Selasa, 17 September 2019

Kerangka Kerja BK


KERANGKA KERJA PERSONIL DALAM LAYANAN BIMBINGAN DAN KONSELING (BK)



Oleh:
Asep Rohiman Lesmana
imanlesmana382@gmail.com



Esensi bimbingan dan konseling terletak pada proses memfasilitasi perkembangan individu di dalam lingkungannya. Perkembangan terjadi melalui interaksi secara sehat antara individu dengan lingkungan, dan oleh karena itu upaya bimbingan da konseling tertuju kepada upaya membangun lingkungan perkembangan manusia  (ecology of human development) yang sehat. Menurut Blocher sebuah lingkungan perkembangan mengandung tiga komponen, yaitu: (1) struktur yang menggambarkan stimulasi yang disiapkan konselor untuk merangsang perkembangan perilaku konseli; (2) transaksi yang menggambarkan interaksi psikologis dan intervensi yang terjadi, dan (3) reward systems yang menggambarkan proses penguatan dan balikan terhadap perilaku baru. Kartadinata (2011:57).
Kerangka kerja bimbingan dan konseling merefleksikan konteks tugas dan ekspektasi kinerja konselor. Konteks tugas bimbingan dan konseling adalah kawasan layanan bantuan yang bertujuan memandirikan individu normal dan sehat dalam menavigasi perjalanan hidupnya melalui pengambilan keputusan tentang pendidikan termasuk yang terkait dengan keperluan untuk memilih, meraih serta mempertahankan karir untuk menwujudkan kehidupan yang produktif dan sejahtera, serta untuk menjadi warga masyarakat yang peduli kemasalahatan umum (the commod good) melalui pendidikan (Ditjen Dikti, 2007). Sedangkan ekspektasi kinerja merupakan kerangka berpikir dan bertindak dalam bingkai filosofik yang khas yang dibangunnya sendiri dengan mengintegrasikan apa yang diketahui dari hasil penelitian dan pendapat para ahli yang akan membentuk wawasan atau worldview yang selalu mewarnai cara seorang konselor melihat dirinya, melihat tugasnya, melihat konseli dengan kata  lain melihat dunianya yang selalu digerakkan oleh motif altruistik dalam arti selalu menggunakan penyikapan yang empatik, menghormati keragaman, serta mengedepankan kemaslahatan pengguna layanannya, yang dilakukan dengans selalu mencermati kemungkinan dampak jangka panjang dari tindak layanannya itu terhadap pengguna layanan, sehingga pengampu layanan ahli itu juga dinamakan “the savety practitioner” (Ditjen Dikti, 2007).
Mengacu kepada konteks tugas dan ekspektasi kinerja layanan bimbingan dan konseling, maka kerangka kerja bimbingan dan konseling sebagai upaya pedagogis dibangun atas prinsip-prinsip berikut.
Pertama, bahwa kepedulian utama pendidikan untuk mengembangkan aspek intelektual maupun pribadi, harus ditelakan pada proses pembelajaran (learning) alih-alih kepada proses belajar-mengajar (Kehas, Chir D. 1969). Prinsip ini mengandung implikasi bahwa fokus kegiatan pendidikan tidak lagi terletak sebatas kegiatan mengajar dengan mengutamakan peranan guru, melainkan secara sengaja dan terencana melibatkan berbagai profesi pendidik, termasuk konselor didalamnya, untuk menangani ragam aspek perkembangan, dimensi-dimensi belajar, dengan menggunakan pola relasi dan transaksi yang beragam pula. Mengajar dan bimbingan dan konseling (BK) adalah dua modus dasar relasi dengan peserta didik; dua modus yang bersifat komplementer dan bahkan kolaboratif. Pendidikan yang bersifat umum dan klasikal, yang dalam banyak hal lebih peduli terhadap belajar intelektual, perlu dilengkapi dengan strategi upaya yang secara sistematis dimaksudkan untuk membantu peserta didik mengembangkan pribadi, memperhalus dan menginternalisasi nilai-nilai yang diperoleh didalam pendidikan, serta mengembangkan keterampilan hidup. Strategi upaya yang dimaksud adalah layanan bimbingan dan konseling.
Kedua, misi utama bimbingan dan konseling adalah edukatif dan pengembangan. Edukatif, karena titik berat kepedulian bimbingan dan konseling terletak pada upaya menciptakan lingkungan perkembangan untuk memfasilitasi sukses dalam belajar. Pengembangan, karena titik sentral tujuan bimbingan dan konseling adalah perkembangan optimal dan strategi upaya pokoknya adalah memberi kemudahan berkembang bagi individu atau konseli melalui penciptaan lingkungan perkembangan sebagai lingkungan belajar. Misi edukatif dan pengembangan ini mengandung implikasi bahwa konselor perlu memiliki pemahaman antisipatif akan sosok pengembangan (merujuk pada konsep what should be) yang diharapkan dicapai oleh konseli. Sosok perkembangan yang diharapkan ini menjadi arah dan tonggak perkembangan (milestone) sebagai landasan untuk mengembangkan lingkungan perkembangan strategi upaya memfasilitasi perkembangan individu. Bimbingan dan konseling menjadi sebuah layanan proaktif dan fungsinya terfokus pada pencegahan, pengembangan, pemeliharaan, dan remidiatif. Kepedulian utama bimbingan dan konseling bukanlah pada masalah melainkan pada pribadi setiap individu dan liputan “kurikulum”-nya adalah seluruh aspek perkembangan dan kehidupan individu (peserta didik).
Ketiga, bimbingan dan konseling memfasilitasi peserta didik untuk mempelajari dan mengembangkan perilaku jangka panjang melalui interaksi dan transaksi yang sehat antara peserta didik dengan lingkungannya. Strategi upaya dasar yang dilakukan adalah menciptakan ekologi perkembangan lingkungan manusia sebagai lingkungan yang memberi kesempatan dan kemudahan kepada individu peserta didik untuk belajar dan berkembang sebagai manusia. Ekologi perkembangan adalah sebuah lingkungan belajar; suatu wahana mendeskripsikan, menjelaskan, meramalkan, dan mengendalikan interaksi dan transaksi dinamik antara individu peserta didik dengan lingkungan dan segala perlengkapannya yang harus dipelihara dijaga keberlanjutanya. Hakikat proses bimbingan dan konseling terletak pada keterkaitan antara lingkungan belajar dengan perkembangan individu peserta didik, dan konselor berperan sebagai fasilitator dan perekayasa lingkungan (environmental enginer). Lingkungan belajar adalah lingkungan terstruktur, sengaja dirancang dan dikembangkan untuk memberi peluang kepada individu peserta didik mempelajari perilaku-perilaku baru, menstrukturkan dan membentuk peluang, ekspektasi, dan persepsi, yang mungkin sejalan atau mungkin juga tidak sejalan dengan kebutuhan dan motif dasar peserta didik.
Keempat, strategi upaya bimbingan dan konseling berfokus pada tiga tema, yaitu: (1) tujuan terfokus pada memberikan kemudahan berkembang bagi individu, harus mengandung kejelasan arah dan aspek yang dikembangkan yang bertolak dari landasan filosofis tentang kondisi eksistensial manusia; (2) fokus intervensi terletak pada sistem atau subsistem, dalam hal mana konselor bertindak sebagai psychoeducator yang aktif terlibat di dalam membantu sistem untuk berfungsi secara efektif melalui pengembangan relasi dan transaksi, dan mendorong perkembangan individu ke tingkat yang lebih tinggi, dan (3) keserasian pribadi-lingkungan menjadi dinamika sentral keberfungsian individu, mengandung makna bahwa didalam transaksi individu dengan lingkungannya terjadi proses perkembangan, perubahan, perbaikan dan penyesuaian perilaku yang terarah kepada pengembangan kemampuan mengendalikan proses sistem yang cukup kompleks.  Kemampuan individu melakukan pengarahan diri (self-direction), pengaturan diri (self-regulation), dan pembaharuan diri (self-renewal), adalah perilaku-perilaku yang harus dikembangkan melalui bimbingan dan konseling untuk keserasian pribadi-lingkungan secara dinamis.
Kelima, lingkungan perkembangan harus dikembangkan sebagai satu keutuhan yang dikontruksi ke dalam: (Blocher,1974: Sunaryo Kartadinata, 1996): (1) struktur peluang yang diwujudkan dalam bentuk perangkat tugas, atau masalah, atau situasi, yang memungkinkan konseli atau peserta didik mempelajari berbagai kecakapan hidup baik inter maupun antar pribadi, kecakapan menguasai dan mengendalikan pola respon. Tugas, atau masalah, atau situasi, yang terkandung dalam struktur peluang pada hakikatnya ialah sitimulus yang diperhadapkan kepada peserta didik dalam ragam tingkat tertentu. Tindakan konkrit yang dapat dilakukan konselor ialah merancang dan memilih bahan, topik atau tema bimbingan yang sesuai dengan misi dan fungsi, dan dengan memperhatikan segi kebutuhan dan ekspektasi peserta didik serta faktor-faktor kontekstual dan unsur kebaruan (novelty) dari bahan, sebagai stimulus, yang disajikan; (2) struktur dukungan, yaitu perangkat sumber (resources) yang dapat diperoleh peserta didik di dalam mengembangkan perilaku baru untuk merespon ragam tingkat stimulus. Perangkat sumber ialah relasi jaringan kerja, sebagai nuansa afektif, dan keterlibatan peserta didik di dalam relasi itu. Lingkungan belajar dimaksud menjadi wahana pengembangan struktur kognitif peserta didik untuk melakukan pemahaman, estimasi, dan prediksi, sehingga kebercabangan dan kompleksitas stimulus yang diperhadapkan kepadanya menjadi sesuatu yang dapat dicerna dan dikendalikan.  Upaya nyata yang dapat dilakukan konselor ialah memelihara transaksi agar motivasi, optimisme, dan komitmen, terhadap standar hasil yang harus dicapai peserta didik tetap tumbuh dan terpelihara; (3) struktur penghargaan atau reward, yaitu perangkat sumber dalam pengalaman belajar yang dapat memperkuat perkiraan bahwa upaya yang dilakukan itu sebagai sesuatu yang akan memberikan pemuasan kebutuhan. Esensi struktur ini terletak pada penilaian dan pemberian balikan yang dapat memperkuat struktur kognitif dan perilaku baru. Upaya nyata yang dapat dilakukan konselor ialah memberikan balikan sepanjang proses bimbingan berlangsung, melakukan diagnosis dan mengidentifikasi kesulitan, dan mengupayakan perbaikan serta penguatan perilaku baru.
            Keenam, tema sentral (Sunaryo Kartadinata, 1996) menjadi dasar riset dalam bimbingan dan konseling. Riset bimbingan dan konseling dilakukan dalam sistem dan berkenan dengan sistem itu sendiri, menyangkut semua variabel sistem. Variabel itu ialah: (1) variabel input yang menyangkut unsur konseli, konselor, dan situasi di mana bimbingan dan konseling terjadi; (2) variabel perantara atau proses yang menyangkut jenis relasi, perlakuan dan kontrak perkembangan (tugas-tugas perkembangan yang di sepakati untuk dikuasai); (3) varibel hasil yang berkenaan dengan perubahan perilaku dan penguasaan tugas-tugas perkembangan serta keberfungsian individu di dalam sistem. Bidang kajian riset dalam bimbingan dan konseling meliputi ragam perilaku vokasional, perkembanagn kognitif, proses belajar dan perubahan perilaku, komunikasi dan perilaku antara pribadi, dan kondisi optimal keserasian pribadi-lingkungan. Keterkaitan variabel sistem dan proses perilaku mengandung implikasi bahwa riset di dalam bimbingan dan konseling tidak lagi terfokus pada variabel intrapsikis yang menekankan studi deskriptif-korelasional, tetapi menekankan pada perkembangan dan perbaikan sistem, melahirkan model yang dapat memberi kemudahan terjadinya proses perilaku yang efektif, metode yang digunakan akan lebih efektif jika ditekankan pada penelitian kaji tindak (action research) atau penelitian dan pengembangan (R & D) dan tidak terbatas pada studi deskriptif-korelasional. studi deskriptif-korelasional akan menjadi dasar untuk mengembangkan atau memperbaiki model atau sistem.
Kerangka kerja bimbingan dan konseling yang dibangun dengan berdasar pada prinsip-prinsip yang diuraikan adalah kerangk kerja berbasis pengembangan lingkungan yang memandirikan. Kerangka kerja ini mengandung sejumlah implikasi bagi konselor.(Sunaryo Kartadinata,1996)
Pertama, konselor berada pada ikatan bimbingan dan konseling indivdiual maupun kelompok dengan ragam proses perilaku yang menyangkut pendidikan, karir, pribadi, pengambilan keputusan, keluarga, dan kegiatan lain yang terkait dengan penyayaan pertumbuhan dan keefektifan diri. Konselor dipersyaratkan menguasai pengetahuan tentang perkembangan manusia dan ragam teknik asesmen perilaku dan lingkungan.
Kedua, konselor melakukan intervensi yang terfokus pada pengembangan pencegahan maupun remidiasi; membantu individu maupun kelompok untuk meningkatkan mutu lingkungan baik secara fisik, sosial, maupun psikologis yang dapat memfasilitisi pertumbuha individu yang bekerja, belajar, atau hidup didalamnya. Konselor dikehendaki memiliki kompetensi untuk mengantisipasi sosok perkembangan individu yang diharapkan dan menguasai kompetensi psikologis dan kompetensi pikiran (mindcompetence) untuk mengembangkan lingkungan yang memandirikan. Konselor harus datang lebih awal ke dunia kehidupan (individu) masa depan.
Ketiga, konselor berperan dan berfungsi sebagai seorang psychoeducator  dengan perangkat kompetensi psikopedagogisuntuk memfasilitasi indivdiu mencapai tingkat perkembangan yang lebih tinggi. Konselor harus kompeten dalam hal memahami kompleksitas interaksi individu dalam ragam konteks sosial dan budaya (cultural diversity competence) menguasai ragam bentuk intervensi psikopedagogis baik inter maupun antarpribadi dan lintas budaya, menguasai strategi asesmen lingkungan dalam kaitannyan dengan keberfungsian individu dalam lingkungan, dan memahami proses perkembangan manusia.


Referensi :

Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. (2007). Penataan Pendidikan Profesional Konselor dan Penyelenggaraan Layanan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidika  Formal. Jakarta : Dirjen Dikti.

Nurikhsan, Juntika. (2003). Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling. Bandung : Mutiara.

Nurikhsan, Juntika. (2005). Strategi Layanan Bimbingan dan Konseling. Bandung : Refika Aditama.

Suherman. Uman. (2013).  Manajemen Bimbingan dan Konseling. Bandung: Rizqy Press.

Supriatna, Mamat. (2011). Bimbingan dan Konseling Berbasis Kompetensi : Orientasi Dasar Pengembangan Profesi Konselor. Edisi Revisi. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Penguatan Integrasi Pendidikan

PENGUATAN INTEGRASI PENDIDIKAN DALAM ERA DISUPSI Oleh :  Asep Rohiman Lesmana, M.Pd. Pendidikan merupakan suatu entitas yang s...