baik untuk penguatan terbaik.
Kita mencatat sebelumnya bahwa untuk dibuatnya respon, maka harus diikuti oleh penguatan. Penguatan dapat disampaikan pada beberapa dasar, tergantung pada tujuan beberapa rencana penguatan lebih bermanfaat dibandingkan yang lainnya.  Penguatan berlanjut adalah aplikasi penguatan setelah setiap respon yang diinginkan, walaupun seringkali tidak nyaman, penguatan berlanjut adalah cara tercepat untuk membuat perilaku baru dan sangat berguna dalam fase-fase belajar awal. Penguatan berselang-seling, yaitu terjadi secara reliabel dalam hubungannya dengan respon yang diinginkan baik setelah periode waktu (skedul interval) atau setelah sejumlah respon yang diinginkan (skedul rasio).  Kedua jenis skedul berselang ini dapat ditetapkan atau berubah-ubah.


B.     Model Mengajar
1.        Sintaks
Sasaran dari fase satu adalah untuk menentukan perilaku sasaran, yaitu hasil perilaku akhir yang diinginkan. Dua aktivitas harus dicapai pada poin ini: (1) menspesifikasikan hasil perilaku sesungguhnya dan (2) mengembangkan rencana-rencana untuk mengukur perilaku.  Dua cara sederhana untuk mengukur dan mencatat perilaku adalah contoh perilaku dan sampel garis. Sampel dari contoh perilaku dari Rimm dan Masterr tampak pada tabel 19-1.
Tabel 19-1 Contoh Kemarahan Perilaku dan Tanggapan Parental untuk Kemarahan  dalam waktu  lebih dari 7 Hari: Contoh Bagan Perilaku
HARI
HAL YANG MUNCUL (TANTRUM)
JANGKA WAKTU (MENIT)
RESPON
1
1
4
Menghibur anak ketika ia terpeleset dan memukul kepalanya sendiri selama menangis

2
1
1
5
6
Membujuk anak untuk diam dengan bercerita, dan akhirnya memberikan kue agar anak dapat menenangkan diri. Diabaikan sampai tidak tahan, memberikan kue.
3
1
2
3
5
6
8
Diabaikan
Diabaikan
Diabaikan sampai anak mengambil kue sendiri.
4
1
4
Diabaikan; anak berhenti secara spontan
5
1
2
4
5
Perusahaan ini; memberikan anak kue agar tenang dan Diabaikan, akhirnya menyerah
6
1

2
8

4
Diabaikan, masuk ke kamar mandi, telah rokok, membaca majalah sampai anak tenang sendiri
Diabaikan, sama seperti aku akan menyerah, anak berhenti
7
1
3
Diabaikan, anak berhenti, mulai bermain
Sumber: David C. Rimm dan Master John C., Terapi Perilaku: Teknik dan Temuan Empiris (New York: Academic Press, Inc, 1974), hal 170.Simak
Baca secara fonetik


Cara lain untuk mencatat adalah mengamati konseli sekali setiap sepuluh menit dan mencatat adanya perilaku sasaran. Modifikasi pada sampel waktu mungkin termasuk mencatat aktivitas selama periode waktu dan mencatat jumlah kejadian perilaku dalam segmen waktu tertentu. Pilihan skema pengukuran tergantung pada perilaku untuk diamati dan pertimbangan praktis lainnya. Ketika keputusan-keputusan mengenai perilaku sasaran dan pengukuran telah dibuat, guru dapat berproses dengan asesmen sesungguhnya (fase dua).  Pencatatan frekuensi perilaku menciptakan baseline untuk perbandingan selanjutnya setelah institusi dari program manajemen kontingensi.  Ini dapat juga memberikan informasi tambahan mengenai sifat dan konteks perilaku.
Fase tiga memasukan langkah-langkah perencanaan akhir dalam merumuskan program. Ini adalah (1) menyusun situasi (atau lingkungan); (2) memilih penguatan dan jadwal penguatan; dan (3) memfinalisasikan rencana-rencana pembentuk perilaku, yaitu apa yang akan terjadi seketika.
Setelah tiga fase pertama telah selesai, program manajemen kontingensi dapat dilembagakan (fase empat).  Ini termasuk benar-benar mengatur lingkungan, menginformasikan konseli, dan mempertahankan dorongan dan membentuk skedul.
Fase akhir (lima) adalah mengevaluasi program.  Ini termasuk sekali lagi mengukur respon yang diinginkan. Ini termasuk sekali lagi mengukur respon yang diinginkan. Beberapa orang melembagakan kondisi-kondisi pendorongan lama untuk melihat apakah perilaku awal itu kembali kemudian kembali ke program kontingensi.
Ringkasan sintaks dikemukakan pada tabel 19-2.
Tabel 19-2. Sintaks dari Model Manajemen Kontingensi
FASE SATU:
MENSPESIFIKASIKAN KINERJA AKHIR
FASE DUA:
MENILAI PERILAKU
-    Mengidentifikasikan dan mendefinisikan perilaku sasaran.
-    Menspesifikasikan hasil perilaku yang diinginkan.
-    Mengembangkan rencana-rencana untuk mengukur dan mencatat perilaku.
Mengamati, mencatat frekuensi perilaku dan jika perlu, sifat dan konteks perilaku.

FASE TIGA:
MERUMUSKAN KONTINGENSI
FASE EMPAT:
MELEMBAGAKAN PROGRAM
-    Membuat keputusan-keputusan dalam mengatur lingkungan.
-    Memilih penguatan dan jadwal penguatan.
-    Memfinalisasikan rencana-rencana pembentukkan perilaku.
-    Mengatur lingkungan.
-    Menginformasikan pada konseli.
-    Memelihara penguatan dan jadwal pembentukan perilaku.
FASE LIMA:
MENGEVALUASI PROGRAM
-    Mengukur respon yang diinginkan
-    Melembagakan kembali kondisi awal,
ukuran dan kembali ke program kontingensi (pilihan).



2.      Sistem Sosial
Sistem sosial untuk perilaku tertentu yang dipertimbangkan sangat terstruktur, dengan guru mengontrol sistem ganjaran dan lingkungan. Terkadang aspek-aspek sistem sosial dapat dinegosiasikan, terutama ketika model bergerak terhadap manajemen kontingensi untuk kontrol diri.  Dalam beberapa hal, pendorong, dan terkadang skedul penguatan, mungkin dinegosiasikan dengan konseli.

3.      Prinsip-Prinsip Reaksi
Prinsip-prinsip untuk bereaksi terhadap konseli berdasarkan pada prinsip-prinsip pengondisian operant dan manajemen kontingensi tertentu yang telah dikembangkan. Secara umum, perilaku-perilaku yang tidak tepat diabaikan, dan perilaku-perilaku yang tepat secara positif didorong.  Jika perlu, time-out mungkin digunakan.

4.      Sistem Pendukung
Kebutuhan-kebutuhan bervariasi dengan jenis program manajemen kontingensi. Program perilaku individu yang sederhana mungkin tidak membutuhkan beberapa dukungan khusus, atau mungkin membutuhkan pendorong-pendorong material, dan pengaturan kembali skedul atau aktivitas.  Penggunaan-penggunaan instruksional terprogram membutuhkan materi yang ditahapkan secara cermat dan kemungkinan lingkungan belajar terindividu.  Orang yang mengembangkan program ini perlu merencanakan dengan cermat dan harus menjadi sabar dan konsisten.

