Selasa, 17 September 2019

Strategi Intervensi (Tesis)


PROGRAM EXPERIENTIAL BASED COUNSELING UNTUK MENGEMBANGKAN KOMPETENSI INTRAPERSONAL
DAN INTERPERSONAL MAHASISWA 

Oleh: 
Asep Rohiman Lesmana
imanlesmana382@gmail.com


A.    Rasional
Kemampuan hubungan intrapersonal dan interpersonal oleh Cavanagh (1982) disebutkan sebagai sebuah kompetensi, baik kompetensi intrapersonal yang didalamnya memuat kemampuan akan pengetahuan diri (self-knowledge), pengarahan diri (self-direction), harga diri (self-esteem), dan kompetensi interpersonalnya dengan indikator peka terhadap orang lain, asertif, menjadi nyaman dengan diri sendiri dan orang lain, menjadi diri yang mempunyai harapan yang realistik terhadap diri sendiri dan orang lain,  serta perlindungan diri dalam situasi antar pribadi. Pengembangan kompetensi intrapersonal dan interpersonal sangat erat kaitannya dengan pemahaman individu terhadap kedalaman dan keluasan atas hubungannya dengan individu lain sebagaimana dikemukakan oleh Rakhmat (2011:127) beberapa faktor dalam pengembangan kompetensi interpersonal yaitu percaya (trust), sikap suportif (supportiveness), dan sikap terbuka (open mindedness).
Pentingnya kompetensi intrapersonal dan interpersonal dikarenakan prosesnya memungkinkan berlangsung secara dialogis. Hubungan yang berlangsung secara dialogis akan lebih baik daripada monologis, monolog menunjukkan suatu bentuk hubungan dimana seorang berbicara, yang lain mendengarkan, jadi tidak terdapat interaksi (Onong Uchjana, 2003:60).
Mahasiswa yang memiliki kompetensi intrapersonal dan interpersonal serta keterampilan akademik dinilai sebagai individu yang lebih kooperatif, bertanggung jawab, ramah, dan secara sosial lebih diterima oleh teman sebaya, dosen, maupun orang lain. Mahasiswa dengan kompetensi interpersonal yang cenderung kurang atau rendah memiliki karakteristik kepribadian yang dapat mempersulit dirinya dalam menjalin hubungan dengan mahasiswa yang lainnya. Mahasiswa yang ditolak teman sebayanya cenderung memiliki sifat tidak ingin mengalah, kurang yakin pada dirinya, kurang ramah, lebih agresif, suka mengganggu, dan menarik diri dari lingkungan.
Selanjutnya jika telah terjadi hubungan interpersonal yang baik dan memuaskan, maka individu yang memiliki kompetensi interpersonal akan mudah untuk mendapatkan apa yang menjadi tujuannya. Hal ini diperkuat pendapat Chickering (Janosik, dkk., 2004) bahwa perkembangan kompetensi interpersonal sebagai sebuah syarat untuk membangun hubungan yang sukses, dan kompetensi interpersonal merupakan kompetensi penting bagi kesuksesan akademik, karir, dan keluarga.
Pertimbangan yang mendasar program ini yakni penelitian Mamat Supriatna (2010:3-4) menjelaskan mahasiswa dalam dinamika kehidupannya tidak hanya berhadapan dengan problema akademik, melainkan juga problema non-akademik atau yang berhubungan dengan aspek sosial-pribadi. Problema akademik dan non-akademik tersebut berimplikasi bagi upaya mahasiswa dalam mengembangkan potensi diri hingga menjadi kecakapan yang berguna untuk menjalani kehidupannya. Fenomena yang tampak adalah bahwa belum semua mahasiswa UPI menyadari arti penting kemampuan memahami diri sendiri, memahami orang lain, dan berinteraksi sosial secara bermakna dalam rangka meningkatkan kualitas kehidupannya.
Selanjutnya hasil penelitian Tina Dahlan (2011) terhadap 585 sampel mahasiswa S1 UPI angkatan 2009 diperoleh presentase profil interpersonal mahasiswa dalam kategori rendah sebelum diberikan treatment yaitu sebesar 41,20% dan presentase mahasiswa yang memiliki tingkat kompetensi interpersonal kategori di bawah rata-rata lebih besar dibandingkan yang di atas rata-rata.
Permasalahan yang mendasar seringkali karena mahasiwa lemah dalam daya psikologis sehingga pada saat dihadapkan pada beragam permasalahan yang dihadapi mereka dalam kehidupannya di perguruan tinggi, mereka seringkali mengambil cara yang destruktif terhadap diri sendiri dan orang lain. Keefektifan individu dalam mengatasi permasalahan dan tekanan dipengaruhi oleh daya psikologis (Cavanagh dan Levitov, 2002: 192). Tingkat daya psikologis mempengaruhi kualitas kehidupan seseorang (Cavanagh & Levitov, 2002: 191). Dalam konteks kehidupan di perguruan tinggi, mahasiswa yang memiliki daya psikologis rendah akan sulit untuk mengatasi hambatan dan tantangan dalam studinya. Mereka akan mengatasi permasalahannya dengan cara yang negatif dan destruktif. Sedangkan mahasiswa yang memiliki daya psikologis tinggi akan lebih mudah mengatasi hambatan dan tantangan dalam studinya. Mereka mampu mengatasi permasalahan dengan cara positif dan konstruktif.
Dengan demikian, mahasiswa yang memiliki daya psikologis tinggi akan memperoleh kepuasan dan keberhasilan dalam penyelesaian studi, perkembangan karier, dan kehidupannya di masa yang datang. Sebaliknya, mahasiswa yang memiliki tingkat daya psikologis rendah akan merasa tertekan dan tidak akan memperoleh kepuasan dalam penyelesaian studi, karier, dan kehidupannya di masa yang akan datang.
Fokus permasalahan yang telah dipaparkan memberikan gambaran bahwa kompetensi intrapersonal dan interpersonal merupakan bagian dari kehidupan mahasiswa yang akan mengakibatkan terhambatnya tugas-tugas perkembangan. Kondisi mahasiswa yang mengalami lack of competency by interpersonal and intrapersonal tidak bisa dibiarkan saja, harus segera ditangani oleh konselor agar tidak berkepanjangan sehingga mempengaruhi prestasi akademik, dan tugas perkembangannya.
Hubungan intrapersonal dan interpersonal merupakan dua variabel yang tidak dapat dipisahkan dalam perilaku individu, bahkan memiliki kedudukan yang sangat penting bagi kesuksesan hidup individu. Seperti yang diungkapkan oleh Barber (2001) tentang fungsi positif intrapersonal dan interpersonal yang mengungkapkan bahwa aspek intrapersonal secara khusus adalah self esteem, pemberian perspektif dan empati. Serta aspek interpersonal adalah inisiatif sosial, hubungan pertemanan, komunikasi dengan orang tua. Aspek kompetensi intrapersonal dan interpersonal sangat fundamental dalam kekuatan pengembangan kesuksesan dan persiapan menghadapi masa depan sebagai individu yang lebih dewasa.

Pertimbangan yang mendasari pengembangan program experiential based counseling adalah hasil studi pendahuluan terhadap 92 mahasiswa di Program Studi Pendidikan Bahasa Perancis Semester 6 Angkatan 2012 Fakultas Pendidikan Bahasa dan Sastra (FPBS) Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Tahun Akademik 2014/2015. Hasil studi pendahuluan tentang kompetensi intrapersonal menunjukan bahwa 15.22 % mahasiswa berada pada kategori cakap, 9.76 % mahasiswa berada pada kategori cukup cakap, dan 75.00 % mahasiswa berada pada kategori kurang cakap. Ditinjau dari pencapaian aspek kompetensi intrapersonal, aspek pemahaman diri sebesar 48.91 %  mahasiswa berada pada kategori cakap, sementara aspek pengarahan diri sebesar 53.26 % mahasiswa berada pada kategori kurang cakap, dan aspek penghargaan diri sebesar 76,09 % mahasiswa berada pada kategori kurang cakap. Hasil capaian mahasiswa pada setiap indikator dalam setiap aspek menunjukan capaian yang beragam, namun dari sebelas indikator kompetensi intrapersonal, baru terdapat enam indikator yang berada pada kategori cakap, yaitu (1) indikator mahasiswa dapat memenuhi kebutuhan diri sendiri sesuai dengan kriteria tertentu; (2) indikator mahasiswa memahami setiap kebutuhan pribadi dan kegiatan belajarnya; (3) indikator mahasiswa dapat merasakan suasana hati dalam diri sendiri; (4) indikator mahasiswa dapat melakukan kebaikan atas dorongan diri sendiri; (5) indikator mahasiswa dapat memiliki cara pandang yang mendalam; dan (6) indikator mahasiswa mengetahui kekurangan dirinya sendiri.
Hasil studi pendahuluan tentang kompetensi interpersonal menunjukkan bahwa 4.35 % mahasiswa berada pada kategori cakap, 58.70 % mahasiswa berada pada kategori cukup cakap, dan 36,96 % mahasiswa berada pada kategori kurang cakap. Dilihat dari pencapaian aspek kompetensi interpersonal, aspek peka terhadap diri sendiri dan orang lain sebesar 57.61 % mahasiswa berada pada kategori cukup cakap, aspek asertif sebesar 33.70 % mahasiswa berada pada kategori kurang cakap, aspek nyaman dengan diri sendiri dan orang lain sebesar 69,57 % mahasiswa berada pada kategori cakap, aspek membiarkan orang lain bebas sebesar 82.61 % mahasiswa berada pada kategori cukup cakap, aspek ekspektasi yang realistis tentang diri sendiri dan orang lain sebesar 75,00 % mahasiswa berada pada kategori cukup cakap, dan aspek perlindungan diri dalam situasi interpersonal sebesar 64.13 % berada pada kategori cukup cakap. Hasil capaian mahasiswa pada setiap indikator dalam setiap aspek menunjukan capaian yang beragam, namun dari kelima belas indikator kompetensi interpersonal, baru terdapat enam indikator yang berada pada kategori cakap, yaitu (1) indikator mahasiswa tegas terhadap perilakunya; (2) indikator mahasiswa memiliki pemikiran yang akurat; (3) indikator mahasiswa dapat berperilaku jujur; (4) indikator mahasiswa dapat memberikan keleluasaan diri kepada orang lain dalam berekspresi; (5) indikator mahasiswa dapat merekayasa lingkungan yang mendukung hubungan interpersonal; dan (6) indikator mahasiswa dapat menimbang dan memperkirakan waktu yang tepat saat berinterkasi.
Fakta empiris tersebut menunjukan bahwa pada setiap aspek kompetensi intrapersonal dan interpersonal, masih terdapat indikator-indikator yang belum berkembang dengan optimal. Dengan kata lain, belum semua mahasiswa mampu mengembangkan hubungan yang baik dengan diri sendiri maupun dengan orang lain.
Atas dasar rasional inilah diperlukan upaya untuk mengembangkan kompetensi intrapersonal dan interpersonal pada mahasiswa. Upaya untuk mengembangkan kompetensi intrapersonal dan interpersonal mahasiswa tersebut dapat dikemas dalam suatu bentuk kegiatan yang dapat memberikan pengalaman langsung (experience) serta significant effect terhadap peningkatan daya psikologis. Kegiatan yang mengandung unsur pengalaman tersebut dikemas dalam program experiential based counseling sebagai salah satu upaya alternatif untuk mengembangkan kompetensi intrapersonal dan interpersonal. Program experiential based counseling untuk untuk mengembangkan kompetensi intrapersonal dan interpersonal mahasiswa terbangun dari konstruk teori bimbingan konseling kelompok yang memadukan unsur pengalaman (experience) yang didapat dari aktivitas kelompok (group) saat mengikuti kegiatan-kegiatan yang bertujuan untuk mengembangkan kompetensi intrapersonal dan interpersonal serta sebagai sumber pengetahuan untuk membentuk daya psikologis dan kepribadian mahasiswa yang sesuai dengan tugas perkembangannya. Dalam program experiential based counseling, peserta (mahasiswa) berkesempatan untuk saling membantu, saling memberi wawasan/informasi,  saling bertukar pengalaman dan saling memberi alternatif penyelesaian masalah islutratif  yang sedang dihadapi kelompok. Berg, Landreth dan Fall (2006: 6) memaparkan  kontribusi konseling kelompok dalam membentuk dan merubah prilaku dan wawasan anggota kelompok sebagai berikut
Group members come to function not just as counselees but also as a combination of counselees but also as combination of counselees at times in the sessions and at other times as helpers or therapists. Through the process of this experience, group members seem to learn to be better helpers or member-therapists.”

            Bergh, Landerth & Fall (2006: 5-7) serta Gladding (2008: 147) memaparkan bahwa melalui group counseling, individu sebagai anggota kelompok diberi kesempatan untuk mengembangkan kesadaran hubungan antar pribadi anggota kelompok (developing self awareness), mendapatkan pengalaman yang signifikan dalam hubungan antar pribadi anggota kelompok (experiencing significant relationships), tekanan dinamis untuk perkembangan (dynamic pressure for growth), mendapatkan lingkungan yang mendukung untuk saling berkembang (supportive environment), meningkatkan kepekaan terhadap prilaku baru, keyakinan-keyakinan baru dan budaya baru yang muncul dari anggota kelompok lainnya.
Rusmana (2009:32) menjelaskan beberapa latihan kelompok dapat diklasifikasikan sebagai latihan eksperiensial karena anggota kelompok terlibat dalam semacam pengalaman kelompok ataupun individual yang aktif dan menantang. Latihan eksperiensial merupakan rangkaian aktivitas yang didesain untuk membawa individu dan kelompok melampaui pengharapan mereka ataupun meyakini keinginan mereka untuk mencoba berbagai tantangan.
Terkait dengan pernyataan diatas, unsur pengalaman yang didapat dalam suatu kelompok dapat digunakan untuk meningkatkan pemahaman yang kaya dalam memahami kompetensi intrapersonal dan interpersonal. Hal ini senada dengan pendapat Kim & Lim yang menyatakan,
“Experiential learning can be a powerful means to stimulate multicultural awareness and can be use to help individuals confront and overcome racial/ethnic biases. When use the didactic methods, experiential based group counseling can provide trainees with opportunities to observe and practice skills that they have read and have been taught.” (Baruth & Manning 2007: 57).

Belajar berdasarkan pengalaman dapat menjadi sesuatu yang berharga dan dapat mengembangkan kompetensi intrapersonal dan interpersonal mahasiswa. Kolb (1984) mendefinisikan experiential learning sebagai proses pengetahuan diciptakan melalui transformasi pengalaman (experience). Pengetahuan yang didapat merupakan hasil perpaduan antara memahami dan mentransformasi pengalaman. Model peningkatan pengetahuan ini lebih menekankan pada model pembalajaran yang holistik (kognitif, afektif dan konasi) Kolb (1984).
Pengalaman yang didapat peserta saat mengikuti program experiential based counseling diharapkan mampu menjadi stimulus bagi peserta (mahasiswa) untuk lebih meningkatkan kompetensi intrapersonal dan interpersoal serta diharapkan mampu meningkatkan daya psikologis dan kepribadian. Program experiential based counseling mengarahkan peserta (mahasiswa) berbagi dalam tugas-tugas tertentu serta materi-materi ilustratif untuk mengembangkan kompetensi intrapersonal dan interpersoal yang spesifik dalam waktu yang relatif singkat. 

B.     Deskripsi Kebutuhan
Deskripsi mengenai kebutuhan mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Perancis Semester Enam Angkatan 2012 FPBS UPI Tahun Akademik 2014/2015 didapatkan melalui skala pengungkap kompetensi intrapersonal dan interpersonal yang telah disebarkan kepada 92 mahasiswa. Hasil penyebaran instrumen tersebut kemudian dan diolah sehingga diperoleh kriteria pada tabel berikut.
                                                 
                                                  Tabel 1.1
Profil Umum Kompetensi Intrapersonal dan Interpersonal Mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Perancis Semester Enam
Angkatan 2012 FPBS UPI Tahun Akademik 2014/2015


Profil
Kategori
Cakap
Cukup Cakap
Kurang Cakap
Kompetensi Intrapersonal

15,22 %

9,78 %

75,00 %
Kompetensi Interpersonal

4,35 %

58,70 %

36,96 %

                Berdasarkan Tabel 1.1, secara umum profil kompetensi intrapersonal mayoritas mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Perancis berada pada kategori kurang cakap. Proporsi mahasiswa yang berada pada kategori cakap sebanyak 14 mahasiswa, proporsi mahasiswa yang berada pada kategori cukup cakap sebanyak 9 mahasiswa, dan proporsi mahasiswa yang berada pada kategori kurang cakap sebanyak 69 mahasiswa. Fokus sasaran dalam program  ini yaitu mahasiswa yang memiliki kompetensi intrapersonal yang kurang cakap.
            Terkait dengan hasil studi pendahaluan pada Tabel 1.1, secara umum profil kompetensi interpersonal, mayoritas  mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Perancis berada pada kategori cukup cakap. Proporsi mahasiswa yang berada pada kategori cakap sebanyak 4 mahasiswa, proporsi mahasiswa yang berada pada kategori cukup cakap sebanyak 54 mahasiswa, dan proporsi mahasiswa yang berada pada kategori kurang cakap sebanyak 34 mahasiswa. Fokus sasaran dalam program  ini yaitu mahasiswa yang memiliki kompetensi interpersonal yang cukup cakap dan kurang cakap.
Selain diperoleh profil secara umum, kompetensi intrapersonal dan interpersonal dijabarkan dalam pencapaian aspek dapat dilihat pada Tabel 1.2 sebagai berikut. 
Tabel 1.2
Profil Pencapaian Aspek Kompetensi Intrapersonal dan Interpersonal Mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Perancis Semester Enam
Angkatan 2012 FPBS UPI Tahun Akademik 2014/2015


Variabel

Aspek
        Kategori
Cakap
Cukup Cakap
Kurang Cakap

Kompetensi Intrapersonal
Pemahaman Diri
48,91 %
44,57 %
6,52 %
Pengarahan Diri
26,09 %
20,65 %
53,26 %
Penghargaan Diri
9,78 %
14,13 %
76,09 %




Kompetensi Interpersonal
Peka terhadap diri sendiri dan orang lain 
40,22 %
57,61 %
2,17 %
Asertif
50,00 %
16,30 %
33,70 %
Nyaman dengan diri sendiri dan orang lain
69,57 %
23,91 %
6,52 %
Membiarkan orang lain bebas
13,04 %
82,61 %
4,35 %
Ekspektasi yang realistis tentang diri sendiri dan orang lain
21,74 %
75,00 %
3,26 %
Perlindungan diri dalam situasi interpersonal
31,52 %
64,13 %
4,35 %

Tabel 1.2 menggambarkan kompetensi intrapersonal mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Perancis berdasarkan aspeknya, menunjukkan pada aspek pemahaman diri sebanyak 45 mahasiswa berada pada kategori cakap, aspek pengarahan diri sebanyak 49 mahasiswa berada pada kategori kurang cakap, dan aspek penghargaan diri sebanyak 70 mahasiswa berada pada kategori kurang cakap. Artinya mahasiswa program studi pendidikan bahasa perancis memiliki kecenderungan pemahaman diri yang mumpuni. Fokus sasaran dalam program ini yang dikembangkan pada aspek pengarahan diri dan penghargaan diri.
Berdasarkan Tabel 1.2 pencapaian aspek kompetensi interpersonal mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Perancis menunjukkan aspek peka terhadap diri sendiri dan orang lain sebanyak 53 mahasiswa berada pada kategori cukup cakap, aspek asertif sebanyak 46 mahasiwa berada pada kategori cakap, aspek nyaman dengan diri sendiri dan orang lain sebanyak 64 mahasiswa berada pada kategori cakap, aspek membiarkan orang lain bebas sebanyak 76 mahasiswa berada pada kategori cukup cakap, aspek ekspektasi yang realistis tentang diri sendiri dan orang lain sebanyak 69 mahasiswa berada pada kategori cukup cakap, dan aspek perlindungan diri dalam  situasi interpersonal sebanyak 59 mahasiswa berada pada kategori cukup cakap. Artinya mahasiswa program studi pendidikan bahasa perancis memiliki kelemahan pada empat aspek yang berada pada kategori cukup cakap dan menjadi fokus sasaran yang dikembangkan dalam program ini.
Deskripsi kebutuhan selanjutnya yakni profil pencapaian indikator kompetensi intrapersonal dan interpersonal mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Perancis yang dijabarkan pada Tabel 1.3 dan Tabel 1.4 sebagai berikut.
Tabel 1.3
Profil Pencapaian Indikator Kompetensi Intrapersonal
Mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Perancis Semester Enam
Angkatan 2012 FPBS UPI Tahun Akademik 2014/2015


Aspek

Indikator
     Kategori
Cakap
Cukup Cakap
Kurang Cakap

Pemahaman Diri
Mahasiswa mengetahui kelebihan dirinya sendiri.
40,22 %
26,09 %
33,70 %
Mahasiswa mengetahui kekurangan dirinya sendiri.
78,26 %
8,70 %
13,04 %
Mahasiswa memahami kebutuhan yang ingin dipenuhi.
81,52 %
13,04 %
5,43 %
Mahasiswa merasakan suasana hati dalam diri sendiri.
81,52 %
13,04 %
5,43 %
Mahasiswa memahami konsekuensi dari setiap tindakan.
55,43 %
38,04 %
6,52 %
Pengarahan Diri
Mahasiswa dapat memiliki cara pandang yang mendalam.
79,35 %
9,78 %
10,87 %
Mahasiswa dapat memenuhi kebutuhan diri  sesuai dengan kriteria tertentu.
90,22 %
7,61 %
2,17 %
Mahasiswa dapat menyalurkan energi sesuai tujuan.
25,00 %
71,74 %
3,26 %
Penghargaan Diri
Mahasiswa menyadari sebagai orang cakap.
50,00 %
33,70 %
16,30 %
Mahasiswa dapat melakukan kebaikan atas dorongan diri sendiri. 
80,43 %
15,22 %
4,35 %
Mahasiswa merasakan menjadi orang yang berharga.
7,61 %
86,96 %
5,43 %

Secara rinci profil kompetensi intrapersonal mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Perancis dilihat dari kesebelas indikator pembentukan kompetensi intrapersonal, terdapat lima indikator yang masih perlu ditingkatkan dan dikembangkan dalam program ini diantaranya : (1) indikator mahasiswa menerima diri sebagai orang yang berharga; (2) indikator mahasiswa dapat menyalurkan energi sesuai tujuan; (3) indikator mahasiswa dapat memahami konsekuensi dari setiap tindakan; (4)  indikator mahasiswa mengetahui kelebihan dirinya sendiri; dan (5) indikator mahasiswa menerima diri sebagai orang cakap. Dapat disimpulkan bahwa mahasiswa hanya dapat memahami cara pandang yang mendalam, dan merasakan suasana hati dalam diri sendiri, dan belum menunjukan kemampuan berelasi secara optimal, sehingga dua aspek kompetensi intrapersonal belum berkembang.

Tabel 1.4
Profil Pencapaian Indikator Kompetensi Interpersonal  
Mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Perancis Semester Enam
Angkatan 2012 FPBS UPI Tahun Akademik 2014/2015

Aspek
Indikator
                   Kategori
Cakap
Cukup Cakap
Kurang Cakap
Peka terhadap diri sendiri dan orang lain
Mahasiswa memiliki pemikiran yang akurat.
79,35 %
14,13 %
6,52 %
Mahasiswa memiliki perasaan yang stabil.
10,87 %
85,87 %
3,26 %
Mahasiswa memahami pemikiran orang lain.
13,04 %
26,09 %
60,87 %
Mahasiswa memahami perasaan orang lain.
19,57 %
43,48 %
36,96 %
Mahasiswa dapat menimbang dan memperkirakan waktu yang tepat saat berinterkasi.
42,39 %
36,96 %
20,65 %
Asertif
Mahasiswa tegas terhadap perilakunya.
82,61 %
16,30 %
1,09 %
Mahasiswa dapat berperilaku jujur.
72,83 %
17,39 %
9,78 %
Nyaman dengan diri sendiri dan orang lain
Mahasiswa dapat berinteraksi dengan baik terhadap orang lain.
9,78 %
60,87 %
29,35 %
Mahasiswa dapat merespon interaksi dari orang lain secara komunikatif.
44,57 %
47,83 %
7,61 %
Membiarkan orang lain bebas
Mahasiswa dapat memberikan keleluasaan diri kepada orang lain dalam berekspresi.
70,65 %
21,74 %
7,61 %
Mahasiswa dapat berinteraksi dengan orang lain secara bermakna.
11,96 %
80,43 %
7,61 %
Ekspektasi yang realistis tentang diri sendiri dan orang lain
Mahasiswa memiliki harapan yang menjanjikan bagi diri sendiri dan orang lain.
16,30 %
79,35 %
4,35 %
Mahasiswa dapat bertindak berdasarkan harapan diri sendiri.
27,17 %
59,78 %
13,04 %
Perlindungan diri dalam situasi interpersonal
Mahasiswa dapat memberikan perlindungan ketika terjalin hubungan interpersonal.
18,48 %
76,09 %
5,43 %
Mahasiswa dapat merekayasa lingkungan yang mendukung hubungan interpersonal.
68,48 %
29,35 %
2,17 %

Berdasarkan Tabel 1.4, secara rinci profil kompetensi interpersonal mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Perancis dilihat dari kelima belas indikator pembentukan kompetensi interpersonal, terdapat delapan indikator yang masih perlu ditingkatkan dan dikembangkan dalam program ini diantaranya: (1) indikator mahasiswa memiliki pemikiran yang stabil; (2) indikator mahasiswa memahami perasaan orang lain; (3) indikator mahasiswa dapat berinteraksi dengan baik terhadap orang lain; (4) indikator mahasiswa dapat merespon interaksi dari orang lain secara komunikatif; (5) indikator mahasiswa dapat berinteraksi dengan orang lain secara bermakna; (6) indikator mahasiswa memiliki harapan yang menjanjikan bagi diri sendiri dan orang lain; (7) indikator mahasiswa dapat bertindak berdasarkan harapan diri sendiri; dan (8) indikator mahasiswa memahami pemikiran orang lain. Dapat disimpulkan bahwa mahasiswa belum memahami pemikiran orang lain atau teman dalam meningkatkan kepekaan, dan mahasiswa belum menunjukan kemampuan berelasi dengan orang lain secara optimal, sehingga delapan indikator kompetensi interpersonal belum berkembang.

C.    Tujuan Program  Experiential  Based Counseling
Tujuan umum dari program experiential based counseling adalah untuk mengembangkan kompetensi intrapersonal dan interpersonal mahasiswa. secara khusus, tujuan dari program experiential based counseling adalah untuk membantu mahasiswa dalam mengembangkan:
1.      Pemahaman diri, yaitu memahami kekuatan, kelemahan, kebutuhan, perasaan, dan motif diri sendiri.
2.      Pengarahan diri, yaitu mengarahkan kehidupan diri sendiri dan bertangungjawab sepenuhnya atas konsekuensi dari perilaku diri sendiri,
3.      Pengahargaan diri, yaitu menerima diri sendiri sebagai individu yang cakap, penuh kebajikan, dan berharga.
4.      Peka terhadap diri sendiri dan orang lain, yaitu sadar akan pemikiran dan perasaan diri sendiri dan melibatkan kesadaran tersebut dalam membuat respon yang tepat kepada orang lain.
5.      Asertif, yaitu mengkomunikasikan apa yang menjadi hal mereka secara jujur dan konstruktif.
6.      Nyaman dengan diri sendiri dan orang lain, yaitu terbuka dalam menunjukkan diri sendiri yang sebenarnya.
7.      Membiarkan orang lain bebas, yaitu membiarkan orang lain untuk menjadi diri mereka sendiri.
8.      Ekspektasi yang realistis tentang diri sendiri dan orang lain, yaitu menyadari bahwa dirinya dan orang lain tidak sempurna.
9.      Perlindungan diri dalam situasi interpersonal, yaitu kemampuan untuk mengatasi apapun yang terjadi di dalam hubungan interpersonal tanpa terpengaruh secara pribadi.

D.    Prinsip Pelaksanaan Program  Experiential  Based Counseling
Prinsip-prinsip yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan program experiential based counseling adalah sebagai berikut:
1.      Manusia ialah mahluk yang dinamis, yang selalu melakukan perubahan dalam kehidupannya.
2.      Efektivitas hubungan konseling sangat tergantung pada kualitas hubungan antara konseli dan konselor. (…the effectiveness of counseling is highly dependent on the quality of the relationship between the client and the counselor) (David Gerldard & Kathryn Geldard, 2001: 12).
3.      Konselor harus memiliki pengetahuan tentang konseli yang berasal dari  kelompok dan budaya tertentu. Jika seorang konselor dapat melakukan hal ini dengan berhasil, konselor mungkin mendapatkan pengetahuan lebih jauh tentang keluarga konseli, nilai-nilai, sikap, keyakinan dan perilaku konseli. Sehingga bantuan yang diberikan lebih tepat guna. Counsellors should have knowledge about the client’s particular group and culture.....,. If a counsellor can do this successfully, they may be able to further their knowledge about the client’s family, values, attitudes, beliefs and behaviours” David Geldard & Kathryn Geldard (2001: 336).
4.      Program experiential based counseling merupakan kegiatan yang dikemas dalam bentuk kegiatan langsung dimana pengalaman sebagai transformasi pembelajaran yang menuntut partisipasi aktif peserta.
5.      Program experiential based counseling menunjukkan suatu aplikasi yang spesifik dari metode dalam penyelenggaraan proses pendidikan untuk meningkatkan aspek kognitif, afektif dan psikomotor.

E.     Khalayak Sasaran
Program experiential based counseling untuk mengembangkan kompetensi intrapersonal dan interpersonal mahasiswa sebagai pengembangan (developmental) terhadap kompetensi kepribadian dan sosial calon pendidik. Berdasarkan fungsi tersebut maka khalayak sasaran dalam pelaksanaan experiential based counseling  untuk mengembangkan kompetensi intrapersonal dan interpersonal mahasiswa yang menempuh studi program sarjana (S1) pada semester enam program studi pendidikan bahasa perancis angkatan 2012 tahun akademik 2014/2015. Pada umumnya mahasiswa semester enam dalam rentang perkembangan remaja akhir yang sedang mengalami suatu perpindahan menuju struktur akademik yang lebih besar, bertambahnya tekanan akademik untuk mencapai prestasi, interaksi sosial tinggi, dinamika kelompok yang kurang kohesif, dan tekanan sosial.
Hal tersebut diperkuat dengan pendapat Havighurst (1961) tugas perkembangan remaja akhir yang menuju dewasa awal diantaranya yaitu mencapai tingkah laku yang bertanggung jawab secara sosial, belajar bergaul dengan kelompok teman sebaya, mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang dewasa lainnya, mengembangkan keterampilan intelektual, menerima peran sosial sebagai pria dan wanita, memperoleh seperangkat nilai dan sistem etika sebagai petunjuk dalam bertingkah laku, dan mengamalkan nilai-nilai keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan YME dalam kehidupan sehari-hari, baik pribadi maupun sosial.
Terkait dengan pernyataan diatas, Hurlock (1978) menjelaskan tugas perkembangan remaja akhir diantaranya belajar menyesuaikan diri terhadap pola hidup yang baru, belajar untuk memiliki cita-cita yang tinggi, dan belajar untuk memantapkan identitas diri.

E. Sistem Sosial
Sistem sosial dalam pelaksanaan program experiential based counseling adalah kerangka batasan peran konselor – konseli yang mengikat dalam situasi hubungan bantuan.
Konselor dan konseli dalam proses pelaksanaan program experiential based counseling mengembangkan kesepakatan berupa komitmen bersama untuk menjalankan proses layanan dengan penuh tanggung jawab. Komitmen bersama ini menjadi dasar tercapainya keberhasilan atau kegagalan dalam menjalani proses dari konseling berbasis pengalaman. Komitmen bersama yang dibangun mempertegas peran dan tanggung jawab konselor dan konseli. Berikut ini adalah penjelasan peran konselor dan konseli dalam pelaksanaan program experiential based counseling.
Peran konselor dalam secara keseluruhan adalah sebagai fasilitator yang harus memahami secara utuh karakteristik konseli, serta memiliki kepercayaan bahwa konseli merupakan individu yang sedang menjalani proses perkembangan, sehingga peran mendasar konselor adalah membantu jalannya proses perkembangan tersebut sehingga mencapai perkembangan yang optimal.

Merujuk pada pendapat Mamat Supriatna (2010:8), peran konselor dalam pelaksanaan model konseling aktualisasi diri untuk mengembangkan kecakapan pribadi mahasiswa, bahwasannya peran konselor adalah sebagai pendidik psikologis, peran ini lebih kepada peran konselor sebagai role model bagi konseli (mahasiswa). Konselor dalam menjalankan peran sebagai pendidik psikologis harus bersifat fleksibel sebagai : (1) teman yang berperan serta secara produktif dan bertanggung jawab dalam proses layanan, (2) motivator dalam upaya pengungkapan pengalaman, pemikiran, perasaan, dan tindakan konseli yang kreatif, (3) inspirator dan promotor bagi konseli untuk memperoleh wawasan yang dapat mencerahkan kehidupannya.
Berdasarkan ketiga fungsi tersebut, peran konselor dalam pelaksanaan program experiential based counseling untuk mengembangkan kompetensi intrapersonal dan interpersonal mahasiswa adalah sebagai berikut.
1)      Memberikan kesempatan konseli merefleksikan konten dan proses layanan yang diberikan.  
2)      Sebagai fasilitator memberikan pemahaman dan kemampuan selama proses pelaksanaan program experiential based counseling.
3)      Menerima informasi dan pandangan lain dari konseli.  
4)      Penelaah hasil penelitian pelaksanaan program experiential based counseling.  
5)      Memberikan kesempatan untuk mengeksplorasi dan mengekspresikan perasaan konseli.
6)      Merencanakan dan melaksanakan program experiential based counseling untuk menembangkan kompetensi intrapersonal dan interpersonal secara professional.
7)      Lebih proaktif dibandingkan reaktif dalam melaksanakan program experiential based counseling.
8)      Reviewer terhadap mahasiswa  untuk mengetahui perubahan pola pikir dan perilaku yang terkait dengan pencapaian kompetensi intrapersonal dan interpersonal.
Peran konseli dalam proses pelaksanaan pelaksanaan program experiential based counseling adalah sebagai individu (mahasiswa) yang sadar dan bertanggung jawab dengan seluruh aktivitas yang dilakukan dalam setiap sesi layanan, serta setiap menerima konsekuensi dari setiap proses yang dijalani. Secara khusus, peran konseli diantaranya harus senantiasa aktif dalam proses treatment, konseli harus terbuka dengan berbagai kendala dalam permasalahannya, konseli dapat mengkomunikasikan sikap-sikap yang diambil dalam pengambilan keputusan, konseli dapat merefleksikan terhadap hasil pemaknaan materi yang sudah diberikan, dan konseli harus memiliki perspektif serta eskpektasi terhadap diri sendiri sebagai proses internalisasi diri. 

F. Kompetensi Konselor
Kompetensi konselor dalam program experiential based counseling merupakan penunjang yang bersifat perangkat lunak yang terkandung atau melekat pada karakteristik pribadi konselor itu sendiri, dan dapat dikembangkan melalui pendidikan. Adapun kompetensi-kompetensi konselor yang diperlukan dalam program experiential based counseling untuk mengembangkan kompetensi intrapersonal dan interpersonal mahasiwa yaitu sebagai berikut.
1.      Konselor memahami potensi-potensi diri konseli, baik yang menunjang maupun menghambat bagi perkembangan kehidupannya.
2.      Konselor mampu mengidentifikasi profil keterampilan intrapersonal dan interpersonal sesuai dengan aspek dan indikatornya.
3.      Konselor mampu mengkomunikasikan gagasan melalui ungkapan pemikiran, perasaan, dan perbuatan yang mendorong konseli berperan serta dalam proses bantuan.
4.      Konselor terampil menggunakan pengalalaman, baik yang berasal dari riwayat kehidupan, bacaan, simakan, maupun tontonan untuk dijadikan ilustrasi atau media bantuan.
5.      Konselor memahami makna atau ketertarikan antara nilai-nilai yang terungkap dalam proses bantuan dengan pengalaman keseharian konseli.
6.      Konselor mampu menunjukkan penghargaan dan sikap positif terhadap upaya, keputusan, dan atau perubahan konseli ke arah yang lebih baik.

G. Penunjang Teknis Layanan
Menurut Rusmana (2009:76) langkah-langkah konseling berbasis pengalaman dapat dilakukan dengan menggunakan Metode Socratic (socratic method).  Metode ini terdiri atas empat langkah kegiatan yaitu;  a) eksperientasi (experience); b) identifikasi (identify); c) analisis (analize); d) generalisasi (generalize).
1). Fase Eksperientasi (experience) atau disebut juga fase action adalah fase di mana konselor melaksanakan kegiatan konseling (do) yang diarahkan pada upaya memfasilitasi individu untuk mengekspresikan perasaan-perasaan yang menjadi beban psikologisnya sesuai dengan skenario yang telah ditetapkan sebelumnya.
2). Fase Identifikasi (identify) adalah fase di mana konselor melaksanakan proses identifikasi dan refleksi pengalaman selama proses latihan. Pada fase ini konseli atau anggota kelompok diminta untuk bercermin atau melihat (look) ke dalam dirinya apa kaitan antara proses permainan dengan keadaan dirinya. Pada tahap ini konseli diajak untuk mengungkapkan pikiran, perasaan yang terkait dengan proses eksperientasi. Pikiran dan perasaan yang diungkapkan oleh konseli merepresentasikan kondisi psikologis dan permasalahan yang dihadapinya.
3). Fase Analisis (analyze) adalah fase di mana konseli diajak untuk merefleksikan (reflection) dan memikirkan (think) kaitan antara proses konseling dengan kondisi psikologis yang sedang dihadapinya. Sehingga dapat digunakan untuk membuat rencana perbaikan terhadap kelemahan-kelemahan diri.
4). Fase Generalisasi (generalitation) adalah fase di mana konseli diajak untuk membuat rencana (plan) perbaikan terhadap kelemahan yang dihadapi oleh konseli. Rencana perbaikan dapat diwujudkan pada proses konseling berikutnya.
Secara lengkap gambaran mengenai mekanisme dan langkah-langkah konseling berbasis pengalaman yakni terlihat dalam skema 1.1 sebagai berikut.

Rusmana (2009:19) menjelaskan jenis-jenis latihan kelompok (group exercise) yang menjadi penunjang teknis program experiential based counseling meliputi :
1)      menulis (written),
2)      gerak (movement),
3)      lingkaran (rounds),
4)      dyad dan triad,
5)      creative props,  
6)      arts and crafts
7)      fantasi,
8)      bacaan umum,
9)      umpan balik,
10)  kepercayaan (trust),
11)  experiential,
12)  dilema moral,
13)  keputusan kelompok, dan  
14)  sentuhan (touching).
Rusmana (2009:26) menjelaskan beberapa latihan kelompok dapat diklasifikasikan sebagai latihan eksperiensial karena anggota kelompok terlibat dalam semacam pengalaman kelompok ataupun individual yang aktif dan menantang. Latihan eksperiensial yang paling dikenal adalah “ropes course” (permainan tali temali), yang merupakan rangkaian aktivitas yang didesain untuk membawa individu dan kelompok melampaui pengharapan mereka ataupun meyakini keinginan mereka untuk mencoba.” (project adventure, 1992). Aktivitas ini dilakukan di luar ruangan dengan menggunakan rangkaian yang didesain secara hati-hati dan terbuat dari jalinan tali temali. Aktivitas dalam permainan tali temali bergantung pada kerjasama antar anggota kelompok, dengan demikian aktivitas ini bagus untuk pembentukan tim (team building).

H. Struktur dan Tahapan Pelaksanaan
Program experiential based counseling bersifat didaktik, direktif, aktif, eksploratif, dan reflektif yang disuguhkan dalam durasi waktu yang bervariatif dengan rentang 15-120 menit disesuaikan dengan materi  kegiatan yang  diberikan yang dikemas dalam dinamika kelompok. Materi kegiatan disusun berdasarkan pada apsek-aspek kompetensi intrapersonal dan interpersonal sebagai hasil dari need assessment.  Tahapan pelaksanaan experiential based counseling yakni sebagai beirkut.
1. Tahap Awal  Pembentukan Kelompok (beginning a group/forming stage)
Pada tahap ini setiap anggota dibentuk dalam suatu kelompok serta pemaparan alasan kelompok tersebut dibentuk, untuk kepentingan apa, siapa anggotanya dan jumlahnya. Dalam tahap ini juga dipaparkan mengenai kesepakatan kegiatan seperti peraturan kegiatan yang akan dilakukan dan batasan kegiatan (setting limit). Selain itu dalam tahap ini anggota kelompok melakukan berbagai panjajagan terhadap anggota lainnya mengenai hubungan antar pribadi yang dikehendaki kelompok, sekaligus mencoba berprilaku tertentu untuk mendapatkan reaksi dari anggota lainnya. Pada tahap ini setiap anggota kelompok dalam kelompok melakukan berbagai panjajagan terhadap anggota lainnya mengenai hubungan antar pribadi yang dikehendaki kelompok, sekaligus mencoba berprilaku tertentu untuk mendapatkan reaksi dari anggota lainnya. Bersamaan dengan tampilnya perilaku individu yang berbeda-beda tersebut, secara perlahan-lahan, anggota kelompok mulai menciptakan pola hubungan antar sesama mereka. Pada tahap pertama inilah secara berangsur-angsur mulai diletakkan pola dasar perilaku kelompok, baik yang berkaitan dengan tugas-tugas kelompok maupun yang berkaitan dengan hubungan antar pribadi anggotanya.
Pada tahap ini hubungan satu dengan yang lainnya masih terlihat kaku, namun pada umumnya setiap individu senang memperlihatkan rasa aku-nya. Dalam kondisi  yang masih diliputi kekakuan seperti ini, kelompok belum mampu menghasilkan prestasi kerja yang bermakna. Kondisi akhir yang diharapkan terjadi dalam fase  ini adalah hilangnya kekakuan dalam hubungan antar pribadi.
2. Tahap Transisi (transition stage)
            Pada tahap kedua dari proses pembentukan kelompok ini, upaya memperjelas tujuan kelompok mulai nampak dengan peningkatan partisipasi peserta. Sadar atau tidak sadar, pada tahap ini anggota kelompok mulai menditeksi kekuatan dan kelemahan masing-masing anggota kelompok melalui proses interaksi yang intensif, ditandai dengan mulai terjadinya konflik antar anggota kelompok. Salah satu ciri dari fase ini adalah dengan berbagai cara apapun anggotanya akan saling mempengaruhi satu sama lain.
            Pada fase ini mulai terlihat siapa anggota yang kuat dan siapa yang lemah, secara perlahan-lahan mulai terlihat karakteristik gaya kepribadian masing-masing anggota. Ada yang ingin menang sendiri, ada yang lebih suka mengalah, ada pula yang mudah tersinggung dan kecewa lantas menarik diri. Dalam fase ini semua anggota sudah mulai mengenal siapa dirinya dan siapa orang lain dalam kelompok, mulai terlihat siapa yang pantas diserahi tugas sebagai pemimpin kelompok, siapa pemikir, siapa pelaksanan dan lain sebagainya, peran masing-masing mulai jelas.
            Tahap transition atau pancaroba ini merupakan fase yang paling panjang perjalanan waktunya dalam proses pertumbuhan sebuah kelompok. Karena dalam fase ini melalui berbagai bentuk konflik dan kerjasama, munculnya kesadaran dan pemahaman setiap anggota kelompok tentang adanya aspek-aspek kepribadian yang unik dalam hubungan antar manusia. Seberapa jauh  kemampuan anggota kelompok mengakomodir perbedaan –perbedaan  tersebut, akan menentukan tinggi-rendahnya tingkat efektivitas kelompok.
Selanjuntnya dalam tahap ini meskipun konflik  masih terjadi terus, namun anggota kelompk mulai melihat karakteristik kepribadian masing-masing secara lebih mendalam, sehingga lebih memahami mengapa terjadi perbedaan  dan konflik, bagaimana berkomunikasi dengan orang–orang tertentu , bagaimana cara membantu orang lain dan bagaimana cara memperlakukan orang lain dalam kelompok. Dengan adanya pemahaman demikian, ikatan (cohesi), rasa percaya (trust), rasa keengganan dan keraguan anggota kelompok mulai terkikis, adanya “full body contact”  diantara anggota kelompok serta kepuasan hubungan dan konsensus diantara anggota kelompok dalam pengambilan keputusan meningkat, anggota mulai merasakan perlunya kesatuan pendapat mengenai perilaku yang boleh dan yang tidak boleh ditampilkan dalam pergaulan kelompok atau norma kelompok, agar kelompok bisa bekerja secara efektif dan efisien dalam memecahkan masalah yang dihadapi bersama.
Kondisi terakhir yang diharapkan dari pembentukan norma ini adalah terciptanya hubungan antar pribadi yang semula penuh dengan  keraguan dan konflik berubah menjadi sarana untuk pemecahan masalah dan penyelesaian pekerjaan kelompok, antara lain dengan adanya norma berprilaku yang disepakati bersama oleh anggota kelompok, baik lisan maupun tertulis, artinya seluruh anggota kelompok sudah tahu apa yang tidak boleh dan tidak pantas dilakukan dalam pergaulan kelompok. Selain itu sudah jelas pula peran apa yang harus dimainkan oleh setiap anggota kelompok dalam penyelesaian pekerjaan kelompok. Dengan demikian kelompok akan berjalan secara fungsional dan sesuai dengan kemampuannya masing-masing.
3. Tahap kerja (performing stage)
            Pada tahap ini kelompok sudah dibekali dengan  suasana hubungan kerja yang harmonis antara anggota yang satu dengan yang lainnya, norma kelompok telah disepakati, tujuan dan tugas kelompok serta peran masing-masing anggota telah jelas, ada keterbukaan dalam berkomunikasi dalam kelompok dan keluwesan dalam berinteraksi satu sama lain, perbedaan pendapat ditolelir, inovasi berkembang (ibid), produktivitas kinerja meningkat, rasa keengganan dan keraguan anggota kelompok mulai terkikis (trust); dan  adanya “full body contact”  diantara anggota kelompok. Dengan iklim kelompok seperti inilah sinergi kelompok akan tercapai, sehingga kelompok mampu menampilkan prestasi kerja yang optimal.  Selain itu dalam kegiatan ini kegiatan-kegiatan yang diberikan sudah menitikberatkan pada peningkatan kompetensi intrapersonal dan interpersonal berdasarkan aspeknya.
4.  Tahap Terminasi (termination stage)
Pada tahap ini kelompok diarahkan untuk lebih mengenal diri sendiri, anggota kelompok yang lain serta mengintegrasikan pengalaman-pengalaman yang didapatkan dari tahap awal (beginning stage) hingga tahap kerja (performing stage). Selanjutnya menurut Gladding dalam tahap ini kelompok diarahkan untuk merencanakan dan menindaklanjuti (follow up) pengalaman-pengalaman yang didapat dari ranggakain kegiatan yang telah dilewati (Rusmana, 2009: 101). Pengalaman-pengalaman tersebut ditransformasikan kedalam bentuk  tindakan nyata yang diharapkan dan diaplikasikan dalam kehidupan nyata.

I. Isi Program  Experiential Based Counseling
Komponen atau isi program experiential based counseling merupakan serangkaian rancangan kegiatan konseling berbasis pengalaman dengan berbagai teknik konseling yang didasarkan atas hasil need assessment. Muatan materi kegiatan disusun berdasarkan pada apsek-aspek kompetensi intrapersonal dan interpersonal hasil dari need assessment sebagai berikut.
1.      Aspek kompetensi intrapersonal meliputi pemahaman diri, pengarahan diri, dan penghargaan diri.
2.      Aspek kompetensi interpersonal meliputi peka terhadap diri sendiri dan orang lain, asertif, nyaman dengan diri sendiri dan orang lain, membiarkan orang lain bebas, ekspektasi yang realistis tentang diri sendiri dan orang lain, dan perlindungan diri dalam situasi interpersonal.
Secara lebih rinci tahapan pelaksanaan kegiatan program experiential based counseling untuk mengembangkan kompetensi intrapersonal dan interpersonal mahasiswa disajiakan pada Tabel 1.5 berikut.
TABEL 1.5
TAHAPAN PROGRAM EXPERIENTIAL BASED COUNSELING UNTUK MENGEMBANGKAN KOMPETENSI INTRAPERSONAL  DAN INTERPERSONAL MAHASISWA


Tahapan
Tujuan
Metode
1.      Tahap Awal (forming)


a.       Bola Berantai
(a) mengenal lebih jauh identitas kelompok;
(b) mengetahui identitas anggota kelompok; dan
(c) meningkatkan keakraban antar anggota kelompok.
Movement
b.      ZIP-ZAP
(a) anggota kelompok mampu melakukan penjajagan tanpa keraguan terhadap anggota lainnya mengenai hubungan antar pribadi dengan mendeskripsikan identitas peserta lain baik yang berada disebelah kanan atau kiri dengan benar saat bola dilempar kepada peserta dari peserta lain sesuai dengan perintah “zip” atau “zap”;
(b) anggota kelompok mampu mengingat dan menyebutkan dengan cepat identitas yang telah dideskripsikan peserta lain sebelumnya dan berbaur dengan anggota kelompok lain tanpa ada jarak (keraguan) dalam mengekspolarasi identitas diri anggota kelompok yang lain seperti “tertawa lepas” dan “bercanda bersama”;
 (c) anggota kelompok menurunkan ego diri dan menerima prilaku anggota lain;
(d) rasa keengganan dan keraguan terhadap anggota lain mulai terkikis seperti posisi berdiri dan jarak berdiri yang relatif dekat
Movement
c.       Pohon Harapan
(a)    membantu mahasiswa untuk mengeksplorasi ekspektasi/harapan masing-masing anggota kelompok dalam memasuki aktivitas kelompok.
(b)   anggota kelompok mampu mendeskripsikan secara pribadi harapan-harapan yang ingin dicapai dalam kelompok tersebut seperti “melalui kegiatan kelompok ini saya mengharapkan mampu mengetahui siapa saya dan siapa orang lain dan harus seperti apa saya menyikapi keberagaman tersebut”.
(c)    Jika anggota kelompok sudah mampu mendeskripsikan harapan-harapan yang diinginkan dan harapan-harapan yang tidak diinginkan secara gamblang dalam kelompoknya maka peserta sudah siap untuk memperkuat kelompok yang padu  serta memperkuat nilai-nilai dalam kelompok tersebut dengan modal harapan-harapan dari seluruh anggota kelompok.
Written
2.      Tahap Transisi


a.      Storming


       Susun Baris
(a)       menguji kesiapan anggota kelompok dalam mengikuti kegiatan;
(b)      mengetahui keberagaman anggota kelompok;
(c)        anggota kelompok mampu menempatkan diri  dengan cepat dan tepat sesuai dengan ciri diri yang diperintahkan oleh instruktur;
(d)      anggota kelompok mampu lebih meningkatkan partisipasi diri;
(e)       anggota kelompok menurunkan resistensi terhadap aktivitas kelompok yang diikuti;
(f)       rasa keengganan dan keraguan anggota kelompok mulai terkikis;
(g)      adanya “full body contact” diantara anggota kelompok;
(h)      adanya prilaku anggota kelompok yang saling mempengaruhi satu sama lain dan mulai mengenali “siapa dirinya” dan “siapa orang lain.

Movement
b.      Norming


       Si Buta Menggambar
(a)    mengandalkan kepercayaan pada orang lain ;
(b)   memahami keragaman komunikasi non verbal;
(c)    memahami kelemahan dirinya;
(d)   merasakan suasana hati dalam diri sendiri;
(e)    memahami konsekuensi dari setiap tindakan.
(f)    anggota kelompok mampu menjalankan perintah menyelesaikan tantangan dengan cepat dan tepat sesuai dengan yang diperintahkan oleh anggota kelompok lain;
(g)   anggota kelompok mampu lebih meningkatkan partisipasi diri;
(h)   anggota kelompok menurunkan resistensi terhadap aktivitas kelompok yang diikuti; dan
(i)     anggota kelompok menurunkan ego diri dan menerima prilaku anggota lain guna tercapainya efektifitas  kelompok seperti mampu  menerima pendapat dari anggota kelompok lain;
Experiential
3.      Tahap Kerja (performing)


a.       Simulasi 5 Bayangan
(a)    anggota kelompok mampu memahami potensi atau kelebihan diri sendiri;
(b)   anggota kelompok mampu mengeneralisasikan pemahaman kepekaan terhadap diri sendiri dan orang lain;
(c)    anggota kelompok mampu merumuskan hal-hal penting yang harus dilakukan dalam berelasi dengan orang lain;
(d)   keterbukaan dalam berkomunikasi dalam kelompok dan keluwesan dalam berinteraksi satu sama lain;
(e)     anggota kelompok memahami perbedaan pendapat dapat ditolelir; dan
(f)    meningkatkan keterampilan kepekaan dan pemahaman diri.

Written
b.      Pertukaran Jeruk Lemon
(a)    mengilustrasikan secara gamblang pentingnya mencermati latar belakang seseorang;
(b)   mengilustrasikan kebutuhan untuk mempertajam keterampilan-keterampilan mengamati lingkungan dan peka terhadap karakteristik personal; dan 
(c)    meningkatkan kesadaran akan perbedaan latar belakang nilai, kepercayaan dan pandangan hidup orang lain.
Experiential
c.       Sarang Korek Api
(a)    anggota kelompok mampu mengelola perasaannya saat anggota kelompok lain gagal dalam melaksanakan tantangan;
(b)   anggota kelompok mampu menerima kegagalan anggota kelompok lain dalam melaksanakan tantangan yang disebabkan perbedaan kemampuan yang dimiliki dengan munculnya pernyataan “tidak apa-apa kamu sudah berusaha dengan kemampuanmu  sebaik mungkin”;
(c)    anggota kelompok mampu ikut merasakan perasaan anggota kelompok lain yang melakukan kesalahan;
(d)   keterbukaan dalam berkomunikasi dalam kelompok;
(e)    keluwesan dalam berinteraksi satu sama lain;
(f)    anggota kelompok paham bahwa perbedaan pendapat ditolelir; anggota kelompok mampu meningkatkan keterampilan-keterampilan untuk lebih memahami perasaan orang lain (empati), anggota kelompok dapat memahami konsekuensi dari setiap tindakan, dan anggota kelompok dapat menyalurkan energi sesuai dengan tujuan.
Experiential
d.      Pesan Berantai
(a)    pentingnya mencermati serta mengerti perasaan orang lain yang diajak bekerjasama;
(b)   memahami keberagaman gaya komunikasi orang lain.
(c)    anggota kelompok mampu menerima kegagalan anggota kelompok lain dalam melaksanakan tantangan yang disebabkan perbedaan kemampuan yang dimiliki dengan munculnya pernyataan “tidak apa-apa kamu sudah berusaha dengan kemampuanmu  sebaik mungkin”;
(d)   anggota kelompok mampu ikut merasakan perasaan anggota kelompok lain yang melakukan kesalahan;
(e)    keterbukaan dalam berkomunikasi dalam kelompok; dan
(f)    keluwesan dalam berinteraksi satu sama lain;
Experiential
e.       Sungai Berbuaya
(a)    membantu mahasiswa dalam mengahadapi dan menangani perbedaan secara konstruktif;
(b)   memahami konsekuensi dari setiap tindakan;
(c)    keterbukaan dan keluwesan dalam berinteraksi satu sama lain;
(d)   anggota kelompok paham  bahwa perbedaan pendapat ditolelir seperti munculnya pernyataan “ saya memahami bahwa setiap individu memiliki latar, pandangan dan pemikiran  yang berbeda.”;
(e)    anggota kelompok mampu  meningkatkan keterampilan-keterampilan untuk lebih memahami perasaan orang lain (empati);
(f)    anggota kelompok mampu lebih meningkatkan partisipasi diri;
(g)   anggota kelompok menurunkan resistensi terhadap aktivitas kelompok yang diikuti; anggota kelompok menurunkan ego diri dan menerima prilaku anggota lain guna tercapainya efektifitas  kelompok seperti mampu  menerima pendapat dari anggota kelompok lain; dan
(h)   adanya prilaku anggota kelompok yang saling mempengaruhi satu sama lain; (8) adanya pemahaman kesatuan pendapat dan ikatan (cohesi).
Experiential
f.       Wanita Tua atau Muda
(a)    mencermati serta mengerti perasaan orang lain yang diajak bekerjasama;
(b)   mengidentifikasi ekspresi wajah;
(c)    memahami perasaan dan emosi pada ekspresi wajah;
(d)   menyusun rencana tanggapan terhadap ekspresi wajah pasangan komunikasi;
(e)    anggota keompok  memahami bahwa perbedaan pendapat dapat ditolelir seperti munculnya pernyataan “ saya memahami bahwa setiap individu memiliki latar, pandangan dan pemikiran  yang berbeda.”;
(f)    anggota kelompok meningkatkan keterampilan-keterampilan untuk lebih memahami perasaan orang lain (empati); dan
(g)   anggota kelompok mampu lebih meningkatkan partisipasi diri;
Experiential
g.      Bombardemen Kelebihan
(a)    mahasiswa dapat mengidentifikasi penilaian kepada orang lain secara menyeluruh,
(b)   mahasiswa dapat mengeskpresikan perasaan;
(c)    mahasiswa memiliki kepekaan terhadap anggota;
(d)   mahasiswa memahami pikiran dan perasaan orang lain;dan
(e)    mahasiswa memiliki perasaan yang stabil dan dapat mengemukakan pendapat secara jujur kepada anggota kelompok.
Feedback Exercise
h.      Winter Survival

(a)    mahasiwa dapat mengidentifikasi berbagai skala prioritas;
(b)   mahasiswa dapat mencermati setiap barang dan fungsi sesuai dengan kebutuhan  kelompok;
(c)    mahasiswa dapat merasakan perasaan setiap anggota kelompok;
(d)   mahasiswa dapat mengeksplorasi kemampuan untuk menerima diri sendiri’
(e)    mahasiswa dapat mengambil keputusan berdasarkan pertimbangan yang matang dan penuh kehati-hatian; dan
(f)    mahasiswa memiliki kecapakan dalam mengatur diri.
Group Decision
4.      Tahap Akhir  (Adjourning)


a.       Penghargaan Positif
(a)    mencermati serta mengerti perasaan orang lain yang diajak bekerjasama;
(b)   dampak  latar belakang atau sikap seseorang bagi persepsinya terhadap suatu objek atau kejadian;
(c)    meningkatkan kompetensi intrapersonal dengan pemahaman diri, pengaran diri, dan penghargaan diri; dan
(d)   merefleksikan semua pengalaman yang dilalui peserta dalam pengembangan kompetensi interpersonal meliputi kepekaan terhadap diri sendiri dan orang lain, asertif, membiarkan orang lain bebas, memiliki ekspektasi yang realistis, dan memiliki perlindungan diri dalam situasi interpersonal.
Feedback Exercise

Secara lebih rinci tahapan dan isi program experiential based counseling untuk mengembangkan kompetensi intrapersonal dan interpersonal mahasiswa dipaparkan dalam pembahasan berikut ini.
1)      Tahap Pembentukan Kelompok (forming stage)
Pada tahap ini setiap anggota dibentuk dalam suatu kelompok serta pemaparan alasan kelompok tersebut dibentuk, untuk kepentingan apa, siapa anggotanya dan jumlahnya. Dalam tahap ini juga dipaparkan mengenai kesepakatan kegiatan seperti peraturan kegiatan yang akan dilakukan dan batasan kegiatan (setting limit). Selain itu dalam tahap ini anggota kelompok melakukan berbagai panjajagan terhadap anggota lainnya mengenai hubungan antar pribadi yang dikehendaki kelompok, sekaligus mencoba berprilaku tertentu untuk mendapatkan reaksi dari anggota lainnya. Pada tahap ini setiap anggota kelompok dalam kelompok melakukan berbagai panjajagan terhadap anggota lainnya mengenai hubungan antar pribadi yang dikehendaki kelompok, sekaligus mencoba berprilaku tertentu untuk mendapatkan reaksi dari anggota lainnya. Bersamaan dengan tampilnya perilaku individu yang berbeda-beda tersebut, secara perlahan-lahan, anggota kelompok mulai menciptakan pola hubungan antar sesama mereka. Pada tahap pertama inilah secara berangsur-angsur mulai diletakkan pola dasar perilaku kelompok, baik yang berkaitan dengan tugas-tugas kelompok maupun yang berkaitan dengan hubungan antar pribadi anggotanya.
Pada tahap ini hubungan satu dengan yang lainnya masih terlihat kaku, namun pada umumnya setiap individu senang memperlihatkan rasa aku-nya. Dalam kondisi  yang masih diliputi kekakuan seperti ini, kelompok belum mampu menghasilkan prestasi kerja yang bermakna. Kondisi akhir yang diharapkan terjadi dalam fase  ini adalah hilangnya kekakuan dalam hubungan antar pribadi.
Selanjutnya materi kegiatan untuk mengembangkan kompetensi intrapersonal dan interpersonal yang termasuk kedalam tahap pembentukan kelompok adalah sebagai berikut.
a)       Bola Berantai.. Tujuan dari kegiatan ini adalah membantu mahasiswa dalam: (1) mengenal lebih jauh identitas kelompok; (2) mengetahui identitas anggota kelompok; (3) meningkatkan keakraban antar anggota kelompok. Metode dan teknik yang digunakan adalah simulasi, diskusi dan self-exploration.
Dalam kegiatan ini tujuan kegiatan akan tercapai ditandai dengan (1) anggota kelompok mampu melakukan penjajagan tanpa keraguan terhadap anggota kelompok lainnya mengenai hubungan antar pribadi dengan mendeskripsikan/menyebutkan  identitas diri dengan lantang atau “siapa saya”; (2) anggota kelompok dapat menyebutkan identitas anggota kelompok lain  atau “siapa teman saya” secara tepat sesuai dengan identitas yang telah dideskripsikan anggota kelompok sebelumnya saat bola dilempar kepada anggota kelompok dari anggota kelompok lain; (3) anggota kelompok mampu mendeskripsikan indentitas anggota kelompok dengan cepat tanpa ada keraguan. Jika anggota kelompok sudah mampu mendeskripsikan identitas peserta lain dengan tepat, pemaparan alasan kelompok tersebut dibentuk, untuk kepentingan apa, siapa saja anggota dan jumlah anggota dalam kelompoknya maka peserta sudah siap untuk membentuk kelompok yang padu dengan modal pengetahuan identitas seluruh anggota kelompok.
b)       Zip Zap. Tujuan dari kegiatan ini adalah membantu mahasiswa dalam: (1) mengeksplorasi identitas anggota kelompok serta (2) mengetahui dan mengingat anggota kelompok. Metode dan teknik yang digunakan adalah simulasi dan self-exploration.
 Dalam kegiatan ini tujuan kegiatan akan tercapai ditandai dengan (1) anggota kelompok mampu melakukan penjajagan tanpa keraguan terhadap anggota lainnya mengenai hubungan antar pribadi dengan mendeskripsikan identitas peserta lain baik yang berada disebelah kanan atau kiri dengan benar saat bola dilempar kepada peserta dari peserta lain sesuai dengan perintah “zip” atau “zap”; (2) anggota kelompok mampu mengingat dan menyebutkan dengan cepat identitas yang telah dideskripsikan peserta lain sebelumnya dan berbaur dengan anggota kelompok lain tanpa ada jarak (keraguan) dalam mengekspolarasi identitas diri anggota kelompok yang lain seperti “tertawa lepas” dan “bercanda bersama”; (3) anggota kelompok menurunkan ego diri dan menerima prilaku anggota lain; (4) rasa keengganan dan keraguan terhadap anggota lain mulai terkikis seperti posisi berdiri dan jarak berdiri yang relatif dekat.
 Jika anggota kelompok sudah mampu mendeskripsikan identitas anggota kelompok lain lebih luas, penguatan alasan kelompok tersebut dibentuk, untuk kepentingan apa, siapa saja anggota dan jumlah anggota dalam kelompoknya, maka kelompok sudah siap untuk melakukan kegiatan kelompok dengan modal pengetahuan identitas seluruh anggota kelompok serta keakraban dengan seluruh anggota kelompok.
c)       Pohon Harapan. Tujuan dari kegiatan ini adalah membantu mahasiswa untuk mengeksplorasi ekspektasi/harapan masing-masing anggota kelompok dalam memasuki aktivitas kelompok. Metode dan teknik yang digunakan adalah diskusi, simulasi dan self-exploration.
 Dalam kegiatan ini tujuan kegiatan akan tercapai ditandai dengan anggota kelompok mampu mendeskripsikan secara pribadi harapan-harapan yang ingin dicapai dalam kelompok tersebut seperti “melalui kegiatan kelompok ini saya mengharapkan mampu mengetahui siapa saya dan siapa orang lain dan harus seperti apa saya menyikapi keberagaman tersebut”.Jika anggota kelompok sudah mampu mendeskripsikan harapan-harapan yang diinginkan dan harapan-harapan yang tidak diinginkan secara gamblang dalam kelompoknya maka peserta sudah siap untuk memperkuat kelompok yang padu  serta memperkuat nilai-nilai dalam kelompok tersebut dengan modal harapan-harapan dari seluruh anggota kelompok.
2)      Tahap Pancaroba (storming stage)
Pada tahap ini upaya memperjelas tujuan kegiatan mulai nampak dengan upaya peningkatan partisipasi dari peserta dan pengurangan resistensi.  Peserta diarahkan untuk mendeteksi dan sadar mengenai tujuan kegiatan sehingga rasa keengganan dan keraguan dalam mengikuti kegiatan mulai terkikis. Salah satu ciri dari fase ini adalah dengan berbagai cara apapun anggotanya akan saling mempengaruhi satu sama lain. Mulai terlihat siapa anggota yang kuat dan siapa yang lemah, secara perlahan-lahan mulai terlihat karakteristik gaya kepribadian masing-masing anggota kelompok. Ada yang ingin menang sendiri, ada yang lebih suka mengalah, ada pula yang mudah tersinggung dan kecewa lantas menarik diri. Dalam fase ini semua anggota sudah mulai mengenal siapa dirinya dan siapa orang lain dalam kelompok, mulai terlihat siapa yang pantas diserahi tugas sebagai pemimpin kelompok, siapa pemikir, siapa pelaksanan dan lain sebagainya, peran masing-masing anggota sudah mulai jelas.
         Selanjutnya pada tahap ini upaya memperjelas tujuan kelompok mulai nampak dengan peningkatan partisipasi peserta. Sadar atau tidak sadar, pada tahap ini anggota kelompok mulai menditeksi kekuatan dan kelemahan masing-masing anggota kelompok melalui proses interaksi yang intensif, ditandai dengan mulai terjadinya konflik antar anggota kelompok. Salah satu ciri dari fase ini adalah dengan berbagai cara apapun anggotanya akan saling mempengaruhi satu sama lain. Tahap storming atau pancaroba ini merupakan fase yang paling panjang perjalanan waktunya dalam proses pertumbuhan sebuah kelompok. Karena dalam fase ini melalui berbagai bentuk konflik dan kerjasama, munculnya kesadaran dan pemahaman setiap anggota kelompok tentang adanya aspek-aspek kepribadian yang unik dalam hubungan antar manusia. Seberpa jauh  kemampuan anggota kelompok mengakomodir perbedaan–perbedaan  tersebut, akan menentukan tinggi-rendahnya tingkat efektivitas kelompok.
Selanjutnya materi kegiatan untuk mengembangkan kompetensi intrapersonal dan interpersonal yang termasuk kedalam tahap pancaroba adalah sebagai berikut.
a)      Susun Baris. Tujuan dari kegiatan ini adalah membantu mahasiswa dalam : (1) menguji kesiapan anggota kelompok dalam mengikuti kegiatan (2) mengetahui keberagaman anggota kelompok. Metode dan teknik yang digunakan adalah simulasi, diskusi dan self-exploration. Dalam kegiatan ini tujuan kegiatan akan tercapai ditandai dengan (1) anggota kelompok mampu menempatkan diri  dengan cepat dan tepat sesuai dengan ciri diri yang diperintahkan oleh instruktur; (2) anggota kelompok mampu lebih meningkatkan partisipasi diri; (3) anggota kelompok menurunkan resistensi terhadap aktivitas kelompok yang diikuti; (4) rasa keengganan dan keraguan anggota kelompok mulai terkikis (5) adanya “full body contact” diantara anggota kelompok; (6) adanya prilaku anggota kelompok yang saling mempengaruhi satu sama lain dan mulai mengenali “siapa dirinya” dan “siapa orang lain.
3)     Kegiatan Pembentukan Norma (norming stage)
Dalam tahap ketiga ini, meskipun konflik dalam kelompok masih terjadi terus, namun anggota kelompk mulai melihat karakteristik kepribadian masing-masing secara lebih mendalam, sehingga lebih memahami mengapa terjadi perbedaan  dan konflik, bagaimana berkomunikasi dengan orang–orang tertentu , bagaimana cara membantu orang lain dan bagaimana cara memperlakukan orang lain dalam kelompok. Dengan adanya pemahaman demikian, ikatan (cohesi), rasa percaya (trust), rasa keengganan dan keraguan anggota kelompok mulai terkikis, adanya “full body contact”  diantara anggota kelompok serta kepuasan hubungan dan konsensus diantara anggota kelompok dalam pengambilan keputusan meningkat, anggota mulai merasakan perlunya kesatuan pendapat mengenai perilaku yang boleh dan yang tidak boleh ditampilkan dalam pergaulan kelompok atau norma kelompok, agar kelompok bisa bekerja secara efektif dan efisien dalam memecahkan masalah yang dihadapi bersama.
Kondisi terakhir yang diharapkan dari pembentukan norma ini adalah terciptanya hubungan antar pribadi yang semula penuh dengan  keraguan dan konflik berubah menjadi sarana untuk pemecahan masalah dan penyelesaian pekerjaan atau tugas kelompok, antara lain dengan adanya norma berprilaku yang disepakati bersama oleh anggota kelompok, baik lisan maupun tertulis, artinya seluruh anggota kelompok sudah tahu apa yang tidak boleh dan tidak pantas dilakukan dalam pergaulan kelompok. Selain itu sudah jelas pula peran apa yang harus dimainkan oleh setiap anggota kelompok dalam penyelesaian pekerjaan kelompok. Dengan demikian kelompok akan berjalan secara fungsional dan sesuai dengan kemampuannya masing-masing.
Selanjutnya materi kegiatan untuk mengembangkan kompetensi intrapersonal dan interpersonal yang termasuk kedalam tahap pembentukan norma kelompok adalah sebagai berikut.
a)      Si Buta Menggambar. Tujuan dari kegiatan ini adalah membantu mahasiswa dalam : (1) mengandalkan kepercayaan pada orang lain ; (2) memahami keragaman komunikasi non verbal; (3) memahami kelemahan dirinya; (4) merasakan suasana hati dalam diri sendiri; dan (5) memahami konsekuensi dari setiap tindakan. Metode dan teknik yang digunakan adalah simulasi dan self-exploration. Dalam kegiatan ini tujuan kegiatan akan tercapai ditandai dengan (1) anggota kelompok mampu menjalankan perintah menyelesaikan tantangan dengan cepat dan tepat sesuai dengan yang diperintahkan oleh anggota kelompok lain; (2) anggota kelompok mampu lebih meningkatkan partisipasi diri; (3) anggota kelompok menurunkan resistensi terhadap aktivitas kelompok yang diikuti; (4) anggota kelompok menurunkan ego diri dan menerima prilaku anggota lain guna tercapainya efektifitas  kelompok seperti mampu  menerima pendapat dari anggota kelompok lain; (5) rasa keengganan dan keraguan anggota kelompok mulai terkikis (trust); (6) adanya “full body contact”  diantara anggota kelompok; (7) adanya prilaku anggota kelompok yang saling mempengaruhi satu sama lain dan mulai mengenali “siapa dirinya” dan “siapa orang lain”; (8) adanya pemahaman kesatuan pendapat dan ikatan (cohesi); dan (9) anggota kelompok memunculkan perilaku yang boleh dan yang tidak boleh ditampilkan dalam pergaulan kelompok atau norma kelompok, agar kelompok bisa bekerja secara efektif dan efisien dalam memecahkan masalah yang dihadapi bersama serta menggapai tujuan kegiatan secara optimal seperti ”saya anggota kelompok tidak boleh membantah perintah  ketua kelompok”.
4)     Tahap Kerja (performing stage)
      Pada tahap ini kelompok sudah dibekali dengan  suasana hubungan kerja yang harmonis antara anggota yang satu dengan yang lainnya, norma kelompok telah disepakati, tujuan dan tugas kelompok serta peran masing-masing anggota telah jelas, ada keterbukaan dalam berkomunikasi dalam kelompok dan keluwesan dalam berinteraksi satu sama lain, perbedaan pendapat ditolelir, inovasi berkembang (ibid), produktivitas kinerja meningkat, rasa keengganan dan keraguan anggota kelompok mulai terkikis (trust); dan  adanya “full body contact”  diantara anggota kelompok. Dengan iklim kelompok seperti inilah sinergi kelompok akan tercapai, sehingga kelompok mampu menampilkan prestasi kerja yang optimal.  Selain itu kegiatan-kegiatan yang diberikan sudah menitikberatkan pada pengembangan kompetensi intrapersonal dan interpersonal mahasiswa beserta aspek-aspeknya. Aspek dan indikator yang dikembangkan dalam kompetensi intrapersonal diantaranya : (1) aspek pemaman diri meliputi indikator mahasiswa dapat mengetahui kelebihan dirinya sendiri, dan indikator mahasiswa memahami konsekuensi dari setiap tindakan; (2) aspek pengarahan  diri meliputi indikator mahasiswa dapat memiliki cara pandang yang mendalam, dan indikator mahasiswa dapat menyalurkan energi sesuai tujuan; dan (3) aspek penghargaan diri meliputi indikator mahasiswa merasakan menjadi orang yang berharga.
      Sementara aspek dan indikator yang dikembangkan dalam kompetensi interpersonal  diantaranya (1) indikator peka terhadap diri sendiri; (2) indikator asertif, (3) indikator membiarkan orang lain bebas; (4) indikator ekspektasi yang realistis tentang diri sendiri dan orang lain; dan (5) inidikator perlindungan diri dalam situasi interpersonal.  
Selanjutnya materi kegiatan untuk mengembangkan kompetensi intrapersonal dan interpersonal yang termasuk kedalam tahap kerja adalah sebagai berikut.
a)      Simulasi 5 Bayangan. Tujuan dari kegiatan ini adalah membantu mahasiswa dalam: (1) mengetahui kelebihan dirinya sendiri (2) memiliki pemikiran yang akurat dalam memahami kepekaan terhadap diri sendiri dan orang lain. Metode dan teknik yang digunakan adalah diskusi, enquiry & discovery, learning, dan self-exploration. Dalam kegiatan ini tujuan kegiatan akan tercapai ditandai dengan (1) anggota kelompok mampu memahami potensi atau kelebihan diri sendiri; (2) anggota kelompok mampu mengeneralisasikan pemahaman kepekaan terhadap diri sendiri dan orang lain; (3) anggota kelompok mampu merumuskan hal-hal penting yang harus dilakukan dalam berelasi dengan orang lain; (4) keterbukaan dalam berkomunikasi dalam kelompok dan keluwesan dalam berinteraksi satu sama lain; e) anggota kelompok memahami perbedaan pendapat dapat ditolelir dan f) meningkatkan keterampilan kepekaan dan pemahaman diri.
b)      Pertukaran Jeruk Lemon. Tujuan dari kegiatan ini adalah membantu mahasiswa dalam: (1) mengilustrasikan secara gamblang pentingnya mencermati latar belakang seseorang (2) mengilustrasikan kebutuhan untuk mempertajam keterampilan-keterampilan mengamati lingkungan dan peka terhadap karakteristik personal (3) meningkatkan kesadaran akan perbedaan latar belakang nilai, kepercayaan dan pandangan hidup orang lain. Metode dan teknik yang digunakan adalah simulasi, diskusi dan self-exploration.
Dalam kegiatan ini tujuan kegiatan akan tercapai ditandai dengan (1) anggota kelompok mampu mengenali jeruk yang dipilihnya dengan memberinya nama, mengenali ciri-ciri spesifik seperti “jeruk saya bernama John, dengan ciri bulat sempurna”;  (2) anggota kelompok mampu mendapatkan kembali jeruk miliknya  sesuai dengan ciri-ciri yang dimiliki; (3) anggota kelompok mampu mencermati  pentingnya mengenali ciri diri seperti munculnya pernyataan “saya perlu mengenali diri sendiri sebagai identitas siapa saya sebenarnya  (4) keterbukaan dan keluwesan dalam berinteraksi satu sama lain; (5) anggota kelompok paham bahwa perbedaan pendapat dapat ditolelir seperti munculnya pernyataan “ saya memahami bahwa setiap individu memiliki latar dan ciri yang berbeda.”; (6) anggota kelompok memiliki cara pandang yang mendalam terhadap suatu objek atau pemikiran yang baru, dan (7) anggota kelompok dapat memahami dan merasakan suasana hati dalam diri sendiri dengan orang lain.
c)      Sarang Korek Api. Tujuan dari kegiatan ini adalah membantu mahasiswa  dalam pentingnya mencermati serta mengerti perasaan orang lain yang diajak bekerjasama. Metode dan teknik yang digunakan adalah simulasi, diskusi dan self-exploration.
Dalam kegiatan ini tujuan kegiatan akan tercapai ditandai dengan (1) anggota kelompok mampu mengelola perasaannya saat anggota kelompok lain gagal dalam melaksanakan tantangan; (2) anggota kelompok mampu menerima kegagalan anggota kelompok lain dalam melaksanakan tantangan yang disebabkan perbedaan kemampuan yang dimiliki dengan munculnya pernyataan “tidak apa-apa kamu sudah berusaha dengan kemampuanmu  sebaik mungkin”; (3)  anggota kelompok mampu ikut merasakan perasaan anggota kelompok lain yang melakukan kesalahan; (4) keterbukaan dalam berkomunikasi dalam kelompok; (5) keluwesan dalam berinteraksi satu sama lain; (6) anggota kelompok paham bahwa perbedaan pendapat ditolelir; anggota kelompok mampu  meningkatkan keterampilan-keterampilan untuk lebih memahami perasaan orang lain (empati), anggota kelompok dapat memahami konsekuensi dari setiap tindakan, dan anggota kelompok dapat menyalurkan energi sesuai dengan tujuan.
d)     Pesan Berantai. Tujuan dari kegiatan ini adalah membantu calon konselor dalam: (1) pentingnya mencermati serta mengerti perasaan orang lain yang diajak bekerjasama (2) memahami keberagaman gaya komunikasi orang lain. Metode dan teknik yang digunakan adalah simulasi, diskusi dan self-exploration.
Dalam kegiatan ini tujuan kegiatan akan tercapai ditandai dengan (1) anggota kelompok mampu mengelola perasaannya saat anggota kelompok lain gagal dalam melaksanakan tantangan; (2) anggota kelompok mampu menerima kegagalan anggota kelompok lain dalam melaksanakan tantangan yang disebabkan perbedaan kemampuan yang dimiliki dengan munculnya pernyataan “tidak apa-apa kamu sudah berusaha dengan kemampuanmu  sebaik mungkin”; (3)  anggota kelompok mampu ikut merasakan perasaan anggota kelompok lain yang melakukan kesalahan; (4) keterbukaan dalam berkomunikasi dalam kelompok; (5) keluwesan dalam berinteraksi satu sama lain; (6) anggota kelompok  memahami bahwa perbedaan pendapat ditolelir; dan mampu  meningkatkan keterampilan-keterampilan untuk lebih memahami perasaan orang lain (empati); (7) anggota kelompok mampu menjalankan perintah menyelesaikan tantangan dengan cepat dan tepat sesuai dengan yang diperintahkan oleh anggota kelompok lain; (8) anggota kelompok mampu lebih meningkatkan partisipasi diri; (9) anggota kelompok menurunkan resistensi terhadap aktivitas kelompok yang diikuti; (10) anggota kelompok menurunkan ego diri dan menerima perilaku anggota lain guna tercapainya efektifitas  kelompok seperti mampu  menerima pendapat dari anggota kelompok lain; (11) rasa keengganan dan keraguan diantara anggota kelompok mulai terkikis (trust); (12) adanya “full body contact” diantara anggota kelompok; (13) adanya prilaku anggota kelompok yang saling mempengaruhi satu sama lain dan mulai mengenali “siapa dirinya” dan “siapa orang lain”; (14) adanya pemahaman kesatuan pendapat dan ikatan (cohesi).
e)      Sungai Berbuaya. Tujuan dari kegiatan ini adalah membantu mahasiswa dalam mengahadapi dan menangani perbedaan secara konstruktif, memahami konsekuensi dari setiap tindakan. Metode dan teknik yang digunakan adalah simulasi, diskusi dan self-exploration. Dalam kegiatan ini tujuan kegiatan akan tercapai ditandai dengan (1) keterbukaan dan keluwesan dalam berinteraksi satu sama lain; (2) anggota kelompok paham  bahwa perbedaan pendapat ditolelir seperti munculnya pernyataan “ saya memahami bahwa setiap individu memiliki latar, pandangan dan pemikiran  yang berbeda.”; (3) anggota kelompok mampu  meningkatkan keterampilan-keterampilan untuk lebih memahami perasaan orang lain (empati); (4) anggota kelompok mampu lebih meningkatkan partisipasi diri; (5) anggota kelompok menurunkan resistensi terhadap aktivitas kelompok yang diikuti; (6) anggota kelompok menurunkan ego diri dan menerima prilaku anggota lain guna tercapainya efektifitas  kelompok seperti mampu  menerima pendapat dari anggota kelompok lain; (7) adanya prilaku anggota kelompok yang saling mempengaruhi satu sama lain; (8) adanya pemahaman kesatuan pendapat dan ikatan (cohesi).
f)       Wanita Tua Muda (Telaah Wajah).  Tujuan dari kegiatan ini adalah membantu mahasiswa dalam : (1) dampak  latar belakang atau sikap seseorang bagi persepsinya terhadap suatu objek atau kejadian (2) meningkatkan cara pandang yang mendalam (3) pentingnya mencermati serta mengerti perasaan orang lain yang diajak bekerjasama; (4) dapat mengidentifikasi ekspresi wajah; (5) memahami perasaan dan emosi pada ekspresi wajah; dan (5) dapat menyusun rencana tanggapan terhadap ekspresi wajah pasangan komunikasi. Metode dan teknik yang digunakan adalah simulasi, diskusi dan self-exploration. Dalam kegiatan ini tujuan kegiatan akan tercapai ditandai dengan (1) anggota kelompok mampu  terbuka dan luwes dalam berinteraksi satu sama lain; (2) anggota keompok  memahami bahwa perbedaan pendapat dapat ditolelir seperti munculnya pernyataan “ saya memahami bahwa setiap individu memiliki latar, pandangan dan pemikiran  yang berbeda.”; (3) anggota kelompok meningkatkan keterampilan-keterampilan untuk lebih memahami perasaan orang lain (empati); (4) anggota kelompok mampu lebih meningkatkan partisipasi diri; (5) anggota kelompok menurunkan resistensi terhadap aktivitas kelompok yang diikuti; (6) anggota kelompok menurunkan ego diri dan menerima prilaku anggota lain guna tercapainya efektifitas  kelompok seperti mampu  menerima pendapat dari anggota kelompok lain; (7) adanya prilaku anggota kelompok yang saling mempengaruhi satu sama lain; (8) adanya pemahaman kesatuan pendapat (cohesi) anggota kelompok.

5)      Tahapan Terminasi (Adjourning stage)
Pada tahap ini merupakan tahap effect of termination on individual atau tahap dimana peserta menunjukkan hal-hal, kinerja yang terpikir dan terasa sebagai hasil dari pengalamannya dalam mengikuti kegiatan. Selain itu dalam tahap ini terdapat proses refleksi dan aplikasi terhadap pengalaman, wawasan dan ketercapaian tujuan  yang tebangun selama peserta  mengikuti kegiatan.
a) Penghargaan Positif. Tujuan dari kegiatan ini adalah membantu mahasiswa dalam: (1) pentingnya mencermati serta mengerti perasaan orang lain yang diajak bekerjasama; (2) dampak  latar belakang atau sikap seseorang bagi persepsinya terhadap suatu objek atau kejadian; (3) meningkatkan kompetensi intrapersonal dengan pemahaman diri, pengaran diri, dan penghargaan diri; (4) merefleksikan semua pengalaman yang dilalui peserta dalam pengembangan kompetensi interpersonal meliputi kepekaan terhadap diri sendiri dan orang lain, asertif, membiarkan orang lain bebas, memiliki ekspektasi yang realistis, dan memiliki perlindungan diri dalam situasi interpersonal. Metode dan teknik yang digunakan adalah simulasi, diskusi dan self-exploration.
Dalam kegiatan ini tujuan kegiatan akan tercapai ditandai dengan (1) anggota kelompok memahami maksud dari semua rangkaian kegiatan yang telah diikuti; (2) anggota kelompok mampu mengeneralisasikan pemahaman dari kegiatan yang diikutinya dengan munculnya pernyataan “dari seluruh kegiatan yang saya ikuti diwaktu yang akan datang saya akan melakukan….”; (3) anggota kelompok mampu merumuskan hal-hal penting yang harus dilakukan dalam meningkatkan kompetensi intarpersonal dan interpersonal; (4) keterbukaan dalam berkomunikasi dalam kelompok dan keluwesan dalam berinteraksi satu sama lain; (5) anggota kelompok memahami perbedaan pendapat dapat ditolelir; dan (6) menerima penilaian objektif dari anggota kelompok lain terhadap diri sendiri.


J. Evaluasi dan Indikator Keberhasilan
                Evaluasi program experiental based counseling ini menitikberatkan pada efektifitas kegiatan. Kriteria evaluasi mengarah pada evaluasi personel, evaluasi proses, evaluasi hasil dan evaluasi input. Evaluasi personel adalah prosedur yang digunakan untuk menilai keefektifan konselor, trainer, co-trainer, dan observer dalam mengimplementasikan program experiental based counseling untuk mengembangkan kompetensi intrapersonal dan interpersonal mahasiswa.
            Evaluasi proses menekankan pada pelaksanaan konseling kelompok berbasis pengalaman yang memiliki ketepatan antara materi kegiatan, metode dan kompetensi yang dikembangkan. Pada pelaksanaan konseling kelompok berbasis pengalaman yang menjadi bahan penilaian dalam pengembangan kompetensi intrapersonal dan interpersonal meliputi tiga komponen yaitu kedalaman saat mengajukan pertanyaan refleksi setiap kegiatan, hasil jurnal kegiatan konseling kelompok berbasis pengalaman, dan hasil observasi. Evaluasi proses berkaitan dengan pelaksanaan program experiental based counseling ditekankan pada penilaian terhadap ketertiban peserta pada saat mengikuti prosedur kegiatan dan keterlibatan peserta saat mengikuti program experiental based counseling. Evaluasi hasil diarahkan pada perubahan pemahaman dan sikap  yang  ditunjukkan dengan adanya peningkatan kompetensi intrapersonal dan interpersonal mahasiswa. Selanjutnya evaluasi input menekankan  masukan-masukan yang direncanakan dalam mencapai tujuan dan keberhasilan program experiental based counseling, biaya yang diperlukan, kuantitas dan kualitas tenaga personel, fasilitas yang dibutuhkan dan waktu yang disediakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan, serta bagaimana interaksi berbagai masukan/komponen dalam meningkatkan efektifitas dan efisiensi program experiental based counseling.

DAFTAR PUSTAKA
  
Barber & Olsen. (2011). Assessing the Transitions to Middle and High School. Journal of Social and Personal Relationships 2011 28: 1027. DOI: 10.1177/0265407510397985.
Barber, Brian. (2001). Positive Interpersonal and Intrapersonal Functioning: An Assessment of Measures.
Berg, Robert C., Landerth, Garry L., & Fall, Kevin A. (2006). Group Counseling: Concepts and Procedures. New York:  Routledge.
Cavanagh, Michael E. dan Levitov, Justin E. (1984). The Counseling Experience,  A Theoretical and Practical Approach. Long Grove: Waveland.
Cavanagh, Michael E. dan Levitov, Justin E. (2002). The Counseling Experience,  A Theoretical and Practical Approach. Long Grove: Waveland.
Chickering, Arthur, & Reisser, Linda. (1993). Education and Identity. Josey-Bass: San Francisco, CA.
Chickering, Arthur, & Reisser, Linda. (1993). Education and Identity. Josey-Bass: San Francisco, CA.
Dahlan, Tina, H. (2011). Model Konseling Singkat Berfokus Solusi (Solution  Focused Brief Counseling) dalam Setting Kelompok untuk Meningkatkan Daya Psikologis Mahasiswa. (Disertasi). Sekolah Pascasarjana, Universitas Pendidikan Indonesia,  Bandung.
David Geldard & Kathryn Geldard. (2001). Basic Personal Counseling : a Training Manual for Counsellors. Sydney, Australia. Pearson Education Australia : National Library of Australia.
Glass, J. S. (2008, March). Finding Common Ground Through Adventure Based Counseling: Race And Perceptions Of Group Cohesion. Based on a program presented at the ACA Annual Conference & Exhibition, Honolulu, HI. Retrieved.
Gass, M.A. & Gillis, H.L. (2006). Top Ten Seeds For Producing Functional Change In Adventure Experience. Journal Of Expriential Education. 18. (1). 34-40. 
Gladding, S.T. (2008). “The Impact of Creativity in Counseling”. Journal of Creativity in Mental Health. 3, (2).
Gladding, Samuel T. (2008). Groups a Counseling Specality. New Jersey: Pearson.
Jacobs, E., Masson, R. & Harvil, R. (2009). Group Counseling Strategies and Skills sixth edition. USA.
Jacobs, Ed. (1992). Creative Counseling Techniques: An Illustrated Guide. USA: Psychological Assessment Resources.
Jacobs, Ed. (1994). Impact Therapy. USA: Psychological Assessment Resources.
Janosik, S. M., Creamer, D.G., & Kowalski, G.J. (2004). Intelectual and Interpersonal Competence Between Sibling: The College Years Kyle Felps Draucker. (Thesis). Departemend of Educational Leadership & Policy Studies, Virginia Polytechnic Institute and State University, Virginia.
Kolb, David, & Alice Y. Kolb. (2005). Learning Style and Learning Spaces : Enhancing Experiential Learning in Higher Education. Journal of Academy of Management Learning and Education. Vol. 4 No. 2 , 193-212.
Kolb, David, (1984). Experiential Learning : Experience as The Source of Learning and Development. New Jersey: Englewood Clifts.
Kolb, David. A. (1984). Experiential Learning. Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall.
Newes, S. L. (2001). Future Directions In Adventure-Based Therapy Research: Methodological Considerations And Design Suggestions. Journal of Experiential Education, 24(2),92-99.
Rusmana, Nandang. (2008). Camp Counseling: Sarana Efektif Pendidikan Nilai. Materi Kuliah Teori Bimbingan dan Konseling Kelompok. PPB FIP UPI. Bandung: Tidak diterbitkan.
Rusmana, Nandang. (2008). Konsep Konseling Berbasis Pengalaman (Experience Based Counseling). Materi disampaikan dalam Lokakarya Pusbiktek. Bandung: Tidak diterbitkan.
Rusmana, Nandang. (2009). Bimbingan dan Konseling Kelompok di Sekolah : Metode, Teknik, dan Aplikasi. Bandung: RIZQI Press.
Rusmana, Nandang. (2009). Konseling Kelompok Bagi Anak Berpengalaman Traumatis. Bandung: RIZQI Press.
Rusmana, Nandang. (2009). Permainan (Game & Play). Bandung: : RIZQI Press.
Schoel, Jim., Prouty, Dick., & Radcliffe, Paul. (1988). Islands of Healing: Guide to Adventure Based Counseling. USA: Project Adventure. Inc.
Supriatna, Mamat. (2011). Model Konseling Aktualisasi Diri untuk Mengembangkan Kecakapan Pribadi Mahasiswa. Disertasi pada Program Studi Bimbingan dan Konseling Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia: tidak diterbitkan.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Penguatan Integrasi Pendidikan

PENGUATAN INTEGRASI PENDIDIKAN DALAM ERA DISUPSI Oleh :  Asep Rohiman Lesmana, M.Pd. Pendidikan merupakan suatu entitas yang s...