PERKEMBANGAN STATUS IDENTITAS :
Literature Review
Oleh :
Asep Rohiman Lesmana
imanlesmana382@gmail.com
1.
Makna Identitas
Dengan terciptanya paradigma status identitas oleh Marcia pada pertengahan
tahun 1960-an, minat para peneliti terhadap isu pembentukan identitas pada masa
remaja dan sesudahnya semakin meningkat. Demikian produktifnya penelitian
tentang hal tersebut, hingga kini telah dihasilkan lebih dari 300 karya
penelitian (Marcia dalam Marcia et.al.,
1993: 22).
Dalam
upaya memahami hakekat identitas, Marcia mengusulkan cara baru yang berbeda
dengan pandangan umum sebelumnya. Ia mengartikan identitas sebagai suatu self-structure atau sesuatu yang internal, tersusun dengan
sendirinya, organisasi dinamik drives, abilitas, keyakinan, dan riwayat
individu (Marcia dalam Andelson, 1980: 159). Apabila struktur diri itu
berkembang dengan baik maka remaja akan lebih menyadari keunikan dan kesamaan
dirinya dengan orang lain serta menyadari kekuatan dan kelemahannya dalam
menempuh kehidupan. Sebaliknya, apabila struktur tersebut kurang
berkembang, maka remaja akan kebingungan
melihat perbedaan dirinya dengan orang
lain dan dalam menentukan rujukan untuk evaluasi diri ia akan lebih
mengandalkan sumber eksternal. Sebagai konsekuensinya, remaja akan lebih
tergantung kepada lingkungan dan cenderung kehilangan pemahaman mengenai
eksistensi diri. Struktur identitas yang berkembang dengan baik adalah
fleksibel: terbuka atas perubahan dalam masyarakat dan perubahan hubungan
dengan orang lain. Keterbukaan ini memungkinkan reorganisasi konten identitas
yang dicapai sepanjang kehidupan seseorang kendati prosesnya tetap sama yakni
semakin kuat manakala terjadi krisis.
2.
Pembentukan Status Identitas dan Pengukurannya
Pencapaian status identitas idealnya
ditempuh remaja dengan cara penetapan komitmen setelah melalui eksplorasi
terhadap berbagai alternatif yang ada. Komitmen merupakan kulminasi dari proses
eksplorasi (Marcia dalam Archer, 1994: 17). Dalam kenyataannya, karena beragam
alasan, resolusi krisis identitas seperti itu tidak selalu dapat ditempuh
dengan mudah oleh setiap remaja. Sehubungan dengan hal itu, ada empat gaya yang
mungkin ditampilkan remaja dalam melakukan resolusi masalah identitas
berdasarkan pada ada-tiadanya eksplorasi
dan komitmen, yaitu Identity Achievement,
Moratorium, Identity Foreclosure, dan Identity
Diffusion. Keempat gaya resolusi masalah identitas itu disebut status
identitas (Marcia dalam Adelson, 1980: 161). Status identitas tersebut dapat
dimaknai bukan sekedar sebagai suatu kategori melainkan dapat juga menunjukkan tingkatan perkembangan (Waterman
dalam Marcia et al, 1993: 174)
Mengingat bahwa
dalam praktek pengukuran eksplorasi dan komitmen itu kecil memungkinan
ditemukan individu yang sama sekali tidak memiliki skor aksplorasi atau sama
sekali tidak memiliki skor komitmen, maka Orlofsky et al. (1977) sebagaimana dikutip Matteson dalam Marcia et al. (1993: 106) mengusulkan strategi baru untuk menentukan
status identitas. Status identitas tidak mereka tentukan berdasarkan
ada-tiadanya eksplorasi dan komitmen melainkan memperhalusnya dengan menyebut
tinggi-rendahnya eksplorasi dan komitmen.
Cara ini telah diaplikasikan dalam penelitian oleh Spence &
Helmreich (1978), Tesch (1984), dan Grotevant et al. (1982) dengan hasil yang gemilang.
Merujuk kepada
usulan Orlofsky et al. (1977) itu,
maka kriteria status identitas yang dikembangkan oleh Marcia (Steinberg, 1993:
274) berdasarkan ada-tiadanya eksplorasi dan komitmen, dalam penelitian ini dimodifikasi menjadi
seperti tampak dalam bagan berikut:
Commitment
|
|||
Low
|
High
|
||
Exploration
|
High
|
Moratorium
|
Identity Achievement
|
Low
|
Identity
Diffusion
|
Identity Foreclosure
|
|
Bagan 1. Model Kategori Status
Identitas menurut Marcia
Menurut Marcia et al. (1993: 206–211) proses eksplorasi
dalam rangka pembentukan status identitas pada remaja akhir, ditandai oleh sejauhmanakah remaja melakukan penjajagan terhadap berbagai
hal yang berkenaan dengan domain topik identitas sebagaimana direfleksikan oleh
keluasan dan kedalaman aspek: (1) knowledgeability, (2) activity directed
toward gathering information, (3) considering
alternative potential identity elements, (4) desire to make an early
decision. Sedangkan tingkat komitmen ditunjukkan oleh sejauh mana keteguhan
pendirian remaja itu terhadap domain topik identitas sebagaimana direfleksikan oleh keluasan dan
kedalaman aspek: (1) knowledgeability,
(2) activity directed toward implementing
the chosen identity element, (3) emotional tone, (4)
identification with significant other, (5) projecting one’s personal future, dan (6)
resistance to being swayed.
3.
Vokasional sebagai Domain Identitas
Domain yang menjadi
topik pengkajian status identitas, semula Marcia (1964) mengelompokkannya ke
dalam tiga domain, yaitu vocational
choice, religious beliefs, dan political ideology. Namun sejalan dengan pesatnya perkembangan
penelitian identitas, domain itu pun terus berkembang. Berdasarkan identifikasi
Waterman (Marcia, et.al., 1993: 157)
diketahui ada lima core domains dan
enam supplemental domains sebagai
bahan topik kajian identitas. Kelima core
domains itu adalah vocational choice
(Marcia, 1964), religious beliefs
(Marcia,1964), political ideology
(Marcia, 1964), gender-role attitude
(Matteson, 1964), dan beleifs about sexual expression (Schenkel &
Marcia, 1974). Sedangkan yang termasuk ke dalam supplemental domains adalah avocational interests (Meilman, 1979), relationships with friends (Grotevat
& Cooper, 1985), relationship with
dates (Grotevant & Cooper, 1985), role
of spouse (Archer, 1981), role of
parent (Archer, 1981), dan priorities
assigned to family and career goals (Marcia & Friedeman, 1970;
Waterman, 1980). Dari sekian banyak
domain tersebut, identitas vokasional merupakan bagian yang paling penting dari
keseluruhan identitas seseorang (Mussen, et al., 1990: 648).
Identitas merupakan proses dan produk bersama serta sekaligus
mempresentasikan interseksi antara
individu dengan masyarakat. Josselson (Archer, ed., 1994: 12-13) mengemukakan sebagai berikut:
Identity
is both process and product. It is an unfolding bridge linking individual and
society, chilhood and adulthood. To understand identity then, we must be able
to think about its basis in the individual and its expression in social
existence, its roots in early development
and its realization in adult purpose. Because indentity forms the
foundation of adult life, as a society we have large stake in seeing that this
takes place as optimally as possible.
Uraian di atas
mengandung isyarat bahwa optimasi pembentukan identitas pada remaja perlu
dipahami melalui dinamika internal individu remaja dan organisasi sosial di
mana mereka berada. Lebih jelas diungkapkan oleh Kroger (1996: 46) bahwa identitas sebagaimana dikonseptualisasikan
oleh Erikson, merupakan konstruk psikososial yang dapat dipahami hanya melalui
interaksi dari kebutuhan-kebutuhan biologis, organisasi ego, dan konteks
sosial. Oleh karena itu, topik penelitian tentang isu identitas dapat difokuskan
kepada faktor-faktor tersebut.
4.
Arah
Baru Penelitian Identitas
Topik
penelitian status identitas yang telah
dilakukan selama ini, pada umumnya
terkait dengan empat
hal, yaitu: (1) karakteristik kepribadian individu dan gaya
interaksi pada status identitas yang berbeda; (2) aspek-aspek perkembangan
identitas; (3) perbedaan gender dan peran seks; serta (4) studi lintas budaya
(Marcia, et. al. 1993: 26-33; Marcia
dalam Adelson, 1980: 162-166). Khusus mengenai karakteristik kepribadian, di
dalamnya mencakup: karakteristik umum kepribadian, seperti kecemasan dan self esteem; independensi terhadap tekanan eksternal, seperti lokus
kontrol dan autonomi; perkembangan ego; gaya dan performansi kognitif; serta perkembangan berpikir formal operasional
yang di dalamnya mencakup perkembangan pertimbangan moral (Marcia dalam Marcia et al, 1993: 22-30). Tanpa mengabaikan pentingnya faktor korelat
yang lain dalam pembentukan status identitas yang tinggi pada remaja,
penelitian seyogianya memfokuskan kajian pada dua variabel karakteristik
kepribadian yaitu pertimbangan moral dan tingkat perkembangan ego. Alasannya
adalah karena secara teoretik keduanya
merupakan kondisi yang sangat diperlukan
dalam pembentukan dan resolusi identitas
namun bukti empirik masih menunjukkan silang pendapat sehingga
dipandang perlu penelaahan lebih lanjut.
5.
Peranan Pertimbangan Moral dan Kematangan Ego dalam
Pembentukan Identitas Vokasional
Perkembangan
identitas berkaitan erat dengan pertimbangan moral. Dalam konsep Kohlberg
(1984) dan Rest (1984), pertimbangan moral mengandung makna kemampuan menimbang alternatif keputusan dan menentukan
kemungkinan arah tindakan yang harus dilakukan dalam menghadapi berbagai
situasi berdasarkan prinsip keadilan dengan bereferensi kepada sistem nilai
tertentu yang diterima secara sosial oleh masyarakat. Selain itu, makna
pertimbangan moral juga mengacu kepada kekuatan moralitas untuk hidup bersama
atas dasar keragaman dan kesamaan, bersikap empatik terhadap orang lain, serta
mempertimbangkan konsekuensi keputusan tindakan yang dipilih atas dasar sistem
nilai. Kerangka rujukan individu untuk
menimbang adalah nilai rujukan yang dia hayati atau dia persepsikan.
Perbedaan proses menimbang akan terletak dalam orientasi dan kesadaran nilai
serta kehendak untuk berbuat baik dan benar. Tegasnya, pertimbangan moral
merupakan kemampuan menyelesaikan konflik antara kepentingan pribadi dengan
orang lain dan antara hak dengan
kewajiban (Kusdwiratri Setiono, 1993: 49). Kemampuan yang demikian, sangat
diperlukan dalam resolusi identitas karena
eksplorasi dan komitmen sebagai proses resolusi identitas, pada
hakekatnya merupakan proses memilih dan mengambil keputusan atas sejumlah alternatif yang tersedia dengan
tidak menimbulkan konflik antara kepentingan pribadi dengan kepentingan
lingkungan.
Kohlberg selanjutnya
membagi perkembangan pertimbangan moral ke dalam tiga tingkatan dan
masing-masing tingkatan terbagi atas dua tahap. Ketiga tingkatan itu adalah
sebagai berikut: Pertama, tingkat
konvensional awal, yang terarah kepada: (1) orientasi kewajiban dan hukuman
serta (2) orientasi
egoistik-instrumental. Kedua, tingkat konvensional, terarah kepada: (3) orientasi
konformitas, dan (4) orientasi
memelihara kekuasaan dan tatanan sosial. Ketiga,
tahap pascakonvensional, terarah kepada:
(5) orientasi kontrak legal, dan (6) orientasi kata hati atau prinsip.
Perkembangan
pertimbangan moral paralel dengan dan merupakan refleksi dari perkembangan
kognitif. Kemungkinan bahwa pencapaian pemikiran formal operasional sebagai
kondisi penting untuk dan penyerta dari resolusi identitas telah diusulkan oleh
Chamdler (1987); Erikson (1952); Marcia
(1980); Kohlberg and Gilligan (1972). Selanjutnya, mereka menyatakan bahwa “… the relativistic questioning of conventional
morality and conventional reality associated with logical and moral stage
development is also central to the adolescent’s identity concerns” (Marcia et
al, 1993: 28).
Kohlberg
(Kroger, 1993: 84) mengkonseptualisasikan pertimbangan moral sebagai “one subdominant of ego function evolving
alongside other (for example cognition) in the course of identity development.” Lebih lanjut diungkapkan bahwa sebagai salah
satu sub domain dari fungsi ego, pertimbangan moral merupakan “a necessary but not sufficient condition”
untuk perkembangan identitas. Alasannya adalah karena proses pengambilan keputusan dalam
pertimbangan moral adalah keputusan intelektual. Keputusan intelektual ini
tidak selalu konsisten dengan tindakan nyata karena dalam proses menimbang bisa
terarah kepada pertimbangan deontik dan
pertimbangan tanggung jawab yang oleh Frankena disebut pertimbangan aretaic (Kohlberg and Cande, 1984).
Pertimbangan deontik adalah pertimbangan yang
memutuskan bahwa suatu tindakan itu benar. Dasar timbangan ini adalah aturan
atau prinsip. Persoalan pokok pertimbangan deontik
adalah: "Apakah tindakan itu benar untuk dilakukan?” Sementara itu,
pertimbangan tanggung jawab atau aretaic
ialah pertimbangan yang melibatkan unsur baik, buruk, atau tercela secara
moral. Persoalan pokok timbangan
tanggung jawab adalah: “Mengapa saya harus melakukan itu?” pertimbangan
tanggung jawab ini memiliki fungsi follow
through sehingga terjadi konsistensi antara pertimbangan keputusan dengan
tindakan nyata. Lebih lanjut dapat dijelaskan bahwa model hubungan antara
pertimbangan moral dengan tindakan nyata dapat digambarkan sebagai hubungan
yang diperantarai oleh dua pertimbangan sela, yaitu pertimbangan deontik dan timbangan tanggung jawab. Dalam timbangan tanggung jawab,
sebagai fungsi follow through,
tingkat perkembangan ego yang dimanifestasikan dalam kekuatan ego merupakan
ujung tombak dari pertimbangan keputusan menuju tindakan nyata. Dengan
demikian, agar keputusan kognitif (deontic
dan aretaic) itu konsisten dengan
tindakan nyata, maka perlu ada tindak lanjut dari kekuatan ego -- sebagai
manifestasi tingkat perkembangan ego, dengan cara mengkoordinasikan
keterampilan-keterampilan nonmoral sehingga menjadi jembatan penghantar
pertimbangan moral kepada tindakan nyata
(Rest dalam Kurtines and Gerwiz, 1984: 52). Tampak bahwa tingkat
perkembangan ego merupakan variabel yang menjembatani pertimbangan keputusan
dengan pertimbangan nyata, sebagai kekuatan motivasional bertindak dan
berkenaan dengan tanggung jawab.
Loevinger
(Kroger, 1993: 113) memandang ego tidak sekedar memiliki serangkaian fungsi
seperti reality testing dan
pengendalian impuls melainkan merupakan: “master
trait of personality, the frame around which the tent-like canvas of
personality is streched, the basis of identity”. Bahkan menurut pandangan Adams and Fitch (Marcia et
al., 1993: 26) tingkat perkembangan ego merupakan suatu kondisi penting untuk pembentukan
identitas dan keberhasilan dalam
resolusi identitas tersebut akan berkontribusi pula terhadap perkembangan ego
berikutnya
Berdasarkan
simpulan Josselson (1980) yang ditarik dari hasil kerja Hartmann dan Erikson,
disamping mempunyai fungsi penangkis, ego juga memiliki dua tugas tambahan,
yaitu: (1) mengkonsolidasikan otonomi melalui individuasi dan internalisasi,
dan (2) memadukan identitas. Selain itu, menurut Erikson, ego juga merupakan motivasi internal bagi proses pembentukan identitas
(Cremmers, 1989: 183). Sebagai daya penggerak internal dalam rangka pembentukan
identitas, ego memiliki kapasitas untuk memilih serta mengintegrasikan bakat,
kemampuan, dan keterampilan baik untuk keperluan identifikasi dengan orang lain
yang sependapat, melakukan adaptasi dengan lingkungan sosial, maupun menjaga pertahanannya terhadap berbagai
ancaman dan kecemasan. Semua itu dapat dilakukan karena ego mampu memutuskan impuls dan
kebutuhan, serta memilih peran yang
paling cocok dan efektif. Semua ciri yang dipilih ego itu kemudian dihimpun dan
diintegrasikan sehingga membentuk
identitas psikososial seseorang.
Dalam pengertian
Loevinger, sebagai master traits of
personality, ego merupakan penentu
pola respon individu terhadap situasi yang melibatkan berbagai aspek
kepribadian, seperti: moral,
kompleksitas kognitif, dan relasi interpersonal (Kroger, 1996: 113). Lebih
lanjut ditegaskan bahwa pada tingkatan yang paling umum, perkembangan ego
merujuk kepada framework of meaning
yang secara subjektif akan masuk ke dalam dunia pengalaman seseorang.
Dalam perkembangan
ego tersebut, terkandung makna kontinum dan struktural. Sifat kontinum dalam
perkembangan ego menunjukkan bahwa dalam perkembangan itu terjadi dinamika transisi dari tingkat yang
satu ke tingkat berikutnya. Perubahan secara sekuensial itu terjadi dalam hal
perubahan struktur makna dan karakter. Sementara itu, konsep struktur mengacu
kepada bagaimana individu berinteraksi dengan lingkungannya, yaitu dengan cara
memilih apa yang hendak direspons dan respons mana yang bisa mengakomodasikan
berbagai tuntutan lingkungan. Perkembangan pada hakekatnya tiada lain adalah
proses memperoleh struktur baru.
Selanjutnya, Loevinger (Kroger,
1996: 119-128) membagi perkembangan ego ke dalam sembilan tingkat perkembangan,
termasuk tiga tingkat transisi. Dua tingkat pertama, yaitu prasosial dan
simbiotik, merupakan tingkat di mana individu belum mampu membedakan diri dari
lingkungannya sehingga sulit dijangkau oleh penelitian. Begitu pula tingkat
terakhir, yaitu integrasi merupakan tingkat yang jarang dicapai oleh kebanyakan
orang, sehingga tingkat ini pun sulit untuk diteliti. Atas dasar pemikiran
tersebut, tingkat perkembangan ego dalam penelitian ini dibagi ke dalam enam
tingkat, yaitu: impulsif dan melindungi diri, konformitas, sadar diri, seksama, individualistik, serta
mandiri.
Menurut
Loevinger (Kroger, 1996: 116) dan Pinedo (Wisnubrata Hendrojuwono, 1990: 83-84)
setiap tahap utama dan subtahap
perkembangan ego Loevinger, menggambarkan suatu ruang dan waktu tempat
individu berhenti dalam proses perkembangannya. Suatu tahap menggambarkan cara
individu memandang dan menghadapi dunianya.
Individu pada tahap yang berlainan mempunyai perbedaan fungsi berikut:
(1) perbedaan kognitif, yaitu bagaimana
individu memikirkan dan memahami situasi (gaya kognitif); (2) perbedaan proses,
yaitu bagaimana individu menyatakan emosinya dan berhubungan satu sama lain
(pengembangan karakter dan hubungan
antar pribadi); (3) perbedaan sistem, yaitu bagaimana individu berfungsi,
menghadapi dunianya, dan memelihara rasa diri yang utuh (kebutuhan pencurahan
perhatian). Skema tingkat perkembangan ego Loevinger tersebut, tidak merumuskan
perubahan-perubahan usia khusus dalam tahap ego melainkan berdasarkan kepada
timbulnya ego.
Merujuk
kepada uraian di atas, maka sebagai landasan untuk mengkaji masalah penelitian
ini dirumuskan teori-mini bahwa gaya
resolusi identitas vokasional yang
ditempuh melalui proses eksplorasi dan komitmen tentang vokasional, di dalamnya
melibatkan kemampuan mengambil keputusan. Jenis keputusan yang dipilih, baik
yang berkenaan dengan mempertimbangkan alternatif pilihan maupun arah tindakan,
tentunya yang menguntungkan bagi diri sendiri dan orang lain sehingga secara
moral diterima oleh masyarakat. Oleh karena itu, sebagai pijakan dalam
pengambilan keputusan, pertimbangan moral prinsip yang bersifat universal sangat diperlukan.
Pertimbangan
moral merupakan keputusan kognitif
sehingga mungkin tidak konsisten dengan
tindakan nyata. Oleh karena itu, meskipun pertimbangan moral merupakan kondisi
yang sangat diperlukan namun belum cukup untuk melakukan resolusi identitas.
Mengambil keputusan serta mengimplementasikan suatu rencana kegiatan dalam
resolusi identitas yang ideal, mencakup persoalan memperkirakan urutan
langkah-langkah atau tindakan konkrit yang harus diambil, memperkirakan
bagaimana mengatasi hambatan serta kesulitan yang tidak terduga, menghindarkan
rasa jemu dan frustrasi, menolak penyimpangan dan berbagai bujukan, serta tidak
melepaskan diri dari wawasan dan tujuan. Semua itu merujuk kepada makna yang
oleh para psikolog (Rest dalam Kurtines and Gerwiz, 1993) disebut tingkat
perkembangan ego yang akan dimanifestasikan dalam kekuatan ego (ego strength). Sebagai refleksi dari perkembangan ego, kekuatan ego
merupakan kekuatan nonmoral yang
menghantarkan dan memperantarai keputusan kognitif (deontik dan aretaic) itu
terealisasi dalam tindakan nyata. Dengan demikian, penalaran moral yang matang apabila dipadukan
dengan kekuatan ego yang mantap -- sebagai manifestasi tingkat perkembangan
ego, akan mendukung resolusi identitas yang memadai.
6.
Daftar Pustaka
Adelson, K. (ed).)(1980) Handbook of Adolescent Psychology. New York: John Wiley.
Andersen, S.M. (1993). “Future Event Scheme and Certainty about the
Future: Authomaticity in Depressives’ Future Even Prediction, Journal of Personality and Social Psichology,
63, 711-713.
Archer, S.L. (ed)(1994). Interventions for Adolescent Identity Development. London : Sage.
Conger., J.J.(1977). Adolescence and Youth. New York : Helper
& Row.
Cremers, A. (1989). Identitas
dan Siklus Hidup Manusia. Jakarta: Gramedia.
Herr, E.L. & Crammers, S.H. (1986). Career Guidance and Counseling Through the
Life Span: Systematic Approach. Boston: Litle, Brown Company.
Kohlberg, L. and Cande, D. (1984). The Relationship of Moral Judgement to Moral
Action. dalam Kurtinus, W.M. & Gewirtz, J.L. (Ed). 1984. Morality, Moral Behavior, and Moral
Development. New York: John Wiley & Sons, 52 - 73.
Kroger, J. (1996).
Identity in Adolescence: The Balance Between Self and Other 2nd ed, London &
New York: Routledge.
Kusdwiratri Setiono. (1993).
“Perkembangan Penalaran Moral: Tinjauan dari Teori Sosiokognitif”, Jurnal Psikologi dan Masyarakat, Jakarta: Gramedia, 45-54.
Lerner, R.M., & Hultsch, D.T. (1983). Human
Development: A Life Span Perspective, New York: McGraw-Hill.
Loevinger, J., (1964). “The
Meaning and Measurement of Ego Development”. American
Psycologist, 195 – 206.
Loevinger, J., (1979). ”Stage
of Ego Development” dalam Mosher Ralph L. (Ed.), 1979, Adolecence Development and Education. Berkeley: McCutchan
Publishing Co. 110 – 122.
Marcia, J.E. et
al., (1993), Ego Identity, A Handbook for Psychososial
Research, New York: Springer-Verlag.
Mussen,
P.H., et al., (1990). Child Development and Personality, New York:
Harper Collins Publisher.
Santrock, J.W. (1985). Adult
Development and Aging. Iowa: Wm. C. Brown.
Santrock, J.W. (1997). Life-Span
Development, Dubuque USA: Brown and Benchmark.
Sunaryo Kartadinata. (1988). “Profil Kemandirian dan Orientasi Timbangan
Sosial Mahasiswa Serta Kaitannya dengan Perilaku Empatik dan Orientasi Nilai
Rujukan. Disertasi. Bandung: Program
Pascasarjana IKIP Bandung.
Sunaryo Kartadinata. (1996). Kerangka Kerja Bimbingan Pendidikan: Pendekatan Ekologis sebagai
Alternatif. Pidato Pengukuhan jabatan Guru Besar Tetap pada Jurusan
Psikologi Pendidikan dan Bimbingan FIP IKIP Bandung.
Steinberg, L. (1993). Adolescence,
New York: McGraw-Hill.
Wisnubrata Hendrojuwono. (1990). “Pengaruh
Experiential Learning terhadap Peningkatan Ketahanan Ego dan Kontrol Ego
Remaja,” Disertasi, Program Pascasarjana, Universitas Padjadjaran Bandung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar