Senin, 16 September 2019

Literasi Digital (Pengenalan)


Konsep Literasi Digital 
Oleh :
Asep Rohiman Lesmana

Kita harus siap menghadapi era disrupsi yang serba tidak pasti. Teknologi setiap harinya terus dan terus berkembang. Kita pun harus dapat mengimbanginya. Salah satu ciri era disrupsi terlihat dari penggunaan teknologi informasi, keberadaan teknologi informasi telah menghapus batas-batas geografi yang memicu munculnya cara-cara baru untuk menghasilkan inovasi-inovasi baru.

Era disrupsi juga tidak bisa terlihat secara jelas dan bergerak tanpa disadari melalui pesatnya teknologi dan akan mempengaruhi tatanan hidup bahkan mengganti sistem yang ada. Inilah yang disebut sebaga era disruptif, dan telah kita rasakan saat ini.

Segala yang dilakukan oleh warga net di dunia maya merefleksikan kepribadiannya di dunia nyata. Semua tautan, foto, video yang diunggah secara langsung merupakan bentuk refleksi. Maka dari itu pentingnya pemahaman literasi digital bagi generasi milenial.

Ciri khas dari generasi milenial saat ini diantaranya kaum muda akan semangat berinovasi, percaya diri, berpikiran positif, dan berani tampil beda. Hal ini merupakan cara untuk menunjukkan identitas dan talentanya. 

Perkembangan media baru yang dimulai dari internet dalam bentuknya yang paling awal sampai dengan yang paling mutakhir, yaitu media sosial sekarang ini, menunjukkan bahwa media baru berkembang dengan dinamis dan sangat cepat. Berdasarkan perkembangannya, terdapat tiga fase perkembangan internet sampai dengan munculnya media sosial. Perkembangan itu adalah sebagai berikut: fase web 1.0, adalah sistem berjaringan berbasis komputer dari kognisi manusia. Internet pada fase ini tidak berbeda jauh dengan media massa yang lebih berfungsi mendistribusikan konten dan tidak memberikan kesempatan bagi pihak lain berperan dalam produksi konten yang sama. Konten yang ada tidak bisa dikomentari dan disebarkan kembali dengan cepat. Produsen dan pengguna konten juga masih terpisah dan posisi keduanya tidak bisa dipertukarkan.

Fase web 2.0 adalah sistem berjaringan berbasis komputer dari komunikasi manusia. Pada fase ini internet memungkinkan terjadinya komunikasi secara langsung berbagai pihak dengan fleksibel. Konten sudah bisa diberi feedback dengan langsung dan disebarkan kembali. Posisi produsen dan pengguna konten dapat saling bertukar peran. Fase web 3.0 adalah sistem berjaringan berbasis komputer dari kerjasama (co-operation) manusia. Pada fase ini satu individu bisa berkomunikasi dengan banyak pengguna lain dalam suatu ketika. Para pengguna secara kolektif dapat memproduksi konten dalam skala besar, terbentuk juga suatu sistem di mana para pengguna bisa saling berbagi informasi dan bertransaksi. Era berbagi melalui berbagai aplikasi dan media sosial termasuk dalam fase terakhir dari perkembangan internet (Fuchs,2014: 44). Dengan demikian, literasi digital berkaitan dengan media baru yang memiliki karakter sebagai berikut: (1) digitization dan konvergensi; (2) interaktivitas; dan (3) network dan networking (Flew, 2014). Ketiga karakter tersebut adalah fungsi yang memperluas fungsi media massa di mana konvergensi, interaktivitas, dan keberadaan jaringan membawa konsekuensi baru ketika berkomunikasi.

Literasi digital, seperti halnya literasi media, memiliki tiga elemen (Potter, 2004; Potter, 2014). Elemen pertama adalah kompetensi atau kecakapan yang mesti dimiliki oleh individu ketika mengakses media baru. Kecakapan ini adalah unsur utama dan terpenting. Elemen kedua adalah lokus personal, yaitu individu yang berinteraksi dengan individu lain. Pada titik ini, konsekuensi sosial dari literasi digital menjadi sangat penting. Literasi digital berguna ketika individu memerlukannya. Misalnya, literasi game daring akan lebih berguna untuk para remaja yang mengakses game daring, bukan untuk orang dewasa yang tidak atau jarang mengakses game daring. Lokus personal tidak hanya berkaitan dengan diri melainkan juga dengan individu berinteraksi dengan individu lain dan komunitas. Dengan demikian lokus personal juga memiliki konsekuensi sosial. Ketika berhadapan dengan media baru, individu dapat memiliki tiga posisi yaitu: individu yang termediasi, individu yang virtual, dan individu yang berjaringan (berbagi dan kolaborasi dengan individu lain melalui media baru) (Bolter & Grusin, 1999). Elemen ketiga adalah struktur pengetahuan. Literasi digital pada akhirnya akan menjadi-kan individu memiliki pengetahuan yang baik mengenai informasi dan dunia sosial yang dijalaninya.

