Contingency
Management : Recognizing
Cause & Effect
Pendahuluan
Model
pengajaran manajemen kontingensi ini termasuk ke dalam rumpun behaviorisme, dimana dalam model ini
dijelaskan bahwa konselor lebih memperhatikan kecenderungan-kecenderunagn
respon yang dapat diamati, yaitu berupa perilaku seketika yang terjadi setelah
diberikan penguatan (kontingen). Maka manajemen kontingensi adalah
kontrol sistematis dari stimulus yang menguatkan ketika diberikan pada
waktu-waktu yang dipilih dan hanya setelah respon yang diinginkan telah
diberikan. Model Manajemen Kontingensi memiliki empat
kategori konsekuensi yang dapat mempengaruhi perilaku dalam manajemen
kontingensi, yaitu penguatan positif, penguatan negatif, kepunahan, dan
hukuman. Manajemen
kontingensi memiliki banyak kegunaan, termasuk mengurangi perilaku-perilaku
yang tidak diinginkan seperti yang berhubungan dengan hiperdependensi, agresi,
kepasifan, depresi, penarikan diri, dan aktivitas-aktivitas penolakan pada
tugas. Manajemen kontingensi mungkin dengan baik digunakan untuk mengurangi
penyesuaian perilaku-perilaku buruk, dan model-model perilaku lainnya digunakan
untuk mengembangkan keterampilan-keterampilan baru. Model ini juga bernilai
dalam mengembangkan perilaku-perilaku baru, seperti keterampilan-keterampilan
akademik, sosial, dan manajemen diri, dan merupakan alat yang bernilai untuk
merubah respon-respon emosional, seperti mengurangi rasa takut atau
menghilangkan kecemasan. Akhirnya, manajemen kontingensi cukup efektif untuk
memperkuat dan mempertahankan perilaku-perilaku yang ada. Model manajemen
kontingensi ini juga didukung oleh teori Pembiasaan Klasikal Pavlov,
Pengkondisian Operan: Skinner, Teori Belajar Sosial: Bandura, dan melalui
eksperimen trial and error learning
yang ditemukan oleh Thorndike. Semua tokoh tersebut termasuk dalam rumpun behaviorism, sebab tujuan akhir dari
beberapa program manajemen kontingensi adalah kemampuan mentransfer
perilaku-perilaku kepada situasi-situasi baru yang sama.
Pembahasan
A.
Orientasi
Model
1.
Tujuan dan
Asumsi
Tujuan akhir dari beberapa program
manajemen kontingensi adalah kemampuan mentransfer perilaku-perilaku kepada
situasi-situasi baru yang sama. Hal yang tidak tersirat dalam tujuan ini adalah
kemampuan bertahan, perilaku-perilaku penyesuaian baru akan menjadi intrinsik
dan berada di bawah kontrol diri individu dan pemantauan terhadap diri sendiri.
Manajemen kontingensi memiliki banyak
kegunaan, termasuk mengurangi perilaku-perilaku yang tidak diinginkan seperti
yang berhubungan dengan hiperdependensi, agresi, kepasifan, depresi, penarikan
diri, dan aktivitas-aktivitas penolakan pada tugas. Perilaku-perilaku tersebut
perlu ditiadakan dari konsekuensi pendorongnya, sebab seringkali orang-orang
perlu mengganti cara-cara berperilaku yang lebih adaptif. Manajemen kontingensi
mungkin dengan baik digunakan untuk mengurangi penyesuaian perilaku-perilaku
buruk, dan model-model perilaku lainnya digunakan untuk mengembangkan
keterampilan-keterampilan baru. Model ini juga bernilai dalam mengembangkan
perilaku-perilaku baru, seperti keterampilan-keterampilan akademik, sosial, dan
manajemen diri, dan merupakan alat yang bernilai untuk merubah respon-respon
emosional, seperti mengurangi rasa takut atau menghilangkan kecemasan.
Akhirnya, manajemen kontingensi cukup efektif untuk memperkuat dan
mempertahankan perilaku-perilaku yang ada.
2.
Konsep-Konsep
Para ahli teori perilaku menganggap perilaku manusia sebagai suatu fungsi
dari lingkungan langsung, khususnya, stimulus yang memancing dan stimulus yang
menguatkan.
Ciri pentingnya adalah hubungan antara respon dan stimulus yang menguatkan.
Jika penguatan diberikan seketika dan hanya ketika respon muncul, maka kita
mengatakannya sebagai kontingen. Maka manajemen kontingensi adalah
kontrol sistematis dari stimulus yang menguatkan ketika diberikan pada
waktu-waktu yang dipilih dan hanya setelah respon yang diinginkan telah
diberikan. Orang-orang yang membuat program-program manajemen kontingensi
harus menyadari respon-respon yang diinginkan dan juga respon-respon yang tak
diinginkan.
Mereka juga harus mempertimbangkan stimulus yang
memancing, secara cermat mengamati apakah yang memicu respon-respon adaptasi
buruk.
Seringkali lingkungan dapat diatur sehingga
petunjuk-petunjuk yang tak diinginkan diminimalkan, dan petunjuk-petunjuk yang
memfasilitasi perilaku-perilaku yang diinginkan ditingkatkan.
Manajemen
kontingensi berdasarkan pada prinsip operant
dimana perilaku dipengaruhi oleh konsekuensi-konsekuensi yang mengikuti. Agar hubungan operant atau
kontingen dibangun, konsekuensi yang menguatkan harus mengikuti. Jika perilaku tidak didorong, maka menjadi hilang. Maka penguatan adalah konsekuensi yang meningkatkan kesempatan
respon tertentu. Respon-respon yang
diinginkan dapat diperkuat melalui penguatan positif dan negatif. Penguatan bersifat positif jika penambahannya pada lingkungan, seperti
senyum atau pelukan menghasilkan respon-respon adaptif. Penguatan bersifat negatif jika peniadaannya dari situasi setelah respon
menghasilkan perilaku yang diinginkan. Berteriak
dan mengancam adalah contoh dari
penguatan negatif.
Ada beberapa jenis penguatan yang
memasukan sosial, materi dan aktivitas. Banyak penguatan-penguatan tersebut
muncul secara natural dalam lingkungan, walaupun tidak secara sistematis dan
seringkali untuk perilaku yang tidak diinginkan. Kebanyakan peristiwa yang
menguatkan bersifat sosial, seperti senyuman, pelukan, pujian, perhatian, atau
kontak fisik. Penguatan-penguatan sosial bekerja terutama dengan baik terhadap
anak-anak kecil. Beberapa anak secara total tidak merespon terhadap stimulus
sosial, tetapi beberapa darinya lebih banyak merespon dibandingkan yang
lainnya. Penguatan-penguatan material dapat dikonsumsi, seperti permen dan
makanan-makanan lainnya, mainan, gambar atau musik. Tanda juga dapat diberikan
sebagai penguatan. Ini dapat ditukar untuk hadiah atau hak istimewa. Bintang emas adalah penguatan kelas klasik.
Tentu saja, uang selalu menjadi penguatan materi yang bernilai.
Kelompok penguatan terakhir disebut
dengan penguatan aktivitas. Pada tahun 1965, Premack membuat prinsip formal yang disebut dengan prinsip Premack. Pada dasarnya prinsip ini mengatakan bahwa
anda dapat membuat orang-orang untuk terlibat dalam satu aktivitas jika anda
menjanjikan mereka hak istimewa dari terlibat dalam aktivitas lainnya yang
lebih diinginkan ketika selesai. Para
guru menggunakan prinsip ini setiap saat ketika mereka memberikan konseli waktu
bebas setelah menyelesaikan kerja mereka.
Penguatan-penguatan aktivitas yang umum untuk anak-anak termasuk
membaca, istirahat, game, dan
menonton televisi.
Memilih penguatan yang tepat melibatkan beberapa pemikiran yang cermat
dan perhatian pada pilihan-pilihan individu. Pengamatan perilaku yang cermat adalah alat yang mutlak diperlukan untuk
mengidentifikasikan penguatan terbaik.Seringkali stimulus yang memancing perilaku penyesuaian buruk memberikan petunjuk yang baik untuk penguatan
terbaik.
Kita mencatat sebelumnya bahwa untuk dibuatnya respon, maka harus
diikuti oleh penguatan. Penguatan dapat disampaikan pada beberapa dasar, tergantung pada tujuan beberapa rencana penguatan lebih bermanfaat dibandingkan yang lainnya. Penguatan berlanjut adalah aplikasi
penguatan setelah setiap respon yang diinginkan, walaupun seringkali tidak nyaman, penguatan berlanjut adalah cara
tercepat untuk membuat perilaku baru
dan sangat berguna dalam fase-fase belajar awal. Penguatan berselang-seling,
yaitu terjadi secara reliabel dalam hubungannya dengan respon yang diinginkan
baik setelah periode waktu (skedul
interval) atau setelah sejumlah respon yang diinginkan (skedul rasio). Kedua jenis skedul berselang ini dapat
ditetapkan atau berubah-ubah.
B.
Model
Mengajar
1.
Sintaks
Sasaran dari fase satu adalah untuk
menentukan perilaku sasaran, yaitu hasil perilaku akhir yang diinginkan. Dua
aktivitas harus dicapai pada poin ini: (1) menspesifikasikan hasil perilaku
sesungguhnya dan (2) mengembangkan rencana-rencana untuk mengukur perilaku. Dua cara sederhana untuk mengukur dan
mencatat perilaku adalah contoh
perilaku dan sampel garis.
Sampel dari contoh perilaku dari Rimm
dan Masterr tampak pada tabel 19-1.
Tabel
19-1 Contoh Kemarahan Perilaku dan Tanggapan Parental untuk Kemarahan dalam waktu
lebih dari 7 Hari: Contoh Bagan Perilaku
HARI
|
HAL YANG
MUNCUL (TANTRUM)
|
JANGKA WAKTU (MENIT)
|
RESPON
|
||
1
|
1
|
4
|
Menghibur anak ketika ia
terpeleset dan memukul kepalanya sendiri selama menangis
|
||
2
|
1
1
|
5
6
|
Membujuk
anak untuk diam dengan bercerita, dan akhirnya memberikan kue agar anak dapat
menenangkan diri. Diabaikan sampai tidak tahan, memberikan kue.
|
||
3
|
1
2
3
|
5
6
8
|
Diabaikan
Diabaikan
Diabaikan
sampai anak mengambil kue sendiri.
|
||
4
|
1
|
4
|
Diabaikan;
anak berhenti secara spontan
|
||
5
|
1
2
|
4
5
|
Perusahaan ini;
memberikan anak kue agar tenang dan Diabaikan,
akhirnya menyerah
|
||
6
|
1
2
|
8
4
|
Diabaikan,
masuk ke kamar mandi, telah rokok, membaca majalah sampai anak tenang sendiri
Diabaikan,
sama seperti aku akan menyerah, anak berhenti
|
||
7
|
1
|
3
|
Diabaikan,
anak berhenti, mulai bermain
|
||
Sumber: David C. Rimm dan Master John C., Terapi
Perilaku: Teknik dan Temuan Empiris (New York: Academic Press, Inc, 1974), hal
170.
Cara lain untuk mencatat adalah mengamati konseli sekali
setiap sepuluh menit dan mencatat adanya perilaku sasaran. Modifikasi pada
sampel waktu mungkin termasuk mencatat aktivitas selama periode waktu dan
mencatat jumlah kejadian perilaku dalam segmen waktu tertentu. Pilihan skema
pengukuran tergantung pada perilaku untuk diamati dan pertimbangan praktis
lainnya. Ketika keputusan-keputusan mengenai perilaku sasaran dan pengukuran
telah dibuat, guru dapat berproses dengan asesmen sesungguhnya (fase dua). Pencatatan frekuensi perilaku menciptakan baseline untuk perbandingan selanjutnya
setelah institusi dari program manajemen kontingensi. Ini dapat juga
memberikan informasi tambahan mengenai sifat dan konteks perilaku.
Fase tiga
memasukan langkah-langkah perencanaan akhir dalam merumuskan program. Ini
adalah (1) menyusun situasi (atau lingkungan); (2) memilih penguatan dan jadwal
penguatan; dan (3) memfinalisasikan rencana-rencana pembentuk
perilaku, yaitu apa yang akan terjadi seketika.
Setelah tiga fase pertama telah
selesai, program manajemen kontingensi dapat dilembagakan (fase empat). Ini termasuk benar-benar
mengatur lingkungan, menginformasikan konseli, dan mempertahankan dorongan dan
membentuk skedul.
Fase akhir (lima)
adalah mengevaluasi program. Ini
termasuk sekali lagi mengukur respon yang diinginkan. Ini termasuk sekali lagi
mengukur respon yang diinginkan. Beberapa orang melembagakan kondisi-kondisi
pendorongan lama untuk melihat apakah perilaku awal itu kembali kemudian kembali ke program kontingensi.
Ringkasan sintaks dikemukakan pada tabel 19-2.
Tabel 19-2. Sintaks dari Model Manajemen Kontingensi
FASE
SATU:
MENSPESIFIKASIKAN
KINERJA AKHIR
|
FASE DUA:
MENILAI PERILAKU
|
-
Mengidentifikasikan
dan mendefinisikan perilaku sasaran.
-
Menspesifikasikan
hasil perilaku yang diinginkan.
-
Mengembangkan
rencana-rencana untuk mengukur dan mencatat perilaku.
|
Mengamati, mencatat frekuensi
perilaku dan jika perlu, sifat dan konteks perilaku.
|
FASE TIGA:
MERUMUSKAN KONTINGENSI
|
FASE EMPAT:
MELEMBAGAKAN PROGRAM
|
-
Membuat
keputusan-keputusan dalam mengatur lingkungan.
-
Memilih penguatan dan jadwal
penguatan.
-
Memfinalisasikan rencana-rencana
pembentukkan perilaku.
|
-
Mengatur
lingkungan.
-
Menginformasikan pada konseli.
-
Memelihara penguatan dan jadwal pembentukan
perilaku.
|
FASE LIMA:
MENGEVALUASI PROGRAM
-
Mengukur respon yang
diinginkan
-
Melembagakan kembali kondisi awal,
ukuran dan kembali ke program
kontingensi (pilihan).
|
2.
Sistem Sosial
Sistem sosial untuk perilaku tertentu
yang dipertimbangkan sangat terstruktur, dengan guru mengontrol sistem ganjaran
dan lingkungan. Terkadang aspek-aspek sistem sosial dapat dinegosiasikan,
terutama ketika model bergerak terhadap manajemen kontingensi untuk kontrol
diri. Dalam beberapa hal, pendorong, dan
terkadang skedul penguatan, mungkin dinegosiasikan dengan konseli.
3.
Prinsip-Prinsip
Reaksi
Prinsip-prinsip
untuk bereaksi terhadap konseli berdasarkan pada prinsip-prinsip pengondisian
operant dan manajemen kontingensi tertentu yang telah dikembangkan. Secara umum, perilaku-perilaku yang tidak tepat diabaikan, dan
perilaku-perilaku yang tepat secara positif didorong. Jika perlu, time-out mungkin digunakan.
4.
Sistem
Pendukung
Kebutuhan-kebutuhan
bervariasi dengan jenis program manajemen kontingensi. Program perilaku individu yang sederhana mungkin tidak membutuhkan beberapa
dukungan khusus, atau mungkin membutuhkan pendorong-pendorong material, dan
pengaturan kembali skedul atau aktivitas.
Penggunaan-penggunaan instruksional terprogram membutuhkan materi yang
ditahapkan secara cermat dan kemungkinan lingkungan belajar terindividu. Orang yang mengembangkan
program ini perlu merencanakan dengan cermat dan harus menjadi sabar dan
konsisten.
5.
Dampak
Instruksional dan Penyerta
Manajemen kontingensi sangatlah banyak
kegunaannya dan dapat diarahkan terhadap tujuan-tujuan
dalam setiap domain dan digunakan oleh para guru untuk menuntun pengembangan
materi instruksional (lihat gbr.19-2).
Gbr.19.2. Dampak instruksional dan penyerta: Model Manajemen Kontingensi
![]() |
6.
Aplikasi
Manajemen
kontingensi menemukan aplikasi-aplikasi pendidikan dalam bentuk program
pengajaran, program-program modifikasi individu, dan desain
lingkungan. Tentu saja aplikasi yang paling umum adalah penggunaan informal
dari prinsip-prinsip penguatan untuk manajemen kelas. Deskripsi beberapa aplikasi manajemen kontingensi kelas yaitu sebagai
berikut:
- Desain Lingkungan dan Manajemen Perilaku
Michael Orme dan
Richard Purnell, secara sukses menggunakan prosedur-prosedur manajemen
kontingensi untuk memodifikasi perilaku diluar kontrol dari delapan belas
konseli di kelas tiga dan empat. Mereka
menggambarkan perilaku konseli sebelum manajemen prosedur kontingensi sebagai
berikut:
Perilaku konseli dalam kelas kebanyakan adalah impulsif, agresif dan merusak. Baik Guru 1 ataupun Guru 2 tidak dapat
mencegah konseli perilaku konseli yang merobek kertas temannya, melempar buku,
berteriak dan bernyanyi-nyanyi. Perilaku
konseli yang agresif menjadi pusat pertimbangan. Dalam periode dua puluh menit, Guru 2
mencatat tindakan-tindakan agresif dalam kelas. Dia menemukan bahwa sementara
tidak semua anak telah bertindak sebagai agresor, setiap anak dalam ruangan
telah saling bertubrukan sebanyak satu atau dua kali selama periode tersebut. Akhirnya, guru-guru tidak dapat menghentikan konseli berlari keluar kelas,
masuk ke kelas lainnya atau keluar
sekolah.
Dua sasaran dari program mereka adalah untuk mengurangi perilaku agresif,
dengan menggantikan respon-respon yang lebih dapat diterima, dan meningkatkan
persentase waktu yang dihabiskan konseli pada tugas-tugas yang berhubungan
dengan pendidikan. Untuk mencapai sasaran-sasaran ini,
para peneliti ingin melembagakan “kontrol lingkungan keseluruhan” yaitu
menggunakan teknik-teknik mengajar yang memanipulasi banyak aspek dari kondisi
stimulus dan peristiwa-peristiwa yang menguatkan. Sifat-sifat stimulus yang mereka identifikasikan termasuk kondisi-kondisi
disekitar ruangan, kurikulum, dan perilaku verbal dan nonverbal guru. Program penguatan termasuk respon-respon verbal dan nonverbal guru terhadap
perilaku konseli dan juga sistem penguatan berwujud (menggunakan tanda) yang secara khusus
didesain yang diterjemahkan kedalam prosedur-prosedur instruksional.
Sifat-Sifat Stimulus
1)
Kondisi-Kondisi
Sekitarnya:
Perubahan-perubahan
fisik dalam ruangan dibuat untuk (1) mendorong gerakan guru, (2) memfasilitasi
kontrol guru, dan (3) mengurangi stimulasi yang tak berhubungan.
2)
Perilaku Verbal dan
Non-Verbal Guru:
Guru mengenal
penentu-penentu stimulus perhatian dan diajarkan variasi teknik-teknik verbal
dan non-verbal yang didesain untuk memancing perhatian dan rasa ingin tahu,
perilaku-perilaku yang diinginkan yang kemudian dapat dikuatkan. Beberapa contoh dari teknik ini adalah: menyajikan isi sebagai masalah
daripada pernyataan, dengan cepat merubah fokus kelas, mendorong debat,
pola-pola nonverbal seperti diam atau pola-pola gerakan menentukan.
3)
Kurikulum:
Guru memilih isi dengan mata untuk
potensi “kontrolnya”. Misalnya, membaca choral
dan drama digunakan untuk mengajarkan sastra Inggris. Ini mengharuskan level tinggi perilaku verbal
koperatif oleh konseli dan pemberian kesempatan untuk penguatan guru.
Sistem Penguatan
1)
Penguatan Tanda:
Penulis
memberikan deskripsi sebagai berikut dari studi sistem penguatan. Masalah-masalah tidak biasanya mengharuskan
solusi tidak biasa. Sistem penguatan tanda bukanlah gagasan baru, namun
dianggap tidak biasa oleh mayoritas pendidik. Seperti sistem lainnya, sistem
dalam studi ini dibuat dalam cara dimana konseli dapat “memperoleh” poin-poin
dengan memperlihatkan perilaku-perilaku tertentu. Poin atau tanda kemudian
dapat diperoleh untuk membeli penguatan-penguatan pendukung yang disukai dari
“toko”. Oleh karena itu, penguatan-penguatan berwujud dimanipulasi dalam cara
dimana respon anak-anak menjadi tergantung pada perilaku mereka sebelumnya.
Sistem tanda yang digambarkan disini berbeda dari yang dijabarkan dalam
literatur sebelumnya dimana para konseli berbagi secara aktif dalam menentukan
penguatan-penguatan pendukung. Selain itu,
beragam item dari toko tersedia diluar barang-barang yang dapat dikonsumsi dan
dimanipulasi untuk memasukan penguatan-penguatan yang relevan secara
pendidikan.
Selain beberapa jenis permen, permen
karet, balon, kartu baseball, dll, toko juga memasukan item-item seperti:
komik, novel yang dipilih dan teka-teki matematika, kesempatan untuk menulis
puisi, “percakapan” dengan komputer.
2) Penguatan
Verbal dan Non-Verbal Guru;
Guru diberikan pelatihan dalam (1)
membedakan perilaku-perilaku konseli yang akan diperkuat (perilaku tugas, diam,
mengacungkan tangan, kerjasama antar konseli); (2) memberikan gerik isyarat
positif dan negatif verbal dan nonverbal, guru merubah penguatan posisi; (3)
memanipulasi skedul-skedul penguatan.
Hasil-hasil dari manajemen kontingensi
sangatlah mendorong. Perilaku menganggu yang ada sebelum prosedur-prosedur
pembentukan perilaku dilembagakan secara virtual hilang, dan konseli yang
menghabiskan waktu pada tugas-tugas yang berhubungan dengan pendidikan
meningkat dari 50 persen menjadi 80 persen.
- Program Pengajaran
Program
pengajaran adalah aplikasi paling langsung dari tulisan B.F.Skinner. Instruksi ini memberikan kontrol stimulus
yang sangat sistematis dan penguatan cepat. Walaupun format program pengajaran dari Skinner telah mengalami banyak
transformasi, kebanyakan adaptasi mempertahankan tiga ciri penting: (1)
rangkaian item yang berurutan, baik pertanyaan atau pernyataan dimana konseli
diminta untuk meresponnya; (2) respon konseli, yang mungkin dalam bentuk
mengisi jawaban, atau memecahkan masalah; dan (3) ketentuan untuk konfirmasi
respon cepat, terkadang dalam kerangka program itu sendiri tetapi biasanya
dalam lokasi yang berbeda, seperti pada halaman selanjutnya dalam textbook terprogram.
Penelitian
baru-baru ini mengenai program pengajaran memperlihatkan bahwa banyak
penyimpangan dari esensi-esensi ini dapat dibuat dengan tidak adanya perbedaan
signifikan dalam banyaknya pembelajaran yang terjadi. Ceramah terprogram dengan tidak adanya respon
terang-terangan dari konseli adalah salah satu contohnya.
Program
pengajaran telah berhasil digunakan dengan beragam materi, seperti bahasa
Inggris, matematika, statistik, geografi dan sain. Program pengajaran telah digunakan pada
setiap level sekolah dari pra-sekolah hingga perguruan
tinggi. Teknik-teknik instruksional
terprogram telah diterapkan pada beragam perilaku. Pembentukan konsep, pembelajaran hapalan,
kreatifitas, dan pemecahan masalah semuanya telah menjadi subjek program. Beberapa program bahkan telah diajarkan
dengan discovery.
Program pengajaran berbeda dari buku-buku kerja tradisional yang telah digunakan oleh para
guru kelas selama bertahun-tahun. Penekanan buku-buku
kerja adalah pada praktek (pemeliharaan respon) daripada
perolehan perilaku melalui materi yang ditahapkan secara cermat. Buku kerja memberikan “bingkai” tanpa akhir
dari materi review. Secara jelas, review sedikit bernilai kecuali jika perilaku pertama berhasil;
buku kerja tradisional tidak didesain untuk melakukan hal ini. Kedua, efek penguatan dari review berlanjut mengalami pengembalian
yang berkurang; konseli hanya melewati materi yang telah dikuasai.
C.
Skenario
dalam Setting
John adalah
seorang konseli kelas dua yang cerdas, verbal yang kemungkinan sangat
hiperaktif.
Dia terkenal di kalangan teman-teman sekelasnya dan
menghibur mereka dengan cerita-cerita yang tak pernah berhenti, beberapa
darinya sungguhan dan beberapa lagi dibesar-besarkan. John sangat baik dalam studi-studinya: dia adalah pembaca yang baik tetapi
memiliki kesulitan dengan matematika. Selama beberapa bulan yang lalu Jean Meades, guru John, telah berjuang
untuk mendorong John tetap mengerjakan tugas sekolah. John selalu berjalan-jalan mengitari ruangan atau pergi ke akuarium atau
kandang marmut. Lebih sering, dia
menggganggu konseli lainnya.
Masalahnya adalah
ketika John menghadapi soal matematika, dia tidak mengerti dan berteriak keras:
“Saya tidak mengerti,” atau “Ini tidak masuk akal.” Kemudian dia memanggil Jean, “Bu Meades, Saya
tidak dapat mengerjakannya.” Jean ingin John membuat
lebih banyak usaha untuk mengerjakan soal matematika lebih lama sebelum dia
mencari bantuan.
Walaupun John meminta bantuan sepanjang keseluruhan hari, Jean memutuskan untuk
berkonsentrasi pada situasi matematika.
Selama pelajaran matematika, konseli
dikelompokan berdasarkan kemampuan mereka.
Setiap anak memiliki lembar kerja mereka. Secara umum anak-anak bekerja sendirian lebih
atau kurang dengan langkah mereka sendiri.
Beberapa kali setiap minggunya, Bu Meades atau asistennya mengajar
kelompok dalam konsep atau prinsip baru. Ketika konseli telah menyelesaikan
segmen-segmen yang ditunjukan, kerja mereka diperiksa.
Selama beberapa hari, Bu Meades
memberikan perhatian kepada perilaku John selama pelajaran matematika. Dia
mengamati bahwa rata-rata dia memanggil atau mendatanginya atau asistennya
sekitar sepuluh kali selama periode tugas empat puluh menit. Dia menghabiskan
sekitar sepuluh menit untuk kerja sesungguhnya yang dilakukannya sendiri.
Mengetahui bahwa John membutuhkan dan menginginkan banyak penguatan dari orang
dewasa, maka Jean membuat perjanjian dengannya.
Dia menjelaskan pengamatannya terhadap
John dan mengatakan bahwa dia ingin menjalankan sebuah sistem baru. Dia meminta
John untuk mencoba sedikitnya tiga soal sebelum meminta bantuan. Ketika dia
membutuhkan bantuan dia harus mengacungkan tangannya, dan baik Jean atau
asistennya akan datang sesegera mungkin. Untuk sementara waktu, John dapat
mengerjakan gambar (dia sangat bagus dalam menggambar dan sangat senang
mencoret-coret). Setiap saat John mengikuti
prosedur,
maka dia memperoleh sebuah poin. Jika dia benar-benar
menyelesaikan tiga soal dengan benar, maka dia memperoleh dua poin. Pada akhir minggu, poin-poin John
dijumlahkan. Melalui ketergantungan pada jumlah yang diakumulasikan, John dapat
memilih sendiri aktivitas. Pada awalnya, Jean menekankan bahwa John mengerjakan
matematika hanya untuk bagian dari periode matematika, atau pada sembilan soal.
Seiring waktu, Jean menyesuaikan skedul ganjaran untuk meningkatkan waktu kerja
dan penyelesaiannya.
Sebelum memulai program, Jean bekerja
dengan John mengenai bagaimana untuk mendekati masalah yang tidak familiar. Dia
memberikannya rangkaian tiga langkah umum yang diikuti untuk beberapa soal
matematika. Salah satu kesulitan John adalah bahwa dia melihat pada soal, tidak
mengerti dengan pikiran kosong dan menyerah. Jean mencoba untuk meningkatkan
kapasitasnya untuk berpikir reflektif dengan memberikannya sebuah pendekatan
pemecahan masalah umum.
Setiap langkah dalam tahapan memiliki
balok bernomor berwarna yang berhubungan. Untuk sementara, John menggunakan ini
untuk mengingatkannya melakukan langkah-langkah tersebut. Dia memulai dengan
balok pada sisi kanannya, dan ketika dia mengambil setiap langkah, dia
menggerakan balok ke sebelah kiri. Aktivitas manipulasi membantu mengurangi
kecemasan yang dihasilkan oleh “pikiran kosong”; aktivitas ini secara literal
mengambil pikirannya dari perasaannya dan masuk kedalam matematika dan tangannya.
Jean melakukan
satu hal lagi. Dia memastikan bahwa pertama-tama baik dia dan asistennya
seringkali melewati meja John untuk mendorongnya mengerjakan soal dan mengecek
kerjanya tanpa diminta oleh John.
Program manajemen
kontingensi dilembagakan. Membutuhkan beberapa hari bagi John untuk mengikuti
prosedur-prosedur yang disepakati, tetapi Jean dan asistennya sangat konsisten
untuk mengingatkan aturan-aturan kepadanya. Setelah beberapa saat,
hal-hal yang mengganggu menjadi semakin berkurang. Kemampuan John untuk mencoba soal
dan terus mengerjakannya meningkat dengan tajam, dengan melihat pada kenyataan bahwa dalam beberapa minggu, jumlah soal yang
dikerjakan sebelum John membutuhkan bantuan bertambah
menjadi lima.
Hari-hari berikutnya ketika John membutuhkan bantuan dia tidak begitu putus asa. Dia dapat
memberitahukan Jean langkah-langkah yang diikutinya, apakah yang telah
diketahuinya dan dimanakah dia menemukan jalan buntu. Jean juga memperhatikan bahwa rentang perhatian
John dan kemampuannya untuk duduk dengan tenang tanpa berbicara dipertahankan
dalam aktivitas-aktivitas lainnya, bukan hanya dalam pelajaran matematika.
Jean memperingkatkan orangtua John atas rencana tersebut sehingga pada
akhir minggu, dia akan melaporkan hitungan poin dan penghargaan kepadanya. Program ini memberikan orangtua
John cara yang bagus untuk mengikuti kemajuannya dan berbicara kepadanya
mengenai kegiatan sekolah.
Manajemen kontingensi, yang telah digunakan dalam latar belakang pendidikan selain aplikasi-apliksi lain dari teori perilaku, dapat
ditemukan dalam konseptualisasi lingkungan kelas keseluruhan dan
program-program pendidikan, seperti Proyek Pendidikan Dasar Pittsburgh, yang
menekankan tugas-tugas pembelajaran analisa perilaku, program DISTAR Bereiter dan Englemann, dan kelas
Follow-Through analisa perilaku
Bushell.
contoh-contoh itu semua merupakan semua aspek lingkungan
belajar, seperti fisik, materi, interaktif direncanakan menyangkut
prinsip-prinsip perilaku.
Aplikasi lainnya
dari teori perilaku memfokuskan pada individu-individu tertentu dalam kelas dan
identifikasi serta perlakuan respon-respon ketidakmampuan menyesuaikan diri
tertentu.
Dalam contoh-contoh ini, manajemen kontingensi menekankan
penyesuaian program-programnya dengan individu-individu, dengan menempatkan
penekanan tertentu pada penguatan. Pembelajaran terprogram adalah aplikasi
ketiga dari teori perilaku dan menekankan kontrol dari stimulus belajar, yang
dengan cermat ditahapkan dalam langkah-langkah yang relatif kecil. Akhirnya, penggunaan manajemen kontingensi untuk kontrol diri adalah
penggunaan keempat dan semakin digunakan.
Kesimpulan
Setiap
individu adalah unik. Artinya setiap individu memiliki perbedaan antara yang
satu dengan yang lain. Perbedaan tersebut bermacam-macam, mulai dari perbedaan
fisik, pola berpikir dan cara-cara merespon atau mempelajari hal-hal baru.
Dalam hal belajar, masing-masing individu memiliki kelebihan dan kekurangan
dalam menyerap pelajaran yang diberikan. Oleh karena itu, dalam dunia
pendidikan dikenal berbagai metode untuk dapat memenuhi tuntutan perbedaan
individu tersebut. Para ahli teori perilaku menganggap perilaku manusia sebagai
suatu fungsi dari lingkungan langsung, khususnya, stimulus yang memancing dan
stimulus yang menguatkan. Ciri
pentingnya adalah hubungan antara respon dan stimulus yang menguatkan. Jika penguatan diberikan seketika dan hanya
ketika respon muncul, maka kita mengatakannya sebagai kontingen.
Manajemen
kontingensi adalah kontrol sistematis dari stimulus yang menguatkan ketika
diberikan pada waktu-waktu yang dipilih dan hanya setelah respon yang
diinginkan telah diberikan. Orang-orang yang membuat program-program manajemen
kontingensi harus menyadari respon-respon yang diinginkan dan juga
respon-respon yang tak diinginkan. Mereka juga harus mempertimbangkan stimulus
yang memancing, secara cermat mengamati apakah yang memicu respon-respon
adaptasi buruk. Seringkali lingkungan dapat diatur sehingga petunjuk-petunjuk
yang tidak diinginkan diminimalkan, dan petunjuk-petunjuk yang memfasilitasi
perilaku-perilaku yang diinginkan ditingkatkan. Pendekatan kontingensi
merupakan sebuah cara berfikir yang komparatif (berdasarkan perbandingan) baru
diantara teori-teori manajemen yang telah dikenal. Manajemen kontingensi berupaya
untuk melangkah ke luar dari prinsip-prinsip manajemen yang dapat diterapkan
dan menuju ke kondisi situasional. Salah seorang penulis manajemen kontingensi
yang bernama Fred Luthans menyatakan
“pendekatan-pendekatan tradisional dalam bidang manajemen, tidak salah atau
keliru, tetapi dewasa ini mereka tidak terlampau cocok. Terobosan baru terhadap
teori dan praktik manajemen dapat kita temukan pada pendekatan kontingensi.”
Apabila dirumuskan secara formal, pendekatan kontingensi merupakan suatu upaya
untuk menentukan melalui kegiatan riset, praktik dan teknik manajerial mana
yang paling cocok dan tepat dalam situasi-situasi tertentu. Maka menurut
pendekatan kontingensi situasi-situasi yang berbeda mengharuskan adanya reaksi
manajerial yang berbeda pula.
Beberapa
ilmuwan
manajemen tertarik pada pemikiran kontingensi hal itu karena merupakan sebuah
kompromis yang dapat dimanfaatkan antara pendekatan sistematik dan apa yang
dapat dinamakan perspektif situasional murni. Pendekatan sistematik kerapkali
dikritik orang karena pendekatan tersebut bersifat terlampau umum atau abstrak
walaupun pandangan situasional murni yang mengasumsi bahwa setiap situasi
kehidupan nyata memerlukan suatu pendekatan yang sangat berbeda telah
dinyatakan orang sebagai hal yang terlampau spesifik. Ada tiga macam pendekatan
kontingensi :
a. Perspektif
sistem terbuka. Perspektif sistem terbuka ini bersifat fundamental bagi
pandangan kontingensi.
b.
Orientasi riset
praktikel. Riset praktikel adalah apa yang akhirnya menyebabkan timbulnya manajemen
yang lebih efektif.
c. Suatu
pendekatan multivariate. Pemikiran
sistematik tertutup tradisional menyebabkan orang mencari hubungan kausal yang
saling berhadapan. Pendekatan tersebut dinamakan analisis bivariat,yaitu
analisis yang dilakukan untuk menganalisis hubungan dua variabel.
Dalam
pendekatan kontingensi konseli yang dihargai (atau, lebih jarang, dihukum)
untuk perilaku mereka umumnya, kepatuhan terhadap atau kegagalan untuk mematuhi
aturan program dan peraturan atau rencana pengobatan mereka. Anak-anak dengan
gangguan perilaku, sistem token sangat sukses tetapi tidak membantu anak-anak
mencapai fungsi normal kecuali dikombinasikan dengan program biaya respons
hukuman negatif. Sebagai suatu pendekatan untuk pengobatan, manajemen
kontingensi muncul dari terapi perilaku dan diterapkan dalam tradisi analisis
perilaku kesehatan mental. Oleh sebagian besar evaluasi, prosedur manajemen
kontingensi menghasilkan salah satu ukuran efek terbesar dari semua kesehatan
mental dan intervensi pendidikan.
Model pengajaran
manajemen kontingensi ini termasuk ke dalam rumpun behaviorisme, dimana dalam model ini dijelaskan bahwa konselor
lebih memperhatikan kecenderungan-kecenderunagn respon yang dapat diamati,
yaitu berupa perilaku seketika yang terjadi setelah diberikan penguatan
(kontingen). Teori behaviorisme ini tidak mempersoalkan baik atau jelek,
rasional atau emosional, behaviorisme hanya ingin mengetahui bagaimana
perilakunya dikendalikan oleh faktor-faktor lingkungan. Manusia akan berkembang
berdasarkan stimulus yang diterimanya dari lingkungan sekitarnya (Sobur, Alex:
2003). Beberapa tokoh dalam teori behavorisme yang secara tidak langsung
mendukung model pengajaran manajemen kontingensi yaitu diantaranya sebagai
berikut:
1.
Pembiasaan
Klasikal: Pavlov
Pada tahun 1903
Ivan Pavlov memperkenalkan untuk pertama kalinya mengenai proses repondent conditioning, yaitu pembiasaan
klasikal (Classical Conditoning)
dalam tipe belajar yang menekankan stimulus netral yang memerlukan kapasitas
untuk merangsang respon secara orisinil oleh stimulus yang lain. Peran
pembiasaan klasikal dalam membentuk kepribadian dengan menggunakan model
pengajaran manajemen kontingensi adalah memberikan kontribusi terhadap
pembentukan respon-respon emosional, seperti rasa takut, cemas, atau phobia. Kontribusi
ini relatif kecil, namun sangat penting dalam pembentukan reaksi-reaksi
emosional yang maladaptif. Contoh:
seorang wanita usia tengah baya yang mengalama phobia akan jembatan (Bridge Phobia), yaitu merasa takut untuk
menyebrang di jembatan jalan layang, karena mempunyai pengalaman yang sangat
menakutkan pada waktu kecil (Syamsu, 2008). Contoh lain dalam skenario setting
yaitu, seorang siswa yang hiperaktif, namun cerdas menganggap pelajaran
matematika adalah pelajaran yang paling menakutkan, sehingga guru matematikanya
melakukan program pengajaran dengan membangun kontijensi manajemen pada siswa
tersebut hingga akhirnya siswa tersebut mampu mengerjakan soal matematika tanpa
bantuannya. Proses tersebut memerlukan jadwal penguatan yang terstruktur dalam
pengkondisian kelasnya.
2. Pengkondisian
Operan: Skinner
Pilihan
Skinner terhadap pendekatan behaviorisme mengarahkannya untuk menolak
kekuatan-kekuatan mental dan emosional. Menurut Burrhus Frederic Skinner (lahir
tahun 1904) dalam karya tulisnya yang berjudul About Behaviorism (diterbitkan tahun 1974) mengatakan bahwa tingkah
laku itu terbentuk dari konsekuensi-konsekuensi yang ditimbulkan oleh tingkah
laku itu sendiri. (Muhibbin Syah, 2007). Tipe tingkah laku yang dikemukakan
Skinner terbagi menjadi dua, yaitu responden dan operan. Tingkah laku responden
(respondent behavior) adalah respon
atau tingkah laku yang dibangkitkan atau dirangsang oleh stimulus tertentu.
Tingkah laku ini bergantung pada reinforcement dan secara langsung merespon stimulus
yang bersifat fisik. Sedangkan tingkah laku operan (operant behavior) adalah respon atau tingkah laku yang bersifat
spontan (sukarela) tanpa stimulus yang mendorongnya secara langsung, tingkah
laku ini ditentukan atau dimodifikasi oleh reinforcement
yang mengikutinya. Dalam hal ini Skinner merasa yakin bahwa tingkah laku
responden kurang begitu penting dibandingkan dengan tingkah laku operan.
Teori yang
dikembangkan Skinner terkenal dengan “Operant Conditioning”, yaitu bentuk
belajar yang menekankan respon-respon atau tingkah laku yang sukarela dikontrol
oleh konsekuen-konsekuennya. Skinner menyatakan bahwa “operant conditioning” lebih banyak membentuk tingkah laku manusia
daripada “classical conditioning”,
karena kebanyakan respon-respon manusia lebih bersifat disengaja daripada yang
reflektif. Skinner juga mengungkapkan bahwa organisme cenderung mengulangi
respon yang diikuti oleh konsekuen (dampak) yang menyenangkan, dan mereka
cenderung tidak mengulang respon yang berdampak netral atau tidak menyenangkan.
Menurut
Skinner “reinforcement” dapat terjadi
dalam dua cara, yaitu positif dan negatif. Penguatan yang positif terjadi
ketika respon diperkuat (muncul lebih sering) sebab diikuti oleh kehadiran
stimulus yang menyenangkan, penguatan positif disebut juga sebagai reward (penghargaan). Sementara reinforcement negatif terjadi ketika
respon diperkuat (sering dilakukan) karena diikuti oleh stimulus yang tidak
menyenangkan. Reinforcement ini memainkan peranan dalam perkembangan
kecenderungan-kecenderungan untuk menolak (menghindari). Pada umumnya orang
cenderung menghindari situasi yang kaku, atau masalah pribadi yang sulit, sifat
kepribadian ini berkembang, karena tingkah laku menghindari dapat melepaskan
diri dari kecemasan (Syamsu Yusuf, 2008).
Ekstingsi
dan hukuman dalam “operant conditioning”
pun tidak berlangsung lama (bersifat lemah dan bisa lenyap), sama halnya dengan
“classical conditioning”. Terjadinya
ekstingsi dimulai ketika respon-respon yang diperkuat mengakhiri dampak yang
positif. Seperti anak yang suka melucu akan menghentikan melucunya, apabila dia
tidak lagi mendapatkan apresiasi atau penghargaan dari teman-temannya. Beberapa
respon mungkin dapat diperlemah dengan hukuman. Menurut Skinner hukuman ini
terjadi ketika respon diperlemah (menurun frekuensinya dan bahkan menghilang),
karena diikuti oleh kehadiran stimulus yang tidak menyenangkan. Perbedaan
antara reinforcement negati dengan hukuman adalah bahwa respon dalam reinforcement negatif mengarah kepada
proses menghilangkannya sesuatu yang tidak menyenangkan, sehingga respon
tersebut diperkuat; sedangkan respon pada hukuman mengarah kepada hadirnya
sesuatu yang tidak menyenagkan, sehingga respon diperlemah, atau mengarah
kepada konsekuensi yang negatif.
3. Teori Belajar
Sosial: Bandura
Teori
belajar sosial Bandura tentang kepribadian didasarkan kepada formula bahwa
tingkah laku manusia merupakan hasil interaksi timbal balik yang terus menerus
antara faktor-faktor penentu: internal (kognisi, persepsi, dan faktor lainnya
yang mempengaruhi kegiatan manusia), dan eksternal (lingkungan). Proses ini
disebut “reciprocal determinism” yang
ditempatkan sebagai prinsip dasar untuk menganalisis fenomena psikososial dalam
berbagai tingkat yang kompleks, terentang dari perkembangan intrapersonal, tingkah laku interpersonal, fungsi interaksi
organisasi sampai ke sistem sosial. Interaksi antara faktor-faktor dalam proses
“reciprocal determinism” digambarkan
sebagai berikut.
|


E
= Environment (Faktor Eksternal)
|
|
![]() |
Bandura berpendapat bahwa manusia itu
aktif mencari informasi tentang lingkungannya, agar dapat memaksimalkan hasil
yang menyenagkan.
Belajar
melalui observasi terjadi ketika respon organisme dipengaruhi oleh hasil
observasinya terhadap orang lain, yang disebut sebagai model.. Bentuk belajar
ini emmerlukan perhatian (attention)
terhadap tingkah laku model yang diobservasi, sehingga dipahami
dampak-dampaknya, dan menyimpan informasi tentang tingkah laku model itu ke
dalam memori. Menurut teori belajar sosial, model itu memiliki dampak yang
besar terhadap perkembangan kepribadian. Anak-anak belajar untuk asertif,
percaya diri, atau mandiri melalui observasi kepada orang lain yang menampilakn
sikap-sikap seperti itu. Orang lain yang menjadi model adalah orang tua,
saudara, guru, atau teman.
Bandura
meyakini bahwa “self-efficacy”
merupakan elemen kepribadian yang krusial, sebab “self-efficacy” ini merupakan keyakinan diri (sikap percaya diri)
terhadap kemampuan sendiri untuk menampilakn tingkah laku yang akan
mengarahkannya kepada hasil yang diharapkan. Ketika “self-efficacy” tinggi, kita merasa percaya diri bahwa kita dapat
melakukan respon tertentu untuk memperoleh reinforcement.
Sebaliknya apabila rendah, maka kita merasa cemas bahwa kita tidak mampu
melakukan respon tersebut.
4. Teori Thorndike
Fenomena
tingkah laku belajar menurut Thorndike selalu melibatkan satisfaction/kepuasan, berbeda dengan Skinner yang menyebutkan
fenomena tersebut melibatkan reinforcement/penguatan.
Eksperimen yang dilakukan oleh Thorndike bernama trial and error learning.
Teori-teori
kontingensi berasumsi bahwa berbagai pola perilaku pemimpin dibutuhkan dalam
berbagai situasi bagi efektivitas kepemimpinan. ada dua gaya kepemimpinan : (a)
gaya konsideran (orientasi pegawai) dan (b) struktur (orientasi tugas). Pada
instrumental conditioning, hukum yang
cocok adalah hubungan kuantitatif yang memegang antara tingkat relatif respon
dan tingkat relatif bersamaan jadwal penguatan dalam penguatan. Ini berlaku
dapat diandalkan ketika subjek non-manusia dihadapkan pada interval variabel
bersamaan jadwal; penerapannya dalam situasi lain kurang jelas, tergantung pada
asumsi yang dibuat dan detail dari situasi eksperimental.
Gaya
kepemimpinan yang paling sesuai bergantung pada situasi di mana pemimpin
bekerja. Teori Fiedler menunjukkan bahwa keefektifan pemimpin ditentukan oleh
interaksi antara orientasi pegawai dengan tiga variabel yang berkaitan dengan
pengikut, tugas dan organisasi. Ketiga variabel itu adalah: a) hubungan antara
pemimpin dengan anggota (leader member
relations), b) struktur tugas (task structure), dan c) kuasa posisi
pemimpin (leader position power). Hal
perlu diperhatikan adalah bahwa untuk dapat mengembangkan gaya kepemimpinan
situasional ini, seseorang perlu memiliki tiga kemampuan khusus yakni: a) Kemampuan analitis
(analytical skills), b) Kemampuan untuk
fleksibel (flexibility/adaptability
skills), c)
Kemampuan berkomunikasi (communication
skills).
Model
kontingensi Path-Goal Theory,
berpendapat bahwa efektifitas pemimpin ditentukan oleh interaksi antara tingkah
laku pemimpin dengan karakteristik situasi (House, 1971). Menurut House,
tingkah laku pemimpin dapat dikelompokkan dalam empat kelompok: 1) Supportive Leadership, 2) Directive Leadership, 3) Participative Leadership, dan 4) Achievement-Oriented Leadership.
Teori-teori kontingensi berasumsi bahwa berbagai pola perilaku pemimpin (atau
ciri) dibutuhkan dalam berbagai situasi bagi efektivitas kepemimpinan. Teori Path-Goal tentang kepemimpinan meneliti
bagaimana empat aspek perilaku pemimpin mempengaruhi kepuasan serta motivasi
pengikut. Pada umumnya pemimpin memotivasi para pengikut dengan mempengaruhi
persepsi mereka tentang konsekuensi yang mungkin dari berbagai upaya. Bila para
pengikut percaya bahwa hasil-hasil dapat diperoleh dengan usaha yang serius dan
bahwa usaha yang demikian akan berhasil, maka kemungkinan akan melakukan usaha
tersebut. Aspek-aspek situasi seperti sifat tugas, lingkungan kerja dan
karakteristik pengikut menentukan tingkat keberhasilan dari jenis perilaku
kepemimpinan untuk memperbaiki kepuasan dan usaha para pengikut.
Manajemen
kontingensi didasarkan pada prinsip bahwa perilaku adalah fungsi dari
konsekuensi-konsekuensinya. Artinya, apa yang orang lakukan, bagaimana
mereka berperilaku adalah terkait dengan cara yang diprediksi untuk konsekuensi
dari perilaku mereka. Sebagai contoh, jika suatu tindakan diikuti oleh
konsekuensi yang positif (positif untuk orang tersebut), maka individu
cenderung mengulangi tindakan itu. Jika
suatu tindakan diikuti oleh konsekuensi negatif (negatif untuk orang tersebut),
maka individu tidak mungkin untuk mengulangi tindakan. Konsekuensi negatif
mencakup tidak ada respon (misalnya, seseorang tindakan diabaikan) dan
tanggapan menghukum.
Dari
perspektif ini, perilaku pengelolaan konseli dengan atau tanpa masalah perilaku
didiagnosis sebagian besar merupakan organisasi yang direncanakan dengan baik
dan pelaksanaan konsekuensi. Perilaku spesialis yang sangat mengandalkan
manajemen kontingensi tidak mengabaikan perilaku pendahulunya.
Namun
demikian, penekanan utama ditempatkan pada pengorganisasian konsekuensi dari
perilaku dengan tujuan mengubah perilaku konseli. Ada empat kategori
konsekuensi (kontingensi) yang dapat mempengaruhi perilaku. Positif dan negatif
penguatan meningkatkan kemungkinan perilaku yang berulang. Kepunahan dan
hukuman penurunan yang kemungkinan.
1.
Penguatan Positif
Penguatan
positif adalah tanggapan yang mengikuti perilaku dan memiliki efek meningkatkan
kemungkinan bahwa perilaku terjadi lagi dengan memberikan pengalaman positif
sebagai konsekuensinya.
Contoh:
a. Memberikan
makanan anak atau mainan untuk pekerjaan yang dilakukan dengan baik (dengan
asumsi bahwa makanan atau mainan yang diinginkan dalam konteks itu).
b.
Memberikan pujian
anak atau memeluk untuk pekerjaan yang dilakukan dengan baik (dengan asumsi
bahwa pujian atau memeluk diinginkan dalam konteks itu).
c. Memberikan
konseli nilai yang baik untuk kerja yang sangat baik (dengan asumsi konseli
ingin berhasil di sekolah).
Potensi Keuntungan.
Sesuai jadwal penguatan telah ditunjukkan untuk memfasilitasi akuisisi banyak
jenis perilaku dalam berbagai jenis orang. Membentuk perilaku dengan penguatan
untuk sukses daripada hukuman untuk kegagalan melibatkan risiko kurang dan
menciptakan lebih positif belajar umum dan lingkungan komunikasi.
Potensi Bahaya.
Ketika anak-anak menerima "pembayaran" untuk hampir setiap perilaku
positif, mereka dapat belajar untuk mengharapkan dan tumbuh tergantung pada pembayaran
tersebut, sehingga mengurangi kemungkinan terlibat dalam perilaku positif untuk
alasan lain (misalnya, karena perilaku positif yang secara intrinsik berharga,
karena rasa kewajiban).
Bila
penguatan TIDAK alami dan logis dalam kaitannya dengan perilaku (misalnya,
stiker atau "bicara Bagus, Johnnie" sebagai hadiah untuk menghasilkan
kalimat yang baik), maka mahasiswa mungkin gagal untuk menghubungkan perilaku
dengan alam dan logis konsekuensinya . Dan logis konsekuensi alami dari
pertanyaan dimengerti adalah jawaban, bukan stiker. Kegagalan generalisasi atau
sering juga transfer konsekuensi gabungan mengajar di luar konteks dan
menggunakan reinforcers yang tidak nyata-dunia, dan logis konsekuensi alam.
Ketika
konseli merasa bahwa penguatan bermakna atau kekanak-kanakan atau mereka objek
secara umum untuk dimanipulasi oleh sistem eksternal yang dipaksakan
konsekuensi hasil yang sebenarnya mungkin penguatan kebalikan dari hasil yang
diharapkan mereka.
2.
Penguatan Negatif
Penguatan
negatif adalah tanggapan yang mengikuti perilaku dan memiliki efek meningkatkan
kemungkinan bahwa perilaku terjadi lagi - dengan menghapus stimulus negatif.
Contoh:
a. Seorang
konseli menerima bantuan ketika ia meminta bantuan setelah berjuang dengan
masalah.
b. Seorang
konseli mengurangi kecemasan dan panik dengan meminta dan menerima perpanjangan
kertas.
Penguatan Non-contingent
mengacu pada pengalaman berharga yang tidak tergantung pada konseli terlibat
dalam setiap perilaku target. Misalnya, pujian, pelukan, hadiah, kegiatan
menyenangkan, dan sejenisnya ketika disajikan secara acak dan bukan sebagai
"pembayaran" dapat memiliki
efek untuk menciptakan positif budaya umum, memfasilitasi perasaan kepercayaan
dan kasih sayang, dan meningkatkan individu rasa percaya diri .
3.
Kepunahan
Kepunahan
terjadi ketika perilaku diikuti dengan tidak ada respon, yang mengurangi
kemungkinan perilaku terjadi lagi. Contoh:
a. Yohanes
mengganggu di kelas dan ditempatkan keluar ruangan waktu di mana ia tidak dapat
dihargai oleh yang lainnya.
b.
Seorang terapis
tidak memberikan respon terhadap konseli kesalahan tersebut.
c.
Seorang ibu yang
mengabaikan anak merengek meminta dia untuk permen di baris supermarket.
Potensi Keuntungan.
Mengabaikan perilaku yang tidak diinginkan dapat memiliki efek mengurangi
kemungkinan perilaku yang, dengan asumsi perilaku itu dimaksudkan (sadar atau
tidak sadar) berpengaruh pada orang lain. Ketika perilaku yang tidak diinginkan
tidak diabaikan, itu sering meningkat, terutama jika anak menerima perhatian
untuk perilaku yang tidak diinginkan dan tidak ada perhatian atas perilaku yang
diinginkan.
Potensi Bahaya.
Sering apa yang disebut "tidak
ada respon" sebenarnya adalah respon penguatan. Misalnya, "time-out
dari penguatan" sering disalah gunakan
dengan cara ini. Waktu habis, mungkin benar-benar menjadi penguatan negatif
(misalnya, menghapus anak disruptif dari kegiatan yang tidak diinginkan dari
yang dia inginkan untuk dihapus, seperti dalam suspensi sekolah) atau penguatan
positif (misalnya, memiliki anak menghabiskan waktu dengan pembantu ramah atau
dalam waktu keluar ruangan dengan teman-teman). Dalam kedua kasus, hasil yang
sebenarnya adalah kebalikan dari hasil yang diinginkan. Artinya, peningkatan
perilaku negatif pada frekuensi karena konsekuensinya adalah penguatan tidak
sengaja.
Hal
ini sangat sulit untuk mengabaikan anak iritasi atau agresif perilaku. Jika
pihak yang berwenang mencoba untuk mengabaikan perilaku tapi akhirnya
kehilangan kesabaran dan bereaksi hasilnya mungkin merupakan hasil terburuk
yang sangat mungkin Artinya, anak dihargai untuk bertahan dengan perilaku yang
tidak diinginkan.
4. Hukuman
Hukuman
adalah tanggapan yang mengikuti perilaku dan memiliki efek penurunan
kemungkinan perilaku yang dengan menyediakan pengalaman yang tidak diinginkan sebagai
konsekuensinya.
Potensi Keuntungan.
Jika hukuman itu wajar dan logis (misalnya, dipaksa untuk membersihkan ruangan
setelah mencemari itu), individu belajar tentang hubungan antara perilaku dan
konsekuensi dapat diprediksi di dunia nyata.
Potensi Bahaya.
Hukuman semu (misalnya, orangtua memukul, mengusir seorang mahasiswa yang tidak
ingin berada di sekolah saja) mungkin sebenarnya memperkuat jika anak menerima
perhatian yang diinginkan, bantuan dari stres, atau imbalan lainnya sebagai
hasilnya. Ini adalah salah satu alasan bahwa hukuman jarang prosedur manajemen
berhasil perilaku dalam jangka panjang. Banyak jenis hukuman, badan atau
psikologis, adalah ilegal di banyak rangkaian (misalnya, sekolah) di banyak
negara.
Ada beberapa
jenis penguatan yang memasukan sosial, materi dan aktivitas. Banyak
penguatan-penguatan tersebut muncul secara natural dalam lingkungan, walaupun
tidak secara sistematis dan seringkali untuk perilaku yang tak diinginkan.
Kebanyakan peristiwa yang menguatkan bersifat sosial, seperti senyuman,
pelukan, pujian, perhatian, atau kontak fisik.
Penguatan-penguatan sosial bekerja terutama dengan baik terhadap
anak-anak kecil. Beberapa anak secara
toral tidak merespon terhadap stimulus sosial, tetapi beberapa darinya lebih
banyak merespon dibandingkan yang lainnya.
Penguatan-penguatan
material dapat dikonsumsi, seperti permen dan makanan-makanan lainnya, mainan,
gambar atau musik. Tanda juga dapat
diberikan sebagai penguatan. Ini dapat
ditukar untuk hadiah atau hak istimewa.
Bintang emas adalah penguatan kelas klasik. Tentu saja, uang selalu menjadi penguatan
materi yang bernilai.
Kelompok
penguatan terakhir disebut dengan penguatan aktivitas. Pada tahun 1965 Premack membuat prinsip
formal yang disebut dengan prinsip Premack.
Pada dasarnya prinsip ini mengatakan bahwa anda dapat membuat
orang-orang untuk terlibat dalam satu aktivitas jika anda menjanjikan mereka
hak istimewa dari terlibat dalam aktivitas lainnya yang lebih diinginkan ketika
selesai. Para guru menggunakan prinsip
ini setiap saat ketika mereka memberikan konseli waktu bebas setelah
menyelesaikan kerja mereka.
Penguatan-penguatan aktivitas yang umum untuk anak termasuk membaca,
istirahat, game, dan menonton TV.
Memilih
penguatan yang tepat melibatkan beberapa pemikiran yang cermat dan perhatian
pada pilihan-pilihan individu.
Pengamatan perilaku yang cermat adalah alat yang mutlak diperlukan untuk
mengidentifikasikan penguatan terbaik.
Seringkali stimulus yang memancing perilaku penyesuaian buruk memberikan
petunjuk yang baik untuk penguatan terbaik.
Kita
mencatat sebelumnya bahwa untuk dibuatnya respon, maka harus diikuti oleh
penguatan. Namun, penguatan dapat
disampaikan pada beberapa dasar. Tergantung pada tujuan beberapa skedul
penguatan lebih bermanfaat dibandingkan yang lainnya. Penguatan berlanjut
adalah aplikasi penguatan setelah setiap respon yang diinginkan. Walaupun
seringkali tidak nyaman, penguatan berlanjut adalah cara tercepat untuk membuat
perilaku baru dan sangat berguna dalam fase-fase belajar awal. Penguatan
berselang-seling, yaitu terjadi secara reliabel dalam hubungannya dengan respon
yang diinginkan baik setelah periode waktu (skedul interval) atau setelah
sejumlah respon yang diinginkan (skedul rasio).
Kedua jenis skedul berselang ini dapat ditetapkan atau berubah-ubah.
Manajemen kontingensi, yang digunakan baik sebagai
dasar untuk mengatur lingkungan belajar atau merubah perilaku orang-orang,
umumnya terdiri dari prosedur-prosedur yang sama: (1) menspesifikasikan kinerja
akhir; (2) menilai perilaku awal (membangun baseline); (3) merumuskan program
manajemen kontingensi; (4) melembagakan program; dan (5) mengevaluasi program.
Fase satu, yaitu menspesifikasikan kinerja akhir,
mengharuskan pengenalan umum bahwa suatu perilaku perlu dirubah atau
dicapai. Perilaku dapat melibatkan
kebiasaan atau tindakan deskriptif atau penyesuaian buruk, atau perolehan
skill-skill dan pengetahuan tertentu.
Namun, sebelum program manajemen kontingensi dapat dikembangkan maka
penting untuk (1) menspesifikasikan secara tepat perilaku yang dapat dirubah
dan respon-respon untuk didorong; dan (2) mengembangkan prosedur untuk mengukur
perilaku.
Fase dua, yaitu asesmen sesungguhnya terhadap perilaku
awal, muncul setelah perilaku sasaran
diidentifikasikan dan didefinisikan serta rencana-rencana awal untuk
mengukurnya telah dikembangkan.
Terkadang fase ini disebut dengan membangun baseline. Ini adalah fase
untuk mencatat frekuensi perilaku; dalam kasus perilaku penyesuaian buruk,
tujuannya adalah untuk menegaskan diagnosa awal dan memberikan informasi
mengenai pemeliharaan kondisi dan stimulus.
Data baseline itu berguna karena membantu menentukan
dimanakah untuk memulai instruksi dan tingkat kemajuan atau efektifitas program
kontingensi. Ketika perilaku telah
dicatat, maka paling baik untuk menggambarnya pada grafik (lihat Gbr.19-1).
Fase ketiga adalah merumuskan program manajemen
kontingensi untuk perilaku tertentu. Ini
termasuk (1) mengatur situasi; (2) memilih pendorong; dan (3) rencana-rencana
pembentuk perilaku. Dalam kelas,
perhatian harus diberikan pada lingkungan fisik, materi-materi pembelajaran,
dan bagian-bagian interaktif, semuanya dapat memfasilitasi perolehan
respon.
Fase keempat adalah melembagakan program manajemen
kontingensi. Ini termasuk mengatur
lingkungan, membuat pengumuman kontingensi, dan mendorong respon konseli
berdasarkan skedul penguatan dan membentuk program yang telah dipilih.
Sebuah teknik yang terkadang digunakan secara cukup efektif, terutama dalam kelas, disebut
dengan time-out. Secara teknis ini melibatkan penarikan diri
dari semua konsekuensi yang menguatkan, biasanya dengan menyuruh individu
bergerak ke suatu tempat tanpa objek atau orang-orang. Terkadang konseli akan meminta konseli
lainnya untuk meninggalkan kelompok hingga mereka merasa bahwa mereka siap
untuk kembali. Mengabaikan perilaku
mengganggu atau mengambil penguatan materi juga membentuk time-out.
Fase terakhir dalam manajemen kontingensi adalah
mengevaluasi program. Kebanyakan ahli
perilaku menganggap ini sebagai fase untuk memvalidasikan keberhasilan program.
Seringkali evaluasi ini dimasukan kedalam program, misalnya ketika orang-orang
secara jelas tidak merasa takut terhadap situasi-situasi yang sebelumnya
membuat mereka takut atau ketika konseli telah mempertahankan tingkat tinggi
kemajuan dan level kinerja dalam program matematika yang memiliki ukuran-ukuran
evaluasi yang sering. Salah satu ciri
dari lingkungan analisa perilaku adalah penyusunan dan kesadaran akan evaluasi.
Tentu saja, evaluasi difasilitasi dengan menspesifikasikan perilaku-perilaku
yang diinginkan dalam istilah-istilah pasti dan dengan membuat atau
mengidentifikasikan prosedur pengukuran.
Referensi :
Abe. (2009). Perkembangan
Teori-Teori Tentang Organisasi Dan Manajemen. Pada 27 November 2010, pukul
19:00 wib [Online] tersedia di : http://abe-rabbit.blogspot.com/2009/08/perkembangan-teori-teori-tentang.html
Joyce, B. & Weil,
M. (1978). Model of
Teaching. Englewood Cliffs, N.J. Prentic Hall.
Mark K. Smith. (2001). Kurt Lewin: Groups, Experiential Learning And
Action Research [Online] tersedia di : http://www.infed.org/thinkers/et-lewin.htm
Prayudi,
Yusuf Yudi. (2007). Gaya Belajar Individu.
Pada 27 November 2010, pukul 19:43 wib [Online] Tersedia di: http://prayudi.wordpress.com/2007/11/27/gaya-belajar-individu/
Sobur,
Alex. (2003). Psikologi Umum.
Bandung: Pustaka Setia.
Supriyadi, Acep.____. Model Kepemimpinan Kontingensi. Pada 27 November 2010, pukul 19:43
wib [Online] Tersedia di: http://permatabr.blogspot.com/
Syah,
Muhibbin. (2007). Psikologi Pendidikan
dengan Pendekatan Baru. Bandung: PT. REMAJA ROSDAKARYA.
Syamsuddin,
Abin. (2005). Psikologi Kependidikan. Bandung: PT.
REMAJA ROSDAKARYA.
Yusuf, Syamsu. dan Nurihsan, Juntika. (2008). Teori
Kepribadian. Bandung: PT. REMAJA ROSDAKARYA.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar