Selasa, 17 September 2019

Pendidikan Karakter Berbasis Tradisi Lisan


PENDIDIKAN KARAKTER BERBASIS TRADISI LISAN

Oleh :
Asep Rohiman Lesmana

Salah satu realisasi visi dan misi bangsa Indonesia pada masa mendatang telah termuat dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara yaitu mewujudkan sistem dan iklim  pendidikan nasional yang demokratis dan bermutu guna memperteguh akhlak mulia, kreatif, inovatif, berwawasan kebangsaan, cerdas, sehat, berdisplin dan bertanggung  jawab, berketerampilan serta menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi dalam rangka mengembangkan kualitas manusia Indonesia. Terlihat dengan jelas GBHN mengamanatkan tentang arah kebijakan dibidang pendidikan diantaranya yaitu meningkatkan kemampuan akademik dan profesional serta meningkatkan jaminan kesejahteraan tenaga kependidikan, sehingga tenaga pendidik mampu berfungsi secara optimal terutama dalam peningkatan watak atau karakter pendidik dan budi pekerti.
Prioritas pembangunan nasional sebagaimana yang dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Nasional Tahun 2005–2025 (UU No. 17 Tahun 2007) antara lain adalah dalam mewujudkan masyarakat yang berakhlak mulia, bermoral,  beretika, berbudaya, dan beradab berdasarkan falsafah Pancasila”. Salah satu upaya untuk merealisasikannya adalah dengan cara memperkuat jati diri dan karakter melalui  pendidikan. Upaya ini bertujuan untuk membentuk dan membangun manusia Indonesia yang bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, mematuhi aturan hukum, memelihara kerukunan internal dan antar umat beragama, melaksanakan interaksi antarbudaya, mengembangkan modal sosial, menerapkan nilai-nilai luhur budaya bangsa, dan memiliki kebanggaan sebagai bangsa Indonesia dalam rangka memantapkan landasan spiritual, moral, dan etika pembangunan bangsa.
Dari beberapa penjelasan di atas mengemukanan bahwa berakhlak mulia, berbudaya , dan beradab adalah kunci utama dalam mengembangkan pendidikan di Indonesia. Untuk itu, dalam artikel ini, yang saya ingin kemukakan adalah nilai-nilai luhur budaya bangsa itu, di mana dari hari ke bulan bahkan ke tahun sudah mulai bergeser nilai budaya tersebut. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa bergesernya nilai budaya itu, karena arus globalisasi yang sangat kuat, sehingga tradisi Indonesia, lama-kelamaan mengalami kepunahan.

A.     KONSEP TRADISI LISAN
Berbicara mengenai tradisi. Di indonesia kita kenal adanya tradisi lisan. Tradisi Lisan adalah berbagai pengetahuan dan adat kebiasaan yang secara terun-menurun disampaikan secara lisan mencakup hal-hal tidak hanya berisi cerita rakyat, mite, dan legenda tetapi menyimpan sistem kognisi (kekerabatan) asli yang lengkap, sebagai contoh sejarah, praktik hukum, hukum  adat, pengobatan (Roger dan Pudentia, 1995:2). Menurut Pudentia (1998:vii) tradisi lisan diartikan sebagai ‘segala wacana yang diucapkan meliputi yang lisan dan yang beraksara’ atau dikatakan juga sebagai ‘sistem wacana yang bukan aksara’. Sedangkan menurut Danandjaja (1998:58) menyatakan bahwa istilah tradisi lisan (oral tradition) adalah sinonim dari foklor lisan. Menurut Brunvand (1968:2-3) foklor lisan adalah yang bentuk murni lisan. Bentuk-bentuk (gendre) folkrol yang termasuk ke dalam kelompok besar ini, antara lain: 1) ragam tutur rakyat (folkspeech) seperti logat, julukan, jabatan tradisional, dan gelar kebangsawanan; 2) ungkapan tradisional seperti pribahasa, pepatah dan pameo; 3) pertanyaan tradisional seperti teka-teki; 4) puisi rakyat seperti pantun, gurindam, dan syair; 5) cerita prosa rakyat, seperti mite, legenda, dan dongeng.
Tradisi lisan dapat diartikan sebagai segala hal yang ditransmisikan melalui tuturan meliputi yang beraksara dan tak beraksara. Tradisi lisan tidak hanya terdiri atas foklor, cerita-cerita dan sejenisnya, tetapi juga berbagai hal yang menyangkut sistem pengetahuan lokal, sistem genealogi, sejarah, hukum, lingkungan, alam semesta, adat-istiadat, tekstil, obat-obatan, religi dan kepercayaan, nilai-nilai moral, bahasa, seni dan sebagainya. Menurut pendapat Sadyawati (dalam Karmini dkk, 3:2013) tradisi lisan memiliki aspek sosial dan aspek budaya di dalamnya. Aspek sosial meliputi para pelaku yang terlibat, tujuan kegiatan pelaku, dan sistem penyelenggaraan tradisi lisan, yang bersangkutan sedangkan aspek budaya berkaitan dengan berbagai pesan yang dikandung dalam tradisi lisan dan bagaimanakah kaidah penyelenggaraannya dan simbol yang digunakan.
Salah satu warisan budaya yang amat berharga dan penting dalam pembentukan identitas dan krakter bangsa adalah Intangiable Cultural Heritage (ICH). UNESCO dalam konvensi tanggal 16 Oktober 2003 menyebutkan salah satu unsur penting dalam ICH adalah tradisi lisan. Tradisi lisan sebagai produk kultural yang kreatif tidak hanya berupa mite, legenda, dongeng, dan cerita-cerita lainnya tetapi juga mengandung berbagai hal yang menyangkut hidup dan kehidupan komunitas pemiliknya, misalnya kearifan lokal (local wisdow), sistem nilai, pengetahuan tradisional (local knowledge), sistem kepercayaan dan religi, kaidah sosial, etos kerja, sistem pengobatan, mitologi, sejarah, dan berbagai hal seni. Tradisi lisan terbukti dapat menjadi pintu masuk memahami masyarakat pemilik tradisi yang bersangkutan yang lebih baik karena tradisi merupakan salah satu sumber penting dalam menentukan identitas kelompok masyarakat tradisi tersebut dan pembentukan peradaban suatu bangsa. Dalam tradisi lisan produk budaya dan masyarakat penghasilnya tidak dapat dipisahkan. Keduannya tergantung satu sama lain. Tanpa masyarakat pendukungnya, tradisi tidak akan pernah dapat dihadirkan apalagi diteruskan, sebalikn, tanpa tradisi masyarakat pemiliknya akan kehilangan identitas kemanusiaannya dan kehilangana banyak hal penting, khususnya pengetahuan tradisional, kearifan lokal, dan nilai-nilai yang pernah menghidupi komunitas tersebut. (Karmini dkk, 4:2013)
Foklor sebagai lisan adalah foklor yang bentuknya merupakan campuran antara unsur lisan dan unsur bukan lisan. Kepercayaan rakyat, misalnya, yang orang ‘modern’ seringkali menyebut ‘takhayul’ itu, terdiri atas pernyataan yang bersifat lisan ditambah dengan gerak isyarat yang dianggap mempunyai makna gaib. Kepercayaan masyarakat terhadap benda yang dianggap berkhasiat untuk melindungi atau dapat membawa rezeki, seperti batu-batu permatatertentu atau pusaka juga termasuk folklor sebagian lisan.
Kata folklor merupakan pengindonesiaan kata Inggris folklore. Kata ini adalah kata majemuk, yang berasal dari dua kata folk dan lore (Danandjaja, 1988:53). Folk  memeliki arti yang sama dengan kolektif, sedangkan lork adalah tradisi folk. Menurut Dundes (1965:2) Folk adalah sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik, sosial, dan kebudayaan sehingga dapat dibedakan dari kelompok-kelompok lainnya. Ciri-ciri pengenal itu antara lain dapat berwujud: warna kulit yang sama, mata pencarian yang sama, bahasa yang sama, taraf pendidikan yang sama, dan agama yang sama. Namun yang lebih penting lagi adalah bahwa mereka telah memiliki satu tradisi yakni kebudayaan, yang telah mereka warisi turun-temurun, sedikitnya dua generasi, yang dapat mereka akui sebagai milik bersama. Selain itu, yang lebih penting adalah mereka sadar akan identitas kelompok mereka sendiri. Sedangkan yang dimaksud dengan Lork yaitu sebagian kebudayaannya, yang diwarisi turun-temurun secara lisan atau melaui suatu contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pengingat (mnemonic device).
Devenisi folklor yaitu sebagian kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan turun munurun, di antara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bnetuk lisan maupun contoh yang disertai alat pembantu pengingat (mnemonic device), (Danandjaja (1984:2). Menurut Danandjaja (1984:3-4) untuk membedakan dengan kebudayaan (culture pada umumnya), foklor mempunyai beberapa ciri pengenal seperti: (a) penyebaran dan pewarisannya bersifat lisan; (b) bersifat tradisional; (c) ada (exist) dalam versi-versi bahkan varian yang berbeda; (d) bersifat anonim; (e) biasanya memiliki bantuk berumus; (f) mempunyai kegunaan; (g) bersifat pralogis; (h) milik bersama (kolektif); dan (i) pada umumnya bersifat polos dan lugu.

B.     KONSEP PENDIDIKAN KARAKTER
Pendidikan karakter menurut Latif, (2009:82) adalah adalah suatu payung istilah yang menjelaskan berbagai aspek pengajaran dan pembelajaran bagi perkembangan personal. Dapat dikatakan pula bahwa pendidikan karakter adalah pendidikan yang menekankan pada pembentukan nilai-nilai karakter peserta didik. Saya mengutip empat ciri dasar pendidikan karakter yang dirumuskan oleh seorang pencetus pendidikan karakter dari Jerman yang bernama FW Foerster: 1) Pendidikan karakter menekankan setiap tindakan berpedoman terhadap nilai normatif. Anak didik menghormati norma-norma yang ada dan berpedoman pada norma tersebut. 2) Adanya koherensi atau membangun rasa percaya diri dan keberanian, dengan begitu anak didik akan menjadi pribadi yang teguh pendirian dan tidak mudah terombang-ambing dan tidak takut resiko setiap kali menghadapi situasi baru. 3) Adanya otonomi, yaitu anak didik menghayati dan mengamalkan aturan dari luar sampai menjadi nilai-nilai bagi pribadinya. Dengan begitu, anak didik mampu mengambil keputusan mandiri tanpa dipengaruhi oleh desakan dari pihak luar. 4) Keteguhan dan kesetiaan. Keteguhan adalah daya tahan anak didik dalam mewujudkan apa yang dipandang baik. Dan kesetiaan marupakan dasar penghormatan atas komitmen yang dipilih.
Pendidikan karakter didasarkan pada enam nilai-nilai etis bahwa setiap orang dapat menyetujui – nilai-nilai yang tidak mengandung politis, religius, atau bias budaya. Beberapa hal di bawah ini yang dapat kita jelaskan untuk membantu siswa memahami Enam Pilar Pendidikan Berkarakter, yaitu sebagai berikut :
1. Trustworthiness (Kepercayaan)
Jujur, jangan menipu, menjiplak atau mencuri, jadilah handal – melakukan apa yang anda katakan anda akan melakukannya, minta keberanian untuk melakukan hal yang benar, bangun reputasi yang baik, patuh – berdiri dengan keluarga, teman dan negara. 
2. Recpect (Respek)
Bersikap toleran terhadap perbedaan, gunakan sopan santun, bukan bahasa yang buruk, pertimbangkan perasaan orang lain, jangan mengancam, memukul atau menyakiti orang lain, damailah dengan kemarahan, hinaan dan perselisihan.
3. Responsibility  (Tanggungjawab)
Selalu lakukan yang terbaik, gunakan kontrol diri, disiplin, berpikirlah sebelum bertindak – mempertimbangkan konsekuensi, bertanggung jawab atas pilihan anda.
4. Fairness  (Keadilan)
Bermain sesuai aturan, ambil seperlunya dan berbagi, berpikiran terbuka; mendengarkan orang lain, jangan mengambil keuntungan dari orang lain, jangan menyalahkan orang lain sembarangan.
5. Caring  (Peduli)
Bersikaplah penuh kasih sayang dan menunjukkan anda peduli, ungkapkan rasa syukur, maafkan orang lain, membantu orang yang membutuhkan.
6. Citizenship  (Kewarganegaraan)
Pendidikan karakter pada intinya bertujuan membentuk bangsa yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, bermoral, bertoleran, bergotong royong, berjiwa patriotik, berkembang dinamis, berorientasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang semuanya dijiwai oleh iman dan takwa kepada Tuhan yang Maha Esa berdasarkan Pancasila.
Pendidikan karakter berfungsi untuk: 1) mengembangkan potensi dasar agar berhati baik, berpikiran baik, dan berperilaku baik, 2) memperkuat dan membangun perilaku bangsa yang multikultur, 3) meningkatkan peradaban bangsa yang kompetitif dalam pergaulan dunia.
Pendidikan karakter dilakukan melalui berbagai media yang mencakup keluarga, satuan pendidikan, masyarakat sipil, masyarakat politik, pemerintah, dunia usaha, dan media massa. Artinya bahwa kita semua memiliki peran penting dalam mengembangkan pendidikan karakter tersebut.

C.        TRADISI LISAN DALAM PENDIDIKAN KARAKTER
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, mendukung pengenalan tradisi lisan yang dimasukkan dalam pelajaran bahasa Indonesia, seni, sejarah, dan muatan lokal. Tradisi lisan yang berkembang di tiap daerah sarat pendidikan karakter. Dengan mengenali dan menjaga tradisi, generasi muda bangsa diajak menjaga jati diri bangsa sekaligus bisa mengembangkannya untuk industri kreatif dan lainnya. Kekayaan tradisi lisan mesti diajarkan secara menarik pada generasi muda. Kepada mereka harus diberi pemahaman bahwa tradisi itu bukan masa lalu, namun menjadi bagian keseharian.
Bangsa yang unggul seperti Jepang tetap bisa menjaga tradisinya. Ini yang juga kita harus bisa wujudkan dalam kehidupan bangsa Indonesia ini, terutama di kalangan generasi muda sebagai masa depan bangsa dan negara. Banyak hal yang akan kita dapatkan dari tradisi lisan ini diantaranya dalah “Kearifan Lokal”. kearifan lokal menurut Saini dalam Purnama (2010:1) adalah jawaban kreatif terhadap situasi geografis-politis, historis, dan situasional yg bersifat lokal. Kearifan lokal juga dapat dikatakan sebagai sikap, pandangan dan kemampuan suatu komunitas di dalam mengelola lingkungan rohani dan jasmaninya.
Dalam artikel ini saya hanya menyoroti salah satu dari tradisi lisan yaitu kearifan lokalnya. Walaupun masih banyak tradisi lisan lainnya yang sangat berpengaruh terhadap pengembangan karakter siswa, diantaranya adalah “Cerita Rakyat” berupa Mite, Legenda , dan Dongeng. Ada enam dimensi kearifan lokal menurut Ife (2002), yaitu : 1) dimensi pengetahuan lokal, 2) dimensi nilai lokal, 3) dimensi keterampilan lokal, 4) dimensi sumberdaya lokal, 5) dimensi mekanisme pengambilan keputusan lokal, dan 6) dimensi solidaritas kelompok lokal. Keenam dimensi ini sangat kental dengan budaya sekarang. Pengetahuan, nilai, keterampilan, sumberdaya, pengambilan keputusan dan solidaritas akhir-akhir ini selalu mmenjadi masalah dalam keseharian kita. Katakanlah nilai persaudaraan dan persatuan yang sudah mulai menipis, sehingga menimbulkan perkelahian antar kampung, tawuran dan lain sebagainya.
Keenam dimensi di atas sangat melekat dengan budaya kita sebelumnya seperti: 1) masyarakat Ambon dengan Pela Gandong, 2) masyarakat Dayak dengan Basaru Sumangat, 3) masarakat Bima dengan Ndempa, 4) masyarakat Manado dengan Katong Samua Basudara, 5) masyarakat Ternate dengan Marimoi Ngone Futuru, dan 6) masyarakat Aceh dengan Tepung Tawar, 7) masyarakat Papua dengan Tearo Neweak Lako (alam adalah aku), 8) masyarakat Serawi Bengkulu dengan Celako Kumali, 9) masyarakat Bali dengan Aeig-awig, dan 10) masyarakat Baduy dengan Pikukuh.
Di dalam kearifan lokal banyak nilai-nilai luhur yang dapat kita sampaikan kepada peserta didik, diantaranya : 1) jujur, 2) toleransi, 3) disiplin, 4) kerja keras, 5) kreatif, 6) mandiri, 7) demokratis, 8) cinta tanah air, 9) menjaga persatuan dan kesatuan, 10) bersahabat atau komunikatif, 11) cinta damai, 12) peduli lingkungan dan sosial, 13) tanggung jawab, serta 14) religius.
 Dari keempat belas nilai-nilai di atas akan membentuk karakter siswa sesuai dengan tujuan pendidikan nasional. Oleh karena ini, tradisi lisan harus mendapatkan perhatian serius oleh Pemerintah. Dan menurut  pendapat saya ada dua cara yaitu :
1)      pemerintah harus menjamin dan melindungi setiap tradisi lisan nusantara dengan membuat satu undang-undang khusus untuk mengimplementasikan tradisi lisan tersebut dalam kehidupan sehari-hari, apakah di instansi pemerintah, suasta maupun yang lainnya. Katakanlah proses pengimplementasian itu dilakukan dalam bentuk penggunaan bahasa sehari dalam seminggu setiap jam kantor, penjamuan tamu negara maupun daerah lainnya, dan hajatan-hajatan pemerintahan yang berhubungan rakyat.
2)      Membuat kurikulum pendidikan krakter melalui tradisi lisan secara nasional. Caranya adalah merumuskan kebijakan sekolah dengan bersandar pada budaya lokal masing-masing dan membuat bahan, media serta metode yang tepat dalam pembelajaran pendidikan karakter berbasis tradisi lisan tersebut. Artinya bahwa pemerintah harus serius dalam mengembangkan tujuan pendidikan nasional. Dan karena salahsatunya adalah pengembangan karakter siswa, maka tradisi lisan memegang peran penting didalamnya.
Pendidikan karakter penting bagi pendidikan di Indonesia. Pendidikan karakter akan menjadi dasar dalam pembentukan karakter berkualitas bangsa, yang tidak mengabaikan nilai-nilai sosial seperti toleransi, kebersamaan, kegotongroyongan, saling membantu dan mengormati dan sebagainya. Pendidikan karakter akan melahirkan pribadi unggul yang tidak hanya memiliki kemampuan kognitif saja namun memiliki karakter yang mampu mewujudkan kesuksesan. Berdasarkan penelitian di Harvard University Amerika Serikat, ternyata kesuksesan seseorang tidak semata-mata ditentukan oleh pengetahuan dan kemampuan teknis dan kognisinyan (hard skill) saja, tetapi lebih oleh kemampuan mengelola diri dan orang lain (soft skill).
Faktor lingkungan sangat penting dalam mengembangkan pendidikan karakter berbasis tradisi lisan. oleh karena itu, pembentukan dan rekayasa lingkungan yang mencakup diantaranya lingkungan fisik dan budaya sekolah, manajemen sekolah, kurikulum, pendidik, dan metode mengajar harus disenergikan. Pembentukan karakter melalui rekasyasa faktor lingkungan dapat dilakukan melalui strategi : 1) keteladanan, 2) intervensi, 3) pembiasaan yang dilakukan secara konsisten, dan 4) Penguatan.
Perkembangan dan pembentukan karakter memerlukan pengembangan keteladanan yang ditularkan, diintervensi tradisi dalam hal ini tradisi lisan melalui proses pembelajaran, pelatihan, pembiasaan terus-menerus dalam jangka panjang yang dilakukan secara konsisten dan penguatan serta harus dibarengi dengan nilai-nilai luhur merupakan langkah baik untuk mencapai tujuan pendidikan nasional
Dari teori pendidikan, dikatakan anak belajar dari apa yang dilihat, didengar dan dirasakan. Terbentuknya karakter seorang anak sangat dipengaruhi oleh kebiasaan yang didengar, dilihat dan dirasakan. Dengan demikian maka pendidikan karakter berbasis tradisi lisan sangat penting untuk di ajarkan dan dibiasakan menjadi sebuah tradisi di lingkungan sekolah masing-masing. Mengingat juga dengan tradisi lisan dapat mengembangkan kemampuan intelektual seseorang, kemampuan emosional seseorang dan kemampuan spiritual seseorang.

Sumber :

Danandjaja, James. (1984). Foklor Indonesia ‘Ilmu Gosip, Dongeng, dan lain-lain. Jakarta: Grafiti Pers.
Dundes, Alan. (1965). The Study of Folklore. New York: Prentice Hall Inc.
Ife, Jun. (2002). Community Development,  Creating Community Alternatif Vition Analysis and Practise. Australia: Longmann
Karmini, dkk. (2013). Mengurai Tradili Lisan Merajut Pendidikan Karakter. Bali: Cakra Press.
Latif, Yudi. (2009). Menyemai Karakter Bangsa: Budaya Kebangkitan Berbasis Kesastraan. Jakarta: Buku Kompas.
Pundentia (Ed.). (1998). Metodologi Kajian Sastra Lisan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan Yayasan Asosiasi Tradisi Lisan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Penguatan Integrasi Pendidikan

PENGUATAN INTEGRASI PENDIDIKAN DALAM ERA DISUPSI Oleh :  Asep Rohiman Lesmana, M.Pd. Pendidikan merupakan suatu entitas yang s...