5.      Dampak Instruksional dan Penyerta
Manajemen kontingensi sangatlah banyak kegunaannya dan dapat diarahkan terhadap tujuan-tujuan dalam setiap domain dan digunakan oleh para guru untuk menuntun pengembangan materi instruksional (lihat gbr.19-2).



Gbr.19.2. Dampak instruksional dan penyerta: Model Manajemen Kontingensi

 

                                 



                                                                                                 


6.      Aplikasi
Manajemen kontingensi menemukan aplikasi-aplikasi pendidikan dalam bentuk program pengajaran, program-program modifikasi individu, dan desain lingkungan. Tentu saja aplikasi yang paling umum adalah penggunaan informal dari prinsip-prinsip penguatan untuk manajemen kelas. Deskripsi beberapa aplikasi manajemen kontingensi kelas yaitu sebagai berikut:

  1. Desain Lingkungan dan Manajemen Perilaku
Michael Orme dan Richard Purnell, secara sukses menggunakan prosedur-prosedur manajemen kontingensi untuk memodifikasi perilaku diluar kontrol dari delapan belas konseli di kelas tiga dan empat.  Mereka menggambarkan perilaku konseli sebelum manajemen prosedur kontingensi sebagai berikut:
Perilaku konseli dalam kelas kebanyakan adalah impulsif, agresif dan merusak.  Baik Guru 1 ataupun Guru 2 tidak dapat mencegah konseli perilaku konseli yang merobek kertas temannya, melempar buku, berteriak dan bernyanyi-nyanyi.  Perilaku konseli yang agresif menjadi pusat pertimbangan.  Dalam periode dua puluh menit, Guru 2 mencatat tindakan-tindakan agresif dalam kelas. Dia menemukan bahwa sementara tidak semua anak telah bertindak sebagai agresor, setiap anak dalam ruangan telah saling bertubrukan sebanyak satu atau dua kali selama periode tersebut. Akhirnya, guru-guru tidak dapat menghentikan konseli berlari keluar kelas, masuk ke kelas  lainnya atau keluar sekolah.
Dua sasaran dari program mereka adalah untuk mengurangi perilaku agresif, dengan menggantikan respon-respon yang lebih dapat diterima, dan meningkatkan persentase waktu yang dihabiskan konseli pada tugas-tugas yang berhubungan dengan pendidikan. Untuk mencapai sasaran-sasaran ini, para peneliti ingin melembagakan “kontrol lingkungan keseluruhan” yaitu menggunakan teknik-teknik mengajar yang memanipulasi banyak aspek dari kondisi stimulus dan peristiwa-peristiwa yang menguatkan. Sifat-sifat stimulus yang mereka identifikasikan termasuk kondisi-kondisi disekitar ruangan, kurikulum, dan perilaku verbal dan nonverbal guru. Program penguatan termasuk respon-respon verbal dan nonverbal guru terhadap perilaku konseli dan juga sistem penguatan berwujud  (menggunakan tanda) yang secara khusus didesain yang diterjemahkan kedalam prosedur-prosedur instruksional.
Sifat-Sifat Stimulus
1)       Kondisi-Kondisi Sekitarnya:
Perubahan-perubahan fisik dalam ruangan dibuat untuk (1) mendorong gerakan guru, (2) memfasilitasi kontrol guru, dan (3) mengurangi stimulasi yang tak berhubungan. 
2)      Perilaku Verbal dan Non-Verbal Guru:
Guru mengenal penentu-penentu stimulus perhatian dan diajarkan variasi teknik-teknik verbal dan non-verbal yang didesain untuk memancing perhatian dan rasa ingin tahu, perilaku-perilaku yang diinginkan yang kemudian dapat dikuatkan. Beberapa contoh dari teknik ini adalah: menyajikan isi sebagai masalah daripada pernyataan, dengan cepat merubah fokus kelas, mendorong debat, pola-pola nonverbal seperti diam atau pola-pola gerakan menentukan.
3)      Kurikulum:
Guru memilih isi dengan mata untuk potensi “kontrolnya”. Misalnya, membaca choral dan drama digunakan untuk mengajarkan sastra Inggris.  Ini mengharuskan level tinggi perilaku verbal koperatif oleh konseli dan pemberian kesempatan untuk penguatan guru.

Sistem Penguatan
1)       Penguatan Tanda:
Penulis memberikan deskripsi sebagai berikut dari studi sistem penguatan.  Masalah-masalah tidak biasanya mengharuskan solusi tidak biasa. Sistem penguatan tanda bukanlah gagasan baru, namun dianggap tidak biasa oleh mayoritas pendidik. Seperti sistem lainnya, sistem dalam studi ini dibuat dalam cara dimana konseli dapat “memperoleh” poin-poin dengan memperlihatkan perilaku-perilaku tertentu. Poin atau tanda kemudian dapat diperoleh untuk membeli penguatan-penguatan pendukung yang disukai dari “toko”. Oleh karena itu, penguatan-penguatan berwujud dimanipulasi dalam cara dimana respon anak-anak menjadi tergantung pada perilaku mereka sebelumnya. Sistem tanda yang digambarkan disini berbeda dari yang dijabarkan dalam literatur sebelumnya dimana para konseli berbagi secara aktif dalam menentukan penguatan-penguatan pendukung.  Selain itu, beragam item dari toko tersedia diluar barang-barang yang dapat dikonsumsi dan dimanipulasi untuk memasukan penguatan-penguatan yang relevan secara pendidikan.
Selain beberapa jenis permen, permen karet, balon, kartu baseball, dll, toko juga memasukan item-item seperti: komik, novel yang dipilih dan teka-teki matematika, kesempatan untuk menulis puisi, “percakapan” dengan komputer.
2)      Penguatan Verbal dan Non-Verbal Guru;
Guru diberikan pelatihan dalam (1) membedakan perilaku-perilaku konseli yang akan diperkuat (perilaku tugas, diam, mengacungkan tangan, kerjasama antar konseli); (2) memberikan gerik isyarat positif dan negatif verbal dan nonverbal, guru merubah penguatan posisi; (3) memanipulasi skedul-skedul penguatan.
Hasil-hasil dari manajemen kontingensi sangatlah mendorong. Perilaku menganggu yang ada sebelum prosedur-prosedur pembentukan perilaku dilembagakan secara virtual hilang, dan konseli yang menghabiskan waktu pada tugas-tugas yang berhubungan dengan pendidikan meningkat dari 50 persen menjadi 80 persen.
  1. Program Pengajaran
Program pengajaran adalah aplikasi paling langsung dari tulisan B.F.Skinner.  Instruksi ini memberikan kontrol stimulus yang sangat sistematis dan penguatan cepat. Walaupun format program pengajaran dari Skinner telah mengalami banyak transformasi, kebanyakan adaptasi mempertahankan tiga ciri penting: (1) rangkaian item yang berurutan, baik pertanyaan atau pernyataan dimana konseli diminta untuk meresponnya; (2) respon konseli, yang mungkin dalam bentuk mengisi jawaban, atau memecahkan masalah; dan (3) ketentuan untuk konfirmasi respon cepat, terkadang dalam kerangka program itu sendiri tetapi biasanya dalam lokasi yang berbeda, seperti pada halaman selanjutnya dalam textbook terprogram.
Penelitian baru-baru ini mengenai program pengajaran memperlihatkan bahwa banyak penyimpangan dari esensi-esensi ini dapat dibuat dengan tidak adanya perbedaan signifikan dalam banyaknya pembelajaran yang terjadi.  Ceramah terprogram dengan tidak adanya respon terang-terangan dari konseli adalah salah satu contohnya.  
Program pengajaran telah berhasil digunakan dengan beragam materi, seperti bahasa Inggris, matematika, statistik, geografi dan sain.  Program pengajaran telah digunakan pada setiap level sekolah dari pra-sekolah hingga perguruan tinggi.  Teknik-teknik instruksional terprogram telah diterapkan pada beragam perilaku.  Pembentukan konsep, pembelajaran hapalan, kreatifitas, dan pemecahan masalah semuanya telah menjadi subjek program.  Beberapa program bahkan telah diajarkan dengan discovery.
Program pengajaran berbeda dari buku-buku kerja tradisional yang telah digunakan oleh para guru kelas selama bertahun-tahun. Penekanan buku-buku kerja adalah pada praktek (pemeliharaan respon) daripada perolehan perilaku melalui materi yang ditahapkan secara cermat.  Buku kerja memberikan “bingkai” tanpa akhir dari materi review.  Secara jelas, review sedikit bernilai kecuali jika perilaku pertama berhasil; buku kerja tradisional tidak didesain untuk melakukan hal ini.  Kedua, efek penguatan dari review berlanjut mengalami pengembalian yang berkurang; konseli hanya melewati materi yang telah dikuasai.
C.      Skenario dalam Setting
John adalah seorang konseli kelas dua yang cerdas, verbal yang kemungkinan sangat hiperaktif. Dia terkenal di kalangan teman-teman sekelasnya dan menghibur mereka dengan cerita-cerita yang tak pernah berhenti, beberapa darinya sungguhan dan beberapa lagi dibesar-besarkan. John sangat baik dalam studi-studinya: dia adalah pembaca yang baik tetapi memiliki kesulitan dengan matematika. Selama beberapa bulan yang lalu Jean Meades, guru John, telah berjuang untuk mendorong John tetap mengerjakan tugas sekolah. John selalu berjalan-jalan mengitari ruangan atau pergi ke akuarium atau kandang marmut.  Lebih sering, dia menggganggu konseli lainnya.
Masalahnya adalah ketika John menghadapi soal matematika, dia tidak mengerti dan berteriak keras: “Saya tidak mengerti,” atau “Ini tidak masuk akal.”  Kemudian dia memanggil Jean, “Bu Meades, Saya tidak dapat mengerjakannya.” Jean ingin John membuat lebih banyak usaha untuk mengerjakan soal matematika lebih lama sebelum dia mencari bantuan. Walaupun John meminta bantuan sepanjang keseluruhan hari, Jean memutuskan untuk berkonsentrasi pada situasi matematika.
Selama pelajaran matematika, konseli dikelompokan berdasarkan kemampuan mereka.  Setiap anak memiliki lembar kerja mereka.  Secara umum anak-anak bekerja sendirian lebih atau kurang dengan langkah mereka sendiri.  Beberapa kali setiap minggunya, Bu Meades atau asistennya mengajar kelompok dalam konsep atau prinsip baru. Ketika konseli telah menyelesaikan segmen-segmen yang ditunjukan, kerja mereka diperiksa.
Selama beberapa hari, Bu Meades memberikan perhatian kepada perilaku John selama pelajaran matematika. Dia mengamati bahwa rata-rata dia memanggil atau mendatanginya atau asistennya sekitar sepuluh kali selama periode tugas empat puluh menit. Dia menghabiskan sekitar sepuluh menit untuk kerja sesungguhnya yang dilakukannya sendiri. Mengetahui bahwa John membutuhkan dan menginginkan banyak penguatan dari orang dewasa, maka Jean membuat perjanjian dengannya.
Dia menjelaskan pengamatannya terhadap John dan mengatakan bahwa dia ingin menjalankan sebuah sistem baru. Dia meminta John untuk mencoba sedikitnya tiga soal sebelum meminta bantuan. Ketika dia membutuhkan bantuan dia harus mengacungkan tangannya, dan baik Jean atau asistennya akan datang sesegera mungkin. Untuk sementara waktu, John dapat mengerjakan gambar (dia sangat bagus dalam menggambar dan sangat senang mencoret-coret). Setiap saat John mengikuti prosedur, maka dia memperoleh sebuah poin. Jika dia benar-benar menyelesaikan tiga soal dengan benar, maka dia memperoleh dua poin.   Pada akhir minggu, poin-poin John dijumlahkan. Melalui ketergantungan pada jumlah yang diakumulasikan, John dapat memilih sendiri aktivitas. Pada awalnya, Jean menekankan bahwa John mengerjakan matematika hanya untuk bagian dari periode matematika, atau pada sembilan soal. Seiring waktu, Jean menyesuaikan skedul ganjaran untuk meningkatkan waktu kerja dan penyelesaiannya.
Sebelum memulai program, Jean bekerja dengan John mengenai bagaimana untuk mendekati masalah yang tidak familiar. Dia memberikannya rangkaian tiga langkah umum yang diikuti untuk beberapa soal matematika. Salah satu kesulitan John adalah bahwa dia melihat pada soal, tidak mengerti dengan pikiran kosong dan menyerah. Jean mencoba untuk meningkatkan kapasitasnya untuk berpikir reflektif dengan memberikannya sebuah pendekatan pemecahan masalah umum.
Setiap langkah dalam tahapan memiliki balok bernomor berwarna yang berhubungan. Untuk sementara, John menggunakan ini untuk mengingatkannya melakukan langkah-langkah tersebut. Dia memulai dengan balok pada sisi kanannya, dan ketika dia mengambil setiap langkah, dia menggerakan balok ke sebelah kiri. Aktivitas manipulasi membantu mengurangi kecemasan yang dihasilkan oleh “pikiran kosong”; aktivitas ini secara literal mengambil pikirannya dari perasaannya dan masuk kedalam matematika dan tangannya.
Jean melakukan satu hal lagi. Dia memastikan bahwa pertama-tama baik dia dan asistennya seringkali melewati meja John untuk mendorongnya mengerjakan soal dan mengecek kerjanya tanpa diminta oleh John.
Program manajemen kontingensi dilembagakan. Membutuhkan beberapa hari bagi John untuk mengikuti prosedur-prosedur yang disepakati, tetapi Jean dan asistennya sangat konsisten untuk mengingatkan aturan-aturan kepadanya.  Setelah beberapa saat, hal-hal yang mengganggu menjadi semakin berkurang.  Kemampuan John untuk mencoba soal dan terus mengerjakannya meningkat dengan tajam, dengan melihat pada kenyataan bahwa dalam beberapa minggu, jumlah soal yang dikerjakan sebelum John membutuhkan bantuan bertambah menjadi lima.
Hari-hari berikutnya ketika John membutuhkan bantuan dia tidak begitu putus asa. Dia dapat memberitahukan Jean langkah-langkah yang diikutinya, apakah yang telah diketahuinya dan dimanakah dia menemukan jalan buntu.  Jean juga memperhatikan bahwa rentang perhatian John dan kemampuannya untuk duduk dengan tenang tanpa berbicara dipertahankan dalam aktivitas-aktivitas lainnya, bukan hanya dalam pelajaran matematika.
Jean memperingkatkan orangtua John atas rencana tersebut sehingga pada akhir minggu, dia akan melaporkan hitungan poin dan penghargaan kepadanya. Program ini  memberikan orangtua John cara yang bagus untuk mengikuti kemajuannya dan berbicara kepadanya mengenai kegiatan sekolah.
Manajemen kontingensi, yang telah digunakan dalam latar belakang pendidikan selain aplikasi-apliksi lain dari teori perilaku, dapat ditemukan dalam konseptualisasi lingkungan kelas keseluruhan dan program-program pendidikan, seperti Proyek Pendidikan Dasar Pittsburgh, yang menekankan tugas-tugas pembelajaran analisa perilaku, program DISTAR Bereiter dan Englemann, dan kelas Follow-Through analisa perilaku Bushell. contoh-contoh itu semua merupakan semua aspek lingkungan belajar, seperti fisik, materi, interaktif direncanakan menyangkut prinsip-prinsip perilaku.
Aplikasi lainnya dari teori perilaku memfokuskan pada individu-individu tertentu dalam kelas dan identifikasi serta perlakuan respon-respon ketidakmampuan menyesuaikan diri tertentu. Dalam contoh-contoh ini, manajemen kontingensi menekankan penyesuaian program-programnya dengan individu-individu, dengan menempatkan penekanan tertentu pada penguatan. Pembelajaran terprogram adalah aplikasi ketiga dari teori perilaku dan menekankan kontrol dari stimulus belajar, yang dengan cermat ditahapkan dalam langkah-langkah yang relatif kecil. Akhirnya, penggunaan manajemen kontingensi untuk kontrol diri adalah penggunaan keempat dan semakin digunakan.

Kesimpulan
Setiap individu adalah unik. Artinya setiap individu memiliki perbedaan antara yang satu dengan yang lain. Perbedaan tersebut bermacam-macam, mulai dari perbedaan fisik, pola berpikir dan cara-cara merespon atau mempelajari hal-hal baru. Dalam hal belajar, masing-masing individu memiliki kelebihan dan kekurangan dalam menyerap pelajaran yang diberikan. Oleh karena itu, dalam dunia pendidikan dikenal berbagai metode untuk dapat memenuhi tuntutan perbedaan individu tersebut. Para ahli teori perilaku menganggap perilaku manusia sebagai suatu fungsi dari lingkungan langsung, khususnya, stimulus yang memancing dan stimulus yang menguatkan.  Ciri pentingnya adalah hubungan antara respon dan stimulus yang menguatkan.  Jika penguatan diberikan seketika dan hanya ketika respon muncul, maka kita mengatakannya sebagai kontingen.
Manajemen kontingensi adalah kontrol sistematis dari stimulus yang menguatkan ketika diberikan pada waktu-waktu yang dipilih dan hanya setelah respon yang diinginkan telah diberikan. Orang-orang yang membuat program-program manajemen kontingensi harus menyadari respon-respon yang diinginkan dan juga respon-respon yang tak diinginkan. Mereka juga harus mempertimbangkan stimulus yang memancing, secara cermat mengamati apakah yang memicu respon-respon adaptasi buruk. Seringkali lingkungan dapat diatur sehingga petunjuk-petunjuk yang tidak diinginkan diminimalkan, dan petunjuk-petunjuk yang memfasilitasi perilaku-perilaku yang diinginkan ditingkatkan. Pendekatan kontingensi merupakan sebuah cara berfikir yang komparatif (berdasarkan perbandingan) baru diantara teori-teori manajemen yang telah dikenal. Manajemen kontingensi berupaya untuk melangkah ke luar dari prinsip-prinsip manajemen yang dapat diterapkan dan menuju ke kondisi situasional. Salah seorang penulis manajemen kontingensi yang bernama Fred Luthans menyatakan “pendekatan-pendekatan tradisional dalam bidang manajemen, tidak salah atau keliru, tetapi dewasa ini mereka tidak terlampau cocok. Terobosan baru terhadap teori dan praktik manajemen dapat kita temukan pada pendekatan kontingensi.” Apabila dirumuskan secara formal, pendekatan kontingensi merupakan suatu upaya untuk menentukan melalui kegiatan riset, praktik dan teknik manajerial mana yang paling cocok dan tepat dalam situasi-situasi tertentu. Maka menurut pendekatan kontingensi situasi-situasi yang berbeda mengharuskan adanya reaksi manajerial yang berbeda pula.
Beberapa ilmuwan manajemen tertarik pada pemikiran kontingensi hal itu karena merupakan sebuah kompromis yang dapat dimanfaatkan antara pendekatan sistematik dan apa yang dapat dinamakan perspektif situasional murni. Pendekatan sistematik kerapkali dikritik orang karena pendekatan tersebut bersifat terlampau umum atau abstrak walaupun pandangan situasional murni yang mengasumsi bahwa setiap situasi kehidupan nyata memerlukan suatu pendekatan yang sangat berbeda telah dinyatakan orang sebagai hal yang terlampau spesifik. Ada tiga macam pendekatan kontingensi :
a.      Perspektif sistem terbuka. Perspektif sistem terbuka ini bersifat fundamental bagi pandangan kontingensi.
b.      Orientasi riset praktikel. Riset praktikel adalah apa yang akhirnya menyebabkan timbulnya manajemen yang lebih efektif.
c.       Suatu pendekatan multivariate. Pemikiran sistematik tertutup tradisional menyebabkan orang mencari hubungan kausal yang saling berhadapan. Pendekatan tersebut dinamakan analisis bivariat,yaitu analisis yang dilakukan untuk menganalisis hubungan dua variabel.
Dalam pendekatan kontingensi konseli yang dihargai (atau, lebih jarang, dihukum) untuk perilaku mereka umumnya, kepatuhan terhadap atau kegagalan untuk mematuhi aturan program dan peraturan atau rencana pengobatan mereka. Anak-anak dengan gangguan perilaku, sistem token sangat sukses tetapi tidak membantu anak-anak mencapai fungsi normal kecuali dikombinasikan dengan program biaya respons hukuman negatif. Sebagai suatu pendekatan untuk pengobatan, manajemen kontingensi muncul dari terapi perilaku dan diterapkan dalam tradisi analisis perilaku kesehatan mental. Oleh sebagian besar evaluasi, prosedur manajemen kontingensi menghasilkan salah satu ukuran efek terbesar dari semua kesehatan mental dan intervensi pendidikan.
Model pengajaran manajemen kontingensi ini termasuk ke dalam rumpun behaviorisme, dimana dalam model ini dijelaskan bahwa konselor lebih memperhatikan kecenderungan-kecenderunagn respon yang dapat diamati, yaitu berupa perilaku seketika yang terjadi setelah diberikan penguatan (kontingen). Teori behaviorisme ini tidak mempersoalkan baik atau jelek, rasional atau emosional, behaviorisme hanya ingin mengetahui bagaimana perilakunya dikendalikan oleh faktor-faktor lingkungan. Manusia akan berkembang berdasarkan stimulus yang diterimanya dari lingkungan sekitarnya (Sobur, Alex: 2003). Beberapa tokoh dalam teori behavorisme yang secara tidak langsung mendukung model pengajaran manajemen kontingensi yaitu diantaranya sebagai berikut:

1.        Pembiasaan Klasikal: Pavlov
Pada tahun 1903 Ivan Pavlov memperkenalkan untuk pertama kalinya mengenai proses repondent conditioning, yaitu pembiasaan klasikal (Classical Conditoning) dalam tipe belajar yang menekankan stimulus netral yang memerlukan kapasitas untuk merangsang respon secara orisinil oleh stimulus yang lain. Peran pembiasaan klasikal dalam membentuk kepribadian dengan menggunakan model pengajaran manajemen kontingensi adalah memberikan kontribusi terhadap pembentukan respon-respon emosional, seperti rasa takut, cemas, atau phobia. Kontribusi ini relatif kecil, namun sangat penting dalam pembentukan reaksi-reaksi emosional yang maladaptif. Contoh: seorang wanita usia tengah baya yang mengalama phobia akan jembatan (Bridge Phobia), yaitu merasa takut untuk menyebrang di jembatan jalan layang, karena mempunyai pengalaman yang sangat menakutkan pada waktu kecil (Syamsu, 2008). Contoh lain dalam skenario setting yaitu, seorang siswa yang hiperaktif, namun cerdas menganggap pelajaran matematika adalah pelajaran yang paling menakutkan, sehingga guru matematikanya melakukan program pengajaran dengan membangun kontijensi manajemen pada siswa tersebut hingga akhirnya siswa tersebut mampu mengerjakan soal matematika tanpa bantuannya. Proses tersebut memerlukan jadwal penguatan yang terstruktur dalam pengkondisian kelasnya.
2.      Pengkondisian Operan: Skinner
Pilihan Skinner terhadap pendekatan behaviorisme mengarahkannya untuk menolak kekuatan-kekuatan mental dan emosional. Menurut Burrhus Frederic Skinner (lahir tahun 1904) dalam karya tulisnya yang berjudul About Behaviorism (diterbitkan tahun 1974) mengatakan bahwa tingkah laku itu terbentuk dari konsekuensi-konsekuensi yang ditimbulkan oleh tingkah laku itu sendiri. (Muhibbin Syah, 2007). Tipe tingkah laku yang dikemukakan Skinner terbagi menjadi dua, yaitu responden dan operan. Tingkah laku responden (respondent behavior) adalah respon atau tingkah laku yang dibangkitkan atau dirangsang oleh stimulus tertentu. Tingkah laku ini bergantung pada reinforcement dan secara langsung merespon stimulus yang bersifat fisik. Sedangkan tingkah laku operan (operant behavior) adalah respon atau tingkah laku yang bersifat spontan (sukarela) tanpa stimulus yang mendorongnya secara langsung, tingkah laku ini ditentukan atau dimodifikasi oleh reinforcement yang mengikutinya. Dalam hal ini Skinner merasa yakin bahwa tingkah laku responden kurang begitu penting dibandingkan dengan tingkah laku operan.
Teori yang dikembangkan Skinner terkenal dengan “Operant Conditioning”, yaitu bentuk belajar yang menekankan respon-respon atau tingkah laku yang sukarela dikontrol oleh konsekuen-konsekuennya. Skinner menyatakan bahwa “operant conditioning” lebih banyak membentuk tingkah laku manusia daripada “classical conditioning”, karena kebanyakan respon-respon manusia lebih bersifat disengaja daripada yang reflektif. Skinner juga mengungkapkan bahwa organisme cenderung mengulangi respon yang diikuti oleh konsekuen (dampak) yang menyenangkan, dan mereka cenderung tidak mengulang respon yang berdampak netral atau tidak menyenangkan.
Menurut Skinner “reinforcement” dapat terjadi dalam dua cara, yaitu positif dan negatif. Penguatan yang positif terjadi ketika respon diperkuat (muncul lebih sering) sebab diikuti oleh kehadiran stimulus yang menyenangkan, penguatan positif disebut juga sebagai reward (penghargaan). Sementara reinforcement negatif terjadi ketika respon diperkuat (sering dilakukan) karena diikuti oleh stimulus yang tidak menyenangkan. Reinforcement ini memainkan peranan dalam perkembangan kecenderungan-kecenderungan untuk menolak (menghindari). Pada umumnya orang cenderung menghindari situasi yang kaku, atau masalah pribadi yang sulit, sifat kepribadian ini berkembang, karena tingkah laku menghindari dapat melepaskan diri dari kecemasan (Syamsu Yusuf, 2008).
Ekstingsi dan hukuman dalam “operant conditioning” pun tidak berlangsung lama (bersifat lemah dan bisa lenyap), sama halnya dengan “classical conditioning”. Terjadinya ekstingsi dimulai ketika respon-respon yang diperkuat mengakhiri dampak yang positif. Seperti anak yang suka melucu akan menghentikan melucunya, apabila dia tidak lagi mendapatkan apresiasi atau penghargaan dari teman-temannya. Beberapa respon mungkin dapat diperlemah dengan hukuman. Menurut Skinner hukuman ini terjadi ketika respon diperlemah (menurun frekuensinya dan bahkan menghilang), karena diikuti oleh kehadiran stimulus yang tidak menyenangkan. Perbedaan antara reinforcement negati dengan hukuman adalah bahwa respon dalam reinforcement negatif mengarah kepada proses menghilangkannya sesuatu yang tidak menyenangkan, sehingga respon tersebut diperkuat; sedangkan respon pada hukuman mengarah kepada hadirnya sesuatu yang tidak menyenagkan, sehingga respon diperlemah, atau mengarah kepada konsekuensi yang negatif.

3.      Teori Belajar Sosial: Bandura
Teori belajar sosial Bandura tentang kepribadian didasarkan kepada formula bahwa tingkah laku manusia merupakan hasil interaksi timbal balik yang terus menerus antara faktor-faktor penentu: internal (kognisi, persepsi, dan faktor lainnya yang mempengaruhi kegiatan manusia), dan eksternal (lingkungan). Proses ini disebut “reciprocal determinism” yang ditempatkan sebagai prinsip dasar untuk menganalisis fenomena psikososial dalam berbagai tingkat yang kompleks, terentang dari perkembangan intrapersonal, tingkah laku interpersonal, fungsi interaksi organisasi sampai ke sistem sosial. Interaksi antara faktor-faktor dalam proses “reciprocal determinism” digambarkan sebagai berikut.

P
 
                                                            P = Person (Faktor Internal)
                                                            E = Environment (Faktor Eksternal)
B
 
E
 
                                                            B = Behavior
 

Bandura berpendapat bahwa manusia itu aktif mencari informasi tentang lingkungannya, agar dapat memaksimalkan hasil yang menyenagkan.
Belajar melalui observasi terjadi ketika respon organisme dipengaruhi oleh hasil observasinya terhadap orang lain, yang disebut sebagai model.. Bentuk belajar ini emmerlukan perhatian (attention) terhadap tingkah laku model yang diobservasi, sehingga dipahami dampak-dampaknya, dan menyimpan informasi tentang tingkah laku model itu ke dalam memori. Menurut teori belajar sosial, model itu memiliki dampak yang besar terhadap perkembangan kepribadian. Anak-anak belajar untuk asertif, percaya diri, atau mandiri melalui observasi kepada orang lain yang menampilakn sikap-sikap seperti itu. Orang lain yang menjadi model adalah orang tua, saudara, guru, atau teman.
Bandura meyakini bahwa “self-efficacy” merupakan elemen kepribadian yang krusial, sebab “self-efficacy” ini merupakan keyakinan diri (sikap percaya diri) terhadap kemampuan sendiri untuk menampilakn tingkah laku yang akan mengarahkannya kepada hasil yang diharapkan. Ketika “self-efficacy” tinggi, kita merasa percaya diri bahwa kita dapat melakukan respon tertentu untuk memperoleh reinforcement. Sebaliknya apabila rendah, maka kita merasa cemas bahwa kita tidak mampu melakukan respon tersebut.

4.      Teori Thorndike
Fenomena tingkah laku belajar menurut Thorndike selalu melibatkan satisfaction/kepuasan, berbeda dengan Skinner yang menyebutkan fenomena tersebut melibatkan reinforcement/penguatan. Eksperimen yang dilakukan oleh Thorndike bernama trial and error learning.
Teori-teori kontingensi berasumsi bahwa berbagai pola perilaku pemimpin dibutuhkan dalam berbagai situasi bagi efektivitas kepemimpinan. ada dua gaya kepemimpinan : (a) gaya konsideran (orientasi pegawai) dan (b) struktur (orientasi tugas). Pada instrumental conditioning, hukum yang cocok adalah hubungan kuantitatif yang memegang antara tingkat relatif respon dan tingkat relatif bersamaan jadwal penguatan dalam penguatan. Ini berlaku dapat diandalkan ketika subjek non-manusia dihadapkan pada interval variabel bersamaan jadwal; penerapannya dalam situasi lain kurang jelas, tergantung pada asumsi yang dibuat dan detail dari situasi eksperimental.
Gaya kepemimpinan yang paling sesuai bergantung pada situasi di mana pemimpin bekerja. Teori Fiedler menunjukkan bahwa keefektifan pemimpin ditentukan oleh interaksi antara orientasi pegawai dengan tiga variabel yang berkaitan dengan pengikut, tugas dan organisasi. Ketiga variabel itu adalah: a) hubungan antara pemimpin dengan anggota (leader member relations), b) struktur tugas (task structure), dan c) kuasa posisi pemimpin (leader position power). Hal perlu diperhatikan adalah bahwa untuk dapat mengembangkan gaya kepemimpinan situasional ini, seseorang perlu memiliki tiga kemampuan khusus yakni: a) Kemampuan analitis (analytical skills), b) Kemampuan untuk fleksibel (flexibility/adaptability skills), c) Kemampuan berkomunikasi (communication skills).
Model kontingensi Path-Goal Theory, berpendapat bahwa efektifitas pemimpin ditentukan oleh interaksi antara tingkah laku pemimpin dengan karakteristik situasi (House, 1971). Menurut House, tingkah laku pemimpin dapat dikelompokkan dalam empat kelompok: 1) Supportive Leadership, 2) Directive Leadership, 3) Participative Leadership, dan 4) Achievement-Oriented Leadership. Teori-teori kontingensi berasumsi bahwa berbagai pola perilaku pemimpin (atau ciri) dibutuhkan dalam berbagai situasi bagi efektivitas kepemimpinan. Teori Path-Goal tentang kepemimpinan meneliti bagaimana empat aspek perilaku pemimpin mempengaruhi kepuasan serta motivasi pengikut. Pada umumnya pemimpin memotivasi para pengikut dengan mempengaruhi persepsi mereka tentang konsekuensi yang mungkin dari berbagai upaya. Bila para pengikut percaya bahwa hasil-hasil dapat diperoleh dengan usaha yang serius dan bahwa usaha yang demikian akan berhasil, maka kemungkinan akan melakukan usaha tersebut. Aspek-aspek situasi seperti sifat tugas, lingkungan kerja dan karakteristik pengikut menentukan tingkat keberhasilan dari jenis perilaku kepemimpinan untuk memperbaiki kepuasan dan usaha para pengikut.
Manajemen kontingensi didasarkan pada prinsip bahwa perilaku adalah fungsi dari konsekuensi-konsekuensinya. Artinya, apa yang orang lakukan, bagaimana mereka berperilaku adalah terkait dengan cara yang diprediksi untuk konsekuensi dari perilaku mereka. Sebagai contoh, jika suatu tindakan diikuti oleh konsekuensi yang positif (positif untuk orang tersebut), maka individu cenderung mengulangi tindakan itu.  Jika suatu tindakan diikuti oleh konsekuensi negatif (negatif untuk orang tersebut), maka individu tidak mungkin untuk mengulangi tindakan. Konsekuensi negatif mencakup tidak ada respon (misalnya, seseorang tindakan diabaikan) dan tanggapan menghukum.
Dari perspektif ini, perilaku pengelolaan konseli dengan atau tanpa masalah perilaku didiagnosis sebagian besar merupakan organisasi yang direncanakan dengan baik dan pelaksanaan konsekuensi. Perilaku spesialis yang sangat mengandalkan manajemen kontingensi tidak mengabaikan perilaku pendahulunya.
Namun demikian, penekanan utama ditempatkan pada pengorganisasian konsekuensi dari perilaku dengan tujuan mengubah perilaku konseli. Ada empat kategori konsekuensi (kontingensi) yang dapat mempengaruhi perilaku. Positif dan negatif penguatan meningkatkan kemungkinan perilaku yang berulang. Kepunahan dan hukuman penurunan yang kemungkinan.
1.        Penguatan Positif
Penguatan positif adalah tanggapan yang mengikuti perilaku dan memiliki efek meningkatkan kemungkinan bahwa perilaku terjadi lagi dengan memberikan pengalaman positif sebagai konsekuensinya.Listen
Read phonetically
 Contoh:
a.      Memberikan makanan anak atau mainan untuk pekerjaan yang dilakukan dengan baik (dengan asumsi bahwa makanan atau mainan yang diinginkan dalam konteks itu).
b.      Memberikan pujian anak atau memeluk untuk pekerjaan yang dilakukan dengan baik (dengan asumsi bahwa pujian atau memeluk diinginkan dalam konteks itu).
c.       Memberikan konseli nilai yang baik untuk kerja yang sangat baik (dengan asumsi konseli ingin berhasil di sekolah).
Potensi Keuntungan. Sesuai jadwal penguatan telah ditunjukkan untuk memfasilitasi akuisisi banyak jenis perilaku dalam berbagai jenis orang. Membentuk perilaku dengan penguatan untuk sukses daripada hukuman untuk kegagalan melibatkan risiko kurang dan menciptakan lebih positif belajar umum dan lingkungan komunikasi.
Potensi Bahaya. Ketika anak-anak menerima "pembayaran" untuk hampir setiap perilaku positif, mereka dapat belajar untuk mengharapkan dan tumbuh tergantung pada pembayaran tersebut, sehingga mengurangi kemungkinan terlibat dalam perilaku positif untuk alasan lain (misalnya, karena perilaku positif yang secara intrinsik berharga, karena rasa kewajiban).
Bila penguatan TIDAK alami dan logis dalam kaitannya dengan perilaku (misalnya, stiker atau "bicara Bagus, Johnnie" sebagai hadiah untuk menghasilkan kalimat yang baik), maka mahasiswa mungkin gagal untuk menghubungkan perilaku dengan alam dan logis konsekuensinya . Dan logis konsekuensi alami dari pertanyaan dimengerti adalah jawaban, bukan stiker. Kegagalan generalisasi atau sering juga transfer konsekuensi gabungan mengajar di luar konteks dan menggunakan reinforcers yang tidak nyata-dunia, dan logis konsekuensi alam.
Ketika konseli merasa bahwa penguatan bermakna atau kekanak-kanakan atau mereka objek secara umum untuk dimanipulasi oleh sistem eksternal yang dipaksakan konsekuensi hasil yang sebenarnya mungkin penguatan kebalikan dari hasil yang diharapkan mereka.
2.      Penguatan Negatif
Penguatan negatif adalah tanggapan yang mengikuti perilaku dan memiliki efek meningkatkan kemungkinan bahwa perilaku terjadi lagi - dengan menghapus stimulus negatif. Contoh:
a.      Seorang konseli menerima bantuan ketika ia meminta bantuan setelah berjuang dengan masalah.
b.      Seorang konseli mengurangi kecemasan dan panik dengan meminta dan menerima perpanjangan kertas.
Penguatan  Non-contingent mengacu pada pengalaman berharga yang tidak tergantung pada konseli terlibat dalam setiap perilaku target. Misalnya, pujian, pelukan, hadiah, kegiatan menyenangkan, dan sejenisnya ketika disajikan secara acak dan bukan sebagai "pembayaran"  dapat memiliki efek untuk menciptakan positif budaya umum, memfasilitasi perasaan kepercayaan dan kasih sayang, dan meningkatkan individu rasa percaya diri .
3.      Kepunahan
Kepunahan terjadi ketika perilaku diikuti dengan tidak ada respon, yang mengurangi kemungkinan perilaku terjadi lagi. Contoh:
a.      Yohanes mengganggu di kelas dan ditempatkan keluar ruangan waktu di mana ia tidak dapat dihargai oleh yang lainnya.
b.      Seorang terapis tidak memberikan respon terhadap konseli kesalahan tersebut.
c.       Seorang ibu yang mengabaikan anak merengek meminta dia untuk permen di baris supermarket.
Potensi Keuntungan. Mengabaikan perilaku yang tidak diinginkan dapat memiliki efek mengurangi kemungkinan perilaku yang, dengan asumsi perilaku itu dimaksudkan (sadar atau tidak sadar) berpengaruh pada orang lain. Ketika perilaku yang tidak diinginkan tidak diabaikan, itu sering meningkat, terutama jika anak menerima perhatian untuk perilaku yang tidak diinginkan dan tidak ada perhatian atas perilaku yang diinginkan.
Potensi Bahaya. Sering apa yang disebut "tidak ada respon" sebenarnya adalah respon penguatan. Misalnya, "time-out dari penguatan" sering disalah gunakan dengan cara ini. Waktu habis, mungkin benar-benar menjadi penguatan negatif (misalnya, menghapus anak disruptif dari kegiatan yang tidak diinginkan dari yang dia inginkan untuk dihapus, seperti dalam suspensi sekolah) atau penguatan positif (misalnya, memiliki anak menghabiskan waktu dengan pembantu ramah atau dalam waktu keluar ruangan dengan teman-teman). Dalam kedua kasus, hasil yang sebenarnya adalah kebalikan dari hasil yang diinginkan. Artinya, peningkatan perilaku negatif pada frekuensi karena konsekuensinya adalah penguatan tidak sengaja.
Hal ini sangat sulit untuk mengabaikan anak iritasi atau agresif perilaku. Jika pihak yang berwenang mencoba untuk mengabaikan perilaku tapi akhirnya kehilangan kesabaran dan bereaksi hasilnya mungkin merupakan hasil terburuk yang sangat mungkin Artinya, anak dihargai untuk bertahan dengan perilaku yang tidak diinginkan.
4.      Hukuman
Hukuman adalah tanggapan yang mengikuti perilaku dan memiliki efek penurunan kemungkinan perilaku yang dengan menyediakan pengalaman yang tidak diinginkan sebagai konsekuensinya.
Potensi Keuntungan. Jika hukuman itu wajar dan logis (misalnya, dipaksa untuk membersihkan ruangan setelah mencemari itu), individu belajar tentang hubungan antara perilaku dan konsekuensi dapat diprediksi di dunia nyata.
Potensi Bahaya. Hukuman semu (misalnya, orangtua memukul, mengusir seorang mahasiswa yang tidak ingin berada di sekolah saja) mungkin sebenarnya memperkuat jika anak menerima perhatian yang diinginkan, bantuan dari stres, atau imbalan lainnya sebagai hasilnya. Ini adalah salah satu alasan bahwa hukuman jarang prosedur manajemen berhasil perilaku dalam jangka panjang. Banyak jenis hukuman, badan atau psikologis, adalah ilegal di banyak rangkaian (misalnya, sekolah) di banyak negara.
Ada beberapa jenis penguatan yang memasukan sosial, materi dan aktivitas. Banyak penguatan-penguatan tersebut muncul secara natural dalam lingkungan, walaupun tidak secara sistematis dan seringkali untuk perilaku yang tak diinginkan. Kebanyakan peristiwa yang menguatkan bersifat sosial, seperti senyuman, pelukan, pujian, perhatian, atau kontak fisik.  Penguatan-penguatan sosial bekerja terutama dengan baik terhadap anak-anak kecil.  Beberapa anak secara toral tidak merespon terhadap stimulus sosial, tetapi beberapa darinya lebih banyak merespon dibandingkan yang lainnya.
Penguatan-penguatan material dapat dikonsumsi, seperti permen dan makanan-makanan lainnya, mainan, gambar atau musik.  Tanda juga dapat diberikan sebagai penguatan.  Ini dapat ditukar untuk hadiah atau hak istimewa.  Bintang emas adalah penguatan kelas klasik.  Tentu saja, uang selalu menjadi penguatan materi yang bernilai.
Kelompok penguatan terakhir disebut dengan penguatan aktivitas.  Pada tahun 1965 Premack membuat prinsip formal yang disebut dengan prinsip Premack.  Pada dasarnya prinsip ini mengatakan bahwa anda dapat membuat orang-orang untuk terlibat dalam satu aktivitas jika anda menjanjikan mereka hak istimewa dari terlibat dalam aktivitas lainnya yang lebih diinginkan ketika selesai.  Para guru menggunakan prinsip ini setiap saat ketika mereka memberikan konseli waktu bebas setelah menyelesaikan kerja mereka.  Penguatan-penguatan aktivitas yang umum untuk anak termasuk membaca, istirahat, game, dan menonton TV.
Memilih penguatan yang tepat melibatkan beberapa pemikiran yang cermat dan perhatian pada pilihan-pilihan individu.  Pengamatan perilaku yang cermat adalah alat yang mutlak diperlukan untuk mengidentifikasikan penguatan terbaik.  Seringkali stimulus yang memancing perilaku penyesuaian buruk memberikan petunjuk yang baik untuk penguatan terbaik.
Kita mencatat sebelumnya bahwa untuk dibuatnya respon, maka harus diikuti oleh penguatan.  Namun, penguatan dapat disampaikan pada beberapa dasar. Tergantung pada tujuan beberapa skedul penguatan lebih bermanfaat dibandingkan yang lainnya. Penguatan berlanjut adalah aplikasi penguatan setelah setiap respon yang diinginkan. Walaupun seringkali tidak nyaman, penguatan berlanjut adalah cara tercepat untuk membuat perilaku baru dan sangat berguna dalam fase-fase belajar awal. Penguatan berselang-seling, yaitu terjadi secara reliabel dalam hubungannya dengan respon yang diinginkan baik setelah periode waktu (skedul interval) atau setelah sejumlah respon yang diinginkan (skedul rasio).  Kedua jenis skedul berselang ini dapat ditetapkan atau berubah-ubah.
Manajemen kontingensi, yang digunakan baik sebagai dasar untuk mengatur lingkungan belajar atau merubah perilaku orang-orang, umumnya terdiri dari prosedur-prosedur yang sama: (1) menspesifikasikan kinerja akhir; (2) menilai perilaku awal (membangun baseline); (3) merumuskan program manajemen kontingensi; (4) melembagakan program; dan (5) mengevaluasi program.
Fase satu, yaitu menspesifikasikan kinerja akhir, mengharuskan pengenalan umum bahwa suatu perilaku perlu dirubah atau dicapai.   Perilaku dapat melibatkan kebiasaan atau tindakan deskriptif atau penyesuaian buruk, atau perolehan skill-skill dan pengetahuan tertentu.  Namun, sebelum program manajemen kontingensi dapat dikembangkan maka penting untuk (1) menspesifikasikan secara tepat perilaku yang dapat dirubah dan respon-respon untuk didorong; dan (2) mengembangkan prosedur untuk mengukur perilaku. 
Fase dua, yaitu asesmen sesungguhnya terhadap perilaku awal, muncul setelah  perilaku sasaran diidentifikasikan dan didefinisikan serta rencana-rencana awal untuk mengukurnya telah dikembangkan.  Terkadang fase ini disebut dengan membangun baseline. Ini adalah fase untuk mencatat frekuensi perilaku; dalam kasus perilaku penyesuaian buruk, tujuannya adalah untuk menegaskan diagnosa awal dan memberikan informasi mengenai pemeliharaan kondisi dan stimulus. 
Data baseline itu berguna karena membantu menentukan dimanakah untuk memulai instruksi dan tingkat kemajuan atau efektifitas program kontingensi.  Ketika perilaku telah dicatat, maka paling baik untuk menggambarnya pada grafik (lihat Gbr.19-1).
Fase ketiga adalah merumuskan program manajemen kontingensi untuk perilaku tertentu.  Ini termasuk (1) mengatur situasi; (2) memilih pendorong; dan (3) rencana-rencana pembentuk perilaku.  Dalam kelas, perhatian harus diberikan pada lingkungan fisik, materi-materi pembelajaran, dan bagian-bagian interaktif, semuanya dapat memfasilitasi perolehan respon. 
Fase keempat adalah melembagakan program manajemen kontingensi.  Ini termasuk mengatur lingkungan, membuat pengumuman kontingensi, dan mendorong respon konseli berdasarkan skedul penguatan dan membentuk program yang telah dipilih.
Sebuah teknik yang terkadang digunakan secara cukup efektif, terutama dalam kelas, disebut dengan time-out.  Secara teknis ini melibatkan penarikan diri dari semua konsekuensi yang menguatkan, biasanya dengan menyuruh individu bergerak ke suatu tempat tanpa objek atau orang-orang.  Terkadang konseli akan meminta konseli lainnya untuk meninggalkan kelompok hingga mereka merasa bahwa mereka siap untuk kembali.  Mengabaikan perilaku mengganggu atau mengambil penguatan materi juga membentuk time-out. 
Fase terakhir dalam manajemen kontingensi adalah mengevaluasi program.  Kebanyakan ahli perilaku menganggap ini sebagai fase untuk memvalidasikan keberhasilan program. Seringkali evaluasi ini dimasukan kedalam program, misalnya ketika orang-orang secara jelas tidak merasa takut terhadap situasi-situasi yang sebelumnya membuat mereka takut atau ketika konseli telah mempertahankan tingkat tinggi kemajuan dan level kinerja dalam program matematika yang memiliki ukuran-ukuran evaluasi yang sering.  Salah satu ciri dari lingkungan analisa perilaku adalah penyusunan dan kesadaran akan evaluasi. Tentu saja, evaluasi difasilitasi dengan menspesifikasikan perilaku-perilaku yang diinginkan dalam istilah-istilah pasti dan dengan membuat atau mengidentifikasikan prosedur pengukuran.

Referensi :

Abe. (2009). Perkembangan Teori-Teori Tentang Organisasi Dan Manajemen. Pada 27 November 2010, pukul 19:00 wib [Online] tersedia di : http://abe-rabbit.blogspot.com/2009/08/perkembangan-teori-teori-tentang.html
Joyce, B. & Weil, M. (1978). Model of Teaching. Englewood Cliffs, N.J. Prentic Hall.

Mark K. Smith. (2001). Kurt Lewin: Groups, Experiential Learning And Action Research [Online] tersedia di : http://www.infed.org/thinkers/et-lewin.htm

 Prayudi, Yusuf Yudi. (2007). Gaya Belajar Individu. Pada 27 November 2010, pukul 19:43 wib [Online] Tersedia di:  http://prayudi.wordpress.com/2007/11/27/gaya-belajar-individu/

Sobur, Alex. (2003). Psikologi Umum. Bandung: Pustaka Setia.

Supriyadi, Acep.____. Model Kepemimpinan Kontingensi. Pada 27 November 2010, pukul 19:43 wib [Online] Tersedia di: http://permatabr.blogspot.com/

Syah, Muhibbin. (2007). Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung: PT. REMAJA ROSDAKARYA.
Syamsuddin, Abin. (2005). Psikologi Kependidikan. Bandung: PT. REMAJA ROSDAKARYA.
Yusuf, Syamsu. dan Nurihsan, Juntika. (2008). Teori Kepribadian. Bandung: PT. REMAJA ROSDAKARYA.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Penguatan Integrasi Pendidikan

PENGUATAN INTEGRASI PENDIDIKAN DALAM ERA DISUPSI Oleh :  Asep Rohiman Lesmana, M.Pd. Pendidikan merupakan suatu entitas yang s...