Senin, 14 Oktober 2019

Urgensi Kreativitas


URGENSI PENGEMBANGAN KREATIVITAS
Oleh :
Iman Lesmana

Pendahuluan
Perkembangan suatu bangsa erat hubungannya dengan masalah pendidikan. Pendidikan adalah sebuah proses dengan metode-metode tertentu sehingga orang memperoleh pengetahuan, pemahaman, dan cara bertingkah laku yang sesuai dengan kebutuhan. Pendidikan tersebut mempunyai fungsi yang harus diperhatikan. Fungsi tersebut dapat dilihat pada Undang-Undang No.20 tahun 2003 Pasal 4 tentang sistem pendidikan nasional bahwa:
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Sebagai penyelenggara pendidikan formal, sekolah mengadakan kegiatan secara berjenjang dan berkesinambungan. Di samping itu sekolah sebagai lembaga pendidikan formal juga berusaha semaksimal mungkin untuk meningkatkan prestasi belajar anak didiknya. Dalam proses belajar mengajar terdapat banyak hal yang mendukung dan saling berkaitan dalam dunia pendidikan dan proses belajar mengajar.
Pendidikan diharapkan mampu menghasilkan output yang berkualitas. Dari berbagai macam karakteristik input yang masuk, bagaimana pendidikan itu mampu menghasilkan output yang baik dan berkualitas. Demikian itu merupakan tugas dari pendidikan yang tidak bisa diabaikan. Sebenarnya ini bukan hanya tugas yang dibebankan kepada guru saja tetapi ini juga merupakan tugas orang tua. Jadi untuk menghasilkan output yang berkualitas harus ada kerja sama antara guru dan orang tua di dalam mendidik siswa siswinya.
Melalui usaha pendidikan diharapkan kualitas generasi muda yang cerdas, kreatif, dan mandiri dapat terwujud. Namun kenyataannya kreativitas siswa sekarang ini berkembang lambat dan pemanfaatan media pembelajaran yang kurang. Hal ini dikarenakan sistem pendidikan yang senantiasa bergantung pada pendidik. Akibatnya siswa kurang bersemangat untuk mencapai prestasi belajar yang tinggi. Siswa kurang memiliki tingkah laku yang kritis bahkan cara berfikir untuk mengeluarkan ide-ide yang sifatnya inovatif pun terkesan lambat.
Pendidikan dipandang sebagai salah satu aspek yang memiliki peranan pokok dalam membentuk generasi masa depan. Dengan pendidikan, diharapkan dapat menghasilkan manusia yang berkualitas dan bertanggung jawab serta mampu menyangsong kemajuan pada masa mendatang. Salah satu indikasi pencapaian proses pendidikan tersebut adalah terwujudnya prestasi siswa yang memuaskan. Pendidikan dapat dikatakan berhasil apabila tercapai prestasi belajar yang baik. Namun, peserta didik akan menemui hal-hal yang akan mendukung maupun menghambat mereka dalam mencapai prestasi belajar yang memuaskan.
Perbedaan prestasi belajar bagi siswa disebabkan oleh faktor-faktor, antara lain kematangan akibat kemajuan, umur kronologis, latar belakang pribadi, sikap dan bakat terhadap suatu bidang pelajaran atau jenis mata pelajaran yang diberikan. Pada proses pencapaian prestasi belajar yang baik, diperlukan juga suatu latihan dan ulangan terhadap suatu pelajaran tertentu.
Hal ini disebabkan karena seringnya siswa berlatih akan menjadikan ia semakin menguasai pelajaran tertentu. Kreativitas mencerminkan pemikir yang divergen yaitu kemampuan yang dapat memberikan bermacam-macam alternatif jawaban. Kreativitas dapat digunakan untuk memprediksi keberhasilan belajar. Namun sebenarnya setiap orang adalah kreatif. Untuk mendapatkan orang yang demikian perlu adanya latihan dan bimbingan dari orang tua atau pun guru.
Hasil penelitian Hans Jellen dan Klaus Urban (Supriadi,1992:8) yang dilakukan pada tahun 1987 terhadap anak-anak Indonesia yasng berusia 10 tahuan ternyata dibandingkan dengan 8 negara lain, anak Indonesa menampilkan ekspresi kreatif yang paling rendah. (negara-negara sampel adalah : Filipina, Amerika Serikat, Inggris, Jerman, India, RRC, Kamerun, Zulu, Indonesia).
Hasil penelitian Anggraeni (2009) menjelaskan gambaran umum kreativitas siswa kelas XII IPA SMA Puragabaya Bandung Tahun ajaran 2008/2009 yakni sebagai berikut.
Kategori
Rentang Skor
Subjek
F
%
Tinggi
25-33
76
40.6 %
Sedang
10-24
109
58.2 %
Rendah
1-9
2
1.06 %
Jumlah
187
99.86  %
Dari data yang dikemukakan dari tabel tersebut dapat dikatakn bahwa secara umum tingkat kreativitas siswa kelas XII IPA SMA Puragbaya Bandung tergolong pada kategori sedang dalam kelancaran berpikir (fluency) dan memperinci (elaboration) suatu gagasan dengan persentasi sebesar 58.2 % menunjukkan masih terdapat siswa yang masih merasa cepat puas dengan apa yang sudah diraih, kurangnya rasa ingin tahu, waktu luang diisi dengan kegiatan pasif, masih ada siswa yang malas mengerjakan tugas dari guru dan tidak menyimak baik ketika mengikuti pelajaran dikelas, tidak berani mengambil resiko, takut dikritik jika berpendapat, mengerjakan tugas dengan mencontek, masih ada siswa yang menghafal tanpa adanya pemahaman dan kurang mencari alternatif pemecahan masalah.  
Sudah barang tentu bahwa hasil penelitian ini tidak lantas membuat kita harus berkesimpulan bahwa Bangsa Indonesia memiliki kreativitas rendah, karena seperti yang terungkap dari pendapat Frans Boas (Supriadi,1992:4)” jika kita mencari orang paling cemerlang, maka orang seperti itu akan ditemukan pada setiap bangsa dan ras di dunia”. Artinya bukan Bangsa Indonesianya yang tidak kreatif melainkan seperti hasil penelitian Utami Munandar (1977), iklim llingkungan di Indonesia baik lingkungan keluarga maupun sekolah kurang menunjang tumbuh dan berkembangnya kemampuan kreatif itu. Arieti (Dedi Supriadi,1992:27) juga menyatakan bahwa: “creativity does not occur at random, but enhanced by environment factors”.
Menjadi kreatif adalah sebuah keputusan diri, yaitu sebuah pilihan seseorang akan bertindak kreatif atau tidak. Ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi proses kreativitas seseorang, dari luar diri individu seperti hambatan sosial, organisasi dan kepemimpinan. Sedangkan dari dalam diri individu seperti pola pikir, paradigma, keyakinan, ketakutan, motivasi dan kebiasaan.
Kreativitas merupakan faktor yang sangat penting dihayati perkembangannya karena sangat berpengaruh dalam kehidupan sehari-hari. Kreativitas dapat diwujudkan dimana saja oleh siapa saja karena potensi ada pada masing-masing individu tergantung cara mengembangkannya. Kreativitas merupakan fenomena yang melekat dengan kehidupan manusia dan merupakan hasil interaksi antar manusia dengan lingkungan atau kebudayaan dan sejarah dimana kreativitas dapat tumbuh dan meningkat tergantung kepada kondusif kebudayaan dan orangnya (Munandar, 1999).
Kreativitas yang dimiliki siswa memiliki peran yang aktif dalam proses belajarnya karena dengan tingginya kreativitas akan lebih mempunyai rasa dan sikap bertanggung jawab. Levoy (Munandar, 1999) menjelaskan kreativitas merupakan kemampuan untuk mengkombinasikan ide-ide lama sehingga menjadi suatu ide baru. Orang-orang yang kreatif mempunyai rasa individualitas yang kuat. Mereka membuat keputusan sendiri, oleh karena itu orang kreatif mampu berdiri ditengah-tengah kekacauan pendapat, tidak mudah termakan kabar angin atau cerita burung. Mereka percaya pada daya pikir mereka.
Melihat pentingnya kreativitas terutama dalam proses berpikir maka hendaknya kreativitas dikembangkan dalam dunia pendidikan. Dalam kenyataannya sekolah sebagai sarana pendidikan cenderung hanya meningkatkan kemampuan akademik siswa dan mengabaikan kemampuan berpikir kreatif siswa. Sistem pendidikan di Indonesia belum memberikan ruang yang luas bagi pengembangan kemampuan kreatif, khususnya kreativitas berpikir anak (Ghufron, 2002). Pihak sekolah belum mau atau kurang merangsang kemampuan berpikir kreatif siswa (Munandar, 1992).
Kenyataan yang ada dan menjadi permasalahan pada saat ini adalah dalam suasana kelas yang lebih menuntut pada kemampuan siswa berpikir konvergen (pengembangan dalam bidang akademik) daripada berpikir divergen dan kreatif. Siswa merasa tidak nyaman karena suasana belajar yang tegang, membuat siswa menjadi tertekan dan frustasi terhadap tuntutan yang ada. Siswa menjadi ragu-ragu untuk mencoba hal baru dan kurang memiliki keberanian dalam menghadapi hambatan, yang mengganggu keyakinan diri siswa sehingga siswa merasa tidak nyaman dan tidak optimal dalam mengembangkan diri mereka, yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap kecerdasan emosi, keyakinan diri dan kreativitas siswa.
Masalah khusus yang terjadi pada remaja (siswa SMP dan SMA) mengenai kreativitas belajar yakni sebagi berikut :
Pertama, selama proses belajar mengajar berlangsung, siswa cenderung diam dan tidak menjawab pertanyaan-pertanyan yang diajukan guru, sehingga belum menunjukkan kelancaran siswa mengemukakan gagasan. Kedua, siswa cenderung main-main, tidak terfokus pada materi yang diberikan oleh guru dan malas mengerjakan tugas seperti mengisi LKS (Lembar Kerja Siswa) dan maupun membaca buku paket materi pelajaran. Ketiga, siswa cenderung menghafalkan satu jawaban yang benar ketika ulangan umum dengan tes uraian dan essay, dan belum tampak kemampuan keluwesan siswa memikirkan alternatif jawaban yang bervariasi. Hal tersebut mengindikasikan bahwa kreativitas dalam belajar siswa masih rendah. 
Orientasi layanan bimbingan dan konseling tidak terbatas pada usaha membantu sisiwa disaat mengalami masalah, tetapi lebih berorientasi pada pengembangan, disamping mengambil peran aktif dalam segala tugas perkembangan siswa dan bertujuan mengembangkan kreativitas seperti menghargai gagasan baru, mengajarkan teknik  menemukan gagasan dan memecahkan masalah secara kreatif, peka terhadap berbagai permasalahan dan melatih kemampuan dalam kelancaran berbicara, kecepatan berpikir, keluwesan spontanitas, dan memiliki ide orisinalitas. Bimbingan dan konseling perkembangan merupakan proses bantuan terhadap individu untuk menstimulasi dan memfasilitasi pencapaian tugas-tugas perkembangan dengan memfokuskan layanannya pada pemenuhan kebutuhan untuk melakukan aktivitas pembelajaran efektif (Muro & Kottman, 1995:23).

Diskusi dan Pembahasan
Sesuai dengan ciri-ciri siswa kreatif yang mempunyai daya emajinasinya yang kuat, pemikiran yang orisinal, kemandirian, minat yang luas, dan dapat melibatkan dirinya secara intensif dalam berbagai situasi yang menghasilkan produk yang menarik. Disisi lain, dengan ciri mereka yang bersikap kritis, ketidakpuasan dengan otoritas, kebosanan dengan tugas-tugas rutin, dapat mengakibatkan mereka mengalami ketegangan dan ketidaknyamanan dalam berhubungan dengan orang dewasa dan teman sebaya. Supriadi (1997:168-170) mengemukakan tiga masalah spesifik yang biasa dihadapi siswa kreatif  sekolah, antara lain : (1) pilihan yang tidak realitas, (2) hubungan dengan guru dan teman sebaya, (3) perkembangan yang tidak selaras, dan (4) tiada kokoh yang ideal.
Masalah pilihan karir yang tidak realistis, siswa kreatif memiliki banyak alternatif dalam menentukan karir yang akan dipilihnya dan karir yang dipilih tersebut sangat mudah untuk berubah, bahkan mereka cenderung mempunyai pilihan karir yang kurang realistis, kurang populer, dan “unconventional”. Bila pilihan karir tidak sesuai denga karakter siswa, maka akan timbul suatu sikap penolakan dari dalam dirinya.
Kondisi dari permasalahan diatas tentu membutuhkan perhatian maupun bimbingan yang sempurna dari guru pembimbing agar kecenderungan siswa yang mengarah pada pilihan karir yang kurang tepat dan sesuai dengan potensinya dapat diarahkan pada pilihan karir yang sesuai dengan minat dan bakat siswa. Karena mereka memiliki potensi untuk mencapai prestasi dalam berbagai bidang, mereka perlu memahami bagaimana sebaiknya membuta keputusan pada berbagai tahap perkembangan. Kebanyakan siswa-siswa kreatif karena sesuai dengan kondisinya, siswa kreatif memiliki banyak pilihan karir yang dapat mengakibatkan sukar untuk menentukan pilihan.
Masalah hubungan guru dengan teman sebaya, siswa kreatif mempunyai ciri yang realtif berbeda dengan siswa lainnya yang mengakibatkan mereka mengalami kesulitan membangun relasi dengan teman maupun dengan gurunya. Kesulitan ini terjadi akibat dari sifatnya yang kritis, tidak ingin melibatkan diri pada berbagai aturan, rasa ingin tahunya yang besar, dan juga kaya akan gagasannya.
Hasil studi Gowan (Supriadi, 1977:69) menyatakan bahwa, anak-anak kreatif kurang disenangi oleh guru dan teman-teman sebaya karena anak kreatif memiliki pendapatnya sendiri, tidak mudah percaya, berai mengatakan pendapat, dan memiliki keinginann yang berbeda dengan kebanyakan orang. Meskipun diantara teman sebaya ada juga yang cukup menyenangi, bahkan sering dipilih menjadi pemimpin, sebaliknya ada pula yang menganggap sok pintar, sombong, dan egois.
Untuk menghindari anggapan-anggapan diatas, maka siswa kreatif perlu suatu sarana yang dapat membuat ia merasa aman, nyaman, dan memberi suatu dukungan dalam mengembangkan ide-idenya. Untuk itu, diperlukan layanan bimbingan dan konseling yang terprogram.
 Masalah perkembangan yang tidak selaras yang dimaksud dengan perkembangan tidak selaras dari siswa kreatif adalah tidak sesuai perkembangan antara kematangan intelektual dengan dengan emosional dan sosial. Ketidakseimbangan dalam diri siswa kreatif sering timbul karena kemtangan intelegensinya yang tinggi, keterbukaan terhadap pengalaman, bebas, fleksibilitas kognitif, energik dan sebagainya, sehingga siswa tersebut sering mengalami konflik sosial, perilaku agresif, menyalahkan lingkungan, dan diri sendiri. Oleh karena itu, intevensi guru pembimbing sangat berguna dalam memberikan peluang kepada siswa kreatif untuk menyalurkan minat yang luas, rasa ingin tahu yang besar, imajinasi yang melebihi dan keberanian untuk mengambil resiko.
Masalah yang ideal, minat siswa kreatif berbeda dari kebanyakan siswa pada umumnya mereka menyukai tokoh-tokoh besar yang menjadi model dalam kehidupannya. Tokoh-tokoh tersebut dapat berada disekitarnya, dan juga jauh. Jika tokoh ideal tersebut berada jauh, biasanya siswa kreatif menjangkaunya dengan cara membaca riwayat hidupnya, mengagumi fotonya, dan lain-lain sebagainya. Dan jika berada dekat dengan tokoh idolanya, maka ia akan selalu menjadikan tokoh idolanya itu sebagai pedoman dalam gerak dan langkah hidupnya. Sehubungan dengan ini, Munandar (1999:380) menyatakan bahwa bila siswa kreatif tidak menemukan tokoh idealnya, maka mereka akan diarahkan oleh minat mereka sendiri dan cenderung tidak mengindahkan keterampilan yang diperlukan untuk produktivitas dalam bidang minatnya sendiri.
Untuk menghindari munculnya perilaku salah suai (maladjusment) yang mengakibatkan terhambatnya perkembangan kreativitas, guru dan pembimbing perlu membantu siswa tersebut untuk menemukan tokoh-tokoh ideal yang dapat menjadi teladannya, baik itu pahlawan, ilmuan, seniman, atau negarawan. Kelangkaan tokoh yang menjadi penutan siswa kreatif ini, diakibatkan oleh kurangnya informasi dari pembimbing di sekolah, dapat berakibat pada pilihan yang salah. Untuk itu, guru dan pembimbing perlu membantu mengarahkan agar proses identifikasi tokoh ideal tersebut berjalan sehat.

Konsep Dasar Kreativitas
Kreativitas merupakan salah satu potensi yang ada pada diri individu dengan derajat yang bervariasi dari satu individu dengan individu yang lainnya. Moreno (llyas, 1988:14) melihat bahwa, kreativitas bersifat universal dan tampak (mewujud) melalui berbagai bentuk dalam kehidupan sehari-hari dan kreativitas itu bukanlah milik para cendikia, ahli/seniman semata-mata.
Mayeskey & Wlodknowski (1975:2), mengemukakan pengertian kreativitas sebagai berikut “creativity is a away of thinking and acting or making something that is original for the individual and vaued by that person or other”.
Sehubungan dengan pernyataan diatas menunjukkan pada dua ciri utama, yaitu : (1) cara berpikir yang original dan dapat dinilai oleh orang lain. Berpikir original menunjukkan kepada gagasan-gagasan tersebut belum pernah terpikir oleh orang lain. Originalitas ini unik dan kadang-kadang tidak dimengerti oleh orang lain. Dalam proses belajar mengajar, pembimbing yang kreatif terangsang untuk mengembangkan ide-ide atau pendapat dalam menemukan cara yang lebih efektif untuk memecahkan kesulitan yang dikemukakan oleh siswa. Disamping itu juga, pembimbing terangsang untuk mengembangkan ide-ide yang dapat menemukan cara mendorong/membimbing siswa agar berbuat sesuatu yang terbaik dalam menghadapi kesulitannya. (2) cara bertindak atau bertingkah laku yang bersifat original dan dapat dinilai oleh orang lain. Manifestasi tingkah laku kreatif ini seperti : bersibuk diri terus menerus dengan kerjanya atau apa yang menarik perhatiaannya, tidak bersedia menerima pendapat orang lain begitu saja jika tidak sesuai denga keyakinannya dalam berpikir dan memberi pertimbangan tanpa memerlukan bantuan orang lain.
Pengertian lain tentang kreativitas yang mendukung pendapat Mayeskey adalah Munandar. Konsep yang kedua ini menunjukkan bahwa seseorang yang dikatakan kreatif dia mampu memperlhatkan pola berpikir yang lancar, luwes, orisinal, dan mampu mengembangkan, memperinci, dan memperkaya suatu gagasan. Dalam proses belajar mengajar siswa mampu mengemukakan pendapat dengan penjelasan yang lancar, memberikan ide-ide yang diterima oleh guru dan siswa/teman lainnya, mengemukakan gagasan yang belum pernah ada, dan mampu menjelaskan secara terperinci tentang pendapatnya. Indikasi ersebut memberikan petunjuk bahawa siswa tersebut kreatif . secara lebih lengkap, rumusan tentang kreativitas yang dikemukakan Munandar, (1999:50) adalah :
Selain itu, Semiawan (1987:97) memberika pengertian bahwa, kreativtas sebagai kemampuan untuk memberikan gagasan-gagasan baru dan menerapkannya dalam pemecahan masalah yang dapat dilihat dari dua sudut pandang, yaitu : (1) kreativitas adalah kemampuan untuk memerikan gagasan baru. Gagasan ini sifatnya murni (orisinal) yang belum pernah dikemukakan oleh orang lain, (2) kreativitas adalah kemampuan untuk menemukan banyak kemungkinan jawaban terhadap suatu masalah yang menekankan pada segi kualitas, ketepatgunaan, dan keragaman jawaban.
Selanjutnya, Supriadi (1997:7) menyatakan bahwa kreativitas sebagai kemampuan seseorang untuk melahirkan sesuatu yang baru, baik berupa gagasan maupun karya nyata, yang relatif berbeda dengan yang telah ada sebelumnya. Sesungguhnya apa yang diciptakan itu bukanlah hal-hal yang baru sama sekali, tetapi merupakan kombinasi dari hal-hal yang sudah ada sebelumnya atau sudah dikenal sebelumnya. Dan kreativitas seseorang siswa terletak pada keberhasilan membentuk kombinasi-kombinasi baru dari hal-hal yang telah ada sebelumnya menjadi sesuatu yang bermakna dan bermanfaat bagi dirinya maupun bagi masyarakat.
Guilford (Supriadi, 1976 : 47) mendefinisikan kreativitas sebagai kemampuan untuk melihat dan memecahkan masalah yang ditandai kemampuan berpikir (kognitif) dan sikap (afektif). Selanjutnya dilakukan penelitian mengenai kreativitas dengan menggunakan analisis faktor, ditemukan faktor yang merupakan sifat dari kemampuan berpikir kreatif yaitu:
a. Fluency of thinking atau kelancaran berpikir, yaitu banyaknya ide yang keluar dari pemikiran seseorang.
b. Flexibility atau keluwesan, yaitu kemampuan untuk menggunakan bermacam-macam pendekatan dalam mengatasi persoalan; orang yang kreatif adalah orang yang luwes dalam berpikir, mereka dengan mudah dapat meninggalkan cara berpikir lama dan menggantikan dengan cara berpikir yang baru.
c. Elaboration, yaitu kemampuan dalam mengembangkan gagasan dan mengurai secara terinci.
d. Originality atau keaslian, yaitu kemampuan untuk mencetuskan gagasan asli.
Secara operasional kreativitas dapat dirumuskan sebagai kemampuan yang mencerminkan kelancaran. Keluwesan (fleksibilitas) dan orisinalitas dalam berpikir, serta kemampuan untuk mengelaborasi (mengembangkan, merinci, memperkaya) suatu gagasan.

Konsep Kreativitas Belajar
Kreativitas belajar merupakan kemampuan untuk menciptakan kombinasi baru atau gagasan baru berdasarkan pengetahuan yang dimiliki yang dibutuhkan dan digunakan dalam proses terjadinya perubahan tingkah laku atau yang disebut sebagai proses belajar. Kreativitas siswa dimungkinkan tumbuh dan berkembang dengan baik apabila lingkungan sekolah turut menunjang siswa dalam mengekspresikan kreativitasnya. Proses pembelajaran yang dikembangkan guru hendaknya menekankan kepada upaya mengembangkan kreativitas siswa secara optimal.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan guru untuk memperoleh hasil belajar yang optimal bagi siswa adalah guru dapat mengembangkan kegiatan yang beragam, dapat memantau kegiatan belajar siswa, memberi umpan balik, mengajukan pertanyaan yang menantang,mempertanyakan gagasan siswa dan membuat alat bantu sederhana bila diperlukan.
Begitu pentingnya pengembangan kreativitas siswa, dapat diamati dari bergesernya peran guru yang semula sering mendominasi kelas, kini lebih banyak memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengambil peran lebih aktif dan kreatif dalam suasana yang menyenangkan. Siswa harus berani mencobaa atau berbuat, berani bertanya dan tidak malu mengungkapkan gagasan.
Penelitian Munandar (2002 : 10) menujukkan bahwa kreativitas sama pentingnya seperti intelegensi sebagai prediktor prestasi sekolah. Ciri kreativitas yang berkaitan dengan sikap (afektif) adalah imajinatif, inisiatif, memiliki minta yang luas, mandiri dalam berpikir, ingin tahu, senang berpetualang, penuh energi, percaya diri, bersedia mengambil resiko, berani dalam pendirian dan keyakinan.

Ciri-Ciri Kepribadian Siswa Kreatif
Untuk dapat mendalami dan memperluas wawasan tentang kreativitas secara lebih spesifik, yang berkembang dalam diri individu, maka dapat dilihat dari berbagai pendapat menyangkut ciri-ciri kepribadian siswa kreatif dibawah ini, yakni sebagai berikut.
Csikzentmihalyi (Munandar, 1999:50) mengemukakan, ada sepuluh pasang ciri-ciri kepribadian individu kreatif , yaitu (1) pribadi kreatif mempunyai kekuatan energi fisik yang memungkinkan mereka bekerja berjam-jam dengan konsentrasi penuh, tetapi mereka juga bisa tenang dan rileks, bergantung pada situasinya. (2) pribadi kreatif cerdas dan cerdik, tetapi pada saat yang sama mereka juga naif, (3) berkaitan dengan kombinasi antara sikap bermain dan disiplin, kreativitas memerlukan kerja keras, keuletan, dan ketekunan untuk menyelesaikan suatu gagasan atau karya baru, dengan  mengatasi rintangan yang sering dihadapi, (4) pribadi kreatif dapat berselang-seling antara imajinasi dan fantasi, namun tetap bertumpu pada realitas, (5) pribadi kreatif menunjukkan kecenderungan baik introversi, maupun ekstroversi, (6) individu kreatif dapat bersikap rendah diri dan bangga akan karyanya pada saat yang sama, (7) pribadi kreatif menunjukkan kecenderungan androgini psikologis, mereka dapat melepaskan diri dari stereotip gender (maskulin feminim), (8) orang kreatif cenderung mandiri, bahkan suka menentang, tetapi dilain pihak mereka bisa tetap tradisional dan konservatif, (9) kebanyakan individu kreatif sangat bersemangat (passionate) bila mennyangkut karya mereka, tetapi sangat objektif dalam penilaian karyanya, (10) sikap keterbukaan dan sensivitas individu kreatif sering membuatnya menderita jika mendapat banyak kritik dan serangan terhadap hasil jerih payahnya, namun disaat yang sama, ia juga merasakan keeegembiraan yang luar biasa.
Munandar (1999:56) mengemukakan beberapa ciri siswa kreatif di Indonesia, yaitu : (1) imanjinatif, (2) mempunyai prakarsa (inisiatif), (3) memunyai minat luas, (4) mandiri dalam berpikir, (5) melit, (6) senang berpetualang, (7) penuh energi, (8) percaya diri, (9) bersedia mengambil resiko, dan (10) berani dalam pendirian dan keyakinan.
Supriadi (1985:106) menyatakan bahwa, hasil dari penelitian kepustakaan mengenai karakteristik siswa kreatif dapat disimpulkan sekitar 20 karakteristik pribadi kreatif, yaitu : (1) memiliki rasa ingin tahu, (2) percaya pada diri sendiri dan mandiri, (3) bebas dalam berpikir, tidak terhambat, (4) lentur dalam berpikir dan berespon, (5) penuh semangat, (6) berani mengambil resiko, (7) mempunyai pendapat sendiri dan tidak mudah terpengaruh, (8) mempunyai toleransi yang tinggi kepada keadaan yang mendua, perbedaan pendapat, keadaan tak terstruktur, dan kompleks, (9) tidak kehabisan akal dalam memecahkan masalah, (10) memiliki komitmen yang kuat kepada tugas, (11) tidak mudah bosan dan putus asa, (12) memiliki kepekaan terhadap masalah-masalah dilingkungan, (13) sikap kitis terhadap semua keadaan disekitarnya, (14) senang mempermainkan dan mengotak-atik berbagai unsur yang ada disekitarnya, (15) terbuka kepada pengalaman baru, (16) berkemauan teguh, tekun, dan berambisi kuat meraih keberhasilan dalam suatu usaha, (17) gemar mengajukan gagasan orisinal untuk memecahkan suatu masalah, (18) kaya akan inisiatif untuk memecahkan suatu masalah, (19) menyukai petualangan dalam aktivitas dan gagasan, (20) mempunyai minat yang tinggi kepada usaha-usaha kreatif. 
Selanjutnya, Supriadi  (1989:261) membuktikan bahwa, hasil studi empiris yang memuaskan perhatian intensif kepada ciri-ciri pribadi kreatif di Indonesia, dan pertama kali dilakukan penelitian tersebut terhadap 125 ilmuan yunior dan studi kasus kepada ilmuan senior. Dari studi tersebut, dapat disimpulkan bahwa beberapa ciri-ciri pribadi kreatif hasil temuan Roe (1952), Baron (1955), MacKinnon (1962), Catell & Butcher (1968) ternyata mempunyai kesamaan dengan ciri-ciri pribadi kreatif ilmuan yunior dan ilmuan senior di Indonesia, yaitu memiliki rasa ingi tahu yang besar, kaya akan gagasan imajinatif, mandiri, non-kompromis, gigih dalam mewujudkan cita-cita, bekerja keras, peka terhadap masalah, percaya diri, optimistik, berpikir positif, berwawasan masa depan, menyukai kompleksitas dan hal-hal yang penuh tantangan, berani mengambil resiko, bekerja berdasarkan motivasi intrinsik, dan penuh dedikasi terhadap pekerjaannya.
Studi tentang ciri-ciri individu kreatif yang telah diuraikan diatas, mencerminkan karakteristik kepribadian siswa kreatif. Biasanya siswa yang kreatif selalu ingin tahu, memiliki minat yang luas, mempunyai kegemaran, dan menyukai aktivitas yang kreatif. Siswa yang kreatif biasanya cukup mandiri dan memiliki rasa percaya diri. Mereka lebih berani mengambil resiko (tetapi dengan perhitungan) dari pada siswa-siswa pada umumnya, artinya mereka dalam melakukan sesuatu yang bagi mereka amat berarti, penting, dan disukai, mereka tidak terlalu menghiraukan kritik dan ejekan orang lain. Mereka juga tidak takut untuk membuat kesalahan dan mengemukakan pendapat, walaupun pendapat mereka tidak disukai oleh teman-temannya. Siswa yang inovatif berani untuk berbeda, mononjol, membuat kejutan, atau menyimpang dari tradisi. Rasa percaya diri, keuletan, dan ketekunan membuat mereka tidak cepat putus asa untuk mencapai tujuannya. Diketahui Thomas Edison mengalami kegagalan lebih dari 200 kali dalam percobaanya sebelum berhasil menemukan bola-lampu yang bermakna bagi seluruh umat manusia. Thomas Edison sendiri mengungkapkan, “Genius is 1% inspiration and  99% perspiration” (Supriadi, 1997:105).

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengembangan Kreativitas Belajar
Pada dasarnya setiap individu memiliki potensi kreatif. Potensi tersebut dapat berkembang dengan baik manakala lingkungan mendukung pengembangannya. Dari berbagai pendapat dan penyelidikan tentang faktor-faktor yang menyebabkan individu menjadi kreatif. Guilford (1982:63) menyatakan bahwa, bila dihilangkan suatu penilaian, maka orang tidak akan berhenti mengemukakan ide-ide dalam rangka mengevaluasi atau mempersoalkan setiap ide yang diajukan. Selain itu, perasaan tidka puas yang konstruktif merupakan faktor lain yang mendorong pengembangan kreativitas individu. Dengan demikian, siswa yang mempunyai perasaan tidak puas yang bersifat konstruktif secara terus menerus, menanyakan kepada guru pembimbing atau pihak lainnya, mengapa sesuatu dilaksanakan dengan cara tertentu, atua bagaimana hal tersebut dapat dilaksanakan ?, ini merupakan salah satu indikator bahwa siswa tersebut kreatif.
Suasana yang bersifat membantu, seperti suasana permisif, yaitu suatu lingkungan dimana ide-ide baru mendapatkan dorongan, dan dapat dikemukakan untuk didengar akan mendorong tingkah laku kreatif. Kemungkinan untuk dapat menyatakan opini yang berbeda  tanpa perasaan takut, atau sensor yang tegas agaknya merupakan suatu syarat utama bagi suasana permisif tersebut. Proses belajar mengajar yang bersifat otoriter yang membuat siswa hanya mengatakan “ya” dan atau tidak pernah mengatakan “tidak”, boleh dikatakan hampir tidka memungkinkan ikemukakan ide-ide baru, sehingga dapat menghambat pengembangan kreativitas siswa.
Kepuasan dalam belajar dan kemampuan untuk menghubungkan kepentingan guru dengan kepentingan siswa merupakan elemen-elemen penting dalam menciptakan suasana membantu pengembangan kreativitas belajarnya. Begitu juga, komunikasi yang efektif adalah sesuatu yang bersifat pokok bagi suasana yang kondusi. Ide-ide harus dapat menyebar hingga tingkat dimana dibuat keputusan-keputusan tanpa menghalang-halangi yang tidak perlu. Penghargaan perlu diucapkan untuk memberikan semagat dan motivasi bagi siswa kreatif, dengan demikian mereka merasa dihargai. Perasaan dihargai ini akan berdampak positif bagi perkembangan mental siswa. Maslow dan Ruggeiro (Kadri, 1992:52) menyatakan bahwa, kesehatan mental yang baik dari siswa dapat mendorong kreativitasnya secara positif.
Selain itu, lingkungan yang sehat bagi anak kreatif adalah lingkungan yang memberikan pengaruh positif bagi perkembangan psikologis siswa. Rumah sebagai lingkungan pertama yang memberikan rasa aman bagi perkembangan psikologis siswa kemudian baru lingkungan sekolah. Oleh karena itu, maka sekolah sebagai lingkungan kedua perlu memberikan kebebasan berpikir dan berkreasi untuk meningkatkan kreativitasnya. Semiawan (1987:11) menyatakan bahwa, kebebasan dan keamanan psikologis merupakan kondisi penting bagi pengembangan kreativitas. Siswa merasa bebas secara psikologis jika : (1) guru/pembimbing menerima siswa sebagai mana adanya, tanpa syarat, dengan segala kelebihan dan kekurangannya serta memberikan kepercayaan bahwa pada dasarnya siswa memiliki potensi baik dan mempu dalam segala hal, (2) guru/pembimbing mengusahakan suasana yang menyenangkan, agar siswa tidak merasa “dinilai” dalam arti yang bersifat mengancam, (3) guru/pembimbing memberikan pengertian, dalam arti dapat menempatkan diri dalam situasi, siswa melihat segala sesuatu dari sudut pandangan siswa.
Yallon dan Viensein (Supriadi, 1985:68-69) menyebutkan bahwa, ada 11 cara untuk mendorong kreativitas siswa, yaitu : (1) usahakan untuk tidak membatasi apa yang dialami oleh siswa, (2) bantulah siswa untuk menerapkan prinsip-prinsip yang dipelajari dalam situasi yang baru, (3) tunjukkan bahwa guru menghargai pertayaan dan gagasan siswanya yang tidak biasa, (4) sediakan kesempatan bagi siswa untuk belajar secara mandiri dan berilah penghargaan padanya, (5) kurangi tekanan, sediakan waktu bagi siswa tanpa merasa/diawasi, (6) luangkan waktu bagi siswa untuk mengadakan refleksi, (7) hormati perbedaan individual, (8) bersikaplah toleransi terhadap ketidak teraturan selama proses kreatif berlangsung, (9) katakanlah kepada siswa bahwa guru/pembimbing menghargai dan menginginkan gagasan-gagasan kreatif, (10) jadilah model bagi tingkah laku kreatif, dan (11) gunakanlah teknik-teknik untuk meningkatkan kreativitas.  
Selanjutnya, Torrance (1963:17) mengemukakan lima bentuk interaksi guru/pembimbing dengan siswa yang dianggap mampu mengembangkan kecakapan kreatif siswa sebagai berikut : (1) menghormati pertanyaan-pertanyaan yang tidak biasa, (2) menghormati gagasan-gagasan yang tidak biasa serta imajinatif dari siswa, (3) memberi kesempatan pada siswa untuk belajar atas prakarsa sendiri, (4) memberikan penghargaan (credit) kepada siswa, dan (5) meluangkan waktu bagi untuk belajar dan bersibuk diri tanpa suasana penilaian.
Sementara, penelitian Munandar (1999:133) diperoleh siswa hasil bahwa, sikap orang tua yang dapat memupuk kreativitas adalah : (1) menghargai pendapat anak dan mendorong untuk mengungkapkannya, (2) memberi waktu kepada anak untuk berpikir, merenung, dan berkhayal, (3) membiarkan anak mengambil keputusan sendiri, (4) mendorong anak untuk menjajaki dan mempertanyakan berbagai hal, (5) meyakinkan anak bahwa orantua menghargai apa yang ingin dilakukan dan apa yang dihasilkan, (6) menunjang dan mendorong kegiatan anak, (7) menikmati keberadaannya bersama anak, (8)  memberi pujian yang sungguh-sungguh kepada anak, (9) mendorong kemandirian anak dalam bekerja, dan (10) menjalin hubungan kerjasama yang baik dengan anak.
Berdasarkan uraian-uraian yang telah dikemukakan diatas dapat disimpulkan bahwa kreativitas siswa, baru dapat dikembangkan dengan baik apabila siswa berada dalam lingkungan yang mendukung,baik disekolah, dirumah, dan juga di masyarakat. Disamping upaya orang tua, guru, dan guru pembimbing memberikan motivasi, serta pelayanan yang baik disertai penghargaan akan keberhasilannya, akan lebih menumbuhkan kreativitasnya.
Hambatan yang sering mempengaruhi pengembangan potensi kreativitas siswa adalah tidak terpenuhinya kebutuhan. Kebutuhan menurut Maslow (Olson, 1980:19) dikategorikan atas : “physiological (food, water, and sex), safety (self respect and a feeling of succes) and self actualization (creating and making the most of one’s abilities)”.
Selanjutnya, Winardi (1991:80-88) menyatakan bahwa, yang menjadi hambatan dalam pengembangan kreativitas adalah :
Pertama, terpengaruh pemikiran analitis. Dimana guru dan atau guru pembimbing pada sistem pendidikan formal siswa diberikan sejumlah peralatan (tools), untuk membentuk pemikiran analitik, namun dalam pemakaian alat tersebut, sering dijumpai siswa dalam menggunakan alat tersebut secara sembarangan, maka guru langsung menegurnya secara spontan. Tindakan tersebut terkadang bertentangan dengan apa yang diharapkan siswa kreatif, karena bisa jadi apa yang dilakukan siswa merupakan strategi spesifik dalam mengembangkan idenya. Harus diakui bahwa cara demikian banyak mengandung keuntungan-keuntungan positif, namun sebaliknya pemikiran secara analitik justru menghambat pemikiran kreatif. Dalam keadaan sadar, siswa memanfaatkan kemampuan analitis atau kemampuan kritisnya untuk menghadapi dan mengevaluasi. Dalam kaitan ini, seakan-akan ada dua macam kegiatan yang disatukan yang seharusnya dipisahkan antara satu dengan yang lainnya, yaitu pada fase munculnya ide dan fase pengevaluasian ide. Semua ide perlu dikumpulkan, terlepas dari “aneh” tidaknya ide yang diajukan. Barulah pada tahapan selanjutnya ide-ide yang masuk dievaluasi dan diseleksi. Banyak orang terlampau  menekankan pemikiran analitis, biasanya cenderung “menghambat” ide-ide kreatif.
Kedua, pembatasan-pembatasan sosial. Siswa merupakan anggota masyarakat yang memiliki aturan/hukum, kebiasaan, dan norma-norma tertentu yang perlu ditaati agar individu/siswa menjadi anggota masyarakat. Adakalanya hal-hal tersebut justru membatasi pelaksanaan kemampuan kreativitas yang disebut penghalang mental. Ada beberapa macam penghalang mental, seperti : (1) pengahalang perseptual, misalnya seseorang yang malas dalam mencatatnya hal-hal yang dianggap “sepele”. Padahal pada saat tertentu hal itu akan menjadi penting, (2) penghalang kultur, misalnya terlampau dilebih-lebihkannya penilaian oleh masyarakat. Hal ini merupakan salah satu kelemahan yang melekat pada sistem pendidikan kita, (3) penghalang emosional, misalnya takut membuat sesuatu kesalahan atau takut melakukan tindakan yang akan menyebabkan siswa dianggap bodoh oleh orang lain. Perasaan takut disini merupakan suatu refleksi dari sikap masyarakat terhadap tindakan-tindakan seseorang.
Ya’qub (Kadri, 1992:58), mengemukakan bahwa, ada sejumlah faktor yang menghambat kecakapan kreatif siswa, yaitu : (1) sifat tidak percaya kepada diri sendiri, (2) sifat takut kepada kegagalan atau kritikan, (3) sifat ingin seperti orang lain, (4) tidka mampu berkonsentrasi karena kelemahan fisik, (5) ketidakstabilan mental atau usia lanjut, (6) kurang energik intelektual, (7) pihak yang diharapkan menerima ide-ide yang baru masih kolot, (8) fanatik dan konserfatif, (9) pihak yang diharapkan menerima ide-ide yang baru acuh (masa bodoh), (10) lingkungan yang manja.
Selanjutnya Torrance (1963:59) mengemukakan sepuluh penghambat kreativitas dari guru, dan faktor-faktor yang berkaitan dengan inegrasi dengan siswa di sekolah yaitu : (1) otoriter, (2) defensif, (3) waktu yang tersedia terbatas, (4) menganggap faktor hubungan manusia untuk diterapkan, (5) lemah secara intelektual, (6) kurang energik intelektual, (7) dikuasasi oleh perasaan bahwa fungsinya hanyalah menyampaikan informasi kepada siswa, (8) tidak berminat untuk meningkatkan rasa ingin tahu dari siswa, (9) terikat secara kaku terhadap materi pelajaran yang telah ditetapkan, (10) tidak mau peduli dan berurusan dengan hal-hal yang pelik dalam pengelolaan proses belajar mengajar, misalnya melayani pertanyaan yang pelik dari siswanya.
Relevan dengan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kreativitas siswa dapat terhambat apabila siswa tersebut, tidak berada pada lingkungan yang kondusif, baik lingkungan sekolah, keluarga, maupun masyarakat.

Tugas Perkembangan Remaja
Tugas-tugas perkembangan (developmental task) terkait dengan sikap, pengetahuan, dan keterampilan (perbuatan atau tingkah laku) yang seyogyanya dimiliki oleh setiap siswa sesuai dengan fase perkembangannya. Hurlock (1981) mengemukakan bahwa tugas-tugas perkembangan merupakan social expectations (harapan-harapan sosial masyarakat). Dalam srti setiap kelompok budaya mengharapkan para angotanya menguasai keterampilan tertentu yang penting dan memperoleh pola perilaku yang disetujui bagi berbagai usia sepanjang rentang kehidupan.
Munculnya tugas-tugas perkembangan bersumber pada faktor-faktor berikut :
1.       Kematangan fisik, misalnya (a) belajar berjalan karena kematangan otot-otot kaki, dan (b) belajar bergaul dengan jenis kelamin yang berbeda pada masa remaja, karena kematangan hormon seksual.
2.       Tuntutan masyarakat secara kulural, misalnya (a) belajar membaca, (b) belajar menulis, (c) belajar berhitung, dan (d) belajar berorganisasi.
3.      Tuntutan dari dorongan dan cita-cita dari siswa itu sendiri, misalnya (a) memilih pekerjaaan, dan (b) memilih teman hidup.
4.      Tuntutan norma agama, misalya (a) taat beribadah kepada Allah, dan (b) berbuat baik kepada sesama umat manusia.
Tugas-tugas perkembangan remaja yaitu sebagai berikut :
1.         Menerima fisiknya sendiri berikut keragaman kualitasnya (seperti kecantikan, keberfungsian, dan keutuhan).
2.       Mencapai kemandirian emosional dari orang tua atau figur yang mempunyai otoritas (mengembangkan sikap respek terhadap orang tua dan orang lain).
3.      Mengembangkan keterampilan komunikasi interpersonal (lisan dan tulisan).
4.      Mampu bergaul dengan teman sebaya atau orang lain secara wajar.
5.      Menemukan manusia model yang dijadikan pusat identifikasinya.
6.      Menerima dirinya sendiri dan memimili kepercayaan terhadap kemampuannya sendiri.
7.      Memperoleh self-control (kemampuan mengendalikan sendiri) atas dasar skala nilai, prinsip-pronsip, atau falsafah hidup.
8.      Mempu meningglakn reeaksi dan penyesuaian diri (sikap dan perilaku) yang kekanak-kanakan.
9.      Bertingkahlaku yang bertanggung jawab secara sosial.
10.   Mengembangkan keterampilan intelektual dan konsep-konsep yang diperlukan bagi warga negara,.
11.     Memilih dan mempersiapkan karir (pekerjaan).
12.    Memiiki sikap positif terhadap pernikahan dan hidup berkeluarga (meyakini bahwa pernikahan merupakan satu-satunya jalan yang menghalalkan hubungan sksual pria-wanita).
13.    Mengamalkan ajaran agama yang dianutnya.
Dalam membahas tujuan tugas perkembangan remaja, pikunas (1976) mengemukakan pendapat Luella Cole yang mengklasifikasikan kedalam sembilan kategori yaitu (1) kematangan emosional; (2) pemantapan minat-minat heteroseksual; (3) kematangan sosial; (4) emansipasi dari kontrol keluarga; (5) kematangan intelektual; (6) memilih pekerjaan; (7) menggunakan waktu senggang secara tepat; (8) memiliki filasafat hidup; dan (9) identifikasi diri.

Tahap Perkembangan Kreativitas
Menurut Cropley (1999), terdapat 3 tahapan perkembangan kreativitas diantaranya:
a. Tahap prekonvensional (Preconventional phase)
Tahap ini terjadi pada usia 6–8 tahun. Pada tahap ini, individu menunjukkan spontanitas dan emosional dalam menghasilkan suatu karya, yang kemudian mengarah kepada hasil yang aestetik dan menyenangkan. Individu menghasilkan sesuatu yang baru tanpa memperhatikan aturan dan batasan dari luar.
b. Tahap konvensional (Conventional phase)
Tahap ini berlangsung pada usia 9–12 tahun. Pada tahap ini kemampuan berpikir seseorang dibatasi oleh aturan-aturan yang ada sehingga karya yang dihasilkan menjadi kaku. Selain itu, pada tahap ini kemampuan kritis dan evaluatif juga berkembang.
c. Tahap poskonvensional (Postconventional phase)
Tahap ini berlangsung pada usia 12 tahun hingga dewasa. Pada tahap ini, individu sudah mampu menghasilkan karya-karya baru yang telah disesuaikan dengan batasan-batasan eksternal dan nilai-nilai konvensional yang ada di lingkungan.

Pendekatan terhadap Kreativitas
Pendekatan dalam studi kreativitas dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu pendekatan psikologis dan pendekatan sosiologis (Supriadi, 1994 : 54). Pendekatan psikologis lebih melihat kreativitas dari segi kekuatan yang ada dalam diri individu sebagai faktor-faktor yang menentukan kreativitas seperti intelegensi, bakat, motivasi, sikap, minat dan disposisi kepribadian lainnya.
Salah satu pendekatan psikologis yang digunakan untuk menjelaskan kreativitas adalah pendekatan holistik. Clark (surpiadi, 1998 : 45) menggunakan pendekatan holistik untuk menjelaskan konsep kreativitas dengan berdasarkan pada fungsi-fungsi berpikir, merasa, mengindra dan intuisi. Clark menaggap bahwa kreativitas mencakup sintesis dari fungsi-fungsi thinking, feeling, sensing, dan intuiting. Thinking merupakan berpikir rasional dan dapat diukur serta dikembangkan melalui latihan-latihan yang dilakukan secara sadar dan sengaja. Feeling menunjuk pada suatu tingkat kesadaran yang melibatkan segi emosional. Ini merupakan proses aktualisasi diri, yaitu dilepaskannya energi emosional dari individu untuk kemudia dipindahkan kepada individu lain sehingga muncul respon emosional. Sensing menunjuk pada suatu keadaan ketika dengan bakat yang ada diciptakan suatu produk baru yang dapat dilihat atau didengar oleh orang lain. Ini dimungkinkan apabila memiliki perkembangan fisik, mental, dan keterampilan yang tinggi di bidang yang menjadi bakatnya. Intuiting menuntut adanya suatu tingkat kesadaran yang tinggi yang dihasilkan dengan cara membayangkan, berfantasi, dan melakukan terobosan ke daerah prasadar dan tak sadar.
Pendekatan sosiologis berasumsi bahwa kreativitas individu merupakan hasil dari proses interaksi sosial di mana individu dengan segala potensi dan disposisi kepribadiannya dipengaruhi oleh lingkungan sosial tempat individu itu berada, yang meliputi ekonomi, politik, kebudayaan dan peranan keluarga. Berdasarkan analisis yang dilakukan oleh Kroeber (Asrori,2004 : 44), munculnya orang-orang kreatif dalam sejarah merupakan refleksi dari pola perkembangan nilai-nilai sosial.
Lebih jauh lagi Gray (Asrori, 2004 : 46) menekankan dominannya peranan sosial dalam perkembangan kreativitas. Ditegaskan oleh Gray (Asrori, 2004 : 47) bahwa apabila faktor-faktor itu berada dalam peranannya yang positif, maka akan dapat mendorong perkembangan kreativitas yang maksimal.

Strategi Pengembangan Kreativitas
Dalam hal ini, E. Mulyasa (2003) menekankan pentingnya upaya pengembangan aktivitas, kreativitas, dan motivasi siswa di dalam proses pembelajaran. Dengan mengutip pemikiran Gibbs, E. Mulyasa (2003) mengemukakan hal-hal yang perlu dilakukan agar siswa lebih aktif dan kreatif dalam belajarnya, adalah:
  1. Dikembangkannya rasa percaya diri para siswa dan mengurangi rasa takut;
  2. Memberikan kesempatan kepada seluruh siswa untuk berkomunikasi ilmiah secara bebas terarah;
  3. Melibatkan siswa dalam menentukan tujuan belajar dan evaluasinya;
  4. Memberikan pengawasan yang tidak terlalu ketat dan tidak otoriter;
  5. Melibatkan mereka secara aktif dan kreatif dalam proses pembelajaran secara keseluruhan.
Sementara itu, Widada (1994) mengemukakan bahwa untuk meningkatkan aktivitas dan kreativitas siswa, guru dapat menggunakan pendekatan sebagai berikut :
  1. Self esteem approach; guru memperhatikan pengembangan self esteem (kesadaran akan harga diri) siswa.
  2. Creative approach; guru mengembangkan problem solving, brain storming, inquiry, dan role playing.
  3. Value clarification and moral development approach; guru mengembangkan pembelajaran dengan pendekatan holistik dan humanistik untuk mengembangkan segenap potensi siswa menuju tercapainya self actualization, dalam situasi ini pengembangan intelektual siswa akan mengiringi pengembangan seluruh aspek kepribadian siswa, termasuk dalam hal etik dan moral.
  4. Multiple talent approach; guru mengupayakan pengembangan seluruh potensi siswa untuk membangun self concept yang menunjang kesehatan mental.
  5. Inquiry approach; guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menggunakan proses mental dalam menemukan konsep atau prinsip ilmiah serta meningkatkan potensi intelektualnya.
  6. Pictorial riddle approach; guru mengembangkan metode untuk mengembangkan motivasi dan minat siswa dalam diskusi kelompok kecil guna membantu meningkatkan kemampuan berfikir kritis dan kreatif.
  7. Synetics approach; guru lebih memusatkan perhatian pada kompetensi siswa untuk mengembangkan berbagai bentuk metaphor untuk membuka inteligensinya dan mengembangkan kreativitasnya. Kegiatan pembelajaran dimulai dengan kegiatan yang tidak rasional, kemudian berkembang menuju penemuan dan pemecahan masalah secara rasional.
Terkait dengan peran guru dalam pembentukan kreativitas siswa, Robert J Sternberg mengatakan “The most powerful way to develop creativity in your students is to be a role model. Children develop creativity not when you tell them to, but when you show them.” Dalam melaksanakan pembelajaran, guru harus dapat menunjukkan keteladanannya sebagai sosok yang kreatif.
Seorang guru yang kreatif tidak hanya dituntut memiliki keahlian dalam bidang akademik, namun lebih dari itu dituntut pula untuk dapat menguasai berbagai teknik yang dapat menstimulasi rasa keingintahuan sekaligus dapat menumbuhkan rasa percaya diri dan harga diri (self esteem) setiap siswanya. Guru harus dapat memberikan dorongan pada saat siswa membutuhkannya dan memberikan keyakinan kepada siswanya pada saat dia merasa harga dirinya terancam. Dalam melaksanakan proses pembelajaran, seorang guru harus dapat menjaga keseimbangan antara struktur pembelajaran dengan kesempatan pengembangan diri siswa, antara pengelolaan kelompok (management of groups) dengan perhatian terhadap perbedaan individual siswanya.
Untuk menjadi guru kreatif memang bukan hal yang mudah, terutama bagi guru-guru yang tergolong laggard. Ketika dihadapkan dengan suatu perubahan (inovasi) di sekolah, mereka mungkin cenderung terlambat atau justru hanya berdiam diri menghadapi perubahan yang ada. Jika terus menerus dibiarkan, guru-guru seperti inilah yang sebenarnya dapat merusak pendidikan. Tentunya banyak faktor yang menyebabkan mereka menjadi laggard dan tidak kreatif, baik yang bersumber dari dalam diri guru itu sendiri (internal factors) maupun faktor eksternal. Oleh karena itu, agar guru dapat menjadi kreatif perlu diperhatikan berbagai faktor yang mempengaruhi dan melatarbelakanginya.
Kepemimpinan di sekolah merupakan salah satu faktor yang tidak bisa dilepaskan dalam mengembangkan kreativitas guru maupun kreativitas sekolah secara keseluruhan. Fred Luthans (1995) mengemukakan bahwa kreativitas merupakan salah satu keterampilan yang harus dikuasai oleh seorang manajer. Dalam hal ini, kepala sekolah dituntut untuk dapat menciptakan budaya dan iklim kreativitas di lingkungan sekolah yang mendorong seluruh warga sekolah untuk mengembangkan berbagai kreativitas dalam melaksanakan tugas dan pekerjaannya. Kepala sekolah harus dapat memberikan penghargaan kepada sertiap usaha kreatif yang dilakulan oleh anggotanya, terutama usaha kreatif yang dilakukan oleh guru dan siswa dalam melaksanakan pembelajaran. Kepala sekolah juga dituntut untuk dapat menyediakan sumber-sumber bagi pertumbuhan kreativitas di sekolah.
Selain terdapat guru yang termasuk laggard, tidak sedikit pula guru (dan juga siswa) di sekolah yang sesungguhnya memiliki sikap dan pemikiran kritis dan kreatif, namun karena tidak memperoleh dukungan yang kuat dari sistem sekolah, termasuk dari manajemen sekolah, yang pada akhirnya sikap dan pemikiran kreatifnya tidak dapat berkembang secara wajar. Bahkan, sebaliknya mereka seringkali mengalami tekanan tertentu dari lingkungannya karena dianggap sebagai orang yang “nyeleneh” atau eksentrik. Berdasarkan uraian di atas, kiranya dapat disimpulkan bahwa siswa yang kreatif dapat dihasilkan melalui guru yang kreatif, dan guru yang kreatif dapat dihasilkan melalui kepala sekolah yang kreatif. Siswa yang kreatif merupakan asset yang sangat berharga bagi kehidupan diri pribadinya maupun orang lain.
Untuk dapat mengembangkan kreativitas, faktor-faktor yang perlu diperhatikan adalah:
1) Sikap Individu
Guru perlu membantu mengembangkan kepercayaan diri dan keyakinan diri siswa dan membangkitkan rasa keingintahuan siswa.
2) Kemampuan dasar yang diperlukan
Kemampuan yang diperlukan mencakup berbagai kemampuan berpikir konvergen dan divergen.
3) Teknik-teknik yang digunakan
Teknik yang khusus untuk pengembangan kreativitas dapat diterapkan dalam pengajaran disertai kondisi yang menunjang, misalnya:
a)   Melakukan Brainstorming
b)   Menggunakan cara SHEMAP (Spekulasi, Hipotesis, Ekspansi, Modifikasi, Analogi, Prediksi)
c)    Melatih berpikir Spasial
d)    Melakukan pendekatan inquiry
e)   Penyajian bahan-bahan pelajaran dengan cara-cara baru melalui banyak media.
f)    Menerapkan model-model pertanyaan dari cara berpikir divergen.
g)   Permainan simulasi dengan menggunakan tahapan-tahapan dinamika kelompok (Nugraha,2009).
h)    Modul Model Siklus Belajar (Learning Cycle)  yang diimplementasikan ini terdiri atas tiga bagian yaitu: pra pendahuluan, pendahuluan, dan isi/kegiatan belajar (Dasna I, 2005:82).
i)     Pemecahan Masalah dengan Tipe ”What’s Another Way yang menuntut siswa untuk memecahkan masalah dengan menggunakan lebih dari satu cara dan tidak menutup kemungkinan siswa akan memperoleh jawaban yang beragam dan berbeda. Sehingga cara ini dapat melatih kemampuan berpikir kreatif siswa (Krulik dan Rudnick (1999:140).

Kesimpulan
Kreativitas seringkali dianggap sebagai sesuatu keterampilan yang didasarkan pada bakat alam, dimana hanya mereka yang berbakat saja yang bisa menjadi kreatif, Anggapan ini tidak sepenuhnya benar, walaupun memang dalam kenyataannya terlihat bahwa orang-orang tertentu memiliki kemampuan untuk menciptakan ide-ide baru dengan cepat dan beragam.
Namun demikian, sesungguhnya kemampuan berpikir kreatif pada dasarnya dimiliki semua orang. Berpikir kreatif adalah kemampuan untuk menciptakan gagasan-gagasan baru dan orisinil. Bahkan pada orang yang merasa tidak mampu menciptakan ide baru pun sebenarnya bisa berpikir secara kreatif, asalkan dilatih. Untuk itu, perlu diketahui terlebih dahulu mengenai cara berpikir dan cara berpikir kreatif.
Berpikir adalah proses mengolah dan memanipulasikan informasi untuk memenuhi suatu kebutuhan atau memberikan respons. Dalam berpikir seseorang mengolah informasi-informasi yang ada dengan menggunakan lambang-lambang visual, lambang grafis atau lambang verbal.
Beberapa faktor yang mendukung berkembangnya potensi kreativitas adalah sebagai berikut.
a) Remaja sudah mampu melakukan kombinasi tindakan secara proporsional berdasarkan pemikiran logis.
b) Remaja sudah memiliki pemahaman tentang ruang relatif.
c) Remaja sudah memiliki pemahaman tentang waktu relatif.
d) Remaja sudah mampu melakukan pemisahan dan pengendalian variabel-variabel dalam menghadapi masalah yang kompleks.
e) Remaja sudah mampu melakukan abstraksi dan berpikir hipotesis.
f) Remaja sudah memiliki diri ideal.
g) Remaja sudah menguasai bahasa abstrak.
Siswa yang kreatif dapat dihasilkan melalui guru yang kreatif, dan guru yang kreatif dapat dihasilkan melalui kepala sekolah yang kreatif. Siswa yang kreatif merupakan asset yang sangat berharga bagi kehidupan diri pribadinya maupun orang lain. Dengan demikian kreativitas merupakan proses berpikir dimana siswa berusaha untuk menemukan hubungan-hubungan baru, mendapatkan jawaban, metode atau cara baru dalam memecahkan suatau masalah.
Penemuan yang baru dan akumulasi dari keterampilan atau pengetahuan yang diperoleh dari belajar adalah wujud dari kreativitas. Dalam beberapa hal kreativitas adalah sebagai pola pikir atau ide yang timbul dapat setiap saat dan imajinatif mnengemukakan penemuan-penemuan ilmiah. Tentu saja ide tersebut tidak semuanya baru, mungkin saja gabungan dan kombinasi dari unsure-unsur yang sudah ada sebelumnya.
Begitu pentingnya pengembangan kreativitas siswa, dapat diamati dari bergesernya peran guru yang semula sering mendominasi kelas, kini lebih banyak memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengambil peran lebih aktif dan kreatif dalam suasana yang menyenangkan. Siswa harus berani mencoba atau berbuat, berani bertanya dan tidak malu mengungkapkan gaagasan.

Rekomendasi
Dalam mengembangkan kreativitas belajar pada remaja (siswa SMP dan SMA), maka makalah ini merekomandasikan kepada para stakeholder yakni sebagai berikut :
a)     Bagi siswa
Siswa diharapkan dapat mengembangkan kreativitas belajarnya dengan memiliki keyakinan akan potensi diri agar prestasi belajarnya  juga dapat meningkat.
b)     Bagi guru
Sebagai tenaga pendidik diharapkan dapat mengembangkan berbagai metode belajar yang bervariatif dan memahami siswa secara mendalam khususnya untuk membangkitkan kreativitas belajar siswa.
c)      Bagi orang tua
Orangtua diharapkan dapat memahami karakteristik anaknya agar kreativitas dalam belajarnya dapat berkembang secara maksimal.
d)     Bagi konselor
Konselor hendaknya merancang program bimbingan dan konseling yang berorientasi pada pengembangan kreativitas belajar pada siswa.

Referensi :

Anggraeni, R. (2009). Program Bimbingan untuk Mengembangkan Kreativitas Siswa. Skripsi PPB FIP UPI. Bandung. tidak diterbitkan.
Dahliana. (2002). Program Pengembangan Kemampuan Guru Pembimbing dalam Membantu Siswa Kreatif. Tesis PPS UPI. Bandung. Tidak diterbitkan.
Dasna I, Wayan. 2005. Model Siklus Belajar (Learning Cycle) Kajian Teoritis dan Implementasinya dalam Pembelajaran Kimia. Malang: Universitas Negeri Malang
Mulyasa, E. (2003). Kurikulum Berbasis Kompetensi. Bandung. Rosdakarya.
Munandar, S.C.U. (1999). Kreativitas Dan Keberbakatan, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Munandar, S.C.U. (2002). Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat, Jakarta : Rineka Cipta.
 Munandar, S.C.U. (1999). Mengembangkan Bakat dan Kreativitas Anak Sekolah, Jakarta : PT Gramedia Widiasarana Indonesia.
Muro & Kottman. (1995). Guidance and Counseling in Elementary Schol :  a Prctical Approach. Boulevard-Dubuque : Brown & Brenchmark Publisher.
Nugraha, A. (2009). Efektivitas Permainan Simulasi untuk Mengembangkan Komitmen Belajar. Skripsi PPB FIP UPI. tidak diterbitkan.
Semiawan, C. Munandar, A.S. & Munandar, S.C.U (1987). Memupuk Bakat dan kreativitas Siswa Sekolah Menengah. Jakarta :  Gramedia.
Siswono, Eko & Novitasari. (2005). Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kreatif Siswa Melalui Pemecahan Masalah Tipe ”What’s Another Way”. Jurnal terakreditasi “Jurnal Pendidikan Matematika dan Sains”, FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta. Tahun X, No. 1, Juni 2005. ISSN 1410-1866, hal 1-9.
Siswono, Eko. (2005).Upaya Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kreatif Siswa Melalui Pengajuan Masalah. Jurnal terakreditasi “Jurnal Pendidikan Matematika dan Sains”, FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta. Tahun X, No. 1, Juni 2005. ISSN 1410-1866, hal 1-9.
Supriadi. (1994). Kreativitas dan Orang-Orang Kreatif dalam Lapangan Keilmuan. Disertasi PPS IKIP Bandung. Tidak diterbitkan.
Supriadi. (1978). Kontribusi Kualitas Interaksi Anak-Orangtua dalam Keluarga dan Siswa Guru di Sekolah terhadap Kepribadian Kreatif. Tesis PPS IKIP Bandung. Tidak diterbitkan.
Torrance, E.P. (1962). Guiding Creative Talent. Englewood Clifs, N.J : Prentice-Hall.
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Widiarti, N. (2011). Pengaruh Kreativitas Belajar dan Pemanfaatan Media Pembelajaran terhadap Prestasi Belajar Mata Pelajaran Ekonomi. Skripsi Prodi Pendidikan Akuntansi FKIP UMS. Tidak diterbitkan.
Winardi, (1991). Kreativitas & Teknik-Teknik Pemikiran Kreatif dalam Bidang Majemen. Bandung : Citra Aditya Bakti.
Yusuf Syamsu, LN. (2009). Program Bimbingan dan Konseling di Sekolah. Bandung : RIZQI Press.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Penguatan Integrasi Pendidikan

PENGUATAN INTEGRASI PENDIDIKAN DALAM ERA DISUPSI Oleh :  Asep Rohiman Lesmana, M.Pd. Pendidikan merupakan suatu entitas yang s...