Sepuluh Tahapan Kompetensi Literasi Digital Japelidi

Kompetensi adalah elemen terpenting dalam literasi digital. Kompetensi dapat dipelajari dan dikuasai oleh individu. Kompetensi juga merupakan keterampilan yang bertahap dan penguasaan kompetensi yang lebih mendasar diperlukan untuk menguasai kompetensi selanjutnya. Kompetensi literasi digital terdiri dari dua jenis, yaitu literasi digital fungsional dan literasi digital kritis (Chen, Wu, & Wang, 2011; Lin, Li, Deng, & Lee, 2013). Walaupun bersumber utama dari artikel Chen, Wu, dan Wang, Japelidi melakukan review khusus dengan memberikan penekanan yang berbeda pada masing-masing kompetensi dan memberikan nama baru untuk kompetensi kesembilan dan kesepuluh.

Berikut ini adalah sepuluh kompetensi literasi digital Japelidi yang digunakan di dalam buku panduan ini:

1. Mengakses            6. Mengevaluasi
2. Menyeleksi            7. Mendistribusikan
3. Memahami            8. Memproduksi
4. Menganalisis         9. Berpartisipasi
5. Memverifikasi       10. Berkolaborasi

Kompetensi pertama adalah mengakses. Kompetensi mengakses mengacu pada serangkaian keterampilan teknis yang diperlukan bagi seorang individu ketika berinteraksi dengan media baru. Contohnya adalah seorang individu membutuhkan informasi mengenai cara mengoperasikan komputer sebelum mengolah konten yang akan diunggah di media baru, bagaimana untuk mencari/menemukan informasi, bagaimana menggunakan teknologi informasi (misalnya internet), dan sebagainya.

Menyeleksi adalah kompetensi kedua. Kompetensi ini adalah kemampuan individu untuk memilih dan memilah informasi yang didapatkannya dari media baru. Individu yang menguasai kompetensi ini akan membuang informasi yang tidak diperlukan atau informasi yang tidak benar.

Kompetensi ketiga adalah memahami. Memahami adalah kompetensi yang mengacu pada kemampuan individu untuk memahami makna dari konten di media baru pada tingkat literal. Contohnya kemampuan untuk menangkap pesan orang lain, juga ide-ide individu yang dipublikasikan pada platform yang berbeda (misalnya buku, video, blog, Facebook, dll), dan untuk menafsirkan makna dalam bentuk pendek baru atau emoticon.

Secara khusus, individu harus mampu bereksperimen dengan lingkungan mereka untuk memecahkan masalah, untuk menafsirkan dan membangun model dinamis, untuk memindai lingkungan mereka dan pergeseran fleksibel ke informasi penting, dan untuk menangani arus informasi di berbagai jenis dan media.

Kompetensi berikutnya adalah menganalisis. Kompetensi keempat ini mengacu pada kemampuan individu untuk mendekonstruksi konten di media baru. Kompetensi ini dapat dilihat sebagai analisis tekstual semiotik yang berfokus pada bahasa, genre, dan kode beberapa jenis dan media. Kompetensi ini menjadikan individu menyadari cara produksi konten, format (misalnya pengembangan konten media yang menggunakan bahasa kreatif dengan aturan tertentu), dan audiens atau pengguna (misalnya interpretasi pesan media akan bervariasi pada seluruh individu) ketika mereka mendekonstruksi pesan media.

Kompetensi ini secara konsisten menekankan bahwa individu seharusnya tidak hanya melihat konten di dalam media baru sebagai pengamat netral realitas, tetapi mengakui produksi konten sebagai proses subjektif dan sosial. Kompetensi kelima adalah memverifikasi. Kompetensi memverifikasi mengacu pada kemampuan individu untuk mengkombinasi konten di media baru dengan mengintegrasikan sudut pandang mereka sendiri dan untuk merekonstruksi pesan media. Misalnya, individu diharapkan untuk membandingkan berita dengan tema yang sama dari sumber yang berbeda. Kompetensi ini mengacu pada kemampuan untuk mengambil cuplikan konten dan menggabungkannya dengan makna tertentu. Ketika individu memadukan konten media, mereka akan menghargai “struktur dan makna terpendam” dari konten atau bahasa.

Mengevaluasi adalah kompetensi yang keenam. Kecakapan ini mencakup kemampuan individu untuk mempertanyakan, mengkritik, dan menguji kredibilitas konten di media baru. Kecakapan ini merupakan kecakapan dengan level yang lebih tinggi dibandingkan dengan dua kecakapan sebelumnya dan membutuhkan kritisisme individu penggunanya. Kecakapan ini membutuhkan kemampuan individu untuk memaknai konten di media baru dengan mempertimbangkan isu-isu seperti identitas, relasi kuasa, dan ideologi. Lebih penting lagi, evaluasi juga melibatkan proses pengambilan keputusan. Misalnya, membandingkan harga dari vendor yang berbeda melalui internet adalah tindakan sintesis, sementara membuat keputusan vendor mana yang akan dibeli adalah tindakan evaluasi.

Kompetensi berikutnya adalah mendistribusikan. Kompetensi mendistribusikan berkaitan dengan kemampuan individu untuk menyebarkan informasi yang ada di tangan mereka. Dibandingkan dengan kecakapan prosumsi, kecakapan ini biasanya melibatkan proses berbagi. Contoh yang relevan termasuk kemampuan individu untuk menggunakan fungsi build-in pada situs jaringan sosial untuk berbagi perasaan mereka (misalnya seperti suka/tidak suka), untuk berbagi pesan media, dan untuk menilai/orang untuk produk/jasa. Kecakapan ini juga berfokus pada “kemampuan untuk mencari, mensintesis, dan menyebarkan informasi” dalam jaringan.

Kompetensi kedelapan adalah memproduksi. Kecakapan ini melibatkan kemampuan untuk menduplikasi (sebagian atau seluruhnya) konten. Tindakan produksi termasuk pemindaian (atau mengetik) dokumen hardcopy ke dalam format digital, memproduksi klip video dengan menggabungkan gambar dan materi audio, dan menulis daring melalui blog atau Facebook. Kecakapan ini mengacu pada kemampuan untuk berinteraksi secara bermakna dengan perangkat yang memperluas kapasitas mental, juga pada kemampuan untuk menangani alur informasi dan narasi di beberapa jenis konten dan sumber media.

Kompetensi kesembilan adalah berpartisipasi. Kecakapan ini dekat dengan budaya partisipatif yang mengacu pada kemampuan untuk terlibat secara interaktif dan kritis dalam lingkungan media baru. Misalnya, individu diharapkan untuk secara aktif ikut membangun dan memperbaiki salah satu ide-ide orang lain dalam media platform tertentu (misalnya blog, chat room, Skype, Facebook, dll). Dengan kata lain, kecakapan ini menyatukan pengetahuan dan membandingkan catatan dengan orang lain untuk mencapai tujuan bersama. Berpartisipasi akan membutuhkan keterlibatan individu yang konstan dan interaktif untuk konstruksi konten. Dibandingan dengan kedelapan kecakapan  sebelumnya, berpartisipasi berfokus secara eksplisit pada koneksi sosial yang menghargai kontribusi masing-masing individu.

Kompetensi kesepuluh atau terakhir adalah berkolaborasi. Kecakapan ini mengacu pada kemampuan untuk membuat konten di media baru, terutama berkaitan dengan pemahaman kritis dan mengacu pada nilai-nilai sosial budaya dan masalah ideologi. Tidak seperti kecakapan berpartisipasi, kecakapan berkreasi biasanya membutuhkan inisiatif dari individu sendiri dibandingkan dengan interaksi bilateral antara individu. Misalnya, inisiasi pertama dari sebuah thread dengan kekritisan akan penciptaan; sedangkan refleksi berikutnya (komentar/ reaksi dari thread tersebut) akan dilihat sebagai tindakan partisipasi.

Kompetensi berpartisipasi dan berkolaborasi adalah kompetensi yang unik dan khas yang diformulasikan oleh Japelidi dan sangat berkaitan dengan konsekuensi sosial dari literasi digital. Kompetensi ini tidak hanya berguna bagi kompetensi individu semata, tetapi juga bagi kompetensi kolektif (sosial).


Sumber :

Jaringan Pegiat Literasi Digital (Japelidi). (2018). Panduan Literasi Digital.  Yogyakarta. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Penguatan Integrasi Pendidikan

PENGUATAN INTEGRASI PENDIDIKAN DALAM ERA DISUPSI Oleh :  Asep Rohiman Lesmana, M.Pd. Pendidikan merupakan suatu entitas yang s...