Selasa, 24 September 2019

Peradaban Bangsa


MEMBANGUN PERADABAN BANGSA MELALUI PENDIDIKAN

Oleh :
Asep Rohiman lesmana


1.        Pendidikan dalam Perspektif Sosial-Budaya, Ekonomi dan Politik
Reformasi pendidikan telah dilakukan, dan regulasi atas perubahan kebijakan pembangunan pendidikan nasional telah dimulai. Untuk itu, seluruh kebijakan yang terkait dengan perubahan, penyempurnaan dan pengembangan program pada semua jalur, jenjang dan jenis pendidikan harus diarahkan pada upaya untuk memberikan layanan pendidikan yang bermutu, sesuai dengan standar pendidikan yang telah ditetapkan.
Pembangunan pendidikan nasional merupakan upaya bersama seluruh komponen pemerintah dan masyarakat yang dilakukan secara terencana dan sistematis untuk mewujudkan peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Berdasarkan amanat UU.No.20 Tahun 2003 pasal l butir 1, pendidikan mempunyai posisi strategis untuk meningkatkan kualitas, harkat dan martabat setiap warga negara sebagai bangsa yang bermartabat dan berdaulat. Dalam konteks tersebut pendidikan harus dilihat sebagai human investment yang mempunyai perspektif multidimensional baik sosial, budaya, ekonomi dan politik.
Dalam perspektif sosial-budaya, pendidikan akan melahirkan insan-insan terpelajar yang mempunyai peranan penting dalam proses transformasi sosial di dalam masyarakat. Pendidikan menjadi faktor determinan dalam mendorong percepatan mobilitas vertikal dan horisontal masyarakat yang mengarah pada pembentukan konstruksi sosial baru. Konstruksi sosial baru ini menurut Anderson & Windham (1982). terdiri atas lapisan masyarakat kelas menengah terdidik, yang menjadi elemen penting dalam memperkuat daya rekat sosial (social cohesion).
Sebagaimana diketahui, bahwa layanan pendidikan berlangsung pata tiga tahapan yaitu pendidikan untuk anak-anak dalam lingkungan pranata keluarga, pendidikan untuk anak-anak di lingkungan pranata persekolahan formal, dan pendidikan untuk orang dewasa di lingkungan pranata masyarakat luas di lingkungan sistem pendidikan formal. Konsep lingkungan ‘pranata’ sering diidentikan dengan konsep institusi.  Dalam terminologi sosiologi disebut social institution yang diartikan sebagai an interrelated system of social roles and norms organized about the satisfaction of an important social need of function (Theodorson, 1969:206:207, atau dalam istilah Koentjaraningrat (1974:23-26) pranata sosial tidak hanya terbatas pada sistem peran dan norma sosial, tetapi mencakup peralatan dan manusia yang melaksanakan peran-peran disebut.
Kemudian, dikenal pula istilah lembaga (institusi) yang dianggap sebagai badan atau organisasi yang berfungsi dalam lapangan kehidupan yang khas, seperti halnya organisasi-organisasi satuan pendidikan. Lembaga ini pun dapat dipandang sebagai sebuah sistem pranata sosial. Namun, untuk melihat hubungan timbal balik antara pranata sosial dangan kehidupan masyarakat tidak sesederhana yang diungkapkan dalam bahasan ini. Hal yang paling jelas bahwa pendidikan akan melahirkan lapisan masyarakat terdidik itu menjadi kekuatan perekat yang menautkan unit-unit sosial di dalam masyarakat: keluarga, komunitas masyarakat, dan organisasi sosial yang kemudian menjelma dalam bentuk organisasi besar berupa lembaga negara. Dengan demikian, pendidikan dapat memberikan sumbangan penting pada upaya memantapkan integrasi sosial untuk terwujudnya integrasi nasional.
Di samping itu, pendidikan juga merupakan wahana penting dan media  yang efektif untuk mengajarkan norma, mensosialisasikan nilai, dan menanamkan etos kerja di kalangan warga masyarakat. Pendidikan juga dapat menjadi instrumen untuk memupuk kepribadian bangsa, memperkuat identitas nasional, dan memantapkan jati diri bangsa. Bahkan peran pendidikan menjadi lebih penting ketika arus globalisasi semakin kuat, yang membawa pengaruh nilai-nilai dan budaya yang seringkali bertentangan dengan nilai-nilai dan kepribadian bangsa Indonesia. Dalam konteks ini, pendidikan dapat menjadi wahana strategis untuk membangun kesadaran kolektif (collective conscience) sebagai warga mengukuhkan ikatan-ikatan sosial, dengan tetap menghargai keragaman budaya, ras, suku-bangsa, dan agama, sehingga dapat memantapkan keutuhan nasional.
