LANDASAN
FILOSOFIS BIMBINGAN DAN KONSELING
Oleh :
Asep Rohiman Lesmana
imanlesmana382@gmail.com
Bimbingan dan konseling merupakan bagian
integral dari pendidikan, sehingga pendidikan sebagai ilmu. Kartadinata
(2011:15) menjelaskan berbicara tentang ilmu dalam konteks pendidikan perlu
ditegaskan, bahwa pendidikan adalah proses membawa manusia dari kondisi apa
adanya kepada kondisi bagaimana seharusnya. Pendidikan berurusan dengan
perilaku manusia yang sedang berkembang sehingga pendidikan memerlukan
ilmu-ilmu perilaku manusia tetapi pendidikan juga berurusan dengan persoalan ke
arah mana manusia dibawa, sesuatu yang bersifat normatif, sehingga pendidikan
memerlukan filsafat untuk memahami hakikat manusia dan kehidupannya secara
utuh.
A.
Perspektif Ontologi
Kartadinata (2011:23-31) menjelaskan perlunya
penegasan keilmuan dan layanan ahli dari kependidikan ini adalah bimbingan dan
konseling. Dua terminologi dirangkaikan sebagai satu keutuhan layanan ahli
dalam hal mana konseling merupakan teknik bantuan yang secara langsung
memfasilitasi konseling dalam mengatasi masalah dan mengambil keputusan secara
konstruktif, sementara bimbingan mengandung ragam teknik yang lebih bersifar
pedagogis untuk memfasilitasi perkembangan konseli dalam upaya mengembangkan
perilaku-perilaku jangka panjang secara sehat dan mengembangkan lingkungan
perkembangan yang membuka akses luas kepada konseli, jelasnya peserta didik,
untuk memperoleh sukses di dalam belajar.
Dapat ditegaskan bahwa bimbingan adalah
proses membantu individu memahami diri dan dunianya, dan dalam konteks
pendidikan bimbingan terfokus kepada pengembangan lingkungan belajar yang dapat
memfasilitasi individu memperoleh kesuksesan belajar. Penggunaan istilah
bimbingan tetap dipertahankan sebagai kekuatan jati diri layanan ahli bimbingan
dan konseling sebagai upaya pedagogis yang diampu oleh pendidik profesional yang
disebut konselor. Bimbingan turut bertanggung jawab dalam merealisasikan ketiga
fungsi pendidikan (pengembangan, diferensiasi, dan integrasi) sebagaimana
digambarkan. Bimbingan dan konseling ada didalam pendidikan walaupun tidak
semua permasalahan pendidikan dibicarakan dalam bimbingan dan konseling.
Konseling bisa dilakukan sesudah maupun
sebelum konseli memperoleh layanan bimbingan, sehingga upaya bimbingan tidak
serta merta harus diikuti dengan layanan konseling. Konseling bukanlah teknik
ekslusif karena istilah konseling tidak hanya digunakan didalam pendidikan
tetapi banyak digunakan juga dalam bidang keilmuan dan profesi lain, seperti
bidang kesehatan, akuntansi, hukum, keagamaan, olahraga, dan bidang-bidang
lain. Oleh karena itu penggunaan konseling dalam pendidikan tidak bisa
dilepaskan dari layanan bimbingan sebagai bentuk upaya pedagogis. Penggunaan
kata penguhung dan (bimbingan dan
konseling) antara dua terminologi itu sesungguhnya dapat dimaknai bahwa
upaya bimbingan tidak selamanya harus diikuti dengan konseling tetapi pada saat
layanan konseling dilakukan harus didalam perspektif bimbingan sebagai upaya
pedagogis. Dalam seting pendidikan pasca layanan konseling mesti berlanjut
dengan layanan bimbingan karena konseli, jelasnya peserta didik, berada pada
lingkungan belajar dan perkembangan dimana layanan bimbingan secara terus
menerus dilaksanakan.
Bimbingan dan konseling adalah upaya
pedagogis untuk memfasilitasi perkembangan individu dari kondisi apa adanya
kepada konseling bagaimana seharusnya sesuai dengan potensi yang dimilikinya;
bimbingan dan konseling adalah sebuah upaya normatif. Perlu penegasan perbedaan
dan hubungan antara bimbingan dan konseling. Myrick (2003:3) melihat bahwa
bimbingan lebih bernuansa pedagogis. Bimbingan meresap ke dalam kurikulum
sekolah atau proses pembelajaran yang bertujuan untuk memaksimumkan
perkembangan potensi individu dan bimbingan menembus konstelasi layanan yang
terarah kepada pengembangan pribadi, karir, dan penyesuaian sekolah, yang
secara umum dilaksanakan oleh pendidik profesional seperti konselor dan/atau
dalam hal tertentu melibatkan guru dan personil lainnya.
B.
Perspektif
Epistemologi
Bimbingan dan konseling menyangkut proses
perkemabangan manusia yang berlandaskan kepada hakikat manusia itu sendiri. Bimbingan
dan konseling mengandung isu filosofis; isu itu sendiri tak pernah berubah
namun titik pandang atau cara pandang terhadap isu itu yang mungkin berubah.
Proses bimbingan dan konseling adalah proses yang berpijak dan bergerak kearah
yang selalu mengandung persoalan filosofis. Seorang konselor harus berpegang
pada filosofis yang jelas, namun dia tetap harus menghindarkan diri dari faham “completism” (suatu perasaan yang
memandang diri “saya adalah seorang konselor, bersertifikat dan terdidik,
sekali jadi, untuk segalanya”). Isu filosofis dalam bimbingan dan konseling
perlu didiskusikan sebagai sebuah kenyataan karena pemahaman atau cara
pandang terhadap isu ini akan menentukan
bagaimana sosok konselor dikembangkan dan bagaimana konselor membantu konseli.
Pikiran lama namun masih tetap relevan dan menarik untuk dikaji adalah isu-isu
filosofis yang menyangkut aspek : pribadi konselor, religius, hakikat manusia,
tanggungjawab konselor, dan pendidikan konselor (Dougal S. Arbuckle, 1958).
Isu pribadi konselor menyangkut hingga mana
hubungan anatara konsep diri dan tujuan konselor, dan teknik yang digunakan
untuk mencapai tujuan tersebut. Tujuan adalah sesuatu yang berorientasi
filosofis, dan metode dan teknik yang digunakan untuk mencapai tujuan tersebut akan
diwarnai oleh filosofi konselor. Metode dan teknik bimbingan dan konseling
merupakan refleksi dari filosofi konselor. Isu religius, hingga mana keyakinan
(agama) yang dianut konselor memperngaruhi hubungan konselor dengan konseli.
Apakah harus ada kesamaan agama antara konselor dengan konseli. Dapatkah
konselor bertindak sama terhadap konseli walaupun berbeda keyakinan ?. isu
hakikat manusia, terkait dengan bagaimana konselor memandang manusia. Pandangan
ini akan terefleksikan dalam bagaiman konselor memperlakukan konseli dalam
proses bimbingan dan konseling. Isu tanggung jawab, terkait dengan peran konsep
peran konselor di dalam masyarakat dan persoalan konfidensialitas. Haruskah
konselor berpikir sebagai “menjadi konseli” dan oleh karena itu dia tidak akan
pernah membuka informasi yang konfidensial ? jika keperibadian konselor
terefleksikan didalam metode dan teknik, jika orientasi religius dan pandangan
konselor tentang hakikat manusia mempengaruhi pendekatan yang digunakan,
bagaimana bimbingan dan konseling bisa menjadi pekerjaan atau tugas-tugas
profesional ?.
Karena interaksi konselor dengan konseli
merupakan wujud komitmen filosofis, konselor harus bergelut denga
pertanyaan-pertanyaan epistemologi, yaitu : (1) apakah manusia mengetahui dunia ekstramental atau hanya
mengetahui dunianya sendiri ? (2) apakah pengetahuan tentang manusia
merepresntasikan secara valid tentang dunia ekstramental ? (3) dapatkah manusia
mencapai kesepakatan tentang hakikat kenyataan ekstarmental ? (Daubner &
Daubner, 1969). Ada dua posisi konselor atas pertanyaan epistemologis ini,
yaitu (Daubner & Daubner, 1969) :
(a) posisi realitas, yang meyakini bahwa ekstramental itu ada dan manusia dapat
mencapai pengetahuan yang valid tentang dunia ekstramental, berbagai observasi
bisa mencapai kesepakatan, (b) posisi fenomenalis, yang meyakini bahwa dunia
ekstramental itu ada tapi seorang pun bisa memperoleh pengetahuan valid, dan
tidak bisa juga dicapai kesepakatan.
Pertanyaan-pertanyaan epsitemologi ini
memberikan penguatan bahwa pemahaman terhadap perilaku dan arah pengembangan
perilaku melalui bimbingan dan konseling tidak cukup berdasarkan ukuran-ukuran
empirik tapi harus dikaitkan dengan ukuran-ukuran normatif-etik. Dalam konteks
keilmuan, bimbingan dan konseling ada dalam wilayah ilmu normatif dengan fokus
kajian materialnya adalah proses bagaimana memfasilitasi dan membawa manusia
berkembang dari kondisi apa adanya (what it is) kepada bagaimana seharusnya
(what should be). Layanan bimbingan dan konseling adalah upaya pedagogis yang
memanfaatkan pengetahuan dan teknik-teknik psikologis dalam memfasilitasi
perkembangan individu. Konteks tugas bimbingan dan konseling adalah kawasan
layanan bantuan yang bertujuan memandirikan individu normal dan sehat dalam
menavigasi perjalanan hidupnya melalui pengambilan keputusan tentang pendidikan
termasuk yang terkait dengan keperluan untuk memilih, meraih serta
mempertahankan karir untuk mewujudkan kehidupan yang produktif dan sejahtera,
serta untuk menjadi warga masyarakat yang peduli kemaslahatan umum (the common good) melalui pendidikan.
(Ditjen Dikti:2007).
C.
Perspektif
Aksiologi
Apabila pendidikan bertujuan meningkatkan
kualitas manusia yang bercirikan taqwa maka bimbingan dan konselig tidak cukup
hanya bertopang kepada kaidah-kaidah psikologis dan sosio-kultural belaka
melainkan harus mampu menangkap eksistensi manusia sebagai makhluk Allah SWT
(M.D. Dahlan, 1988:23). Betapa bimbingan dan konseling tidak cukup menggunakan
teknik-teknik psikologis semata, sebuah inferensi dan generalisasi logis dapat
ditarik dari hasil studi Sunaryo Kartadinata (1988). Hasil studi dimaksud
menunjukkan bahwa tidak ada kongruensi antara timbangan keputusan (judgmen
kognitif) dengan kemandirian dalam mengambil dan menerima konskekuensi
keputusan.
Fenomena temuan studi ini dapat dijelaskan
dari kerangka pikir proses menimbang yang bisa terarah kepada timbangan deontik
dan timbangan tanggung jawab (Kohlberg dan Candee, 1984). Timbangan deontik
(Frankena, 1982) adalah timbangan yang memutuskan bahwa suatu tindakan itu
benar. Dasar pertimbangan ini ialah aturan atau prinsip. Persoalan pokok
timbangan deontik ialah “Apakah tindakan itu benar untuk dilakukan ?”.
Timbangan deontik lebih berfungsi “pengambilan keputusan”, sedangkan timbangan
tanggung jawab ialah timbangan yang melibatkan unsur baik, buruk, atau tercela
secara moral. Frankena (1982) menyebut unsur ini sebagai aretaic. Persoalan pokok timbangan tanggung jawab bukan hanya
“Mengapa sesuatu itu benar ?” tetapi juga “Mengapa saya harus melakukan itu ?”.
Timbangan tanggung jawab mempunyai fungsi “follow-through”,
sehingga terjadi konsistensi antara timbangan keputusan dengan tindakan
nyata. Tampak bahwa (Sunaryo
Kartadinata, 1988:67) “... kemandirian merupakan variabel yang menjembatani timbangan
keputusan dengan tindakan nyata, sebagai kekuatan motivasional bertindak, dan
berkenaan dengan tanggung jawab.”
Dilihat dari sudut wilayah bimbingan dan
konseling, kemandirian yang menjadi fokus telaahan studi yang disebutkan berada
pada segi tujuan yang esensinya ialah tanggung jawab. Berbicara
tentang tujuan bimbingan dan konseling berarti berbicara tentang segi-segi
folosofis yang akan menjadi landasan bagi pengembangan teori, keilmuan, dan
tenik bimbingan dan konseling. Tanggung jawab, sebagai esensi tujuan bimbingan
dan konseling, bukan sesuatu yang dapat diajarkan sebagai pengetahuan melainkan
sebagai sesuatu yang harus dialami dan diwujudkan dalam tindakan.
Apabila ditelaah secara cermat, tampak
bahwa tidak ada satu pandangan psikologis pun yang mampu mengakomodasi
pandangan filosofis tentang bimbingan dan konseling. Ini mengandung arti bahwa
pengembangan teori dan keilmuan bimbingan dan konseling, khususnya yang
bersumber dari filsafat dan budaya Indonesia, perlu dipikirkan secara
sungguh-sungguh dan tidak cukup bertopang pada teknik-teknik psikologis belaka.
Bertolak dari pandangan filosofis yang diungkapkan,
maka proses bimbingan dan konseling yang bertujuan untuk membantu konseli
mencapai kemandirian dan menerima tanggung jawab bukan semata-mata proses
pemecahan masalah, pembongkaran alam tak sadar, maupun pemecahan masalah
kekinian, walaupun semua segi itu cukup berarti bagi perkembangan konseli,
melainkan terkait dengan persoalan nilai baik dan benar dan esensi tujuan hidup
manusia. Bimbingan dan konseling harus merupakan proses penyiapan konseli untuk
dapat melaksanakan tugas hidupnya sebagai makhluk Allah SWT dimuka bumi ini.
Dengan demikian proses bimbingan dan konseling tidak dapat dipandang sebagai
serpihan yang terpisah dari tugas hidup manusia
didunia ini. Terkandung implikasi lebih jauh bahwa fungsi utama
bimbingan dan konseling adalah pengembangan dan peningkatan (developmental and promotive) dan bukan
fungsi teurapetik, walaupun fungsi terakhir itu harus dipenuhi. Fungsi lain
yang juga harus diperhatikan ialah fungsi memelihara (presentative), dalam arti membantu konseli untuk tetap berpegang
pada kaidah hidup benar, ikhlas dan tawakal.
Apa yang disebutkan sebagai makna dan
fungsi bimbingan dan konseling menunjukkan bahwa proses bimbingan dan konseling
harus membawa konseli ke arah berpikir internal (Dyer dan Vriend, 1977).
Terkandung arti disini bahwa konseli bertanggung jawab penuh atas semua masalah
yang dibawanya kedalam proses bimbingan dan konseling. Dari uraian tentang
proses bimbingan dan konseling sebagaimana disebutkan, tampak bahwa pendekatan
bimbingan dan konseling tidak berpegang pada salah satu pendekatan psikologis
yang digambarkan. Pendekatan eklektik atau pendekatan sistem terbuka (Smith
dalam Higlen dan Hill, 1984) dimungkinkan sepanjang menyangkut teknik yang
tidak bertentangan dengan filsafat pendekatan konseling yang digunakan, akan
tetapi tidak serta merta menyangkut segi-segi preskriptif filosofis yang
terkandung dalam filsafat pendidikan.
Bertolak dari pandangan filosofis tentang
manusia dan pandangan teoretik tentang pendekatan yang disebutkan (yang
menyangkut makna, fungsi, proses, dan teknik bimbingan dan konseling). Maka
pendekatan bimbingan dan konseling dimaksud hendaknya berorientasi pada
pendekatan kekhalifahan atau kemahlukan manusia, sesuai dengan esensi tugas
manusia hidup didunia ini sebagai khalifah dan berdasar kepada sifat-sifat
kemanusiawian didalam impelementasinya (Sunaryo Kartadinata, 1988).
Pandangan filosofis dan teoreti sebagaimana
dikemukakan, secara imperatif mengandung implikasi metodologis yang berkenaan
dengan bagaimana bimbingan dan konseling mempelajari secara utuh dan akurat
tentang masalah kehidupan dan perkembangan manusia serta strategi intervensi
didalam memfasilitasi perkembangan manusia. Bukti empirik statistik yang banyak
ditunjukkan dalam studi-studi psikologi belum mampu menjadi tujuan bimbingan
dan konseling. Oleh karena itu pendekatan tak (non) statistik, perenungan, pemahaman dan penafsiran merupakan
salah satu pendekatan yang dpaat digunakan untuk memahami hakikat dan upaya
pengembangan kemandirian. Didalam dunia filsafat, pendekatan yang bersifat
perenungan, pemahaman, dan penafsiran tergolong kedalam paska (post) positivisme atau hermeneutic
(Brenneman, Jr. 1982).
Karena sifat normatif pedagogis ini maka
fokus orientasi bimbingan dan konseling adalah penciptaan suasana pedagogis
dalam memfasilitasi pengembangan perilaku individu untuk jangka panjang;
menyangkut ragam proses perilaku yang mencakup pendidikan, karir, pribadi,
keluarga, dan proses pengambilan keputusan. Dalam upaya memfasilitasi
perkembangan individu itu seorang konselor hendaknya memiliki kemampuan untuk
memahami gambaran perilaku individu masa depan dan konselor harus mampu “datang
lebih awal” memasuki dunia individu masa depan dimaksud. Ini menyiratkan
seorang konselor perlu memiliki falsafah hidup dan kepribadian yang matang,
memahami universal tujuan bimbingan dan konseling yang berdasarkan filsafat hidup
manusia, dan filsafat pendidikan, sebagai landasan didalam upaya memfasilitasi
perkembangan konseli.
Pietrofesa dalam Syamsu
dan Juntika (2008:107) mengemukakan bahwa terdapat beberapa prinsip yang
terkait dengan landasan filosofis dalam bimbingan yaitu sebagai berikut: (1) Objective viewing, dalam hal ini
konselor membantu konseli agar memperoleh suatu perspektif tentang masalah
khusus yang dialaminya, dan membantunya untuk menilai atau mengkaji berbagai
alternatif atau strategi kegiatan yang memungkinkan konseli mampu merespon
interes, minat, atau keinginannya secara konstruktif. Seseorang akan berada
dalam dilema apabila dia merasa tidak mempunyai pilihan. Melalui layanan
bimbingan, seseorang (konseli) akan dapat menggali atau menemukan potensi
dirinya, dan kemampuan untuk beradaptasi terhadap peristiwa-peristiwa kehidupan
baru yang dialaminya. (2) The counselor
must have the best interest of the client at heart, dalam hal ini konselor
harus merasa puas dalam membantu konseli mengatasi masalahnya. Konselor
menggunakan keterampilannya untuk membantu konseli dalam upaya mengembangkan
keterampilan konseli dalam mengatasi masalah (coping) dan keterampilan hidupnya (life skills).
Pietrofesa et. al (1980) mengemukakan
pendapat James Cribin tentang prinsip-prinsip filosofis dalam bimbingan sebagai
berikut dalam Syamsu dan Juntika (2008:107-108) :
a.
Bimbingan hendaknya didasarkan kepada pengakuan akan
kemuliaan dan harga diri individu (konseli) dan hak-haknya untuk mendapat
bantuannya.
b.
Bimbingan merupakan proses pendidikan yang berkesinambungan.
Artinya bimbingan merupakan bagian intergral dalam pendidikan.
c.
Bimbingan harus respek terhadap hak-hak tiap konseli yang
meminta bantuan atau pelayanan.
d.
Bimbingan bukan perogatif kelompok khusus profesi kesehatan
mental. Bimbingan dilaksanakan melalui kerjasama yang masing-masing bekerja
berdasarkan keahlian atau kompetensinya sendiri.
e.
Fokus bimbingan adalah membantu individu dalam merealisasikan
potensi dirinya.
f.
Bimbingan merupakan bagian dari pendidikan yang bersifat
individualisasi, personalisasi dan sosialisasi.
Landasan filosofis bimbingan dan konseling bagi bangsa Indonesia adalah Pancasila.
Untuk itu program bimbingan dan konseling harus merujuk kepada nilai-nilai yang
terkandung dalam kelima sila Pancasila tersebut. Pancasila sebagai landasan
bimbingan dan konseling mempunyai implikasi sebagai berikut:
a. Tujuan bimbingan dan konseling harus selaras dengan nilai-nilai yang
terkandung dalam setiap sila Pancasila. Adapun tujuan bimbingan dan konseling
adalah memfasilitasi individu (peserta didik/konseli) agar mampu (1) mengembangkan
potensi, fitrah, atau jati diri sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa; (2) mengembangkan
sikap-sikap yang positif, seperti respek terhadap harkat dan martabat diri
sendiri dan orang lain dan bersikap empati; (3) mengembangkan sikap kooperatif,
kolaboratif, toleransi dan altru’is (ta’awun
bilma’ruf); (4) mengembangkan sikap demokratis, menghargai pendapat orang
lain, bersikap terbuka terhadap kritikan orang lain, dan bersikap mengayomi
masyarakat; dan (5) mengembangkan kesadaran untuk membangun bangsa dan negara
yang sejahtera dan berkeadilan dalam berbagai aspek kehidupan (ekonomi, hukum,
pendidikan, dan pekerjaan).
b. Konselor seyogyanya menampilkan kualitas pribadi yang sesuai dengan
nilai-nilai Pancasila, yaitu beriman dan bertakwa bersikap respek terhadap
orang lain, mau bekerja sama dengan orang lain, bersikap demokratis, dan
bersikap adil terhadap para siswa/konseli.
c. Perlu melakukan penataan lingkungan (fisik dan sosial budaya) yang
mendukung terwujudnya nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan perorangan maupun
masyarakat pada umumnya. Upaya-upaya itu diantaranya: (1) menata lingkungan
hidup yang hijau berguna dan bersih dari
polusi (udara, air, dan limbah/sampah); (2) menjaga dan memberantas kriminalitas,
minuman keras, judi dan penggunaan obat-obat terlarang (narkoba/napza); (3)
menghentikan tayangan-tayangan televisi yang merusak nilai-nilai Pancasila
seperti tayangan yang merusak aqidah dan akhlak (moral) warga masyarakat
terutama anak-anak dan remaja; (4) mengontrol secara ketat penjualan alat-alat
kontrasepsi (terutama pil/kondom); dan (5) memberantas korupsi dan melakukan
clean goverment (pemerintah yang
bersih).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar