Selasa, 17 September 2019

Literature Review


PERKEMBANGAN STATUS IDENTITAS :
Literature Review

Oleh :
Asep Rohiman Lesmana
imanlesmana382@gmail.com

1.     Makna Identitas
            Dengan terciptanya paradigma status identitas oleh Marcia pada pertengahan tahun 1960-an, minat para peneliti terhadap isu pembentukan identitas pada masa remaja dan sesudahnya semakin meningkat. Demikian produktifnya penelitian tentang hal tersebut, hingga kini telah dihasilkan lebih dari 300 karya penelitian (Marcia dalam Marcia et.al., 1993: 22).
            Dalam upaya memahami hakekat identitas, Marcia mengusulkan cara baru yang berbeda dengan pandangan umum sebelumnya. Ia mengartikan identitas sebagai suatu self-structure atau sesuatu yang internal, tersusun dengan sendirinya, organisasi dinamik drives, abilitas, keyakinan, dan riwayat individu (Marcia dalam Andelson, 1980: 159). Apabila struktur diri itu berkembang dengan baik maka remaja akan lebih menyadari keunikan dan kesamaan dirinya dengan orang lain serta menyadari kekuatan dan kelemahannya dalam menempuh kehidupan. Sebaliknya, apabila struktur tersebut kurang berkembang,  maka remaja akan kebingungan melihat  perbedaan dirinya dengan orang lain dan dalam menentukan rujukan untuk evaluasi diri ia akan lebih mengandalkan sumber eksternal. Sebagai konsekuensinya, remaja akan lebih tergantung kepada lingkungan dan cenderung kehilangan pemahaman mengenai eksistensi diri. Struktur identitas yang berkembang dengan baik adalah fleksibel: terbuka atas perubahan dalam masyarakat dan perubahan hubungan dengan orang lain. Keterbukaan ini memungkinkan reorganisasi konten identitas yang dicapai sepanjang kehidupan seseorang kendati prosesnya tetap sama yakni semakin kuat manakala terjadi krisis.

2.     Pembentukan Status Identitas dan Pengukurannya
            Pencapaian status identitas idealnya ditempuh remaja dengan cara penetapan komitmen setelah melalui eksplorasi terhadap berbagai alternatif yang ada. Komitmen merupakan kulminasi dari proses eksplorasi (Marcia dalam Archer, 1994: 17). Dalam kenyataannya, karena beragam alasan, resolusi krisis identitas seperti itu tidak selalu dapat ditempuh dengan mudah oleh setiap remaja. Sehubungan dengan hal itu, ada empat gaya yang mungkin ditampilkan remaja dalam melakukan resolusi masalah identitas berdasarkan pada ada-tiadanya  eksplorasi dan komitmen, yaitu Identity Achievement, Moratorium, Identity Foreclosure, dan Identity Diffusion. Keempat gaya resolusi masalah identitas itu disebut status identitas (Marcia dalam Adelson, 1980: 161). Status identitas tersebut dapat dimaknai bukan sekedar sebagai suatu kategori melainkan dapat juga  menunjukkan tingkatan perkembangan (Waterman dalam Marcia et al, 1993: 174)
Mengingat bahwa dalam praktek pengukuran eksplorasi dan komitmen itu kecil memungkinan ditemukan individu yang sama sekali tidak memiliki skor aksplorasi atau sama sekali tidak memiliki skor komitmen, maka Orlofsky et al. (1977) sebagaimana dikutip Matteson dalam Marcia et al. (1993: 106)  mengusulkan strategi baru untuk menentukan status identitas. Status identitas tidak mereka tentukan berdasarkan ada-tiadanya eksplorasi dan komitmen melainkan memperhalusnya dengan menyebut tinggi-rendahnya eksplorasi dan komitmen.  Cara ini telah diaplikasikan dalam penelitian oleh Spence & Helmreich (1978), Tesch (1984), dan Grotevant et al. (1982) dengan hasil yang gemilang.
Merujuk kepada usulan Orlofsky et al. (1977) itu, maka kriteria status identitas yang dikembangkan oleh Marcia (Steinberg, 1993: 274) berdasarkan ada-tiadanya eksplorasi dan komitmen,  dalam penelitian ini dimodifikasi menjadi seperti tampak dalam  bagan   berikut:


Commitment


Low
High
Exploration
High
Moratorium
Identity Achievement
Low
Identity Diffusion
Identity  Foreclosure

Bagan 1. Model Kategori  Status Identitas menurut Marcia

Menurut Marcia et al. (1993: 206–211) proses eksplorasi dalam rangka pembentukan status identitas pada remaja akhir,  ditandai oleh      sejauhmanakah  remaja melakukan penjajagan terhadap berbagai hal yang berkenaan dengan domain topik identitas sebagaimana direfleksikan oleh keluasan dan  kedalaman aspek: (1) knowledgeability, (2) activity directed toward gathering information, (3) considering  alternative potential identity elements, (4) desire to make an early decision. Sedangkan tingkat komitmen ditunjukkan oleh sejauh mana keteguhan pendirian remaja itu terhadap domain topik identitas  sebagaimana direfleksikan oleh keluasan dan kedalaman aspek: (1) knowledgeability, (2) activity directed  toward  implementing   the  chosen  identity element, (3) emotional tone, (4) identification with significant other, (5) projecting one’s personal future, dan (6)  resistance to being swayed.

3.     Vokasional sebagai Domain Identitas
Domain yang menjadi topik pengkajian status identitas, semula Marcia (1964) mengelompokkannya ke dalam tiga domain, yaitu vocational choice, religious beliefs, dan political ideology.  Namun sejalan dengan pesatnya perkembangan penelitian identitas, domain itu pun terus berkembang. Berdasarkan identifikasi Waterman (Marcia, et.al., 1993: 157) diketahui ada lima core domains dan enam supplemental domains sebagai bahan topik kajian identitas. Kelima core domains itu adalah vocational choice (Marcia, 1964), religious beliefs (Marcia,1964), political ideology (Marcia, 1964), gender-role attitude (Matteson, 1964), dan beleifs about sexual expression (Schenkel & Marcia, 1974). Sedangkan yang termasuk ke dalam supplemental domains adalah avocational interests (Meilman, 1979), relationships with friends (Grotevat & Cooper, 1985), relationship with dates (Grotevant & Cooper, 1985), role of spouse (Archer, 1981), role of parent (Archer, 1981), dan priorities assigned to family and career goals (Marcia & Friedeman, 1970; Waterman, 1980). Dari sekian banyak domain tersebut, identitas vokasional merupakan bagian yang paling penting dari keseluruhan identitas seseorang (Mussen, et  al., 1990: 648).
Identitas merupakan proses dan produk bersama serta sekaligus mempresentasikan interseksi  antara individu dengan masyarakat. Josselson (Archer, ed., 1994: 12-13) mengemukakan sebagai berikut:
  Identity is both process and product. It is an unfolding bridge linking individual and society, chilhood and adulthood. To understand identity then, we must be able to think about its basis in the individual and its expression in social existence, its roots in early development  and its realization in adult purpose. Because indentity forms the foundation of adult life, as a society we have large stake in seeing that this takes place as optimally as possible.
Uraian di atas mengandung isyarat bahwa optimasi pembentukan identitas pada remaja perlu dipahami melalui dinamika internal individu remaja dan organisasi sosial di mana mereka berada. Lebih jelas diungkapkan oleh Kroger (1996: 46) bahwa  identitas sebagaimana dikonseptualisasikan oleh Erikson, merupakan konstruk psikososial yang dapat dipahami hanya melalui interaksi dari kebutuhan-kebutuhan biologis, organisasi ego, dan konteks sosial. Oleh karena itu, topik penelitian tentang isu identitas dapat difokuskan kepada faktor-faktor tersebut.

4.     Arah Baru Penelitian Identitas
Topik penelitian  status identitas yang telah dilakukan selama ini,  pada  umumnya  terkait  dengan  empat   hal,   yaitu: (1)  karakteristik kepribadian individu dan gaya interaksi pada  status identitas  yang berbeda; (2) aspek-aspek perkembangan identitas; (3) perbedaan gender dan peran seks; serta (4) studi lintas budaya (Marcia, et. al. 1993: 26-33; Marcia dalam Adelson, 1980: 162-166). Khusus mengenai karakteristik kepribadian, di dalamnya  mencakup:  karakteristik umum kepribadian,  seperti kecemasan dan self esteem; independensi terhadap tekanan eksternal, seperti lokus kontrol dan autonomi; perkembangan ego; gaya dan performansi  kognitif; serta perkembangan berpikir formal operasional yang di dalamnya mencakup perkembangan pertimbangan moral  (Marcia dalam Marcia et al, 1993: 22-30). Tanpa mengabaikan pentingnya faktor korelat yang lain dalam pembentukan status identitas yang tinggi pada remaja, penelitian seyogianya memfokuskan kajian pada dua variabel karakteristik kepribadian yaitu pertimbangan moral dan tingkat perkembangan ego. Alasannya adalah karena secara teoretik  keduanya merupakan kondisi yang  sangat diperlukan dalam pembentukan dan resolusi identitas   namun bukti  empirik masih  menunjukkan silang pendapat sehingga dipandang perlu penelaahan lebih lanjut.

5.     Peranan Pertimbangan Moral dan Kematangan Ego dalam Pembentukan Identitas Vokasional
Perkembangan identitas berkaitan erat dengan pertimbangan moral. Dalam konsep Kohlberg (1984) dan  Rest (1984),  pertimbangan moral mengandung makna kemampuan  menimbang alternatif keputusan dan menentukan kemungkinan arah tindakan yang harus dilakukan dalam menghadapi berbagai situasi berdasarkan prinsip keadilan dengan bereferensi kepada sistem nilai tertentu yang diterima secara sosial oleh masyarakat. Selain itu, makna pertimbangan moral juga mengacu kepada kekuatan moralitas untuk hidup bersama atas dasar keragaman dan kesamaan, bersikap empatik terhadap orang lain, serta mempertimbangkan konsekuensi keputusan tindakan yang dipilih atas dasar sistem nilai. Kerangka rujukan individu untuk  menimbang adalah nilai rujukan yang dia hayati atau dia persepsikan. Perbedaan proses menimbang akan terletak dalam orientasi dan kesadaran nilai serta kehendak untuk berbuat baik dan benar. Tegasnya, pertimbangan moral merupakan kemampuan menyelesaikan konflik antara kepentingan pribadi dengan orang lain  dan antara hak dengan kewajiban (Kusdwiratri Setiono, 1993: 49). Kemampuan yang demikian, sangat diperlukan dalam resolusi identitas karena  eksplorasi dan komitmen sebagai proses resolusi identitas, pada hakekatnya merupakan proses memilih dan mengambil keputusan atas  sejumlah alternatif yang tersedia dengan tidak menimbulkan konflik antara kepentingan pribadi dengan kepentingan lingkungan.
Kohlberg selanjutnya membagi perkembangan pertimbangan moral ke dalam tiga tingkatan dan masing-masing tingkatan terbagi atas dua tahap. Ketiga tingkatan itu adalah sebagai berikut: Pertama, tingkat konvensional awal, yang terarah kepada: (1) orientasi kewajiban dan hukuman serta  (2) orientasi egoistik-instrumental. Kedua,  tingkat konvensional, terarah kepada:  (3) orientasi  konformitas,  dan (4) orientasi memelihara kekuasaan dan tatanan sosial. Ketiga, tahap pascakonvensional, terarah kepada:  (5) orientasi kontrak legal, dan (6) orientasi kata hati atau prinsip.
Perkembangan pertimbangan moral paralel dengan dan merupakan refleksi dari perkembangan kognitif. Kemungkinan bahwa pencapaian pemikiran formal operasional sebagai kondisi penting untuk dan penyerta dari resolusi identitas telah diusulkan oleh Chamdler  (1987); Erikson (1952); Marcia (1980); Kohlberg and Gilligan (1972). Selanjutnya, mereka menyatakan bahwa “… the relativistic questioning of conventional morality and conventional reality associated with logical and moral stage development is also central to the adolescent’s identity concerns”  (Marcia et al, 1993: 28).
Kohlberg (Kroger, 1993: 84) mengkonseptualisasikan pertimbangan moral sebagai “one subdominant of ego function evolving alongside other (for example cognition) in the course of identity development.”  Lebih lanjut diungkapkan bahwa sebagai salah satu sub domain dari fungsi ego, pertimbangan moral merupakan “a necessary but not sufficient condition” untuk perkembangan identitas. Alasannya adalah karena  proses pengambilan keputusan dalam pertimbangan moral adalah keputusan intelektual. Keputusan intelektual ini tidak selalu konsisten dengan tindakan nyata karena dalam proses menimbang bisa terarah kepada pertimbangan deontik dan pertimbangan tanggung jawab yang oleh Frankena disebut pertimbangan aretaic (Kohlberg and Cande, 1984).
Pertimbangan deontik adalah pertimbangan yang memutuskan bahwa suatu tindakan itu benar. Dasar timbangan ini adalah aturan atau prinsip. Persoalan pokok pertimbangan deontik adalah: "Apakah tindakan itu benar untuk dilakukan?” Sementara itu, pertimbangan tanggung jawab atau aretaic ialah pertimbangan yang melibatkan unsur baik, buruk, atau tercela secara moral. Persoalan  pokok timbangan tanggung jawab adalah: “Mengapa saya harus melakukan itu?” pertimbangan tanggung jawab ini memiliki fungsi follow through sehingga terjadi konsistensi antara pertimbangan keputusan dengan tindakan nyata. Lebih lanjut dapat dijelaskan bahwa model hubungan antara pertimbangan moral dengan tindakan nyata dapat digambarkan sebagai hubungan yang diperantarai oleh dua pertimbangan sela, yaitu pertimbangan deontik dan timbangan tanggung jawab. Dalam timbangan tanggung jawab, sebagai fungsi follow through, tingkat perkembangan ego yang dimanifestasikan dalam kekuatan ego merupakan ujung tombak dari pertimbangan keputusan menuju tindakan nyata. Dengan demikian, agar keputusan kognitif (deontic dan aretaic) itu konsisten dengan tindakan nyata, maka perlu ada tindak lanjut dari kekuatan ego -- sebagai manifestasi tingkat perkembangan ego, dengan cara mengkoordinasikan keterampilan-keterampilan nonmoral sehingga menjadi jembatan penghantar pertimbangan moral kepada tindakan nyata  (Rest dalam Kurtines and Gerwiz, 1984: 52). Tampak bahwa tingkat perkembangan ego merupakan variabel yang menjembatani pertimbangan keputusan dengan pertimbangan nyata, sebagai kekuatan motivasional bertindak dan berkenaan dengan tanggung jawab.
Loevinger (Kroger, 1993: 113) memandang ego tidak sekedar memiliki serangkaian fungsi seperti reality testing dan pengendalian impuls melainkan merupakan: “master trait of personality, the frame around which the tent-like canvas of personality is streched, the basis of identity”.   Bahkan menurut pandangan    Adams and Fitch   (Marcia et al.,   1993: 26)    tingkat perkembangan ego merupakan  suatu kondisi penting untuk pembentukan identitas dan  keberhasilan dalam resolusi identitas tersebut akan berkontribusi pula terhadap perkembangan ego berikutnya
            Berdasarkan simpulan Josselson (1980) yang ditarik dari hasil kerja Hartmann dan Erikson, disamping mempunyai fungsi penangkis, ego juga memiliki dua tugas tambahan, yaitu: (1) mengkonsolidasikan otonomi melalui individuasi dan internalisasi, dan (2) memadukan identitas. Selain itu, menurut Erikson,  ego juga merupakan motivasi  internal bagi proses pembentukan identitas (Cremmers, 1989: 183). Sebagai daya penggerak internal dalam rangka pembentukan identitas, ego memiliki kapasitas untuk memilih serta mengintegrasikan bakat, kemampuan, dan keterampilan baik untuk keperluan identifikasi dengan orang lain yang sependapat, melakukan adaptasi dengan lingkungan sosial, maupun  menjaga pertahanannya terhadap berbagai ancaman dan kecemasan. Semua itu dapat dilakukan  karena ego mampu memutuskan impuls dan kebutuhan, serta memilih peran  yang paling cocok dan efektif. Semua ciri yang dipilih ego itu kemudian dihimpun dan diintegrasikan sehingga  membentuk identitas psikososial seseorang.
Dalam pengertian Loevinger, sebagai master traits of personality, ego merupakan penentu pola respon individu terhadap situasi yang melibatkan berbagai aspek kepribadian, seperti:  moral, kompleksitas kognitif, dan relasi interpersonal (Kroger, 1996: 113). Lebih lanjut ditegaskan bahwa pada tingkatan yang paling umum, perkembangan ego merujuk kepada framework of meaning yang secara subjektif akan masuk ke dalam dunia pengalaman seseorang.
Dalam perkembangan ego tersebut, terkandung makna kontinum dan struktural. Sifat kontinum dalam perkembangan ego menunjukkan bahwa dalam perkembangan itu  terjadi dinamika transisi dari tingkat yang satu ke tingkat berikutnya. Perubahan secara sekuensial itu terjadi dalam hal perubahan struktur makna dan karakter. Sementara itu, konsep struktur mengacu kepada bagaimana individu berinteraksi dengan lingkungannya, yaitu dengan cara memilih apa yang hendak direspons dan respons mana yang bisa mengakomodasikan berbagai tuntutan lingkungan. Perkembangan pada hakekatnya tiada lain adalah proses memperoleh struktur baru.
            Selanjutnya, Loevinger (Kroger, 1996: 119-128) membagi perkembangan ego ke dalam sembilan tingkat perkembangan, termasuk tiga tingkat transisi. Dua tingkat pertama, yaitu prasosial dan simbiotik, merupakan tingkat di mana individu belum mampu membedakan diri dari lingkungannya sehingga sulit dijangkau oleh penelitian. Begitu pula tingkat terakhir, yaitu integrasi merupakan tingkat yang jarang dicapai oleh kebanyakan orang, sehingga tingkat ini pun sulit untuk diteliti. Atas dasar pemikiran tersebut, tingkat perkembangan ego dalam penelitian ini dibagi ke dalam enam tingkat, yaitu: impulsif dan melindungi diri, konformitas, sadar diri, seksama,   individualistik,  serta  mandiri.
            Menurut Loevinger (Kroger, 1996: 116) dan Pinedo (Wisnubrata Hendrojuwono, 1990: 83-84) setiap tahap utama dan subtahap  perkembangan ego Loevinger, menggambarkan suatu ruang dan waktu tempat individu berhenti dalam proses perkembangannya. Suatu tahap menggambarkan cara individu memandang dan menghadapi dunianya.  Individu pada tahap yang berlainan mempunyai perbedaan fungsi berikut: (1) perbedaan  kognitif, yaitu bagaimana individu memikirkan dan memahami situasi (gaya kognitif); (2) perbedaan proses, yaitu bagaimana individu menyatakan emosinya dan berhubungan satu sama lain (pengembangan karakter dan  hubungan antar pribadi); (3) perbedaan sistem, yaitu bagaimana individu berfungsi, menghadapi dunianya, dan memelihara rasa diri yang utuh (kebutuhan pencurahan perhatian). Skema tingkat perkembangan ego Loevinger tersebut, tidak merumuskan perubahan-perubahan usia khusus dalam tahap ego melainkan berdasarkan kepada timbulnya ego.
            Merujuk kepada uraian di atas, maka sebagai landasan untuk mengkaji masalah penelitian ini dirumuskan teori-mini bahwa gaya resolusi  identitas vokasional yang ditempuh melalui proses eksplorasi dan komitmen tentang vokasional, di dalamnya melibatkan kemampuan mengambil keputusan. Jenis keputusan yang dipilih, baik yang berkenaan dengan mempertimbangkan alternatif pilihan maupun arah tindakan, tentunya yang menguntungkan bagi diri sendiri dan orang lain sehingga secara moral diterima oleh masyarakat. Oleh karena itu, sebagai pijakan dalam pengambilan keputusan, pertimbangan moral prinsip yang bersifat universal  sangat diperlukan.
            Pertimbangan moral merupakan keputusan  kognitif sehingga mungkin  tidak konsisten dengan tindakan nyata. Oleh karena itu, meskipun pertimbangan moral merupakan kondisi yang sangat diperlukan namun belum cukup untuk melakukan resolusi identitas. Mengambil keputusan serta mengimplementasikan suatu rencana kegiatan dalam resolusi identitas yang ideal, mencakup persoalan memperkirakan urutan langkah-langkah atau tindakan konkrit yang harus diambil, memperkirakan bagaimana mengatasi hambatan serta kesulitan yang tidak terduga, menghindarkan rasa jemu dan frustrasi, menolak penyimpangan dan berbagai bujukan, serta tidak melepaskan diri dari wawasan dan tujuan. Semua itu merujuk kepada makna yang oleh para psikolog (Rest dalam Kurtines and Gerwiz, 1993) disebut tingkat perkembangan ego yang akan dimanifestasikan dalam kekuatan ego (ego strength). Sebagai  refleksi dari perkembangan ego, kekuatan ego merupakan  kekuatan nonmoral yang menghantarkan dan memperantarai keputusan kognitif (deontik dan aretaic) itu terealisasi dalam tindakan nyata. Dengan demikian,  penalaran moral yang matang apabila dipadukan dengan kekuatan ego yang mantap -- sebagai manifestasi tingkat perkembangan ego, akan mendukung resolusi identitas yang memadai.

6.     Daftar  Pustaka

Adelson, K. (ed).)(1980) Handbook of Adolescent Psychology. New York: John Wiley.
Andersen, S.M. (1993). “Future Event Scheme and Certainty about the Future: Authomaticity in Depressives’ Future Even Prediction, Journal of Personality and Social Psichology, 63, 711-713.
Archer, S.L. (ed)(1994). Interventions for Adolescent Identity Development. London : Sage.
Conger., J.J.(1977).  Adolescence and Youth. New York : Helper & Row.
Cremers, A. (1989).  Identitas dan Siklus Hidup Manusia. Jakarta: Gramedia.
Herr, E.L. & Crammers, S.H. (1986). Career Guidance and Counseling Through the Life Span: Systematic Approach. Boston: Litle, Brown Company.
Kohlberg, L. and Cande, D. (1984). The Relationship of Moral Judgement to Moral Action. dalam Kurtinus, W.M. & Gewirtz, J.L. (Ed). 1984. Morality, Moral Behavior, and Moral Development. New York: John Wiley & Sons, 52  - 73.
Kroger, J. (1996).  Identity in Adolescence: The  Balance Between Self  and Other 2nd ed, London & New York: Routledge.
Kusdwiratri Setiono. (1993).  “Perkembangan Penalaran Moral: Tinjauan dari Teori  Sosiokognitif”, Jurnal Psikologi dan Masyarakat, Jakarta: Gramedia,  45-54.
Lerner, R.M., & Hultsch, D.T. (1983).  Human Development: A Life Span Perspective, New York: McGraw-Hill.
Loevinger, J., (1964). “The Meaning and Measurement of Ego Development”.  American Psycologist, 195 – 206.
Loevinger, J., (1979). ”Stage of Ego Development” dalam Mosher Ralph L. (Ed.), 1979, Adolecence Development and Education. Berkeley: McCutchan Publishing Co. 110 – 122.
Marcia, J.E. et al., (1993), Ego Identity, A Handbook for Psychososial Research,  New  York: Springer-Verlag.
Mussen,  P.H., et al., (1990). Child Development and Personality, New York: Harper Collins Publisher.
Santrock, J.W. (1985). Adult Development and Aging. Iowa: Wm. C. Brown.
Santrock, J.W. (1997). Life-Span Development, Dubuque USA: Brown and Benchmark.
Sunaryo Kartadinata. (1988). “Profil Kemandirian dan Orientasi Timbangan Sosial Mahasiswa Serta Kaitannya dengan Perilaku Empatik dan Orientasi Nilai Rujukan. Disertasi. Bandung:  Program Pascasarjana  IKIP Bandung.
Sunaryo Kartadinata. (1996). Kerangka Kerja Bimbingan Pendidikan: Pendekatan Ekologis sebagai Alternatif. Pidato Pengukuhan jabatan Guru Besar Tetap pada Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan FIP IKIP Bandung.
Steinberg, L. (1993). Adolescence, New York: McGraw-Hill.
Wisnubrata Hendrojuwono. (1990). “Pengaruh Experiential Learning terhadap Peningkatan Ketahanan Ego dan Kontrol Ego Remaja,”  Disertasi, Program Pascasarjana, Universitas Padjadjaran Bandung.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Penguatan Integrasi Pendidikan

PENGUATAN INTEGRASI PENDIDIKAN DALAM ERA DISUPSI Oleh :  Asep Rohiman Lesmana, M.Pd. Pendidikan merupakan suatu entitas yang s...