KERAGAMAN BAHASA DAN ETNOKOMUNIKASI
DALAM PERSPEKTIF PEDAGOGIK
Oleh :
Asep Rohiman Lesmana
imanlesmana382@gmail.com
A.
Pendahuluan
Sebuah
komunikasi dikatakan efektif apabila setiap penutur menguasai perbedaan ragam
bahasa. Ragam bahasa adalah variasi bahasa dilihat dari pemakaiannya yang
timbul menurut situasi dan fungsi yang memungkinkan adanya variasi tersebut.
Dengan penguasaan ragam bahasa, pengguna bahasa dengan mudah mengungkapkan
gagasannya melalui pemilihan ragam bahasa yang ada sesuai dengan kebutuhannya. Ragam bahasa dilihat dari topik pembicaraan
mengacu pada pemakaiannya bahasa dalam bidang tertentu. Ragam bahasa dilihat
dari hubungan pelaku dalam pembicaraan atau gaya penuturan menunjuk pada
situasi formal atau informal. Dalam
penggunaan bahasa baik pada situasi formal maupun informal, tidak lepas dari
pendidikan. Pendidikan menurut Henderson (dalam Sadulloh, 2007: 4) adalah suatu
proses pertumbuhan dan perkembangan, sebagai hasil interaksi individu dengan
lingkungan sosial dan lingkungan fisik, berlangsung sepanjang hayat sejak
manusia lahir.
B.
Keragaman Bahasa
Pada
kenyataannya bahasa adalah sesuatu yang
kaya dengan ragam-ragam aktualisasinya. Manifestasi-manifestasi bahasa
sangatlah jembar, tampaknya bervariasi tanpa batas. Meskipun para penutur
memakai bermacam-macam bentuk yang berbeda, tapi bentuk-bentuk itu merupakan
bahasa yang sama. Menurut Ferguson dan Gumperz (dalam Maelasari, 2011:16) ”any body of human speech pattern which is
suffiently homogeneous to be analysed by available techniques of synchronic
description and which has a suffiently large repertory of elements and their arrangements
or processes with broud enough semantic scope to function in all normal
contexts of communication.” Artinya keseluruhan pola-pola ujaran manusia
yang cukup dan serbasama untuk dianalisis dengan teknik-teknik pemberian sinkronik
yang ada dan memiliki perbendaharaan unsur-unsur yang cukup besar dan
penyatuan-penyatuannya atau proses-proses dengan cakupan semantik yang cukup luas
untuk berfungsi dalam segala konteks komunikasi yang normal”.
Dari
definisi di atas terdapat pola-pola bahasa yang sama; pola-pola bahasa itu
dapat dianalisis secara deskriptif; dan pola-pola yang dibatasi oleh makna
tersebut dipergunakan oleh penuturnya untuk berkomunikasi.
C.
Sebab-sebab
terjadinya Ragam Bahasa
Terjadinya
keragaman bahasa disebabkan oleh penuturnya yang heterogen, juga karena
kegiatan interaksi sosial yang mereka lakukan sangat beragam. Setiap aktivitas
memerlukan atau menyebabkan terjadinya keragaman bahasa itu. Keragaman bahasa
ini akan semakin bertambah kalau bahasa tersebut digunakan oleh penutur yang
sangat banyak, serta dalam wilayah yang sangat luas. Misalnya, bahasa Indonesia
yang wilayah penyebarannya dari Sabang sampai Merauke; bahasa Inggris yang
digunakan hampir seluruh dunia; dan bahasa Arab yang luas wilayahnya dari Jabal
Thariq sampai ke perbatasan Iran.
Ragam
bahasa ini terdapat dikotomi, pertama ragam bahasa itu dilihat sebagai akibat
adanya keragaman sosial penutur bahasa itu dan yang kedua keragaman fungsi
bahasa itu. Jadi ragam bahasa itu terjadi sebagai akibat dari adanya keragaman
sosial dan keragaman fungsi bahasa. Andaikata penutur bahasa itu adalah
kelompok yang homogen baik etnis, status sosial maupun lapangan pekerjaannya,
keragaman itu akan tidak ada. Kedua ragam bahasa itu sudah ada untuk memenuhi
fungsinya sebagai alat interaksi dalam kegiatan masyarakat yang beraneka ragam.
D.
Bentuk-bentuk Ragam Bahasa
Hartman
dan Stork (dalam Chaer dan Leonie, 2004: 62) membedakan ragam bahasa
berdasarkan kriteria (a) latar belakang geografi dan sosial penutur, (b) medium
yang digunakan, dan (c) pokok pembicaraan. Halliday membedakan ragam bahasa
berdasarkan (a) pemakai yang disebut dialek, dan (b) pemakaian yang disebut
register, sedangkan Mc. David membagi ragam bahasa ini berdasarkan (a) dimensi
regional, (b) dimensi sosial, dan (c) dimensi temporal.
Di bawah ini akan dijelaskan
bentuk-bentuk ragam bahasa dilihat dari aspek tempat, aspek waktu, aspek
penutur, dan aspek pemakaian.
1.
Ragam bahasa dilihat dari aspek tempat
Tempat dapat mengakibatkan terjadinya
ragam bahasa. Artinya tempat yang dibatasi oleh air, keadaan tempat berupa
gunung dan lautan. Ragam seperti ini menghasilkan apa yang disebut dialek.
Dalam Alwasilah (1985: 50-51), dialek mempunyai beberapa kriteria, yakni:
1)
bahasa terdiri dari berbagai dialek
yang dimiliki oleh kelompok penutur tertentu, walau demikian antara kelompok
satu dengan lainnya sewaktu berbicara dengan lainnya dengan dialeknya sendiri,
satu sama lain bisa saling mengerti (mutual
intelligibility);
2) pembagian macam dialek bisa didasarkan pada faktor daerah,
waktu, dan sosial. Satu dialek berbeda dengan dialek lainnya, dan perbedaan ini
teramati dalam pengucapan, dan
tatabahasa, dan kosakata;
3) dialek adalah subunit dari bahasa. Bahasa disepakati untuk
menjadi bahasa nasional, yang melahirkan kesusastraan dan karena alasan-alasan
tertentu memperoleh keistimewaan melebihi dialek-dialek lainnya, karena
keistimewaan inilah maka bahasa memiliki prestise tinggi dibandingkan dengan
dialek.
a.
Bahasa Daerah
Bahasa
Daerah yang dipakai oleh penutur bahasa yang tinggal di daerah tertentu,
misalnya bahasa Sunda, bahasa Jawa. Bahasa Daerah sering dihubungkan dengan
suku bangsa.
b.
Kolokial
Kolokial
ialah bahasa yang dipakai sehari-hari oleh masyarakat yang tinggal di daerah
tertentu. Kolokial biasa disebut bahasa sehari, bahasa percakapan, dan
kadang-kadang disebut bahasa pasar. Kolokial yang mengandung kata-kata yang
kurang enak disebut slang.
c.
Vernakular
Vernakular
adalah bahasa lisan yang berlaku sekarang pada daerah atau wilayah tertentu.
d.
Bahasa Lisan
Bahasa
Lisan memegang peranan dalam kehidupan sehari-hari untuk berkomunikasi. Dalam
pemakaian bahasa lisan. Pembicara harus memperhatikan situasi, pendengar,
masalah yang dikemukakan, dan cara pengungkapkan.
e.
Bahasa Pijin (Pidgin)
Bahasa Pijin adalah bahasa yang timbul akibat
kontak bahasa yang berbeda. Bahasa Pijin untuk kepentingan komunikasi singkat.
f.
Register
Register
adalah pemakaian bahasa yang dihubungkan dengan pekerjaan seseorang. Register
dapat diperinci menjadi: (a) oratical
atau frozen; (b) deliberative atau formal; (c) consultative; casual; dan (e)
intimative. Register yang oratikal
dipergunakan oleh pembicara yang profesional, misalnya berpidato. Register yang
formal ditujukan kepada pendengar untuk memperluas pembicara yang disenangi.
Baik oratikal mapun maupun formal bersifat monolog. Register konsultatif
terdapat dalam transaksi perdagangan yang terjadi dialog karena orang
membutuhkan persetujuan di antara keduanya, register kasual dipergunakan untuk
menghilangkan rintangan-rintangan di antara kedua orang yang berkomunikasi.
Terakhir, register intimatate dipergunakan dalam suasana kekeluargaan.
g.
Verbal Repertoir
Semua
bahasa beserta ragam-ragamnya yang dimiliki atau dikuasai seorang penutur biasa
disebut dengan istilah repertoir bahasa atau verbal repetoir dari orang itu.
Verbal repertoir ada dua macam yaitu yang dimiliki setiap penutur secara
individual, dan yang merupakan milik
masyarakat tutur secara keseluruhan. Pertama mengacu pada alat-alat
verbal yang dikuasai oleh seorang penutur, termasuk kemampuan untuk memilih
norma-norma sosial bahasa sesuai dengan situasi dan fungsinya. Kedua, mengacu
pada keseluruhan alat-alat verbal yang ada di dalam suatu masyarakat, beserta
dengan norma-norma untuk memilih variasi yang sesuai dengan konteks sosialnya.
2.
Ragam bahasa dilihat dari aspek waktu
Ragam
bahasa secara diakronik disebut dialek temporal, dialek yang berlaku pada kurun
waktu tertentu. Misalnya, bahasa Melayu zaman Siwijaya berbeda dengan bahasa
Melayu sebelum tahun 1992 (Mansoer Pateda, 1981: 74-75. Karena perbedaan waktu
menyebabkan perbedaan makna untuk kata-kata tertentu. Misalnya kata ‘juara’
yang dahulu bermakna ‘kepala penyabung ayam’, sekarang bermakna orang yang
memperoleh kemenangan dalam perlombaan atau pertandingam
3.
Ragam Bahasa dilihat dari aspek penutur
Ragam
bahasa pertama berdasarkan penuturnya adalah ragam bahasa yang disebut idiolek,
yakni variasi bahasa yang bersifat
individual. Menurut konsep idiolek, setiap orang mempunyai ragam bahasanya atau
idioleknya masing-masing. Idiolek ini berkenaan dengan warna suara, pilihan
kata, gaya bahasa, susunan kalimat, dan sebagainya.
Ragam
bahasa kedua berdasarkan penuturnya adalah yang disebut dialek, yakni variasi
bahasa dari sekelompok penutur yang jumlahnya relatif yang berada pada satu
tempat, wilayah, atau area tertentu.
Ragam
bahasa ketiga berdasarkan penutur adalah yang disebut kronolek atau dialek
temporal, yakni ragam bahasa yang digunakan oleh kelompok sosial pada masa
tertentu.
Ragam
bahasa yang keempat berdasarkan penuturnya adalah sosiolek atau dialek sosial,
yakni variasi bahasa yang berkenaan dengan status, golongan, dan kelas sosial
para penuturnya.
Sehubungan
dengan ragam bahasa berkenaan dengan tingkat golongan, status, dan kelas sosial
para penuturnya, biasanya dikemukakan ragam bahasa yang disebut akrolek, basilek,
vulgar, slang, kolokial, jargon, argot, dan ken, serta prokem. Selanjutnya,
istilah-istilah tersebut akan dijelaskan satu
per satu.
Akrolek
adalah variasi sosial yang dianggap lebih tinggi atau lebih bergengsi daripada
variasi sosial lainnya. Contoh, bahasa bagongan, ragam bahasa yang khusus
digunakan oleh para bangsawan kraton Jawa.
Basilek
adalah ragam sosial yang dianggap kurang bergengsi, atau dianggap dipandang
rendah. Contoh, bahasa Inggris yang digunakan oleh para cowboy dan kuli tambang
dapat dikatakan sebagai basilek.
Vulgar
adalah ragam sosial yang ciri-cirinya tampak pemakaian bahasa oleh mereka yang
kurang terpelajar, atau dari kalangan mereka yang tidak berpendidikan contoh,
pada zaman romawi sampai zaman pertengahan bahasa-bahasa di Eropa dianggap
sebagai bahasa vulgar sebab pada waktu itu para golongan intelek menggunakan
bahasa Latin dalam segala kegiatan mereka.
Slang
adalah ragam sosial yang bersifat khusus dan rahasia. Artinya ragam bahasa ini
digunakan oleh kalangan tertentu yang sangat terbatas, dan tidak boleh
diketahui oleh kalangan di luar kelompok itu. Oleh karena itu, kosakata yang
digunakan dalam slang ini selalu berubah-ubah.
Kolokial
adalah ragam sosial yang digunakan dalam percakapan sehari-hari. Contoh dok
(dokter), prof (profesor), let (letnan), ndak ada (tidak ada).
Jargon
adalah ragam sosial yang digunakan
secara terbatas oleh kelompok sosial tertentu. Ungkapan yang digunakan seringkali
tidak dapat dipahami oleh masyarakat
umum atau masyarakat di luar kelompoknya. Namun, ungkapan-ungkapan tidak
bersifat rahasia. Umpamanya, dalam kelompok montir atau perbengkelan. Seperti
dongkrak, dices dll. Dalam kelompok tukang batu, seperti disipat, disiku,
ditimbang dll.
Argot
adalah ragam sosial yang digunakan secara terbatas pada profesi tertentu dan
bersifat rahasia. Umpamanya, dalam dunia kejahatan (pencuri, tukang copet)
seperti digunakan ungkapan ‘barang’ dalam arti ‘mangsa’, kacamata dalam arti
‘polisi’.
Ken adalah ragam sosial tertentu yang bernada ‘memelas’ dibuat merengek-rengek, penuh
dengan kepura-puraan. Biasanya digunakan oleh pengemis seperti tercermin dalam
ungkapan the can of the beggar
(bahasa pengemis).
4.
Ragam bahasa dilihat dari aspek
pemakaian
Ragam
bahasa berkenaan dengan penggunaannya, pemakaiannya, atau fungsinya disebut
fungsional (Nababan, 1984). Ragam ini biasanya dibicarakan berdasarkan bidang
penggunaan, gaya atau tingkat keformalan, dan sarana penggunaan. Ragam bahasa
berdasarkan bidang pemakaian ini adalah menyangkut bahasa itu digunakan untuk keperluan
atau bidang apa, misalnya bidang sastra, jurnalistik, militer, pertanian,
pelayaran, perekonomian, pendidikan , dan kegiatan keilmuan.
E.
Etnokomunikasi
Etnografi
komunikasi yaitu bidang ilmu etnolinguistik atau sosiolinguistik tentang bahasa
dalam hubungannya dengan semua variabel di luar bahasa (Kridalaksana, 1984:
47). Etnografi komunikasi adalah suatu
kajian mengenai pola-pola komunikasi sebuah komunitas budaya.
Etnografi
komunikasi (ethnography of communication)
merupakan pengembangan dari etnografi berbicara (ethnogrphy of speaking). Pada awalnya diperkenalkan oleh seorang
pakar antropologi dan sosiolog yang kemudian menjadi pakar linguistik Amerika,
Dell Hymes (etnograpy of communication),
karena istilah ini lebih tepat dan semakin populer akhir-akhir ini. Dell Hymes
membuat hubungan secara eksplisit antara bahasa dan kebudayaan. Dell Hymes
tampaknya tidak memperhitungkan fenomena mental yakni kognisi sebagai
penelitian utama (Hymes, 1971: 340) membicarakan tuturan sebagai suatu sistem
perilaku budaya, namun dia sendiri tidak mengikuti studi bahasa dan kebudayaan
sebagai psikolog atau kognisi, sebaliknya dia menekankan pentingnya studi
tindak tutur, wacana dan performansi seperti penciptaan bentuk-bentuk puitis
yang semuanya dilibatkan dalam kontrak sosial.
Thomas
R. Lindlof dan Bryan C. Taylor, dalam bukunya Qualitative Communication Research Methods, menyatakan “Ethnography of Communication (EOC) conceptualizes
communication as a continous flow of information, rather than as segmented
exchanges message.” (Lindlof & Taylor, 2002: 44). Dalam pernyataan
tersebut, Lindlof dan Taylor menegaskan bahwa konsep komunikasi dalam etnografi
komunikasi merupakan arus informasi yang berkesinambungan, bukan sekadar
pertukaran pesan antar komponennya semata.
Etnografi
komunikasi berakar pada istilah bahasa dan interaksi sosial dalam aturan
penelitian kualitatif komunikasi. Penelitiannya mengikuti tradisi psikologi,
sosiologi, linguistik, dan antropologi. Etnogrfi komunikasi difokuskan pada
kode-kode budaya dan ritual-ritual (Zakiah, 2008: 182).
Dalam
artikel pertamanya, Hymes (1962) menjelaskan bahwa etnografi berbicara
menyangkut tentang situasi-situasi dan penggunaan pola dan fungsi berbicara
sebagai suatu aktivitas tersendiri (Hymes, 1962: 110 dalam Zakiah, 2008:182).
Kajian etnografi komunikasi yang dimulai oleh Hymes, sejak saat itu memacu
sejumlah studi mengenai pola-pola komunikasi dalam berbagai masyarakat di
seluruh dunia untuk dikembangkan.
Dalam
perkembangannya, etnografi komunikasi digambarkan dengan jelas mengenai
perhatian masyarakat dengan analisis interaksional dan identitas peran dalam
mengombinasikan berbagai minat dan orientasi teoretis. Etnografi komunikasi
telah menjadi suatu disiplin ilmu yang menunjukkan suatu pengolahan informasi
dalam strukturisasi perilaku komunikatif, dan perannya dalam kehidupan
masyarakat.
F.
Ihwal Pedagogik
Menurut
Langeveld (1980 dalam Sadulloh dkk 2007: 2) pedagogik diartikan dengan ilmu
pendidikan, lebih menitikberatkan kepada pemikiran, perenungan tentang
pendidikan. Suatu pemikiran bagaimana kita membimbing anak, mendidik anak.
Sedangkan menurut Henderson (Sadulloh dkk. 2007:4) pendidikan merupakan suatu
proses pertumbuhan dan perkembangan, sebagai hasil interaksi individu dengan
lingkungan sosial dan lingkungan fisik, berlangsung sepanjang hayat sejak
manusia lahir.
Dalam
Undang-Undang RI No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dikatakan
bahwa: Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif untuk
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri kepribadian, kecerdasan, ahlak mulia serta keterampilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.
Pedagogik
atau pendidikan dalam pelaksanaannya berbentuk pergaulan antara pendidik dan
peserta didik, namun suatu pergaulan yang tertuju kepada tujuan pendidikan,
yakni manusia mandiri, memahami nilai, norma-norma susila dan sekaligus mampu
berperilaku sesuai dengan nilai-nilai, norma-norma tersebut. Adapun peserta
didik adalah anak manusia yang belum mencapai kedewasaannya. Pendidikan
berfungsi membimbing peserta didik, dan bimbingan itu akan mempengaruhi peserta
didik ke arah yang sesuai dengan tujuan yang ditentukan, yakni untuk mencapai
kedewasaan.
G.
Keragaman Bahasa dan Etnokomunikasi dalam Perspektif
Pedagogik
Setiap
kegiatan memerlukan atau menyebabkan terjadinya keragaman bahasa. Keragaman itu
akan semakin bertambah kalau bahasa tersebut digunakan oleh penutur yang sangat
banyak, serta dalam wilayah yang sangat luas. Di Indonesia terdiri atas
berbagai macam budaya dan berbagai macam bahasa sebagai alat komunikasi di
dalam suatu masyarakat tertentu.
Komunikasi
adalah 1. Pengiriman dan penerimaan pesan atau berita antara dua orang atau
lebih sehingga pesan yang dimaksud dapat dipahami; hubungan; kontak; 2.
Perhubungan; dua arah komunikasi yang komunikan dan komunikatornya dalam satu
saat bergantian memberikan informasi; formal komunikasi yang memperhitungkan
tingkat ketepatan, keringkasan dan kecepatan komunikasi; -massa kom penyebaran
informasi yang dilakukan oleh suatu kelompok sosial tertentu kepada pendengar
atau khalayak yang heterogen serta tersebar di mana-mana; -sosial komunikasi
antarkelompok sosial di masyarakat (KBBI, 2000: 585). Menurut Kridalaksana,
(1984: 104), komunikasi adalah penyampaian amanat dari sumber atau pengirim ke
penerima melalui sebuah saluran.
Menurut
Hymes (1974) istilah etnografi komunikasi sendiri menunjukkan cakupan kajian
berlandaskan etnografi dan komunikasi. Cakupan kajian tidak dapat
dipisah-pisahkan, misalnya hanya mengambil hasil-hasil kajian dari linguistik,
psikologi, sosiologi, etnologi lalu menghubung-hubungkannya. Fokus kajiannya
hendak meneliti secara langsung terhadap penggunaan bahasa dalam konteks
situasi tertentu, sehingga dapat mengamati dengan jelas pola-pola aktivitas
tutur dan kajiannya diupayakan tidak terlepas (secara terpisah-pisah), misalnya
tentang gramatika (seperti dilakukan oleh linguis), tentang kepribadian (seperti
psikolog), tentang struktur sosial (seperti sosiologi), tentang religi (seperti
etnologi) dan sebagainya. Dalam kaitan dengan landasan itu seorang peneliti
tidak dapat membentuk bahasa atau bahkan tutur sebagai kerangka acuan yang
sempit. Peneliti harus mengambil konteks suatu komunitas atau jaringan
orang-orang, lalu meneliti kegiatan komunikasinya secara menyeluruh, sehingga
tiap penggunaan saluran atau kode komunikasi selalu merupakan bagian dari
khasanah komunitas yang diambil oleh para penutur ketika dibutuhkan.
Bahasa
secara struktur belum bisa dikembangkan lagi, sedangkan secara fungsional,
bahasa itu fungsinya melebar/berkembang. Ilmu bahasa/linguistik bisa digabung dengan disiplin ilmu lainnya,
misalnya; psikologi dengan linguistik
muncul psikolinguistik, sosiologi dengan linguistik muncul sosiolinguistik,
neurologi dengan linguistik muncul neurolinguistik, bisa saja etnologi dengan
linguistik muncul etnolinguistik, dan sebagainya.
Masyarakat
yang berbudaya dalam berkomunikasi menggunakan suatu alat yang disebut bahasa.
Dalam penggunaannya di masyarakat tidak lepas dari pendidikan/pedagogik.
Pedagogik menurut Langeveld (1980, dalam Sadulloh, 2007: 2) diartikan dengan
ilmu pendidikan, lebih menitikberatkan kepada pemikiran, perenungan tentang
pendidikan. Suatu pemikiran bagaimana kita membimbing anak, mendidik anak.
Bagaimana anak berbicara dengan temannya, bagaimana anak berbicara dengan orang
tuanya, bagaimana anak berbicara dengan gurunya. Semua itu, masing-masing
memiliki etika tertentu. Oleh karena itu, anak perlu dididik atau dibimbing
bagaimana cara berbahasa dengan baik dan benar sesuai dengan kondisi dan
situasi tertentu.
Referensi :
Alwasilah, A, Chaedar. (1985). Sosiologi Bahasa. Bandung: Angkasa.
Chaer.A. dan Leonie A. (2004). Sosiolinguistik: Perkenalan Awal.
Jakarta: Rinka Cipta.
Depdikbud. (2002). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Hymes, Dell. (1972). Models of The Instruction of Langage and
Social Life in J. Gumperz &
D. Hymes (Eds) Direction in Socociolinguistics The Ethnography of Communication.
New
York, Halt Rinekut: Winston.
Kridalaksana, Harimurti. (1984). Kamus
Linguistik. Jakarta: PT. Gramedia.
Maelasari, N. (2011). Sosiolinguistk. Yogyakarta: Aswaja
Pressindo.
Sadulloh, Uyoh dkk. (2007). Pedagogik.
Bandung: Cipta Utama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar