Kamis, 19 September 2019

Jerome Bruner


JEROME BRUNER : BAHASA, BUDAYA, DAN DIRI SENDIRI


Oleh :
Asep Rohiman Lesmana


1.     Tindakan Tak Seimbang: Psikologi Kultural Jerome Bruner oleh Clifford Geertz
Artikel ini memaparkan bagaimana cara orang-orang menguji hipotesis selain menggunakan logika; bagaimana mereka memilih apa yang relevan untuk dijelaskan dan apa yang tidak? Bagi Bruner, ‘uji paradigma’ secara kritis untuk sudut pandang ini adalah pendidikan. Dibandingkan psikologi yang melihat pikiran sebagai mekanisme yang bisa diprogram, Bruner berpendapat bahwa kita perlu melihatnya sebagai suatu pencapaian sosial. Dan hal itu bisa dicapai melalui pendidikan.
Di dalam pendidikan, hal yang membuat pikiran menjadi fokus adalah budaya. Bruner menekankan bahwa bercerita, baik itu tentang diri kita maupun tentang orang lain, kepada diri kita sendiri atau kepada orang lain merupakan cara yang paling natural dan paling mudah untuk mengorganisasikan pengalaman dan pengetahuan kita. Dengan demikian, sekolah dapat dianggap sebagai tempat penuh cerita. Cara guru mengajar merupakan cerita-cerita yang ‘terstruktur’ tentang dunia. Secara mendasar artikel ini mengungkap pentingnya bercerita bagi anak karena sejak manusia masih bayi dan usia pra sekolah kehidupan mereka dipenuhi oleh cerita.
Sejarah, budaya, tubuh dan cara kerja dunia fisik menentukan karakter mental seseorang –membentuknya, menstabilkannya, mengisinya. Namun, hal tersebut dilakukan secara independen, menyeluruh, bersamaan dan secara berbeda. Mengatur perbedaan, atau mengarahkannya, merupakan inti dari permasalahan. Terdapat lebih banyak jalan yang hasilnya salah daripada jalan yang hasilnya benar. Dan satu dari sekian banyak cara untuk mendapatkan hasil yang salah adalah meyakinkan diri kita sendiri bahwa apa yang didapatkan itu benar.
Masa depan psikologi kultural bergantung pada kemampuan para praktisinya untuk mengkapitalisasi situasi yang bergolak dan tidak elegan, situasi dimana keterbukaan, responsivitas, kemampuan beradaptasi, daya temu dan semangat intelektual, yang mengkarakterisasi karya Bruner sejak awal.

2.        Konsep Bruner dalam Pemerolehan Berbahasa oleh Michael Tomasello
Narasi merupakan satu dari sekian banyak bentuk komunikasi. Bruner mengatakan bahwa salah satu bentuk tulisan paling kuat dalam komunikasi manusia adalah narasi. Untuk mendukung teori ini, Bruner menunjukkan bahwa isi dari ungkapan awal anak-anak yang merefleksikan perhatian yang dalam terhadap narasi: ketertarikan utama mereka pada interaksi manusia.


Struktur bahasa anak merefleksikan: (1) struktur tindakan dalam peran samaran (guise) sebagai agen, resipin, instrumen, pasien, dan sebagainya; dan (2) struktur perhatian dalam topik tentang struktur fokus samaran. Penataan bahasa tidak dilakukan selama proses akuisisi, tetapi dilakukan oleh para pengguna dewasa bahasa selama sejarah manusia.
Tata bahasa dari suatu bahasa tidak lebih dari sebuah ciptaan tentang morfem, kata-kata, frase dan pembentukannya, sejalan dengan fungsi dan kategorisasi secara umum. Konstruksi ini beragam secara independen, dalam klompeksitas dan keabstrakannya.
Konstruksi suatu bahasa secara historis melalui proses grammatisasi dalam berbagai bentuk tulisan di antara pembicara dewasa. Penataan pragmatik memiliki dua aspek, yaitu memperhatikan maksud komunikasi dari pembicara dan memperhatikan adaptasi pembicara terhadap perspektif pendengar. Jadi, pembicaraan tentang suatu peristiwa terstruktur secara berbeda bergantung pada situasi yang berbeda pula.
Narasi yang dimaksud Bruner bukan hanya cerita dan mitos-mitos, tetapi juga penalaran dan alasan-alasan, yang membangun sebuah budaya dari simbol realitas sosial. Anak-anak tak perlu menciptakan bahasa, mereka hanya perlu mempelajarinya.
Usaha Jerome Bruner dalam hal pemerolehan bahasa adalah identifikasi dan spesifikasi, yakni proses mempelajari konvensi linguistik yang secara fundamental mirip dengan proses mempelajari kemampuan komunikasi dan budaya pada umumnya saja. Hal ini sejalan dengan visi yang dimilikinya dalam psikologi kultural yang lebih humanis.

3.    Rumah yang Bruner Bangun oleh Stuart G. Shanker dan Talbot J. Taylor
Teori scaffolding menerangkan bahwa pihak-pihak yang terlibat dalam pengasuhan anak mengawasi dan mengatur banyaknya dukungan yang diterima oleh anak saat ia mulai mempelajari bahasa. Teori scaffolding menjadi alternatif bagi pandangan para generativis terhadap pemerolehan bahasa sebagai sebuah proses yang otomatis, spontan, dan tidak disadari.
Bruner melengkapi Perangkat Pemerolehan Bahasa (Language Acquisition Device/LAD) dengan Sistem Pendukung Pemerolehan Bahasa (Language Acquisition Support System/LASS). Hasilnya, teori scaffolding terlihat semata-mata hanya sebagai propaedeutic dalam bahasa. Sebuah struktur pendahuluan yang memungkinkan bahaa untuk terbentuk secara sempurna dalam suatu kerangka seni keindahan.
Dalam pandangan Shanker dan Taylor, penolakan LAD memungkinkan mereka untuk menghargai kontribusi nyata bahwa buku Child’s Talk dapat membuat mereka mengerti bahasa secara utuh, bukan hanya pengembangannya saja. Interaksi awal antara pengasuh utama menyediakan kontrol yang belum terbentuk pada otak anak bagian korteks prefrontal. Ibu tidak hanya memelihara dan melindungi bayi mereka selama tahun pertama hidup sang bayi, mereka berperan sebagai suatu sistem saraf pusat eksternal yang secara signifikan mempengari perkembangan anak.
Pengasuh bayi baru lahir lebih banyak memperhatikan mata bayi mereka daripada bagian lain dari tubuh bayi. Jarak pandang bayi yang masih pendek juga hanya memungkinkan untuk fokus pada jarak 20-25 cm, sehingga binar di mata ibu dapat dianalogikan seperti cahaya lampu senter yang menyebabkan pupil bayi menjadi membesar. Bayi lahir dengan kemampuan ‘berbicara.’ Setidaknya secara ‘visual antara ibu dan anak merupakan bentuk komunikasi interpersonal yang intens.’ Shanker dan Taylor menambahkan bahwa kasih sayang dari interaksi sosial di awal hidup bayi sejak lahir memiliki peran penting dalam mengasah kemampuan berbahasa anak.
Sosialisasi bahasa dimulai lama sebelum anak mengungkapkan atau bahkan mengerti kata pertamanya. Setelah tujuh bulan pertama, setelah kelahiran (atau bahkan lebih awal), anak menyesuaikan dengan suara-suara dari lingkungannya. Hal ini sepertinya terjadi pada semua bayi primata, bukan hanya bayi manusia. Tapi, persepsi kategoris hanya berkembang dalam interaksi sosial. Persepsi ini tidak terbentuk jika subjek hanya ditunjukkan pada suatu sumber bahasa yang mekanis. Sehingga, pada dasarnya anak lebih mudah mengerti dengan cara pembelajaran interaktif.
Moral mengenali esensi karakter sosial dari perkembangan bahasa anak. Tidak tepat jika harus dibandingkan dengan cara seorang anak berinteraksi dengan orang lain secara bahasa. Inilah gambaran yang Bruner coba tantang ketika ia menekankan ‘timbal-balik sosial antara ibu dan bayinya.’
Bahasa sebagai bentuk interaksi sosial, memiliki karakter normatif yang fundamental. Pemerolehan bahasa anak dari bentuk dan rutinitas interaksional merupakan sosialisasi secara bertahan menuju teknik normatif dalam hidup berbudaya.
Pengembangan Budaya Bahasa
Dalam konteks berbahasa, apa yang anak capai bukanlah perilaku yang ‘kasar’, tapi lebih merupakan teknik kultural. Seperti anak belajar cara berperilaku dalam lingkungannya sebagai suatu performa yang terkandung secara kultural. Singkatnya, anak tidak secara sederhana mengeluarkan suara vokal atau pola gestur tertentu: ia belajar bagaimana melakukan apa yang kita sebut ‘membicarakan’ suatu benda. Dengan cara yang sama, ia tidak hanya belajar untuk mengungkapkan suara saat ia menginginkan suatu tindakan dari ibunya, ia belajar bagaimana untuk ‘memintanya,’ seperti ‘meminta sesuatu’ merupakan lingkungan kultural yang dimilikinya, bahasa budaya miliknya.
Poinnya adalah pengembangan bahasa, seperti apa yang dikatakan Bruner adalah tentang mempelajari bagaimana melakukan sesuatu dengan kata-kata. Bagaimanapun, berdasarkan aspek apa ‘sesuatu’ itu muncul merupakan hal yang dibedakan oleh praktik refleksif dari lingkungan kultural dimana sang anak dibesarkan. Dengan kata lain, tentang nama misalnya, untuk mengetahui suatu nama adalah mengetahui apakah nama itu untuk kita, dalam languaculture kita, kita menggunakan nama, apa fungsi mereka, dan bagaimana kita menilai, memilih, mengubah dan secara umum memperlakukan mereka.
Bruner menunjukkan bahwa ide bagaimana seorang anak menjadi pembangun-bahasa, hanya akan terjadi hanya jika ia memiliki mentor-pengasuh yang membantunya memperoleh banyak kemampuan yang dibutuhkan untuk bisa pandai. Bukan hanya karena fungsi kata-kata yang beragam, tapi karena mentor sendiri terus-menerus mengalami perubahan seiring dengan perubahan budaya.
Dilihat dari perspektif revolusi interaksi sosial, untuk menyempurnakan aspek yang dimulai oleh Bruner diperlukan eksplorasi implikasi dari ide bahwa scaffolding yang membantu anak dalam mengembangkan bahasa, tetap tidak memiliki bagian esensial dari ‘produk’ dalam pengembangan tersebut. Maka, apa yang pada awalnya dinyatakan menjadi scaffolding eksternal oleh penulis merupakan bagian dari bangunan itu sendiri.


4.        Bruner dan Condillac Perihal Belajar Berbicara oleh Talbot J. Taylor
Locke memiliki sebuah teka-teki dalam bukunya, Locke dan Condillac yakin kalau bahasa merupakan cara yang efektif untuk berkomunikasi. Condillac berharap menemukan solusi dari teka-teki Locke melalui spekulasi tentang filogenik bahasa. Jika kita dapat menentukan bagaimana manusia pertama menggunakan bahasa, dapat menemukan prinsip intersubjektif yang mengatur suatu pembicaraan. Meskipun bahasa merupakan kreasi buatan –sebuah institusi sosial – bahasa muncul dari kapasitas alami yang setiap individu manusia miliki.
Dengan menemukan bagaimana manusia dalam natural state mereka mungkin telah belajar menggunakan bahasa, kita dapat mengidentifikasi prinsip fundamental dari intersubjektivitas. Dengan demikian, memecahkan teka-teki komunikasional Locke. Karena, baik penyelidikan asal-usul bahasa menggunakan filogenik maupun ontogenik, keduanya sama-sama regresif.
Bruner membagi pemerolehan bahasa menjadi dua. Bukan hanya entah dengan cara apa anak-anak mencapai pengetahuan dalam bahasa (contohnya kompetensi linguistik), ia juga mesti memperoleh kemampuan untuk menggunakan pengetahuan itu untuk dasar-dasar komunikasi (contohnya kompetensi pragmatik). Pengalaman komunikasi formatif anak tidak acak, tetapi merupakan hasil dari pola-pola konstruktif dari latihan interaksi.
Pemerolehan bahasa anak dibantu oleh sang ibu, yang mengatur interaksi awal dengan anak dalam format yang rutin dan familiar. Format-format ini – pusat dari LASS– menyediakan sebuah kontrol, panduan kompetensi-sensitif pada pengalaman anak terhadap fungsi bahasa, membentuk jembatan berkelanjutan antara interaksi pralinguistik dan linguistik.
Pencerahan: Filogenesis Linguistik
Perhatian utama Condillac, seperti Locke, adalah untuk menguji dasar dari pengetahuan manusia dan membuatnya lebih kokoh. Seperti Brunner, Condillac berpegang bahwa rasio dan pengembangan linguistik manusia itu secara fundamental saling tergantung. Meski dalam sudut pandang Condillac, saling ketergantungan dari bahasa ini memiliki kecenderungan layaknya pertanyaan ayam-telur bagi para epistemologis.
Jika penggunaan bahasa merupakan suatu kemampuan yang dipelajari melalui pengalaman, maka penting bagi kita semua memiliki kemampuan yang sama. Bukan hanya kita harus berbagi pembawaan kekuatan reflektif; kita juga mesti entah bagaimana caranya belajar mengontrol kekuatan itu melalui penggunaan bahasa dalam cara yang sama.
Teori Condillac tentang asal-usul penggunaan-bahasa bersandar pada tiga faktor penting:
1)      suatu sistem rangsang-respon alami;
2)      intensionalitas; dan
3)     suatu lingkungan sosial yang kooperatif .
Dalam suatu lingkungan sosial yang kooperatif, seseorang dapat sedemikian rupa menemukan bahwa ia mungkin dapat meniru penggunaan suatu sistem rangsang-respon alami yang bertujuan intensionalitas. Ia telah menyeberangi ambang pintu menuju penggunaan-bahasa. Karena kini ia telah memiliki makna untuk mengontrol kekuatan refleksi bawaannya. Hal ini memungkinkan untuk dilakukannya pengembangan metode-metode canggih dari penggunaan bahasa.
Anak memiliki keingingan alami dan kemampuan alami untuk mengenali pola-pola yang menghubungkan keinginan mereka dengan kepuasan mereka. Karakteristik penting dari lingkungan anak, yang memungkinkannya untuk belajar berbicara, adalah pola perilaku interaksi yang rutin, apa yang Bruner sebut dengan ‘format.’ Suatu format merupakan sebuah standardisasi, pola interaksi mikrokosmis antara seorang dewasa dan seorang bayi yang meliputi peran terbatas yang nantinya dapat dibalikkan.’
‘Rutinitas familiar dalam interaksi anak dengan dunia sosial’ merupakan bentuk cara berbicara seorang dewasa yang primitif. Jadi, formatting dari interaksi ibu-anak pada tahap pralinguistik dan linguistik awal memungkinkan anak untuk berlatih berkomunikasi sebelum memiliki kemampuan linguistik yang dibutuhkan untuk komunikasi linguistik yang ‘sebenarnya’. Dalam gambaran Condillac, seseorang dibimbing oleh lingkungan sosialnya untuk mengembangkan kemampuan alaminya guna menunjukkan dimana ia dapat menggunakannya, untuk mengkomunikasikan maksudnya pada orang lain.
Bruner menyatakan bahwa anak tidak hanya perlu memiliki kompetensi bahasa, ia mesti mendapatkan kompetensi pragmatis. ‘Pengembangan pragmatis’ dan ‘pengembangan linguistik’ tidak dapat diperlakukan secara bebas. Karakteristik format tersebut haruslah memungkinkan untuk pemanfaatan terhadap kemampuan alami anak. (1) untuk mencari perhatian pada sang ibu, (2) untuk menghargai intensi pertanyaan, dan (3) untuk mengenali intensi mengarahkan. Kemampuan kita untuk mengerti satu sama lain merupakan hasil dari intensitas pragmatis yang berkelanjutan, dari perangkat pemerolehan bahasa melalui formatting untuk mengembangkan bentuk-bentuk linguistik.

5.        Emosi, Pragmatik, dan Pemahaman Sosial pada Masa Prasekolah oleh Judy Dunn dan Jane R. Brown
Artikel ini difokuskan pada hubungan antara penemuan anak tentang pikiran dan pengalaman sosial mereka, dalam pragmatik tertentu, dan kualitas emosional dari pengalaman-pengalaman tersebut. Hal pertama yang seorang anak ingin pelajari dengan cepat adalah menggunakan bahasa pragmatis: memperoleh bahasa. Hal ini penting untuk ‘mencapai apa yang mereka inginkan, bermain games dan untuk tetap berhubungan dengan orang-orang yang mereka butuhkan’.
Bruner menunjukkan bahwa belajar untuk ‘menyelesaikan sesuatu dengan bahasa’ merupakan makna kunci. Hal ini merupakan signifikansi dari beberapa kegitan rutin dalam kehidupan harian anak dengan orang tua mereka. Format-format ini dikatakana memainkan peranan penting dalam mentransmisikan kultur,‘kelaziman menyiratkan kultur yang terbagi’ dan format ‘menanamkan intensi komunikatif anak dalam kerangka kultural’.
Hal signifikan pertama adalah konteks emosional dalam interaksi yang sentral bagi penemuan anak terhadap pikiran. Kedua adalah pentingnya interaksi anak dengan anak lain, sebagaimana interaksi anak dengan orang dewasa. Perasaan dan keinginan anak merupakan kunci terhadap apa yang mereka coba raih, dan apa yang mereka pahami dan pelajari dalam interaksi awalnya. Anak-anak perlahan-lahan memperoleh kemampuan untuk berkomunikasi secara intens dalam konvensi budaya yang mereka bagi dengan orang tua mereka, melalui interpretasi. Hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa interaksi tersebut jarang sekali yang tanpa emosi (netral).
Partisipasi anak dalam wacana tentang perasaan, pikiran, kepercayaan, dan dunia pikiran terkait dengan perkembangan individu dalam memahami inner state orang lain. Analisis penulis menghasilkan tiga poin umum yang penting tentang hubungan antara pengalaman emosional dan pemahaman perkembangan dari inner state orang lain. Kepedulian pertama secara umum dari ekspresi emosional dalam keluarga. Kedua, pentingnya keadaan afektif anak terhadap aspek berbeda dari perkembangan pemahaman mereka. Ketiga adalah intensitas dari emosi anak itu penting. Pemahaman awal mereka tentang hubungan antara pikiran/akal, emosi, dan tindakan manusia merupakan produksi narasi mereka.
Di dalam percakapan anak dengan ibu mereka menunjukkan keadaan mental utama atau pikiran atau kepercayaan mereka sendiri, sedangkan dengan saudara kandung dan teman, mereka lebih suka berbicara tentang pikiran atau ide-ide. Dalam mengukur kemampuan anak untuk bermain peran, dan mendiskusikan keadaan mental, kita mengetuk aspek pemahaman sosial pada suatu usia dengan baik sebelum anak dapat berhasil pada penilaian formal dari pemahaman pikiran orang lain.
Ketiadaan korelasi antara beragam hubungan mereka menunjukkan kita bagaimana anak-anak menggunakan pemahaman sosisal mereka secara berbeda dalam berbagai hubungan mereka dalam kehidupan nyata. Ini mengingatkan kita bahwa konteks emosional dari suatu interaksi tertentu atau hubungan yang memengaruhi kemampuan anak untuk menyusun kapasitas kognitif mereka, dan mungkin memengaruhi apa yang telah dipelajari sebelum pengalaman didapatkan.

6.        Pendidikan: Jembatan dari Kultur Menuju Pikiran  oleh David R. Olson
Hanya orang yang memiliki pikiran. Masyarakat tidak memiliki pikiran ataupun mengubah pikiran. Hanya orang yang memiliki pikiran untuk mengubah bahkan jika perubahan itu terbentuk sebagian besar dalam konteks sosial. Meski masih harus ditemukan pengetahuan tentang fakta bahwa apa yang seorang pembelajar sedang bangun, dalam beberapa arti, merupakan pengetahuan yang sangat terstruktur yang membangun kultur.
Pengujian hipotesis, sebagai suatu bentuk abduksi –atau seperti istilah yang Bruner gunakan, narativisasi pengalaman– menawarkan apa yang menjanjikan untuk menjadi teori yang cukup dari keyakinan obsesi. Dilengkapi dengan kekuatan semacam itu, anak berada dalam posisi untuk menjelajahi bukan hanya keyakinan dan cerita yang ia pegang benar, tapi juga yang dipegang oleh orang lain, baik yang masih hidup dan yang sudah lama mati.
Sistem keyakinan ini, baik itu terorganisir dalam teori biologi, mekanika, psikologi atau sejarah, dengan prinsip penjelasan klausal yang cocok, membuat banyak warisan penting dari suatu kultur yang anak dapat jelajahi dengan bentuk hipotesis dan evaluasi menggunakan sumber simbolik bahasa dan sistem notasional dari kultur. Struktur dan akuisisi dari sistem konseptual ini merupakan salah satu area menjanjikan dalam penelitian teori perkembangan dan pendidikan.
Pengujian hipotesis dan pembentukan narasi dapat diaplikasikan hanya pada bentuk keyakinan dan bukan pada bentuk konsep dasar. Kultur, tak seperti lingkungan, tercipta untuk bisa dipelajari, dipetakan secara evolusional yang terspesifikasi pada kategori dan relasi tertentu. Kata-kata dan simbol lainnya yang menyediakan kategori yang mewakili dunia dalam pikiran. Konsep, tidak dapat berlalu begitu saja dari kultur menuju pikiran (akal). Bentuk kultur itu eksternal terhadap pikiran dan kultur memiliki hubungan dengan sesuatu yang inverbal, sebuah konsep atau pikiran.
Pengetahuan itu dikonstruksi, ketika seorang pembelajar mampu mengambil suatu set konsep dan menggunakannya sebagai suatu model tentang beberapa set peristiwa lain. Anak-anak, seperti orang dewasa, membuat apa yang mereka temukan. Penekanannya bukan hanya pada aktivitas anak tapi lebih pada elaborasi dan revisi ide, kepercayaan (keyakinan) model, dan representasi secara umum mereka. Tapi jauh dari meminimalisasi peran guru dan pengajaran, konstruktivisme membuat pengajaran lebih kompeten. Meski memang lebih sulit untuk membedakan apa yang telah membuat anak prouktif dan puas daripada menenangkan apa yang disebut ‘ulasan’. Insistensi Bruner pada peran pelajar dalam konstruksi pengetahuan merupakan langkah penting dalam pengembangan pedagogik.

7.         Menuju Instruksi Ekologi Kultural oleh Edward S. Reed
Dalam artikel ini penulisnya menyatakan bahwa inti dari karya Bruner dalam pendidikan, adalah apa yang disebut ‘Triad Bruner,’ teori dimana terdapat tiga bentuk yang berbeda dari pembelajaran manusia, yaitu enaktif, ikonik, dan simbolik.
Pembelajran enaktif memperhatikan perkembangan dari organisasi tindakan. Pembelajaran enaktif merupakan kemampuan untuk menjadi fleksibel dalam menghadapi sebuah perubahan lingkungan. Pembelajaran ikonik dalam arti penggunaan gambaran untuk membimbing perkembangan pemahaman atau tindakan kita. Mengganti mode pembelajaran ikonik Bruner dengan konsep pembelajaran perseptual aktif dari Eleanor Gibson. Persepsi dapat menyediakan informasi yang cukup kaya untuk menolong kita belajar tentang dunia.
Pembelajaran simbolik, melibatkan penggunaan simbol untuk mengorganisasikan kembali keahlian dan informasi yang telah diperoleh sebelumnya. Pembelajaran simbolik sangat terikat dengan kelaziman bahasa manusia, fakta fundamental dari psikologi manusia.
Persepsi merupakan sebuah aktivitas yang termotivasi dari seorang individu yang menggunakan sumber di lingkungan mereka. Pembelajaran perseptual adalah dasar dari pembelajaran enaktif dan simbolik. Orang lain mungkin membantu kita untuk mendidik kekuatan atensi kita, tapi proses perseptual merupakan suatu kemampuan pribadi. Apa yang kita rasakan dan bagaimana kita mengorganisasi tindakan atensi kita itu tersosialisasi. Setiap individu bertanggung jawab atas informasi yang ia ambil atau tidak.
Melalui pembelajaran enaktif dan perseptual, anak-anak memperoleh kemampuan untuk melakukan sesuatu, dan juga menghambatnya; tapi hanya melalui pembelajaran simbolik anak dapat memperoleh sebuah pemahaman kapan dan dimana mereka patut untuk bertindak, dan tindakan apa yang dilarang.
Seorang anak yang paling muda sekalipun seharusnya diperlihatkan pada kurikulum yang terbuka dan ambisius dengan harapan mengidentifikasi satu atau lebih area yang memungkinkan setiap anak unggul di dalamnya, atau setidaknya termotivasi untuk mempelajarinya. Untuk itu, tujuan seorang pendidik seharusnya adalah meningkatkan ‘konsepsi siswa tentang kekuatan dirinya sendiri; dengan penghargaan pada setiap subjek (bidang) tapi mengutamakan identifikasi pada subjek-subjek tertentu yang menarik minat siswa.
Dalam pandangan ini, berdasar ide lama Bruner yang di-update dengan suatu kerangka kerja kultur ekologis, kurikulum yang spiral terlihat sebagai jalan untuk mengembangkan seseorang, dan membantu seriap individu pada konsepsi yang lebih baik tentang diri mereka sendiri. Edukasi disini dilihat sebagai suatu tema kerja dan belajar yang memperbesar, membedakan, dan mengkayakan. Ini hanya akan tercapai ketika suatu komunitas dari berbagai bidang berkomitmen untuk menguatkan interaksi guru-siswa, yang membutuhkan dedikasi, ketekunan, dan sumber daya sosial penting lainnya.
Para pendidik perlu belajar menelusuri jejak kemampuan para pembelajar individu dalam tiga area - enaktif, perseptual, dan simbolik. Selain itu, diperlukan pula penjejakkan perkembangan diri untuk belajar dan melakukan sesuatu di dalam berbagai konteks yang berbeda. Meskipun pembelajaran mungkin akan sangat individualistis, orang yang tidak mampu memasuki berbagi lingkungan dan komunitas tidak seharusnya dihitung sebagai pembelajar yang sukses.

8.        Masa Pertumbuhan dan Lahirnya Kompetensi: Bruner dan Penelitian Pengembangan-Komparatif oleh Duane Rumbaugh, Michael Beran, dan Christopher Elder
Perilaku emergen memiliki beberapa perbedaan yang mengatur mereka terpisah dari responden dan operan. Emergen merupakan kompetensi baru dan mode respons baru yang tidak pernah diperkuat secara intens/dilatih/dikondisikan melalui pengaturan sebelumnya. Emergen sering kali mengagetkan pengamat.
Periode ketidakdewasaan yang berkepanjangan, seperti yang Bruner tekankan, penting untuk pembentukan perilaku emergen. Kapasitas, kemampuan, dan pola perilaku emergen sering terlihat pada primata dengan otak lebih besar sebagai suatu refleksi dari struktur logika dari asuhan lingkungan.


9.    Norma Kehidupan: Masalah dalam Representasi Aturan oleh Rom Harré
Kita dapat mengatakan suatu aturan itu tetap ada dalam sebuah praktik jika karakter normatif dari apa yang telah diselesaikan muncul dari praktik pembelajaran, tapi suatu aturan dapat diformulasikan untuk mengekspresikan karakter normatif dari praktik. Penggunaan istilah ‘diskursif’ dalam psikologi, terkungkung dalam intensionalitas dan normativitas yang menyoroti peran dominan dari ide percakapan dalam penjelasan perilaku manusia.
            Terdapat beberapa tipe tindakan, yaitu :a).  sebab akibat (causal); b) kebiasaan (habitual); dan c) diawasi (monitored).   


Aturan dan Mesin
Banyak dari cabang Kecerdasan Buatan (Artificial Intelligence), sebagai cabang dari teknik pengetahuan, aplikasinya telah muncul sebagai ‘sistem ahli’. Terdapat berbagai program yang dapat mengontrol mesin, yang mampu mengecat mobil, melakukan diagnosis terhadap suatu penyakit, dan lain-lain. Isunya di sini adalah GOFAI (Good Old-Fashioned Artificial Intelligence) dapat mengajari kita tentang kesadaran manusia.
Sistem program ahli
Merepresentasikan norma dan kemampuannya sebagai ‘aturan’, memungkinkan seorang ahli AI menulis program yang ketika sebuah komputer dinyalakan, meniru performa sang ahli, katakanlah dalam mencicipi rasa wine. Tapi dalam memprogram mesin, ‘aturan’ menjadi sebab-akibat mekanis, dan hal semacam ini bukan lagi sebuah aturan.
Tentang kebiasaan
Mesin dapat meniru tindakan manusia berdasarkan suatu aturan, tindakan berdasarkan kebiasaan, tapi mereka tidak bisa meniru manusia mengikuti aturan. Ini bukan karena hal tersebut terlalu sulit, tapi karena manusia menggunakan aturan-aturan untuk pekerjaan tertentu. Seperti halnya manusia hanya menggunakan lengan mereka, raket, otak dan komputer untuk pekerjaan lain.
Sebagian besar aturan dimiliki oleh suatu komunitas atau institusi. Hanya sebagian kecil saja yang memiliki aturan sendiri oleh seorang individu. Sikap mental normatif dalam perbedaan pemahaman performa manusia ini ‘diambil’ dari aktivitas yang orang-orang lakukan dalam melakukan berbagai pekerjaan sehari-hari. Menurut pendukung dari revolusi kesadaran kedua, ini merupakan dasar ontologis yang semua bidang psikologi andalkan.
Revolusi kognitif Bruner mengajak kita untuk mempertimbangkan lebih dari sekadar kemungkinan perilaku. Tapi mentalisme dari karya awalnya, daripada menghimbau para teknisi AI untuk mengejar analogi komputasional, berdampingan dengan karyanya di kemudian hari tentang penulisan naratologis. Untuk mencari konvensi naratif dalam bentuk kehidupan adalah untuk membuat aturan yang eksplisit dengan mengikuti kehidupan nyata manusia.
Hanya bagaimana aturan-aturan ini berhubungan dengan aturan-aturan yang dibentuk secara eksplisit dari perilaku suatu kelompok sosial adalah suatu pertanyaan yang belum sepenuhnya terselidiki. Ketika aturan diubah menjadi program dan dimasukan sebagai untaian-bit dalam register ke mesin, atau diubah menjadi instruksi dan dilatih sebagai kebiasaan menjadi mesin protoplasmik, mereka tidak memiliki kognitif apapun.

10.   Menuju Revolusi Ketiga dalam Psikologi: Dari Representasi Mental Dalam ke Praktik Dialogis-Sosial Terstruktur oleh John Shotter
Dibutuhkan pemahaman praktis karakteristik dialogis tentang kehidupan kita bersama daripada suatu penjelasan teoretisnya. Dengan melakukannya, akan terlihat bagaimana cara kita ‘melanggar’ norma dalam keseharian kita, lalu bagaimana kita mesti melanggar norma professional kita. Hal ini yang Bruner lakukan, lagi dan lagi. Pada saat yang sama ingin memperbaiki, tapi tidak mampu mencegah diri dari melakukan pelanggaran.

11.            Memori, Identitas dan Masa Depan Psikologi Kultural oleh David Bakhurst
Memori adalah topik yang secara jelas menjanjikan psikologi kultural sekaligus kompleksitasnya. Meskipun psikologi tipikalnya memperlakukan memori sebagai sesuatu yang sangat individual, dimensi sosiokultural dari memori tidaklah sulit untuk dilihat. Dan sekali dirasakan, mereka muncul menjadi masukan yang sangat besar pada psikologi. Memori penting untuk identitas. Masalahnya adalah mencari jalan yang layak untuk mengakomodasi, baik individu maupun dimensi sosial dari memori yang masuk akal dan berintegritas.
Psikologi kultural mengharuskan kita untuk memikirkan kembali konsepsi kita terhadap pikiran (akal) dan tempatnya di dunia. Hal ini perlu untuk menyusun kembali keterkaitan yang kita emban terhadap alam dan sesama. Dan itu membutuhkan suatu konsep – yang filosofis – perubahan.
Bruner memahami hal ini sebaik orang lain, untuk dirinya yang selalu sadar akan pentingnya filosofi. Ini bukan karena ia melihat filosofi untuk menyediakan suatu dasar bagi psikologi, tapi karena ia selalu mengenali kekuatan penyelidikan spekulatif untuk menerangi, menasehati, dan menginformasikan. Bagi Bruner, objek psikologi adalah pemahaman-diri, pencapaian dari suatu gambaran yang menggembirakan tentang tempat kita di alam, dan sesuatu yang akan menginspirasi kita untuk hidup lebih baik.

12.      Tanggapan oleh Jerome Bruner
Kultur diasumsikan untuk mencari jalannya sendiri menuju pikiran oleh pihak-pihak yang berpartisipasi di dalamnya, memengaruhi bagaimana mereka berpikir tentang diri mereka sendiri, sesama, dan dunia. Kultur tidak memengaruhi pikiran: hasilnya digunakan oleh individu yang melakukannya. Konsep seperti ‘kultur; dan ‘pikiran’ cenderung dibangun daripada ditemukan.
Sudah Nampak jelas bahwa beberapa hal mendasar dalam pendekatan klasik telah keliru dalam memandang hubungan antara kultur dan pikiran. Pertama, semua pendekatan yang kita pertimbangkan untuk menerima dosa reifikasi: mereka memperlakukan baik kultur maupun pikiran seperti keduanya adalah hal yang saling tidak tergantung satu sama lain atau suatu hal yang otonom. Kedua, semua pendekatan klasik tidak disituasikan. Terakhir, pendekatan klasik adalah pendekatan tipikal yang mengabaikan atau salah mengerti paksaan institusional pada pikiran individu.
Kultur mewakili suatu keseimbangan antara komunitas yang lebih luas sebagai realitas sosial yang bisa diprediksi, dan individu atau kelompok yang terdapat dalam komunitas tersebut memahami sebagai alternatif dunia yang mungkin terhadap suatu dunia yang resmi.
Bahasa, pikiran, dan kultur
Kita berkomunikasi dengan orang lain dengan tujuan menyetujui atau mengubah pernyataan intensional mereka. Dan lebih daripada itu, untuk memengaruhi aksi mereka. Strategi komunikasi kita terbentuk oleh fakta bahwa kita mengorganisasi konsepsi dari tindakan  perwakilan, tindakan spesifik, tujuan, dan determinasi.
Untuk seorang psikologis kultural, tugas mendasar yang diberikan adalah memeberikan deskripsi dan analisis struktur terhadap realitas yang kita bangun dalam kultur berbeda. Hal ini dilakukan berdasar pada berbagai variasi kondisi sosial.

Referensi :

Bakhurst, David., dan Shanker, Stuart G. (2001). Jerome Bruner, Language, Culture, and Self. Sage Publications.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Penguatan Integrasi Pendidikan

PENGUATAN INTEGRASI PENDIDIKAN DALAM ERA DISUPSI Oleh :  Asep Rohiman Lesmana, M.Pd. Pendidikan merupakan suatu entitas yang s...