POTRET REMAJA COMPULSIVE
INTERNET USE
Oleh :
Asep Rohiman Lesmana
Internet
merupakan produk teknologi baru yang terus menerus mengalami perkembangan.
Perkembangan aplikasi internet seakan tiada hentinya. Mulai dari aplikasi surat
elektronik yang dikenal dengan e-mail,
online games, sampai ke jejaring
sosial, seperti: twitter, path,
instagram, facebook, dan sebagainya. Di tahun 1998 pengguna internet di
Indonesia hanya berjumlah 0.5 Juta orang. Tumbuh pesat secara terus menerus
hingga menyentuh angka 55 juta pengguna di tahun 2011; 63 juta pengguna di
tahun 2012, dan 82 juta di tahun 2013 (APJJI, 2013).
Internet
memberikan banyak pengaruh bagi kehidupan manusia. Di satu sisi memberikan
berbagai kemudahan bagi penggunanya, tetapi di sisi lain memberikan dampak
negatif. Terdapat individu terlarut dalam keasikan mengakses internet, tidak
mampu mengontrol penggunaan sehingga berdampak buruk pada pekerjaan, hubungan,
atau aktivitas penting lainnya. Penggunaan
internet yang tidak lagi sesuai kebutuhan berpotensi menimbulkan beberapa
permasalahan yang seringkali disebut sebagai Problematic Internet Use (PIU), di antaranya: compulsive
internet use, excessive internet use, internet dependence, patohological
internet use, dan adiksi internet.
Dewasa ini, internet dapat dikatakan sebagai bagian
integral dalam kehidupan sehari-hari, terutama remaja. Batasan usia remaja yang
umum digunakan adalah 12 sampai 21 tahun, sebagian besar sedang berada dalam
proses pendidikan sekolah menengah. Remaja menggunakan internet untuk tujuan
akademik dan non-akademik. Terdapat banyak aplikasi internet yang dapat
digunakan untuk memenuhi tujuan tersebut, seperti: e-mail, bermain online-game, mengakses
jejaring sosial, mengakses you tube, mengunduh video atau lagu, instant-messaging, browsing, blogging.
Penelitian mengenai penggunaan internet yang populer di antaranya mengirim atau membaca e-mail (92%), mencari kesenangan atau menjelajahi website secara
acak (84%), mengunjungi situs-situs hiburan (83%), instant messaging (74%), dan mencari informasi dan hobi (69%)
(Lenhart et al., 2001). Senada
dengan hasil penelitian Chou (2005: 384) yang menunjukkan bahwa pengakses
internet pada usia remaja berpotensi tinggi mengalami masalah penggunaan
internet dan membutuhkan perhatian lebih, terutama pada penggunaan yang kurang
tepat dan tidak sesuai serta dampaknya bagi perkembangan psikologis dan fisik
remaja.
Remaja dapat memanfaatkan dengan tepat hasil
teknologi berupa internet, seperti untuk berkomunikasi sesuai keperluan,
mencari informasi, dan menjadikan internet sebagai media yang mendukung
pembelajaran. Akan tetapi, terdapat juga remaja yang tidak tepat menggunakaan
internet, yakni menggunakan internet untuk hal-hal yang tidak diperlukan dengan
durasi dan frekuensi yang berlebihan sehingga mengakibatkan kesulitan
mengendalikan tindakan mengakses internet, yang dikenal dengan istilah compulsive internet use (CIU). Kegiatan mengakses internet menjadi
lebih mudah karena berkembangnya teknologi komunikasi berupa tablet, smartphone, blackberry, dan PDA.
Kemudahan tersebut semakin mempertinggi potensi para penggunanya, terutama
siswa, untuk terkena compulsive internet
use. Wawancara dengan 15 Guru BK SMP di wilayah Jawa Barat menunjukkan
perilaku peserta didik yang lebih berkonsentrasi mengakses internet saat
kegiatan belajar mengajar (KBM) di kelas. Selain itu, banyak siswa yang seakan
tidak bisa melepaskan pandangannya dari layar gadget yang dimiliki, selalu
terhubung dengan aplikasi di internet bahkan ketika sedang berada di jalan
umum. Oleh karena itu, seringkali ditemui siswa/i melakukan browsing, mengakses situs jejaring
sosial, dan instant-messaging, bahkan
ketika sedang berjalan di tempat umum, mengendarai sepeda motor, dan aktivitas
di tempat umum lainnya.
Analisis
Sverdlov (Deliusno, 2012) mengungkapkan banyak individu selalu memiliki perangkat yang terhubung dengan
Internet dan selalu online, individu tidak menyadari bahwa sedang online padahal melihat Google Map
atau meng-update status di Facebook melalui perangkat mobile juga termasuk kegiatan online. Hal tersebut dikarenakan
kegiatan online sudah menjadi bagian
dari hidup sehari-hari.
Kwon (Young, et
al., 2011: 231) menyatakan bahwa
pada Tahun 2008, pemerintah Korea mengestimasi setidaknya 168.000 remaja Korea
terkena penyalahgunaan internet dan membutuhkan treatmen. Kemudian penelitian
di beberapa negara juga menunjukkan bahwa penyalahgunaan penggunaan internet
meningkatkan masalah kesehatan mental pada remaja.
Greenfield
(1999) mengungkapkan bahwa perkembangan pesat dari internet yang sudah mudah diakses
di rumah, sekolah, kantor, 6% dari penggunanya berpotensi mengakibatkan masalah
penyalahgunaan internet. Penelitian lainnya (Brenner, 1997; Young, 1998;
Morahan & Schumacer, 1998) mengungkapkan bahwa gangguan-gangguan dari
pengaksesan internet secara berlebihan berasosiasi dengan masalah sosial,
akademik, keluarga, dan pekerjaan. Gejala-gejala yang muncul di antaranya
keasikan mengakses internet, tidak mampu mengontrol penggunaan internet,
berbohong atau menyembunyikan perilakunya, penarikan diri secara psikologis (psychological withdrawal), dan berlanjut menggunakan internet meskipun
berdampak tidak baik.
Permasalahan mengakses internet yang tidak tepat
guna pada diri remaja dilatarbelakangi oleh banyak faktor, di antaranya adalah
karena kekhasan perkembangan masa remaja. Young (Young, et al.,
2011: 11) menyatakan dengan terlibat
dalam aktivitas penggunaan internet, remaja mencari kompensasi untuk identitas
diri, harga diri, dan jaringan sosial. Senada
dengan yang diungkapkan Greenfield (Young, 2007)
menemukan bahwa yang tidak mampu mengontrol keinginannya untuk online merasakan teralihkan dari
permasalahan dan tidak mampu mengatur aspek-aspek kehidupannya karena terus
meningkatkan rasa senang dalam menggunakan internet. Ketidakmampuan mengatur
aspek kehidupan pada siswa yang dikarenakan terus meningkatnya rasa senang
dalam menggunakan internet berimplikasi pada kedisiplinan siswa mengatur
kegiatan belajar. Internet menjadi lebih dominan dibandingkan kegiatan belajar,
hal tersebut berpotensi mengakibatkan terganggunya perkembangan akademik siswa.
Selain itu, perkembangan akademik juga dipengaruhi oleh kondisi psikologis
siswa yang juga ditenggarai dapat dipengaruhi oleh compulsive internet use. Van
der Aa et al (2009: 766) menyatakan
ketika remaja terus menerus berada dalam kondisi compulsive internet use, maka akan sedikit waktu dan energi yang
secara aktif dihabiskan untuk melakukan interaksi sosial dalam kehidupan
sehari-hari dan hal ini akan meningkatkan resiko untuk mengalami kesepian,
depresi, dan harga diri rendah. Selain itu, remaja yang menggunakan internet
secara kompulsif mengalami kesepian dan lebih depresi dibandingkan dengan
remaja yang tidak kompulsif dalam mengakses internet.
Survey
di Amerika Serikat (Nurhusni, 2012: 27) menunjukkan bahwa lebih dari 50%
individu yang mengalami kecanduan internet juga mengalami kecanduan pada hal
lain seperti obat-obatan terlarang, alkohol, rokok dan seks. Kecanduan internet
juga timbul akibat masalah-masalah emosional seperti depresi dan gangguan
kecemasan dan sering menggunakan dunia fantasi di internet sebagai pengalihan
secara psikologis terhadap perasaan-perasaan yang tidak menyenangkan atau
situasi yang menimbulkan stress. Berdasarkan hasil survey ini juga diperoleh
bahwa 75% individu yang mengalami masalah penggunaan internet disebabkan adanya
masalah dalam hubungannya dengan orang lain, kemudian individu tersebut mulai
menggunakan aplikasi-aplikasi online
yang bersifat interaktif seperti chat
room dan game online sebagai cara
untuk membentuk hubungan baru dan lebih percaya diri dalam berhubungan dengan
orang lain melalui internet.
Masalah
compulsive internet use juga terdapat
di kalangan siswa SMP Bandung. Fenomena sekarang siswa kurang dapat mengontrol diri untuk mengakses internet
ketika di kelas maupun di luar kelas. Selain itu berdasarkan pengamatan Guru BK
terkait, aplikasi yang banyak digunakan di antaranya media sosial, online game, web-browser dengan situs
tertentu seperti ask.com, youtube,
dan google. Berdasarkan hasil need
asessment melalui instrumen compulsive internet use di SMP Bandung,
diketahui sebanyak 14,56% siswa kelas VII dan kelas VIII berada pada kategori tinggi. Siswa-siswa yang termasuk pada
kategori tinggi memiliki intensitas tertinggi pada gejala compulsive internet use yang meliputi aspek withdrawal
symptoms, loss of control, preoccupation/salience, conflict, coping, dan lying to hide internet use. Sebanyak 68,93% siswa mengalami compulsive internet use pada kategori sedang. Artinya sebagian besar siswa di
kelas VII
dan VIII SMP memiliki
intensitas gejala compulsive
internet use yang menengah atau
berpotensi mengalami peningkatan menuju kategori compulsive internet use tinggi. Sebanyak 16,50% siswa mengalami compulsive
internet use pada kategori
rendah. Siswa pada kategori rendah memiliki skor gejala compulsive internet use yang paling kecil jika dibandingkan dengan dua
kategori lainnya yaitu kategori tinggi dan sedang.
Pengolahan instrumen pada pretest di SMP Bandung menunjukkan Aspek
tertinggi dalam kelompok populasi adalah aspek Loss of Control yakni pada indikator tidak dapat mengendalikan diri
dalam mengakses internet sebanyak 23,52%; kemudian pada aspek withdrawal symptomps sebesar 20,02%
dengan indikator dominan lebih menyenangi pertemanan di dunia virtual daripada
dunia nyata; 19,78% pada aspek coping atau mengakses internet untuk
mereduksi perasaan negatif; 17,17% pada aspek salience atau menjadikan internet sebagai salah satu prioritas
dalam keseharian; kemudian pada aspek conflict
sebanyak 14,04% yang didominasi oleh konflik dengan diri sendiri; dan aspek
dengan presentase terendah pada aspek lying
to hide internet use atau menyembunyikan kegiatan mengakses internet dari
orang sekitar, yakni 5,46%
Perilaku
mengakses internet secara kompulsif yang tidak segera ditangani melalui
perlakuan yang tepat atau dibiarkan terus menerus terjadi dipastikan dapat
mengganggu performa akademik dan perkembangan siswa. Chou et al., (2005: 369) siswa yang mengakses internet berlebihan
ditemukan mengalami masalah akademik, seperti mendapat nilai rendah, academic probation, dan drop-out. Hasil penelitian memberikan
gambaran bahwa CIU dapat mengganggu perkembangan akademik siswa di sekolah. Hal
tersebut menunjukkan diperlukannya peran bimbingan dan konseling dalam membantu
mereduksi CIU yang dialami siswa.
Chou
et al (2005: 386) menyatakan sebagai
pendidik dan psikolog pendidikan seharusnya sudah dapat mengantisipasi kondisi
perubahan perilaku yang diakibakan oleh kemajuan teknologi dalam kehidupan
siswa berlangsung sangat cepat dan seperti terus menerus berevolusi. Oleh
karena itu, upaya bantuan bagi siswa yang mengalami compulsive
internet use menjadi
penting. Konselor perlu merancang layanan
bimbingan dan konseling yang tepat dan bersifat responsif. Layanan
responsif merupakan pemberian bantuan kepada siswa yang menghadapi kebutuhan
dan masalah yang memerlukan pertolongan dengan segera, sebab jika tidak segera
dibantu dapat menimbulkan gangguan dalam proses pencapaian tugas-tugas
perkembangan (ABKIN, 2007: 25).
Peran
Guru BK/Konselor dalam membantu siswa mengatasi compulsive internet use di antaranya melalui layanan konseling,
baik secara individual maupun kelompok. Cavanagh dan Levitov (2002: 16)
mengartikan konseling sebagai hubungan antara seorang helper yang terlatih dengan seseorang yang mencari bantuan untuk
mengatasi masalah, mendefinisikan tujuan, kemudian menempuh serangkaian langkah
treatmen untuk memperoleh hasil yang diharapkan Lebih lanjut disebutkan bahwa
hasil yang diharapkan dapat diartikan sebagai perkembangan dan pertumbuhan yang
meliputi: kompetensi intra-interpersonal, pertumbuhan kepribadian, dan
penyelesaian masalah yang dihadapi konseli yang teridentifikasi secara
spesifik.
Tiga
unsur penting dalam makna konseling, yakni hubungan yang membantu, identifikasi
masalah, tujuan, dan treatmen (perlakuan) Cavanagh & Levitov, 2002: 14-16).
Oleh karena itu, diperlukan sebuah pendekatan spesifik dalam melakukan
konseling, agar konseling yang dilakukan dapat berlangsung efektif dan tepat
sasaran.
Diketahui terdapat berbagai pendekatan yang
telah terbukti dapat mengatasi masalah penggunaan internet, termasuk compulsive internet use (CIU). Orzack
& Orzack (1999) menyatakan dua pendekatan yakni Cognitive Behavioural Therapy dengan premis bahwa pikiran
menentukan perasaan. Apabila individu memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi
pikiran-pikirannya, maka dapat
diidentifikasi hal-hal yang mendorong individu mengatasi masalah penggunaan
internet yang tidak sesuai. Pendekatan lain yakni Motivational Enhancement
Therapy, yang membiarkan individu yang mengalami masalah penggunaan
internet dan terapis berkolaborasi dalam perencanaan treatmen dan penetapan tujuan yang ingin dicapai.
Pendekatan yang kedua lebih inovatif dan tidak terlalu konfrontatif jika dibandingkan
dengan CBT.
Selain
pendekatan yang telah disebutkan, terdapat salah satu pendekatan yang juga
terbukti efektif mengatasi masalah terkait compulsive
internet use. Pendekatan yang dimaksud merupakan pendekatan yang termasuk
pada kategori post-modernisme, yaitu
solution focused brief counseling. Solution-focused brief counselling atau
dapat diterjemahkan sebagai konseling
singkat berfokus solusi merupakan pendekatan konseling yang menekankan pada
kekuatan konseli dan berfokus pada solusi-solusi (O’Connell, 2004). Konseling
singkat berfokus solusi merupakan model yang sangat baik untuk kelompok sekolah
(Murphy, 2008) dan beberapa perkembangan, konseling, dan terapi kelompok karena
terapi ini menekankan pada solusi dan coping
yang positif. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Dahlan (2011) yang
mengungkapkan kualitas hubungan terapeutik merupakan jantung dari keefektifan
model konseling singkat berfokus solusi. Salah satu cara untuk menciptakan
hubungan terapeutik yang efektif adalah menunjukkan kepada anggota bagaimana
mereka dapat menggunakan kekuatan dan sumber daya yang mereka miliki untuk
mengkonstruk solusi. Dalam hal ini peran konselor membantu konseli untuk
mengenali kompetensi yang dimiliki seseorang.
Terdapat sebuah fakta lapangan yang diperoleh
melalui wawancara peneliti dengan 15
Guru BK/Konselor di sekolah (2013), banyak konselor yang mengabaikan teknik dan
atau pendekatan tertentu dalam konseling. Alasan yang dikemukakan adalah
prosedur model konseling yang sudah ada dipandang kurang memungkinkan untuk dilakukan di sekolah, serta sesi
yang digunakan banyak dan lama. Berdasarkan fakta lapangan tersebut, peneliti
berasumsi bahwa model konseling yang tepat digunakan untuk mengatasi compulsive internet use siswa. Asumsi
peneliti didukung oleh berbagai hasil penelitian yang menunjukkan konseling
singkat berfokus solusi dapat mengatasi compulsive
internet use, prosedur konseling
yang aplikatif, dan jumlah sesi yang tidak terlalu banyak.
Efektivitas
konseling singkat berfokus solusi di antaranya didukung oleh hasil meta
analisis Kim (Kelly et al, 2008: 41) yang menyatakan konseling singkat berfokus
solusi efektif untuk masalah-masalah perilaku ekternalisasi, seperti agresif;
perilaku internalisasi, seperti depresi, kecemasan, harga diri; dan masalah hubungan
sosial dan keluarga. Franklin (2008: 15) mengungkapkan konseling singkat
berfokus solusi efektif untuk mengatasi perilaku anak dan remaja dalam setting
sekolah. Pernyataan tersebut memberikan penegasan bahwa compulsive internet use siswa dapat diatasi dengan konseling
singkat berfokus solusi. Konseling singkat berfokus solusi memiliki prinsip
memperbaiki yang seharusnya diperbaiki secara spesifik, konkret, dan jelas.
Burns
(2005: 2) menyatakan konseling singkat berfokus solusi dapat mengarahkan pada
pembentukan harapan-harapan yang mengarahkan pada pencapaian perubahan,
peningkatan kemampuan untuk bersikap positif terhadap masalah dan
ketidakmampuan mengendalikan diri. Pendekatan ini membantu konseli dan konselor
dalam menyadari kemampuan-kemampuan yang dimiliki untuk melewati krisis yang
dihadapi. Pendekatan ini dapat dilakukan sebagai alat untuk membantu mengatasi
masalah-masalah emosional secara lebih efektif dan untuk meningkatkan
keberfungsian individu dalam kehidupan sehari-hari. Konseli diarahkan untuk
berfokus pada kekuatan, kemampuan, dan kemungkinan-kemungkinan solusi untuk
keluar dari masalah compulsive internet
use yang dialami.
Compulsive internet use (CIU) merupakan salah satu masalah
pengaksesan internet yang tidak sesuai kebutuhan. Meerkerk et al (2006)
menyatakan pada beberapa literatur perilaku mengakses internet dengan
karakteristik adiktif seringkali disebut sebagai adiksi internet, akan tetapi
hal tersebut tidak dapat dikatakan adiksi pada internet melainkan lebih kepada
aplikasi pada internet yang digunakan oleh penggunanya. Istilah compulsive internet use (CIU) dianggap
lebih tepat dalam menggambarkan perilaku dengan karakteristik adiktif yang
dialami oleh individu yang menggunakan berbagai aplikasi di internet. Meta
analisis yang dilakukan Tokunaga dan Rains (2010) memberikan penguatan terhadap
ungkapan tersebut, yang menyatakan bahwa compulsive
internet use berkaitan erat dengan durasi dan frekuensi mengakses internet,
serta lebih menggambarkan karakteristik penggunaan aplikasi-aplikasi internet
yang tidak terkendali daripada adiksi yang bersifat patologis.
Pengaksesan
internet yang tidak terkendali memberikan dampak negatif. Penelitian mengenai compulsive internet use yang sebagian
besar berfokus pada remaja dan social
well-being menunjukkan ketidakmampuan mengendalikan penggunaan internet
berkorelasi positif dengan kesepian, kekurangmampuan bersosialisasi, kecemasan
sosial, ketidakstabilan emosi, masalah akademik, dan masalah sosial (Kerkhof et al, 2012: 5). Penelitian lainnya (Brenner, 1997; Young,
1998; Morahan & Schumacer, 1998) mengungkapkan bahwa gangguan-gangguan dari
pengaksesan internet secara berlebihan berasosiasi dengan masalah sosial,
akademik, keluarga, dan pekerjaan. Caldwell dan Cunningham (2010: 1) mengungkapkan
masalah penyalahgunaan internet merupakan salah satu penghambat perkembangan
aspek pribadi, sosial, belajar, dan karir pada siswa.
Masalah
performa akademik merupakan salah satu hal yang diakibatkan oleh compulsive internet use (CIU). Selain
itu disebutkan bahwa remaja merupakan usia yang rentan mengalami compulsive internet use (CIU). Performa
akademik siswa, terutama yang berada di jenjang sekolah menengah notabene
remaja memiliki resiko tinggi untuk mengalami hambatan dikarenakan mengalami compulsive internet use (CIU).
Permasalahan yang dipaparkan berimplikasi pada tanggung jawab Guru BK dan
Konselor dalam membantu siswa mereduksi compulsive
internet use melalui layanan responsif. Layanan
responsif merupakan pemberian bantuan kepada siswa yang menghadapi kebutuhan
dan masalah yang memerlukan pertolongan dengan segera, sebab jika tidak segera
dibantu dapat menimbulkan gangguan dalam proses pencapaian tugas-tugas
perkembangan (ABKIN, 2007: 25).
Diketahui terdapat berbagai pendekatan yang
telah terbukti dapat mengatasi masalah penggunaan internet, termasuk compulsive internet use (CIU). Orzack
& Orzack (1999) menyatakan dua pendekatan yakni Cognitive Behavioural Therapy dengan premis bahwa pikiran menentukan
perasaan. Apabila individu memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi
pikiran-pikirannya, maka dapat
diidentifikasi hal-hal yang mendorong individu mengatasi masalah penggunaan
internet yang tidak sesuai. Pendekatan lain yakni Motivational Enhancement Therapy,
yang membiarkan individu yang mengalami masalah penggunaan internet dan terapis
berkolaborasi dalam perencanaan treatmen dan
penetapan tujuan yang ingin dicapai. Pendekatan yang kedua lebih
inovatif dan tidak terlalu konfrontatif jika dibandingkan dengan CBT.
Salah
satu pendekatan konseling yang diasumsikan tepat untuk mereduksi compulsive
internet use (CIU) di
sekolah yaitu konseling singkat berfokus solusi. Unsur pertama yang menjadi
asumsi efektivitas konseling singkat berfokus solusi yaitu intervensi terfokus
pada sasaran spesifik yang seharusnya diatasi. Konseling singkat berfokus
solusi memiliki prinsip memperbaiki yang seharusnya diperbaiki secara spesifik,
konkret, dan jelas. Selain itu, intervensi berlangsung dengan sesi yang
cenderung sedikit sehingga berdampak pada waktu yang diperlukan untuk
konseling. Hal tersebut dipandang sesuai dengan rasio Guru BK dan siswa di
sekolah. Sesuai dengan pernyataan Franklin (2008: 15) yakni konseling singkat
berfokus solusi efektif untuk mengatasi perilaku anak dan remaja dalam setting
sekolah. Konseling singkat berfokus solusi dapat mengarahkan pada pembentukan
harapan-harapan yang mengarahkan pada pencapaian perubahan, peningkatan
kemampuan untuk bersikap positif terhadap masalah dan ketidakmampuan mengendalikan
diri (Burns, 2005:2). Konseling singkat berfokus solusi mendorong siswa untuk
memiliki cara pandang baru yang positif terhadap kesulitan mengendalikan diri
dalam mengakses internet.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar