Konsep
Literasi Digital
Oleh :
Asep Rohiman
Lesmana
Kita harus siap menghadapi era disrupsi yang serba
tidak pasti. Teknologi setiap harinya terus dan terus berkembang. Kita pun
harus dapat mengimbanginya. Salah satu ciri era disrupsi terlihat dari
penggunaan teknologi informasi, keberadaan teknologi informasi telah menghapus
batas-batas geografi yang memicu munculnya cara-cara baru untuk menghasilkan
inovasi-inovasi baru.
Era disrupsi juga tidak bisa terlihat secara jelas dan
bergerak tanpa disadari melalui pesatnya teknologi dan akan mempengaruhi tatanan
hidup bahkan mengganti sistem yang ada. Inilah yang disebut sebaga era
disruptif, dan telah kita rasakan saat ini.
Segala yang dilakukan oleh warga net di dunia maya
merefleksikan kepribadiannya di dunia nyata. Semua tautan, foto, video yang
diunggah secara langsung merupakan bentuk refleksi. Maka dari itu pentingnya
pemahaman literasi digital bagi generasi milenial.
Ciri khas dari generasi milenial saat ini diantaranya
kaum muda akan semangat berinovasi, percaya diri, berpikiran positif, dan
berani tampil beda. Hal ini merupakan cara untuk menunjukkan identitas dan
talentanya.
Perkembangan
media baru yang dimulai dari internet dalam bentuknya yang paling awal sampai
dengan yang paling mutakhir, yaitu media sosial sekarang ini, menunjukkan bahwa
media baru berkembang dengan dinamis dan sangat cepat. Berdasarkan
perkembangannya, terdapat
tiga fase perkembangan internet sampai dengan munculnya media sosial.
Perkembangan itu adalah sebagai berikut: fase web 1.0, adalah sistem
berjaringan berbasis komputer dari kognisi manusia. Internet pada fase ini
tidak berbeda jauh dengan media massa yang lebih berfungsi mendistribusikan
konten dan tidak memberikan kesempatan bagi pihak lain berperan dalam produksi konten
yang sama. Konten yang ada tidak bisa dikomentari dan disebarkan kembali dengan
cepat. Produsen dan pengguna konten juga masih terpisah dan posisi keduanya tidak
bisa dipertukarkan.
Fase web
2.0 adalah sistem berjaringan berbasis komputer dari komunikasi manusia.
Pada fase ini internet memungkinkan terjadinya komunikasi secara langsung berbagai
pihak dengan fleksibel. Konten sudah bisa diberi feedback dengan
langsung dan disebarkan kembali. Posisi produsen dan pengguna konten dapat
saling bertukar peran. Fase web 3.0 adalah sistem berjaringan berbasis komputer
dari kerjasama (co-operation) manusia. Pada fase ini satu individu bisa
berkomunikasi dengan banyak pengguna lain dalam suatu ketika. Para pengguna
secara kolektif dapat memproduksi konten dalam skala besar, terbentuk juga
suatu sistem di mana para pengguna bisa saling berbagi informasi dan bertransaksi.
Era berbagi melalui berbagai aplikasi dan media sosial termasuk dalam fase
terakhir dari perkembangan internet (Fuchs,2014: 44). Dengan demikian, literasi
digital berkaitan dengan media baru yang memiliki karakter sebagai berikut: (1)
digitization dan konvergensi; (2) interaktivitas; dan (3) network dan
networking (Flew, 2014). Ketiga karakter tersebut adalah fungsi yang memperluas
fungsi media massa di mana konvergensi, interaktivitas, dan keberadaan jaringan
membawa konsekuensi baru ketika berkomunikasi.
Literasi
digital, seperti halnya literasi media, memiliki tiga elemen (Potter, 2004;
Potter, 2014). Elemen pertama adalah kompetensi atau kecakapan yang mesti
dimiliki oleh individu ketika mengakses media baru. Kecakapan ini adalah unsur
utama dan terpenting. Elemen kedua adalah lokus personal, yaitu individu yang
berinteraksi dengan individu lain. Pada titik ini, konsekuensi sosial dari
literasi digital menjadi sangat penting. Literasi digital berguna ketika
individu memerlukannya. Misalnya, literasi game daring akan lebih
berguna untuk para remaja yang mengakses game daring, bukan untuk orang
dewasa yang tidak atau jarang mengakses game daring. Lokus personal
tidak hanya berkaitan dengan diri melainkan juga dengan individu berinteraksi
dengan individu lain dan komunitas. Dengan demikian lokus personal juga
memiliki konsekuensi sosial. Ketika berhadapan dengan media baru, individu
dapat memiliki tiga posisi yaitu: individu yang termediasi, individu yang virtual,
dan individu yang berjaringan (berbagi dan kolaborasi dengan individu lain
melalui media baru) (Bolter
& Grusin, 1999). Elemen ketiga adalah struktur pengetahuan. Literasi
digital pada akhirnya akan menjadi-kan individu memiliki pengetahuan yang baik mengenai
informasi dan dunia sosial yang dijalaninya.
Sepuluh
Tahapan Kompetensi Literasi Digital Japelidi
Kompetensi
adalah elemen terpenting dalam literasi digital. Kompetensi dapat dipelajari dan
dikuasai oleh individu. Kompetensi juga merupakan keterampilan yang bertahap
dan penguasaan kompetensi yang lebih mendasar diperlukan untuk menguasai
kompetensi selanjutnya. Kompetensi literasi digital terdiri dari dua jenis,
yaitu literasi digital fungsional dan literasi digital kritis (Chen, Wu, &
Wang, 2011; Lin, Li, Deng, & Lee, 2013). Walaupun bersumber utama dari
artikel Chen, Wu, dan Wang, Japelidi melakukan review khusus dengan memberikan
penekanan yang berbeda pada masing-masing kompetensi dan memberikan nama baru
untuk kompetensi kesembilan dan kesepuluh.
Berikut
ini adalah sepuluh kompetensi literasi digital Japelidi yang digunakan di dalam
buku panduan ini:
1.
Mengakses 6.
Mengevaluasi
2.
Menyeleksi 7.
Mendistribusikan
3.
Memahami 8.
Memproduksi
4.
Menganalisis 9. Berpartisipasi
5.
Memverifikasi 10. Berkolaborasi
Kompetensi
pertama adalah mengakses. Kompetensi mengakses mengacu pada serangkaian
keterampilan teknis yang diperlukan bagi seorang individu ketika berinteraksi
dengan media baru. Contohnya adalah seorang individu membutuhkan informasi
mengenai cara mengoperasikan komputer sebelum mengolah konten yang akan
diunggah di media baru, bagaimana untuk mencari/menemukan informasi, bagaimana menggunakan
teknologi informasi (misalnya internet), dan sebagainya.
Menyeleksi
adalah kompetensi kedua. Kompetensi ini adalah kemampuan individu untuk memilih
dan memilah informasi yang didapatkannya dari media baru. Individu yang
menguasai kompetensi ini akan membuang informasi yang tidak diperlukan atau
informasi yang tidak benar.
Kompetensi
ketiga adalah memahami. Memahami adalah kompetensi yang mengacu pada kemampuan individu
untuk memahami makna dari konten di media baru pada tingkat literal. Contohnya
kemampuan untuk menangkap pesan orang lain, juga ide-ide individu yang dipublikasikan
pada platform yang berbeda (misalnya buku, video, blog, Facebook,
dll), dan untuk menafsirkan makna dalam bentuk pendek baru atau emoticon.
Secara
khusus, individu harus mampu bereksperimen dengan lingkungan mereka untuk
memecahkan masalah, untuk menafsirkan dan membangun model dinamis, untuk
memindai lingkungan mereka dan pergeseran fleksibel ke informasi penting, dan
untuk menangani arus informasi di berbagai jenis dan media.
Kompetensi
berikutnya adalah menganalisis. Kompetensi keempat ini mengacu pada kemampuan individu
untuk mendekonstruksi konten di media baru. Kompetensi ini dapat dilihat
sebagai analisis tekstual semiotik yang berfokus pada bahasa, genre, dan kode beberapa
jenis dan media. Kompetensi ini menjadikan individu menyadari cara produksi
konten, format (misalnya pengembangan konten media yang menggunakan bahasa
kreatif dengan aturan tertentu), dan audiens atau pengguna (misalnya
interpretasi pesan media akan bervariasi pada seluruh individu) ketika mereka
mendekonstruksi pesan media.
Kompetensi
ini secara konsisten menekankan bahwa individu seharusnya tidak hanya melihat
konten di dalam media baru sebagai pengamat netral realitas, tetapi mengakui produksi
konten sebagai proses subjektif dan sosial. Kompetensi kelima adalah
memverifikasi. Kompetensi memverifikasi mengacu pada kemampuan individu untuk mengkombinasi
konten di media baru dengan mengintegrasikan sudut pandang mereka sendiri dan untuk
merekonstruksi pesan media. Misalnya, individu diharapkan untuk membandingkan
berita dengan tema yang sama dari sumber yang berbeda. Kompetensi ini mengacu
pada kemampuan untuk mengambil cuplikan konten dan menggabungkannya dengan
makna tertentu. Ketika individu memadukan konten media, mereka akan menghargai
“struktur dan makna terpendam” dari konten atau bahasa.
Mengevaluasi
adalah kompetensi yang keenam. Kecakapan ini mencakup kemampuan individu untuk mempertanyakan,
mengkritik, dan menguji kredibilitas konten di media baru. Kecakapan ini
merupakan kecakapan dengan level yang lebih tinggi dibandingkan dengan dua
kecakapan sebelumnya dan membutuhkan kritisisme individu penggunanya. Kecakapan
ini membutuhkan kemampuan individu untuk memaknai konten di media baru dengan
mempertimbangkan isu-isu seperti identitas, relasi kuasa, dan ideologi. Lebih penting
lagi, evaluasi juga melibatkan proses pengambilan keputusan. Misalnya,
membandingkan harga dari vendor yang berbeda melalui internet adalah tindakan
sintesis, sementara membuat keputusan vendor mana yang akan dibeli adalah
tindakan evaluasi.
Kompetensi
berikutnya adalah mendistribusikan. Kompetensi mendistribusikan berkaitan
dengan kemampuan individu untuk menyebarkan informasi yang ada di tangan
mereka. Dibandingkan dengan kecakapan prosumsi, kecakapan ini biasanya melibatkan
proses berbagi. Contoh yang relevan termasuk kemampuan individu untuk
menggunakan fungsi build-in pada situs jaringan sosial untuk berbagi perasaan
mereka (misalnya seperti suka/tidak suka), untuk berbagi pesan media, dan untuk
menilai/orang untuk produk/jasa. Kecakapan ini juga berfokus pada “kemampuan
untuk mencari, mensintesis, dan menyebarkan informasi” dalam
jaringan.
Kompetensi
kedelapan adalah memproduksi. Kecakapan ini melibatkan kemampuan untuk menduplikasi
(sebagian atau seluruhnya) konten. Tindakan produksi termasuk pemindaian (atau
mengetik) dokumen hardcopy ke dalam format digital, memproduksi klip
video dengan menggabungkan gambar dan materi audio, dan menulis daring melalui blog
atau Facebook. Kecakapan ini mengacu pada kemampuan untuk
berinteraksi secara bermakna dengan perangkat yang memperluas kapasitas mental,
juga pada kemampuan untuk menangani alur informasi dan narasi di beberapa jenis
konten dan sumber media.
Kompetensi
kesembilan adalah berpartisipasi. Kecakapan ini dekat dengan budaya
partisipatif yang mengacu pada kemampuan untuk terlibat secara interaktif dan
kritis dalam lingkungan media baru. Misalnya, individu diharapkan untuk secara
aktif ikut membangun dan memperbaiki salah satu ide-ide orang lain dalam media
platform tertentu (misalnya blog, chat room, Skype,
Facebook, dll). Dengan kata lain, kecakapan ini menyatukan pengetahuan dan membandingkan
catatan dengan orang lain untuk mencapai tujuan bersama. Berpartisipasi akan
membutuhkan keterlibatan individu yang konstan dan interaktif untuk konstruksi
konten. Dibandingan dengan kedelapan kecakapan
sebelumnya, berpartisipasi berfokus secara eksplisit pada koneksi sosial
yang menghargai kontribusi masing-masing individu.
Kompetensi
kesepuluh atau terakhir adalah berkolaborasi. Kecakapan ini mengacu pada kemampuan
untuk membuat konten di media baru, terutama berkaitan dengan pemahaman kritis
dan mengacu pada nilai-nilai sosial budaya dan masalah ideologi. Tidak seperti
kecakapan berpartisipasi, kecakapan berkreasi biasanya membutuhkan inisiatif dari
individu sendiri dibandingkan dengan interaksi bilateral antara individu.
Misalnya, inisiasi pertama dari sebuah thread dengan kekritisan akan
penciptaan; sedangkan refleksi berikutnya (komentar/ reaksi dari thread
tersebut) akan dilihat sebagai tindakan partisipasi.
Kompetensi
berpartisipasi dan berkolaborasi adalah kompetensi yang unik dan khas yang
diformulasikan oleh Japelidi dan sangat berkaitan dengan konsekuensi sosial
dari literasi digital. Kompetensi ini tidak hanya berguna bagi kompetensi
individu semata, tetapi juga bagi kompetensi kolektif (sosial).
Sumber :
Jaringan Pegiat
Literasi Digital (Japelidi). (2018). Panduan Literasi Digital. Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar