PENDIDIKAN KARAKTER BERBASIS
TRADISI LISAN
Oleh :
Asep Rohiman Lesmana
Salah satu realisasi visi dan misi bangsa Indonesia
pada masa mendatang telah termuat dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara yaitu
mewujudkan sistem dan iklim pendidikan nasional yang demokratis dan
bermutu guna memperteguh akhlak mulia, kreatif, inovatif, berwawasan
kebangsaan, cerdas, sehat, berdisplin dan bertanggung jawab,
berketerampilan serta menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi dalam rangka
mengembangkan kualitas manusia Indonesia. Terlihat dengan jelas GBHN
mengamanatkan tentang arah kebijakan dibidang pendidikan diantaranya yaitu
meningkatkan kemampuan akademik dan profesional serta meningkatkan jaminan
kesejahteraan tenaga kependidikan, sehingga tenaga pendidik mampu berfungsi secara
optimal terutama dalam peningkatan watak atau karakter pendidik dan budi
pekerti.
Prioritas pembangunan nasional sebagaimana yang
dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Nasional Tahun 2005–2025
(UU No. 17 Tahun 2007) antara lain adalah dalam mewujudkan masyarakat yang
berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya, dan beradab berdasarkan
falsafah Pancasila”. Salah satu upaya untuk merealisasikannya adalah dengan
cara memperkuat jati diri dan karakter melalui pendidikan. Upaya ini
bertujuan untuk membentuk dan membangun manusia Indonesia yang bertaqwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, mematuhi aturan hukum, memelihara kerukunan internal dan
antar umat beragama, melaksanakan interaksi antarbudaya, mengembangkan modal
sosial, menerapkan nilai-nilai luhur budaya bangsa, dan memiliki kebanggaan
sebagai bangsa Indonesia dalam rangka memantapkan landasan spiritual, moral,
dan etika pembangunan bangsa.
Dari beberapa penjelasan di atas mengemukanan bahwa
berakhlak mulia, berbudaya , dan beradab adalah kunci utama dalam mengembangkan
pendidikan di Indonesia. Untuk itu, dalam artikel ini, yang saya ingin
kemukakan adalah nilai-nilai luhur budaya bangsa itu, di mana dari hari ke
bulan bahkan ke tahun sudah mulai bergeser nilai budaya tersebut. Sebagaimana
kita ketahui bersama bahwa bergesernya nilai budaya itu, karena arus
globalisasi yang sangat kuat, sehingga tradisi Indonesia, lama-kelamaan
mengalami kepunahan.
A.
KONSEP TRADISI LISAN
Berbicara
mengenai tradisi. Di indonesia kita kenal adanya tradisi lisan. Tradisi Lisan
adalah berbagai pengetahuan dan adat kebiasaan yang secara terun-menurun
disampaikan secara lisan mencakup hal-hal tidak hanya berisi cerita rakyat,
mite, dan legenda tetapi menyimpan sistem kognisi (kekerabatan) asli yang
lengkap, sebagai contoh sejarah, praktik hukum, hukum adat, pengobatan (Roger dan Pudentia,
1995:2). Menurut Pudentia (1998:vii) tradisi lisan diartikan sebagai ‘segala
wacana yang diucapkan meliputi yang lisan dan yang beraksara’ atau dikatakan
juga sebagai ‘sistem wacana yang bukan aksara’. Sedangkan menurut Danandjaja
(1998:58) menyatakan bahwa istilah tradisi lisan (oral tradition) adalah sinonim dari foklor lisan. Menurut Brunvand
(1968:2-3) foklor lisan adalah yang bentuk murni lisan. Bentuk-bentuk (gendre) folkrol yang termasuk ke dalam
kelompok besar ini, antara lain: 1) ragam tutur rakyat (folkspeech) seperti logat, julukan, jabatan tradisional, dan gelar
kebangsawanan; 2) ungkapan tradisional seperti pribahasa, pepatah dan pameo; 3)
pertanyaan tradisional seperti teka-teki; 4) puisi rakyat seperti pantun,
gurindam, dan syair; 5) cerita prosa rakyat, seperti mite, legenda, dan
dongeng.
Tradisi lisan
dapat diartikan sebagai segala hal yang ditransmisikan melalui tuturan meliputi
yang beraksara dan tak beraksara. Tradisi lisan tidak hanya terdiri atas
foklor, cerita-cerita dan sejenisnya, tetapi juga berbagai hal yang menyangkut
sistem pengetahuan lokal, sistem genealogi, sejarah, hukum, lingkungan, alam
semesta, adat-istiadat, tekstil, obat-obatan, religi dan kepercayaan,
nilai-nilai moral, bahasa, seni dan sebagainya. Menurut pendapat Sadyawati
(dalam Karmini dkk, 3:2013) tradisi lisan memiliki aspek sosial dan aspek
budaya di dalamnya. Aspek sosial meliputi para pelaku yang terlibat, tujuan
kegiatan pelaku, dan sistem penyelenggaraan tradisi lisan, yang bersangkutan
sedangkan aspek budaya berkaitan dengan berbagai pesan yang dikandung dalam
tradisi lisan dan bagaimanakah kaidah penyelenggaraannya dan simbol yang
digunakan.
Salah satu
warisan budaya yang amat berharga dan penting dalam pembentukan identitas dan
krakter bangsa adalah Intangiable
Cultural Heritage (ICH). UNESCO dalam konvensi tanggal 16 Oktober 2003
menyebutkan salah satu unsur penting dalam ICH adalah tradisi lisan. Tradisi
lisan sebagai produk kultural yang kreatif tidak hanya berupa mite, legenda,
dongeng, dan cerita-cerita lainnya tetapi juga mengandung berbagai hal yang
menyangkut hidup dan kehidupan komunitas pemiliknya, misalnya kearifan lokal (local wisdow), sistem nilai, pengetahuan
tradisional (local knowledge), sistem
kepercayaan dan religi, kaidah sosial, etos kerja, sistem pengobatan, mitologi,
sejarah, dan berbagai hal seni. Tradisi lisan terbukti dapat menjadi pintu
masuk memahami masyarakat pemilik tradisi yang bersangkutan yang lebih baik
karena tradisi merupakan salah satu sumber penting dalam menentukan identitas
kelompok masyarakat tradisi tersebut dan pembentukan peradaban suatu bangsa.
Dalam tradisi lisan produk budaya dan masyarakat penghasilnya tidak dapat
dipisahkan. Keduannya tergantung satu sama lain. Tanpa masyarakat pendukungnya,
tradisi tidak akan pernah dapat dihadirkan apalagi diteruskan, sebalikn, tanpa
tradisi masyarakat pemiliknya akan kehilangan identitas kemanusiaannya dan
kehilangana banyak hal penting, khususnya pengetahuan tradisional, kearifan
lokal, dan nilai-nilai yang pernah menghidupi komunitas tersebut. (Karmini dkk,
4:2013)
Foklor sebagai
lisan adalah foklor yang bentuknya merupakan campuran antara unsur lisan dan
unsur bukan lisan. Kepercayaan rakyat, misalnya, yang orang ‘modern’ seringkali
menyebut ‘takhayul’ itu, terdiri atas pernyataan yang bersifat lisan ditambah
dengan gerak isyarat yang dianggap mempunyai makna gaib. Kepercayaan masyarakat
terhadap benda yang dianggap berkhasiat untuk melindungi atau dapat membawa
rezeki, seperti batu-batu permatatertentu atau pusaka juga termasuk folklor
sebagian lisan.
Kata folklor
merupakan pengindonesiaan kata Inggris folklore.
Kata ini adalah kata majemuk, yang berasal dari dua kata folk dan lore (Danandjaja, 1988:53). Folk
memeliki arti yang sama dengan
kolektif, sedangkan lork adalah
tradisi folk. Menurut Dundes (1965:2)
Folk adalah sekelompok orang yang
memiliki ciri-ciri pengenal fisik, sosial, dan kebudayaan sehingga dapat
dibedakan dari kelompok-kelompok lainnya. Ciri-ciri pengenal itu antara lain
dapat berwujud: warna kulit yang sama, mata pencarian yang sama, bahasa yang sama,
taraf pendidikan yang sama, dan agama yang sama. Namun yang lebih penting lagi
adalah bahwa mereka telah memiliki satu tradisi yakni kebudayaan, yang telah
mereka warisi turun-temurun, sedikitnya dua generasi, yang dapat mereka akui
sebagai milik bersama. Selain itu, yang lebih penting adalah mereka sadar akan
identitas kelompok mereka sendiri. Sedangkan yang dimaksud dengan Lork yaitu sebagian kebudayaannya, yang
diwarisi turun-temurun secara lisan atau melaui suatu contoh yang disertai
dengan gerak isyarat atau alat pengingat (mnemonic
device).
Devenisi folklor
yaitu sebagian kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan turun
munurun, di antara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang
berbeda, baik dalam bnetuk lisan maupun contoh yang disertai alat pembantu
pengingat (mnemonic device),
(Danandjaja (1984:2). Menurut Danandjaja (1984:3-4) untuk membedakan dengan
kebudayaan (culture pada umumnya),
foklor mempunyai beberapa ciri pengenal seperti: (a) penyebaran dan pewarisannya
bersifat lisan; (b) bersifat tradisional; (c) ada (exist) dalam versi-versi bahkan varian yang berbeda; (d) bersifat
anonim; (e) biasanya memiliki bantuk berumus; (f) mempunyai kegunaan; (g)
bersifat pralogis; (h) milik bersama (kolektif); dan (i) pada umumnya bersifat
polos dan lugu.
B.
KONSEP PENDIDIKAN KARAKTER
Pendidikan karakter menurut Latif, (2009:82) adalah
adalah suatu payung istilah yang menjelaskan berbagai aspek pengajaran dan
pembelajaran bagi perkembangan personal. Dapat dikatakan pula bahwa pendidikan karakter adalah pendidikan yang
menekankan pada pembentukan nilai-nilai karakter peserta didik. Saya
mengutip empat ciri dasar pendidikan karakter yang dirumuskan oleh
seorang pencetus pendidikan karakter dari Jerman yang bernama FW
Foerster: 1) Pendidikan karakter menekankan setiap tindakan berpedoman terhadap
nilai normatif. Anak didik menghormati norma-norma yang ada dan berpedoman pada
norma tersebut. 2) Adanya koherensi atau membangun rasa percaya diri dan
keberanian, dengan begitu anak didik akan menjadi pribadi yang teguh pendirian
dan tidak mudah terombang-ambing dan tidak takut resiko setiap kali menghadapi
situasi baru. 3) Adanya otonomi, yaitu anak didik menghayati dan mengamalkan
aturan dari luar sampai menjadi nilai-nilai bagi pribadinya. Dengan begitu,
anak didik mampu mengambil keputusan mandiri tanpa dipengaruhi oleh
desakan dari pihak luar. 4) Keteguhan dan kesetiaan. Keteguhan adalah daya
tahan anak didik dalam mewujudkan apa yang dipandang baik. Dan kesetiaan
marupakan dasar penghormatan atas komitmen yang dipilih.
Pendidikan karakter didasarkan pada enam nilai-nilai
etis bahwa setiap orang dapat menyetujui – nilai-nilai yang tidak mengandung
politis, religius, atau bias budaya. Beberapa hal di bawah ini yang dapat kita
jelaskan untuk membantu siswa memahami Enam Pilar Pendidikan Berkarakter, yaitu
sebagai berikut :
1. Trustworthiness (Kepercayaan)
Jujur, jangan menipu, menjiplak atau mencuri,
jadilah handal – melakukan apa yang anda katakan anda akan melakukannya, minta
keberanian untuk melakukan hal yang benar, bangun reputasi yang baik, patuh –
berdiri dengan keluarga, teman dan negara.
2. Recpect (Respek)
Bersikap toleran terhadap perbedaan, gunakan sopan
santun, bukan bahasa yang buruk, pertimbangkan perasaan orang lain, jangan
mengancam, memukul atau menyakiti orang lain, damailah dengan kemarahan, hinaan
dan perselisihan.
3. Responsibility (Tanggungjawab)
Selalu lakukan yang terbaik, gunakan kontrol diri,
disiplin, berpikirlah sebelum bertindak – mempertimbangkan konsekuensi,
bertanggung jawab atas pilihan anda.
4. Fairness (Keadilan)
Bermain sesuai aturan, ambil seperlunya dan
berbagi, berpikiran terbuka; mendengarkan orang lain, jangan mengambil
keuntungan dari orang lain, jangan menyalahkan orang lain sembarangan.
5. Caring (Peduli)
Bersikaplah penuh kasih sayang dan menunjukkan anda
peduli, ungkapkan rasa syukur, maafkan orang lain, membantu orang yang
membutuhkan.
6. Citizenship (Kewarganegaraan)
Pendidikan karakter pada intinya bertujuan
membentuk bangsa yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, bermoral,
bertoleran, bergotong royong, berjiwa patriotik, berkembang dinamis, berorientasi
ilmu pengetahuan dan teknologi yang semuanya dijiwai oleh iman dan takwa kepada
Tuhan yang Maha Esa berdasarkan Pancasila.
Pendidikan karakter berfungsi untuk: 1) mengembangkan
potensi dasar agar berhati baik, berpikiran baik, dan berperilaku baik, 2) memperkuat
dan membangun perilaku bangsa yang multikultur, 3) meningkatkan peradaban
bangsa yang kompetitif dalam pergaulan dunia.
Pendidikan karakter dilakukan melalui berbagai
media yang mencakup keluarga, satuan pendidikan, masyarakat sipil, masyarakat
politik, pemerintah, dunia usaha, dan media massa. Artinya bahwa kita semua
memiliki peran penting dalam mengembangkan pendidikan karakter tersebut.
C.
TRADISI LISAN DALAM PENDIDIKAN KARAKTER
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, mendukung
pengenalan tradisi lisan yang dimasukkan dalam pelajaran bahasa Indonesia,
seni, sejarah, dan muatan lokal. Tradisi lisan yang berkembang di tiap daerah
sarat pendidikan karakter. Dengan mengenali dan menjaga tradisi, generasi muda
bangsa diajak menjaga jati diri bangsa sekaligus bisa mengembangkannya untuk
industri kreatif dan lainnya. Kekayaan tradisi lisan mesti diajarkan secara
menarik pada generasi muda. Kepada mereka harus diberi pemahaman bahwa tradisi
itu bukan masa lalu, namun menjadi bagian keseharian.
Bangsa yang unggul seperti Jepang tetap bisa
menjaga tradisinya. Ini yang juga kita harus bisa wujudkan dalam kehidupan
bangsa Indonesia ini, terutama di kalangan generasi muda sebagai masa depan
bangsa dan negara. Banyak hal yang akan kita dapatkan dari tradisi lisan ini diantaranya
dalah “Kearifan Lokal”. kearifan
lokal menurut Saini dalam Purnama (2010:1) adalah jawaban kreatif terhadap situasi
geografis-politis, historis, dan situasional yg bersifat lokal. Kearifan lokal juga
dapat dikatakan sebagai sikap, pandangan dan kemampuan suatu komunitas di dalam
mengelola lingkungan rohani dan jasmaninya.
Dalam artikel ini saya hanya menyoroti salah satu
dari tradisi lisan yaitu kearifan lokalnya. Walaupun masih banyak tradisi lisan
lainnya yang sangat berpengaruh terhadap pengembangan karakter siswa,
diantaranya adalah “Cerita Rakyat” berupa Mite,
Legenda , dan Dongeng. Ada enam
dimensi kearifan lokal menurut Ife (2002), yaitu : 1) dimensi pengetahuan
lokal, 2) dimensi nilai lokal, 3) dimensi keterampilan lokal, 4) dimensi
sumberdaya lokal, 5) dimensi mekanisme pengambilan keputusan lokal, dan 6)
dimensi solidaritas kelompok lokal. Keenam dimensi ini sangat kental dengan
budaya sekarang. Pengetahuan, nilai, keterampilan, sumberdaya, pengambilan
keputusan dan solidaritas akhir-akhir ini selalu mmenjadi masalah dalam
keseharian kita. Katakanlah nilai persaudaraan dan persatuan yang sudah mulai
menipis, sehingga menimbulkan perkelahian antar kampung, tawuran dan lain
sebagainya.
Keenam dimensi di atas sangat melekat dengan budaya
kita sebelumnya seperti: 1) masyarakat Ambon dengan Pela Gandong, 2) masyarakat Dayak dengan Basaru Sumangat, 3) masarakat Bima dengan Ndempa, 4) masyarakat Manado dengan Katong Samua Basudara, 5) masyarakat Ternate dengan Marimoi Ngone Futuru, dan 6) masyarakat
Aceh dengan Tepung Tawar, 7)
masyarakat Papua dengan Tearo Neweak Lako
(alam adalah aku), 8) masyarakat Serawi Bengkulu dengan Celako Kumali, 9) masyarakat Bali dengan
Aeig-awig, dan 10) masyarakat Baduy
dengan Pikukuh.
Di dalam kearifan lokal banyak nilai-nilai luhur
yang dapat kita sampaikan kepada peserta didik, diantaranya : 1) jujur, 2)
toleransi, 3) disiplin, 4) kerja keras, 5) kreatif, 6) mandiri, 7) demokratis,
8) cinta tanah air, 9) menjaga persatuan dan kesatuan, 10) bersahabat atau
komunikatif, 11) cinta damai, 12) peduli lingkungan dan sosial, 13) tanggung
jawab, serta 14) religius.
Dari keempat
belas nilai-nilai di atas akan membentuk karakter siswa sesuai dengan tujuan
pendidikan nasional. Oleh karena ini, tradisi lisan harus mendapatkan perhatian
serius oleh Pemerintah. Dan menurut pendapat saya ada dua cara yaitu :
1) pemerintah
harus menjamin dan melindungi setiap tradisi lisan nusantara dengan membuat
satu undang-undang khusus untuk mengimplementasikan tradisi lisan tersebut dalam
kehidupan sehari-hari, apakah di instansi pemerintah, suasta maupun yang
lainnya. Katakanlah proses pengimplementasian itu dilakukan dalam bentuk
penggunaan bahasa sehari dalam seminggu setiap jam kantor, penjamuan tamu
negara maupun daerah lainnya, dan hajatan-hajatan pemerintahan yang berhubungan
rakyat.
2) Membuat
kurikulum pendidikan krakter melalui tradisi lisan secara nasional. Caranya
adalah merumuskan kebijakan sekolah dengan bersandar pada budaya lokal
masing-masing dan membuat bahan, media serta metode yang tepat dalam
pembelajaran pendidikan karakter berbasis tradisi lisan tersebut. Artinya bahwa
pemerintah harus serius dalam mengembangkan tujuan pendidikan nasional. Dan
karena salahsatunya adalah pengembangan karakter siswa, maka tradisi lisan
memegang peran penting didalamnya.
Pendidikan karakter penting
bagi pendidikan di Indonesia. Pendidikan karakter akan
menjadi dasar dalam pembentukan karakter berkualitas bangsa, yang
tidak mengabaikan nilai-nilai sosial seperti toleransi, kebersamaan,
kegotongroyongan, saling membantu dan mengormati dan sebagainya. Pendidikan
karakter akan melahirkan pribadi unggul yang tidak hanya memiliki
kemampuan kognitif saja namun memiliki karakter yang mampu mewujudkan
kesuksesan. Berdasarkan penelitian di Harvard University Amerika Serikat,
ternyata kesuksesan seseorang tidak semata-mata ditentukan oleh pengetahuan dan
kemampuan teknis dan kognisinyan (hard skill) saja, tetapi lebih oleh kemampuan
mengelola diri dan orang lain (soft skill).
Faktor lingkungan sangat penting dalam
mengembangkan pendidikan karakter berbasis tradisi lisan. oleh karena itu,
pembentukan dan rekayasa lingkungan yang mencakup diantaranya lingkungan fisik
dan budaya sekolah, manajemen sekolah, kurikulum, pendidik, dan metode mengajar
harus disenergikan. Pembentukan karakter melalui rekasyasa faktor lingkungan
dapat dilakukan melalui strategi : 1) keteladanan, 2) intervensi, 3) pembiasaan
yang dilakukan secara konsisten, dan 4) Penguatan.
Perkembangan dan pembentukan karakter memerlukan
pengembangan keteladanan yang ditularkan, diintervensi tradisi dalam hal ini
tradisi lisan melalui proses pembelajaran, pelatihan, pembiasaan terus-menerus dalam jangka
panjang yang dilakukan secara konsisten dan penguatan serta harus dibarengi
dengan nilai-nilai luhur merupakan langkah baik untuk mencapai tujuan
pendidikan nasional
Dari teori pendidikan, dikatakan anak belajar dari
apa yang dilihat, didengar dan dirasakan. Terbentuknya karakter seorang anak
sangat dipengaruhi oleh kebiasaan yang didengar, dilihat dan dirasakan. Dengan
demikian maka pendidikan karakter berbasis tradisi lisan sangat penting untuk
di ajarkan dan dibiasakan menjadi sebuah tradisi di lingkungan sekolah
masing-masing. Mengingat juga dengan tradisi lisan dapat mengembangkan
kemampuan intelektual seseorang, kemampuan emosional seseorang dan kemampuan
spiritual seseorang.
Sumber :
Danandjaja, James. (1984). Foklor Indonesia ‘Ilmu Gosip, Dongeng, dan lain-lain. Jakarta:
Grafiti Pers.
Dundes, Alan. (1965). The Study of Folklore. New York: Prentice Hall Inc.
Ife, Jun.
(2002). Community Development, Creating Community Alternatif Vition Analysis
and Practise. Australia: Longmann
Karmini, dkk. (2013). Mengurai Tradili Lisan Merajut Pendidikan Karakter. Bali: Cakra Press.
Latif,
Yudi. (2009). Menyemai Karakter Bangsa:
Budaya Kebangkitan Berbasis Kesastraan. Jakarta: Buku Kompas.
Pundentia (Ed.). (1998). Metodologi Kajian Sastra Lisan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan
Yayasan Asosiasi Tradisi Lisan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar