PROGRAM EXPERIENTIAL BASED COUNSELING UNTUK MENGEMBANGKAN KOMPETENSI INTRAPERSONAL
DAN INTERPERSONAL MAHASISWA
Oleh:
Asep Rohiman Lesmana
imanlesmana382@gmail.com
A.
Rasional
Kemampuan
hubungan intrapersonal dan interpersonal oleh Cavanagh (1982) disebutkan
sebagai sebuah kompetensi, baik kompetensi intrapersonal yang didalamnya memuat
kemampuan akan pengetahuan diri (self-knowledge),
pengarahan diri (self-direction),
harga diri (self-esteem),
dan kompetensi interpersonalnya dengan indikator peka terhadap orang lain,
asertif, menjadi nyaman dengan diri sendiri dan orang lain, menjadi diri yang
mempunyai harapan yang realistik terhadap diri sendiri dan orang lain, serta perlindungan diri dalam situasi antar
pribadi. Pengembangan
kompetensi intrapersonal dan interpersonal sangat erat kaitannya dengan
pemahaman individu terhadap kedalaman dan keluasan atas hubungannya dengan
individu lain sebagaimana dikemukakan oleh Rakhmat (2011:127) beberapa faktor
dalam pengembangan kompetensi interpersonal yaitu percaya (trust), sikap suportif (supportiveness),
dan sikap terbuka (open mindedness).
Pentingnya
kompetensi intrapersonal dan
interpersonal dikarenakan prosesnya memungkinkan berlangsung secara dialogis. Hubungan
yang berlangsung secara dialogis akan lebih baik daripada monologis, monolog
menunjukkan suatu bentuk hubungan dimana seorang berbicara, yang lain
mendengarkan, jadi tidak terdapat interaksi (Onong Uchjana, 2003:60).
Mahasiswa yang memiliki kompetensi intrapersonal dan interpersonal serta keterampilan akademik dinilai sebagai
individu yang lebih kooperatif, bertanggung jawab, ramah, dan secara sosial
lebih diterima oleh teman sebaya, dosen, maupun orang lain. Mahasiswa dengan
kompetensi interpersonal yang cenderung kurang atau rendah memiliki
karakteristik kepribadian yang dapat mempersulit dirinya dalam menjalin
hubungan dengan mahasiswa yang lainnya. Mahasiswa yang ditolak teman sebayanya
cenderung memiliki sifat tidak ingin mengalah, kurang yakin pada dirinya,
kurang ramah, lebih agresif, suka mengganggu, dan menarik diri dari lingkungan.
Selanjutnya jika
telah terjadi hubungan interpersonal yang baik dan memuaskan, maka individu
yang memiliki kompetensi interpersonal akan mudah untuk mendapatkan apa yang
menjadi tujuannya. Hal ini diperkuat pendapat Chickering (Janosik, dkk., 2004)
bahwa perkembangan kompetensi interpersonal sebagai sebuah syarat untuk
membangun hubungan yang sukses, dan kompetensi interpersonal merupakan kompetensi
penting bagi kesuksesan akademik, karir, dan keluarga.
Pertimbangan
yang mendasar program ini yakni penelitian Mamat
Supriatna (2010:3-4) menjelaskan mahasiswa dalam
dinamika kehidupannya tidak hanya berhadapan dengan problema akademik,
melainkan juga problema non-akademik atau yang berhubungan dengan aspek
sosial-pribadi. Problema
akademik dan non-akademik tersebut berimplikasi bagi upaya mahasiswa dalam
mengembangkan potensi diri hingga menjadi kecakapan yang berguna untuk
menjalani kehidupannya. Fenomena yang tampak adalah bahwa belum semua mahasiswa
UPI menyadari arti penting kemampuan memahami diri sendiri, memahami orang
lain, dan berinteraksi sosial secara bermakna dalam rangka meningkatkan
kualitas kehidupannya.
Selanjutnya
hasil penelitian Tina Dahlan (2011) terhadap 585
sampel mahasiswa S1 UPI angkatan 2009 diperoleh presentase profil interpersonal
mahasiswa dalam kategori rendah sebelum diberikan treatment yaitu sebesar 41,20% dan presentase mahasiswa yang
memiliki tingkat kompetensi interpersonal kategori di bawah rata-rata lebih
besar dibandingkan yang di atas rata-rata.
Permasalahan
yang mendasar seringkali karena mahasiwa lemah dalam daya psikologis sehingga
pada saat dihadapkan pada beragam permasalahan yang dihadapi mereka dalam kehidupannya
di perguruan tinggi, mereka seringkali mengambil cara yang destruktif terhadap
diri sendiri dan orang lain. Keefektifan individu dalam mengatasi permasalahan
dan tekanan dipengaruhi oleh daya psikologis (Cavanagh dan Levitov, 2002: 192).
Tingkat daya psikologis mempengaruhi kualitas kehidupan seseorang (Cavanagh
& Levitov, 2002: 191). Dalam konteks kehidupan di perguruan tinggi,
mahasiswa yang memiliki daya psikologis rendah akan sulit untuk mengatasi
hambatan dan tantangan dalam studinya. Mereka akan mengatasi permasalahannya
dengan cara yang negatif dan destruktif. Sedangkan mahasiswa yang memiliki daya
psikologis tinggi akan lebih mudah mengatasi hambatan dan tantangan dalam
studinya. Mereka mampu mengatasi permasalahan dengan cara positif dan konstruktif.
Dengan demikian,
mahasiswa yang memiliki daya psikologis tinggi akan memperoleh kepuasan dan
keberhasilan dalam penyelesaian studi, perkembangan karier, dan kehidupannya di
masa yang datang. Sebaliknya, mahasiswa yang memiliki tingkat daya psikologis
rendah akan merasa tertekan dan tidak akan memperoleh kepuasan dalam
penyelesaian studi, karier, dan kehidupannya di masa yang akan datang.
Fokus
permasalahan yang telah dipaparkan memberikan
gambaran bahwa kompetensi intrapersonal dan interpersonal merupakan bagian dari
kehidupan mahasiswa yang akan mengakibatkan terhambatnya tugas-tugas
perkembangan. Kondisi mahasiswa yang mengalami lack of competency by interpersonal and intrapersonal tidak bisa
dibiarkan saja, harus segera ditangani oleh konselor agar tidak berkepanjangan
sehingga mempengaruhi prestasi akademik, dan tugas perkembangannya.
Hubungan
intrapersonal dan interpersonal merupakan dua variabel yang tidak dapat
dipisahkan dalam perilaku individu, bahkan memiliki kedudukan yang sangat penting
bagi kesuksesan hidup individu. Seperti yang diungkapkan oleh Barber (2001) tentang fungsi positif
intrapersonal dan interpersonal yang mengungkapkan bahwa aspek intrapersonal
secara khusus adalah self esteem, pemberian
perspektif dan empati. Serta aspek interpersonal adalah inisiatif sosial,
hubungan pertemanan, komunikasi dengan orang tua. Aspek kompetensi
intrapersonal dan interpersonal sangat fundamental dalam kekuatan pengembangan
kesuksesan dan persiapan menghadapi masa depan sebagai individu yang lebih
dewasa.
Pertimbangan
yang mendasari pengembangan program experiential based counseling adalah
hasil studi pendahuluan terhadap 92 mahasiswa di Program Studi Pendidikan Bahasa Perancis Semester 6
Angkatan 2012 Fakultas Pendidikan Bahasa dan Sastra (FPBS) Universitas
Pendidikan Indonesia (UPI) Tahun Akademik 2014/2015.
Hasil studi pendahuluan tentang kompetensi intrapersonal menunjukan
bahwa 15.22 % mahasiswa berada pada
kategori cakap, 9.76
% mahasiswa berada pada
kategori cukup cakap, dan 75.00
% mahasiswa berada pada
kategori kurang cakap. Ditinjau dari
pencapaian aspek kompetensi intrapersonal, aspek pemahaman diri sebesar 48.91
% mahasiswa
berada pada kategori cakap, sementara aspek pengarahan
diri sebesar 53.26 % mahasiswa berada pada kategori kurang cakap, dan aspek penghargaan
diri sebesar 76,09 % mahasiswa berada pada kategori kurang cakap. Hasil
capaian mahasiswa pada setiap
indikator dalam
setiap aspek menunjukan capaian
yang beragam, namun dari sebelas
indikator kompetensi intrapersonal,
baru terdapat enam
indikator yang berada pada kategori cakap, yaitu (1) indikator mahasiswa dapat
memenuhi kebutuhan diri sendiri sesuai dengan kriteria tertentu; (2) indikator
mahasiswa memahami setiap kebutuhan pribadi dan kegiatan belajarnya; (3)
indikator mahasiswa dapat merasakan suasana hati dalam diri sendiri; (4)
indikator mahasiswa dapat melakukan kebaikan atas dorongan diri sendiri; (5)
indikator mahasiswa dapat memiliki cara pandang yang mendalam; dan (6)
indikator mahasiswa mengetahui kekurangan dirinya sendiri.
Hasil
studi pendahuluan tentang kompetensi interpersonal menunjukkan bahwa 4.35 %
mahasiswa berada pada kategori cakap, 58.70 % mahasiswa berada pada kategori
cukup cakap, dan 36,96 % mahasiswa berada pada kategori kurang cakap. Dilihat
dari pencapaian aspek kompetensi interpersonal, aspek peka terhadap diri
sendiri dan orang lain sebesar 57.61 % mahasiswa berada pada kategori cukup
cakap, aspek asertif sebesar 33.70 % mahasiswa berada pada kategori kurang
cakap, aspek nyaman dengan diri sendiri dan orang lain sebesar 69,57 %
mahasiswa berada pada kategori cakap, aspek membiarkan orang lain bebas sebesar
82.61 % mahasiswa berada pada kategori cukup cakap, aspek ekspektasi yang
realistis tentang diri sendiri dan orang lain sebesar 75,00 % mahasiswa berada
pada kategori cukup cakap, dan aspek perlindungan diri dalam situasi
interpersonal sebesar 64.13 % berada pada kategori cukup cakap. Hasil
capaian mahasiswa pada setiap indikator
dalam setiap aspek menunjukan capaian
yang beragam, namun dari kelima belas
indikator kompetensi interpersonal,
baru terdapat enam
indikator yang berada pada kategori cakap, yaitu (1) indikator mahasiswa tegas
terhadap perilakunya; (2) indikator mahasiswa memiliki pemikiran yang akurat;
(3) indikator mahasiswa dapat berperilaku jujur; (4) indikator mahasiswa dapat memberikan keleluasaan diri kepada orang lain dalam
berekspresi; (5) indikator mahasiswa dapat merekayasa lingkungan yang mendukung
hubungan interpersonal; dan (6) indikator mahasiswa dapat menimbang dan
memperkirakan waktu yang tepat saat berinterkasi.
Fakta empiris
tersebut menunjukan bahwa pada setiap aspek
kompetensi intrapersonal dan interpersonal,
masih terdapat indikator-indikator yang belum berkembang dengan optimal. Dengan
kata lain, belum semua mahasiswa
mampu mengembangkan hubungan yang
baik dengan diri sendiri maupun dengan orang lain.
Atas dasar
rasional inilah diperlukan upaya untuk
mengembangkan kompetensi intrapersonal dan interpersonal pada mahasiswa. Upaya untuk mengembangkan kompetensi intrapersonal dan interpersonal
mahasiswa tersebut
dapat dikemas dalam suatu bentuk kegiatan yang dapat memberikan pengalaman
langsung (experience) serta significant effect terhadap peningkatan daya psikologis. Kegiatan yang mengandung unsur pengalaman tersebut dikemas
dalam program experiential based counseling sebagai salah satu upaya alternatif
untuk mengembangkan kompetensi intrapersonal dan interpersonal. Program experiential based counseling untuk
untuk mengembangkan kompetensi intrapersonal dan interpersonal mahasiswa terbangun dari konstruk
teori bimbingan konseling kelompok yang memadukan unsur pengalaman (experience) yang didapat dari aktivitas
kelompok (group) saat mengikuti
kegiatan-kegiatan yang bertujuan untuk mengembangkan kompetensi intrapersonal
dan interpersonal serta sebagai sumber pengetahuan untuk membentuk daya psikologis dan
kepribadian mahasiswa yang sesuai dengan tugas perkembangannya. Dalam program experiential based counseling, peserta (mahasiswa) berkesempatan untuk saling
membantu, saling memberi wawasan/informasi,
saling bertukar pengalaman dan saling memberi alternatif penyelesaian
masalah islutratif yang sedang dihadapi
kelompok. Berg, Landreth dan Fall (2006: 6) memaparkan kontribusi konseling kelompok dalam membentuk
dan merubah prilaku dan wawasan anggota kelompok sebagai berikut
“Group members
come to function not just as counselees but also as a combination of counselees
but also as combination of counselees at times in the sessions and at other
times as helpers or therapists. Through the process of this experience, group
members seem to learn to be better helpers or member-therapists.”
Bergh,
Landerth & Fall (2006: 5-7) serta Gladding (2008: 147) memaparkan bahwa
melalui group counseling, individu
sebagai anggota kelompok diberi kesempatan untuk mengembangkan kesadaran
hubungan antar pribadi anggota kelompok (developing
self awareness), mendapatkan pengalaman yang signifikan dalam hubungan
antar pribadi anggota kelompok (experiencing
significant relationships), tekanan dinamis untuk perkembangan (dynamic pressure for growth), mendapatkan
lingkungan yang mendukung untuk saling berkembang (supportive environment), meningkatkan kepekaan terhadap prilaku
baru, keyakinan-keyakinan baru dan budaya baru yang muncul dari anggota
kelompok lainnya.
Rusmana
(2009:32) menjelaskan beberapa latihan kelompok dapat diklasifikasikan sebagai
latihan eksperiensial karena anggota kelompok terlibat dalam semacam pengalaman
kelompok ataupun individual yang aktif dan menantang. Latihan eksperiensial
merupakan rangkaian aktivitas yang didesain untuk membawa individu dan kelompok
melampaui pengharapan mereka ataupun meyakini keinginan mereka untuk mencoba
berbagai tantangan.
Terkait dengan pernyataan diatas, unsur pengalaman yang
didapat dalam suatu kelompok dapat digunakan untuk meningkatkan pemahaman yang kaya dalam memahami
kompetensi intrapersonal dan interpersonal. Hal ini senada dengan
pendapat Kim &
Lim yang menyatakan,
“Experiential learning can be a powerful means to stimulate
multicultural awareness and can be use to help individuals confront and
overcome racial/ethnic biases. When use the didactic methods, experiential
based group counseling can provide trainees with opportunities to observe and
practice skills that they have read and have been taught.” (Baruth & Manning 2007: 57).
Belajar berdasarkan pengalaman dapat menjadi sesuatu
yang berharga dan dapat mengembangkan kompetensi intrapersonal dan interpersonal
mahasiswa. Kolb (1984) mendefinisikan experiential learning sebagai proses pengetahuan diciptakan melalui
transformasi pengalaman (experience).
Pengetahuan yang didapat merupakan hasil perpaduan antara memahami dan
mentransformasi pengalaman. Model peningkatan pengetahuan ini lebih menekankan pada
model pembalajaran yang holistik (kognitif, afektif dan konasi) Kolb (1984).
Pengalaman
yang didapat peserta saat mengikuti program experiential based counseling diharapkan mampu menjadi stimulus
bagi peserta (mahasiswa) untuk lebih meningkatkan kompetensi
intrapersonal dan interpersoal serta diharapkan mampu meningkatkan daya psikologis dan
kepribadian. Program experiential based counseling mengarahkan peserta (mahasiswa) berbagi dalam tugas-tugas tertentu serta materi-materi ilustratif untuk mengembangkan
kompetensi intrapersonal dan interpersoal yang spesifik dalam waktu yang
relatif singkat.
B.
Deskripsi Kebutuhan
Deskripsi mengenai kebutuhan mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Perancis Semester Enam Angkatan 2012 FPBS UPI
Tahun Akademik 2014/2015 didapatkan melalui skala pengungkap kompetensi intrapersonal dan
interpersonal yang telah disebarkan kepada 92 mahasiswa. Hasil
penyebaran instrumen tersebut kemudian dan diolah sehingga diperoleh kriteria
pada tabel berikut.
Tabel
1.1
Profil
Umum Kompetensi
Intrapersonal dan Interpersonal Mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Perancis Semester Enam
Angkatan 2012 FPBS UPI Tahun Akademik 2014/2015
Profil
|
Kategori
|
||
Cakap
|
Cukup Cakap
|
Kurang Cakap
|
|
Kompetensi Intrapersonal
|
15,22 %
|
9,78 %
|
75,00 %
|
Kompetensi Interpersonal
|
4,35 %
|
58,70 %
|
36,96 %
|
Berdasarkan
Tabel 1.1, secara umum
profil kompetensi intrapersonal mayoritas mahasiswa Program Studi Pendidikan
Bahasa Perancis berada pada kategori kurang cakap. Proporsi mahasiswa yang
berada pada kategori cakap sebanyak 14 mahasiswa, proporsi mahasiswa yang
berada pada kategori cukup cakap sebanyak 9 mahasiswa, dan proporsi mahasiswa
yang berada pada kategori kurang cakap sebanyak 69 mahasiswa. Fokus sasaran
dalam program ini yaitu mahasiswa yang
memiliki kompetensi intrapersonal yang kurang cakap.
Terkait dengan hasil studi
pendahaluan pada Tabel 1.1, secara umum profil kompetensi interpersonal,
mayoritas mahasiswa Program Studi
Pendidikan Bahasa Perancis berada pada kategori cukup cakap. Proporsi mahasiswa
yang berada pada kategori cakap sebanyak 4 mahasiswa, proporsi mahasiswa yang
berada pada kategori cukup cakap sebanyak 54 mahasiswa, dan proporsi mahasiswa
yang berada pada kategori kurang cakap sebanyak 34 mahasiswa. Fokus sasaran
dalam program ini yaitu mahasiswa yang
memiliki kompetensi interpersonal yang cukup cakap dan kurang cakap.
Selain diperoleh
profil secara umum, kompetensi intrapersonal dan interpersonal dijabarkan dalam
pencapaian aspek dapat dilihat pada Tabel 1.2 sebagai berikut.
Tabel 1.2
Profil Pencapaian Aspek Kompetensi
Intrapersonal dan Interpersonal Mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Perancis Semester Enam
Angkatan 2012 FPBS UPI Tahun Akademik 2014/2015
Variabel
|
Aspek
|
Kategori
|
||
Cakap
|
Cukup Cakap
|
Kurang Cakap
|
||
Kompetensi Intrapersonal
|
Pemahaman Diri
|
48,91 %
|
44,57 %
|
6,52 %
|
Pengarahan Diri
|
26,09 %
|
20,65 %
|
53,26 %
|
|
Penghargaan Diri
|
9,78 %
|
14,13 %
|
76,09 %
|
|
Kompetensi
Interpersonal
|
Peka terhadap diri sendiri dan orang lain
|
40,22 %
|
57,61 %
|
2,17 %
|
Asertif
|
50,00 %
|
16,30 %
|
33,70 %
|
|
Nyaman dengan diri sendiri dan orang lain
|
69,57 %
|
23,91 %
|
6,52 %
|
|
Membiarkan orang lain bebas
|
13,04 %
|
82,61 %
|
4,35 %
|
|
Ekspektasi
yang realistis tentang diri sendiri dan orang lain
|
21,74 %
|
75,00 %
|
3,26 %
|
|
Perlindungan diri dalam situasi interpersonal
|
31,52 %
|
64,13 %
|
4,35 %
|
Tabel 1.2 menggambarkan
kompetensi intrapersonal mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Perancis
berdasarkan aspeknya, menunjukkan pada aspek pemahaman diri sebanyak 45
mahasiswa berada pada kategori cakap, aspek pengarahan diri sebanyak 49
mahasiswa berada pada kategori kurang cakap, dan aspek penghargaan diri
sebanyak 70 mahasiswa berada pada kategori kurang cakap. Artinya mahasiswa
program studi pendidikan bahasa perancis memiliki kecenderungan pemahaman diri
yang mumpuni. Fokus sasaran dalam program ini yang dikembangkan pada aspek
pengarahan diri dan penghargaan diri.
Berdasarkan
Tabel 1.2 pencapaian aspek kompetensi interpersonal mahasiswa Program Studi
Pendidikan Bahasa Perancis menunjukkan aspek peka terhadap diri sendiri dan
orang lain sebanyak 53 mahasiswa berada pada kategori cukup cakap, aspek
asertif sebanyak 46 mahasiwa berada pada kategori cakap, aspek nyaman dengan
diri sendiri dan orang lain sebanyak 64 mahasiswa berada pada kategori cakap,
aspek membiarkan orang lain bebas sebanyak 76 mahasiswa berada pada kategori
cukup cakap, aspek ekspektasi yang realistis tentang diri sendiri dan orang
lain sebanyak 69 mahasiswa berada pada kategori cukup cakap, dan aspek
perlindungan diri dalam situasi
interpersonal sebanyak 59 mahasiswa berada pada kategori cukup cakap. Artinya
mahasiswa program studi pendidikan bahasa perancis memiliki kelemahan pada
empat aspek yang berada pada kategori cukup cakap dan menjadi fokus sasaran
yang dikembangkan dalam program ini.
Deskripsi
kebutuhan selanjutnya yakni profil pencapaian indikator kompetensi intrapersonal
dan interpersonal mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Perancis yang
dijabarkan pada Tabel 1.3 dan Tabel 1.4 sebagai berikut.
Tabel 1.3
Profil Pencapaian Indikator Kompetensi Intrapersonal
Mahasiswa Program Studi
Pendidikan Bahasa Perancis Semester Enam
Angkatan 2012 FPBS UPI Tahun Akademik 2014/2015
Aspek
|
Indikator
|
Kategori
|
||
Cakap
|
Cukup Cakap
|
Kurang Cakap
|
||
Pemahaman Diri
|
Mahasiswa mengetahui kelebihan dirinya sendiri.
|
40,22 %
|
26,09 %
|
33,70 %
|
Mahasiswa mengetahui
kekurangan dirinya sendiri.
|
78,26 %
|
8,70 %
|
13,04 %
|
|
Mahasiswa memahami
kebutuhan yang ingin dipenuhi.
|
81,52 %
|
13,04 %
|
5,43 %
|
|
Mahasiswa merasakan
suasana hati dalam diri sendiri.
|
81,52 %
|
13,04 %
|
5,43 %
|
|
Mahasiswa memahami
konsekuensi dari setiap tindakan.
|
55,43 %
|
38,04 %
|
6,52 %
|
|
Pengarahan Diri
|
Mahasiswa dapat
memiliki cara pandang yang mendalam.
|
79,35 %
|
9,78 %
|
10,87 %
|
Mahasiswa dapat
memenuhi kebutuhan diri sesuai dengan
kriteria tertentu.
|
90,22 %
|
7,61 %
|
2,17 %
|
|
Mahasiswa dapat menyalurkan
energi sesuai tujuan.
|
25,00 %
|
71,74 %
|
3,26 %
|
|
Penghargaan Diri
|
Mahasiswa menyadari
sebagai orang cakap.
|
50,00 %
|
33,70 %
|
16,30 %
|
Mahasiswa dapat
melakukan kebaikan atas dorongan diri sendiri.
|
80,43 %
|
15,22 %
|
4,35 %
|
|
Mahasiswa merasakan menjadi
orang yang berharga.
|
7,61 %
|
86,96 %
|
5,43 %
|
Secara rinci
profil kompetensi intrapersonal mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa
Perancis dilihat dari kesebelas indikator pembentukan kompetensi intrapersonal,
terdapat lima indikator yang masih perlu ditingkatkan dan dikembangkan dalam
program ini diantaranya : (1) indikator mahasiswa menerima diri sebagai orang
yang berharga; (2) indikator mahasiswa dapat menyalurkan energi sesuai tujuan;
(3) indikator mahasiswa dapat memahami konsekuensi dari setiap tindakan;
(4) indikator mahasiswa mengetahui
kelebihan dirinya sendiri; dan (5) indikator mahasiswa menerima diri sebagai
orang cakap. Dapat disimpulkan bahwa mahasiswa hanya dapat memahami cara
pandang yang mendalam, dan merasakan suasana hati dalam diri sendiri, dan belum
menunjukan kemampuan berelasi secara optimal, sehingga dua aspek kompetensi
intrapersonal belum berkembang.
Tabel 1.4
Profil Pencapaian Indikator Kompetensi Interpersonal
Mahasiswa Program Studi
Pendidikan Bahasa Perancis Semester Enam
Angkatan 2012 FPBS UPI Tahun Akademik 2014/2015
Aspek
|
Indikator
|
Kategori
|
||
Cakap
|
Cukup Cakap
|
Kurang Cakap
|
||
Peka terhadap diri sendiri dan orang
lain
|
Mahasiswa memiliki
pemikiran yang akurat.
|
79,35 %
|
14,13 %
|
6,52 %
|
Mahasiswa memiliki
perasaan yang stabil.
|
10,87 %
|
85,87 %
|
3,26 %
|
|
Mahasiswa memahami
pemikiran orang lain.
|
13,04 %
|
26,09 %
|
60,87 %
|
|
Mahasiswa memahami
perasaan orang lain.
|
19,57 %
|
43,48 %
|
36,96 %
|
|
Mahasiswa dapat
menimbang dan memperkirakan waktu yang tepat saat berinterkasi.
|
42,39 %
|
36,96 %
|
20,65 %
|
|
Asertif
|
Mahasiswa tegas
terhadap perilakunya.
|
82,61 %
|
16,30 %
|
1,09 %
|
Mahasiswa dapat
berperilaku jujur.
|
72,83 %
|
17,39 %
|
9,78 %
|
|
Nyaman dengan diri sendiri dan orang
lain
|
Mahasiswa dapat
berinteraksi dengan baik terhadap orang lain.
|
9,78 %
|
60,87 %
|
29,35 %
|
Mahasiswa dapat
merespon interaksi dari orang lain secara komunikatif.
|
44,57 %
|
47,83 %
|
7,61 %
|
|
Membiarkan orang lain bebas
|
Mahasiswa dapat
memberikan keleluasaan diri kepada orang lain dalam berekspresi.
|
70,65 %
|
21,74 %
|
7,61 %
|
Mahasiswa dapat berinteraksi
dengan orang lain secara bermakna.
|
11,96 %
|
80,43 %
|
7,61 %
|
|
Ekspektasi yang realistis tentang diri
sendiri dan orang lain
|
Mahasiswa memiliki
harapan yang menjanjikan bagi diri sendiri dan orang lain.
|
16,30 %
|
79,35 %
|
4,35 %
|
Mahasiswa dapat
bertindak berdasarkan harapan diri sendiri.
|
27,17 %
|
59,78 %
|
13,04 %
|
|
Perlindungan diri dalam situasi
interpersonal
|
Mahasiswa dapat
memberikan perlindungan ketika terjalin hubungan interpersonal.
|
18,48 %
|
76,09 %
|
5,43 %
|
Mahasiswa dapat
merekayasa lingkungan yang mendukung hubungan interpersonal.
|
68,48 %
|
29,35 %
|
2,17 %
|
Berdasarkan Tabel 1.4, secara rinci profil
kompetensi interpersonal mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Perancis
dilihat dari kelima belas indikator pembentukan kompetensi interpersonal,
terdapat delapan indikator yang masih perlu ditingkatkan dan dikembangkan dalam
program ini diantaranya: (1) indikator mahasiswa memiliki pemikiran yang
stabil; (2) indikator mahasiswa memahami perasaan orang lain; (3) indikator
mahasiswa dapat berinteraksi dengan baik terhadap orang lain; (4) indikator
mahasiswa dapat merespon interaksi dari orang lain secara komunikatif; (5)
indikator mahasiswa dapat berinteraksi dengan orang lain secara bermakna; (6)
indikator mahasiswa memiliki harapan yang menjanjikan bagi diri sendiri dan
orang lain; (7) indikator mahasiswa dapat bertindak berdasarkan harapan diri
sendiri; dan (8) indikator mahasiswa memahami pemikiran orang lain. Dapat
disimpulkan bahwa mahasiswa belum memahami pemikiran orang lain atau teman
dalam meningkatkan kepekaan, dan mahasiswa belum menunjukan kemampuan berelasi
dengan orang lain secara optimal, sehingga delapan indikator kompetensi interpersonal
belum berkembang.
C.
Tujuan
Program Experiential Based Counseling
Tujuan
umum dari program experiential based
counseling adalah untuk mengembangkan kompetensi intrapersonal dan
interpersonal mahasiswa. secara khusus, tujuan dari program experiential based counseling adalah
untuk membantu mahasiswa dalam mengembangkan:
1. Pemahaman
diri, yaitu memahami kekuatan, kelemahan, kebutuhan, perasaan, dan motif diri
sendiri.
2. Pengarahan
diri, yaitu mengarahkan kehidupan diri sendiri dan bertangungjawab sepenuhnya
atas konsekuensi dari perilaku diri sendiri,
3. Pengahargaan
diri, yaitu menerima diri sendiri sebagai individu yang cakap, penuh kebajikan,
dan berharga.
4. Peka
terhadap diri sendiri dan orang lain, yaitu sadar akan pemikiran dan perasaan
diri sendiri dan melibatkan kesadaran tersebut dalam membuat respon yang tepat
kepada orang lain.
5. Asertif,
yaitu mengkomunikasikan apa yang menjadi hal mereka secara jujur dan
konstruktif.
6. Nyaman
dengan diri sendiri dan orang lain, yaitu terbuka dalam menunjukkan diri
sendiri yang sebenarnya.
7. Membiarkan
orang lain bebas, yaitu membiarkan orang lain untuk menjadi diri mereka
sendiri.
8. Ekspektasi
yang realistis tentang diri sendiri dan orang lain, yaitu menyadari bahwa
dirinya dan orang lain tidak sempurna.
9. Perlindungan
diri dalam situasi interpersonal, yaitu kemampuan untuk mengatasi apapun yang
terjadi di dalam hubungan interpersonal tanpa terpengaruh secara pribadi.
D.
Prinsip Pelaksanaan Program Experiential Based Counseling
Prinsip-prinsip yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan program experiential based counseling adalah sebagai berikut:
1. Manusia
ialah mahluk yang dinamis, yang selalu melakukan perubahan dalam kehidupannya.
2. Efektivitas hubungan konseling sangat tergantung pada
kualitas hubungan antara konseli dan konselor.
(…the effectiveness of counseling is
highly dependent on the quality of the relationship between the client and the
counselor) (David Gerldard & Kathryn Geldard, 2001: 12).
3. Konselor harus memiliki pengetahuan tentang konseli yang
berasal dari kelompok dan budaya
tertentu. Jika seorang konselor dapat melakukan hal ini dengan berhasil,
konselor mungkin mendapatkan pengetahuan lebih jauh tentang keluarga konseli,
nilai-nilai, sikap, keyakinan dan perilaku konseli. Sehingga bantuan yang
diberikan lebih tepat guna. ”Counsellors should have knowledge about the
client’s particular group and culture.....,. If a counsellor can do this
successfully, they may be able to further their knowledge about the client’s
family, values, attitudes, beliefs and behaviours” David Geldard &
Kathryn Geldard (2001: 336).
4. Program
experiential based counseling merupakan kegiatan
yang dikemas dalam bentuk kegiatan langsung dimana pengalaman sebagai
transformasi pembelajaran yang menuntut partisipasi aktif peserta.
5. Program experiential
based counseling menunjukkan suatu aplikasi yang spesifik dari metode dalam
penyelenggaraan proses pendidikan untuk meningkatkan aspek kognitif, afektif
dan psikomotor.
E.
Khalayak Sasaran
Program experiential based
counseling untuk mengembangkan kompetensi intrapersonal dan interpersonal
mahasiswa sebagai pengembangan (developmental)
terhadap kompetensi kepribadian dan sosial calon pendidik. Berdasarkan
fungsi tersebut maka khalayak sasaran dalam pelaksanaan experiential based counseling untuk
mengembangkan kompetensi intrapersonal dan interpersonal mahasiswa yang
menempuh studi program sarjana (S1) pada semester enam program studi pendidikan
bahasa perancis angkatan 2012 tahun akademik 2014/2015. Pada umumnya mahasiswa
semester enam dalam rentang perkembangan
remaja akhir yang sedang mengalami suatu perpindahan
menuju struktur akademik yang lebih besar, bertambahnya tekanan akademik untuk
mencapai prestasi, interaksi sosial tinggi, dinamika kelompok yang kurang
kohesif, dan tekanan sosial.
Hal tersebut diperkuat dengan pendapat Havighurst (1961)
tugas perkembangan remaja akhir yang menuju dewasa awal diantaranya yaitu
mencapai tingkah laku yang bertanggung jawab secara sosial, belajar bergaul
dengan kelompok teman sebaya, mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan
orang dewasa lainnya, mengembangkan keterampilan intelektual, menerima peran
sosial sebagai pria dan wanita, memperoleh seperangkat nilai dan sistem etika
sebagai petunjuk dalam bertingkah laku, dan mengamalkan nilai-nilai keimanan
dan ketaqwaan kepada Tuhan YME dalam kehidupan sehari-hari, baik pribadi maupun
sosial.
Terkait dengan pernyataan diatas, Hurlock (1978)
menjelaskan tugas perkembangan remaja akhir diantaranya belajar menyesuaikan
diri terhadap pola hidup yang baru, belajar untuk memiliki cita-cita yang
tinggi, dan belajar untuk memantapkan identitas diri.
E. Sistem
Sosial
Sistem
sosial dalam pelaksanaan program experiential based counseling adalah
kerangka batasan peran konselor – konseli yang mengikat dalam situasi hubungan
bantuan.
Konselor
dan konseli dalam proses pelaksanaan program
experiential based counseling mengembangkan
kesepakatan berupa komitmen bersama untuk menjalankan proses layanan dengan
penuh tanggung jawab. Komitmen bersama ini menjadi dasar tercapainya
keberhasilan atau kegagalan dalam menjalani proses dari konseling berbasis pengalaman. Komitmen bersama yang
dibangun mempertegas peran dan tanggung jawab konselor dan konseli. Berikut ini
adalah penjelasan peran konselor dan konseli dalam pelaksanaan program experiential
based counseling.
Peran
konselor dalam secara keseluruhan adalah sebagai fasilitator yang harus
memahami secara utuh karakteristik konseli, serta memiliki kepercayaan bahwa
konseli merupakan individu yang sedang menjalani proses perkembangan, sehingga
peran mendasar konselor adalah membantu jalannya proses perkembangan tersebut
sehingga mencapai perkembangan yang optimal.
Merujuk
pada pendapat Mamat Supriatna (2010:8), peran konselor dalam
pelaksanaan model konseling aktualisasi
diri untuk mengembangkan kecakapan pribadi mahasiswa, bahwasannya peran
konselor adalah sebagai pendidik psikologis, peran ini lebih kepada peran
konselor sebagai role model bagi
konseli (mahasiswa). Konselor dalam
menjalankan peran sebagai pendidik psikologis harus bersifat fleksibel sebagai
: (1) teman yang berperan serta secara produktif dan bertanggung jawab dalam
proses layanan, (2) motivator dalam upaya pengungkapan pengalaman, pemikiran,
perasaan, dan tindakan konseli yang kreatif, (3) inspirator dan promotor bagi
konseli untuk memperoleh wawasan yang dapat mencerahkan kehidupannya.
Berdasarkan
ketiga fungsi tersebut, peran konselor dalam pelaksanaan program experiential
based counseling untuk mengembangkan
kompetensi intrapersonal dan interpersonal mahasiswa adalah
sebagai berikut.
1) Memberikan
kesempatan konseli merefleksikan konten dan proses layanan yang diberikan.
2) Sebagai
fasilitator memberikan pemahaman dan kemampuan selama proses pelaksanaan program
experiential
based counseling.
3) Menerima
informasi dan pandangan lain dari konseli.
4) Penelaah hasil penelitian pelaksanaan program
experiential
based counseling.
5) Memberikan
kesempatan untuk mengeksplorasi dan mengekspresikan perasaan konseli.
6) Merencanakan
dan melaksanakan program experiential based counseling
untuk menembangkan kompetensi intrapersonal dan
interpersonal secara professional.
7) Lebih
proaktif dibandingkan reaktif dalam melaksanakan program experiential
based counseling.
8) Reviewer
terhadap mahasiswa
untuk mengetahui perubahan pola pikir dan perilaku yang terkait dengan
pencapaian kompetensi
intrapersonal dan interpersonal.
Peran
konseli dalam proses pelaksanaan pelaksanaan
program experiential based counseling
adalah sebagai individu (mahasiswa) yang sadar dan
bertanggung jawab dengan seluruh aktivitas yang dilakukan dalam setiap sesi
layanan, serta setiap menerima konsekuensi dari setiap proses yang dijalani. Secara khusus,
peran konseli diantaranya harus senantiasa aktif dalam proses treatment, konseli harus terbuka dengan
berbagai kendala dalam permasalahannya, konseli dapat mengkomunikasikan
sikap-sikap yang diambil dalam pengambilan keputusan, konseli dapat
merefleksikan terhadap hasil pemaknaan materi yang sudah diberikan, dan konseli
harus memiliki perspektif serta eskpektasi terhadap diri sendiri sebagai proses
internalisasi diri.
F. Kompetensi
Konselor
Kompetensi
konselor dalam program experiential based counseling merupakan
penunjang yang bersifat perangkat lunak yang terkandung atau melekat pada
karakteristik pribadi konselor itu sendiri, dan dapat dikembangkan melalui
pendidikan. Adapun kompetensi-kompetensi konselor yang diperlukan dalam program experiential
based counseling untuk mengembangkan kompetensi intrapersonal dan interpersonal mahasiwa
yaitu sebagai berikut.
1. Konselor
memahami potensi-potensi diri konseli, baik yang menunjang maupun menghambat
bagi perkembangan kehidupannya.
2. Konselor
mampu mengidentifikasi profil keterampilan
intrapersonal dan interpersonal sesuai dengan aspek dan indikatornya.
3. Konselor
mampu mengkomunikasikan gagasan melalui ungkapan pemikiran, perasaan, dan
perbuatan yang mendorong konseli berperan serta dalam proses bantuan.
4. Konselor
terampil menggunakan pengalalaman, baik yang berasal dari riwayat kehidupan,
bacaan, simakan, maupun tontonan untuk dijadikan ilustrasi atau media bantuan.
5. Konselor
memahami makna atau ketertarikan antara nilai-nilai yang terungkap dalam proses
bantuan dengan pengalaman keseharian konseli.
6. Konselor
mampu menunjukkan penghargaan dan sikap positif terhadap upaya, keputusan, dan
atau perubahan konseli ke arah yang lebih baik.
G. Penunjang
Teknis Layanan
Menurut
Rusmana (2009:76) langkah-langkah konseling berbasis pengalaman dapat dilakukan
dengan menggunakan Metode Socratic (socratic method). Metode ini terdiri atas empat langkah
kegiatan yaitu; a) eksperientasi (experience); b) identifikasi (identify);
c) analisis
(analize); d) generalisasi
(generalize).
1). Fase Eksperientasi (experience)
atau disebut juga fase action adalah fase di mana konselor melaksanakan
kegiatan konseling (do) yang diarahkan pada upaya memfasilitasi individu
untuk mengekspresikan perasaan-perasaan yang menjadi beban psikologisnya sesuai
dengan skenario yang telah ditetapkan sebelumnya.
2). Fase Identifikasi
(identify) adalah
fase di mana konselor melaksanakan proses identifikasi dan refleksi pengalaman
selama proses latihan. Pada fase ini konseli atau anggota kelompok diminta
untuk bercermin atau melihat (look) ke dalam dirinya apa kaitan antara
proses permainan dengan keadaan dirinya. Pada tahap ini konseli diajak untuk
mengungkapkan pikiran, perasaan yang terkait dengan proses eksperientasi.
Pikiran dan perasaan yang diungkapkan oleh konseli merepresentasikan kondisi
psikologis dan permasalahan yang dihadapinya.
3). Fase Analisis (analyze)
adalah fase di mana konseli diajak untuk
merefleksikan (reflection) dan memikirkan (think) kaitan antara
proses konseling dengan kondisi psikologis yang sedang dihadapinya. Sehingga
dapat digunakan untuk membuat rencana perbaikan terhadap kelemahan-kelemahan
diri.
4). Fase Generalisasi
(generalitation)
adalah fase di mana konseli diajak untuk
membuat rencana (plan) perbaikan terhadap kelemahan yang dihadapi oleh
konseli. Rencana perbaikan dapat diwujudkan pada proses konseling berikutnya.
Secara lengkap
gambaran mengenai mekanisme dan langkah-langkah konseling berbasis pengalaman
yakni terlihat dalam skema 1.1
sebagai berikut.
Rusmana
(2009:19) menjelaskan jenis-jenis latihan kelompok (group exercise) yang menjadi penunjang teknis program experiential based counseling meliputi :
1)
menulis (written),
2)
gerak (movement),
3)
lingkaran (rounds),
4)
dyad dan triad,
5)
creative props,
6)
arts and crafts
7)
fantasi,
8)
bacaan umum,
9)
umpan balik,
10) kepercayaan (trust),
11)
experiential,
12) dilema moral,
13) keputusan kelompok, dan
14) sentuhan (touching).
Rusmana
(2009:26) menjelaskan beberapa latihan kelompok dapat diklasifikasikan sebagai
latihan eksperiensial karena anggota kelompok terlibat dalam semacam pengalaman
kelompok ataupun individual yang aktif dan menantang. Latihan eksperiensial
yang paling dikenal adalah “ropes course” (permainan tali temali), yang
merupakan rangkaian aktivitas yang didesain untuk membawa individu dan kelompok
melampaui pengharapan mereka ataupun meyakini keinginan mereka untuk mencoba.”
(project adventure, 1992). Aktivitas ini dilakukan di luar ruangan
dengan menggunakan rangkaian yang didesain secara hati-hati dan terbuat dari
jalinan tali temali. Aktivitas dalam permainan tali temali bergantung pada kerjasama
antar anggota kelompok, dengan demikian aktivitas ini bagus untuk pembentukan
tim (team building).
H. Struktur
dan Tahapan Pelaksanaan
Program
experiential based counseling bersifat didaktik, direktif, aktif,
eksploratif, dan reflektif yang disuguhkan dalam durasi waktu yang bervariatif
dengan rentang 15-120
menit disesuaikan dengan materi kegiatan
yang diberikan yang dikemas dalam
dinamika kelompok. Materi kegiatan disusun berdasarkan pada apsek-aspek kompetensi intrapersonal dan
interpersonal sebagai hasil dari need assessment. Tahapan
pelaksanaan experiential based counseling
yakni sebagai beirkut.
1. Tahap Awal
Pembentukan Kelompok (beginning a
group/forming stage)
Pada tahap ini setiap anggota dibentuk dalam suatu kelompok serta pemaparan
alasan kelompok tersebut dibentuk, untuk kepentingan apa, siapa anggotanya dan
jumlahnya. Dalam tahap ini juga dipaparkan mengenai kesepakatan kegiatan
seperti peraturan kegiatan yang akan dilakukan dan batasan kegiatan (setting limit). Selain itu dalam tahap
ini anggota kelompok melakukan berbagai panjajagan terhadap anggota lainnya
mengenai hubungan antar pribadi yang dikehendaki kelompok, sekaligus mencoba
berprilaku tertentu untuk mendapatkan reaksi dari anggota lainnya. Pada tahap ini setiap anggota kelompok dalam kelompok
melakukan berbagai panjajagan terhadap anggota lainnya mengenai hubungan antar
pribadi yang dikehendaki kelompok, sekaligus mencoba berprilaku tertentu untuk
mendapatkan reaksi dari anggota lainnya. Bersamaan dengan tampilnya perilaku
individu yang berbeda-beda tersebut, secara perlahan-lahan, anggota kelompok
mulai menciptakan pola hubungan antar sesama mereka. Pada tahap pertama inilah
secara berangsur-angsur mulai diletakkan pola dasar perilaku kelompok, baik
yang berkaitan dengan tugas-tugas kelompok maupun yang berkaitan dengan
hubungan antar pribadi anggotanya.
Pada tahap ini hubungan satu dengan yang lainnya masih
terlihat kaku, namun pada umumnya setiap individu senang memperlihatkan rasa aku-nya.
Dalam kondisi yang masih diliputi
kekakuan seperti ini, kelompok belum mampu menghasilkan prestasi kerja yang
bermakna. Kondisi akhir yang diharapkan terjadi dalam fase ini adalah hilangnya kekakuan dalam hubungan
antar pribadi.
2. Tahap Transisi (transition stage)
Pada
tahap kedua dari proses pembentukan kelompok ini, upaya memperjelas tujuan
kelompok mulai nampak dengan peningkatan partisipasi peserta. Sadar atau tidak
sadar, pada tahap ini anggota kelompok mulai menditeksi kekuatan dan kelemahan
masing-masing anggota kelompok melalui proses interaksi yang intensif, ditandai
dengan mulai terjadinya konflik antar anggota kelompok. Salah satu ciri dari
fase ini adalah dengan berbagai cara apapun anggotanya akan saling mempengaruhi
satu sama lain.
Pada
fase ini mulai terlihat siapa anggota yang kuat dan siapa yang lemah, secara
perlahan-lahan mulai terlihat karakteristik gaya kepribadian masing-masing
anggota. Ada yang ingin menang sendiri, ada yang lebih suka mengalah, ada pula
yang mudah tersinggung dan kecewa lantas menarik diri. Dalam fase ini semua
anggota sudah mulai mengenal siapa dirinya dan siapa orang lain
dalam kelompok, mulai terlihat siapa yang pantas diserahi tugas sebagai
pemimpin kelompok, siapa pemikir, siapa pelaksanan dan lain sebagainya, peran
masing-masing mulai jelas.
Tahap transition
atau pancaroba ini merupakan fase yang paling panjang perjalanan waktunya
dalam proses pertumbuhan sebuah kelompok. Karena dalam fase ini melalui
berbagai bentuk konflik dan kerjasama, munculnya kesadaran dan pemahaman setiap
anggota kelompok tentang adanya aspek-aspek kepribadian yang unik dalam
hubungan antar manusia. Seberapa jauh
kemampuan anggota kelompok mengakomodir perbedaan –perbedaan tersebut, akan menentukan tinggi-rendahnya
tingkat efektivitas kelompok.
Selanjuntnya dalam tahap ini meskipun konflik masih terjadi terus, namun anggota kelompk
mulai melihat karakteristik kepribadian masing-masing secara lebih mendalam,
sehingga lebih memahami mengapa terjadi perbedaan dan konflik, bagaimana berkomunikasi dengan
orang–orang tertentu , bagaimana cara membantu orang lain dan bagaimana cara
memperlakukan orang lain dalam kelompok. Dengan adanya pemahaman demikian,
ikatan (cohesi), rasa percaya (trust), rasa keengganan dan keraguan anggota kelompok mulai
terkikis, adanya “full body contact” diantara anggota kelompok serta kepuasan hubungan dan konsensus
diantara anggota kelompok dalam pengambilan keputusan meningkat, anggota mulai
merasakan perlunya kesatuan pendapat mengenai perilaku yang boleh dan yang
tidak boleh ditampilkan dalam pergaulan kelompok atau norma kelompok, agar
kelompok bisa bekerja secara efektif dan efisien dalam memecahkan masalah yang
dihadapi bersama.
Kondisi terakhir yang diharapkan dari pembentukan norma
ini adalah terciptanya hubungan antar pribadi yang semula penuh dengan keraguan dan konflik berubah menjadi sarana
untuk pemecahan masalah dan penyelesaian pekerjaan kelompok, antara lain dengan
adanya norma berprilaku yang disepakati bersama oleh anggota kelompok, baik
lisan maupun tertulis, artinya seluruh anggota kelompok sudah tahu apa yang
tidak boleh dan tidak pantas dilakukan dalam pergaulan kelompok. Selain itu
sudah jelas pula peran apa yang harus dimainkan oleh setiap anggota kelompok
dalam penyelesaian pekerjaan kelompok. Dengan demikian kelompok akan berjalan secara fungsional
dan sesuai dengan kemampuannya masing-masing.
3. Tahap kerja (performing stage)
Pada tahap ini kelompok sudah
dibekali dengan suasana hubungan kerja
yang harmonis antara anggota yang satu dengan yang lainnya, norma kelompok
telah disepakati, tujuan dan tugas kelompok serta peran masing-masing anggota
telah jelas, ada keterbukaan dalam berkomunikasi dalam kelompok dan keluwesan
dalam berinteraksi satu sama lain, perbedaan pendapat ditolelir, inovasi
berkembang (ibid), produktivitas kinerja meningkat, rasa keengganan dan keraguan anggota kelompok mulai
terkikis (trust); dan adanya “full
body contact” diantara anggota
kelompok. Dengan iklim
kelompok seperti inilah sinergi kelompok akan tercapai, sehingga kelompok mampu
menampilkan prestasi kerja yang optimal. Selain itu dalam kegiatan ini
kegiatan-kegiatan yang diberikan sudah menitikberatkan pada peningkatan kompetensi intrapersonal dan interpersonal
berdasarkan aspeknya.
4. Tahap Terminasi (termination
stage)
Pada tahap ini kelompok
diarahkan untuk lebih mengenal diri sendiri, anggota kelompok yang lain serta
mengintegrasikan pengalaman-pengalaman yang didapatkan dari tahap awal (beginning stage) hingga tahap kerja (performing stage). Selanjutnya menurut
Gladding dalam tahap ini kelompok diarahkan untuk merencanakan dan
menindaklanjuti (follow up)
pengalaman-pengalaman yang didapat dari ranggakain kegiatan yang telah dilewati
(Rusmana, 2009: 101). Pengalaman-pengalaman tersebut ditransformasikan kedalam
bentuk tindakan nyata yang diharapkan
dan diaplikasikan dalam kehidupan nyata.
I.
Isi Program Experiential
Based Counseling
Komponen
atau isi program experiential
based counseling merupakan
serangkaian rancangan kegiatan konseling berbasis pengalaman dengan berbagai
teknik konseling yang didasarkan atas hasil need
assessment. Muatan materi kegiatan disusun berdasarkan pada apsek-aspek kompetensi intrapersonal dan
interpersonal hasil dari need assessment sebagai berikut.
1. Aspek kompetensi intrapersonal meliputi pemahaman diri,
pengarahan diri, dan penghargaan diri.
2. Aspek kompetensi interpersonal meliputi peka terhadap diri sendiri dan orang lain, asertif, nyaman dengan diri sendiri dan orang lain, membiarkan orang lain bebas, ekspektasi yang realistis tentang diri sendiri dan orang lain, dan perlindungan diri dalam
situasi interpersonal.
Secara lebih rinci tahapan pelaksanaan kegiatan program experiential based counseling untuk mengembangkan kompetensi intrapersonal dan
interpersonal mahasiswa disajiakan pada Tabel 1.5 berikut.
TABEL 1.5
TAHAPAN
PROGRAM EXPERIENTIAL BASED COUNSELING
UNTUK MENGEMBANGKAN KOMPETENSI INTRAPERSONAL DAN INTERPERSONAL MAHASISWA
Tahapan
|
Tujuan
|
Metode
|
1. Tahap
Awal (forming)
|
||
a. Bola
Berantai
|
(a) mengenal lebih jauh identitas kelompok;
(b) mengetahui identitas anggota kelompok; dan
(c) meningkatkan keakraban antar anggota kelompok.
|
Movement
|
b. ZIP-ZAP
|
(a) anggota
kelompok mampu melakukan penjajagan tanpa keraguan terhadap anggota lainnya mengenai hubungan antar
pribadi dengan
mendeskripsikan identitas peserta lain baik yang berada disebelah kanan atau
kiri dengan benar saat bola dilempar kepada peserta dari peserta lain sesuai
dengan perintah “zip” atau “zap”;
(b) anggota
kelompok mampu mengingat dan menyebutkan dengan cepat identitas yang telah
dideskripsikan peserta lain sebelumnya dan berbaur dengan anggota kelompok
lain tanpa ada jarak (keraguan) dalam mengekspolarasi identitas diri anggota
kelompok yang lain seperti “tertawa
lepas” dan “bercanda bersama”;
(c) anggota kelompok menurunkan ego diri dan
menerima prilaku anggota lain;
(d) rasa
keengganan dan keraguan terhadap anggota lain mulai terkikis seperti posisi
berdiri dan jarak berdiri yang relatif dekat
|
Movement
|
c.
Pohon Harapan
|
(a) membantu mahasiswa untuk mengeksplorasi
ekspektasi/harapan masing-masing anggota kelompok dalam memasuki aktivitas
kelompok.
(b) anggota kelompok mampu mendeskripsikan secara pribadi
harapan-harapan yang ingin dicapai dalam kelompok tersebut seperti “melalui kegiatan kelompok ini saya
mengharapkan mampu mengetahui siapa saya dan siapa orang lain dan harus
seperti apa saya menyikapi keberagaman tersebut”.
(c) Jika anggota kelompok sudah mampu mendeskripsikan
harapan-harapan yang diinginkan dan harapan-harapan yang tidak diinginkan
secara gamblang dalam kelompoknya maka peserta sudah siap untuk memperkuat
kelompok yang padu serta memperkuat nilai-nilai
dalam kelompok tersebut dengan modal harapan-harapan dari seluruh anggota
kelompok.
|
Written
|
2. Tahap
Transisi
|
||
a.
Storming
|
||
Susun
Baris
|
(a)
menguji kesiapan anggota kelompok dalam mengikuti kegiatan;
(b)
mengetahui keberagaman anggota kelompok;
(c)
anggota kelompok mampu
menempatkan diri dengan cepat dan
tepat sesuai dengan ciri diri yang diperintahkan oleh instruktur;
(d)
anggota kelompok mampu lebih meningkatkan partisipasi diri;
(e)
anggota kelompok menurunkan resistensi terhadap aktivitas kelompok yang
diikuti;
(f)
rasa keengganan dan keraguan anggota kelompok mulai terkikis;
(g)
adanya “full body contact” diantara
anggota kelompok;
(h)
adanya prilaku anggota kelompok yang saling mempengaruhi satu sama lain
dan mulai mengenali “siapa dirinya”
dan “siapa orang lain.”
|
Movement
|
b.
Norming
|
||
Si
Buta Menggambar
|
(a)
mengandalkan kepercayaan pada orang lain ;
(b)
memahami keragaman komunikasi non verbal;
(c)
memahami kelemahan dirinya;
(d)
merasakan suasana hati dalam diri sendiri;
(e)
memahami konsekuensi dari setiap tindakan.
(f)
anggota kelompok mampu menjalankan perintah menyelesaikan tantangan
dengan cepat dan tepat sesuai dengan yang diperintahkan oleh anggota kelompok
lain;
(g)
anggota kelompok mampu lebih meningkatkan partisipasi diri;
(h)
anggota kelompok menurunkan resistensi terhadap aktivitas kelompok yang
diikuti; dan
(i) anggota kelompok menurunkan ego diri dan menerima
prilaku anggota lain guna tercapainya efektifitas kelompok seperti mampu menerima pendapat dari anggota kelompok
lain;
|
Experiential
|
3.
Tahap Kerja (performing)
|
||
a.
Simulasi 5 Bayangan
|
(a) anggota kelompok mampu memahami potensi atau
kelebihan diri sendiri;
(b) anggota kelompok mampu mengeneralisasikan
pemahaman kepekaan terhadap diri sendiri dan orang lain;
(c) anggota kelompok mampu merumuskan hal-hal penting
yang harus dilakukan dalam berelasi dengan orang lain;
(d) keterbukaan dalam berkomunikasi dalam kelompok dan
keluwesan dalam berinteraksi satu sama lain;
(e) anggota kelompok memahami perbedaan pendapat dapat ditolelir;
dan
(f) meningkatkan keterampilan
kepekaan dan pemahaman diri.
|
Written
|
b.
Pertukaran Jeruk
Lemon
|
(a)
mengilustrasikan secara gamblang pentingnya mencermati latar belakang
seseorang;
(b)
mengilustrasikan kebutuhan untuk mempertajam keterampilan-keterampilan
mengamati lingkungan dan peka terhadap karakteristik personal; dan
(c)
meningkatkan kesadaran akan perbedaan latar belakang nilai, kepercayaan
dan pandangan hidup orang lain.
|
Experiential
|
c.
Sarang Korek Api
|
(a) anggota kelompok mampu mengelola perasaannya saat
anggota kelompok lain gagal dalam melaksanakan tantangan;
(b) anggota kelompok mampu menerima kegagalan anggota
kelompok lain dalam melaksanakan tantangan yang disebabkan perbedaan
kemampuan yang dimiliki dengan munculnya pernyataan “tidak apa-apa kamu sudah berusaha dengan kemampuanmu sebaik mungkin”;
(c) anggota kelompok mampu ikut merasakan perasaan
anggota kelompok lain yang melakukan kesalahan;
(d) keterbukaan dalam berkomunikasi dalam kelompok;
(e) keluwesan dalam berinteraksi satu sama lain;
(f) anggota kelompok paham bahwa perbedaan pendapat ditolelir; anggota kelompok mampu
meningkatkan
keterampilan-keterampilan untuk lebih memahami perasaan orang lain (empati),
anggota kelompok dapat memahami konsekuensi dari setiap tindakan, dan anggota
kelompok dapat menyalurkan energi sesuai dengan tujuan.
|
Experiential
|
d.
Pesan Berantai
|
(a)
pentingnya mencermati serta mengerti perasaan orang lain yang diajak
bekerjasama;
(b)
memahami keberagaman gaya komunikasi orang lain.
(c)
anggota kelompok mampu menerima kegagalan anggota kelompok lain dalam
melaksanakan tantangan yang disebabkan perbedaan kemampuan yang dimiliki
dengan munculnya pernyataan “tidak
apa-apa kamu sudah berusaha dengan kemampuanmu sebaik mungkin”;
(d)
anggota kelompok mampu ikut merasakan perasaan anggota kelompok lain
yang melakukan kesalahan;
(e)
keterbukaan dalam berkomunikasi dalam kelompok; dan
(f)
keluwesan dalam berinteraksi satu sama lain;
|
Experiential
|
e.
Sungai Berbuaya
|
(a)
membantu mahasiswa dalam mengahadapi dan menangani perbedaan secara
konstruktif;
(b)
memahami konsekuensi dari setiap tindakan;
(c)
keterbukaan dan keluwesan dalam berinteraksi satu sama lain;
(d)
anggota kelompok paham bahwa perbedaan pendapat
ditolelir seperti munculnya
pernyataan “ saya memahami bahwa setiap individu memiliki latar,
pandangan dan pemikiran yang berbeda.”;
(e)
anggota kelompok mampu meningkatkan
keterampilan-keterampilan untuk lebih memahami perasaan orang lain (empati);
(f)
anggota kelompok mampu lebih meningkatkan partisipasi diri;
(g)
anggota kelompok menurunkan resistensi terhadap aktivitas kelompok yang
diikuti; anggota kelompok menurunkan ego diri dan menerima prilaku anggota
lain guna tercapainya efektifitas
kelompok seperti mampu menerima
pendapat dari anggota kelompok lain; dan
(h)
adanya prilaku anggota kelompok yang saling mempengaruhi satu sama
lain; (8) adanya pemahaman kesatuan pendapat dan ikatan (cohesi).
|
Experiential
|
f.
Wanita Tua atau Muda
|
(a)
mencermati serta mengerti perasaan orang lain yang diajak bekerjasama;
(b)
mengidentifikasi
ekspresi wajah;
(c)
memahami perasaan dan
emosi pada ekspresi wajah;
(d)
menyusun rencana
tanggapan terhadap ekspresi wajah pasangan komunikasi;
(e)
anggota keompok memahami bahwa
perbedaan pendapat dapat ditolelir seperti munculnya pernyataan “ saya memahami bahwa setiap
individu memiliki latar, pandangan dan pemikiran yang berbeda.”;
(f)
anggota kelompok meningkatkan keterampilan-keterampilan untuk lebih memahami perasaan
orang lain (empati); dan
(g)
anggota kelompok mampu lebih meningkatkan partisipasi diri;
|
Experiential
|
g.
Bombardemen Kelebihan
|
(a) mahasiswa
dapat mengidentifikasi penilaian kepada orang lain secara menyeluruh,
(b) mahasiswa
dapat mengeskpresikan perasaan;
(c) mahasiswa
memiliki kepekaan terhadap anggota;
(d) mahasiswa
memahami pikiran dan perasaan orang lain;dan
(e) mahasiswa
memiliki perasaan yang stabil dan dapat mengemukakan pendapat secara jujur
kepada anggota kelompok.
|
Feedback
Exercise
|
h. Winter Survival
|
(a) mahasiwa
dapat mengidentifikasi berbagai skala prioritas;
(b) mahasiswa
dapat mencermati setiap barang dan fungsi sesuai dengan kebutuhan kelompok;
(c) mahasiswa
dapat merasakan perasaan setiap anggota kelompok;
(d) mahasiswa
dapat mengeksplorasi kemampuan untuk menerima diri sendiri’
(e) mahasiswa
dapat mengambil keputusan berdasarkan pertimbangan yang matang dan penuh
kehati-hatian; dan
(f) mahasiswa
memiliki kecapakan dalam mengatur diri.
|
Group
Decision
|
4. Tahap
Akhir (Adjourning)
|
||
a. Penghargaan
Positif
|
(a) mencermati serta mengerti perasaan orang lain yang
diajak bekerjasama;
(b) dampak
latar belakang atau sikap seseorang bagi persepsinya terhadap suatu
objek atau kejadian;
(c) meningkatkan kompetensi intrapersonal dengan
pemahaman diri, pengaran diri, dan penghargaan diri; dan
(d) merefleksikan semua pengalaman yang dilalui
peserta dalam pengembangan kompetensi interpersonal meliputi kepekaan
terhadap diri sendiri dan orang lain, asertif, membiarkan orang lain bebas,
memiliki ekspektasi yang realistis, dan memiliki perlindungan diri dalam
situasi interpersonal.
|
Feedback
Exercise
|
Secara lebih rinci tahapan dan isi program experiential based counseling untuk mengembangkan kompetensi intrapersonal dan
interpersonal mahasiswa dipaparkan dalam pembahasan berikut ini.
1) Tahap
Pembentukan Kelompok (forming
stage)
Pada tahap ini
setiap anggota dibentuk dalam suatu kelompok serta pemaparan alasan kelompok
tersebut dibentuk, untuk kepentingan apa, siapa anggotanya dan jumlahnya. Dalam
tahap ini juga dipaparkan mengenai kesepakatan kegiatan seperti peraturan kegiatan
yang akan dilakukan dan batasan kegiatan (setting
limit). Selain itu dalam tahap ini anggota kelompok melakukan berbagai
panjajagan terhadap anggota lainnya mengenai hubungan antar pribadi yang
dikehendaki kelompok, sekaligus mencoba berprilaku tertentu untuk mendapatkan
reaksi dari anggota lainnya. Pada tahap ini setiap
anggota kelompok dalam kelompok melakukan berbagai panjajagan terhadap anggota
lainnya mengenai hubungan antar pribadi yang dikehendaki kelompok, sekaligus
mencoba berprilaku tertentu untuk mendapatkan reaksi dari anggota lainnya.
Bersamaan dengan tampilnya perilaku individu yang berbeda-beda tersebut, secara
perlahan-lahan, anggota kelompok mulai menciptakan pola hubungan antar sesama
mereka. Pada tahap pertama inilah secara berangsur-angsur mulai diletakkan pola
dasar perilaku kelompok, baik yang berkaitan dengan tugas-tugas kelompok maupun
yang berkaitan dengan hubungan antar pribadi anggotanya.
Pada
tahap ini hubungan satu dengan yang lainnya masih terlihat kaku, namun pada
umumnya setiap individu senang memperlihatkan rasa aku-nya. Dalam
kondisi yang masih diliputi kekakuan
seperti ini, kelompok belum mampu menghasilkan prestasi kerja yang bermakna.
Kondisi akhir yang diharapkan terjadi dalam fase ini adalah hilangnya kekakuan dalam hubungan
antar pribadi.
Selanjutnya
materi kegiatan untuk mengembangkan
kompetensi intrapersonal dan interpersonal yang termasuk kedalam tahap pembentukan
kelompok adalah sebagai berikut.
a)
Bola
Berantai.. Tujuan dari kegiatan ini adalah membantu mahasiswa dalam: (1) mengenal lebih jauh identitas kelompok;
(2) mengetahui identitas anggota kelompok; (3) meningkatkan keakraban antar
anggota kelompok. Metode dan teknik yang digunakan adalah simulasi, diskusi dan
self-exploration.
Dalam kegiatan
ini tujuan kegiatan akan tercapai ditandai dengan (1) anggota kelompok mampu
melakukan penjajagan tanpa keraguan terhadap
anggota kelompok lainnya mengenai hubungan antar pribadi dengan mendeskripsikan/menyebutkan identitas diri dengan lantang atau “siapa saya”; (2) anggota kelompok dapat
menyebutkan identitas anggota kelompok lain
atau “siapa teman saya” secara
tepat sesuai dengan identitas yang telah dideskripsikan anggota kelompok
sebelumnya saat bola dilempar kepada anggota kelompok dari anggota kelompok
lain; (3) anggota kelompok mampu mendeskripsikan indentitas anggota kelompok
dengan cepat tanpa ada keraguan. Jika anggota kelompok sudah mampu
mendeskripsikan identitas peserta lain dengan tepat, pemaparan alasan kelompok tersebut dibentuk, untuk
kepentingan apa, siapa saja anggota dan jumlah anggota dalam kelompoknya maka peserta sudah siap untuk
membentuk kelompok yang padu dengan modal pengetahuan identitas seluruh anggota
kelompok.
b)
Zip Zap. Tujuan dari
kegiatan ini adalah membantu mahasiswa dalam:
(1) mengeksplorasi identitas anggota kelompok serta (2) mengetahui dan
mengingat anggota kelompok. Metode dan teknik yang digunakan adalah simulasi dan self-exploration.
Dalam kegiatan ini tujuan kegiatan akan tercapai
ditandai dengan (1) anggota kelompok mampu melakukan penjajagan tanpa keraguan terhadap anggota lainnya mengenai hubungan antar pribadi dengan mendeskripsikan identitas peserta lain baik
yang berada disebelah kanan atau kiri dengan benar saat bola dilempar kepada
peserta dari peserta lain sesuai dengan perintah “zip” atau “zap”; (2)
anggota kelompok mampu mengingat dan menyebutkan dengan cepat identitas yang
telah dideskripsikan peserta lain sebelumnya dan berbaur dengan anggota
kelompok lain tanpa ada jarak (keraguan) dalam mengekspolarasi identitas diri
anggota kelompok yang lain seperti “tertawa
lepas” dan “bercanda bersama”;
(3) anggota kelompok menurunkan ego diri dan menerima prilaku anggota lain; (4)
rasa keengganan dan keraguan terhadap anggota lain mulai terkikis seperti
posisi berdiri dan jarak berdiri yang relatif dekat.
Jika anggota kelompok sudah mampu
mendeskripsikan identitas anggota kelompok lain lebih luas, penguatan alasan kelompok tersebut dibentuk, untuk
kepentingan apa, siapa saja anggota dan jumlah anggota dalam kelompoknya, maka kelompok sudah siap untuk
melakukan kegiatan kelompok dengan modal pengetahuan identitas seluruh anggota
kelompok serta keakraban dengan seluruh anggota kelompok.
c)
Pohon Harapan. Tujuan dari kegiatan ini adalah
membantu mahasiswa
untuk mengeksplorasi
ekspektasi/harapan masing-masing anggota kelompok dalam memasuki aktivitas
kelompok. Metode dan teknik yang digunakan adalah diskusi, simulasi dan self-exploration.
Dalam kegiatan ini tujuan kegiatan akan tercapai
ditandai dengan anggota kelompok mampu mendeskripsikan secara pribadi
harapan-harapan yang ingin dicapai dalam kelompok tersebut seperti “melalui kegiatan kelompok ini saya
mengharapkan mampu mengetahui siapa saya dan siapa orang lain dan harus seperti
apa saya menyikapi keberagaman tersebut”.Jika anggota kelompok sudah mampu
mendeskripsikan harapan-harapan yang diinginkan dan harapan-harapan yang tidak
diinginkan secara gamblang dalam kelompoknya maka peserta sudah siap untuk
memperkuat kelompok yang padu serta
memperkuat nilai-nilai dalam kelompok tersebut dengan modal harapan-harapan
dari seluruh anggota kelompok.
2) Tahap
Pancaroba (storming stage)
Pada
tahap ini upaya memperjelas tujuan kegiatan mulai nampak dengan upaya
peningkatan partisipasi dari peserta dan pengurangan resistensi. Peserta diarahkan untuk mendeteksi dan
sadar mengenai tujuan kegiatan sehingga rasa keengganan dan keraguan dalam
mengikuti kegiatan mulai terkikis. Salah satu ciri dari fase ini adalah dengan
berbagai cara apapun anggotanya akan saling mempengaruhi satu sama lain. Mulai terlihat siapa anggota yang kuat dan siapa yang
lemah, secara perlahan-lahan mulai terlihat karakteristik gaya kepribadian
masing-masing anggota
kelompok. Ada
yang ingin menang sendiri, ada yang lebih suka mengalah, ada pula yang mudah
tersinggung dan kecewa lantas menarik diri. Dalam fase ini semua anggota sudah
mulai mengenal siapa dirinya dan siapa orang lain dalam kelompok,
mulai terlihat siapa yang pantas diserahi tugas sebagai pemimpin kelompok,
siapa pemikir, siapa pelaksanan dan lain sebagainya, peran masing-masing anggota sudah mulai jelas.
Selanjutnya pada tahap ini upaya memperjelas tujuan kelompok mulai nampak
dengan peningkatan partisipasi peserta. Sadar atau tidak sadar, pada tahap ini
anggota kelompok mulai menditeksi kekuatan dan kelemahan masing-masing anggota
kelompok melalui proses interaksi yang intensif, ditandai dengan mulai
terjadinya konflik antar anggota kelompok. Salah satu ciri dari fase ini adalah
dengan berbagai cara apapun anggotanya akan saling mempengaruhi satu sama lain.
Tahap storming atau pancaroba ini merupakan fase yang paling panjang perjalanan
waktunya dalam proses pertumbuhan sebuah kelompok. Karena dalam fase ini
melalui berbagai bentuk konflik dan kerjasama, munculnya kesadaran dan
pemahaman setiap anggota kelompok tentang adanya aspek-aspek kepribadian yang
unik dalam hubungan antar manusia. Seberpa jauh
kemampuan anggota kelompok mengakomodir perbedaan–perbedaan tersebut, akan menentukan tinggi-rendahnya
tingkat efektivitas kelompok.
Selanjutnya
materi kegiatan untuk mengembangkan
kompetensi intrapersonal dan interpersonal yang termasuk kedalam tahap pancaroba adalah
sebagai berikut.
a)
Susun Baris. Tujuan dari kegiatan ini adalah membantu mahasiswa dalam : (1) menguji kesiapan anggota kelompok dalam mengikuti kegiatan
(2) mengetahui keberagaman anggota kelompok. Metode dan teknik yang digunakan
adalah simulasi, diskusi dan self-exploration.
Dalam kegiatan ini tujuan kegiatan akan tercapai ditandai dengan (1)
anggota kelompok mampu menempatkan diri
dengan cepat dan tepat sesuai dengan ciri diri yang diperintahkan oleh
instruktur; (2) anggota kelompok mampu lebih meningkatkan partisipasi diri; (3)
anggota kelompok menurunkan resistensi terhadap aktivitas kelompok yang
diikuti; (4) rasa keengganan dan keraguan anggota kelompok mulai terkikis (5)
adanya “full body contact” diantara
anggota kelompok; (6) adanya prilaku anggota kelompok yang saling mempengaruhi
satu sama lain dan mulai mengenali “siapa
dirinya” dan “siapa orang lain.”
3) Kegiatan Pembentukan Norma (norming
stage)
Dalam
tahap ketiga ini, meskipun konflik dalam kelompok masih
terjadi terus, namun anggota kelompk mulai melihat karakteristik kepribadian
masing-masing secara lebih mendalam, sehingga lebih memahami mengapa terjadi
perbedaan dan konflik, bagaimana
berkomunikasi dengan orang–orang tertentu , bagaimana cara membantu orang lain
dan bagaimana cara memperlakukan orang lain dalam kelompok. Dengan adanya
pemahaman demikian, ikatan (cohesi), rasa percaya (trust), rasa keengganan dan keraguan anggota kelompok mulai
terkikis, adanya “full body contact” diantara anggota kelompok serta kepuasan hubungan dan konsensus
diantara anggota kelompok dalam pengambilan keputusan meningkat, anggota mulai
merasakan perlunya kesatuan pendapat mengenai perilaku yang boleh dan yang
tidak boleh ditampilkan dalam pergaulan kelompok atau norma kelompok, agar
kelompok bisa bekerja secara efektif dan efisien dalam memecahkan masalah yang
dihadapi bersama.
Kondisi
terakhir yang diharapkan dari pembentukan norma ini adalah terciptanya hubungan
antar pribadi yang semula penuh dengan
keraguan dan konflik berubah menjadi sarana untuk pemecahan masalah dan
penyelesaian pekerjaan atau
tugas kelompok, antara
lain dengan adanya norma berprilaku yang disepakati bersama oleh anggota
kelompok, baik lisan maupun tertulis, artinya seluruh anggota kelompok sudah
tahu apa yang tidak boleh dan tidak pantas dilakukan dalam pergaulan kelompok.
Selain itu sudah jelas pula peran apa yang harus dimainkan oleh setiap anggota
kelompok dalam penyelesaian pekerjaan kelompok. Dengan demikian kelompok akan berjalan secara fungsional dan sesuai dengan
kemampuannya masing-masing.
Selanjutnya
materi kegiatan untuk mengembangkan
kompetensi intrapersonal dan interpersonal yang termasuk kedalam tahap pembentukan norma
kelompok adalah sebagai berikut.
a)
Si Buta Menggambar. Tujuan dari
kegiatan ini adalah membantu mahasiswa dalam :
(1) mengandalkan kepercayaan pada orang lain ; (2) memahami keragaman komunikasi non verbal; (3) memahami kelemahan dirinya; (4)
merasakan suasana hati dalam diri sendiri; dan (5) memahami konsekuensi dari setiap tindakan. Metode dan teknik yang digunakan adalah simulasi dan self-exploration.
Dalam kegiatan ini tujuan kegiatan akan tercapai ditandai dengan (1)
anggota kelompok mampu menjalankan perintah menyelesaikan tantangan dengan
cepat dan tepat sesuai dengan yang diperintahkan oleh anggota kelompok lain;
(2) anggota kelompok mampu lebih meningkatkan partisipasi diri; (3) anggota
kelompok menurunkan resistensi terhadap aktivitas kelompok yang diikuti; (4)
anggota kelompok menurunkan ego diri dan menerima prilaku anggota lain guna
tercapainya efektifitas kelompok seperti
mampu menerima pendapat dari anggota kelompok
lain; (5) rasa keengganan dan keraguan anggota kelompok mulai terkikis (trust); (6) adanya “full body contact” diantara
anggota kelompok; (7) adanya prilaku anggota kelompok yang saling mempengaruhi
satu sama lain dan mulai mengenali “siapa
dirinya” dan “siapa orang lain”;
(8) adanya pemahaman kesatuan pendapat dan ikatan (cohesi); dan (9) anggota kelompok memunculkan perilaku yang boleh dan yang tidak boleh ditampilkan dalam
pergaulan kelompok atau norma kelompok, agar kelompok bisa bekerja secara efektif
dan efisien dalam memecahkan masalah yang dihadapi bersama serta menggapai
tujuan kegiatan secara optimal seperti ”saya
anggota kelompok tidak boleh membantah perintah
ketua kelompok”.
4) Tahap Kerja (performing stage)
Pada tahap ini kelompok sudah dibekali
dengan suasana hubungan kerja yang
harmonis antara anggota yang satu dengan yang lainnya, norma kelompok telah
disepakati, tujuan dan tugas kelompok serta peran masing-masing anggota telah
jelas, ada keterbukaan dalam berkomunikasi dalam kelompok dan keluwesan dalam
berinteraksi satu sama lain, perbedaan pendapat ditolelir, inovasi berkembang (ibid),
produktivitas kinerja meningkat, rasa keengganan dan keraguan anggota kelompok mulai terkikis (trust); dan adanya “full
body contact” diantara anggota
kelompok. Dengan iklim
kelompok seperti inilah sinergi kelompok akan tercapai, sehingga kelompok mampu
menampilkan prestasi kerja yang optimal. Selain itu kegiatan-kegiatan yang
diberikan sudah menitikberatkan pada pengembangan kompetensi
intrapersonal dan interpersonal mahasiswa beserta aspek-aspeknya. Aspek dan
indikator yang dikembangkan dalam kompetensi intrapersonal diantaranya : (1)
aspek pemaman diri meliputi indikator mahasiswa dapat mengetahui kelebihan
dirinya sendiri, dan indikator mahasiswa memahami konsekuensi dari setiap
tindakan; (2) aspek pengarahan diri
meliputi indikator mahasiswa dapat memiliki cara pandang yang mendalam, dan
indikator mahasiswa dapat menyalurkan energi sesuai tujuan; dan (3) aspek
penghargaan diri meliputi indikator mahasiswa merasakan menjadi orang yang
berharga.
Sementara aspek dan indikator
yang dikembangkan dalam kompetensi interpersonal diantaranya (1) indikator peka terhadap diri
sendiri; (2) indikator asertif, (3) indikator membiarkan orang lain bebas; (4)
indikator ekspektasi yang realistis tentang diri sendiri dan orang lain; dan
(5) inidikator perlindungan diri dalam situasi interpersonal.
Selanjutnya
materi kegiatan untuk mengembangkan
kompetensi intrapersonal dan interpersonal yang termasuk kedalam tahap kerja adalah
sebagai berikut.
a)
Simulasi 5
Bayangan. Tujuan dari kegiatan ini adalah membantu mahasiswa dalam: (1) mengetahui kelebihan dirinya sendiri (2) memiliki pemikiran yang akurat dalam memahami
kepekaan terhadap diri sendiri dan orang lain. Metode dan teknik yang digunakan adalah diskusi, enquiry & discovery, learning, dan self-exploration. Dalam kegiatan ini tujuan kegiatan akan tercapai
ditandai dengan (1) anggota kelompok mampu memahami potensi atau kelebihan diri
sendiri; (2) anggota
kelompok mampu mengeneralisasikan pemahaman kepekaan terhadap diri sendiri dan orang lain; (3) anggota kelompok mampu merumuskan hal-hal
penting yang harus dilakukan dalam berelasi dengan orang lain; (4) keterbukaan
dalam berkomunikasi dalam kelompok dan keluwesan dalam berinteraksi satu sama
lain; e) anggota
kelompok memahami perbedaan
pendapat dapat ditolelir dan f) meningkatkan keterampilan kepekaan dan pemahaman diri.
b)
Pertukaran Jeruk Lemon. Tujuan dari
kegiatan ini adalah membantu mahasiswa dalam:
(1) mengilustrasikan secara gamblang pentingnya mencermati latar belakang seseorang (2) mengilustrasikan kebutuhan untuk mempertajam
keterampilan-keterampilan mengamati lingkungan dan peka terhadap karakteristik
personal (3) meningkatkan kesadaran akan perbedaan latar belakang nilai,
kepercayaan dan pandangan hidup orang lain. Metode dan teknik yang digunakan
adalah simulasi, diskusi dan self-exploration.
Dalam kegiatan
ini tujuan kegiatan akan tercapai ditandai dengan (1) anggota kelompok mampu mengenali
jeruk yang dipilihnya dengan memberinya nama, mengenali ciri-ciri spesifik
seperti “jeruk saya bernama John, dengan
ciri bulat sempurna”; (2) anggota
kelompok mampu mendapatkan kembali jeruk miliknya sesuai dengan ciri-ciri yang dimiliki; (3) anggota
kelompok mampu mencermati pentingnya
mengenali ciri diri seperti munculnya pernyataan “saya perlu mengenali diri sendiri sebagai identitas siapa saya
sebenarnya” (4) keterbukaan dan keluwesan dalam berinteraksi satu sama
lain; (5) anggota kelompok paham bahwa perbedaan pendapat dapat ditolelir
seperti munculnya
pernyataan “ saya memahami bahwa setiap individu memiliki latar dan
ciri yang berbeda.”; (6) anggota kelompok memiliki cara pandang yang
mendalam terhadap suatu objek atau pemikiran yang baru, dan (7) anggota
kelompok dapat memahami dan merasakan suasana hati dalam diri sendiri dengan
orang lain.
c)
Sarang Korek Api. Tujuan dari kegiatan ini adalah membantu mahasiswa dalam
pentingnya mencermati serta mengerti perasaan orang lain yang diajak bekerjasama.
Metode dan teknik yang digunakan adalah simulasi, diskusi dan self-exploration.
Dalam kegiatan
ini tujuan kegiatan akan tercapai ditandai dengan (1) anggota kelompok mampu
mengelola perasaannya saat anggota kelompok lain gagal dalam melaksanakan
tantangan; (2) anggota kelompok mampu menerima kegagalan anggota kelompok lain
dalam melaksanakan tantangan yang disebabkan perbedaan kemampuan yang dimiliki
dengan munculnya pernyataan “tidak
apa-apa kamu sudah berusaha dengan kemampuanmu
sebaik mungkin”; (3) anggota
kelompok mampu ikut merasakan perasaan anggota kelompok lain yang melakukan
kesalahan; (4) keterbukaan dalam
berkomunikasi dalam kelompok; (5) keluwesan dalam berinteraksi satu sama lain;
(6) anggota
kelompok paham bahwa perbedaan
pendapat ditolelir; anggota kelompok mampu
meningkatkan keterampilan-keterampilan untuk lebih memahami perasaan
orang lain (empati), anggota kelompok
dapat memahami konsekuensi dari setiap tindakan, dan anggota kelompok dapat
menyalurkan energi sesuai dengan tujuan.
d)
Pesan Berantai. Tujuan dari
kegiatan ini adalah membantu calon konselor dalam: (1) pentingnya mencermati
serta mengerti perasaan orang lain yang diajak bekerjasama (2) memahami
keberagaman gaya komunikasi orang lain. Metode
dan teknik yang digunakan adalah simulasi, diskusi dan self-exploration.
Dalam kegiatan
ini tujuan kegiatan akan tercapai ditandai dengan (1) anggota kelompok mampu
mengelola perasaannya saat anggota kelompok lain gagal dalam melaksanakan
tantangan; (2) anggota kelompok mampu menerima kegagalan anggota kelompok lain
dalam melaksanakan tantangan yang disebabkan perbedaan kemampuan yang dimiliki
dengan munculnya pernyataan “tidak
apa-apa kamu sudah berusaha dengan kemampuanmu
sebaik mungkin”; (3) anggota
kelompok mampu ikut merasakan perasaan anggota kelompok lain yang melakukan
kesalahan; (4) keterbukaan dalam
berkomunikasi dalam kelompok; (5) keluwesan dalam berinteraksi satu sama lain;
(6) anggota
kelompok memahami bahwa perbedaan
pendapat ditolelir; dan mampu
meningkatkan keterampilan-keterampilan untuk lebih memahami perasaan
orang lain (empati); (7) anggota kelompok mampu menjalankan perintah menyelesaikan tantangan dengan
cepat dan tepat sesuai dengan yang diperintahkan oleh anggota kelompok lain;
(8) anggota kelompok mampu lebih meningkatkan partisipasi diri; (9) anggota
kelompok menurunkan resistensi terhadap aktivitas kelompok yang diikuti; (10)
anggota kelompok menurunkan ego diri dan menerima perilaku anggota lain guna tercapainya
efektifitas kelompok seperti mampu menerima pendapat dari anggota kelompok lain;
(11) rasa keengganan dan keraguan diantara anggota kelompok mulai terkikis (trust); (12) adanya “full body contact” diantara anggota
kelompok; (13) adanya prilaku anggota kelompok yang saling mempengaruhi satu
sama lain dan mulai mengenali “siapa
dirinya” dan “siapa orang lain”;
(14) adanya pemahaman kesatuan pendapat dan ikatan (cohesi).
e)
Sungai Berbuaya. Tujuan dari
kegiatan ini adalah membantu mahasiswa dalam
mengahadapi dan menangani perbedaan secara konstruktif, memahami konsekuensi dari
setiap tindakan. Metode
dan teknik yang digunakan adalah simulasi, diskusi dan self-exploration. Dalam kegiatan ini tujuan kegiatan akan tercapai
ditandai dengan (1) keterbukaan
dan keluwesan dalam berinteraksi satu sama lain; (2) anggota kelompok paham bahwa
perbedaan pendapat ditolelir seperti munculnya pernyataan “ saya
memahami bahwa setiap individu
memiliki latar, pandangan dan pemikiran
yang berbeda.”; (3) anggota kelompok mampu meningkatkan
keterampilan-keterampilan untuk lebih memahami perasaan orang lain (empati); (4) anggota kelompok mampu lebih meningkatkan
partisipasi diri; (5) anggota kelompok menurunkan resistensi terhadap aktivitas
kelompok yang diikuti; (6) anggota kelompok menurunkan ego diri dan menerima
prilaku anggota lain guna tercapainya efektifitas kelompok seperti mampu menerima pendapat dari anggota kelompok lain;
(7) adanya prilaku anggota kelompok yang saling mempengaruhi satu sama lain;
(8) adanya pemahaman kesatuan pendapat dan ikatan (cohesi).
f)
Wanita Tua Muda (Telaah Wajah). Tujuan dari kegiatan ini adalah membantu mahasiswa dalam : (1) dampak
latar belakang atau sikap seseorang bagi persepsinya terhadap suatu
objek atau kejadian (2) meningkatkan cara pandang yang mendalam (3) pentingnya mencermati serta mengerti perasaan
orang lain yang diajak bekerjasama; (4) dapat mengidentifikasi
ekspresi wajah; (5) memahami
perasaan dan emosi pada ekspresi wajah;
dan (5) dapat menyusun rencana tanggapan
terhadap ekspresi wajah pasangan komunikasi. Metode dan teknik yang digunakan adalah simulasi, diskusi dan self-exploration. Dalam kegiatan ini tujuan kegiatan akan tercapai
ditandai dengan (1) anggota kelompok mampu
terbuka dan luwes
dalam berinteraksi satu sama lain; (2) anggota keompok memahami bahwa perbedaan pendapat dapat
ditolelir seperti munculnya
pernyataan “ saya memahami bahwa setiap individu memiliki latar,
pandangan dan pemikiran yang berbeda.”; (3) anggota kelompok meningkatkan
keterampilan-keterampilan untuk lebih memahami perasaan orang lain (empati); (4) anggota kelompok mampu lebih meningkatkan
partisipasi diri; (5) anggota kelompok menurunkan resistensi terhadap aktivitas
kelompok yang diikuti; (6) anggota kelompok menurunkan ego diri dan menerima
prilaku anggota lain guna tercapainya efektifitas kelompok seperti mampu menerima pendapat dari anggota kelompok lain;
(7) adanya prilaku anggota kelompok yang saling mempengaruhi satu sama lain;
(8) adanya pemahaman kesatuan pendapat (cohesi)
anggota kelompok.
5) Tahapan
Terminasi (Adjourning stage)
Pada tahap ini
merupakan tahap effect of termination on
individual atau tahap dimana peserta menunjukkan hal-hal, kinerja yang
terpikir dan terasa sebagai hasil dari pengalamannya dalam mengikuti kegiatan.
Selain itu dalam tahap ini terdapat proses refleksi dan aplikasi terhadap
pengalaman, wawasan dan ketercapaian tujuan
yang tebangun selama peserta
mengikuti kegiatan.
a)
Penghargaan Positif. Tujuan dari kegiatan ini adalah membantu mahasiswa dalam: (1) pentingnya mencermati serta mengerti
perasaan orang lain yang diajak bekerjasama; (2) dampak latar belakang atau
sikap seseorang bagi persepsinya terhadap suatu objek atau kejadian; (3) meningkatkan kompetensi intrapersonal dengan pemahaman diri,
pengaran diri, dan penghargaan diri; (4) merefleksikan semua pengalaman yang dilalui peserta dalam pengembangan kompetensi
interpersonal meliputi kepekaan terhadap diri sendiri dan orang lain, asertif,
membiarkan orang lain bebas, memiliki ekspektasi yang realistis, dan memiliki
perlindungan diri dalam situasi interpersonal. Metode dan teknik yang digunakan adalah simulasi,
diskusi dan self-exploration.
Dalam kegiatan
ini tujuan kegiatan akan tercapai ditandai dengan (1) anggota kelompok memahami
maksud dari semua rangkaian kegiatan yang telah diikuti; (2) anggota kelompok
mampu mengeneralisasikan pemahaman dari kegiatan yang diikutinya dengan
munculnya pernyataan “dari seluruh
kegiatan yang saya ikuti diwaktu yang akan datang saya akan melakukan….”;
(3) anggota kelompok mampu merumuskan hal-hal penting yang harus dilakukan
dalam meningkatkan kompetensi
intarpersonal dan interpersonal; (4) keterbukaan dalam
berkomunikasi dalam kelompok dan keluwesan dalam berinteraksi satu sama lain;
(5) anggota
kelompok memahami perbedaan
pendapat dapat ditolelir; dan (6) menerima penilaian objektif dari anggota kelompok
lain terhadap diri sendiri.
J. Evaluasi
dan Indikator Keberhasilan
Evaluasi program
experiental based counseling ini menitikberatkan pada efektifitas kegiatan.
Kriteria evaluasi mengarah pada evaluasi personel, evaluasi proses, evaluasi
hasil dan evaluasi input. Evaluasi personel adalah prosedur yang digunakan
untuk menilai keefektifan konselor, trainer, co-trainer, dan observer
dalam mengimplementasikan program
experiental based counseling untuk mengembangkan
kompetensi intrapersonal dan interpersonal mahasiswa.
Evaluasi proses
menekankan pada pelaksanaan konseling kelompok berbasis pengalaman yang
memiliki ketepatan antara materi kegiatan, metode dan kompetensi yang
dikembangkan. Pada pelaksanaan konseling kelompok berbasis pengalaman yang
menjadi bahan penilaian dalam pengembangan kompetensi intrapersonal dan
interpersonal meliputi tiga komponen yaitu kedalaman saat mengajukan pertanyaan
refleksi setiap kegiatan, hasil jurnal kegiatan konseling kelompok berbasis
pengalaman, dan hasil observasi. Evaluasi proses berkaitan dengan pelaksanaan program experiental
based counseling
ditekankan pada penilaian terhadap ketertiban peserta pada saat mengikuti
prosedur kegiatan dan keterlibatan peserta saat mengikuti program experiental
based counseling.
Evaluasi hasil diarahkan pada perubahan pemahaman dan sikap yang
ditunjukkan dengan adanya peningkatan
kompetensi intrapersonal dan interpersonal
mahasiswa. Selanjutnya evaluasi input menekankan masukan-masukan yang direncanakan dalam
mencapai tujuan dan keberhasilan program
experiental based counseling, biaya yang diperlukan, kuantitas dan kualitas
tenaga personel, fasilitas yang dibutuhkan dan waktu yang disediakan untuk
mencapai tujuan yang telah ditetapkan, serta bagaimana interaksi berbagai
masukan/komponen dalam meningkatkan efektifitas dan efisiensi program experiental
based counseling.
DAFTAR PUSTAKA
Barber
& Olsen. (2011). Assessing the Transitions to Middle and High School. Journal of Social and Personal Relationships 2011 28: 1027. DOI: 10.1177/0265407510397985.
Barber,
Brian. (2001). Positive Interpersonal and Intrapersonal Functioning: An
Assessment of Measures.
Berg,
Robert C., Landerth, Garry L., & Fall, Kevin A. (2006). Group Counseling: Concepts and Procedures. New
York: Routledge.
Cavanagh, Michael E. dan
Levitov, Justin E. (1984). The Counseling
Experience, A Theoretical and Practical
Approach. Long Grove: Waveland.
Cavanagh, Michael E. dan
Levitov, Justin E. (2002). The Counseling
Experience, A Theoretical and Practical
Approach. Long Grove: Waveland.
Chickering,
Arthur, & Reisser, Linda. (1993). Education and Identity.
Josey-Bass: San Francisco, CA.
Chickering, Arthur, & Reisser, Linda.
(1993). Education and Identity. Josey-Bass: San Francisco, CA.
Dahlan,
Tina, H. (2011). Model Konseling Singkat Berfokus Solusi (Solution Focused Brief Counseling)
dalam Setting Kelompok untuk Meningkatkan Daya Psikologis Mahasiswa. (Disertasi).
Sekolah Pascasarjana, Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung.
David
Geldard & Kathryn Geldard. (2001). Basic
Personal Counseling : a Training Manual for Counsellors. Sydney, Australia.
Pearson Education Australia : National Library of Australia.
Glass,
J. S. (2008, March). Finding Common
Ground Through Adventure Based Counseling: Race And Perceptions Of Group
Cohesion. Based on a program presented at the ACA Annual Conference & Exhibition,
Honolulu, HI. Retrieved.
Gass,
M.A. & Gillis, H.L. (2006). Top Ten Seeds For Producing Functional Change
In Adventure Experience. Journal Of
Expriential Education. 18. (1). 34-40.
Gladding,
S.T. (2008). “The Impact of Creativity in Counseling”. Journal of Creativity
in Mental Health. 3, (2).
Gladding,
Samuel T. (2008). Groups a Counseling
Specality. New Jersey: Pearson.
Jacobs, E., Masson, R. & Harvil, R. (2009). Group Counseling Strategies and Skills sixth
edition. USA.
Jacobs,
Ed. (1992). Creative Counseling Techniques: An Illustrated Guide. USA:
Psychological Assessment Resources.
Jacobs, Ed. (1994). Impact Therapy.
USA: Psychological Assessment Resources.
Janosik, S. M., Creamer, D.G., & Kowalski, G.J.
(2004). Intelectual and Interpersonal
Competence Between Sibling: The College Years Kyle Felps Draucker. (Thesis). Departemend of Educational Leadership
& Policy Studies, Virginia Polytechnic Institute and State University,
Virginia.
Kolb, David, & Alice Y. Kolb. (2005). Learning
Style and Learning Spaces : Enhancing Experiential Learning in Higher
Education. Journal of Academy of
Management Learning and Education. Vol. 4 No. 2 , 193-212.
Kolb, David, (1984). Experiential Learning : Experience as The Source of Learning and
Development. New Jersey: Englewood Clifts.
Kolb,
David. A. (1984). Experiential Learning. Englewood
Cliffs, NJ: Prentice Hall.
Newes, S. L. (2001). Future Directions In
Adventure-Based Therapy Research: Methodological Considerations And Design
Suggestions. Journal
of Experiential Education, 24(2),92-99.
Rusmana,
Nandang. (2008). Camp Counseling: Sarana
Efektif Pendidikan Nilai. Materi Kuliah Teori Bimbingan dan Konseling
Kelompok. PPB FIP UPI. Bandung: Tidak diterbitkan.
Rusmana,
Nandang. (2008). Konsep Konseling Berbasis Pengalaman (Experience Based Counseling). Materi
disampaikan dalam Lokakarya Pusbiktek. Bandung: Tidak diterbitkan.
Rusmana,
Nandang. (2009). Bimbingan dan Konseling
Kelompok di Sekolah : Metode, Teknik, dan Aplikasi. Bandung: RIZQI Press.
Rusmana,
Nandang. (2009). Konseling Kelompok Bagi
Anak Berpengalaman Traumatis. Bandung: RIZQI Press.
Rusmana,
Nandang. (2009). Permainan (Game &
Play). Bandung: : RIZQI
Press.
Schoel,
Jim., Prouty, Dick., & Radcliffe, Paul. (1988). Islands of Healing: Guide to Adventure Based Counseling. USA:
Project Adventure. Inc.
Supriatna,
Mamat. (2011). Model Konseling Aktualisasi Diri untuk Mengembangkan
Kecakapan Pribadi Mahasiswa. Disertasi pada Program Studi Bimbingan dan
Konseling Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia: tidak
diterbitkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar