Selasa, 17 September 2019

Pengembangan Kapasitas Berpikir


KETERAMPILAN BERPIKIR DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN

Oleh :
Asep Rohiman Lesmana

A.   PENDAHULUAN
Pikiran adalah kekuatan yang sangat efektif. Tanpanya, setiap kekuatan hanya besar saja (Hugo dalam Elfiky, 2010). Socrates mengemukakan bahwa ciri manusia hidup itu adalah berpikir. Manusia dianggap hidup normal manakala ia menggunakan pikirannya, hal ini sesuai pula dengan yang diungkapkan Pascal bahwa kemuliaan manusia terletak pada pikirannya. Dalam al-Khawathir, Syekh Muhammad Mutawalli al-Sya’rawi mengatakan, “pikiran adalah alat ukur yang digunakan manusia untuk memilih sesuatu yang dinilai lebih baik dan lebih menjamin masa depan diri dan keluarganya.”
Ketika lahir, manusia itu bersih. Data yang terdapat dalam otaknya jernih. Ia belum mengerti makna bahasa apa pun. Orangtua mulai mengajaknya berkomunikasi dengan ekpresi wajah dan gerakan tubuh secara berulang-ulang sampai si buah hati bisa mengucapkan kata-kata. Sesudah proses itu terlewati, buah hati sudah dapat berkomunikasi dan merangkai pikirannya sendiri. Rangkaian berpikir berasal dari file-file yang ada di otak manusia. Salah satu makhluk hidup yang diberikan akal oleh Alloh SWT yaitu manusia. Jadi, dalam akal manusia terdapat banyak arsip atu file yang berisi pengetahuan, bahasa, norma, keyakinan, dan prinsip.
Setiap hari perlu kita berpikir positif. Hal ini sesuai dengan pendapat Canfield dan Hansen, bahwa manusia setiap harinya menghadapi lebih dari 60.000 pikiran. Satu-satunya yang dibutuhkan sejumlah besar pikiran ini adalah pengarahan. Jika arah yang ditentukan bersifat negatif maka sekitar 60.000 pikiran akan keluar dari memori ke arah negatif. Sebaliknya, jika pengarahannya positif maka sejumlah pikiran yang sama juga akan keluar dari ruang memori ke arah yang positif.
  
B.   ESENSI SEBUAH METODE BERPIKIR
secara teoretis, tidak  ada seorang pun yang meragukan, pentingnya memupuk kebiasaan-kebiasaan berpikir yang baik di sekolah.  Tetapi terpisah dari fakta bahwa pengakuan ini tidak begitu besar dalam prakteknya, tidak seperti dalam teori, tidak ada pengakuan teoretis yang memadai bahwa apa yang dapat atau perlu dilakukan oleh sekolah untuk siswa-siswanya adalah mengembangkan kemampuan mereka untuk berpikir. 
Instruksi untuk beragam tujuan seperti perolehan keterampilan (dalam membaca, menulis, mengeja, menggambar, mengingat); memperoleh informasi (dalam sejarah dan geografi), dan pelatihan berpikir adalah suatu ukuran cara yang tidak efektif untuk mencapai ketiga tujuan tesebut. Berpikir yang tidak berhubungan dengan peningkatan efisiensi dalam tindakan, dan pembelajaran lebih banyak tentang diri kita sendiri dan dunia dimana kita tinggal.
Keterampilan yang diperoleh terpisah dari berpikir, tidaklah berhubungan dengan beberapa pengertian tujuan dimana berpikir itu akan digunakan. Akibatnya manusia terperangkap dalam kebiasaan-kebiasaan rutin dan control otoritarif dari orang lain. Karena informasi mensimulasi pengetahuan dan oleh karena itu mengembangkan kesombongan, informasi menjadi hambatan paling kuat untuk pertumbuhan lebih lanjut dalam kecerdasan. Jalur langsung satu-satunya untuk mempertahankan peningkatan dalam metode-metode instruksi dan pembelajaran adalah berpusat pada kondisi-kondisi yang pasti, meningkatkan dan mengujikan berpikir.
Berpikir adalah metode pembelajaran cerdas. Kita berbicara mengenai metode berpikir, tetapi hal penting yang perlu diingat tentang metode adalah bahwa berpikir itu adalah metode, yaitu metode pengalaman cerdas dalam rangkaian yang diambilnya.

C.   TAHAP AWAL BERPIKIR
Tahap awal dari pengalaman yang sedang berkembang dan berpikir adalah pengalaman. Berpikir seringkali dianggap dalam teori filosofis dan praktek pendidikan sebagai sesuatu yang terpisah dari pengalaman, dan mampu dikembangkan secara terpisah. Pada faktanya, keterbatasan-keterbatasan yang melekat dari pengalaman seringkali didorong sebagai dasar yang cukup untuk memberikan perhatian terhadap berpikir.  Pengalaman kemudian dianggap terbatas pada perasaan dan selera; sementara berpikir berproses dari kemampuan yang lebih tinggi (nalar), dan terisi dengn hal-hal spiritual. 
Umumnya, kesalahan penting dalam metode-metode instruksi terletak pada anggapan pengalaman siswa.  Apa yang ditekankan disini adalah pentingnya situasi empiris sebagai fase untuk memulai berpikir.   Pengalaman disini diambil seperti yang didefinisikan sebelumnya, mencoba untuk melakukan sesuatu dan melakukan hal-hal secara perseptif. Anggapan yang salah adalah bahwa kita dapat memulai dengan materi aritmatika, geografi  atau apapun yang telah siap, terpisah dari beberapa pengalaman personal langsung atas suatu situasi.  Bahkan teknik-teknik taman kanak-kanak dan Montessori begitu cemas untuk membeda-bedakan kecerdasan, tanpa “membuang-buang waktu,” dimana mereka cenderung untuk mengabaikan atau mengurangi penanganan materi pengalaman yang dikenal, dan memperkenalkan para siswa pada materi yang mengungkapkan perbedaan-perbedaan kecerdasan yang telah dibuat oleh orang dewasa. 
Langkah pertama dari kontak dengan beberapa materi baru, pada usia kematangan apapun, harus menjadi jenis trial dan error.  Seseorang sesungguhnya harus mencoba, dalam kerja atau bermain, untuk melakukan sesuatu dengan materi dalam melakukan aktifitasnya sendiri, dan kemudian mencatat interaksi dari energinya dan interaksi dari materi yang digunakan.  Ini adalah yang terjadi ketika seorang anak pertama-tama mulai membangun balok-balok, dan begitu pula yang terjadi ketika seorang manusia ilmiah dalam laboratoriumnya mulai bereksperimen dengan objek-objek yang tidak dikenal.
Oleh karena itu pendekatan pertama untuk beberapa mata pelajaran di sekolah, jika akan dibangkitkan haruslah sedapat mungkin tidak bersifat skolastik. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan pengalaman atau situasi empiris, kita harus mengingat jenis situasi yang ada diluar sekolah; jenis pekerjaan yang menarik dan melibatkan aktifitas dalam kehidupan sehari-hari.  Dan pemeriksaan yang cermat terhadap metode-metode yang berhasil dalam pendidikan formal, baik itu dalam aritmatika atau belajar untuk membaca, atau belajar geografi, atau belajar fisika atau bahasa asing, akan mengungkapkan bahwa metode-metode itu tergantung pada efisiensinya pada fakta bahwa metode-metode ini kembali ke jenis situasi yag menyebabkan refleksi diluar sekolah dalam kehidupan sehari-hari. Metode-metode ini memberikan siswa untuk melakukan sesuatu, bukan sesuatu untuk dipelajari; dan menuntut pemikiran, atau mencatat hubungan-hubungan; ini mengakibatkan pembelajaran secara alami.
  Situasi harus membangkitkan pemikiran, artinya bahwa situasi harus memberikan sesuatu untuk melakukan yang bukan rutinitas, dengan kata lain, menyajikan apa yang baru (oleh karena itu tidak pasti atau bermasalah) namun cukup berhubungan dengan kebiasaan-kebiasaan yang telah ada untuk memunculkan respon yang efektif.  Respon efektif berarti respon yang mencapai hasil yang dapat ditanggapi, yang berbeda dari aktifitas murni, dimana konsekuensi-konsekuensi tidak dapat secara mental berhubungan dengan apa yang dilakukan. Pertanyaan paling penting yang dapat diajukan tentang beberapa situasi atau pengalaman yang diajukan untuk menginduksi pembelajaran adalah apakah kualitas masalah yang dilibatkannya.
Pertama-tama, tampaknya metode-metode sekolah yang biasa sesuai dengan standar yang dibuat disini.  Pemberian masalah, pengajuan pertanyaan, pemberian tugas, peningkatan kesulitan, adalah  bagian besar dari tugas sekolah.  Namun tidaklah dapat dielakan untuk membedakan antara masalah murni dan simulasi dengan masalah tidak nyata. 
Pertanyaan-pertanyaan berikut ini mungkin membantu dalam membuat diskriminasi tersebut. (a) Apakah ada sesuatu selain masalah? Apakah pertanyaan secara natural muncul sendiri dalam beberapa situasi atau pengalaman pribadi? Atau apakah masalah hanya untuk tujuan menyampaikan instruksi dalam beberapa topik sekolah?  Apakah ini jenis percobaan yang akan membangkitkan observasi dan melibatkan eksperimentasi diluar sekolah? (b) Apakah ini masalah siswa sendiri, atau apakah ini adalah masalah guru atau textbook, yang membuat masalah untuk siswa hanya karena dia tidak dapat memperoleh nilai atau memperoleh persetujuan guru, kecuali jika dia menghadapinya? Secara jelas, kedua pertanyaan ini memiliki kesamaan. 
Keduanya adalah cara-cara untuk sampai pada kesimpulan yang sama; Apakah pengalaman akan sesuatu yang bersifat personal akan menstimulasi dan mengarahkan observasi terhadap hubungan-hubungan yang terlibat, dan akan menuntun pada kesimpulan dan pengujiannya? Atau apakah masalah siswa secara sederhana memenuhi kebutuhan eksternal? Pertanyaan-pertanyaan tersebut mungkin memberikan kita jeda dalam memutuskan sejauhmana praktek-praktek terbaru diadaptasikan untuk mengembangkan kebiasaan-kebiasaan reflektif.  Peralatan dan pengaturan fisik dari ruang sekolah rata-rata bertentangan dengan keberadaan situasi atau pengalaman nyata.  Apakah ini sama dengan kondisi-kondisi kehidupan sehari-hari yang akan menghasilkan kesulitan-kesulitan? 
Hampir tidak mungkin untuk terlalu berlebihan menyatakan kekontrasan antara kondisi-kondisi tersebut dan situasi-situasi kontak aktif dengan hal-hal dan orang-orang di rumah, di tempat bermain, dalam memenuhi tanggung jawab sehari-hari dari kehidupan. Tidak ada seorangpun yang pernah menjelaskan mengapa anak-anak begitu dipenuhi dengan pertanyaan-pertanyaan diluar sekolah, dan tidak adanya rasa ingin tahu tentang materi pelajaran-pelajaran sekolah.  Refleksi terhadap kekontrasan yang tajam ini akan mendasari pertanyaan seberapa jauh kondisi-kondisi sekolah yang umum menyediakan konteks  pengalaman dimana masalah-masalah secara natural muncul sendiri.
Tidak banyak peningkatan dalam teknik personal dari instruktur yang akan memperbaiki keadaan. Banyak materi sesungguhnya, banyak barang, banyak peralatan, dan banyak kesempatan untuk melakukan hal-hal, sebelum celah ini dapat diatasi.  Dan dimana anak-anak terlibat dalam melakukan hal-hal dan dalam mendiskusikan apa yang muncul dalam serangkaian tindakan mereka, bahkan dengan mode-mode instruksi yang tidak berbeda, ditemukan bahwa penelitian anak-anak bersifat spontan dan begitu banyak serta solusi cukup berkembang dan bervariasi.
Sebagai konsekuensi dari tidak terdapatnya materi-materi dan pekerjaan yang menghasilkan masalah-masalah nyata, masalah-masalah siswa bukanlah disebabkan oleh dirinya sendiri. Siswa memiliki masalah, tetapi ini adalah masalah untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan khusus yang dibuat oleh guru.  Masalahnya adalah menemukan apa yang diinginkan guru, apa yang akan memuaskan guru dalam ujian.  Hubungan dengan materi tidak lagi bersifat langsung.  Materi berpikir tidak ditemukan dalam aritmatika atau sejarah geografi itu sendiri, tetapi dalam mengadaptasikan materi tersebut secara terampil dengan kebutuhan-kebutuhan guru. Studi-studi siswa adalah kesepakatan dan standar-standar dari sistem sekolah dan otoritas sekolah, bukan “studi-studi” nominal. 
Masalah siswa bukanlah pada bagaimana untuk memenuhi kebutuhan dari kehidupan sekolah, tetapi bagaimana untuk tampaknya memenuhinya, atau bagaimana untuk cukup dekat memenuhinya tanpa banyak pertentangan yang tidak wajar.  Jenis penilaian yang dibentuk oleh alat-alat ini bukanlah penambahan yang diinginkan untuk karakter. Jika pernyataan-pernyataan ini memberikan terlalu banyak warna pada gambaran metode-metode sekolah yang biasa, maka pernyataan berikut berfungsi untuk mengilustrasikan kesimpulan ini: kebutuhan akan usaha-usaha aktif, yang melibatkan penggunaan materi untuk mencapai tujuan-tujuan, jika akan ada situasi-situasi yang secara normal menghasilkan masalah-masalah.

D.   METODE PERKEMBANGAN
Harus ada data untuk menyediakan pertimbangan-pertimbangan yang dibutuhkan untuk berhubungan dengan kesulitan khusus yang muncul sendiri.  Guru-guru yang sedang mengikuti metode “perkembangan” terkadang memberitahukan anak-anak untuk berpikir hal-hal untuk diri mereka sendiri seolah-olah mereka dapat mengeluarkannya dari kepala mereka sendiri.  Materi berpikir bukanlah pikiran, tetapi tindakan, fakta, peristiwa dan hubungan-hubungan hal-hal.  Dengan kata lain, untuk berpikir secara efektif  maka kita harus memiliki pengalaman-pengalaman yang akan memberikannya sumber-sumber untuk menghadapi kesulitan.  Kesulitan adalah stimulus untuk berpikir, tetapi tidak semua kesulitan mengharuskan berpikir. Terkadang kesulitan membuat putus asa. 
Situasi yang membingungkan harus cukup menyerupai situasi-situasi yang telah dihadapi sehingga siswa akan memiliki kontrol untuk mengatasinya.  Bagian besar dari seni instruksi terletak pada kesulitan dari masalah-masalah baru yang cukup besar untuk menantang berpikir.
Memori, observasi, bacaan, komunikasi, semuanya adalah cara untuk menyediakan data. Proporsi relatif untuk diperoleh dari masing-masing cara tersebut adalah masalah ciri-ciri spesifik dari masalah tertentu. 
Pikiran yang terlatih dengan baik adalah pikiran yang memiliki banyak sumber dibelakangnya, dan terbiasa untuk melewati pengalaman-pengalaman masa lalunya untuk melihat apa yang dihasilkannya.  Di sisi lain, kualitas atau hubungan dari objek yang familiar mungkin sebelumny telah dilewati, dan fakta yang berguna untuk menghadapi pertanyaan.  Dalam hal ini observasi langsung dibutuhkan. Prinsip yang sama berlaku pada penggunan yang akan dibuat dari observasi pada satu sisi dan membaca dan “bercerita” pada sisi lain.  Observasi langsung secara natural lebih hidup dan vital.  Tetapi memiliki keterbatasan-keterbatasan; dan dalam beberapa hal ini adalah bagian penting dari pendidikan dimana kita harus memperoleh kemampuan untuk menambahkan kesempitan dari pengalaman-pengalaman personal ini dengan menggunakn pengalaman-pengalaman orang lain. 
Ketergantungan berlebihan pada orang lain untuk data (apakah diperoleh dari membaca atau menyimak) akan kurang dihargai. Kemungkinan bahwa orang lain, buku atau guru, akan memberikan solusi-solusi yang telah dibuat, daripada memberikan materi yang harus diadaptasikan dan diaplikasikan oleh siswa pada pertanyaan untuk dirinya sendiri.
Tidak ada konsistensi yang mengatakan bahwa di sekolah biasanya ada terlalu banyak dan terlalu sedikit informasi yang disediakan oleh orang lain.  Akumulasi dan perolehan informasi untuk tujuan-tujuan reproduksi dalam resitasi dan pemeriksaan dibuat terlalu banyak. Pengetahuan dalam pengertian informasi, berarti modal kerja, sumber-sumber yang mutlak diperlukan dari penelitian lebih lanjut untuk menemukan atau mempelajari lebih banyak hal. Seringkali pengetahuan dianggap sebagai tujuan itu sendiri, dan kemudian tujuannya adalah memperlihatkannya ketika diharuskan. 
Pengetahuan yang statis merugikan untuk perkembangan pendidikan.  Tidak hanya membuat peristiwa-peristiwa untuk berpikir menjadi tidak digunakan, tetapi menggenangi berpikir. “Tidak ada seorangpun dapat membangun sebuah rumah di atas tanah yang dipenuhi dengan bermacam sampah”. Siswa yang telah menyimpan “pikiran” mereka dengan semua jenis materi yang tidak pernah mereka gunakan untuk intektual pastinya akan terhambat ketika mereka mencoba untuk berpikir.  Mereka tidak berlatih untuk memilih apa yang tepat; semuanya berada pada tingkat statis yang mati. 

E.    KORELASI DALAM BERPIKIR
Korelasi dalam berpikir mengenai fakta, data, pengetahuan yang telah diperoleh adalah kesimpulan, makna, dugaan, penjelasan sementara: singkatnya, gagasan.  Pengamatan yang cermat dan pengumpulan kembali menentukan apa yang diberikan, apa yang telah ada disana.  Tetapi tidak dapat melengkapi apa yang kurang, namun menentukan, mengklarifikasikan dan melokasikan pertanyaan; tidak dapat menyediakan jawabannya.  Proyeksi, invensi, kecerdikan digunakan untuk mencapai tujuan tersebut.   Data memunculkan pernyataan, dan hanya dengan mengacu pada data tertentu maka kita akan memperoleh pernyataan.
Dalam pengertian ini, berpikir adalah suatu kreatifitas yang melibatkan beberapa kemampuan untuk menemukan. Ketika  Newton berpikir mengenai teori gravitasi,  aspek kreatif dari pemikirannya tidak ditemukan dalam materi-materinya.  Materi-materi itu familiar; banyak darinya adalah hal-hal yang biasa, seperti matahari, bulan, planet, berat, jarak, massa, kuadrat angka.  Ini bukanlan gagasan orisinil; namun merupakan fakta-fakta yang dibangun.   Hal yang sama terjadi pada setiap penemuan ilmiah yang menonjol, setiap penemuan besar, setiap produksi seni yang mengagumkan.
Kesimpulan pendidikan berikutnya adalah bahwa semua jenis berpikir itu adalah orisinil dalam pertimbangan-pertimbangan yang belum dipahami sebelumnya.  Seorang anak berusia tiga tahun yang menemukan bahwa apa yang dapat dilakukan dengan balok-balok, atau anak berusia enam tahun yang mengetahui apa yang dapat dibuatnya dengan meletakan uang lima sen dan lima sen bersama-sama, benar-benar seorang penemu, walaupun semua orang di dunia mengetahuinya.  Ada penambahan pengalaman; bukan item lainnya yang secara mekanis ditambahkan, tetapi pengayaan oleh kualitas baru.  Spontanitas yang dihasilkan oleh anak-anak kecil disebabkan oleh persepsi dari orisinal kecerdasan ini.  Kesenangan yang dialami oleh anak-anak itu sendiri adalah kesenangan dari kemampuan membangun intelektual, yaitu kekreatifan, jika kata-kata mungkin digunakan tanpa kesalahpahaman.  Namun, moral pendidikan yang Saya pertimbangkan bukanlah bahwa guru akan menemukan kerja mereka sendiri menjadi tidak terlalu berat jika kondisi-kondisi sekolah mendukung pembelajaran dalam pengertian discovery dan bukan dalam pengertian membuang apa yang dituangkan oleh orang lain kepada mereka; juga tidaklah mungkin untuk memberikan anak-anak dan remaja dengan kesenangan-kesenangan kemampuan memproduksi kecerdasan personal.  Tidak ada pemikiran, tidak ada gagasan yang mungkin disampaikan sebagai suatu gagasan dari satu orang ke orang lain.    
Komunikasi mungkin menstimulasi orang lain untuk menyadari pertanyaan untuk dirinya sendiri dan untuk berpikir menyerupai gagasan, atau mungkin membuat ketertarikan intelektualnya dan menekan usahanya untuk berpikir. Tetapi apa yang secara langsung diperolehnya mungkin bukanlah gagasan. Hanya dengan bergelut dengan kondisi-kondisi dari masalah, dengan mencari dan menemukan caranya sendiri, maka dia berpikir.  Ketika orangtua atau guru telah memberikan kondisi-kondisi yang menstimulasi berpikir dan telah mengambil sikap simpatis  terhadap aktifitas-aktifitas siswa masuk kedalam pengalaman yang umum, maka ini dapat membangkitkan pembelajaran.  Jika dia tidak dapat membuat solusinya sendiri tetapi dalam hubungannya dengan guru dan siswa lain dan menemukan jalannya  sendiri untuk keluar maka dia tidak akan belajar.
Ini tidak berarti bahwa guru hanya menjadi penonton; alternatif untuk melengkapi materi yang telah tersedia dan mendengarkan keakuratan yang dihasilkan kembali bukanlah dengan kepasifan atau diam, tetapi dengan partisipasi, berbagi  dalam suatu aktifitas.  Dalam aktifitas bersama ini, guru adalah siswa dan siswa tanpa mengetahuinya, adalah guru, dan secara keseluruhan, semakin tidak sering memberikan atau menerima instruksi, maka proses pembelajaran lebih baik. 
F.    MEMBANGUN GAGASAN
Gagasan seperti yang kita lihat baik itu berupa tebakan atau teori, adalah antisipasi dari solusi. Gagasan adalah antisipasi dari beberapa kontinuitas atau hubungan suatu aktifitas dan konsekuensi yang belum terlihat sendiri. Oleh karena itu diujikan dengan operasi. Gagasan menuntun dan mengatur observasi,  pengumpulan kembali dan eksperimen yang lebih jauh. Gagasan adalah intermediet dalam pembelajaran. 
Ketika perlunya aplikasi gagasan yang diperoleh dalam studi diakui oleh semua metode yang lebih sukses dari instruksi, penggunaan aplikasi terkadang dianggap sebagai alat untuk menetapkan apa yang telah dipelajari dan untuk memperoleh keterampilan praktek yang lebih besar. Tetapi praktek dalam menerapkan apa yang telah diperoleh dalam studi terutama harus memiliki kualitas intelektual.
Berpikir adalah indikasi. Berpikir adalah titik pandang dan metode untuk menghadapi situasi-situasi pengalaman. Hingga berpikir diterapkan dalam situasi-situasi ini, maka berpikir merupakan realitas penuh. Hanya aplikasi yang mengujikannya, dan hanya pengujian yang memberikan makna penuh dan pemahaman akan realitasnya. Mungkin secara serius dipertanyakan apakah filosofi-filosofi yang memisahkan pikiran dan membuatnya melawan dunia tidak berasal dari fakta bahwa kumpulan reflektif atau teoretis dari manusia menjelaskan sejumlah besar gagasan yang tidak mungkin ditindaki atau diujikan oleh kondisi-kondisi sosial. Akibatnya, manusia dilempar kembali kedalam pikiran-pikiran mereka sendiri sebagai tujuan.
Ketika sekolah dilengkapi dengan laboratorium, toko dan kebun, dimana dramatisasi, permainan dan game digunakan secara bebas, ada kesempatan-kesempatan untuk menghasilkan kembali situasi-situasi kehidupan, dan untuk memperoleh dan mengaplikasikan informasi dan gagasan dalam melakukan pengalaman-pengalaman yang progresif.  Gagasan tidak terpisah-pisah. Gagasan menghidupkan dan memperkaya rangkaian kehidupan.
Tetapi kecenderungan pendukung pendidikan budaya, menganggap bahwa aktifitas-aktifitas tersebut hanyalah memiliki kualitas fisik atau professional, dengan sendirinya adalah produk dari filosofi-filosofi  yang memisahkan pikiran dari arah rangkaian pengalaman dan oleh karena itu dari tindakan dan hal-hal.  
 Ketika semua institusi pendidikan diharapkan untuk memberikan kesempatan kepada siswa untuk memperoleh dan mengujikan gagasan dan informasi dalam usaha-usaha aktif mengkhususkan situasi-situasi sosial yang penting, maka membutuhkan waktu yang lama untuk melengkapi semuanya.  Tetapi keadaan ini tidak memberikan instruktur karena telah menggunakan metode-metode yang memisahkan pengetahuan sekolah. Setiap resitasi dalam mata pelajaran memberikan kesempatan untuk membangun hubungan-hubungan silang antara materi pelajaran dan pengalaman-pengalaman yang semakin luas dan langsung dari kehidupan sehari-hari. Instruksi kelas masuk kedalam tiga jenis.  Jenis yang paling tidak diinginkan memperlakukan setiap pelajaran sebagai keseluruhan yang terpisah dan tidak memberikan tanggung jawab kepada siswa untuk menemukan titik-titik kontak antara dirinya dan pelajaran-pelajaran lain dalam mata pelajaran yang sama, atau bidang-bidang studi lainnya. 
Guru yang bijak melihatnya bahwa siswa secara sistematis menuntun untuk menggunakan pelajaran-pelajaran sebelumnya untuk membantu memahami pelajaraan saat ini, dan juga menggunakan pelajaran saat ini untuk menambahkan    apa yang telah diperoleh.  Hasil-hasilnya lebih baik, tetapi materi sekolah masih terpisah. Jenis paling baik dari mengajar adalah meletakan siswa dalam sikap kebiasan untuk menemukan titik-titik kontak dan saling mendukung.

G.   KESIMPULAN
Proses-proses instruksi menyatu, sejauhmana berpusat pada kebiasaan-kebiasaan berpikir yang baik. Sementara kita berbicara mengenai metode berpikir, hal yang penting adalah bahwa berpikir adalah metode pengalaman edukatif.  Esensi-esensi dari metode oleh karena itu sama dengan esensi-esensi dari refleksi. 
Pertama, siswa memiliki situasi pengalaman yang murni, dimana ada aktifitas berlanjut yang membuatnya tertarik; kedua, bahwa masalah murni berkembang dalam situasi ini sebagai suatu stimulus untuk berpikir; ketiga, bahwa dia memiliki informasi dan membuat observasi-observasi yang dibutuhkan untuk menghadapinya; keempat, bahwa solusi-solusi yang disarankan muncul baginya dimana harus bertanggung jawab untuk mengembangkannya dalam cara yang teratur; kelima, bahwa dia memiliki kesempatan untuk mengujikan gagasan-gagasannya dengan aplikasi, untuk membuat maknanya menjadi jelas dan untuk menemukan validitas dari gagasan-gagasan tersebut untuk dirinya sendiri.

H.   DAFTAR RUJUKAN

Dewey, J. (2001). Democracy and Education. The Pennsylvania State University.
Elfiky, I. (2010). Terapi Berpikir Positif. Bandung: Zaman.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Penguatan Integrasi Pendidikan

PENGUATAN INTEGRASI PENDIDIKAN DALAM ERA DISUPSI Oleh :  Asep Rohiman Lesmana, M.Pd. Pendidikan merupakan suatu entitas yang s...