KERANGKA KERJA
PERSONIL DALAM LAYANAN BIMBINGAN DAN KONSELING (BK)
Oleh:
Asep Rohiman Lesmana
imanlesmana382@gmail.com
Asep Rohiman Lesmana
imanlesmana382@gmail.com
Esensi bimbingan dan konseling
terletak pada proses memfasilitasi perkembangan individu di dalam
lingkungannya. Perkembangan terjadi melalui interaksi secara sehat antara
individu dengan lingkungan, dan oleh karena itu upaya bimbingan da konseling
tertuju kepada upaya membangun lingkungan perkembangan manusia (ecology
of human development) yang sehat. Menurut Blocher sebuah lingkungan
perkembangan mengandung tiga komponen, yaitu: (1) struktur yang menggambarkan
stimulasi yang disiapkan konselor untuk merangsang perkembangan perilaku
konseli; (2) transaksi yang menggambarkan interaksi psikologis dan intervensi
yang terjadi, dan (3) reward systems
yang menggambarkan proses penguatan dan balikan terhadap perilaku baru. Kartadinata
(2011:57).
Kerangka kerja bimbingan dan
konseling merefleksikan konteks tugas dan ekspektasi kinerja konselor. Konteks
tugas bimbingan dan konseling adalah kawasan layanan bantuan yang bertujuan
memandirikan individu normal dan sehat dalam menavigasi perjalanan hidupnya
melalui pengambilan keputusan tentang pendidikan termasuk yang terkait dengan
keperluan untuk memilih, meraih serta mempertahankan karir untuk menwujudkan
kehidupan yang produktif dan sejahtera, serta untuk menjadi warga masyarakat
yang peduli kemasalahatan umum (the
commod good) melalui pendidikan (Ditjen Dikti, 2007). Sedangkan
ekspektasi kinerja merupakan kerangka berpikir dan bertindak dalam bingkai
filosofik yang khas yang dibangunnya sendiri dengan mengintegrasikan apa yang
diketahui dari hasil penelitian dan pendapat para ahli yang akan membentuk
wawasan atau worldview yang selalu
mewarnai cara seorang konselor melihat dirinya, melihat tugasnya, melihat
konseli dengan kata lain melihat
dunianya yang selalu digerakkan oleh motif altruistik dalam arti selalu
menggunakan penyikapan yang empatik, menghormati keragaman, serta mengedepankan
kemaslahatan pengguna layanannya, yang dilakukan dengans selalu mencermati
kemungkinan dampak jangka panjang dari tindak layanannya itu terhadap pengguna
layanan, sehingga pengampu layanan ahli itu juga dinamakan “the savety practitioner” (Ditjen Dikti,
2007).
Mengacu kepada konteks tugas dan
ekspektasi kinerja layanan bimbingan dan konseling, maka kerangka kerja bimbingan
dan konseling sebagai upaya pedagogis dibangun atas prinsip-prinsip berikut.
Pertama, bahwa kepedulian utama
pendidikan untuk mengembangkan aspek intelektual maupun pribadi, harus
ditelakan pada proses pembelajaran (learning)
alih-alih kepada proses belajar-mengajar (Kehas, Chir D. 1969). Prinsip ini
mengandung implikasi bahwa fokus kegiatan pendidikan tidak lagi terletak
sebatas kegiatan mengajar dengan mengutamakan peranan guru, melainkan secara
sengaja dan terencana melibatkan berbagai profesi pendidik, termasuk konselor
didalamnya, untuk menangani ragam aspek perkembangan, dimensi-dimensi belajar,
dengan menggunakan pola relasi dan transaksi yang beragam pula. Mengajar dan
bimbingan dan konseling (BK) adalah dua modus dasar relasi dengan peserta didik;
dua modus yang bersifat komplementer dan bahkan kolaboratif. Pendidikan yang
bersifat umum dan klasikal, yang dalam banyak hal lebih peduli terhadap belajar
intelektual, perlu dilengkapi dengan strategi upaya yang secara sistematis
dimaksudkan untuk membantu peserta didik mengembangkan pribadi, memperhalus dan
menginternalisasi nilai-nilai yang diperoleh didalam pendidikan, serta
mengembangkan keterampilan hidup. Strategi upaya yang dimaksud adalah layanan
bimbingan dan konseling.
Kedua, misi utama bimbingan dan
konseling adalah edukatif dan pengembangan. Edukatif, karena titik berat
kepedulian bimbingan dan konseling terletak pada upaya menciptakan lingkungan
perkembangan untuk memfasilitasi sukses dalam belajar. Pengembangan, karena
titik sentral tujuan bimbingan dan konseling adalah perkembangan optimal dan
strategi upaya pokoknya adalah memberi kemudahan berkembang bagi individu atau
konseli melalui penciptaan lingkungan perkembangan sebagai lingkungan belajar.
Misi edukatif dan pengembangan ini mengandung implikasi bahwa konselor perlu
memiliki pemahaman antisipatif akan sosok pengembangan (merujuk pada konsep what should be) yang diharapkan dicapai
oleh konseli. Sosok perkembangan yang diharapkan ini menjadi arah dan tonggak
perkembangan (milestone) sebagai
landasan untuk mengembangkan lingkungan perkembangan strategi upaya
memfasilitasi perkembangan individu. Bimbingan dan konseling menjadi sebuah
layanan proaktif dan fungsinya terfokus pada pencegahan, pengembangan,
pemeliharaan, dan remidiatif. Kepedulian utama bimbingan dan konseling bukanlah
pada masalah melainkan pada pribadi setiap individu dan liputan “kurikulum”-nya
adalah seluruh aspek perkembangan dan kehidupan individu (peserta didik).
Ketiga, bimbingan dan konseling
memfasilitasi peserta didik untuk mempelajari dan mengembangkan perilaku jangka
panjang melalui interaksi dan transaksi yang sehat antara peserta didik dengan
lingkungannya. Strategi upaya dasar yang dilakukan adalah menciptakan ekologi
perkembangan lingkungan manusia sebagai lingkungan yang memberi kesempatan dan
kemudahan kepada individu peserta didik untuk belajar dan berkembang sebagai
manusia. Ekologi perkembangan adalah sebuah lingkungan belajar; suatu wahana
mendeskripsikan, menjelaskan, meramalkan, dan mengendalikan interaksi dan
transaksi dinamik antara individu peserta didik dengan lingkungan dan segala
perlengkapannya yang harus dipelihara dijaga keberlanjutanya. Hakikat proses
bimbingan dan konseling terletak pada keterkaitan antara lingkungan belajar
dengan perkembangan individu peserta didik, dan konselor berperan sebagai
fasilitator dan perekayasa lingkungan (environmental
enginer). Lingkungan belajar adalah lingkungan terstruktur, sengaja
dirancang dan dikembangkan untuk memberi peluang kepada individu peserta didik
mempelajari perilaku-perilaku baru, menstrukturkan dan membentuk peluang,
ekspektasi, dan persepsi, yang mungkin sejalan atau mungkin juga tidak sejalan
dengan kebutuhan dan motif dasar peserta didik.
Keempat, strategi upaya bimbingan
dan konseling berfokus pada tiga tema, yaitu: (1) tujuan terfokus pada
memberikan kemudahan berkembang bagi individu, harus mengandung kejelasan arah
dan aspek yang dikembangkan yang bertolak dari landasan filosofis tentang
kondisi eksistensial manusia; (2) fokus intervensi terletak pada sistem atau
subsistem, dalam hal mana konselor bertindak sebagai psychoeducator yang aktif terlibat di dalam membantu sistem untuk
berfungsi secara efektif melalui pengembangan relasi dan transaksi, dan
mendorong perkembangan individu ke tingkat yang lebih tinggi, dan (3)
keserasian pribadi-lingkungan menjadi dinamika sentral keberfungsian individu,
mengandung makna bahwa didalam transaksi individu dengan lingkungannya terjadi
proses perkembangan, perubahan, perbaikan dan penyesuaian perilaku yang terarah
kepada pengembangan kemampuan mengendalikan proses sistem yang cukup
kompleks. Kemampuan individu melakukan
pengarahan diri (self-direction), pengaturan
diri (self-regulation), dan
pembaharuan diri (self-renewal),
adalah perilaku-perilaku yang harus dikembangkan melalui bimbingan dan
konseling untuk keserasian pribadi-lingkungan secara dinamis.
Kelima, lingkungan perkembangan
harus dikembangkan sebagai satu keutuhan yang dikontruksi ke dalam:
(Blocher,1974: Sunaryo Kartadinata, 1996): (1)
struktur peluang yang diwujudkan dalam bentuk perangkat tugas, atau masalah,
atau situasi, yang memungkinkan konseli atau peserta didik mempelajari berbagai
kecakapan hidup baik inter maupun antar pribadi, kecakapan menguasai dan
mengendalikan pola respon. Tugas, atau masalah, atau situasi, yang terkandung
dalam struktur peluang pada hakikatnya ialah sitimulus yang diperhadapkan
kepada peserta didik dalam ragam tingkat tertentu. Tindakan konkrit yang dapat
dilakukan konselor ialah merancang dan memilih bahan, topik atau tema bimbingan
yang sesuai dengan misi dan fungsi, dan dengan memperhatikan segi kebutuhan dan
ekspektasi peserta didik serta faktor-faktor kontekstual dan unsur kebaruan (novelty) dari bahan, sebagai stimulus,
yang disajikan; (2)
struktur dukungan, yaitu perangkat sumber (resources) yang dapat diperoleh
peserta didik di dalam mengembangkan perilaku baru untuk merespon ragam tingkat
stimulus. Perangkat sumber ialah relasi jaringan kerja, sebagai nuansa afektif,
dan keterlibatan peserta didik di dalam relasi itu. Lingkungan belajar dimaksud
menjadi wahana pengembangan struktur kognitif peserta didik untuk melakukan
pemahaman, estimasi, dan prediksi, sehingga kebercabangan dan kompleksitas
stimulus yang diperhadapkan kepadanya menjadi sesuatu yang dapat dicerna dan
dikendalikan. Upaya nyata yang dapat
dilakukan konselor ialah memelihara transaksi agar motivasi, optimisme, dan
komitmen, terhadap standar hasil yang harus dicapai peserta didik tetap tumbuh
dan terpelihara; (3)
struktur penghargaan atau reward, yaitu
perangkat sumber dalam pengalaman belajar yang dapat memperkuat perkiraan bahwa
upaya yang dilakukan itu sebagai sesuatu yang akan memberikan pemuasan
kebutuhan. Esensi struktur ini terletak pada penilaian dan pemberian balikan
yang dapat memperkuat struktur kognitif dan perilaku baru. Upaya nyata yang
dapat dilakukan konselor ialah memberikan balikan sepanjang proses bimbingan
berlangsung, melakukan diagnosis dan mengidentifikasi kesulitan, dan
mengupayakan perbaikan serta penguatan perilaku baru.
Keenam,
tema sentral (Sunaryo Kartadinata, 1996) menjadi dasar riset dalam bimbingan
dan konseling. Riset bimbingan dan konseling dilakukan dalam sistem dan
berkenan dengan sistem itu sendiri, menyangkut semua variabel sistem. Variabel
itu ialah: (1) variabel input yang menyangkut unsur konseli, konselor, dan
situasi di mana bimbingan dan konseling terjadi; (2) variabel perantara atau
proses yang menyangkut jenis relasi, perlakuan dan kontrak perkembangan
(tugas-tugas perkembangan yang di sepakati untuk dikuasai); (3) varibel hasil
yang berkenaan dengan perubahan perilaku dan penguasaan tugas-tugas
perkembangan serta keberfungsian individu di dalam sistem. Bidang kajian riset
dalam bimbingan dan konseling meliputi ragam perilaku vokasional, perkembanagn
kognitif, proses belajar dan perubahan perilaku, komunikasi dan perilaku antara
pribadi, dan kondisi optimal keserasian pribadi-lingkungan. Keterkaitan
variabel sistem dan proses perilaku mengandung implikasi bahwa riset di dalam
bimbingan dan konseling tidak lagi terfokus pada variabel intrapsikis yang
menekankan studi deskriptif-korelasional, tetapi menekankan pada perkembangan
dan perbaikan sistem, melahirkan model yang dapat memberi kemudahan terjadinya
proses perilaku yang efektif, metode yang digunakan akan lebih efektif jika
ditekankan pada penelitian kaji tindak (action
research) atau penelitian dan pengembangan (R & D) dan tidak terbatas
pada studi deskriptif-korelasional. studi deskriptif-korelasional akan menjadi
dasar untuk mengembangkan atau memperbaiki model atau sistem.
Kerangka kerja bimbingan dan
konseling yang dibangun dengan berdasar pada prinsip-prinsip yang diuraikan
adalah kerangk kerja berbasis pengembangan lingkungan yang memandirikan.
Kerangka kerja ini mengandung sejumlah implikasi bagi konselor.(Sunaryo
Kartadinata,1996)
Pertama, konselor berada pada ikatan
bimbingan dan konseling indivdiual maupun kelompok dengan ragam proses perilaku
yang menyangkut pendidikan, karir, pribadi, pengambilan keputusan, keluarga,
dan kegiatan lain yang terkait dengan penyayaan pertumbuhan dan keefektifan
diri. Konselor dipersyaratkan menguasai pengetahuan tentang perkembangan
manusia dan ragam teknik asesmen perilaku dan lingkungan.
Kedua, konselor melakukan intervensi
yang terfokus pada pengembangan pencegahan maupun remidiasi; membantu individu
maupun kelompok untuk meningkatkan mutu lingkungan baik secara fisik, sosial,
maupun psikologis yang dapat memfasilitisi pertumbuha individu yang bekerja,
belajar, atau hidup didalamnya. Konselor dikehendaki memiliki kompetensi untuk
mengantisipasi sosok perkembangan individu yang diharapkan dan menguasai
kompetensi psikologis dan kompetensi pikiran (mindcompetence) untuk mengembangkan lingkungan yang memandirikan.
Konselor harus datang lebih awal ke dunia kehidupan (individu) masa depan.
Ketiga, konselor berperan dan berfungsi
sebagai seorang psychoeducator dengan perangkat kompetensi
psikopedagogisuntuk memfasilitasi indivdiu mencapai tingkat perkembangan yang
lebih tinggi. Konselor harus kompeten dalam hal memahami kompleksitas interaksi
individu dalam ragam konteks sosial dan budaya (cultural diversity competence) menguasai ragam bentuk intervensi
psikopedagogis baik inter maupun antarpribadi dan lintas budaya, menguasai
strategi asesmen lingkungan dalam kaitannyan dengan keberfungsian individu
dalam lingkungan, dan memahami proses perkembangan manusia.
Referensi :
Direktorat
Jendral Pendidikan Tinggi. (2007). Penataan
Pendidikan Profesional Konselor dan Penyelenggaraan Layanan Bimbingan dan Konseling
dalam Jalur Pendidika Formal.
Jakarta : Dirjen Dikti.
Nurikhsan, Juntika. (2003). Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling. Bandung : Mutiara.
Nurikhsan, Juntika. (2005). Strategi Layanan Bimbingan
dan Konseling. Bandung : Refika Aditama.
Suherman.
Uman. (2013). Manajemen Bimbingan dan Konseling.
Bandung: Rizqy Press.
Supriatna,
Mamat. (2011). Bimbingan dan Konseling
Berbasis Kompetensi : Orientasi Dasar Pengembangan Profesi Konselor. Edisi
Revisi. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar