Generasi Anti Hoax
Dapatkah Anda sebutkan, paling tidak dalam
setahun belakangan ini, satu hari di mana Anda bebas hoaks saat membuka media
sosial? Jempol sepuluh jari jika ada. Hari-hari ini, khususnya pasca Pilpres
2014, hoaks merajalela. Bukan berarti hoaks tak pernah ada. Hoaks sudah eksis
sejak dulu. Namun, digitalisasi yang mengamplifikasi data dan kecepatan
penyebaran informasi membuat serangan hoaks begitu masif belakangan ini.
Bagi beberapa pihak, hoaks adalah hal biasa.
Salah atau selip informasi, maafkan saja. Manusia tidak bebas salah toh?
Hoaks nggak usah dianggap serius. Secepat itu datangnya, secepat itu juga
hilang dan ditimpa oleh limpahan informasi lainnya. Atau, ditimpa oleh
hoaks-hoaks lainnya. Bagi pihak lain, hoaks adalah tambang emas. Bisnis hoaks
yang mendulang like (dan share) berpotensi menghasilkan
pendapatan yang tidak sedikit. Paul Horner mendapatkan tak kurang dari USD
10.000 atau 133 juta rupiah setiap bulan. Di kawasan Macedonia, anak-anak muda
yang berkecimpung dalam bisnis hoaks menghasilkan USD 60.000 selama enam bulan
menggoreng isu hoaks dalam Pilpres US kemarin, atau setara dengan 800 juta
rupiah1.
Seorang informan di talkshow “Mata Najwa” mengaku
mendapatkan 300 hingga 500 juta rupiah per bulan dari situs web hoaks yang
dikelolanya. Pendapatan itu bersumber dari iklan di situs web tersebut2. Jika
dalam sebulan ia dan timnya bisa mengelola 2 situs web hoaks (yang katanya
operasionalnya mudah saja), maka pendapatannya bisa mencapai 1 milyar rupiah.
Masih ingat dengan nama “Saracen” bukan? Jaringan pebisnis hoaks tersebut
pasang tarif 72 juta rupiah untuk setiap paket unggahan hoaks berkonten SARA.
Rinciannya, 15 juta untuk biaya pembuatan situs,
45 juta untuk 15 orang buzzer per bulan, 10 juta untuk Jasriadi sang boss
Saracen. Mereka eksis sejak Agustus 2015.3 Bayangkan, sudah berapa banyak uang
yang mereka dapatkan. Jangan lupa hitung juga berapa banyak kerusuhan yang
sudah terjadi diakibatkan oleh sebaran hoaks tersebut. Mengingat parahnya
sebaran dan dampak hoaks, tak heran jika bagi yang lain hoaks menjadi pemecah
belah keluarga, ancaman terhadap lingkar pertemanan, hubungan persaudaraan,
sampai perusak persatuan bangsa dan negara. Hoaks meracuni grup media sosial.
Yang tujuan awalnya dibentuk untuk saling beramah tamah dan bersilaturahmi,
akhirnya malah jadi berantem dan kubu-kubuan.
Hoaks mencemari dunia akademis. Yang tadinya
dibentuk untuk sharing informasi valid dan shahih, jadinya malah
digunakan untuk sebar berita bohong demi tujuan tertentu. Hoaks menggoncang
dunia sosialita emak-emak. Yang tadinya bikin grup untuk hidup bahagia dengan sharing
resep, tempat makan enak dan info parenting, akhirnya tercemar oleh
hoaks yang menggiring pada permusuhan dan bikin orang jadi paranoid. Masifnya
hoaks yang beredar hari-hari ini membuat pihak terakhir ini menganggap bahwa
Indonesia sudah termasuk dalam kategori negara darurat hoaks.
a.
Serba-serbi
Hoaks di Indonesia
Berkaca pada beberapa definisi, hoaks dirumuskan
sebagai rangkaian informasi yang sengaja disesatkan sedemikian rupa, namun
‘dijual’ sebagai kebenaran (Silverman, 2015)4. Hoaks adalah “deliberate
fabrication or falsification in the mainstream or social media (pemalsuan
atau perekayasaan informasi yang disengaja dalam media sosial maupun media arus
utama lainnya)” (Rubin, Chen dan Conroy, 2015)5. Hoaks acap disamakan dengan fake
news, yaitu berita palsu yang mengandung informasi yang disengaja guna
menyesatkan orang dan kerap memiliki agenda politik tertentu (Merwe, 2016)6.
Bukan sekadar ‘misleading’ alias menyesatkan, informasi dalam fake
news juga tidak memiliki landasan faktual, namun disajikan seolah-olah
sebagai serangkaian kebenaran. Jadi, bisa disimpulkan, sebuah informasi
dikatakan hoaks jika memenuhi tiga unsur: ((1) informasi yang menyesatkan (misleading
information); dan (2) tindakan yang disengaja (deliberate or
purposefully act); dan (3) ketidakbenaran yang ditampilkan
seolah-olah sebagai kebenaran (presented untruth as the ultimate truth).
Sumber hoaks secara garis besar ada dua, yaitu
misinformasi dan disinformasi. Misinformasi adalah informasi yang salah,
sementara disinformasi adalah informasi yang sengaja dikelirukan.
Konten misinformasi dan disinformasi yang sering
dikemas menjadi hoaks terdiri atas: (1) Satire/parodi (yang kerap
disalahpahami); (2) Konten menyesatkan (yang biasanya mem-framing sebuah isu
untuk mendukung atau mendiskreditkan pihak lain); (3) Konten tiruan (ketika
sumber aslinya ditiru/dipalsukan); (4) Konten palsu (isinya 100% salah dan
didesain untuk menipu); (5) Keterkaitan yang salah (ketika judul, isi,
gambar/foto tidak mendukung konten); (6) Konten yang salah (ketika konten asli
dipadankan atau diframing dengan konteks yang tidak tepat); dan (7) Konten yang
Dimanipulasi (ketika teks atau gambar yang asli sengaja diutak-atik dengan
tujuan untuk menipu)).
Satu hal
yang menarik dan tampaknya ‘khas’ Indonesia, hoaks masih kerap disalahkaprahkan
dengan janji yang tidak atau belum dipenuhi. Tidak tepat janji, dikatakan
hoaks. Ini biasanya dipakai untuk mendiskreditkan pihak-pihak tertentu dalam
Pemilu. Hoaks bukanlah janji yang tidak/belum ditepati. Masalah janji yang
belum ditepati adalah masalah ending, masalah di akhir.
Tolok ukurnya pada pemenuhan janji-janji
tersebut, sesuai dengan term yang disepakati. Hoaks adalah false/falsified
information yang sudah dikelirukan sejak awal dinyatakan. Hoaks diawali
dengan pernyataan yang mengandung data yang seolah-olah faktual. Tidak ada
hoaks yang diawali dengan ‘kalau…’ ‘jika… ‘ dan sejenisnya—ini spekulatif
namanya. Tolok ukurnya pada keabsahan atau validitas data tersebut. Tidak ada
kaitannya dengan pemenuhan janji-janji kampanyePenelitian tentang hoaks di
Indonesia masih sedikit, mengingat fenomena ini baru masif sekitar dua – tiga
tahun belakangan ini. Kendati demikian, terdapat beberapa penelitian yang bisa
menggambarkan seperti apa wajah hoaks di Indonesia. Survey Mastel tahun 2016
yang dipublikasikan pada bulan Februari 2017 mengungkap sejumlah fakta penting
tentang keberadaan hoaks di tengah masyarakat.
Hoaks yang paling sering ditemuka berbentuk
tulisan (62.10%), disusul oleh gambar (37.50%). Kedua, hoaks paling banyak
beredar di media sosial (92.40%). Ada empat medsos yang diidentifikasi, yaitu
Facebook, Twitter, Instagram dan Path. Disusul oleh penyebaran hoaks di
aplikasi chatting (62.80%). Tiga aplikasi chatting yang paling
banyak menjadi lokasi penyebaran hoaks adalah Whatsapp, Line dan Telegram.
Popularitas BBM sudah jauh menurun. Persentase situs web penyebar hoaks
mencapai 34.9%.
Data Kemenkominfo menyebutkan adanya 800.000
situs penyebar hoaks di Indonesia10, dua di antaranya adalah pos-metro.com dan
nusanews.com11. Kedua situs ini terkategori ‘istimewa’ karena berita hoaksnya
termasuk yang paling banyak di-share oleh netizen Indonesia. Ini belum termasuk
akun-akun media sosial seperti Jonru, Nanik Deyang, dan lain-lain kerap juga
menyebarluaskan berita hoaks di statusnya masing-masing. Ketiga, jenis hoaks
yang paling sering diterima oleh publik adalah hoaks bertema sosial politik
(91.8%), SARA (88.6%), kesehatan (41.2%), makanan/minuman (32.6%), penipuan
keuangan (24.6%), dan iptek (23.7%).
Kategori hoaks lain yang persentasenya di bawah
20% adalah berita duka, candaan, bencana alam dan lalulintas. Jangan salah,
biarpun kategorinya di bawah 20%, tetap saja ngeselin. Keluarga pak Habibie
menghitung setidaknya sudah 5 kali beliau dikabarkan meninggal dunia. Begitu
tahu kabar itu salah, reaksi umum adalah “yah, anggap saja doa panjang umur”.
Khas Indonesia, dan menggampangkan masalah. Hoaks tentang lalulintas, biar
persentasenya paling sedikit, jelas bikin jengkel. Sudah siap-siap pindah rute,
eh ternyata arus lalin yang katanya ditutup itu baik-baik saja. Alhasil
terpaksa buang bensin nggak perlu, buang energi dan menguapkan cadangan emosi
karena semua orang lewat jalan alternatif sehingga bikin macet dari ujung ke
ujung.
Masih menurut survey Mastel, seberapa parahkah
dampak hoaks? 84.5% menganggap hoaks sangat mengganggu kehidupan mereka. 75.9%
menyatakan hoaks telah mengganggu kerukunan masyarakat di Indonesia. Dan, ya,
70% memastikan hoaks telah menghambat dan mengganggu jalannya pembangunan di
Indonesia. Rasanya, saya tidak perlu mengulang kabar ihwal tragedi hoaks
penculik anak yang merenggut nyawa pak Maman di Mempawah Kalimantan. Bapak yang
berangkat jauh-jauh sambung-sambung angkot hendak menjenguk cucunya, dikeroyok
sampai mati dikira penculik anak. Padahal, ia yang berpeluh berkeringat membawa
hasil bumi untuk oleh-oleh, hanya numpang beristirahat di Kantor Kepala Desa.
Ekspresinya yang tampak kebingungan karena
kehilangan alamat anaknya dihakimi massa sebagai tampang penculik mencari
mangsa. Mamanpun dikeroyok ramai-ramai, tewas dihakimi massa, padahal ia
jelas-jelas tak mengganggu siapapun12. Rasanya, kita juga tak perlu mengulang
tragedi bentrok antarkampung di Indramayu yang merusak 99 rumah di Desa Curug
gegara dipicu berita hoaks13. Ini belum lagi fitnah, caci-maki, dan perpecahan
akibat hoaks. Sampai di sini, masihkah hoaks di Indonesia kita anggap enteng?
b.
Hoaks dan Perilaku Masyarakat Indonesia
Pertanyaan yang kerap muncul saat mendiskusikan
hoaks adalah mengapa masyarakat Indonesia begitu gampang terpengaruh hoaks? Apa
yang menyebabkan hoaks begitu marak? Survey Mastel merinci beberapa penyebab,
di antaranya: (1) Hoaks digunakan sebagai alat untuk memengaruhi opini publik
(40.6%), (2) Masyarakat senang berita heboh (28.9%), (3) Belum ada atau
minimnya tindakan hukum (22.90%), (4) Dapat dimanfaatkan sebagai peluang bisnis
(7.6%).
Berkaca pada apa yang terjadi di negara lain,
maupun yang terjadi di Indonesia belakangan ini, penyebaran hoaks tidak pernah
melibatkan satu pihak. Rantai penyebaran hoaks meliputi (1) Produser atau
kreator hoaks; (2) Distributor atau penyebar hoaks—bisa menyatu dengan sang
produser, bisa juga agen buzzer sendiri; (3) Retailer alias pengecer.
Ada pengecer yang buka jasa secara profesional seperti buzzer, ada juga
yang cuma ikut-ikutan terprovokasi saja, mau nyebar hoaks gratisan dengan
alasan ini itu; (4) Konsumen hoaks, yaitu mereka yang menjadi sasaran hoaks. Layaknya
micin, ada konsumen yang doyan, ada yang tidak mau karena tahu racunnya,
eh ada juga yang pilih-pilih—meyakini hoaks yang sesuai dengan keyakinannya.
Dalam rantai sebaran hoaks tadi, coba tebak, kategori mana yang paling banyak
di Indonesia? Betul, jawabannya adalah nomor tiga yaitu retailer, alias
pengecer. Mereka ini bukan buzzer, tetapi pengecer sukarela yang
mau-maunya bekerja untuk keuntungan orang lain.
Tentu saja, saat melakukannya, para pengecer ini
tidak sadar kalau ‘kepolosannya’ sedang dimanfaatkan. Dipikirnya sedang
berjuang membela ideologi atau nilai-nilai agama, atau sedang melawan
propaganda rezim. Well, macam-macam alasan tentu saja bisa dibuat. Tentu
saja, semua inipun tak lepas dari rendahnya literasi atau kemampuan membaca dan
menulis, yang mestinya dimanfaatkan untuk berbagai keperluan. Rendahnya
literasi itu, pada taraf yang paling dasar, terlihat dari ketidakmampuan
membedakan hoaks dan bukan hoaks. Padahal, ciri-ciri hoaks sebenarnya gampang
diketahui. Judul bombastis provokatif, informasi lebay (too good to be true,
too bad to be true), kalimat emosional, tanpa data. Jika pun ada data,
kebenarannya tidak dapat dipertanggungjawabkan.
c.
Melawan Hoaks dengan Social engineering Masyarakat
Digital
Dalam setiap situasi
apapun, kita harus optimis. Begitu pula saat berhadapan dengan hoaks. Bagaimana
mencegah penyebaran hoaks? Para pemroduksi hoaks, terutama yang terorganisir,
berasal dari kalangan yang melek digital. Mereka punya akses ke
teknologi digital, menguasai seluk-beluk pemanfaatannya, dan mengetahui
psikologi massa netizen Indonesia. Tindakan seperti blokir dan flagging,
walau bermanfaat, tetap tidak mampu memberikan manfaat jangka panjang. Tidak
ada satupun solusi yang efektif, kalau digunakan sendiri-sendiri. Dalam upaya
memberantas hoaks, ijinkan saya memperkenalkan model Inokulasi.
Dari sudut pandang Ilmu
Komunikasi, merajalelanya hoaks dapat dianalogikan dengan model Inokulasi.
Model Inokulasi dirilis oleh William McGuire (1961), dan pada awalnya digunakan
untuk menjelaskan operasi komunikasi dan kontrakomunikasi. Pemakaiannya
berkembang pada praktik periklanan dan pemasaran. Kini, mari kita lihat
bagaimana model ini bisa diaplikasikan untuk melawan hoaks.
Berkaca pada model
Inokulasi, hoaks dapat kita andaikan sebagai virus. Untuk membendung virus,
dibutuhkan dua strategi. Pertama, menyuntikkan antivirus sebagai solusi
tindakan darurat. Kedua, seiring dengan injeksi antivirus, dilakukan vaksinasi
untuk solusi jangka panjang. Dalam mengatasi sebaran wabah/virus, antivirus berfungsi
guna melemahkan atau membunuh virus guna mencegah meluasnya dampak virus secara
langsung. Sementara vaksin membantu tubuh untuk mengembangkan sistem kekebalan
tubuh, yang dapat mengatasi serangan-serangan virus lebih lanjut. Ketika virus
hoaks merajalela, antivirus yang dibutuhkan adalah hoaksbuster dan law
enforcement. Penegakan hukum secara tegas diperlukan bukan hanya untuk menangkap
dan melokalisir pelaku, tetapi juga memberikan efek jera pada yang lain.
Sementara yang dimaksud dengan hoaksbuster adalah ‘pasukan’ pengurai
hoaks dan penawar racun hoaks.
Saya ingin
menggarisbawahi peran hoaksbuster. Mereka adalahorang-orang yang memerangi hoaks
dengan acara: (1) membongkar trik atau tipuan hoaks, dan/atau (2)
menyebarluaskan temuan (hoaks yang di-debunk) ke kelompok-kelompok yang
telah telanjur terinfeksi. Peta sebaran hoaks yang dikaji oleh di University of
Columbia, sebagaimana dikutip dalam sebuah diskusi memperlihatkan, peran
hoaksbuster sangat signifikan dalam melokalisir sebaran hoaks, terutama yang
beredar di grup-grup aplikasi chatting16. Tentu saja, hoaksbuster ini
membutuhkan support. Secara teknis, mereka perlu dibekali dengan kemampuan
dasar membongkar atau memecahkan hoaks (yang sebenarnya sederhana saja). Selain
itu, perlu dibuat sebanyak-banyak situs fact checkers untuk memudahkan
para hoaksbuster.
Secara psikologis,
hoaksbuster perlu diberi penguatan mental. Maklum, ketika mereka beraksi
membongkar hoaks, pihak penyebar hoaks jelas tak terima dan ramai-ramai mem bully
sang hoaksbuster yang jumlahnya jauh lebih sedikit. Perlu ada penguatan
mental agar mereka tidak mengambil langkah meninggalkan kelompok chattingnya
(siapa sih yang tahan di-bully?). Tindakan left the group berisiko
membentuk atau menguatkan echo chamber—sebuah fenomena di mana sebuah
grup hanya memiliki satu ‘warna’, satu ‘suara’, sehingga gagal mendapatkan
penjelasan alternatif atau memperoleh perspektif yang berbeda, yang kemungkinan
mengandung kebenaran. Echo chamber beresiko membentuk polarisasi dan
menguatkan confirmatory maupun implicit bias, seperti yang sudah
dijelaskan sebelumnya.
Selain antivirus,
perlawanan terhadap virus perlu dilengkapi dengan vaksin agar wabah selanjutnya
dapat dicegah. Tugas vaksin adalah membangun daya imunitas tubuh terhadap
serangan virus. Untuk melawan hoaks, vaksin yang diperlukan adalah penanaman literasi
di semua lini—mulai dari literasi dasar maupun jenis-jenis literasi lainnya
seperti literasi informasi17, literasi media18, dan literasi digital19.
Kapasitas literasi inilah yang akan berfungsi sebagai daya imunitas bagi publik
untuk melindungi diri mereka dari hoaks.
Referensi :
Adepina,
dkk. (2018). Isu-Isu Masyarakat Digital
Kontemporer. Seri Literasi Digital. Dapat diakses http:/literasidigital.id.
Azhar,
Tauhid Nur, dkk. (2018). Gence : Membedah Anatomi Peradaban Digital. Bandung.
Tasdiqiya Publisher.
Jaringan Pegiat
Literasi Digital (Japelidi). (2018). Panduan
Literasi Digital. Yogyakarta.
Japelidi.
(2018). Yuk, Jadi Gamer Cerdas: Berbagi Informasi Melalui Literasi. Yogyakarta.
Cetakan 1, 12 September 2018. ISBN 978-602-71877-5-7. Prodi Magister Ilmu Komunikasi
UGM.
Kominfo.
(2018). Panduan internet bagi orangtua. Siberkreasi. Jakarta. Tidak Diterbitkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar