Kamis, 19 September 2019

Landasan Filosofis BK


LANDASAN FILOSOFIS BIMBINGAN DAN KONSELING

Oleh :
Asep Rohiman Lesmana
imanlesmana382@gmail.com

Bimbingan dan konseling merupakan bagian integral dari pendidikan, sehingga pendidikan sebagai ilmu. Kartadinata (2011:15) menjelaskan berbicara tentang ilmu dalam konteks pendidikan perlu ditegaskan, bahwa pendidikan adalah proses membawa manusia dari kondisi apa adanya kepada kondisi bagaimana seharusnya. Pendidikan berurusan dengan perilaku manusia yang sedang berkembang sehingga pendidikan memerlukan ilmu-ilmu perilaku manusia tetapi pendidikan juga berurusan dengan persoalan ke arah mana manusia dibawa, sesuatu yang bersifat normatif, sehingga pendidikan memerlukan filsafat untuk memahami hakikat manusia dan kehidupannya secara utuh.

A.     Perspektif Ontologi
Kartadinata (2011:23-31) menjelaskan perlunya penegasan keilmuan dan layanan ahli dari kependidikan ini adalah bimbingan dan konseling. Dua terminologi dirangkaikan sebagai satu keutuhan layanan ahli dalam hal mana konseling merupakan teknik bantuan yang secara langsung memfasilitasi konseling dalam mengatasi masalah dan mengambil keputusan secara konstruktif, sementara bimbingan mengandung ragam teknik yang lebih bersifar pedagogis untuk memfasilitasi perkembangan konseli dalam upaya mengembangkan perilaku-perilaku jangka panjang secara sehat dan mengembangkan lingkungan perkembangan yang membuka akses luas kepada konseli, jelasnya peserta didik, untuk memperoleh sukses di dalam belajar.
Dapat ditegaskan bahwa bimbingan adalah proses membantu individu memahami diri dan dunianya, dan dalam konteks pendidikan bimbingan terfokus kepada pengembangan lingkungan belajar yang dapat memfasilitasi individu memperoleh kesuksesan belajar. Penggunaan istilah bimbingan tetap dipertahankan sebagai kekuatan jati diri layanan ahli bimbingan dan konseling sebagai upaya pedagogis yang diampu oleh pendidik profesional yang disebut konselor. Bimbingan turut bertanggung jawab dalam merealisasikan ketiga fungsi pendidikan (pengembangan, diferensiasi, dan integrasi) sebagaimana digambarkan. Bimbingan dan konseling ada didalam pendidikan walaupun tidak semua permasalahan pendidikan dibicarakan dalam bimbingan dan konseling.
Konseling bisa dilakukan sesudah maupun sebelum konseli memperoleh layanan bimbingan, sehingga upaya bimbingan tidak serta merta harus diikuti dengan layanan konseling. Konseling bukanlah teknik ekslusif karena istilah konseling tidak hanya digunakan didalam pendidikan tetapi banyak digunakan juga dalam bidang keilmuan dan profesi lain, seperti bidang kesehatan, akuntansi, hukum, keagamaan, olahraga, dan bidang-bidang lain. Oleh karena itu penggunaan konseling dalam pendidikan tidak bisa dilepaskan dari layanan bimbingan sebagai bentuk upaya pedagogis. Penggunaan kata penguhung dan (bimbingan dan konseling) antara dua terminologi itu sesungguhnya dapat dimaknai bahwa upaya bimbingan tidak selamanya harus diikuti dengan konseling tetapi pada saat layanan konseling dilakukan harus didalam perspektif bimbingan sebagai upaya pedagogis. Dalam seting pendidikan pasca layanan konseling mesti berlanjut dengan layanan bimbingan karena konseli, jelasnya peserta didik, berada pada lingkungan belajar dan perkembangan dimana layanan bimbingan secara terus menerus dilaksanakan.
Bimbingan dan konseling adalah upaya pedagogis untuk memfasilitasi perkembangan individu dari kondisi apa adanya kepada konseling bagaimana seharusnya sesuai dengan potensi yang dimilikinya; bimbingan dan konseling adalah sebuah upaya normatif. Perlu penegasan perbedaan dan hubungan antara bimbingan dan konseling. Myrick (2003:3) melihat bahwa bimbingan lebih bernuansa pedagogis. Bimbingan meresap ke dalam kurikulum sekolah atau proses pembelajaran yang bertujuan untuk memaksimumkan perkembangan potensi individu dan bimbingan menembus konstelasi layanan yang terarah kepada pengembangan pribadi, karir, dan penyesuaian sekolah, yang secara umum dilaksanakan oleh pendidik profesional seperti konselor dan/atau dalam hal tertentu melibatkan guru dan personil lainnya.

B.     Perspektif Epistemologi
Bimbingan dan konseling menyangkut proses perkemabangan manusia yang berlandaskan kepada hakikat manusia itu sendiri. Bimbingan dan konseling mengandung isu filosofis; isu itu sendiri tak pernah berubah namun titik pandang atau cara pandang terhadap isu itu yang mungkin berubah. Proses bimbingan dan konseling adalah proses yang berpijak dan bergerak kearah yang selalu mengandung persoalan filosofis. Seorang konselor harus berpegang pada filosofis yang jelas, namun dia tetap harus menghindarkan diri dari faham “completism” (suatu perasaan yang memandang diri “saya adalah seorang konselor, bersertifikat dan terdidik, sekali jadi, untuk segalanya”). Isu filosofis dalam bimbingan dan konseling perlu didiskusikan sebagai sebuah kenyataan karena pemahaman atau cara pandang  terhadap isu ini akan menentukan bagaimana sosok konselor dikembangkan dan bagaimana konselor membantu konseli. Pikiran lama namun masih tetap relevan dan menarik untuk dikaji adalah isu-isu filosofis yang menyangkut aspek : pribadi konselor, religius, hakikat manusia, tanggungjawab konselor, dan pendidikan konselor (Dougal S. Arbuckle, 1958).
Isu pribadi konselor menyangkut hingga mana hubungan anatara konsep diri dan tujuan konselor, dan teknik yang digunakan untuk mencapai tujuan tersebut. Tujuan adalah sesuatu yang berorientasi filosofis, dan metode dan teknik yang digunakan untuk mencapai tujuan tersebut akan diwarnai oleh filosofi konselor. Metode dan teknik bimbingan dan konseling merupakan refleksi dari filosofi konselor. Isu religius, hingga mana keyakinan (agama) yang dianut konselor memperngaruhi hubungan konselor dengan konseli. Apakah harus ada kesamaan agama antara konselor dengan konseli. Dapatkah konselor bertindak sama terhadap konseli walaupun berbeda keyakinan ?. isu hakikat manusia, terkait dengan bagaimana konselor memandang manusia. Pandangan ini akan terefleksikan dalam bagaiman konselor memperlakukan konseli dalam proses bimbingan dan konseling. Isu tanggung jawab, terkait dengan peran konsep peran konselor di dalam masyarakat dan persoalan konfidensialitas. Haruskah konselor berpikir sebagai “menjadi konseli” dan oleh karena itu dia tidak akan pernah membuka informasi yang konfidensial ? jika keperibadian konselor terefleksikan didalam metode dan teknik, jika orientasi religius dan pandangan konselor tentang hakikat manusia mempengaruhi pendekatan yang digunakan, bagaimana bimbingan dan konseling bisa menjadi pekerjaan atau tugas-tugas profesional ?.
Karena interaksi konselor dengan konseli merupakan wujud komitmen filosofis, konselor harus bergelut denga pertanyaan-pertanyaan epistemologi, yaitu : (1) apakah manusia  mengetahui dunia ekstramental atau hanya mengetahui dunianya sendiri ? (2) apakah pengetahuan tentang manusia merepresntasikan secara valid tentang dunia ekstramental ? (3) dapatkah manusia mencapai kesepakatan tentang hakikat kenyataan ekstarmental ? (Daubner & Daubner, 1969). Ada dua posisi konselor atas pertanyaan epistemologis ini, yaitu  (Daubner & Daubner, 1969) : (a) posisi realitas, yang meyakini bahwa ekstramental itu ada dan manusia dapat mencapai pengetahuan yang valid tentang dunia ekstramental, berbagai observasi bisa mencapai kesepakatan, (b) posisi fenomenalis, yang meyakini bahwa dunia ekstramental itu ada tapi seorang pun bisa memperoleh pengetahuan valid, dan tidak bisa juga dicapai kesepakatan.
Pertanyaan-pertanyaan epsitemologi ini memberikan penguatan bahwa pemahaman terhadap perilaku dan arah pengembangan perilaku melalui bimbingan dan konseling tidak cukup berdasarkan ukuran-ukuran empirik tapi harus dikaitkan dengan ukuran-ukuran normatif-etik. Dalam konteks keilmuan, bimbingan dan konseling ada dalam wilayah ilmu normatif dengan fokus kajian materialnya adalah proses bagaimana memfasilitasi dan membawa manusia berkembang dari kondisi apa adanya (what it is) kepada bagaimana seharusnya (what should be). Layanan bimbingan dan konseling adalah upaya pedagogis yang memanfaatkan pengetahuan dan teknik-teknik psikologis dalam memfasilitasi perkembangan individu. Konteks tugas bimbingan dan konseling adalah kawasan layanan bantuan yang bertujuan memandirikan individu normal dan sehat dalam menavigasi perjalanan hidupnya melalui pengambilan keputusan tentang pendidikan termasuk yang terkait dengan keperluan untuk memilih, meraih serta mempertahankan karir untuk mewujudkan kehidupan yang produktif dan sejahtera, serta untuk menjadi warga masyarakat yang peduli kemaslahatan umum (the common good) melalui pendidikan. (Ditjen Dikti:2007).

C.      Perspektif Aksiologi
Apabila pendidikan bertujuan meningkatkan kualitas manusia yang bercirikan taqwa maka bimbingan dan konselig tidak cukup hanya bertopang kepada kaidah-kaidah psikologis dan sosio-kultural belaka melainkan harus mampu menangkap eksistensi manusia sebagai makhluk Allah SWT (M.D. Dahlan, 1988:23). Betapa bimbingan dan konseling tidak cukup menggunakan teknik-teknik psikologis semata, sebuah inferensi dan generalisasi logis dapat ditarik dari hasil studi Sunaryo Kartadinata (1988). Hasil studi dimaksud menunjukkan bahwa tidak ada kongruensi antara timbangan keputusan (judgmen kognitif) dengan kemandirian dalam mengambil dan menerima konskekuensi keputusan.
Fenomena temuan studi ini dapat dijelaskan dari kerangka pikir proses menimbang yang bisa terarah kepada timbangan deontik dan timbangan tanggung jawab (Kohlberg dan Candee, 1984). Timbangan deontik (Frankena, 1982) adalah timbangan yang memutuskan bahwa suatu tindakan itu benar. Dasar pertimbangan ini ialah aturan atau prinsip. Persoalan pokok timbangan deontik ialah “Apakah tindakan itu benar untuk dilakukan ?”. Timbangan deontik lebih berfungsi “pengambilan keputusan”, sedangkan timbangan tanggung jawab ialah timbangan yang melibatkan unsur baik, buruk, atau tercela secara moral. Frankena (1982) menyebut unsur ini sebagai aretaic. Persoalan pokok timbangan tanggung jawab bukan hanya “Mengapa sesuatu itu benar ?” tetapi juga “Mengapa saya harus melakukan itu ?”. Timbangan tanggung jawab mempunyai fungsi “follow-through”, sehingga terjadi konsistensi antara timbangan keputusan dengan tindakan nyata.  Tampak bahwa (Sunaryo Kartadinata, 1988:67) “... kemandirian merupakan  variabel yang menjembatani timbangan keputusan dengan tindakan nyata, sebagai kekuatan motivasional bertindak, dan berkenaan dengan tanggung jawab.”
Dilihat dari sudut wilayah bimbingan dan konseling, kemandirian yang menjadi fokus telaahan studi yang disebutkan berada pada segi tujuan  yang esensinya ialah tanggung jawab. Berbicara tentang tujuan bimbingan dan konseling berarti berbicara tentang segi-segi folosofis yang akan menjadi landasan bagi pengembangan teori, keilmuan, dan tenik bimbingan dan konseling. Tanggung jawab, sebagai esensi tujuan bimbingan dan konseling, bukan sesuatu yang dapat diajarkan sebagai pengetahuan melainkan sebagai sesuatu yang harus dialami dan diwujudkan dalam tindakan.
Apabila ditelaah secara cermat, tampak bahwa tidak ada satu pandangan psikologis pun yang mampu mengakomodasi pandangan filosofis tentang bimbingan dan konseling. Ini mengandung arti bahwa pengembangan teori dan keilmuan bimbingan dan konseling, khususnya yang bersumber dari filsafat dan budaya Indonesia, perlu dipikirkan secara sungguh-sungguh dan tidak cukup bertopang pada teknik-teknik psikologis belaka.
Bertolak dari pandangan filosofis yang diungkapkan, maka proses bimbingan dan konseling yang bertujuan untuk membantu konseli mencapai kemandirian dan menerima tanggung jawab bukan semata-mata proses pemecahan masalah, pembongkaran alam tak sadar, maupun pemecahan masalah kekinian, walaupun semua segi itu cukup berarti bagi perkembangan konseli, melainkan terkait dengan persoalan nilai baik dan benar dan esensi tujuan hidup manusia. Bimbingan dan konseling harus merupakan proses penyiapan konseli untuk dapat melaksanakan tugas hidupnya sebagai makhluk Allah SWT dimuka bumi ini. Dengan demikian proses bimbingan dan konseling tidak dapat dipandang sebagai serpihan yang terpisah dari tugas hidup manusia  didunia ini. Terkandung implikasi lebih jauh bahwa fungsi utama bimbingan dan konseling adalah pengembangan dan peningkatan (developmental and promotive) dan bukan fungsi teurapetik, walaupun fungsi terakhir itu harus dipenuhi. Fungsi lain yang juga harus diperhatikan ialah fungsi memelihara (presentative), dalam arti membantu konseli untuk tetap berpegang pada kaidah hidup benar, ikhlas dan tawakal.
Apa yang disebutkan sebagai makna dan fungsi bimbingan dan konseling menunjukkan bahwa proses bimbingan dan konseling harus membawa konseli ke arah berpikir internal (Dyer dan Vriend, 1977). Terkandung arti disini bahwa konseli bertanggung jawab penuh atas semua masalah yang dibawanya kedalam proses bimbingan dan konseling. Dari uraian tentang proses bimbingan dan konseling sebagaimana disebutkan, tampak bahwa pendekatan bimbingan dan konseling tidak berpegang pada salah satu pendekatan psikologis yang digambarkan. Pendekatan eklektik atau pendekatan sistem terbuka (Smith dalam Higlen dan Hill, 1984) dimungkinkan sepanjang menyangkut teknik yang tidak bertentangan dengan filsafat pendekatan konseling yang digunakan, akan tetapi tidak serta merta menyangkut segi-segi preskriptif filosofis yang terkandung dalam filsafat pendidikan.
Bertolak dari pandangan filosofis tentang manusia dan pandangan teoretik tentang pendekatan yang disebutkan (yang menyangkut makna, fungsi, proses, dan teknik bimbingan dan konseling). Maka pendekatan bimbingan dan konseling dimaksud hendaknya berorientasi pada pendekatan kekhalifahan atau kemahlukan manusia, sesuai dengan esensi tugas manusia hidup didunia ini sebagai khalifah dan berdasar kepada sifat-sifat kemanusiawian didalam impelementasinya (Sunaryo Kartadinata, 1988).
Pandangan filosofis dan teoreti sebagaimana dikemukakan, secara imperatif mengandung implikasi metodologis yang berkenaan dengan bagaimana bimbingan dan konseling mempelajari secara utuh dan akurat tentang masalah kehidupan dan perkembangan manusia serta strategi intervensi didalam memfasilitasi perkembangan manusia. Bukti empirik statistik yang banyak ditunjukkan dalam studi-studi psikologi belum mampu menjadi tujuan bimbingan dan konseling. Oleh karena itu pendekatan tak (non) statistik, perenungan, pemahaman dan penafsiran merupakan salah satu pendekatan yang dpaat digunakan untuk memahami hakikat dan upaya pengembangan kemandirian. Didalam dunia filsafat, pendekatan yang bersifat perenungan, pemahaman, dan penafsiran tergolong kedalam paska (post) positivisme atau hermeneutic (Brenneman, Jr. 1982).
Karena sifat normatif pedagogis ini maka fokus orientasi bimbingan dan konseling adalah penciptaan suasana pedagogis dalam memfasilitasi pengembangan perilaku individu untuk jangka panjang; menyangkut ragam proses perilaku yang mencakup pendidikan, karir, pribadi, keluarga, dan proses pengambilan keputusan. Dalam upaya memfasilitasi perkembangan individu itu seorang konselor hendaknya memiliki kemampuan untuk memahami gambaran perilaku individu masa depan dan konselor harus mampu “datang lebih awal” memasuki dunia individu masa depan dimaksud. Ini menyiratkan seorang konselor perlu memiliki falsafah hidup dan kepribadian yang matang, memahami universal tujuan bimbingan dan konseling yang berdasarkan filsafat hidup manusia, dan filsafat pendidikan, sebagai landasan didalam upaya memfasilitasi perkembangan konseli.
Pietrofesa dalam Syamsu dan Juntika (2008:107) mengemukakan bahwa terdapat beberapa prinsip yang terkait dengan landasan filosofis dalam bimbingan yaitu sebagai berikut: (1) Objective viewing, dalam hal ini konselor membantu konseli agar memperoleh suatu perspektif tentang masalah khusus yang dialaminya, dan membantunya untuk menilai atau mengkaji berbagai alternatif atau strategi kegiatan yang memungkinkan konseli mampu merespon interes, minat, atau keinginannya secara konstruktif. Seseorang akan berada dalam dilema apabila dia merasa tidak mempunyai pilihan. Melalui layanan bimbingan, seseorang (konseli) akan dapat menggali atau menemukan potensi dirinya, dan kemampuan untuk beradaptasi terhadap peristiwa-peristiwa kehidupan baru yang dialaminya. (2) The counselor must have the best interest of the client at heart, dalam hal ini konselor harus merasa puas dalam membantu konseli mengatasi masalahnya. Konselor menggunakan keterampilannya untuk membantu konseli dalam upaya mengembangkan keterampilan konseli dalam mengatasi masalah (coping) dan keterampilan hidupnya (life skills).
Pietrofesa et. al (1980) mengemukakan pendapat James Cribin tentang prinsip-prinsip filosofis dalam bimbingan sebagai berikut dalam Syamsu dan Juntika (2008:107-108) :
a.      Bimbingan hendaknya didasarkan kepada pengakuan akan kemuliaan dan harga diri individu (konseli) dan hak-haknya untuk mendapat bantuannya.
b.      Bimbingan merupakan proses pendidikan yang berkesinambungan. Artinya bimbingan merupakan bagian intergral dalam pendidikan.
c.       Bimbingan harus respek terhadap hak-hak tiap konseli yang meminta bantuan atau pelayanan.
d.      Bimbingan bukan perogatif kelompok khusus profesi kesehatan mental. Bimbingan dilaksanakan melalui kerjasama yang masing-masing bekerja berdasarkan keahlian atau kompetensinya sendiri.
e.      Fokus bimbingan adalah membantu individu dalam merealisasikan potensi dirinya.
f.        Bimbingan merupakan bagian dari pendidikan yang bersifat individualisasi, personalisasi dan sosialisasi.
            Landasan filosofis bimbingan dan konseling bagi bangsa Indonesia adalah Pancasila. Untuk itu program bimbingan dan konseling harus merujuk kepada nilai-nilai yang terkandung dalam kelima sila Pancasila tersebut. Pancasila sebagai landasan bimbingan dan konseling mempunyai implikasi sebagai berikut:
a.      Tujuan bimbingan dan konseling harus selaras dengan nilai-nilai yang terkandung dalam setiap sila Pancasila. Adapun tujuan bimbingan dan konseling adalah memfasilitasi individu (peserta didik/konseli) agar mampu (1) mengembangkan potensi, fitrah, atau jati diri sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa; (2) mengembangkan sikap-sikap yang positif, seperti respek terhadap harkat dan martabat diri sendiri dan orang lain dan bersikap empati; (3) mengembangkan sikap kooperatif, kolaboratif, toleransi dan altru’is (ta’awun bilma’ruf); (4) mengembangkan sikap demokratis, menghargai pendapat orang lain, bersikap terbuka terhadap kritikan orang lain, dan bersikap mengayomi masyarakat; dan (5) mengembangkan kesadaran untuk membangun bangsa dan negara yang sejahtera dan berkeadilan dalam berbagai aspek kehidupan (ekonomi, hukum, pendidikan, dan pekerjaan).
b.      Konselor seyogyanya menampilkan kualitas pribadi yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, yaitu beriman dan bertakwa bersikap respek terhadap orang lain, mau bekerja sama dengan orang lain, bersikap demokratis, dan bersikap adil terhadap para siswa/konseli.
c.       Perlu melakukan penataan lingkungan (fisik dan sosial budaya) yang mendukung terwujudnya nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan perorangan maupun masyarakat pada umumnya. Upaya-upaya itu diantaranya: (1) menata lingkungan hidup yang hijau berguna  dan bersih dari polusi (udara, air, dan limbah/sampah); (2) menjaga dan memberantas kriminalitas, minuman keras, judi dan penggunaan obat-obat terlarang (narkoba/napza); (3) menghentikan tayangan-tayangan televisi yang merusak nilai-nilai Pancasila seperti tayangan yang merusak aqidah dan akhlak (moral) warga masyarakat terutama anak-anak dan remaja; (4) mengontrol secara ketat penjualan alat-alat kontrasepsi (terutama pil/kondom); dan (5) memberantas korupsi dan melakukan clean goverment (pemerintah yang bersih).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Penguatan Integrasi Pendidikan

PENGUATAN INTEGRASI PENDIDIKAN DALAM ERA DISUPSI Oleh :  Asep Rohiman Lesmana, M.Pd. Pendidikan merupakan suatu entitas yang s...