Rabu, 23 Oktober 2019

Anti Hoax


Generasi Anti Hoax

Dapatkah Anda sebutkan, paling tidak dalam setahun belakangan ini, satu hari di mana Anda bebas hoaks saat membuka media sosial? Jempol sepuluh jari jika ada. Hari-hari ini, khususnya pasca Pilpres 2014, hoaks merajalela. Bukan berarti hoaks tak pernah ada. Hoaks sudah eksis sejak dulu. Namun, digitalisasi yang mengamplifikasi data dan kecepatan penyebaran informasi membuat serangan hoaks begitu masif belakangan ini.
Bagi beberapa pihak, hoaks adalah hal biasa. Salah atau selip informasi, maafkan saja. Manusia tidak bebas salah toh? Hoaks nggak usah dianggap serius. Secepat itu datangnya, secepat itu juga hilang dan ditimpa oleh limpahan informasi lainnya. Atau, ditimpa oleh hoaks-hoaks lainnya. Bagi pihak lain, hoaks adalah tambang emas. Bisnis hoaks yang mendulang like (dan share) berpotensi menghasilkan pendapatan yang tidak sedikit. Paul Horner mendapatkan tak kurang dari USD 10.000 atau 133 juta rupiah setiap bulan. Di kawasan Macedonia, anak-anak muda yang berkecimpung dalam bisnis hoaks menghasilkan USD 60.000 selama enam bulan menggoreng isu hoaks dalam Pilpres US kemarin, atau setara dengan 800 juta rupiah1.
Seorang informan di talkshow “Mata Najwa” mengaku mendapatkan 300 hingga 500 juta rupiah per bulan dari situs web hoaks yang dikelolanya. Pendapatan itu bersumber dari iklan di situs web tersebut2. Jika dalam sebulan ia dan timnya bisa mengelola 2 situs web hoaks (yang katanya operasionalnya mudah saja), maka pendapatannya bisa mencapai 1 milyar rupiah. Masih ingat dengan nama “Saracen” bukan? Jaringan pebisnis hoaks tersebut pasang tarif 72 juta rupiah untuk setiap paket unggahan hoaks berkonten SARA.
Rinciannya, 15 juta untuk biaya pembuatan situs, 45 juta untuk 15 orang buzzer per bulan, 10 juta untuk Jasriadi sang boss Saracen. Mereka eksis sejak Agustus 2015.3 Bayangkan, sudah berapa banyak uang yang mereka dapatkan. Jangan lupa hitung juga berapa banyak kerusuhan yang sudah terjadi diakibatkan oleh sebaran hoaks tersebut. Mengingat parahnya sebaran dan dampak hoaks, tak heran jika bagi yang lain hoaks menjadi pemecah belah keluarga, ancaman terhadap lingkar pertemanan, hubungan persaudaraan, sampai perusak persatuan bangsa dan negara. Hoaks meracuni grup media sosial. Yang tujuan awalnya dibentuk untuk saling beramah tamah dan bersilaturahmi, akhirnya malah jadi berantem dan kubu-kubuan.
Hoaks mencemari dunia akademis. Yang tadinya dibentuk untuk sharing informasi valid dan shahih, jadinya malah digunakan untuk sebar berita bohong demi tujuan tertentu. Hoaks menggoncang dunia sosialita emak-emak. Yang tadinya bikin grup untuk hidup bahagia dengan sharing resep, tempat makan enak dan info parenting, akhirnya tercemar oleh hoaks yang menggiring pada permusuhan dan bikin orang jadi paranoid. Masifnya hoaks yang beredar hari-hari ini membuat pihak terakhir ini menganggap bahwa Indonesia sudah termasuk dalam kategori negara darurat hoaks.

a.      Serba-serbi Hoaks di Indonesia
Berkaca pada beberapa definisi, hoaks dirumuskan sebagai rangkaian informasi yang sengaja disesatkan sedemikian rupa, namun ‘dijual’ sebagai kebenaran (Silverman, 2015)4. Hoaks adalah “deliberate fabrication or falsification in the mainstream or social media (pemalsuan atau perekayasaan informasi yang disengaja dalam media sosial maupun media arus utama lainnya)” (Rubin, Chen dan Conroy, 2015)5. Hoaks acap disamakan dengan fake news, yaitu berita palsu yang mengandung informasi yang disengaja guna menyesatkan orang dan kerap memiliki agenda politik tertentu (Merwe, 2016)6. Bukan sekadar ‘misleading’ alias menyesatkan, informasi dalam fake news juga tidak memiliki landasan faktual, namun disajikan seolah-olah sebagai serangkaian kebenaran. Jadi, bisa disimpulkan, sebuah informasi dikatakan hoaks jika memenuhi tiga unsur: ((1) informasi yang menyesatkan (misleading information); dan (2) tindakan yang disengaja (deliberate or purposefully act); dan (3) ketidakbenaran yang ditampilkan seolah-olah sebagai kebenaran (presented untruth as the ultimate truth).
Sumber hoaks secara garis besar ada dua, yaitu misinformasi dan disinformasi. Misinformasi adalah informasi yang salah, sementara disinformasi adalah informasi yang sengaja dikelirukan.
Konten misinformasi dan disinformasi yang sering dikemas menjadi hoaks terdiri atas: (1) Satire/parodi (yang kerap disalahpahami); (2) Konten menyesatkan (yang biasanya mem-framing sebuah isu untuk mendukung atau mendiskreditkan pihak lain); (3) Konten tiruan (ketika sumber aslinya ditiru/dipalsukan); (4) Konten palsu (isinya 100% salah dan didesain untuk menipu); (5) Keterkaitan yang salah (ketika judul, isi, gambar/foto tidak mendukung konten); (6) Konten yang salah (ketika konten asli dipadankan atau diframing dengan konteks yang tidak tepat); dan (7) Konten yang Dimanipulasi (ketika teks atau gambar yang asli sengaja diutak-atik dengan tujuan untuk menipu)).
 Satu hal yang menarik dan tampaknya ‘khas’ Indonesia, hoaks masih kerap disalahkaprahkan dengan janji yang tidak atau belum dipenuhi. Tidak tepat janji, dikatakan hoaks. Ini biasanya dipakai untuk mendiskreditkan pihak-pihak tertentu dalam Pemilu. Hoaks bukanlah janji yang tidak/belum ditepati. Masalah janji yang belum ditepati adalah masalah ending, masalah di akhir.
Tolok ukurnya pada pemenuhan janji-janji tersebut, sesuai dengan term yang disepakati. Hoaks adalah false/falsified information yang sudah dikelirukan sejak awal dinyatakan. Hoaks diawali dengan pernyataan yang mengandung data yang seolah-olah faktual. Tidak ada hoaks yang diawali dengan ‘kalau…’ ‘jika… ‘ dan sejenisnya—ini spekulatif namanya. Tolok ukurnya pada keabsahan atau validitas data tersebut. Tidak ada kaitannya dengan pemenuhan janji-janji kampanyePenelitian tentang hoaks di Indonesia masih sedikit, mengingat fenomena ini baru masif sekitar dua – tiga tahun belakangan ini. Kendati demikian, terdapat beberapa penelitian yang bisa menggambarkan seperti apa wajah hoaks di Indonesia. Survey Mastel tahun 2016 yang dipublikasikan pada bulan Februari 2017 mengungkap sejumlah fakta penting tentang keberadaan hoaks di tengah masyarakat.
Hoaks yang paling sering ditemuka berbentuk tulisan (62.10%), disusul oleh gambar (37.50%). Kedua, hoaks paling banyak beredar di media sosial (92.40%). Ada empat medsos yang diidentifikasi, yaitu Facebook, Twitter, Instagram dan Path. Disusul oleh penyebaran hoaks di aplikasi chatting (62.80%). Tiga aplikasi chatting yang paling banyak menjadi lokasi penyebaran hoaks adalah Whatsapp, Line dan Telegram. Popularitas BBM sudah jauh menurun. Persentase situs web penyebar hoaks mencapai 34.9%.
Data Kemenkominfo menyebutkan adanya 800.000 situs penyebar hoaks di Indonesia10, dua di antaranya adalah pos-metro.com dan nusanews.com11. Kedua situs ini terkategori ‘istimewa’ karena berita hoaksnya termasuk yang paling banyak di-share oleh netizen Indonesia. Ini belum termasuk akun-akun media sosial seperti Jonru, Nanik Deyang, dan lain-lain kerap juga menyebarluaskan berita hoaks di statusnya masing-masing. Ketiga, jenis hoaks yang paling sering diterima oleh publik adalah hoaks bertema sosial politik (91.8%), SARA (88.6%), kesehatan (41.2%), makanan/minuman (32.6%), penipuan keuangan (24.6%), dan iptek (23.7%).
Kategori hoaks lain yang persentasenya di bawah 20% adalah berita duka, candaan, bencana alam dan lalulintas. Jangan salah, biarpun kategorinya di bawah 20%, tetap saja ngeselin. Keluarga pak Habibie menghitung setidaknya sudah 5 kali beliau dikabarkan meninggal dunia. Begitu tahu kabar itu salah, reaksi umum adalah “yah, anggap saja doa panjang umur”. Khas Indonesia, dan menggampangkan masalah. Hoaks tentang lalulintas, biar persentasenya paling sedikit, jelas bikin jengkel. Sudah siap-siap pindah rute, eh ternyata arus lalin yang katanya ditutup itu baik-baik saja. Alhasil terpaksa buang bensin nggak perlu, buang energi dan menguapkan cadangan emosi karena semua orang lewat jalan alternatif sehingga bikin macet dari ujung ke ujung.
Masih menurut survey Mastel, seberapa parahkah dampak hoaks? 84.5% menganggap hoaks sangat mengganggu kehidupan mereka. 75.9% menyatakan hoaks telah mengganggu kerukunan masyarakat di Indonesia. Dan, ya, 70% memastikan hoaks telah menghambat dan mengganggu jalannya pembangunan di Indonesia. Rasanya, saya tidak perlu mengulang kabar ihwal tragedi hoaks penculik anak yang merenggut nyawa pak Maman di Mempawah Kalimantan. Bapak yang berangkat jauh-jauh sambung-sambung angkot hendak menjenguk cucunya, dikeroyok sampai mati dikira penculik anak. Padahal, ia yang berpeluh berkeringat membawa hasil bumi untuk oleh-oleh, hanya numpang beristirahat di Kantor Kepala Desa.
Ekspresinya yang tampak kebingungan karena kehilangan alamat anaknya dihakimi massa sebagai tampang penculik mencari mangsa. Mamanpun dikeroyok ramai-ramai, tewas dihakimi massa, padahal ia jelas-jelas tak mengganggu siapapun12. Rasanya, kita juga tak perlu mengulang tragedi bentrok antarkampung di Indramayu yang merusak 99 rumah di Desa Curug gegara dipicu berita hoaks13. Ini belum lagi fitnah, caci-maki, dan perpecahan akibat hoaks. Sampai di sini, masihkah hoaks di Indonesia kita anggap enteng?

b.      Hoaks dan Perilaku Masyarakat Indonesia
Pertanyaan yang kerap muncul saat mendiskusikan hoaks adalah mengapa masyarakat Indonesia begitu gampang terpengaruh hoaks? Apa yang menyebabkan hoaks begitu marak? Survey Mastel merinci beberapa penyebab, di antaranya: (1) Hoaks digunakan sebagai alat untuk memengaruhi opini publik (40.6%), (2) Masyarakat senang berita heboh (28.9%), (3) Belum ada atau minimnya tindakan hukum (22.90%), (4) Dapat dimanfaatkan sebagai peluang bisnis (7.6%).
Berkaca pada apa yang terjadi di negara lain, maupun yang terjadi di Indonesia belakangan ini, penyebaran hoaks tidak pernah melibatkan satu pihak. Rantai penyebaran hoaks meliputi (1) Produser atau kreator hoaks; (2) Distributor atau penyebar hoaks—bisa menyatu dengan sang produser, bisa juga agen buzzer sendiri; (3) Retailer alias pengecer. Ada pengecer yang buka jasa secara profesional seperti buzzer, ada juga yang cuma ikut-ikutan terprovokasi saja, mau nyebar hoaks gratisan dengan alasan ini itu; (4) Konsumen hoaks, yaitu mereka yang menjadi sasaran hoaks. Layaknya micin, ada konsumen yang doyan, ada yang tidak mau karena tahu racunnya, eh ada juga yang pilih-pilih—meyakini hoaks yang sesuai dengan keyakinannya. Dalam rantai sebaran hoaks tadi, coba tebak, kategori mana yang paling banyak di Indonesia? Betul, jawabannya adalah nomor tiga yaitu retailer, alias pengecer. Mereka ini bukan buzzer, tetapi pengecer sukarela yang mau-maunya bekerja untuk keuntungan orang lain.
Tentu saja, saat melakukannya, para pengecer ini tidak sadar kalau ‘kepolosannya’ sedang dimanfaatkan. Dipikirnya sedang berjuang membela ideologi atau nilai-nilai agama, atau sedang melawan propaganda rezim. Well, macam-macam alasan tentu saja bisa dibuat. Tentu saja, semua inipun tak lepas dari rendahnya literasi atau kemampuan membaca dan menulis, yang mestinya dimanfaatkan untuk berbagai keperluan. Rendahnya literasi itu, pada taraf yang paling dasar, terlihat dari ketidakmampuan membedakan hoaks dan bukan hoaks. Padahal, ciri-ciri hoaks sebenarnya gampang diketahui. Judul bombastis provokatif, informasi lebay (too good to be true, too bad to be true), kalimat emosional, tanpa data. Jika pun ada data, kebenarannya tidak dapat dipertanggungjawabkan.

c.      Melawan Hoaks dengan Social engineering Masyarakat Digital
Dalam setiap situasi apapun, kita harus optimis. Begitu pula saat berhadapan dengan hoaks. Bagaimana mencegah penyebaran hoaks? Para pemroduksi hoaks, terutama yang terorganisir, berasal dari kalangan yang melek digital. Mereka punya akses ke teknologi digital, menguasai seluk-beluk pemanfaatannya, dan mengetahui psikologi massa netizen Indonesia. Tindakan seperti blokir dan flagging, walau bermanfaat, tetap tidak mampu memberikan manfaat jangka panjang. Tidak ada satupun solusi yang efektif, kalau digunakan sendiri-sendiri. Dalam upaya memberantas hoaks, ijinkan saya memperkenalkan model Inokulasi.
Dari sudut pandang Ilmu Komunikasi, merajalelanya hoaks dapat dianalogikan dengan model Inokulasi. Model Inokulasi dirilis oleh William McGuire (1961), dan pada awalnya digunakan untuk menjelaskan operasi komunikasi dan kontrakomunikasi. Pemakaiannya berkembang pada praktik periklanan dan pemasaran. Kini, mari kita lihat bagaimana model ini bisa diaplikasikan untuk melawan hoaks.
Berkaca pada model Inokulasi, hoaks dapat kita andaikan sebagai virus. Untuk membendung virus, dibutuhkan dua strategi. Pertama, menyuntikkan antivirus sebagai solusi tindakan darurat. Kedua, seiring dengan injeksi antivirus, dilakukan vaksinasi untuk solusi jangka panjang. Dalam mengatasi sebaran wabah/virus, antivirus berfungsi guna melemahkan atau membunuh virus guna mencegah meluasnya dampak virus secara langsung. Sementara vaksin membantu tubuh untuk mengembangkan sistem kekebalan tubuh, yang dapat mengatasi serangan-serangan virus lebih lanjut. Ketika virus hoaks merajalela, antivirus yang dibutuhkan adalah hoaksbuster dan law enforcement. Penegakan hukum secara tegas diperlukan bukan hanya untuk menangkap dan melokalisir pelaku, tetapi juga memberikan efek jera pada yang lain. Sementara yang dimaksud dengan hoaksbuster adalah ‘pasukan’ pengurai hoaks dan penawar racun hoaks.
Saya ingin menggarisbawahi peran hoaksbuster. Mereka adalahorang-orang yang memerangi hoaks dengan acara: (1) membongkar trik atau tipuan hoaks, dan/atau (2) menyebarluaskan temuan (hoaks yang di-debunk) ke kelompok-kelompok yang telah telanjur terinfeksi. Peta sebaran hoaks yang dikaji oleh di University of Columbia, sebagaimana dikutip dalam sebuah diskusi memperlihatkan, peran hoaksbuster sangat signifikan dalam melokalisir sebaran hoaks, terutama yang beredar di grup-grup aplikasi chatting16. Tentu saja, hoaksbuster ini membutuhkan support. Secara teknis, mereka perlu dibekali dengan kemampuan dasar membongkar atau memecahkan hoaks (yang sebenarnya sederhana saja). Selain itu, perlu dibuat sebanyak-banyak situs fact checkers untuk memudahkan para hoaksbuster.
Secara psikologis, hoaksbuster perlu diberi penguatan mental. Maklum, ketika mereka beraksi membongkar hoaks, pihak penyebar hoaks jelas tak terima dan ramai-ramai mem bully sang hoaksbuster yang jumlahnya jauh lebih sedikit. Perlu ada penguatan mental agar mereka tidak mengambil langkah meninggalkan kelompok chattingnya (siapa sih yang tahan di-bully?). Tindakan left the group berisiko membentuk atau menguatkan echo chamber—sebuah fenomena di mana sebuah grup hanya memiliki satu ‘warna’, satu ‘suara’, sehingga gagal mendapatkan penjelasan alternatif atau memperoleh perspektif yang berbeda, yang kemungkinan mengandung kebenaran. Echo chamber beresiko membentuk polarisasi dan menguatkan confirmatory maupun implicit bias, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya.
Selain antivirus, perlawanan terhadap virus perlu dilengkapi dengan vaksin agar wabah selanjutnya dapat dicegah. Tugas vaksin adalah membangun daya imunitas tubuh terhadap serangan virus. Untuk melawan hoaks, vaksin yang diperlukan adalah penanaman literasi di semua lini—mulai dari literasi dasar maupun jenis-jenis literasi lainnya seperti literasi informasi17, literasi media18, dan literasi digital19. Kapasitas literasi inilah yang akan berfungsi sebagai daya imunitas bagi publik untuk melindungi diri mereka dari hoaks.

Referensi : 
Adepina, dkk. (2018). Isu-Isu Masyarakat Digital Kontemporer. Seri Literasi Digital. Dapat diakses http:/literasidigital.id.

Azhar, Tauhid Nur, dkk. (2018). Gence : Membedah Anatomi Peradaban Digital. Bandung. Tasdiqiya Publisher.
Jaringan Pegiat Literasi Digital (Japelidi). (2018). Panduan Literasi Digital.  Yogyakarta.
 Japelidi. (2018). Yuk, Jadi Gamer Cerdas: Berbagi Informasi Melalui Literasi. Yogyakarta. Cetakan 1, 12 September 2018. ISBN 978-602-71877-5-7. Prodi Magister Ilmu Komunikasi UGM.
 Kominfo. (2018). Panduan internet bagi orangtua. Siberkreasi. Jakarta.  Tidak Diterbitkan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Penguatan Integrasi Pendidikan

PENGUATAN INTEGRASI PENDIDIKAN DALAM ERA DISUPSI Oleh :  Asep Rohiman Lesmana, M.Pd. Pendidikan merupakan suatu entitas yang s...