Dalam perspektif ekonomi, pendidikan merupakan human invesment yang akan menghasilkan manusia-manusia yang handal untuk menjadi subyek penggerak pembangunan ekonomi nasional. Dalam pandangan Suryadi (2002) investasi di bidang pembangunan pendidikan bernilai sangat strategis dalam jangka panjang, sebab manusia-manusia terdidik akan memberikan kontribusi yang amat besar terhadap kemajuan pembangunan, termasuk untuk memacu pertumbuhan ekonomi.
Di era global sekarang ini, berbagai bangsa di dunia telah mengembangkan knowledge-based economy (KBE), yang mensyaratkan dukungan SDM  berkualitas. Karena itu, pendidikan mutlak diperlukan guna menopang pengembangan ekonomi berbasis pengetahuan - education for the knowledge economy (EKE). Dalam konteks ini, satuan pendidikan harus pula berfungsi sebagai pusat penelitian dan pengembangan (research and development), yang menghasilkan produk-produk riset unggulan yang mendukung KBE. Pengembangan ekonomi nasional berbasis pada keunggulan sumber daya alam dan sosial yang tersedia, ditambah dengan ketersediaan SDM bermutu sangat menentukan kemampuan bangsa dalam memasuki kompetensi global dan ekonomi pasar bebas, yang menuntut daya saing tinggi.
Oleh karena itu, pendidikan harus mampu melahirkan lulusan-lulusan bermutu yang memiliki pengetahuan, menguasai teknologi, dan mempunyai keterampilan teknis yang memadai. Pendidikan juga harus dapat menghasilkan tenaga-tenaga profesional yang memiliki kemampuan kewirausahaan, yang menjadi salah satu pilar utama aktivitas perekonomian nasional. Bahkan peran pendidikan menjadi sangat penting dan strategis untuk meningkatkan daya saing nasional dan membangun kemandirian bangsa, yang menjadi prasyarat mutlak dalam memasuki persaingan antarbangsa di era global.
Dalam perspektif politik, pendidikan harus mampu mengembangkan kapasitas individu untuk menjadi warganegara yang baik (good citizens), yang memiliki tingkat kesadaran yang tinggi terhadap hak, kewajiban dan tanggung jawab dalam kehidupan  berbangsa, dan bemegara, pendidikan harus dapat melahirkan individu yang memiliki visi dan idealisme untuk membangun kekuatan bersama sebagai bangsa. Menurut Alfred & Carter (1995) bahwa visi dan idealisme itu haruslah merujuk dan bersumber pada paham ideologi nasional, yang dianut oleh seluruh komponen bangsa. Dalam jangka panjang, pendidikan niscaya akan melahirkan lapisan masyarakat terpelajar yang kemudian membentuk critical mass, yang menjadi elemen pokok dalam upaya membangun masyarakat madani.
Dengan demikian, pendidikan dalam dimensi yang integratif merupakan usaha seluruh komponen masyarakat dan bangsa untuk meletakkan landasan sosial, budaya, ekonomi dan politik yang kokoh bagi terciptanya masyarakat civil society yang demokratis. Dalam dimensi ini pula proses pembangunan pendidikan dapat bertumpu pada golongan masyarakat kelas terdidik yang menjadi pilar utama, sehingga dapat  pula menjadi salah satu tiang penyangga bagi upaya-upaya dalam mewujudkan pembangunan masyarakat dan bangsa yang dinginkan.

2.      Pembangunan Manusia dan Tolok Ukur SDM di Indonesia
Aspek manusia dalam pembangunan dewasa ini, senantiasa menjadi pusat perhatian, sehingga pembangunan manusia (human development) dirumuskan sebagai perluasan pilihan bagi penduduk (enlarging the choice of people), yang dapat dilihat sebagai proses upaya ke arah "perluasan pilihan" dan sekaligus sebagai taraf yang dicapai dari upaya tersebut (UNDP, 1990). Di antara pilihan tersebut, pilihan yang terpenting adalah peningkatan derajat kesehatan, kemampuan baca tulis dan ketrampilan untuk dapat berpatisipasi dalam masyarakat dan kegiatan ekonomi, dan untuk mempunyai akses terhadap sumber daya yang dibutuhkan agar dapat hidup secara layak.
Tujuan utama dari pembangunan manusia, yaitu untuk memperbanyak pilihan-pilihan yang dimiliki manusia, tidak mungkin tercapai tanpa adanya kebebasan untuk memilih apa yang mereka inginkan dan bagaimana mereka akan menjalam kehidupan. Manusia harus bebas untuk melakukar, apa yang menjadi pilihannya di dalam sistem pasar yang berfungsi dengan baik dan mereka harus memiliki suara yang menentukan dalam membentuk kerangka politik mereka. Orang yang memiliki kebebasan politik dapat berpartisipasi dalam perencanaan dan pengambilan keputusan yang dilakukan dalam kerangka aturan-aturan yang demokratis menuju konsensus dan konsolidasi.
Menurut UNDP (1995), paradigma pembangunan manusia terdiri dari 4 (ermpat) komponen utama, yaitu: (1) Produktivitas, masyarakat harus dapat meningkatkan produktivitas mereka dan berpartisipasi secara penuh dalam proses memperoleh penghasilan dan pekerjaan berupah. Oleh karena itu, pertumbuhan ekonomi adalah salah satu bagian dari jenis pembangunan manusia, (2) Ekuitas, masyarakat harus punya akses untuk memperoleh kesempatan yang adil. Semua hambatan terhadap peluang ekonomi dan politik harus dihapus agar masyarakat dapat berpartisipasi di dalam dan memperoleh manfaat dari kesempatan-kesempatan ini, (3) Kesinambungan, akses untuk memperoleh kesempatan harus dipastikan tidak hanya untuk generasi sekarang tapi jugs generasi yang akan datang. segala bentuk permodalan fisik, manusia, lingkungan hidup, harus dilengkapi, (4) Pemberdayaan, pembangunan harus dilakukan oleh masyarakat dan bukan hanya untuk mereka. Masyarakat harus berpartisipasi penuh datum mengambil keputusan dan proses-proses yang mempengaruhi kehidupan mereka.
Kaitan erat dengan peningkatan kualitas SDM adalah tingkat pendidikan dan kesehatan individu penduduk merupakan faktor dominan yang perlu mendapat priontas utama untuk dapat ditingkatkan. Dengan tingkat pendidikan dan kesehatan penduduk yang tinggi menentukan kemampuan untuk menyerap dan mengelola sumber-sumber pertumbuhan ekonomi baik dalam kaitannya dengan teknologi sampai kelembagaan yang penting dalam upaya meningkatkan tingkat kesejahteraan penduduk itu sendiri yang semuanya bermuara pada aktivitas perekonomian yang maju. Oleh sebab itu, dalam rangka memacu pertumbuhan ekonomi perlu pula dilakukan pembangunan manusia, termasuk dalam konteks ekonomi daerah. Kebijakan pembangunan yang tidak mendorong peningkatan kualitas manusia hanya akan membuat daerah yang bersangkutan tertinggal dari daerah lain. Dan hasilnya dapat dirasakan oleh seluruh strata penduduk merupakan wujud dari komitmen tujuan nasional yang ingin mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum mencapai masyarakat yang adil dan makmur.
Upaya untuk mengetahui dan mengidentifikasi seberapa besar kemajuan pembangunan yang telah dicapai suatu wilayah tentunya diperlukan data-data yang cukup up to date dan akurat. Data-data yang disajikan diharapkan sebagai bahan evaluasi terhadap apa yang telah dilakukan oleh pemerintah tersebut. Apakah pembangunan puskesmas dan puskesmas pembantu telah secara nyata meningkatkan derajat kesehatan masyarakat? Apakah pembangunan gedung SD juga telah mampu meningkatkan tingkat partisipasi sekolah di wilayah ini? Apakah program Paket Kelompok Belajar (Kejar) telah mampu meningkatkan kemampuan baca tulis penduduk secara umum? Dalam konteks tersebut diatas diperlukan pula ukuran-ukuran yang tepat untuk digunakan sebagai indikator. Untuk itu perlu kiranya diketengahkan mengenal berbagal ukuran-ukuran yang biasa digunakan sebagai indikator pembangunan.
Berbagai program seperti pengadaan pangan, perbaikan gizi, peningkatan kesehatan dan peningkatan kegiatan olah raga dilaksanakan dalam upaya peningkatan taraf kualitas fisik penduduk. Tolok ukur yang dapat digunakan untuk menentukan keberhasilan (pembangunan) dalam beberapa hal agak sulit ditentukan. Alat ukur yang sering digunakan untuk menilai kualitas hidup selama ini sebenarnya hanya mencakup kualitas fisik, bukan kualitas non-fisik. Kesulitan muncul karena untuk menilai keberhasilan pembangunan non-fisik indikatornya lebih abstrak dan bersifat komposit.
Salah satu pengukuran taraf kualitas fisik penduduk yang banyak digunakan adalah Indeks Mutu Hidup (IMH). Ukuran ini sebenarnya banyak mendapat kritik karena mengandung beberapa kelemahan, terutama yang menyangkut aspek statistik dan keterkaitan antar variabel yang digunakannya. Terlepas dan kelemahan tersebut, ada nilai lebih dan IMH yang membuat indikator ini banyak digunakan sebagai ukuran untuk menilai keberhasilan program pembangunan pada satu wilayah. Nilai lebih dari IMH ini adalah kesederhanaan didalam penghitungannya. Di samping itu, data yang digunakan untuk menghitung IMH ini pada umumnya sudah banyak tersedia. IMH juga bisa dihitung setiap tahun untuk setiap wilayah (nasional, propinsi, maupun kabupaten/kota), sehingga dapat dilakukan perbandingan antar wilayah.
Sejalan dengan makin tingginya intensitas dalam permasalahan pembangunan, kesederhanaan IMH pada akhirnya kurang mampu untuk menjawab tuntutan perkembangan pembangunan yang semakin kompleks itu. Karenanya perlu indikator lain yang lebih reprensentatif dengan tuntutan permasalahan. Dalam kaitan ini, indikator Indeks Pembangunan manusia (IPM)  merupakan salah satu alternatif yang bisa diajukan. Indikator ini, di samping mengukur kualitas fisik melalui angka harapan hidup (AHH) juga kualitas nonfisik (intelektualitas) melalui rata-rata penduduk bersekolah (RLS) dan angka melek huruf (AMH), juga mempertirnbangkan kemampuan ekonomi masyarakat di wilayah itu yang digambarkan dari nilai purcashing power parity index (PPP). Jadi indikator IPM terasa lebih komprehensif dibandingkan dengan IMH.
Investasi dalam pendidikan secara dini akan menjamin terwujudnya pemenuhan hak azasi manusia, meningkatnya kualitas SDM, pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, terwujudnya masyarakat sejahtera, mempunyai kemampuan mengelola teknologi, mempunyai keunggulan komparatif yang tinggi, dan menjamin kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara. Untuk sampai pada kondisi tersebut memerlukan dukungan potensi insan-insan yang memiliki kemampuan untuk berkiprah pada jaman yang dicita-citakan masyarakat.
Hartanto (1999) menganalisis kondisi masyarakat yang dimulai dari kondisi apa yang disebutnya masyarakat peramu sampai pada ahirnya menjadi masyarakat pengetahuan. Pada kondisi masyarakat peramu, untuk kelangsungan hidupnya cukup hanya mengandalkan daya tahan fisik dan naluri. Pada masyarakat pertanian tujuan hidupnya hanya untuk kebutuhan fisiologik dan cukup dengan mengandalkan kemampuan dan energi fisik. Pada masyarakat industri, masih berorientasi pada kebutuhan fisiologi dari orde yang sedikit lebih meningkat, dan cukup hanya mengandalkan keterampilan dan kecekatan dalam bekerja. Pada masyarakat pelayanan, orientasi kehidupan sudah mengarah pada kebutuhan hidup yang nyaman, dan cukup hanya mengandalkan kemampuan bekerja secara cerdas. Dan pada masyarakat golongan terahir yaitu masyarakat berpengetahuan, orientasi hidupnya sudah berada pada tingkatan yang lebih tinggi, yaitu kehidupan yang harus serba bermakna, dan tidak cukup hanya mengandalkan berbagai kemampuan dan keterampilan pada masyarakat sebelumnya, tetapi harus dibarengi dengan kemampuan bekerja sama dengan orang lain secara cerdas.
Gambaran masyarakat seperti yang dikemukakan Hartanto tadi, pada dasarnya berkenaan dengan aspek-aspek kehidupan yang hakiki, yaitu aspek perilaku (psiko-sosial), budaya dan politik, serta mata pencaharian. Ketiga aspek tersebut saling mempengaruhi sehingga akan berpengaruh pula terhadap tingkat kesiapan masyarakat untuk dapat menyesuaikan diri dalam pertempran global. Dalam teori  penguatan masyarakat sipil (civil society), akan muncul kondisi masyarakat serba siap dalam menghadapi segala tantangan kehidupan, yang bercirikan:
(1)    Rasa memiliki dari warga masyarakat termasuk kelembagaannya terhadap program intervensi yang dirancang atau diluncurkan oleh para perancang pembangunan;
(2)    Kemandirian atau keswadayaan masyarakat baik sebagai penggagas, pelaksana maupun pemanfaat pembangunan;
(3)    Kepercayaan diri  yang mapan terhadap potensi, sumber daya dan kemampuan untuk membangun diri, masyarakat, negara dan bangsanya.
Untuk sampai kepada kondisi masyarakat tersebut diperlukan SDM yang memiliki keilmuan, keimanan, dan perilaku shaleh. Dalam istilah Solihin Abu Izzudin (2006), disebut keshalehan pribadi dan keshalehan sosial.  Keshalehan pribadi dan keshalehan sosial dibentuk dari keseimbangan antara ilmu, iman dan amal seseorang, yang diwujudkan dalam bentuk perilaku. Insan-insan yang shaleh ini sangat diperlukan, bukan hanya sekedar untuk kepentingan politik dalam mendongkrak IPM, tetapi yang lebih utama adalah membentuk ‘tenaga pembangunan’ untuk mengikis habis manusia-manusia ‘kloning’ yang lahir sebagai ‘efek-samping’ dari  teori Human Capital (Irianto, 2006).
Gambaran tersebut semakin menegaskan bahwa sistem penyelenggaraan pembangunan memerlukan manusia-manusia yang memiliki keshalehan pribadi maupun keshalehan sosial. Bagaimana mungkin membangun generasi yang shaleh, sementara para pelaksananya tidak dalam keadaan shaleh. Bagaimana mungkin membangun SDM yang memiliki daya saing, sementara para pengelola pembangunan sendiri tidak memiliki daya saing. Karena itu, dalam upaya membangun SDM yang dibutuhkan harus dimulai dari pribadi masing-masing, baik pribadi sebagai anggota keluarga, masyarakat, maupun sebagai anggota aparatur pemerintah, dengan keshalehan pribadi dan keshalehan sosial.
Dalam tulisan ini, saya sengaja mengutif dimensi-dimensi yang paling bisa dijadikan bekal untuk bangkit dari keterpurukan serta ‘berjihad’ membangun kembali bangsanya. Merujuk ide yang dikemukakan Solihin, dimensi-dimensi keshalehan pribadi seseorang mencakup shaleh dalam aqidah, shaleh dalam ibadah, shaleh dalam ahlak, dan shaleh dalam keluarga (Abu Izzudin, 2006:236-250). Keshalehan dalam aqidah adalah ruh atau jiwa yang berwujud dalam motivasi untuk hidup lebih baik dan semangat kejuangan ke arah yang lebih berharga dan lebih bermakna. Keshalehan dalam ibadah merupakan konsistensi terhadap tujuan hidup yang berwujud dalam disiplin dan komitmen kedirian, kekeluargaan, dan kemasyarakatan. Keshalehan dalam akhlak ialah perilaku sehari-hari sebagai perwujudan dari aqidah dan ibadah. Dan kesalehan dalam keluarga merupakan perwujudan dari ketiganya.
Potret individu yang memiliki keshalehan pribadi ialah orang-orang yang: (1) Suka mengajak kebaikan kepada orang lain, dengan contoh, teladan dan fasilitasi terhadap orang lain; (2) Berorientasi sebagai pemberi kontribusi, bukan sebagai peminta-minta; (3) Lapang dada terhadap perbedaan dan keragaman; (4) Respek terhadap keunikan orang lain.
Selanjutnya, Abu Izzudin (2006:251-280) mengemukakan pula potret individu yang memiliki keshalehan sosial ialah: (1) Orang yang paling kokoh sikapnya (atsbatuhum mauqiifan); (2) Orang yang paling lapang dadanya (arhabuhum shadran); (3) Orang yang paling dalam pemikirannya (a’maquhum fikran); (4) Orang yang paling luas cara pandangnya (aus’uhum nazharan); (5) Orang yang paling rajin amal-amalannya (ansyatuhum ‘amalan);  (6) Orang yang paling solid penataan organisasinya (aslabuhum tanzhiman); (7) Orang yang paling banyak manfaatnya (aktsaruhum naf’an).
            Keshalehan pribadi dan keshalehan sosial akan tercermin dalam kehidupan keluarga, karena keluarga merupakan wujud konkrit unit organisasi masyarakat yang paling sederhana, tetapi memiliki kekuatan pengaruh yang sangat besar. Keluarga yang shaleh merupakan dambaan setiap orang. Oleh karena itu, keluarga yang memiliki keshalehan pribadi dan keshalehan sosial merupakan tiang-tiang yang kokoh masyarakat dan bangsanya. Karena itu, bangsa yang berkualitas terdiri dari golongan masyarakat yang berkualitas, dan masyarakat yang berkualitas merupakan kumpulan keluarga yang shaleh, dan keluarga yang berkualitas terdiri dari individu-individu yang memiliki keshalehan pribadi dan keshalehan sosial.

Referensi :

Abdul Wahab,  Solichin. (1990). Pengantar Analisis  Kebi­jaksanaan Negara, Jakarta: Rineka Cipta.
Abu Izzudin, Solihin. (2006). Zero to Hero, Yogyakarta: Pro U-Media.
Alfred, Richard L. & Patricia Carter. (1995). Building the Future: Comprehensive Educational Master Planning Report 1995-2005, University of Alabama & Community College Consortium.
Anderson & Windham (1982) dalam [http://www.litigationanalytics.com/ history.html]
Cohn, Elchanan. (1979). The Economic of Education, Revised Edition, Cambridge, Massachusetts: Ballinger Publishing Co.
Dunn, William, N. (1994). Public Policy Analysis: An Introductions, London: Prentice-Hall, Inc; Englewood Cliffs
Dye, Thomas R. (1981). Policy Analysis, Alabama: University of Alabama Press.
Goodgin, Robert E. (1982). Political Theory and Public Policy, Chicago: University of Chicago Press.
Grindle, Merilee S. (1980). Politics and Policy  Implemen­tation in the Third World, NJ: Priceton Press.
Hartanto, Frans Mardi. (1999). Mengelola Perubahan di Era Pengetahuan, Jakarta: Gramedia.
Illich, Ivan. (1976) & Everet Reimer. (1977) dalam [http://www.cogsci.ed.ac.uk/ ~ira/illich/]
Indonesian Corruption Watch, “Otonomi Daerah: Lahan Subur Korupsi”, Laporan Ahir Tahun 2004 ICW, [www.antikorupsi.org/docs/latinfopub2004.pdf]
Irianto, Yoyon  Bahtiar. (2006). Pembangunan Manusia dan Pembaharuan Pendidikan,  Bandung: Laboratorium Administrasi Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia.
Jalal, Fasli dan Dedi Supriadi. (2001), Reformasi Pendidikan dalam Konteks Otonomi Daerah, Yogyakarta: AdiCita Karya Nusa.
Koentjaraningrat. (1984). Antropologi Budaya, Jakarta; Ghalia Indonesia.
Miller, Eric. (1991). Future Vision,  Napervile: Sourcebooks Trade.
Nataatmadja, Hidajat. (1982). Krisis Global Ilmu Pengetahuan dan Penyebuhannya (Al-Furqon), Bandung: Penerbit Iqro.
Pal, Leslie A. (1996).  Public Policy Analysis: An  Intro­duction, Ontario: Nelson Canada.
Peraturan Pemerintah No.38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.
Setiawan, Deddy. (2007). “Kepemimpinan Pemerintah daerah dalam Pengelolaan Pendidikan:  Studi Tentang Kontribusi Gaya Kepemimpinan Pejabat Pemerintah Daerah terhadap Peningkatan Kinerja Pengelolaan Pendidikan di Pemerintahan Daerah Kabupaten Garut”, Disertasi, Bandung: SPS-UPI.
Suryadi, Ace. (2002). Pendidikan, Investasi SDM, dan Pembangunan: Isu, Teori dan Aplikasi, Jakarta: Balai Pustaka.
Yazdi, Muhammad Taqi Mishbah. (2003). Buku Daras Filsafat Islam, Bandung: Mizan.
Theodorson. (1969) dalam [http://www.12manage.com/i_hr.html]
Undang-Undang No.20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.
United Nations Development Program (UNDP) dalam [http://undp.org/]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Penguatan Integrasi Pendidikan

PENGUATAN INTEGRASI PENDIDIKAN DALAM ERA DISUPSI Oleh :  Asep Rohiman Lesmana, M.Pd. Pendidikan merupakan suatu entitas yang s...