URGENSI PENGEMBANGAN KREATIVITAS
Oleh :
Iman Lesmana
Pendahuluan
Perkembangan
suatu bangsa erat hubungannya dengan masalah pendidikan. Pendidikan adalah
sebuah proses dengan metode-metode tertentu sehingga orang memperoleh
pengetahuan, pemahaman, dan cara bertingkah laku yang sesuai dengan kebutuhan.
Pendidikan tersebut mempunyai fungsi yang harus diperhatikan. Fungsi tersebut
dapat dilihat pada Undang-Undang No.20 tahun 2003 Pasal 4 tentang sistem
pendidikan nasional bahwa:
Pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung
jawab.
Sebagai
penyelenggara pendidikan formal, sekolah mengadakan kegiatan secara berjenjang
dan berkesinambungan. Di samping itu sekolah sebagai lembaga pendidikan formal
juga berusaha semaksimal mungkin untuk meningkatkan prestasi belajar anak
didiknya. Dalam proses belajar mengajar terdapat banyak hal yang mendukung dan
saling berkaitan dalam dunia pendidikan dan proses belajar mengajar.
Pendidikan
diharapkan mampu menghasilkan output yang berkualitas. Dari berbagai macam
karakteristik input yang masuk, bagaimana pendidikan itu mampu menghasilkan
output yang baik dan berkualitas. Demikian itu merupakan tugas dari pendidikan
yang tidak bisa diabaikan. Sebenarnya ini bukan hanya tugas yang dibebankan
kepada guru saja tetapi ini juga merupakan tugas orang tua. Jadi untuk
menghasilkan output yang berkualitas harus ada kerja sama antara guru dan orang
tua di dalam mendidik siswa siswinya.
Melalui
usaha pendidikan diharapkan kualitas generasi muda yang cerdas, kreatif, dan
mandiri dapat terwujud. Namun kenyataannya kreativitas siswa sekarang ini
berkembang lambat dan pemanfaatan media pembelajaran yang kurang. Hal ini
dikarenakan sistem pendidikan yang senantiasa bergantung pada pendidik.
Akibatnya siswa kurang bersemangat untuk mencapai prestasi belajar yang tinggi.
Siswa kurang memiliki tingkah laku yang kritis bahkan cara berfikir untuk
mengeluarkan ide-ide yang sifatnya inovatif pun terkesan lambat.
Pendidikan
dipandang sebagai salah satu aspek yang memiliki peranan pokok dalam membentuk
generasi masa depan. Dengan pendidikan, diharapkan dapat menghasilkan manusia
yang berkualitas dan bertanggung jawab serta mampu menyangsong kemajuan pada
masa mendatang. Salah satu indikasi pencapaian proses pendidikan tersebut
adalah terwujudnya prestasi siswa yang memuaskan. Pendidikan dapat dikatakan
berhasil apabila tercapai prestasi belajar yang baik. Namun, peserta didik akan
menemui hal-hal yang akan mendukung maupun menghambat mereka dalam mencapai
prestasi belajar yang memuaskan.
Perbedaan
prestasi belajar bagi siswa disebabkan oleh faktor-faktor, antara lain
kematangan akibat kemajuan, umur kronologis, latar belakang pribadi, sikap dan
bakat terhadap suatu bidang pelajaran atau jenis mata pelajaran yang diberikan.
Pada proses pencapaian prestasi belajar yang baik, diperlukan juga suatu
latihan dan ulangan terhadap suatu pelajaran tertentu.
Hal
ini disebabkan karena seringnya siswa berlatih akan menjadikan ia semakin
menguasai pelajaran tertentu. Kreativitas mencerminkan pemikir yang divergen
yaitu kemampuan yang dapat memberikan bermacam-macam alternatif jawaban.
Kreativitas dapat digunakan untuk memprediksi keberhasilan belajar. Namun sebenarnya
setiap orang adalah kreatif. Untuk mendapatkan orang yang demikian perlu adanya
latihan dan bimbingan dari orang tua atau pun guru.
Hasil penelitian Hans Jellen dan Klaus
Urban (Supriadi,1992:8) yang dilakukan pada tahun 1987 terhadap anak-anak Indonesia
yasng berusia 10 tahuan ternyata dibandingkan dengan 8 negara lain, anak
Indonesa menampilkan ekspresi kreatif yang paling rendah. (negara-negara sampel
adalah : Filipina, Amerika Serikat, Inggris, Jerman, India, RRC, Kamerun, Zulu,
Indonesia).
Hasil penelitian Anggraeni (2009)
menjelaskan gambaran umum kreativitas siswa kelas XII IPA SMA Puragabaya
Bandung Tahun ajaran 2008/2009 yakni sebagai berikut.
Kategori
|
Rentang
Skor
|
Subjek
|
|
F
|
%
|
||
Tinggi
|
25-33
|
76
|
40.6 %
|
Sedang
|
10-24
|
109
|
58.2 %
|
Rendah
|
1-9
|
2
|
1.06 %
|
Jumlah
|
187
|
99.86
%
|
Dari data yang dikemukakan dari tabel
tersebut dapat dikatakn bahwa secara umum tingkat kreativitas siswa kelas XII
IPA SMA Puragbaya Bandung tergolong pada kategori sedang dalam kelancaran
berpikir (fluency) dan memperinci (elaboration) suatu gagasan dengan
persentasi sebesar 58.2 % menunjukkan masih terdapat siswa yang masih merasa
cepat puas dengan apa yang sudah diraih, kurangnya rasa ingin tahu, waktu luang
diisi dengan kegiatan pasif, masih ada siswa yang malas mengerjakan tugas dari
guru dan tidak menyimak baik ketika mengikuti pelajaran dikelas, tidak berani
mengambil resiko, takut dikritik jika berpendapat, mengerjakan tugas dengan
mencontek, masih ada siswa yang menghafal tanpa adanya pemahaman dan kurang
mencari alternatif pemecahan masalah.
Sudah barang tentu bahwa hasil
penelitian ini tidak lantas membuat kita harus berkesimpulan bahwa Bangsa
Indonesia memiliki kreativitas rendah, karena seperti yang terungkap dari
pendapat Frans Boas (Supriadi,1992:4)” jika kita mencari orang paling
cemerlang, maka orang seperti itu akan ditemukan pada setiap bangsa dan ras di
dunia”. Artinya bukan Bangsa Indonesianya yang tidak kreatif melainkan seperti
hasil penelitian Utami Munandar (1977), iklim llingkungan di Indonesia baik
lingkungan keluarga maupun sekolah kurang menunjang tumbuh dan berkembangnya
kemampuan kreatif itu. Arieti (Dedi Supriadi,1992:27) juga menyatakan bahwa: “creativity does not occur at random, but
enhanced by environment factors”.
Menjadi
kreatif adalah sebuah keputusan diri, yaitu sebuah pilihan seseorang akan
bertindak kreatif atau tidak. Ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi proses
kreativitas seseorang, dari luar diri individu seperti hambatan sosial,
organisasi dan kepemimpinan. Sedangkan dari dalam diri individu seperti pola
pikir, paradigma, keyakinan, ketakutan, motivasi dan kebiasaan.
Kreativitas
merupakan faktor yang sangat penting dihayati perkembangannya karena sangat
berpengaruh dalam kehidupan sehari-hari. Kreativitas dapat diwujudkan dimana
saja oleh siapa saja karena potensi ada pada masing-masing individu tergantung
cara mengembangkannya. Kreativitas merupakan fenomena yang melekat dengan
kehidupan manusia dan merupakan hasil interaksi antar manusia dengan lingkungan
atau kebudayaan dan sejarah dimana kreativitas dapat tumbuh dan meningkat
tergantung kepada kondusif kebudayaan dan orangnya (Munandar, 1999).
Kreativitas
yang dimiliki siswa memiliki peran yang aktif dalam proses belajarnya karena
dengan tingginya kreativitas akan lebih mempunyai rasa dan sikap bertanggung
jawab. Levoy (Munandar, 1999) menjelaskan kreativitas merupakan kemampuan untuk
mengkombinasikan ide-ide lama sehingga menjadi suatu ide baru. Orang-orang yang
kreatif mempunyai rasa individualitas yang kuat. Mereka membuat keputusan
sendiri, oleh karena itu orang kreatif mampu berdiri ditengah-tengah kekacauan
pendapat, tidak mudah termakan kabar angin atau cerita burung. Mereka percaya
pada daya pikir mereka.
Melihat
pentingnya kreativitas terutama dalam proses berpikir maka hendaknya
kreativitas dikembangkan dalam dunia pendidikan. Dalam kenyataannya sekolah
sebagai sarana pendidikan cenderung hanya meningkatkan kemampuan akademik siswa
dan mengabaikan kemampuan berpikir kreatif siswa. Sistem pendidikan di Indonesia
belum memberikan ruang yang luas bagi pengembangan kemampuan kreatif, khususnya
kreativitas berpikir anak (Ghufron, 2002). Pihak sekolah belum mau atau kurang
merangsang kemampuan berpikir kreatif siswa (Munandar, 1992).
Kenyataan
yang ada dan menjadi permasalahan pada saat ini adalah dalam suasana kelas yang
lebih menuntut pada kemampuan siswa berpikir konvergen (pengembangan dalam
bidang akademik) daripada berpikir divergen dan kreatif. Siswa merasa tidak
nyaman karena suasana belajar yang tegang, membuat siswa menjadi tertekan dan
frustasi terhadap tuntutan yang ada. Siswa menjadi ragu-ragu untuk mencoba hal
baru dan kurang memiliki keberanian dalam menghadapi hambatan, yang mengganggu
keyakinan diri siswa sehingga siswa merasa tidak nyaman dan tidak optimal dalam
mengembangkan diri mereka, yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap
kecerdasan emosi, keyakinan diri dan kreativitas siswa.
Masalah
khusus yang terjadi pada remaja (siswa SMP dan SMA) mengenai kreativitas
belajar yakni sebagi berikut :
Pertama, selama proses
belajar mengajar berlangsung, siswa cenderung diam dan tidak menjawab
pertanyaan-pertanyan yang diajukan guru, sehingga belum menunjukkan kelancaran
siswa mengemukakan gagasan. Kedua,
siswa cenderung main-main, tidak terfokus pada materi yang diberikan oleh guru
dan malas mengerjakan tugas seperti mengisi LKS (Lembar Kerja Siswa) dan maupun
membaca buku paket materi pelajaran. Ketiga,
siswa cenderung menghafalkan satu jawaban yang benar ketika ulangan umum dengan
tes uraian dan essay, dan belum tampak kemampuan keluwesan siswa memikirkan
alternatif jawaban yang bervariasi. Hal tersebut mengindikasikan bahwa
kreativitas dalam belajar siswa masih rendah.
Orientasi
layanan bimbingan dan konseling tidak terbatas pada usaha membantu sisiwa
disaat mengalami masalah, tetapi lebih berorientasi pada pengembangan,
disamping mengambil peran aktif dalam segala tugas perkembangan siswa dan
bertujuan mengembangkan kreativitas seperti menghargai gagasan baru,
mengajarkan teknik menemukan gagasan dan
memecahkan masalah secara kreatif, peka terhadap berbagai permasalahan dan
melatih kemampuan dalam kelancaran berbicara, kecepatan berpikir, keluwesan
spontanitas, dan memiliki ide orisinalitas. Bimbingan dan konseling
perkembangan merupakan proses bantuan terhadap individu untuk menstimulasi dan
memfasilitasi pencapaian tugas-tugas perkembangan dengan memfokuskan layanannya
pada pemenuhan kebutuhan untuk melakukan aktivitas pembelajaran efektif (Muro
& Kottman, 1995:23).
Diskusi dan
Pembahasan
Sesuai dengan ciri-ciri siswa kreatif
yang mempunyai daya emajinasinya yang kuat, pemikiran yang orisinal,
kemandirian, minat yang luas, dan dapat melibatkan dirinya secara intensif
dalam berbagai situasi yang menghasilkan produk yang menarik. Disisi lain,
dengan ciri mereka yang bersikap kritis, ketidakpuasan dengan otoritas,
kebosanan dengan tugas-tugas rutin, dapat mengakibatkan mereka mengalami
ketegangan dan ketidaknyamanan dalam berhubungan dengan orang dewasa dan teman
sebaya. Supriadi (1997:168-170) mengemukakan tiga masalah spesifik yang biasa
dihadapi siswa kreatif sekolah, antara
lain : (1) pilihan yang tidak realitas, (2) hubungan dengan guru dan teman
sebaya, (3) perkembangan yang tidak selaras, dan (4) tiada kokoh yang ideal.
Masalah
pilihan karir yang tidak realistis, siswa kreatif memiliki banyak alternatif
dalam menentukan karir yang akan dipilihnya dan karir yang dipilih tersebut
sangat mudah untuk berubah, bahkan mereka cenderung mempunyai pilihan karir
yang kurang realistis, kurang populer, dan “unconventional”.
Bila pilihan karir tidak sesuai denga karakter siswa, maka akan timbul suatu
sikap penolakan dari dalam dirinya.
Kondisi dari
permasalahan diatas tentu membutuhkan perhatian maupun bimbingan yang sempurna
dari guru pembimbing agar kecenderungan siswa yang mengarah pada pilihan karir
yang kurang tepat dan sesuai dengan potensinya dapat diarahkan pada pilihan
karir yang sesuai dengan minat dan bakat siswa. Karena mereka memiliki potensi
untuk mencapai prestasi dalam berbagai bidang, mereka perlu memahami bagaimana
sebaiknya membuta keputusan pada berbagai tahap perkembangan. Kebanyakan
siswa-siswa kreatif karena sesuai dengan kondisinya, siswa kreatif memiliki
banyak pilihan karir yang dapat mengakibatkan sukar untuk menentukan pilihan.
Masalah
hubungan guru dengan teman sebaya, siswa kreatif mempunyai ciri yang realtif
berbeda dengan siswa lainnya yang mengakibatkan mereka mengalami kesulitan
membangun relasi dengan teman maupun dengan gurunya. Kesulitan ini terjadi akibat
dari sifatnya yang kritis, tidak ingin melibatkan diri pada berbagai aturan,
rasa ingin tahunya yang besar, dan juga kaya akan gagasannya.
Hasil studi
Gowan (Supriadi, 1977:69) menyatakan bahwa, anak-anak kreatif kurang disenangi
oleh guru dan teman-teman sebaya karena anak kreatif memiliki pendapatnya
sendiri, tidak mudah percaya, berai mengatakan pendapat, dan memiliki
keinginann yang berbeda dengan kebanyakan orang. Meskipun diantara teman sebaya
ada juga yang cukup menyenangi, bahkan sering dipilih menjadi pemimpin,
sebaliknya ada pula yang menganggap sok pintar, sombong, dan egois.
Untuk
menghindari anggapan-anggapan diatas, maka siswa kreatif perlu suatu sarana
yang dapat membuat ia merasa aman, nyaman, dan memberi suatu dukungan dalam
mengembangkan ide-idenya. Untuk itu, diperlukan layanan bimbingan dan konseling
yang terprogram.
Masalah perkembangan yang tidak selaras yang
dimaksud dengan perkembangan tidak selaras dari siswa kreatif adalah tidak
sesuai perkembangan antara kematangan intelektual dengan dengan emosional dan
sosial. Ketidakseimbangan dalam diri siswa kreatif sering timbul karena
kemtangan intelegensinya yang tinggi, keterbukaan terhadap pengalaman, bebas,
fleksibilitas kognitif, energik dan sebagainya, sehingga siswa tersebut sering
mengalami konflik sosial, perilaku agresif, menyalahkan lingkungan, dan diri
sendiri. Oleh karena itu, intevensi guru pembimbing sangat berguna dalam
memberikan peluang kepada siswa kreatif untuk menyalurkan minat yang luas, rasa
ingin tahu yang besar, imajinasi yang melebihi dan keberanian untuk mengambil
resiko.
Masalah yang
ideal, minat siswa kreatif berbeda dari kebanyakan siswa pada umumnya mereka
menyukai tokoh-tokoh besar yang menjadi model dalam kehidupannya. Tokoh-tokoh
tersebut dapat berada disekitarnya, dan juga jauh. Jika tokoh ideal tersebut
berada jauh, biasanya siswa kreatif menjangkaunya dengan cara membaca riwayat
hidupnya, mengagumi fotonya, dan lain-lain sebagainya. Dan jika berada dekat
dengan tokoh idolanya, maka ia akan selalu menjadikan tokoh idolanya itu
sebagai pedoman dalam gerak dan langkah hidupnya. Sehubungan dengan ini,
Munandar (1999:380) menyatakan bahwa bila siswa kreatif tidak menemukan tokoh
idealnya, maka mereka akan diarahkan oleh minat mereka sendiri dan cenderung tidak
mengindahkan keterampilan yang diperlukan untuk produktivitas dalam bidang
minatnya sendiri.
Untuk
menghindari munculnya perilaku salah suai (maladjusment)
yang mengakibatkan terhambatnya perkembangan kreativitas, guru dan pembimbing
perlu membantu siswa tersebut untuk menemukan tokoh-tokoh ideal yang dapat
menjadi teladannya, baik itu pahlawan, ilmuan, seniman, atau negarawan.
Kelangkaan tokoh yang menjadi penutan siswa kreatif ini, diakibatkan oleh
kurangnya informasi dari pembimbing di sekolah, dapat berakibat pada pilihan
yang salah. Untuk itu, guru dan pembimbing perlu membantu mengarahkan agar
proses identifikasi tokoh ideal tersebut berjalan sehat.
Konsep Dasar
Kreativitas
Kreativitas
merupakan salah satu potensi yang ada pada diri individu dengan derajat yang
bervariasi dari satu individu dengan individu yang lainnya. Moreno (llyas,
1988:14) melihat bahwa, kreativitas bersifat universal dan tampak (mewujud)
melalui berbagai bentuk dalam kehidupan sehari-hari dan kreativitas itu
bukanlah milik para cendikia, ahli/seniman semata-mata.
Mayeskey
& Wlodknowski (1975:2), mengemukakan pengertian kreativitas sebagai berikut
“creativity is a away of thinking and
acting or making something that is original for the individual and vaued by
that person or other”.
Sehubungan
dengan pernyataan diatas menunjukkan pada dua ciri utama, yaitu : (1) cara
berpikir yang original dan dapat dinilai oleh orang lain. Berpikir original
menunjukkan kepada gagasan-gagasan tersebut belum pernah terpikir oleh orang
lain. Originalitas ini unik dan kadang-kadang tidak dimengerti oleh orang lain.
Dalam proses belajar mengajar, pembimbing yang kreatif terangsang untuk
mengembangkan ide-ide atau pendapat dalam menemukan cara yang lebih efektif
untuk memecahkan kesulitan yang dikemukakan oleh siswa. Disamping itu juga,
pembimbing terangsang untuk mengembangkan ide-ide yang dapat menemukan cara
mendorong/membimbing siswa agar berbuat sesuatu yang terbaik dalam menghadapi
kesulitannya. (2) cara bertindak atau bertingkah laku yang bersifat original
dan dapat dinilai oleh orang lain. Manifestasi tingkah laku kreatif ini seperti
: bersibuk diri terus menerus dengan kerjanya atau apa yang menarik
perhatiaannya, tidak bersedia menerima pendapat orang lain begitu saja jika
tidak sesuai denga keyakinannya dalam berpikir dan memberi pertimbangan tanpa
memerlukan bantuan orang lain.
Pengertian
lain tentang kreativitas yang mendukung pendapat Mayeskey adalah Munandar.
Konsep yang kedua ini menunjukkan bahwa seseorang yang dikatakan kreatif dia
mampu memperlhatkan pola berpikir yang lancar, luwes, orisinal, dan mampu
mengembangkan, memperinci, dan memperkaya suatu gagasan. Dalam proses belajar
mengajar siswa mampu mengemukakan pendapat dengan penjelasan yang lancar,
memberikan ide-ide yang diterima oleh guru dan siswa/teman lainnya,
mengemukakan gagasan yang belum pernah ada, dan mampu menjelaskan secara
terperinci tentang pendapatnya. Indikasi ersebut memberikan petunjuk bahawa
siswa tersebut kreatif . secara lebih lengkap, rumusan tentang kreativitas yang
dikemukakan Munandar, (1999:50) adalah :
Selain itu,
Semiawan (1987:97) memberika pengertian bahwa, kreativtas sebagai kemampuan
untuk memberikan gagasan-gagasan baru dan menerapkannya dalam pemecahan masalah
yang dapat dilihat dari dua sudut pandang, yaitu : (1) kreativitas adalah
kemampuan untuk memerikan gagasan baru. Gagasan ini sifatnya murni (orisinal)
yang belum pernah dikemukakan oleh orang lain, (2) kreativitas adalah kemampuan
untuk menemukan banyak kemungkinan jawaban terhadap suatu masalah yang
menekankan pada segi kualitas, ketepatgunaan, dan keragaman jawaban.
Selanjutnya,
Supriadi (1997:7) menyatakan bahwa kreativitas sebagai kemampuan seseorang
untuk melahirkan sesuatu yang baru, baik berupa gagasan maupun karya nyata,
yang relatif berbeda dengan yang telah ada sebelumnya. Sesungguhnya apa yang
diciptakan itu bukanlah hal-hal yang baru sama sekali, tetapi merupakan
kombinasi dari hal-hal yang sudah ada sebelumnya atau sudah dikenal sebelumnya.
Dan kreativitas seseorang siswa terletak pada keberhasilan membentuk
kombinasi-kombinasi baru dari hal-hal yang telah ada sebelumnya menjadi sesuatu
yang bermakna dan bermanfaat bagi dirinya maupun bagi masyarakat.
Guilford (Supriadi, 1976 : 47) mendefinisikan
kreativitas sebagai kemampuan untuk melihat dan memecahkan masalah yang
ditandai kemampuan berpikir (kognitif) dan sikap (afektif). Selanjutnya
dilakukan penelitian mengenai kreativitas dengan menggunakan analisis faktor,
ditemukan faktor yang merupakan sifat dari kemampuan berpikir kreatif yaitu:
a. Fluency of thinking atau kelancaran berpikir, yaitu banyaknya ide
yang keluar dari pemikiran seseorang.
b. Flexibility atau keluwesan, yaitu kemampuan untuk menggunakan
bermacam-macam pendekatan dalam mengatasi persoalan; orang yang kreatif adalah
orang yang luwes dalam berpikir, mereka dengan mudah dapat meninggalkan cara
berpikir lama dan menggantikan dengan cara berpikir yang baru.
c. Elaboration, yaitu kemampuan dalam mengembangkan gagasan dan
mengurai secara terinci.
d. Originality atau keaslian, yaitu kemampuan untuk mencetuskan
gagasan asli.
Secara
operasional kreativitas dapat dirumuskan sebagai kemampuan yang mencerminkan
kelancaran. Keluwesan (fleksibilitas) dan orisinalitas dalam berpikir, serta
kemampuan untuk mengelaborasi (mengembangkan, merinci, memperkaya) suatu
gagasan.
Konsep Kreativitas Belajar
Kreativitas belajar merupakan kemampuan untuk menciptakan kombinasi baru
atau gagasan baru berdasarkan pengetahuan yang dimiliki yang dibutuhkan dan
digunakan dalam proses terjadinya perubahan tingkah laku atau yang disebut
sebagai proses belajar. Kreativitas siswa
dimungkinkan tumbuh dan berkembang dengan baik apabila lingkungan sekolah turut
menunjang siswa dalam mengekspresikan kreativitasnya. Proses pembelajaran yang
dikembangkan guru hendaknya menekankan kepada upaya mengembangkan kreativitas
siswa secara optimal.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan guru untuk
memperoleh hasil belajar yang optimal bagi siswa adalah guru dapat
mengembangkan kegiatan yang beragam, dapat memantau kegiatan belajar siswa,
memberi umpan balik, mengajukan pertanyaan yang menantang,mempertanyakan
gagasan siswa dan membuat alat bantu sederhana bila diperlukan.
Begitu pentingnya pengembangan kreativitas siswa,
dapat diamati dari bergesernya peran guru yang semula sering mendominasi kelas,
kini lebih banyak memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengambil peran
lebih aktif dan kreatif dalam suasana yang menyenangkan. Siswa harus berani
mencobaa atau berbuat, berani bertanya dan tidak malu mengungkapkan gagasan.
Penelitian Munandar (2002 : 10) menujukkan bahwa
kreativitas sama pentingnya seperti intelegensi sebagai prediktor prestasi
sekolah. Ciri kreativitas yang berkaitan dengan sikap (afektif) adalah
imajinatif, inisiatif, memiliki minta yang luas, mandiri dalam berpikir, ingin
tahu, senang berpetualang, penuh energi, percaya diri, bersedia mengambil
resiko, berani dalam pendirian dan keyakinan.
Ciri-Ciri
Kepribadian Siswa Kreatif
Untuk dapat
mendalami dan memperluas wawasan tentang kreativitas secara lebih spesifik,
yang berkembang dalam diri individu, maka dapat dilihat dari berbagai pendapat
menyangkut ciri-ciri kepribadian siswa kreatif dibawah ini, yakni sebagai
berikut.
Csikzentmihalyi
(Munandar, 1999:50) mengemukakan, ada sepuluh pasang ciri-ciri kepribadian
individu kreatif , yaitu (1) pribadi kreatif mempunyai kekuatan energi fisik
yang memungkinkan mereka bekerja berjam-jam dengan konsentrasi penuh, tetapi
mereka juga bisa tenang dan rileks, bergantung pada situasinya. (2) pribadi
kreatif cerdas dan cerdik, tetapi pada saat yang sama mereka juga naif, (3)
berkaitan dengan kombinasi antara sikap bermain dan disiplin, kreativitas
memerlukan kerja keras, keuletan, dan ketekunan untuk menyelesaikan suatu
gagasan atau karya baru, dengan
mengatasi rintangan yang sering dihadapi, (4) pribadi kreatif dapat
berselang-seling antara imajinasi dan fantasi, namun tetap bertumpu pada
realitas, (5) pribadi kreatif menunjukkan kecenderungan baik introversi, maupun
ekstroversi, (6) individu kreatif dapat bersikap rendah diri dan bangga akan
karyanya pada saat yang sama, (7) pribadi kreatif menunjukkan kecenderungan
androgini psikologis, mereka dapat melepaskan diri dari stereotip gender
(maskulin feminim), (8) orang kreatif cenderung mandiri, bahkan suka menentang,
tetapi dilain pihak mereka bisa tetap tradisional dan konservatif, (9)
kebanyakan individu kreatif sangat bersemangat (passionate) bila mennyangkut karya mereka, tetapi sangat objektif
dalam penilaian karyanya, (10) sikap keterbukaan dan sensivitas individu
kreatif sering membuatnya menderita jika mendapat banyak kritik dan serangan
terhadap hasil jerih payahnya, namun disaat yang sama, ia juga merasakan
keeegembiraan yang luar biasa.
Munandar
(1999:56) mengemukakan beberapa ciri siswa kreatif di Indonesia, yaitu : (1)
imanjinatif, (2) mempunyai prakarsa (inisiatif), (3) memunyai minat luas, (4)
mandiri dalam berpikir, (5) melit, (6) senang berpetualang, (7) penuh energi,
(8) percaya diri, (9) bersedia mengambil resiko, dan (10) berani dalam
pendirian dan keyakinan.
Supriadi
(1985:106) menyatakan bahwa, hasil dari penelitian kepustakaan mengenai
karakteristik siswa kreatif dapat disimpulkan sekitar 20 karakteristik pribadi
kreatif, yaitu : (1) memiliki rasa ingin tahu, (2) percaya pada diri sendiri
dan mandiri, (3) bebas dalam berpikir, tidak terhambat, (4) lentur dalam
berpikir dan berespon, (5) penuh semangat, (6) berani mengambil resiko, (7)
mempunyai pendapat sendiri dan tidak mudah terpengaruh, (8) mempunyai toleransi
yang tinggi kepada keadaan yang mendua, perbedaan pendapat, keadaan tak
terstruktur, dan kompleks, (9) tidak kehabisan akal dalam memecahkan masalah,
(10) memiliki komitmen yang kuat kepada tugas, (11) tidak mudah bosan dan putus
asa, (12) memiliki kepekaan terhadap masalah-masalah dilingkungan, (13) sikap
kitis terhadap semua keadaan disekitarnya, (14) senang mempermainkan dan
mengotak-atik berbagai unsur yang ada disekitarnya, (15) terbuka kepada
pengalaman baru, (16) berkemauan teguh, tekun, dan berambisi kuat meraih
keberhasilan dalam suatu usaha, (17) gemar mengajukan gagasan orisinal untuk
memecahkan suatu masalah, (18) kaya akan inisiatif untuk memecahkan suatu
masalah, (19) menyukai petualangan dalam aktivitas dan gagasan, (20) mempunyai
minat yang tinggi kepada usaha-usaha kreatif.
Selanjutnya,
Supriadi (1989:261) membuktikan bahwa,
hasil studi empiris yang memuaskan perhatian intensif kepada ciri-ciri pribadi
kreatif di Indonesia, dan pertama kali dilakukan penelitian tersebut terhadap
125 ilmuan yunior dan studi kasus kepada ilmuan senior. Dari studi tersebut,
dapat disimpulkan bahwa beberapa ciri-ciri pribadi kreatif hasil temuan Roe
(1952), Baron (1955), MacKinnon (1962), Catell & Butcher (1968) ternyata
mempunyai kesamaan dengan ciri-ciri pribadi kreatif ilmuan yunior dan ilmuan
senior di Indonesia, yaitu memiliki rasa ingi tahu yang besar, kaya akan
gagasan imajinatif, mandiri, non-kompromis, gigih dalam mewujudkan cita-cita,
bekerja keras, peka terhadap masalah, percaya diri, optimistik, berpikir
positif, berwawasan masa depan, menyukai kompleksitas dan hal-hal yang penuh
tantangan, berani mengambil resiko, bekerja berdasarkan motivasi intrinsik, dan
penuh dedikasi terhadap pekerjaannya.
Studi tentang
ciri-ciri individu kreatif yang telah diuraikan diatas, mencerminkan
karakteristik kepribadian siswa kreatif. Biasanya siswa yang kreatif selalu
ingin tahu, memiliki minat yang luas, mempunyai kegemaran, dan menyukai
aktivitas yang kreatif. Siswa yang kreatif biasanya cukup mandiri dan memiliki
rasa percaya diri. Mereka lebih berani mengambil resiko (tetapi dengan
perhitungan) dari pada siswa-siswa pada umumnya, artinya mereka dalam melakukan
sesuatu yang bagi mereka amat berarti, penting, dan disukai, mereka tidak
terlalu menghiraukan kritik dan ejekan orang lain. Mereka juga tidak takut
untuk membuat kesalahan dan mengemukakan pendapat, walaupun pendapat mereka
tidak disukai oleh teman-temannya. Siswa yang inovatif berani untuk berbeda,
mononjol, membuat kejutan, atau menyimpang dari tradisi. Rasa percaya diri,
keuletan, dan ketekunan membuat mereka tidak cepat putus asa untuk mencapai
tujuannya. Diketahui Thomas Edison mengalami kegagalan lebih dari 200 kali
dalam percobaanya sebelum berhasil menemukan bola-lampu yang bermakna bagi
seluruh umat manusia. Thomas Edison sendiri mengungkapkan, “Genius is 1% inspiration and 99% perspiration” (Supriadi, 1997:105).
Faktor-faktor
yang Mempengaruhi Pengembangan Kreativitas Belajar
Pada dasarnya
setiap individu memiliki potensi kreatif. Potensi tersebut dapat berkembang
dengan baik manakala lingkungan mendukung pengembangannya. Dari berbagai
pendapat dan penyelidikan tentang faktor-faktor yang menyebabkan individu
menjadi kreatif. Guilford (1982:63) menyatakan bahwa, bila dihilangkan suatu
penilaian, maka orang tidak akan berhenti mengemukakan ide-ide dalam rangka
mengevaluasi atau mempersoalkan setiap ide yang diajukan. Selain itu, perasaan
tidka puas yang konstruktif merupakan faktor lain yang mendorong pengembangan kreativitas
individu. Dengan demikian, siswa yang mempunyai perasaan tidak puas yang
bersifat konstruktif secara terus menerus, menanyakan kepada guru pembimbing
atau pihak lainnya, mengapa sesuatu dilaksanakan dengan cara tertentu, atua
bagaimana hal tersebut dapat dilaksanakan ?, ini merupakan salah satu indikator
bahwa siswa tersebut kreatif.
Suasana yang
bersifat membantu, seperti suasana permisif, yaitu suatu lingkungan dimana
ide-ide baru mendapatkan dorongan, dan dapat dikemukakan untuk didengar akan mendorong
tingkah laku kreatif. Kemungkinan untuk dapat menyatakan opini yang
berbeda tanpa perasaan takut, atau
sensor yang tegas agaknya merupakan suatu syarat utama bagi suasana permisif
tersebut. Proses belajar mengajar yang bersifat otoriter yang membuat siswa
hanya mengatakan “ya” dan atau tidak pernah mengatakan “tidak”, boleh dikatakan
hampir tidka memungkinkan ikemukakan ide-ide baru, sehingga dapat menghambat
pengembangan kreativitas siswa.
Kepuasan
dalam belajar dan kemampuan untuk menghubungkan kepentingan guru dengan
kepentingan siswa merupakan elemen-elemen penting dalam menciptakan suasana
membantu pengembangan kreativitas belajarnya. Begitu juga, komunikasi yang
efektif adalah sesuatu yang bersifat pokok bagi suasana yang kondusi. Ide-ide harus
dapat menyebar hingga tingkat dimana dibuat keputusan-keputusan tanpa
menghalang-halangi yang tidak perlu. Penghargaan perlu diucapkan untuk
memberikan semagat dan motivasi bagi siswa kreatif, dengan demikian mereka
merasa dihargai. Perasaan dihargai ini akan berdampak positif bagi perkembangan
mental siswa. Maslow dan Ruggeiro (Kadri, 1992:52) menyatakan bahwa, kesehatan
mental yang baik dari siswa dapat mendorong kreativitasnya secara positif.
Selain itu,
lingkungan yang sehat bagi anak kreatif adalah lingkungan yang memberikan
pengaruh positif bagi perkembangan psikologis siswa. Rumah sebagai lingkungan
pertama yang memberikan rasa aman bagi perkembangan psikologis siswa kemudian
baru lingkungan sekolah. Oleh karena itu, maka sekolah sebagai lingkungan kedua
perlu memberikan kebebasan berpikir dan berkreasi untuk meningkatkan
kreativitasnya. Semiawan (1987:11) menyatakan bahwa, kebebasan dan keamanan
psikologis merupakan kondisi penting bagi pengembangan kreativitas. Siswa
merasa bebas secara psikologis jika : (1) guru/pembimbing menerima siswa
sebagai mana adanya, tanpa syarat, dengan segala kelebihan dan kekurangannya
serta memberikan kepercayaan bahwa pada dasarnya siswa memiliki potensi baik
dan mempu dalam segala hal, (2) guru/pembimbing mengusahakan suasana yang
menyenangkan, agar siswa tidak merasa “dinilai” dalam arti yang bersifat
mengancam, (3) guru/pembimbing memberikan pengertian, dalam arti dapat
menempatkan diri dalam situasi, siswa melihat segala sesuatu dari sudut
pandangan siswa.
Yallon dan
Viensein (Supriadi, 1985:68-69) menyebutkan bahwa, ada 11 cara untuk mendorong
kreativitas siswa, yaitu : (1) usahakan untuk tidak membatasi apa yang dialami
oleh siswa, (2) bantulah siswa untuk menerapkan prinsip-prinsip yang dipelajari
dalam situasi yang baru, (3) tunjukkan bahwa guru menghargai pertayaan dan
gagasan siswanya yang tidak biasa, (4) sediakan kesempatan bagi siswa untuk
belajar secara mandiri dan berilah penghargaan padanya, (5) kurangi tekanan,
sediakan waktu bagi siswa tanpa merasa/diawasi, (6) luangkan waktu bagi siswa
untuk mengadakan refleksi, (7) hormati perbedaan individual, (8) bersikaplah
toleransi terhadap ketidak teraturan selama proses kreatif berlangsung, (9)
katakanlah kepada siswa bahwa guru/pembimbing menghargai dan menginginkan
gagasan-gagasan kreatif, (10) jadilah model bagi tingkah laku kreatif, dan (11)
gunakanlah teknik-teknik untuk meningkatkan kreativitas.
Selanjutnya,
Torrance (1963:17) mengemukakan lima bentuk interaksi guru/pembimbing dengan
siswa yang dianggap mampu mengembangkan kecakapan kreatif siswa sebagai berikut
: (1) menghormati pertanyaan-pertanyaan yang tidak biasa, (2) menghormati
gagasan-gagasan yang tidak biasa serta imajinatif dari siswa, (3) memberi
kesempatan pada siswa untuk belajar atas prakarsa sendiri, (4) memberikan
penghargaan (credit) kepada siswa,
dan (5) meluangkan waktu bagi untuk belajar dan bersibuk diri tanpa suasana
penilaian.
Sementara,
penelitian Munandar (1999:133) diperoleh siswa hasil bahwa, sikap orang tua
yang dapat memupuk kreativitas adalah : (1) menghargai pendapat anak dan
mendorong untuk mengungkapkannya, (2) memberi waktu kepada anak untuk berpikir,
merenung, dan berkhayal, (3) membiarkan anak mengambil keputusan sendiri, (4)
mendorong anak untuk menjajaki dan mempertanyakan berbagai hal, (5) meyakinkan
anak bahwa orantua menghargai apa yang ingin dilakukan dan apa yang dihasilkan,
(6) menunjang dan mendorong kegiatan anak, (7) menikmati keberadaannya bersama
anak, (8) memberi pujian yang
sungguh-sungguh kepada anak, (9) mendorong kemandirian anak dalam bekerja, dan
(10) menjalin hubungan kerjasama yang baik dengan anak.
Berdasarkan
uraian-uraian yang telah dikemukakan diatas dapat disimpulkan bahwa kreativitas
siswa, baru dapat dikembangkan dengan baik apabila siswa berada dalam
lingkungan yang mendukung,baik disekolah, dirumah, dan juga di masyarakat.
Disamping upaya orang tua, guru, dan guru pembimbing memberikan motivasi, serta
pelayanan yang baik disertai penghargaan akan keberhasilannya, akan lebih
menumbuhkan kreativitasnya.
Hambatan yang
sering mempengaruhi pengembangan potensi kreativitas siswa adalah tidak
terpenuhinya kebutuhan. Kebutuhan menurut Maslow (Olson, 1980:19) dikategorikan
atas : “physiological (food, water, and
sex), safety (self respect and a feeling of succes) and self actualization
(creating and making the most of one’s abilities)”.
Selanjutnya,
Winardi (1991:80-88) menyatakan bahwa, yang menjadi hambatan dalam pengembangan
kreativitas adalah :
Pertama, terpengaruh pemikiran
analitis. Dimana guru dan atau guru pembimbing pada sistem pendidikan formal
siswa diberikan sejumlah peralatan (tools), untuk membentuk pemikiran analitik,
namun dalam pemakaian alat tersebut, sering dijumpai siswa dalam menggunakan
alat tersebut secara sembarangan, maka guru langsung menegurnya secara spontan.
Tindakan tersebut terkadang bertentangan dengan apa yang diharapkan siswa
kreatif, karena bisa jadi apa yang dilakukan siswa merupakan strategi spesifik
dalam mengembangkan idenya. Harus diakui bahwa cara demikian banyak mengandung
keuntungan-keuntungan positif, namun sebaliknya pemikiran secara analitik
justru menghambat pemikiran kreatif. Dalam keadaan sadar, siswa memanfaatkan
kemampuan analitis atau kemampuan kritisnya untuk menghadapi dan mengevaluasi.
Dalam kaitan ini, seakan-akan ada dua macam kegiatan yang disatukan yang
seharusnya dipisahkan antara satu dengan yang lainnya, yaitu pada fase
munculnya ide dan fase pengevaluasian ide. Semua ide perlu dikumpulkan,
terlepas dari “aneh” tidaknya ide yang diajukan. Barulah pada tahapan
selanjutnya ide-ide yang masuk dievaluasi dan diseleksi. Banyak orang
terlampau menekankan pemikiran analitis,
biasanya cenderung “menghambat” ide-ide kreatif.
Kedua, pembatasan-pembatasan
sosial. Siswa merupakan anggota masyarakat yang memiliki aturan/hukum,
kebiasaan, dan norma-norma tertentu yang perlu ditaati agar individu/siswa
menjadi anggota masyarakat. Adakalanya hal-hal tersebut justru membatasi
pelaksanaan kemampuan kreativitas yang disebut penghalang mental. Ada beberapa
macam penghalang mental, seperti : (1) pengahalang perseptual, misalnya
seseorang yang malas dalam mencatatnya hal-hal yang dianggap “sepele”. Padahal
pada saat tertentu hal itu akan menjadi penting, (2) penghalang kultur,
misalnya terlampau dilebih-lebihkannya penilaian oleh masyarakat. Hal ini
merupakan salah satu kelemahan yang melekat pada sistem pendidikan kita, (3)
penghalang emosional, misalnya takut membuat sesuatu kesalahan atau takut
melakukan tindakan yang akan menyebabkan siswa dianggap bodoh oleh orang lain.
Perasaan takut disini merupakan suatu refleksi dari sikap masyarakat terhadap
tindakan-tindakan seseorang.
Ya’qub
(Kadri, 1992:58), mengemukakan bahwa, ada sejumlah faktor yang menghambat
kecakapan kreatif siswa, yaitu : (1) sifat tidak percaya kepada diri sendiri,
(2) sifat takut kepada kegagalan atau kritikan, (3) sifat ingin seperti orang
lain, (4) tidka mampu berkonsentrasi karena kelemahan fisik, (5)
ketidakstabilan mental atau usia lanjut, (6) kurang energik intelektual, (7)
pihak yang diharapkan menerima ide-ide yang baru masih kolot, (8) fanatik dan
konserfatif, (9) pihak yang diharapkan menerima ide-ide yang baru acuh (masa
bodoh), (10) lingkungan yang manja.
Selanjutnya
Torrance (1963:59) mengemukakan sepuluh penghambat kreativitas dari guru, dan
faktor-faktor yang berkaitan dengan inegrasi dengan siswa di sekolah yaitu :
(1) otoriter, (2) defensif, (3) waktu yang tersedia terbatas, (4) menganggap
faktor hubungan manusia untuk diterapkan, (5) lemah secara intelektual, (6)
kurang energik intelektual, (7) dikuasasi oleh perasaan bahwa fungsinya
hanyalah menyampaikan informasi kepada siswa, (8) tidak berminat untuk
meningkatkan rasa ingin tahu dari siswa, (9) terikat secara kaku terhadap
materi pelajaran yang telah ditetapkan, (10) tidak mau peduli dan berurusan
dengan hal-hal yang pelik dalam pengelolaan proses belajar mengajar, misalnya
melayani pertanyaan yang pelik dari siswanya.
Relevan
dengan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kreativitas siswa dapat
terhambat apabila siswa tersebut, tidak berada pada lingkungan yang kondusif,
baik lingkungan sekolah, keluarga, maupun masyarakat.
Tugas
Perkembangan Remaja
Tugas-tugas perkembangan (developmental task) terkait dengan
sikap, pengetahuan, dan keterampilan (perbuatan atau tingkah laku) yang
seyogyanya dimiliki oleh setiap siswa sesuai dengan fase perkembangannya.
Hurlock (1981) mengemukakan bahwa tugas-tugas perkembangan merupakan social expectations (harapan-harapan
sosial masyarakat). Dalam srti setiap kelompok budaya mengharapkan para
angotanya menguasai keterampilan tertentu yang penting dan memperoleh pola
perilaku yang disetujui bagi berbagai usia sepanjang rentang kehidupan.
Munculnya tugas-tugas perkembangan
bersumber pada faktor-faktor berikut :
1. Kematangan
fisik, misalnya (a) belajar berjalan karena kematangan otot-otot kaki, dan (b)
belajar bergaul dengan jenis kelamin yang berbeda pada masa remaja, karena
kematangan hormon seksual.
2. Tuntutan
masyarakat secara kulural, misalnya (a) belajar membaca, (b) belajar menulis,
(c) belajar berhitung, dan (d) belajar berorganisasi.
3. Tuntutan dari
dorongan dan cita-cita dari siswa itu sendiri, misalnya (a) memilih pekerjaaan,
dan (b) memilih teman hidup.
4. Tuntutan
norma agama, misalya (a) taat beribadah kepada Allah, dan (b) berbuat baik
kepada sesama umat manusia.
Tugas-tugas
perkembangan remaja yaitu sebagai berikut :
1. Menerima fisiknya sendiri berikut keragaman
kualitasnya (seperti kecantikan, keberfungsian, dan keutuhan).
2. Mencapai
kemandirian emosional dari orang tua atau figur yang mempunyai otoritas
(mengembangkan sikap respek terhadap orang tua dan orang lain).
3. Mengembangkan
keterampilan komunikasi interpersonal (lisan dan tulisan).
4. Mampu bergaul
dengan teman sebaya atau orang lain secara wajar.
5. Menemukan
manusia model yang dijadikan pusat identifikasinya.
6. Menerima
dirinya sendiri dan memimili kepercayaan terhadap kemampuannya sendiri.
7. Memperoleh self-control (kemampuan mengendalikan
sendiri) atas dasar skala nilai, prinsip-pronsip, atau falsafah hidup.
8. Mempu
meningglakn reeaksi dan penyesuaian diri (sikap dan perilaku) yang
kekanak-kanakan.
9. Bertingkahlaku
yang bertanggung jawab secara sosial.
10. Mengembangkan
keterampilan intelektual dan konsep-konsep yang diperlukan bagi warga negara,.
11. Memilih dan
mempersiapkan karir (pekerjaan).
12. Memiiki sikap
positif terhadap pernikahan dan hidup berkeluarga (meyakini bahwa pernikahan
merupakan satu-satunya jalan yang menghalalkan hubungan sksual pria-wanita).
13. Mengamalkan
ajaran agama yang dianutnya.
Dalam membahas tujuan tugas
perkembangan remaja, pikunas (1976) mengemukakan pendapat Luella Cole yang
mengklasifikasikan kedalam sembilan kategori yaitu (1) kematangan emosional;
(2) pemantapan minat-minat heteroseksual; (3) kematangan sosial; (4) emansipasi
dari kontrol keluarga; (5) kematangan intelektual; (6) memilih pekerjaan; (7)
menggunakan waktu senggang secara tepat; (8) memiliki filasafat hidup; dan (9)
identifikasi diri.
Tahap Perkembangan Kreativitas
Menurut Cropley (1999), terdapat 3
tahapan perkembangan kreativitas diantaranya:
a. Tahap prekonvensional (Preconventional phase)
Tahap ini terjadi pada usia 6–8 tahun.
Pada tahap ini, individu menunjukkan spontanitas dan emosional dalam
menghasilkan suatu karya, yang kemudian mengarah kepada hasil yang aestetik dan
menyenangkan. Individu menghasilkan sesuatu yang baru tanpa memperhatikan
aturan dan batasan dari luar.
b. Tahap konvensional (Conventional phase)
Tahap ini berlangsung pada usia 9–12
tahun. Pada tahap ini kemampuan berpikir seseorang dibatasi oleh aturan-aturan
yang ada sehingga karya yang dihasilkan menjadi kaku. Selain itu, pada tahap
ini kemampuan kritis dan evaluatif juga berkembang.
c. Tahap poskonvensional (Postconventional phase)
Tahap ini
berlangsung pada usia 12 tahun hingga dewasa. Pada tahap ini, individu sudah
mampu menghasilkan karya-karya baru yang telah disesuaikan dengan
batasan-batasan eksternal dan nilai-nilai konvensional yang ada di lingkungan.
Pendekatan
terhadap Kreativitas
Pendekatan
dalam studi kreativitas dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu pendekatan
psikologis dan pendekatan sosiologis (Supriadi, 1994 : 54). Pendekatan
psikologis lebih melihat kreativitas dari segi kekuatan yang ada dalam diri
individu sebagai faktor-faktor yang menentukan kreativitas seperti intelegensi,
bakat, motivasi, sikap, minat dan disposisi kepribadian lainnya.
Salah
satu pendekatan psikologis yang digunakan untuk menjelaskan kreativitas adalah
pendekatan holistik. Clark (surpiadi, 1998 : 45) menggunakan pendekatan
holistik untuk menjelaskan konsep kreativitas dengan berdasarkan pada
fungsi-fungsi berpikir, merasa, mengindra dan intuisi. Clark menaggap bahwa
kreativitas mencakup sintesis dari fungsi-fungsi thinking, feeling, sensing,
dan intuiting. Thinking merupakan berpikir rasional dan dapat
diukur serta dikembangkan melalui latihan-latihan yang dilakukan secara sadar
dan sengaja. Feeling menunjuk pada suatu tingkat kesadaran yang
melibatkan segi emosional. Ini merupakan proses aktualisasi diri, yaitu dilepaskannya
energi emosional dari individu untuk kemudia dipindahkan kepada individu lain
sehingga muncul respon emosional. Sensing menunjuk pada suatu keadaan
ketika dengan bakat yang ada diciptakan suatu produk baru yang dapat dilihat
atau didengar oleh orang lain. Ini dimungkinkan apabila memiliki perkembangan
fisik, mental, dan keterampilan yang tinggi di bidang yang menjadi bakatnya. Intuiting
menuntut adanya suatu tingkat kesadaran yang tinggi yang dihasilkan dengan
cara membayangkan, berfantasi, dan melakukan terobosan ke daerah prasadar dan
tak sadar.
Pendekatan
sosiologis berasumsi bahwa kreativitas individu merupakan hasil dari proses
interaksi sosial di mana individu dengan segala potensi dan disposisi
kepribadiannya dipengaruhi oleh lingkungan sosial tempat individu itu berada,
yang meliputi ekonomi, politik, kebudayaan dan peranan keluarga. Berdasarkan
analisis yang dilakukan oleh Kroeber (Asrori,2004 : 44), munculnya orang-orang
kreatif dalam sejarah merupakan refleksi dari pola perkembangan nilai-nilai
sosial.
Lebih
jauh lagi Gray (Asrori, 2004 : 46) menekankan dominannya peranan sosial dalam
perkembangan kreativitas. Ditegaskan oleh Gray (Asrori, 2004 : 47) bahwa
apabila faktor-faktor itu berada dalam peranannya yang positif, maka akan dapat
mendorong perkembangan kreativitas yang maksimal.
Strategi Pengembangan
Kreativitas
Dalam hal ini,
E. Mulyasa (2003) menekankan pentingnya upaya pengembangan aktivitas,
kreativitas, dan motivasi siswa di dalam proses pembelajaran. Dengan mengutip
pemikiran Gibbs, E. Mulyasa (2003) mengemukakan hal-hal yang perlu dilakukan
agar siswa lebih aktif dan kreatif dalam belajarnya, adalah:
- Dikembangkannya rasa percaya diri para siswa dan
mengurangi rasa takut;
- Memberikan kesempatan kepada seluruh siswa untuk
berkomunikasi ilmiah secara bebas terarah;
- Melibatkan siswa dalam menentukan tujuan belajar
dan evaluasinya;
- Memberikan pengawasan yang tidak terlalu ketat
dan tidak otoriter;
- Melibatkan mereka secara aktif dan kreatif dalam
proses pembelajaran secara keseluruhan.
Sementara itu,
Widada (1994) mengemukakan bahwa untuk meningkatkan aktivitas dan kreativitas
siswa, guru dapat menggunakan pendekatan sebagai berikut :
- Self esteem approach; guru memperhatikan pengembangan self esteem (kesadaran akan
harga diri) siswa.
- Creative approach; guru mengembangkan problem solving, brain storming, inquiry, dan
role playing.
- Value clarification and moral development
approach; guru mengembangkan pembelajaran dengan
pendekatan holistik dan humanistik untuk mengembangkan segenap potensi
siswa menuju tercapainya self actualization, dalam situasi ini
pengembangan intelektual siswa akan mengiringi pengembangan seluruh aspek
kepribadian siswa, termasuk dalam hal etik dan moral.
- Multiple talent approach; guru mengupayakan pengembangan seluruh potensi siswa untuk membangun
self concept yang menunjang kesehatan mental.
- Inquiry approach; guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menggunakan proses
mental dalam menemukan konsep atau prinsip ilmiah serta meningkatkan
potensi intelektualnya.
- Pictorial riddle approach; guru mengembangkan metode untuk mengembangkan
motivasi dan minat siswa dalam diskusi kelompok kecil guna membantu
meningkatkan kemampuan berfikir kritis dan kreatif.
- Synetics approach; guru lebih memusatkan perhatian pada kompetensi siswa untuk
mengembangkan berbagai bentuk metaphor untuk membuka inteligensinya dan
mengembangkan kreativitasnya. Kegiatan pembelajaran dimulai dengan
kegiatan yang tidak rasional, kemudian berkembang menuju penemuan dan
pemecahan masalah secara rasional.
Terkait dengan
peran guru dalam pembentukan kreativitas siswa, Robert J Sternberg mengatakan “The
most powerful way to develop creativity in your students is to be a role model.
Children develop creativity not when you tell them to, but when you show them.”
Dalam melaksanakan pembelajaran, guru harus dapat menunjukkan keteladanannya
sebagai sosok yang kreatif.
Seorang guru
yang kreatif tidak hanya dituntut memiliki keahlian dalam bidang akademik,
namun lebih dari itu dituntut pula untuk dapat menguasai berbagai teknik yang
dapat menstimulasi rasa keingintahuan sekaligus dapat menumbuhkan rasa percaya
diri dan harga diri (self esteem) setiap siswanya. Guru harus dapat
memberikan dorongan pada saat siswa membutuhkannya dan memberikan keyakinan
kepada siswanya pada saat dia merasa harga dirinya terancam. Dalam melaksanakan
proses pembelajaran, seorang guru harus dapat menjaga keseimbangan antara
struktur pembelajaran dengan kesempatan pengembangan diri siswa, antara pengelolaan
kelompok (management of groups) dengan perhatian terhadap perbedaan
individual siswanya.
Untuk menjadi
guru kreatif memang bukan hal yang mudah, terutama bagi guru-guru yang
tergolong laggard. Ketika dihadapkan dengan suatu perubahan (inovasi) di
sekolah, mereka mungkin cenderung terlambat atau justru hanya berdiam diri
menghadapi perubahan yang ada. Jika terus menerus dibiarkan, guru-guru seperti
inilah yang sebenarnya dapat merusak pendidikan. Tentunya banyak faktor yang
menyebabkan mereka menjadi laggard dan tidak kreatif, baik yang
bersumber dari dalam diri guru itu sendiri (internal factors) maupun
faktor eksternal. Oleh karena itu, agar guru dapat menjadi kreatif perlu
diperhatikan berbagai faktor yang mempengaruhi dan melatarbelakanginya.
Kepemimpinan
di sekolah merupakan salah satu faktor yang tidak bisa dilepaskan
dalam mengembangkan kreativitas guru maupun kreativitas sekolah secara
keseluruhan. Fred Luthans (1995) mengemukakan bahwa kreativitas merupakan salah
satu keterampilan yang harus dikuasai oleh seorang manajer. Dalam hal ini,
kepala sekolah dituntut untuk dapat menciptakan budaya dan iklim kreativitas di
lingkungan sekolah yang mendorong seluruh warga sekolah untuk mengembangkan
berbagai kreativitas dalam melaksanakan tugas dan pekerjaannya. Kepala sekolah
harus dapat memberikan penghargaan kepada sertiap usaha kreatif yang dilakulan
oleh anggotanya, terutama usaha kreatif yang dilakukan oleh guru dan siswa
dalam melaksanakan pembelajaran. Kepala sekolah juga dituntut untuk dapat
menyediakan sumber-sumber bagi pertumbuhan kreativitas di sekolah.
Selain
terdapat guru yang termasuk laggard, tidak sedikit pula guru (dan juga
siswa) di sekolah yang sesungguhnya memiliki sikap dan pemikiran kritis dan
kreatif, namun karena tidak memperoleh dukungan yang kuat dari sistem sekolah,
termasuk dari manajemen sekolah, yang pada akhirnya sikap dan pemikiran
kreatifnya tidak dapat berkembang secara wajar. Bahkan, sebaliknya mereka
seringkali mengalami tekanan tertentu dari lingkungannya karena dianggap
sebagai orang yang “nyeleneh” atau
eksentrik. Berdasarkan uraian di atas, kiranya dapat disimpulkan bahwa siswa
yang kreatif dapat dihasilkan melalui guru yang kreatif, dan guru yang kreatif
dapat dihasilkan melalui kepala sekolah yang kreatif. Siswa yang kreatif
merupakan asset yang sangat berharga bagi kehidupan diri pribadinya maupun orang lain.
Untuk dapat
mengembangkan kreativitas, faktor-faktor yang perlu diperhatikan adalah:
1) Sikap Individu
Guru perlu
membantu mengembangkan kepercayaan diri dan keyakinan diri siswa dan
membangkitkan rasa keingintahuan siswa.
2)
Kemampuan dasar yang diperlukan
Kemampuan
yang diperlukan mencakup berbagai kemampuan berpikir konvergen dan divergen.
3)
Teknik-teknik yang digunakan
Teknik yang
khusus untuk pengembangan kreativitas dapat diterapkan dalam pengajaran
disertai kondisi yang menunjang, misalnya:
a) Melakukan
Brainstorming
b) Menggunakan cara SHEMAP (Spekulasi, Hipotesis,
Ekspansi, Modifikasi, Analogi, Prediksi)
c) Melatih berpikir Spasial
d) Melakukan pendekatan inquiry
e) Penyajian
bahan-bahan pelajaran dengan cara-cara baru melalui banyak media.
f) Menerapkan
model-model pertanyaan dari cara berpikir divergen.
g) Permainan
simulasi dengan menggunakan tahapan-tahapan dinamika kelompok (Nugraha,2009).
h) Modul Model Siklus Belajar (Learning Cycle) yang
diimplementasikan ini terdiri atas tiga bagian yaitu: pra pendahuluan, pendahuluan,
dan isi/kegiatan belajar (Dasna I, 2005:82).
i) Pemecahan
Masalah dengan Tipe ”What’s Another Way yang
menuntut siswa
untuk memecahkan masalah dengan menggunakan lebih dari satu cara dan tidak
menutup kemungkinan siswa akan memperoleh jawaban yang beragam dan berbeda.
Sehingga cara ini dapat melatih kemampuan berpikir kreatif siswa (Krulik dan
Rudnick (1999:140).
Kesimpulan
Kreativitas seringkali dianggap
sebagai sesuatu keterampilan yang didasarkan pada bakat alam, dimana hanya
mereka yang berbakat saja yang bisa menjadi kreatif, Anggapan ini tidak
sepenuhnya benar, walaupun memang dalam kenyataannya terlihat bahwa orang-orang
tertentu memiliki kemampuan untuk menciptakan ide-ide baru dengan cepat dan
beragam.
Namun demikian, sesungguhnya kemampuan
berpikir kreatif pada dasarnya dimiliki semua orang. Berpikir kreatif adalah
kemampuan untuk menciptakan gagasan-gagasan baru dan orisinil. Bahkan pada
orang yang merasa tidak mampu menciptakan ide baru pun sebenarnya bisa berpikir
secara kreatif, asalkan dilatih. Untuk itu, perlu diketahui terlebih dahulu
mengenai cara berpikir dan cara berpikir kreatif.
Berpikir adalah proses mengolah dan
memanipulasikan informasi untuk memenuhi suatu kebutuhan atau memberikan
respons. Dalam berpikir seseorang mengolah informasi-informasi yang ada dengan
menggunakan lambang-lambang visual, lambang grafis atau lambang verbal.
Beberapa
faktor yang mendukung berkembangnya potensi kreativitas adalah sebagai berikut.
a) Remaja
sudah mampu melakukan kombinasi tindakan secara proporsional berdasarkan
pemikiran logis.
b) Remaja
sudah memiliki pemahaman tentang ruang relatif.
c) Remaja
sudah memiliki pemahaman tentang waktu relatif.
d) Remaja
sudah mampu melakukan pemisahan dan pengendalian variabel-variabel dalam
menghadapi masalah yang kompleks.
e) Remaja
sudah mampu melakukan abstraksi dan berpikir hipotesis.
f) Remaja
sudah memiliki diri ideal.
g) Remaja
sudah menguasai bahasa abstrak.
Siswa yang
kreatif dapat dihasilkan melalui guru yang kreatif, dan guru yang kreatif dapat
dihasilkan melalui kepala sekolah yang kreatif. Siswa yang kreatif merupakan asset yang sangat
berharga bagi kehidupan diri pribadinya maupun orang lain. Dengan
demikian kreativitas merupakan proses berpikir dimana siswa berusaha untuk
menemukan hubungan-hubungan baru, mendapatkan jawaban, metode atau cara baru
dalam memecahkan suatau masalah.
Penemuan yang baru dan akumulasi dari
keterampilan atau pengetahuan yang diperoleh dari belajar adalah wujud dari
kreativitas. Dalam beberapa hal kreativitas adalah sebagai pola pikir atau ide
yang timbul dapat setiap saat dan imajinatif mnengemukakan penemuan-penemuan
ilmiah. Tentu saja ide tersebut tidak semuanya baru, mungkin saja gabungan dan
kombinasi dari unsure-unsur yang sudah ada sebelumnya.
Begitu pentingnya pengembangan kreativitas siswa,
dapat diamati dari bergesernya peran guru yang semula sering mendominasi kelas,
kini lebih banyak memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengambil peran
lebih aktif dan kreatif dalam suasana yang menyenangkan. Siswa harus berani
mencoba atau berbuat, berani bertanya dan tidak malu mengungkapkan gaagasan.
Rekomendasi
Dalam mengembangkan kreativitas
belajar pada remaja (siswa SMP dan SMA), maka makalah ini merekomandasikan
kepada para stakeholder yakni sebagai berikut :
a) Bagi siswa
Siswa
diharapkan dapat mengembangkan kreativitas belajarnya dengan memiliki keyakinan
akan potensi diri agar prestasi belajarnya
juga dapat meningkat.
b) Bagi guru
Sebagai
tenaga pendidik diharapkan dapat mengembangkan berbagai metode belajar yang
bervariatif dan memahami siswa secara mendalam khususnya untuk membangkitkan
kreativitas belajar siswa.
c) Bagi orang
tua
Orangtua
diharapkan dapat memahami karakteristik anaknya agar kreativitas dalam
belajarnya dapat berkembang secara maksimal.
d) Bagi konselor
Konselor hendaknya
merancang program bimbingan dan konseling yang berorientasi pada pengembangan
kreativitas belajar pada siswa.
Referensi :
Anggraeni, R. (2009). Program Bimbingan untuk Mengembangkan Kreativitas Siswa. Skripsi
PPB FIP UPI. Bandung. tidak diterbitkan.
Dahliana. (2002). Program Pengembangan Kemampuan Guru Pembimbing dalam Membantu Siswa
Kreatif. Tesis PPS UPI. Bandung. Tidak diterbitkan.
Dasna I, Wayan. 2005. Model Siklus
Belajar (Learning Cycle) Kajian Teoritis dan Implementasinya dalam Pembelajaran
Kimia. Malang: Universitas Negeri Malang
Mulyasa, E. (2003). Kurikulum Berbasis Kompetensi. Bandung. Rosdakarya.
Munandar,
S.C.U. (1999). Kreativitas Dan
Keberbakatan, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Munandar, S.C.U. (2002). Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat,
Jakarta : Rineka Cipta.
Munandar,
S.C.U. (1999). Mengembangkan
Bakat dan Kreativitas Anak Sekolah, Jakarta : PT Gramedia Widiasarana
Indonesia.
Muro & Kottman. (1995). Guidance and Counseling in Elementary Schol
: a Prctical Approach.
Boulevard-Dubuque : Brown & Brenchmark Publisher.
Nugraha, A. (2009). Efektivitas Permainan Simulasi untuk Mengembangkan Komitmen Belajar.
Skripsi PPB FIP UPI. tidak diterbitkan.
Semiawan, C. Munandar, A.S. & Munandar,
S.C.U (1987). Memupuk Bakat dan
kreativitas Siswa Sekolah Menengah. Jakarta : Gramedia.
Siswono,
Eko & Novitasari. (2005). Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kreatif Siswa
Melalui Pemecahan Masalah Tipe ”What’s Another Way”. Jurnal terakreditasi “Jurnal Pendidikan Matematika dan Sains”, FMIPA
Universitas Negeri Yogyakarta. Tahun
X, No. 1, Juni 2005. ISSN 1410-1866, hal 1-9.
Siswono, Eko.
(2005).Upaya Meningkatkan Kemampuan
Berpikir Kreatif Siswa Melalui Pengajuan Masalah. Jurnal terakreditasi
“Jurnal Pendidikan Matematika dan Sains”, FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta. Tahun X, No. 1, Juni 2005. ISSN
1410-1866, hal 1-9.
Supriadi. (1994). Kreativitas dan Orang-Orang Kreatif dalam Lapangan Keilmuan.
Disertasi PPS IKIP Bandung. Tidak diterbitkan.
Supriadi. (1978). Kontribusi Kualitas Interaksi Anak-Orangtua
dalam Keluarga dan Siswa Guru di Sekolah terhadap Kepribadian Kreatif.
Tesis PPS IKIP Bandung. Tidak diterbitkan.
Torrance, E.P. (1962). Guiding Creative Talent. Englewood Clifs, N.J : Prentice-Hall.
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional.
Widiarti, N. (2011). Pengaruh Kreativitas Belajar dan Pemanfaatan
Media Pembelajaran terhadap Prestasi Belajar Mata Pelajaran Ekonomi. Skripsi Prodi Pendidikan Akuntansi FKIP UMS.
Tidak diterbitkan.
Winardi, (1991). Kreativitas & Teknik-Teknik Pemikiran Kreatif dalam Bidang Majemen.
Bandung : Citra Aditya Bakti.
Yusuf Syamsu, LN. (2009). Program Bimbingan dan Konseling di Sekolah.
Bandung : RIZQI Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar