JEROME
BRUNER : BAHASA, BUDAYA, DAN DIRI SENDIRI
Oleh :
Asep Rohiman Lesmana
1. Tindakan Tak Seimbang: Psikologi Kultural Jerome Bruner oleh
Clifford Geertz
Artikel ini memaparkan bagaimana cara orang-orang menguji
hipotesis selain menggunakan logika; bagaimana mereka memilih apa yang relevan
untuk dijelaskan dan apa yang tidak? Bagi Bruner, ‘uji paradigma’ secara kritis
untuk sudut pandang ini adalah pendidikan. Dibandingkan psikologi yang melihat pikiran
sebagai mekanisme yang bisa diprogram, Bruner berpendapat bahwa kita perlu
melihatnya sebagai suatu pencapaian sosial. Dan hal itu bisa dicapai melalui
pendidikan.
Di dalam pendidikan, hal yang membuat pikiran
menjadi fokus adalah budaya. Bruner menekankan bahwa bercerita, baik itu
tentang diri kita maupun tentang orang lain, kepada diri kita sendiri atau
kepada orang lain merupakan cara yang paling natural dan paling mudah untuk
mengorganisasikan pengalaman dan pengetahuan kita. Dengan demikian, sekolah dapat
dianggap sebagai tempat penuh cerita. Cara guru mengajar merupakan
cerita-cerita yang ‘terstruktur’ tentang dunia. Secara mendasar artikel ini
mengungkap pentingnya bercerita bagi anak karena sejak manusia masih bayi dan
usia pra sekolah kehidupan mereka dipenuhi oleh cerita.
Sejarah, budaya, tubuh dan cara kerja dunia fisik menentukan
karakter mental seseorang –membentuknya, menstabilkannya, mengisinya. Namun,
hal tersebut dilakukan secara independen, menyeluruh, bersamaan dan secara
berbeda. Mengatur perbedaan, atau mengarahkannya, merupakan inti dari
permasalahan. Terdapat lebih banyak jalan yang hasilnya salah daripada jalan
yang hasilnya benar. Dan satu dari sekian banyak cara untuk mendapatkan hasil
yang salah adalah meyakinkan diri kita sendiri bahwa apa yang didapatkan itu
benar.
Masa depan psikologi kultural bergantung pada kemampuan para
praktisinya untuk mengkapitalisasi situasi yang bergolak dan tidak elegan, situasi
dimana keterbukaan, responsivitas, kemampuan beradaptasi, daya temu dan
semangat intelektual, yang mengkarakterisasi karya Bruner sejak awal.
2.
Konsep Bruner dalam Pemerolehan
Berbahasa oleh Michael Tomasello
Narasi merupakan satu dari sekian banyak bentuk komunikasi. Bruner
mengatakan bahwa salah satu bentuk tulisan paling kuat dalam komunikasi manusia
adalah narasi. Untuk mendukung teori ini, Bruner menunjukkan bahwa isi dari
ungkapan awal anak-anak yang merefleksikan perhatian yang dalam terhadap
narasi: ketertarikan utama mereka pada interaksi manusia.
Struktur bahasa anak merefleksikan: (1) struktur tindakan dalam
peran samaran (guise) sebagai agen, resipin, instrumen, pasien, dan sebagainya;
dan (2) struktur perhatian dalam topik tentang struktur fokus samaran. Penataan
bahasa tidak dilakukan selama proses akuisisi, tetapi dilakukan oleh para
pengguna dewasa bahasa selama sejarah manusia.
Tata bahasa dari suatu bahasa tidak lebih dari sebuah ciptaan
tentang morfem, kata-kata, frase dan pembentukannya, sejalan dengan fungsi dan
kategorisasi secara umum. Konstruksi ini beragam secara independen, dalam
klompeksitas dan keabstrakannya.
Konstruksi suatu bahasa secara historis melalui proses
grammatisasi dalam berbagai bentuk tulisan di antara pembicara dewasa. Penataan
pragmatik memiliki dua aspek, yaitu memperhatikan maksud komunikasi dari
pembicara dan memperhatikan adaptasi pembicara terhadap perspektif pendengar.
Jadi, pembicaraan tentang suatu peristiwa terstruktur secara berbeda bergantung
pada situasi yang berbeda pula.
Narasi yang dimaksud Bruner bukan hanya cerita dan mitos-mitos,
tetapi juga penalaran dan alasan-alasan, yang membangun sebuah budaya dari
simbol realitas sosial. Anak-anak tak perlu menciptakan bahasa, mereka hanya
perlu mempelajarinya.
Usaha Jerome Bruner dalam hal pemerolehan bahasa adalah identifikasi
dan spesifikasi, yakni proses mempelajari konvensi linguistik yang secara
fundamental mirip dengan proses mempelajari kemampuan komunikasi dan budaya
pada umumnya saja. Hal ini sejalan dengan visi yang dimilikinya dalam psikologi
kultural yang lebih humanis.
3. Rumah yang Bruner Bangun oleh Stuart G. Shanker dan Talbot J.
Taylor
Teori scaffolding menerangkan bahwa
pihak-pihak yang terlibat dalam pengasuhan anak mengawasi dan mengatur
banyaknya dukungan yang diterima oleh anak saat ia mulai mempelajari bahasa. Teori scaffolding menjadi
alternatif bagi pandangan para generativis terhadap pemerolehan bahasa sebagai
sebuah proses yang otomatis, spontan, dan tidak disadari.
Bruner melengkapi Perangkat Pemerolehan Bahasa (Language Acquisition Device/LAD) dengan
Sistem Pendukung Pemerolehan Bahasa (Language
Acquisition Support System/LASS). Hasilnya, teori scaffolding terlihat
semata-mata hanya sebagai propaedeutic
dalam bahasa. Sebuah struktur pendahuluan yang memungkinkan bahaa untuk
terbentuk secara sempurna dalam suatu kerangka seni keindahan.
Dalam pandangan Shanker dan Taylor, penolakan
LAD memungkinkan mereka untuk menghargai kontribusi nyata bahwa buku Child’s Talk dapat membuat mereka
mengerti bahasa secara utuh, bukan hanya pengembangannya saja. Interaksi awal
antara pengasuh utama menyediakan kontrol yang belum terbentuk pada otak anak
bagian korteks prefrontal. Ibu tidak hanya memelihara dan melindungi bayi
mereka selama tahun pertama hidup sang bayi, mereka berperan sebagai suatu
sistem saraf pusat eksternal yang secara signifikan mempengari perkembangan
anak.
Pengasuh bayi baru lahir lebih banyak memperhatikan mata bayi
mereka daripada bagian lain dari tubuh bayi. Jarak pandang bayi yang masih
pendek juga hanya memungkinkan untuk fokus pada jarak 20-25 cm, sehingga binar
di mata ibu dapat dianalogikan seperti cahaya lampu senter yang menyebabkan
pupil bayi menjadi membesar. Bayi lahir dengan kemampuan ‘berbicara.’ Setidaknya
secara ‘visual antara ibu dan anak merupakan bentuk komunikasi interpersonal yang
intens.’ Shanker dan Taylor menambahkan bahwa kasih sayang dari interaksi
sosial di awal hidup bayi sejak lahir memiliki peran penting dalam mengasah
kemampuan berbahasa anak.
Sosialisasi bahasa dimulai lama sebelum anak mengungkapkan atau
bahkan mengerti kata pertamanya. Setelah tujuh bulan pertama, setelah kelahiran
(atau bahkan lebih awal), anak menyesuaikan dengan suara-suara dari
lingkungannya. Hal ini sepertinya terjadi pada semua bayi primata, bukan hanya
bayi manusia. Tapi, persepsi kategoris hanya berkembang dalam interaksi sosial.
Persepsi ini tidak terbentuk jika subjek hanya ditunjukkan pada suatu sumber
bahasa yang mekanis. Sehingga, pada dasarnya anak lebih mudah mengerti dengan
cara pembelajaran interaktif.
Moral mengenali esensi karakter sosial dari perkembangan bahasa
anak. Tidak tepat jika harus dibandingkan dengan cara seorang anak berinteraksi
dengan orang lain secara bahasa. Inilah gambaran yang Bruner coba tantang
ketika ia menekankan ‘timbal-balik sosial antara ibu dan bayinya.’
Bahasa sebagai bentuk interaksi sosial, memiliki karakter normatif
yang fundamental. Pemerolehan bahasa anak dari bentuk dan rutinitas
interaksional merupakan sosialisasi secara bertahan menuju teknik normatif
dalam hidup berbudaya.
Pengembangan Budaya Bahasa
Dalam konteks berbahasa, apa yang anak capai bukanlah perilaku
yang ‘kasar’, tapi lebih merupakan teknik kultural. Seperti anak belajar cara
berperilaku dalam lingkungannya sebagai suatu performa yang terkandung secara
kultural. Singkatnya, anak tidak secara sederhana mengeluarkan suara vokal atau
pola gestur tertentu: ia belajar bagaimana melakukan apa yang kita sebut
‘membicarakan’ suatu benda. Dengan cara yang sama, ia tidak hanya belajar untuk
mengungkapkan suara saat ia menginginkan suatu tindakan dari ibunya, ia belajar
bagaimana untuk ‘memintanya,’ seperti ‘meminta sesuatu’ merupakan lingkungan
kultural yang dimilikinya, bahasa budaya miliknya.
Poinnya adalah pengembangan bahasa, seperti apa yang dikatakan
Bruner adalah tentang mempelajari bagaimana melakukan sesuatu dengan kata-kata.
Bagaimanapun, berdasarkan aspek apa ‘sesuatu’ itu muncul merupakan hal yang
dibedakan oleh praktik refleksif dari lingkungan kultural dimana sang anak
dibesarkan. Dengan kata lain, tentang nama misalnya, untuk mengetahui suatu
nama adalah mengetahui apakah nama itu untuk kita, dalam languaculture kita, kita menggunakan nama, apa fungsi mereka, dan
bagaimana kita menilai, memilih, mengubah dan secara umum memperlakukan mereka.
Bruner menunjukkan bahwa ide bagaimana seorang anak menjadi
pembangun-bahasa, hanya akan terjadi hanya jika ia memiliki mentor-pengasuh
yang membantunya memperoleh banyak kemampuan yang dibutuhkan untuk bisa pandai.
Bukan hanya karena fungsi kata-kata yang beragam, tapi karena mentor sendiri
terus-menerus mengalami perubahan seiring dengan perubahan budaya.
Dilihat dari perspektif revolusi interaksi sosial, untuk
menyempurnakan aspek yang dimulai oleh Bruner diperlukan eksplorasi implikasi
dari ide bahwa scaffolding yang
membantu anak dalam mengembangkan bahasa, tetap tidak memiliki bagian esensial
dari ‘produk’ dalam pengembangan tersebut. Maka, apa yang pada awalnya dinyatakan
menjadi scaffolding eksternal oleh penulis merupakan bagian dari bangunan itu
sendiri.
4.
Bruner dan Condillac Perihal
Belajar Berbicara oleh Talbot J. Taylor
Locke memiliki sebuah teka-teki dalam bukunya, Locke dan Condillac
yakin kalau bahasa merupakan cara yang efektif untuk berkomunikasi. Condillac
berharap menemukan solusi dari teka-teki Locke melalui spekulasi tentang
filogenik bahasa. Jika kita dapat menentukan bagaimana manusia pertama
menggunakan bahasa, dapat menemukan prinsip intersubjektif yang mengatur suatu
pembicaraan. Meskipun bahasa merupakan kreasi buatan –sebuah institusi sosial –
bahasa muncul dari kapasitas alami yang setiap individu manusia miliki.
Dengan menemukan bagaimana manusia dalam natural state mereka mungkin telah belajar menggunakan bahasa, kita
dapat mengidentifikasi prinsip fundamental dari intersubjektivitas. Dengan
demikian, memecahkan teka-teki komunikasional Locke. Karena, baik penyelidikan
asal-usul bahasa menggunakan filogenik maupun ontogenik, keduanya sama-sama
regresif.
Bruner membagi pemerolehan bahasa menjadi dua. Bukan hanya entah
dengan cara apa anak-anak mencapai pengetahuan dalam bahasa (contohnya
kompetensi linguistik), ia juga mesti memperoleh kemampuan untuk menggunakan
pengetahuan itu untuk dasar-dasar komunikasi (contohnya kompetensi pragmatik).
Pengalaman komunikasi formatif anak tidak acak, tetapi merupakan hasil dari
pola-pola konstruktif dari latihan interaksi.
Pemerolehan bahasa anak dibantu oleh sang ibu, yang mengatur
interaksi awal dengan anak dalam format yang rutin dan familiar. Format-format
ini – pusat dari LASS– menyediakan sebuah kontrol, panduan kompetensi-sensitif
pada pengalaman anak terhadap fungsi bahasa, membentuk jembatan berkelanjutan
antara interaksi pralinguistik dan linguistik.
Pencerahan: Filogenesis
Linguistik
Perhatian utama Condillac, seperti Locke, adalah untuk menguji
dasar dari pengetahuan manusia dan membuatnya lebih kokoh. Seperti Brunner,
Condillac berpegang bahwa rasio dan pengembangan linguistik manusia itu secara
fundamental saling tergantung. Meski dalam sudut pandang Condillac, saling
ketergantungan dari bahasa ini memiliki kecenderungan layaknya pertanyaan
ayam-telur bagi para epistemologis.
Jika penggunaan bahasa merupakan suatu kemampuan yang dipelajari
melalui pengalaman, maka penting bagi kita semua memiliki kemampuan yang sama. Bukan hanya kita harus berbagi
pembawaan kekuatan reflektif; kita juga mesti entah bagaimana caranya belajar
mengontrol kekuatan itu melalui penggunaan bahasa dalam cara yang sama.
Teori Condillac tentang asal-usul penggunaan-bahasa bersandar pada
tiga faktor penting:
1)
suatu sistem rangsang-respon alami;
2)
intensionalitas; dan
3)
suatu lingkungan sosial yang kooperatif .
Dalam suatu lingkungan sosial yang kooperatif, seseorang dapat
sedemikian rupa menemukan bahwa ia mungkin dapat meniru penggunaan suatu sistem
rangsang-respon alami yang bertujuan intensionalitas. Ia telah menyeberangi
ambang pintu menuju penggunaan-bahasa. Karena kini ia telah memiliki makna
untuk mengontrol kekuatan refleksi bawaannya. Hal ini memungkinkan untuk dilakukannya
pengembangan metode-metode canggih dari penggunaan bahasa.
Anak memiliki keingingan alami dan kemampuan alami untuk mengenali
pola-pola yang menghubungkan keinginan mereka dengan kepuasan mereka. Karakteristik
penting dari lingkungan anak, yang memungkinkannya untuk belajar berbicara, adalah
pola perilaku interaksi yang rutin, apa yang Bruner sebut dengan ‘format.’ Suatu
format merupakan sebuah standardisasi, pola interaksi mikrokosmis antara
seorang dewasa dan seorang bayi yang meliputi peran terbatas yang nantinya
dapat dibalikkan.’
‘Rutinitas familiar dalam interaksi anak dengan dunia sosial’
merupakan bentuk cara berbicara seorang dewasa yang primitif. Jadi, formatting dari interaksi ibu-anak pada tahap
pralinguistik dan linguistik awal memungkinkan anak untuk berlatih
berkomunikasi sebelum memiliki kemampuan linguistik yang dibutuhkan untuk
komunikasi linguistik yang ‘sebenarnya’. Dalam gambaran Condillac, seseorang
dibimbing oleh lingkungan sosialnya untuk mengembangkan kemampuan alaminya guna
menunjukkan dimana ia dapat menggunakannya, untuk mengkomunikasikan maksudnya
pada orang lain.
Bruner menyatakan bahwa anak tidak hanya perlu memiliki kompetensi
bahasa, ia mesti mendapatkan kompetensi pragmatis. ‘Pengembangan pragmatis’ dan
‘pengembangan linguistik’ tidak dapat diperlakukan secara bebas. Karakteristik
format tersebut haruslah memungkinkan untuk pemanfaatan terhadap kemampuan alami
anak. (1) untuk mencari perhatian pada sang ibu, (2) untuk menghargai intensi
pertanyaan, dan (3) untuk mengenali intensi mengarahkan. Kemampuan kita untuk
mengerti satu sama lain merupakan hasil dari intensitas pragmatis yang
berkelanjutan, dari perangkat pemerolehan bahasa melalui formatting untuk
mengembangkan bentuk-bentuk linguistik.
5.
Emosi, Pragmatik, dan
Pemahaman Sosial pada Masa Prasekolah oleh Judy Dunn dan Jane R. Brown
Artikel ini difokuskan pada hubungan antara penemuan anak tentang pikiran
dan pengalaman sosial mereka, dalam pragmatik tertentu, dan kualitas emosional
dari pengalaman-pengalaman tersebut. Hal pertama yang seorang anak ingin pelajari
dengan cepat adalah menggunakan bahasa pragmatis: memperoleh bahasa. Hal ini
penting untuk ‘mencapai apa yang mereka inginkan, bermain games dan untuk tetap berhubungan dengan orang-orang yang mereka
butuhkan’.
Bruner menunjukkan bahwa belajar untuk ‘menyelesaikan sesuatu
dengan bahasa’ merupakan makna kunci. Hal ini merupakan signifikansi dari beberapa
kegitan rutin dalam kehidupan harian anak dengan orang tua mereka.
Format-format ini dikatakana memainkan peranan penting dalam mentransmisikan
kultur,‘kelaziman menyiratkan kultur yang terbagi’ dan format ‘menanamkan
intensi komunikatif anak dalam kerangka kultural’.
Hal signifikan pertama adalah konteks
emosional dalam interaksi yang sentral bagi penemuan anak terhadap pikiran.
Kedua adalah pentingnya interaksi anak
dengan anak lain, sebagaimana interaksi anak dengan orang dewasa. Perasaan
dan keinginan anak merupakan kunci terhadap apa yang mereka coba raih, dan apa
yang mereka pahami dan pelajari dalam interaksi awalnya. Anak-anak
perlahan-lahan memperoleh kemampuan untuk berkomunikasi secara intens dalam
konvensi budaya yang mereka bagi dengan orang tua mereka, melalui interpretasi.
Hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa interaksi tersebut jarang sekali yang tanpa
emosi (netral).
Partisipasi anak dalam wacana tentang perasaan, pikiran,
kepercayaan, dan dunia pikiran terkait dengan perkembangan individu dalam memahami
inner state orang lain. Analisis penulis
menghasilkan tiga poin umum yang penting tentang hubungan antara pengalaman
emosional dan pemahaman perkembangan dari inner
state orang lain. Kepedulian pertama secara umum dari ekspresi emosional
dalam keluarga. Kedua, pentingnya keadaan afektif anak terhadap aspek berbeda
dari perkembangan pemahaman mereka. Ketiga adalah intensitas dari emosi anak
itu penting. Pemahaman awal mereka
tentang hubungan antara pikiran/akal, emosi, dan tindakan manusia merupakan
produksi narasi mereka.
Di dalam percakapan anak dengan ibu
mereka menunjukkan keadaan mental utama atau pikiran atau kepercayaan mereka
sendiri, sedangkan dengan saudara kandung dan teman, mereka lebih suka
berbicara tentang pikiran atau ide-ide. Dalam mengukur kemampuan anak untuk bermain
peran, dan mendiskusikan keadaan mental, kita mengetuk aspek pemahaman sosial
pada suatu usia dengan baik sebelum anak dapat berhasil pada penilaian formal
dari pemahaman pikiran orang lain.
Ketiadaan korelasi antara beragam hubungan mereka menunjukkan kita
bagaimana anak-anak menggunakan pemahaman sosisal mereka secara berbeda dalam
berbagai hubungan mereka dalam kehidupan nyata. Ini mengingatkan kita bahwa
konteks emosional dari suatu interaksi tertentu atau hubungan yang memengaruhi
kemampuan anak untuk menyusun kapasitas kognitif mereka, dan mungkin
memengaruhi apa yang telah dipelajari sebelum pengalaman didapatkan.
6.
Pendidikan: Jembatan dari Kultur Menuju Pikiran oleh David R. Olson
Hanya orang yang memiliki pikiran. Masyarakat tidak memiliki
pikiran ataupun mengubah pikiran. Hanya orang yang memiliki pikiran untuk
mengubah bahkan jika perubahan itu terbentuk sebagian besar dalam konteks
sosial. Meski masih harus ditemukan pengetahuan tentang fakta bahwa apa yang
seorang pembelajar sedang bangun, dalam beberapa arti, merupakan pengetahuan
yang sangat terstruktur yang membangun kultur.
Pengujian hipotesis, sebagai suatu bentuk abduksi –atau seperti
istilah yang Bruner gunakan, narativisasi pengalaman– menawarkan apa yang
menjanjikan untuk menjadi teori yang cukup dari keyakinan obsesi. Dilengkapi
dengan kekuatan semacam itu, anak berada dalam posisi untuk menjelajahi bukan
hanya keyakinan dan cerita yang ia pegang benar, tapi juga yang dipegang oleh
orang lain, baik yang masih hidup dan yang sudah lama mati.
Sistem keyakinan ini, baik itu terorganisir dalam teori biologi,
mekanika, psikologi atau sejarah, dengan prinsip penjelasan klausal yang cocok,
membuat banyak warisan penting dari suatu kultur yang anak dapat jelajahi
dengan bentuk hipotesis dan evaluasi menggunakan sumber simbolik bahasa dan
sistem notasional dari kultur. Struktur dan akuisisi dari sistem konseptual ini
merupakan salah satu area menjanjikan dalam penelitian teori perkembangan dan
pendidikan.
Pengujian hipotesis dan pembentukan narasi dapat diaplikasikan
hanya pada bentuk keyakinan dan bukan pada bentuk konsep dasar. Kultur, tak
seperti lingkungan, tercipta untuk bisa dipelajari, dipetakan secara
evolusional yang terspesifikasi pada kategori dan relasi tertentu. Kata-kata
dan simbol lainnya yang menyediakan kategori yang mewakili dunia dalam pikiran.
Konsep, tidak dapat berlalu begitu saja dari kultur menuju pikiran (akal).
Bentuk kultur itu eksternal terhadap pikiran dan kultur memiliki hubungan
dengan sesuatu yang inverbal, sebuah konsep atau pikiran.
Pengetahuan itu dikonstruksi, ketika seorang pembelajar mampu
mengambil suatu set konsep dan menggunakannya sebagai suatu model tentang
beberapa set peristiwa lain. Anak-anak, seperti orang dewasa, membuat apa yang
mereka temukan. Penekanannya bukan hanya pada aktivitas anak tapi lebih pada
elaborasi dan revisi ide, kepercayaan (keyakinan) model, dan representasi
secara umum mereka. Tapi jauh dari meminimalisasi peran guru dan pengajaran,
konstruktivisme membuat pengajaran lebih kompeten. Meski memang lebih sulit
untuk membedakan apa yang telah membuat anak prouktif dan puas daripada
menenangkan apa yang disebut ‘ulasan’. Insistensi Bruner pada peran pelajar
dalam konstruksi pengetahuan merupakan langkah penting dalam pengembangan
pedagogik.
7.
Menuju Instruksi Ekologi
Kultural oleh Edward S. Reed
Dalam artikel ini penulisnya menyatakan bahwa inti dari karya
Bruner dalam pendidikan, adalah apa yang disebut ‘Triad Bruner,’ teori dimana
terdapat tiga bentuk yang berbeda dari pembelajaran manusia, yaitu enaktif,
ikonik, dan simbolik.
Pembelajran enaktif memperhatikan
perkembangan dari organisasi tindakan. Pembelajaran enaktif merupakan kemampuan
untuk menjadi fleksibel dalam menghadapi sebuah perubahan lingkungan. Pembelajaran
ikonik dalam arti penggunaan gambaran untuk membimbing perkembangan
pemahaman atau tindakan kita. Mengganti mode pembelajaran ikonik Bruner dengan konsep
pembelajaran perseptual aktif dari Eleanor Gibson. Persepsi dapat menyediakan
informasi yang cukup kaya untuk menolong kita belajar tentang dunia.
Pembelajaran simbolik, melibatkan penggunaan simbol untuk mengorganisasikan kembali
keahlian dan informasi yang telah diperoleh sebelumnya. Pembelajaran simbolik
sangat terikat dengan kelaziman bahasa manusia, fakta fundamental dari
psikologi manusia.
Persepsi merupakan sebuah aktivitas yang termotivasi dari seorang
individu yang menggunakan sumber di lingkungan mereka. Pembelajaran perseptual
adalah dasar dari pembelajaran enaktif dan simbolik. Orang lain mungkin
membantu kita untuk mendidik kekuatan atensi kita, tapi proses perseptual
merupakan suatu kemampuan pribadi. Apa yang kita rasakan dan bagaimana kita
mengorganisasi tindakan atensi kita itu tersosialisasi. Setiap individu
bertanggung jawab atas informasi yang ia ambil atau tidak.
Melalui pembelajaran enaktif dan perseptual, anak-anak memperoleh
kemampuan untuk melakukan sesuatu, dan juga menghambatnya; tapi hanya melalui
pembelajaran simbolik anak dapat memperoleh sebuah pemahaman kapan dan dimana
mereka patut untuk bertindak, dan
tindakan apa yang dilarang.
Seorang anak yang paling muda sekalipun seharusnya diperlihatkan
pada kurikulum yang terbuka dan ambisius dengan harapan mengidentifikasi satu
atau lebih area yang memungkinkan setiap anak unggul di dalamnya, atau
setidaknya termotivasi untuk mempelajarinya. Untuk itu, tujuan seorang pendidik
seharusnya adalah meningkatkan ‘konsepsi siswa tentang kekuatan dirinya
sendiri; dengan penghargaan pada setiap subjek (bidang) tapi mengutamakan
identifikasi pada subjek-subjek tertentu yang menarik minat siswa.
Dalam pandangan ini, berdasar ide lama Bruner yang di-update dengan suatu kerangka kerja
kultur ekologis, kurikulum yang spiral terlihat sebagai jalan untuk
mengembangkan seseorang, dan membantu seriap individu pada konsepsi yang lebih
baik tentang diri mereka sendiri. Edukasi disini dilihat sebagai suatu tema
kerja dan belajar yang memperbesar, membedakan, dan mengkayakan. Ini hanya akan
tercapai ketika suatu komunitas dari berbagai bidang berkomitmen untuk menguatkan
interaksi guru-siswa, yang membutuhkan dedikasi, ketekunan, dan sumber daya
sosial penting lainnya.
Para pendidik perlu belajar menelusuri jejak kemampuan para
pembelajar individu dalam tiga area - enaktif, perseptual, dan simbolik. Selain
itu, diperlukan pula penjejakkan perkembangan diri untuk belajar dan melakukan
sesuatu di dalam berbagai konteks yang berbeda. Meskipun pembelajaran mungkin
akan sangat individualistis, orang yang tidak mampu memasuki berbagi lingkungan
dan komunitas tidak seharusnya dihitung sebagai pembelajar yang sukses.
8.
Masa Pertumbuhan dan Lahirnya Kompetensi: Bruner dan Penelitian
Pengembangan-Komparatif oleh Duane Rumbaugh, Michael Beran, dan Christopher
Elder
Perilaku emergen
memiliki beberapa perbedaan yang mengatur mereka terpisah dari responden dan
operan. Emergen merupakan kompetensi baru dan mode respons baru yang tidak pernah diperkuat secara
intens/dilatih/dikondisikan melalui pengaturan sebelumnya. Emergen sering kali mengagetkan pengamat.
Periode ketidakdewasaan yang berkepanjangan, seperti yang Bruner
tekankan, penting untuk pembentukan perilaku emergen. Kapasitas, kemampuan, dan pola perilaku emergen sering terlihat pada primata
dengan otak lebih besar sebagai suatu refleksi dari struktur logika dari asuhan
lingkungan.
9. Norma Kehidupan: Masalah dalam Representasi Aturan oleh Rom Harré
Kita dapat mengatakan suatu aturan itu tetap ada dalam sebuah praktik jika karakter normatif dari apa yang
telah diselesaikan muncul dari praktik pembelajaran, tapi suatu aturan dapat
diformulasikan untuk mengekspresikan karakter normatif dari praktik. Penggunaan istilah ‘diskursif’ dalam
psikologi, terkungkung dalam intensionalitas dan normativitas yang menyoroti
peran dominan dari ide percakapan dalam penjelasan perilaku manusia.
Terdapat beberapa tipe
tindakan, yaitu :a). sebab akibat (causal); b) kebiasaan (habitual); dan c) diawasi (monitored).
Aturan dan Mesin
Banyak
dari cabang Kecerdasan Buatan (Artificial Intelligence), sebagai cabang dari
teknik pengetahuan, aplikasinya telah muncul sebagai ‘sistem ahli’. Terdapat
berbagai program yang dapat mengontrol mesin, yang mampu mengecat mobil,
melakukan diagnosis terhadap suatu penyakit, dan lain-lain. Isunya di sini
adalah GOFAI (Good Old-Fashioned Artificial Intelligence) dapat mengajari kita
tentang kesadaran manusia.
Sistem program ahli
Merepresentasikan norma dan kemampuannya sebagai ‘aturan’,
memungkinkan seorang ahli AI menulis program yang ketika sebuah komputer
dinyalakan, meniru performa sang ahli, katakanlah dalam mencicipi rasa wine. Tapi dalam memprogram mesin,
‘aturan’ menjadi sebab-akibat mekanis, dan hal semacam ini bukan lagi sebuah
aturan.
Tentang kebiasaan
Mesin dapat meniru tindakan manusia berdasarkan suatu aturan,
tindakan berdasarkan kebiasaan, tapi mereka tidak bisa meniru manusia mengikuti
aturan. Ini bukan karena hal tersebut terlalu sulit, tapi karena manusia
menggunakan aturan-aturan untuk pekerjaan tertentu. Seperti halnya manusia
hanya menggunakan lengan mereka, raket, otak dan komputer untuk pekerjaan lain.
Sebagian besar aturan dimiliki oleh suatu komunitas atau institusi.
Hanya sebagian kecil saja yang memiliki aturan sendiri oleh seorang individu.
Sikap mental normatif dalam perbedaan pemahaman performa manusia ini ‘diambil’
dari aktivitas yang orang-orang lakukan dalam melakukan berbagai pekerjaan
sehari-hari. Menurut pendukung dari revolusi kesadaran kedua, ini merupakan
dasar ontologis yang semua bidang psikologi andalkan.
Revolusi kognitif Bruner mengajak kita untuk mempertimbangkan
lebih dari sekadar kemungkinan perilaku. Tapi mentalisme dari karya awalnya,
daripada menghimbau para teknisi AI untuk mengejar analogi komputasional,
berdampingan dengan karyanya di kemudian hari tentang penulisan naratologis.
Untuk mencari konvensi naratif dalam bentuk kehidupan adalah untuk membuat
aturan yang eksplisit dengan mengikuti kehidupan nyata manusia.
Hanya bagaimana aturan-aturan ini berhubungan dengan aturan-aturan
yang dibentuk secara eksplisit dari perilaku suatu kelompok sosial adalah suatu
pertanyaan yang belum sepenuhnya terselidiki. Ketika aturan diubah menjadi
program dan dimasukan sebagai untaian-bit dalam register ke mesin, atau diubah
menjadi instruksi dan dilatih sebagai kebiasaan menjadi mesin protoplasmik,
mereka tidak memiliki kognitif apapun.
10. Menuju Revolusi Ketiga
dalam Psikologi: Dari Representasi Mental Dalam ke Praktik Dialogis-Sosial Terstruktur
oleh John Shotter
Dibutuhkan pemahaman praktis karakteristik dialogis tentang
kehidupan kita bersama daripada suatu penjelasan teoretisnya. Dengan
melakukannya, akan terlihat bagaimana cara kita ‘melanggar’ norma dalam
keseharian kita, lalu bagaimana kita mesti melanggar norma professional kita.
Hal ini yang Bruner lakukan, lagi dan lagi. Pada saat yang sama ingin
memperbaiki, tapi tidak mampu mencegah diri dari melakukan pelanggaran.
11.
Memori, Identitas dan Masa
Depan Psikologi Kultural oleh David Bakhurst
Memori adalah topik yang secara jelas menjanjikan psikologi
kultural sekaligus kompleksitasnya. Meskipun psikologi tipikalnya memperlakukan
memori sebagai sesuatu yang sangat individual, dimensi sosiokultural dari
memori tidaklah sulit untuk dilihat. Dan sekali dirasakan, mereka muncul
menjadi masukan yang sangat besar pada psikologi. Memori penting untuk
identitas. Masalahnya adalah mencari jalan yang layak untuk mengakomodasi, baik
individu maupun dimensi sosial dari memori yang masuk akal dan berintegritas.
Psikologi kultural mengharuskan kita untuk memikirkan kembali
konsepsi kita terhadap pikiran (akal) dan tempatnya di dunia. Hal ini perlu untuk
menyusun kembali keterkaitan yang kita emban terhadap alam dan sesama. Dan itu
membutuhkan suatu konsep – yang filosofis
– perubahan.
Bruner memahami hal ini sebaik orang lain, untuk dirinya yang
selalu sadar akan pentingnya filosofi. Ini bukan karena ia melihat filosofi
untuk menyediakan suatu dasar bagi psikologi, tapi karena ia selalu mengenali
kekuatan penyelidikan spekulatif untuk menerangi, menasehati, dan
menginformasikan. Bagi Bruner, objek psikologi adalah pemahaman-diri,
pencapaian dari suatu gambaran yang menggembirakan tentang tempat kita di alam,
dan sesuatu yang akan menginspirasi kita untuk hidup lebih baik.
12. Tanggapan oleh Jerome Bruner
Kultur diasumsikan untuk mencari
jalannya sendiri menuju pikiran oleh pihak-pihak yang berpartisipasi di dalamnya,
memengaruhi bagaimana mereka berpikir tentang diri mereka sendiri, sesama, dan
dunia. Kultur
tidak memengaruhi pikiran: hasilnya digunakan
oleh individu yang melakukannya. Konsep seperti ‘kultur; dan ‘pikiran’
cenderung dibangun daripada ditemukan.
Sudah Nampak jelas bahwa beberapa hal mendasar dalam pendekatan
klasik telah keliru dalam memandang hubungan antara kultur dan pikiran.
Pertama, semua pendekatan yang kita pertimbangkan untuk menerima dosa reifikasi: mereka memperlakukan baik
kultur maupun pikiran seperti keduanya adalah hal yang saling tidak tergantung
satu sama lain atau suatu hal yang otonom. Kedua, semua pendekatan klasik tidak disituasikan. Terakhir, pendekatan
klasik adalah pendekatan tipikal yang mengabaikan atau salah mengerti paksaan
institusional pada pikiran individu.
Kultur mewakili suatu keseimbangan antara komunitas yang lebih
luas sebagai realitas sosial yang bisa diprediksi, dan individu atau kelompok
yang terdapat dalam komunitas tersebut memahami sebagai alternatif dunia yang
mungkin terhadap suatu dunia yang resmi.
Bahasa,
pikiran, dan kultur
Kita berkomunikasi dengan orang lain dengan tujuan menyetujui atau
mengubah pernyataan intensional mereka. Dan lebih daripada itu, untuk
memengaruhi aksi mereka. Strategi komunikasi kita terbentuk oleh fakta bahwa
kita mengorganisasi konsepsi dari tindakan
perwakilan, tindakan spesifik, tujuan, dan determinasi.
Untuk seorang psikologis kultural, tugas mendasar yang diberikan
adalah memeberikan deskripsi dan analisis struktur terhadap realitas yang kita
bangun dalam kultur berbeda. Hal ini dilakukan berdasar pada berbagai variasi
kondisi sosial.
Referensi :
Bakhurst, David., dan Shanker, Stuart G. (2001). Jerome
Bruner, Language, Culture, and Self. Sage Publications.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar