Kamis, 03 Oktober 2019

CIU : Fenomena dan Potret


POTRET REMAJA COMPULSIVE INTERNET USE


Oleh :
Asep Rohiman Lesmana


Internet merupakan produk teknologi baru yang terus menerus mengalami perkembangan. Perkembangan aplikasi internet seakan tiada hentinya. Mulai dari aplikasi surat elektronik yang dikenal dengan e-mail, online games, sampai ke jejaring sosial, seperti: twitter, path, instagram, facebook, dan sebagainya. Di tahun 1998 pengguna internet di Indonesia hanya berjumlah 0.5 Juta orang. Tumbuh pesat secara terus menerus hingga menyentuh angka 55 juta pengguna di tahun 2011; 63 juta pengguna di tahun 2012, dan 82 juta di tahun 2013 (APJJI, 2013).
Internet memberikan banyak pengaruh bagi kehidupan manusia. Di satu sisi memberikan berbagai kemudahan bagi penggunanya, tetapi di sisi lain memberikan dampak negatif. Terdapat individu terlarut dalam keasikan mengakses internet, tidak mampu mengontrol penggunaan sehingga berdampak buruk pada pekerjaan, hubungan, atau aktivitas penting lainnya. Penggunaan internet yang tidak lagi sesuai kebutuhan berpotensi menimbulkan beberapa permasalahan yang seringkali disebut sebagai Problematic Internet Use (PIU), di antaranya: compulsive internet use, excessive internet use, internet dependence, patohological internet use, dan adiksi internet.
Dewasa ini, internet dapat dikatakan sebagai bagian integral dalam kehidupan sehari-hari, terutama remaja. Batasan usia remaja yang umum digunakan adalah 12 sampai 21 tahun, sebagian besar sedang berada dalam proses pendidikan sekolah menengah. Remaja menggunakan internet untuk tujuan akademik dan non-akademik. Terdapat banyak aplikasi internet yang dapat digunakan untuk memenuhi tujuan tersebut, seperti: e-mail, bermain online-game, mengakses jejaring sosial, mengakses you tube, mengunduh video atau lagu, instant-messaging, browsing, blogging. Penelitian mengenai penggunaan internet yang populer di antaranya  mengirim atau membaca e-mail (92%), mencari kesenangan atau menjelajahi website secara acak (84%), mengunjungi situs-situs hiburan (83%), instant messaging (74%), dan mencari informasi dan hobi (69%) (Lenhart et al., 2001). Senada dengan hasil penelitian Chou (2005: 384) yang menunjukkan bahwa pengakses internet pada usia remaja berpotensi tinggi mengalami masalah penggunaan internet dan membutuhkan perhatian lebih, terutama pada penggunaan yang kurang tepat dan tidak sesuai serta dampaknya bagi perkembangan psikologis dan fisik remaja.
Remaja dapat memanfaatkan dengan tepat hasil teknologi berupa internet, seperti untuk berkomunikasi sesuai keperluan, mencari informasi, dan menjadikan internet sebagai media yang mendukung pembelajaran. Akan tetapi, terdapat juga remaja yang tidak tepat menggunakaan internet, yakni menggunakan internet untuk hal-hal yang tidak diperlukan dengan durasi dan frekuensi yang berlebihan sehingga mengakibatkan kesulitan mengendalikan tindakan mengakses internet, yang dikenal dengan istilah compulsive internet use (CIU). Kegiatan mengakses internet menjadi lebih mudah karena berkembangnya teknologi komunikasi berupa tablet, smartphone, blackberry, dan PDA. Kemudahan tersebut semakin mempertinggi potensi para penggunanya, terutama siswa, untuk terkena compulsive internet use. Wawancara dengan 15 Guru BK SMP di wilayah Jawa Barat menunjukkan perilaku peserta didik yang lebih berkonsentrasi mengakses internet saat kegiatan belajar mengajar (KBM) di kelas. Selain itu, banyak siswa yang seakan tidak bisa melepaskan pandangannya dari layar gadget  yang dimiliki, selalu terhubung dengan aplikasi di internet bahkan ketika sedang berada di jalan umum. Oleh karena itu, seringkali ditemui siswa/i melakukan browsing, mengakses situs jejaring sosial, dan instant-messaging, bahkan ketika sedang berjalan di tempat umum, mengendarai sepeda motor, dan aktivitas di tempat umum lainnya.
Analisis Sverdlov (Deliusno, 2012) mengungkapkan banyak individu selalu memiliki perangkat yang terhubung dengan Internet dan selalu online, individu tidak menyadari bahwa sedang online padahal melihat Google Map atau meng-update status di Facebook melalui perangkat mobile juga termasuk kegiatan online. Hal tersebut dikarenakan kegiatan online sudah menjadi bagian dari hidup sehari-hari.
Kwon (Young, et al., 2011: 231)  menyatakan bahwa pada Tahun 2008, pemerintah Korea mengestimasi setidaknya 168.000 remaja Korea terkena penyalahgunaan internet dan membutuhkan treatmen. Kemudian penelitian di beberapa negara juga menunjukkan bahwa penyalahgunaan penggunaan internet meningkatkan masalah kesehatan mental pada remaja.
Greenfield (1999) mengungkapkan bahwa perkembangan pesat dari internet yang sudah mudah diakses di rumah, sekolah, kantor, 6% dari penggunanya berpotensi mengakibatkan masalah penyalahgunaan internet. Penelitian lainnya (Brenner, 1997; Young, 1998; Morahan & Schumacer, 1998) mengungkapkan bahwa gangguan-gangguan dari pengaksesan internet secara berlebihan berasosiasi dengan masalah sosial, akademik, keluarga, dan pekerjaan. Gejala-gejala yang muncul di antaranya keasikan mengakses internet, tidak mampu mengontrol penggunaan internet, berbohong atau menyembunyikan perilakunya, penarikan diri secara psikologis (psychological withdrawal),  dan berlanjut menggunakan internet meskipun berdampak tidak baik.
Permasalahan mengakses internet yang tidak tepat guna pada diri remaja dilatarbelakangi oleh banyak faktor, di antaranya adalah karena kekhasan perkembangan masa remaja. Young (Young, et al., 2011: 11) menyatakan  dengan terlibat dalam aktivitas penggunaan internet, remaja mencari kompensasi untuk identitas diri, harga diri, dan jaringan sosial. Senada dengan yang diungkapkan Greenfield (Young, 2007) menemukan bahwa yang tidak mampu mengontrol keinginannya untuk online merasakan teralihkan dari permasalahan dan tidak mampu mengatur aspek-aspek kehidupannya karena terus meningkatkan rasa senang dalam menggunakan internet. Ketidakmampuan mengatur aspek kehidupan pada siswa yang dikarenakan terus meningkatnya rasa senang dalam menggunakan internet berimplikasi pada kedisiplinan siswa mengatur kegiatan belajar. Internet menjadi lebih dominan dibandingkan kegiatan belajar, hal tersebut berpotensi mengakibatkan terganggunya perkembangan akademik siswa. Selain itu, perkembangan akademik juga dipengaruhi oleh kondisi psikologis siswa yang juga ditenggarai dapat dipengaruhi oleh compulsive internet use.  Van der Aa et al (2009: 766) menyatakan ketika remaja terus menerus berada dalam kondisi compulsive internet use, maka akan sedikit waktu dan energi yang secara aktif dihabiskan untuk melakukan interaksi sosial dalam kehidupan sehari-hari dan hal ini akan meningkatkan resiko untuk mengalami kesepian, depresi, dan harga diri rendah. Selain itu, remaja yang menggunakan internet secara kompulsif mengalami kesepian dan lebih depresi dibandingkan dengan remaja yang tidak kompulsif dalam mengakses internet.
Survey di Amerika Serikat (Nurhusni, 2012: 27) menunjukkan bahwa lebih dari 50% individu yang mengalami kecanduan internet juga mengalami kecanduan pada hal lain seperti obat-obatan terlarang, alkohol, rokok dan seks. Kecanduan internet juga timbul akibat masalah-masalah emosional seperti depresi dan gangguan kecemasan dan sering menggunakan dunia fantasi di internet sebagai pengalihan secara psikologis terhadap perasaan-perasaan yang tidak menyenangkan atau situasi yang menimbulkan stress. Berdasarkan hasil survey ini juga diperoleh bahwa 75% individu yang mengalami masalah penggunaan internet disebabkan adanya masalah dalam hubungannya dengan orang lain, kemudian individu tersebut mulai menggunakan aplikasi-aplikasi online yang bersifat interaktif seperti chat room dan game online sebagai cara untuk membentuk hubungan baru dan lebih percaya diri dalam berhubungan dengan orang lain melalui internet.
Masalah compulsive internet use juga terdapat di kalangan siswa SMP Bandung. Fenomena sekarang siswa kurang dapat mengontrol diri untuk mengakses internet ketika di kelas maupun di luar kelas. Selain itu berdasarkan pengamatan Guru BK terkait, aplikasi yang banyak digunakan di antaranya media sosial, online game, web-browser dengan situs tertentu seperti ask.com, youtube, dan google. Berdasarkan hasil need asessment melalui instrumen compulsive internet use  di SMP Bandung, diketahui sebanyak 14,56% siswa kelas VII dan kelas VIII berada pada kategori tinggi. Siswa-siswa yang termasuk pada kategori tinggi memiliki intensitas tertinggi pada gejala compulsive internet use yang meliputi aspek withdrawal symptoms, loss of control, preoccupation/salience, conflict, coping, dan lying to hide internet use. Sebanyak 68,93% siswa mengalami compulsive internet use pada kategori sedang. Artinya sebagian besar siswa di kelas VII dan VIII SMP  memiliki intensitas gejala compulsive internet use yang menengah atau berpotensi mengalami peningkatan menuju kategori compulsive internet use tinggi.   Sebanyak 16,50% siswa mengalami compulsive internet use pada kategori rendah. Siswa pada kategori rendah memiliki skor gejala compulsive internet use yang paling kecil jika dibandingkan dengan dua kategori lainnya yaitu kategori tinggi dan sedang.
Pengolahan instrumen pada pretest di SMP Bandung menunjukkan Aspek tertinggi dalam kelompok populasi adalah aspek Loss of Control yakni pada indikator tidak dapat mengendalikan diri dalam mengakses internet sebanyak 23,52%; kemudian pada aspek withdrawal symptomps sebesar 20,02% dengan indikator dominan lebih menyenangi pertemanan di dunia virtual daripada dunia nyata;  19,78% pada aspek coping atau mengakses internet untuk mereduksi perasaan negatif; 17,17% pada aspek salience atau menjadikan internet sebagai salah satu prioritas dalam keseharian; kemudian pada aspek conflict sebanyak 14,04% yang didominasi oleh konflik dengan diri sendiri; dan aspek dengan presentase terendah pada aspek lying to hide internet use atau menyembunyikan kegiatan mengakses internet dari orang sekitar, yakni 5,46%
Perilaku mengakses internet secara kompulsif yang tidak segera ditangani melalui perlakuan yang tepat atau dibiarkan terus menerus terjadi dipastikan dapat mengganggu performa akademik dan perkembangan siswa. Chou et al., (2005: 369) siswa yang mengakses internet berlebihan ditemukan mengalami masalah akademik, seperti mendapat nilai rendah, academic probation, dan drop-out. Hasil penelitian memberikan gambaran bahwa CIU dapat mengganggu perkembangan akademik siswa di sekolah. Hal tersebut menunjukkan diperlukannya peran bimbingan dan konseling dalam membantu mereduksi CIU yang dialami siswa.
Chou et al (2005: 386) menyatakan sebagai pendidik dan psikolog pendidikan seharusnya sudah dapat mengantisipasi kondisi perubahan perilaku yang diakibakan oleh kemajuan teknologi dalam kehidupan siswa berlangsung sangat cepat dan seperti terus menerus berevolusi. Oleh karena itu, upaya bantuan bagi siswa yang mengalami compulsive internet use menjadi penting. Konselor perlu merancang layanan bimbingan dan konseling yang tepat dan bersifat responsif. Layanan responsif merupakan pemberian bantuan kepada siswa yang menghadapi kebutuhan dan masalah yang memerlukan pertolongan dengan segera, sebab jika tidak segera dibantu dapat menimbulkan gangguan dalam proses pencapaian tugas-tugas perkembangan (ABKIN, 2007: 25). 
Peran Guru BK/Konselor dalam membantu siswa mengatasi compulsive internet use di antaranya melalui layanan konseling, baik secara individual maupun kelompok. Cavanagh dan Levitov (2002: 16) mengartikan konseling sebagai hubungan antara seorang helper yang terlatih dengan seseorang yang mencari bantuan untuk mengatasi masalah, mendefinisikan tujuan, kemudian menempuh serangkaian langkah treatmen untuk memperoleh hasil yang diharapkan Lebih lanjut disebutkan bahwa hasil yang diharapkan dapat diartikan sebagai perkembangan dan pertumbuhan yang meliputi: kompetensi intra-interpersonal, pertumbuhan kepribadian, dan penyelesaian masalah yang dihadapi konseli yang teridentifikasi secara spesifik.
Tiga unsur penting dalam makna konseling, yakni hubungan yang membantu, identifikasi masalah, tujuan, dan treatmen (perlakuan) Cavanagh & Levitov, 2002: 14-16). Oleh karena itu, diperlukan sebuah pendekatan spesifik dalam melakukan konseling, agar konseling yang dilakukan dapat berlangsung efektif dan tepat sasaran.
Diketahui terdapat berbagai pendekatan yang telah terbukti dapat mengatasi masalah penggunaan internet, termasuk compulsive internet use (CIU).  Orzack & Orzack (1999) menyatakan dua pendekatan yakni Cognitive Behavioural Therapy dengan premis bahwa pikiran menentukan perasaan. Apabila individu memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi pikiran-pikirannya, maka dapat diidentifikasi hal-hal yang mendorong individu mengatasi masalah penggunaan internet yang tidak sesuai. Pendekatan lain yakni Motivational Enhancement Therapy, yang membiarkan individu yang mengalami masalah penggunaan internet dan terapis berkolaborasi dalam perencanaan treatmen dan  penetapan tujuan yang ingin dicapai. Pendekatan yang kedua lebih inovatif dan tidak terlalu konfrontatif jika dibandingkan dengan CBT.  
Selain pendekatan yang telah disebutkan, terdapat salah satu pendekatan yang juga terbukti efektif mengatasi masalah terkait compulsive internet use. Pendekatan yang dimaksud merupakan pendekatan yang termasuk pada kategori post-modernisme, yaitu solution focused brief counseling. Solution-focused brief counselling atau dapat diterjemahkan sebagai konseling singkat berfokus solusi merupakan pendekatan konseling yang menekankan pada kekuatan konseli dan berfokus pada solusi-solusi (O’Connell, 2004). Konseling singkat berfokus solusi merupakan model yang sangat baik untuk kelompok sekolah (Murphy, 2008) dan beberapa perkembangan, konseling, dan terapi kelompok karena terapi ini menekankan pada solusi dan coping yang positif. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Dahlan (2011) yang mengungkapkan kualitas hubungan terapeutik merupakan jantung dari keefektifan model konseling singkat berfokus solusi. Salah satu cara untuk menciptakan hubungan terapeutik yang efektif adalah menunjukkan kepada anggota bagaimana mereka dapat menggunakan kekuatan dan sumber daya yang mereka miliki untuk mengkonstruk solusi. Dalam hal ini peran konselor membantu konseli untuk mengenali kompetensi yang dimiliki seseorang.
Terdapat sebuah fakta lapangan yang diperoleh melalui wawancara peneliti dengan 15 Guru BK/Konselor di sekolah (2013), banyak konselor yang mengabaikan teknik dan atau pendekatan tertentu dalam konseling. Alasan yang dikemukakan adalah prosedur model konseling yang sudah ada dipandang kurang memungkinkan untuk dilakukan di sekolah, serta sesi yang digunakan banyak dan lama. Berdasarkan fakta lapangan tersebut, peneliti berasumsi bahwa model konseling yang tepat digunakan untuk mengatasi compulsive internet use siswa. Asumsi peneliti didukung oleh berbagai hasil penelitian yang menunjukkan konseling singkat berfokus solusi dapat mengatasi compulsive internet use,  prosedur konseling yang aplikatif, dan jumlah sesi yang tidak terlalu banyak.
Efektivitas konseling singkat berfokus solusi di antaranya didukung oleh hasil meta analisis Kim (Kelly et al, 2008: 41) yang menyatakan konseling singkat berfokus solusi efektif untuk masalah-masalah perilaku ekternalisasi, seperti agresif; perilaku internalisasi, seperti depresi, kecemasan, harga diri; dan masalah hubungan sosial dan keluarga. Franklin (2008: 15) mengungkapkan konseling singkat berfokus solusi efektif untuk mengatasi perilaku anak dan remaja dalam setting sekolah. Pernyataan tersebut memberikan penegasan bahwa compulsive internet use siswa dapat diatasi dengan konseling singkat berfokus solusi. Konseling singkat berfokus solusi memiliki prinsip memperbaiki yang seharusnya diperbaiki secara spesifik, konkret, dan jelas.
Burns (2005: 2) menyatakan konseling singkat berfokus solusi dapat mengarahkan pada pembentukan harapan-harapan yang mengarahkan pada pencapaian perubahan, peningkatan kemampuan untuk bersikap positif terhadap masalah dan ketidakmampuan mengendalikan diri. Pendekatan ini membantu konseli dan konselor dalam menyadari kemampuan-kemampuan yang dimiliki untuk melewati krisis yang dihadapi. Pendekatan ini dapat dilakukan sebagai alat untuk membantu mengatasi masalah-masalah emosional secara lebih efektif dan untuk meningkatkan keberfungsian individu dalam kehidupan sehari-hari. Konseli diarahkan untuk berfokus pada kekuatan, kemampuan, dan kemungkinan-kemungkinan solusi untuk keluar dari masalah compulsive internet use yang dialami.
Compulsive internet use (CIU) merupakan salah satu masalah pengaksesan internet yang tidak sesuai kebutuhan. Meerkerk et al (2006) menyatakan pada beberapa literatur perilaku mengakses internet dengan karakteristik adiktif seringkali disebut sebagai adiksi internet, akan tetapi hal tersebut tidak dapat dikatakan adiksi pada internet melainkan lebih kepada aplikasi pada internet yang digunakan oleh penggunanya. Istilah compulsive internet use (CIU) dianggap lebih tepat dalam menggambarkan perilaku dengan karakteristik adiktif yang dialami oleh individu yang menggunakan berbagai aplikasi di internet. Meta analisis yang dilakukan Tokunaga dan Rains (2010) memberikan penguatan terhadap ungkapan tersebut, yang menyatakan bahwa compulsive internet use berkaitan erat dengan durasi dan frekuensi mengakses internet, serta lebih menggambarkan karakteristik penggunaan aplikasi-aplikasi internet yang tidak terkendali daripada adiksi yang bersifat patologis.
Pengaksesan internet yang tidak terkendali memberikan dampak negatif. Penelitian mengenai compulsive internet use yang sebagian besar berfokus pada remaja dan social well-being menunjukkan ketidakmampuan mengendalikan penggunaan internet berkorelasi positif dengan kesepian, kekurangmampuan bersosialisasi, kecemasan sosial, ketidakstabilan emosi, masalah akademik, dan masalah sosial (Kerkhof et al, 2012: 5).  Penelitian lainnya (Brenner, 1997; Young, 1998; Morahan & Schumacer, 1998) mengungkapkan bahwa gangguan-gangguan dari pengaksesan internet secara berlebihan berasosiasi dengan masalah sosial, akademik, keluarga, dan pekerjaan. Caldwell dan Cunningham (2010: 1) mengungkapkan masalah penyalahgunaan internet merupakan salah satu penghambat perkembangan aspek pribadi, sosial, belajar, dan karir pada siswa.
Masalah performa akademik merupakan salah satu hal yang diakibatkan oleh compulsive internet use (CIU). Selain itu disebutkan bahwa remaja merupakan usia yang rentan mengalami compulsive internet use (CIU). Performa akademik siswa, terutama yang berada di jenjang sekolah menengah notabene remaja memiliki resiko tinggi untuk mengalami hambatan dikarenakan mengalami compulsive internet use (CIU). Permasalahan yang dipaparkan berimplikasi pada tanggung jawab Guru BK dan Konselor dalam membantu siswa mereduksi compulsive internet use melalui layanan responsif. Layanan responsif merupakan pemberian bantuan kepada siswa yang menghadapi kebutuhan dan masalah yang memerlukan pertolongan dengan segera, sebab jika tidak segera dibantu dapat menimbulkan gangguan dalam proses pencapaian tugas-tugas perkembangan (ABKIN, 2007: 25). 
Diketahui terdapat berbagai pendekatan yang telah terbukti dapat mengatasi masalah penggunaan internet, termasuk compulsive internet use (CIU).  Orzack & Orzack (1999) menyatakan dua pendekatan yakni Cognitive Behavioural Therapy dengan premis bahwa pikiran menentukan perasaan. Apabila individu memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi pikiran-pikirannya, maka dapat diidentifikasi hal-hal yang mendorong individu mengatasi masalah penggunaan internet yang tidak sesuai. Pendekatan lain yakni Motivational Enhancement Therapy, yang membiarkan individu yang mengalami masalah penggunaan internet dan terapis berkolaborasi dalam perencanaan treatmen dan  penetapan tujuan yang ingin dicapai. Pendekatan yang kedua lebih inovatif dan tidak terlalu konfrontatif jika dibandingkan dengan CBT.  
 Salah satu pendekatan konseling yang diasumsikan tepat untuk mereduksi compulsive internet use (CIU) di sekolah yaitu konseling singkat berfokus solusi. Unsur pertama yang menjadi asumsi efektivitas konseling singkat berfokus solusi yaitu intervensi terfokus pada sasaran spesifik yang seharusnya diatasi. Konseling singkat berfokus solusi memiliki prinsip memperbaiki yang seharusnya diperbaiki secara spesifik, konkret, dan jelas. Selain itu, intervensi berlangsung dengan sesi yang cenderung sedikit sehingga berdampak pada waktu yang diperlukan untuk konseling. Hal tersebut dipandang sesuai dengan rasio Guru BK dan siswa di sekolah. Sesuai dengan pernyataan Franklin (2008: 15) yakni konseling singkat berfokus solusi efektif untuk mengatasi perilaku anak dan remaja dalam setting sekolah. Konseling singkat berfokus solusi dapat mengarahkan pada pembentukan harapan-harapan yang mengarahkan pada pencapaian perubahan, peningkatan kemampuan untuk bersikap positif terhadap masalah dan ketidakmampuan mengendalikan diri (Burns, 2005:2). Konseling singkat berfokus solusi mendorong siswa untuk memiliki cara pandang baru yang positif terhadap kesulitan mengendalikan diri dalam mengakses internet.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Penguatan Integrasi Pendidikan

PENGUATAN INTEGRASI PENDIDIKAN DALAM ERA DISUPSI Oleh :  Asep Rohiman Lesmana, M.Pd. Pendidikan merupakan suatu entitas yang s...