OTOKRITIK
SERTIFIKASI GURU : ANTARA KEWAJIBAN DAN KESEJAHTERAAN
Oleh :
Iman Lesmana
Penyelenggaraan Sertifikasi Guru dalam
Jabatan didasari terbitnya UU No. 14 tahun 2005, tentang Guru dan Dosen yang
dilaksanakan mulai tahun 2007 melalui Penilaian Portofolio serta Pendidikan dan
Latihan Profesi Guru (PLPG). Setelah sertifikasi dilaksanakan selama tiga tahun
dan guru yang sudah disertifikasi mencapai 20%, yaitu sebanyak 500.000 (lima
ratus ribu) guru, ternyata belum berdampak positif bagi peningkatan kualitas kinerja profesional
para guru di lapangan. Data terakhir yang dipaparkan Menteri Pendidikan
Nasional dalam Rapat Konsorsium Sertfikasi Guru (2010) dikemukakan bahwa 500.000 guru yang telah mengikuti sertifikasi,
70% kinerjanya tidak menunjukkan peningkatan; 20% ada peningkatan dan 10%
lainnya menunjukkan kemunduran. Peningkatan kualitas kinerja yang ditunjukkan
oleh 20% guru peserta sertifikasi itu adalah mereka yang mengikuti sertifikasi
melalui PLPG.
Berdasarkan pada kelebihan PLPG, maka kebijakan
penyelenggaraan Sertifikasi bagi Guru dalam Jabatan tahun 2011 lebih difokuskan
pada kegiatan PLPG dengan harapan para guru yang mengikuti sertifikasi mampu
menunjukkan peningkatan kualitas kinerjanya di lapangan dan tidak hanya
terdorong untuk mendapatkan tunjangan profesi semata (Direktorat Profesi,
2011).
Harapan yang tinggi terhadap kualitas kinerja
profesional para guru tidak akan pernah surut sejalan dengan tingginya harapan
bangsa ini terhadap perkembangan kualitas sumber daya manusia Indonesia. Karena
itu kebijakan penyelenggaraan Pendidikan Profesi Guru (PPG) menjadi jalan lain yang lebih efektif dibandingkan
dengan sertifikisasi melalui portofolio dan PLPG. Sehingga melalui PPG akan
muncul guru-guru profesional yang mampu mengembangkan sumber daya manusia
Indonesia yang berkarakter: iman dan takwa; berakhlak mulia; cerdas, mandiri,
memiliki kekuatan pribadi, terampil, kreatif, dan baertanggung jawab (Suherman
AS, 2011).
Re-Desain Pendidikan Profesional Guru yang dikembangkan Universitas
Pendidikan Indonesia (2010), merupakan bukti kesungguhan UPI dalam upaya meningkatkan
proses dan hasil pendidikan guru yang didasari pengkajian Model Pendidikan Guru
di berbagai Negara Asia, Eropa dan Amerika (Proceeding,
2010). Pemikiran UPI mengenai Re-Desain Pendidikan Profesional Guru diperkuat dengan terbitnya
Ketetapan Senat Akademik UPI nomor 005/Senat Akd./UPI-SK/X/2010 dan telah
dikaji Balitbang Kementerian Pendidikan Nasional melalui Seminar Nasional serta
akan dijadikan sebagai salah satu bahan rujukan penyelenggaraan PPG di tanah
air.
PPG menekankan kepaduan
substansi pengetahuan materi ajar dan pengetahuan pedagogik, secara bertahap
sejak awal mengikuti jenjang pendidikan hingga mencapai puncak pengalaman pada
tahap akhir menjalani praktik mengajar di sekolah yang sesungguhnya. PPG ini
menekankan diterapkannya konsep tampilan awal, pajanan awal, dan pengenalan
pengalaman nyata sejak dini di sekolah. Hal ini dimaksudkan guna memperoleh
pengalaman dan pemahaman yang mendalam tentang masalah pendidikan serta
pengajaran di sekolah-sekolah, mulai dari kehidupan sosial guru dan peserta
didik secara umum hingga proses pembelajaran di kelas, yang khas untuk
bidang-bidang studi (Ketetapan Senat Akademik UPI, 2010).
PPG sebagai inti upaya
peningkatan profesional guru, ditandai dengan penguatan: (a) penguasaan landasan keilmuan
(the scientific basis of the arts); dan (b) latihan sistematis dan terawasi untuk
menerapkan kiat-kiat (arts) dan perangkat utuh
kompetensi akademik yang dipersyaratkan bagi guru melalui Pengalaman Lapangan
Pendidikan Profesi Guru (PLPPG) dalam seting otentik di sekolah. PLPPG secara
khusus ditekankan pada pembenahan tanggung jawab, fungsi, dan peran LPTK
penyelenggara PPG, guru pamong (dosen luar biasa dari sekolah mitra) dan dosen pembimbing (dosen LPTK),
serta mahasiswa calon guru
(Ketetapan senat Akademik UPI, 2010). Dengan
demikian, sekolah tempat praktik tidak hanya berperan dalam menyediakan kelas
praktium untuk menerapkan kompetensi utuh para mahasiswa tetapi tetapi menyediakan pula para dosen luar biasa
yang mampu memberikan bimbingan dan supervisi secara efektif dan berkesinambungan.
Kegiatan PLP dan PLA selama ini banyak
dikeluhkan para mahasiswa praktikan karena baik dosen pembimbing (dosen LPTK)
maupun sekolah tempat praktik dan dosen luar biasa belum secara optimal dan
sungguh-sungguh menjalankan fungsinya masing-masing. Di sekolah, para mahasiswa
praktikan bukan dibimbing untuk menjadi calon pendidik profesional tetapi
dijadikan sebagai tenaga tambahan yang harus siap memasuki kelas manakala
gurunya berhalangan. Begitu pula dengan kinerja dosen pembimbing dari LPTK,
masih ada dosen yang hanya mengantar dan menghadiri ujian akhir, karena alasan
honorarium yang tidak seimbang dengan tugasnya.
Untuk menyelengarakan PLPPG secara efektif, UPI ditenggarai masih
memiliki beberapa hambatan terutama berkenaan dengan kesungguhan para
pembimbing dan dosen luar biasanya. Perlu disadari bahwa kedatangan mahasiswa
praktikan UPI belum menjadi prioritas sekolah dalam menyerap perkembangan
pengetahuan dan teknologi di LPTK dan menyediakan pengelaman efektif mabgi para
mahasiswa, tetapi masih dipandang formalitas sehingga guru yang ditunjuk
menjadi dosen luar biasa kadang-kadang bukan sosok yang dapat diteladani dalam
peningkatan sikap profesionalismenya. Di lain sisi, UPI juga belum melakukan
upaya yang sistemik, terprogram, dan kontinyu untuk pengembangan PLP dan PLA. Sehubungan
itu, untuk mengakselarasi penyelenggaraan PLPPG secara efektif dan efisien,
diperlukan model pengembangan kerja sama dengan sekolah tempat praktik yang
berbasis kemitraan dan kolaboratif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar