KETERAMPILAN
BERPIKIR DALAM PERSPEKTIF
PENDIDIKAN
Oleh :
Asep Rohiman Lesmana
A.
PENDAHULUAN
Pikiran adalah kekuatan yang sangat efektif. Tanpanya,
setiap kekuatan hanya besar saja (Hugo dalam Elfiky, 2010). Socrates
mengemukakan bahwa ciri manusia hidup itu adalah berpikir. Manusia dianggap
hidup normal manakala ia menggunakan pikirannya, hal ini sesuai pula dengan
yang diungkapkan Pascal bahwa kemuliaan manusia terletak pada pikirannya. Dalam
al-Khawathir, Syekh Muhammad Mutawalli al-Sya’rawi mengatakan, “pikiran adalah
alat ukur yang digunakan manusia untuk memilih sesuatu yang dinilai lebih baik
dan lebih menjamin masa depan diri dan keluarganya.”
Ketika lahir, manusia itu bersih. Data yang terdapat dalam otaknya
jernih. Ia belum mengerti makna bahasa apa pun. Orangtua mulai mengajaknya
berkomunikasi dengan ekpresi wajah dan gerakan tubuh secara berulang-ulang
sampai si buah hati bisa mengucapkan kata-kata. Sesudah proses itu terlewati,
buah hati sudah dapat berkomunikasi dan merangkai pikirannya sendiri. Rangkaian
berpikir berasal dari file-file yang ada di otak manusia. Salah satu makhluk
hidup yang diberikan akal oleh Alloh SWT yaitu manusia. Jadi, dalam akal
manusia terdapat banyak arsip atu file yang berisi pengetahuan, bahasa, norma,
keyakinan, dan prinsip.
Setiap hari perlu kita berpikir positif. Hal ini sesuai
dengan pendapat Canfield dan Hansen, bahwa manusia setiap harinya menghadapi
lebih dari 60.000 pikiran. Satu-satunya yang dibutuhkan sejumlah besar pikiran
ini adalah pengarahan. Jika arah yang ditentukan bersifat negatif maka sekitar
60.000 pikiran akan keluar dari memori ke arah negatif. Sebaliknya, jika
pengarahannya positif maka sejumlah pikiran yang sama juga akan keluar dari
ruang memori ke arah yang positif.
B.
ESENSI SEBUAH METODE BERPIKIR
secara teoretis, tidak
ada seorang pun yang meragukan, pentingnya memupuk
kebiasaan-kebiasaan berpikir yang baik di sekolah. Tetapi terpisah dari fakta bahwa pengakuan
ini tidak begitu besar dalam prakteknya, tidak seperti dalam teori, tidak ada
pengakuan teoretis yang memadai bahwa apa yang dapat atau perlu dilakukan oleh
sekolah untuk siswa-siswanya adalah mengembangkan kemampuan mereka untuk
berpikir.
Instruksi untuk beragam tujuan seperti perolehan
keterampilan (dalam membaca, menulis, mengeja, menggambar, mengingat);
memperoleh informasi (dalam sejarah dan geografi), dan pelatihan berpikir
adalah suatu ukuran cara yang tidak efektif untuk mencapai ketiga tujuan
tesebut. Berpikir yang tidak berhubungan dengan peningkatan efisiensi dalam
tindakan, dan pembelajaran lebih banyak tentang diri kita sendiri dan dunia
dimana kita tinggal.
Keterampilan yang diperoleh terpisah dari berpikir, tidaklah
berhubungan dengan beberapa pengertian tujuan dimana berpikir itu akan
digunakan. Akibatnya manusia terperangkap dalam kebiasaan-kebiasaan rutin dan
control otoritarif dari orang lain. Karena informasi mensimulasi pengetahuan
dan oleh karena itu mengembangkan kesombongan, informasi menjadi hambatan
paling kuat untuk pertumbuhan lebih lanjut dalam kecerdasan. Jalur langsung
satu-satunya untuk mempertahankan peningkatan dalam metode-metode instruksi dan
pembelajaran adalah berpusat pada kondisi-kondisi yang pasti, meningkatkan dan
mengujikan berpikir.
Berpikir adalah metode pembelajaran cerdas. Kita berbicara
mengenai metode berpikir, tetapi hal penting yang perlu diingat tentang metode
adalah bahwa berpikir itu adalah metode, yaitu metode pengalaman cerdas dalam
rangkaian yang diambilnya.
C.
TAHAP AWAL BERPIKIR
Tahap awal dari pengalaman yang sedang berkembang dan berpikir
adalah pengalaman. Berpikir seringkali dianggap dalam teori filosofis dan
praktek pendidikan sebagai sesuatu yang terpisah dari pengalaman, dan mampu
dikembangkan secara terpisah. Pada faktanya, keterbatasan-keterbatasan yang
melekat dari pengalaman seringkali didorong sebagai dasar yang cukup untuk
memberikan perhatian terhadap berpikir.
Pengalaman kemudian dianggap terbatas pada perasaan dan selera;
sementara berpikir berproses dari kemampuan yang lebih tinggi (nalar), dan
terisi dengn hal-hal spiritual.
Umumnya, kesalahan penting dalam metode-metode instruksi
terletak pada anggapan pengalaman siswa.
Apa yang ditekankan disini adalah pentingnya situasi empiris sebagai
fase untuk memulai berpikir. Pengalaman
disini diambil seperti yang didefinisikan sebelumnya, mencoba untuk melakukan
sesuatu dan melakukan hal-hal secara perseptif. Anggapan yang salah adalah
bahwa kita dapat memulai dengan materi aritmatika, geografi atau apapun yang telah siap, terpisah dari
beberapa pengalaman personal langsung atas suatu situasi. Bahkan teknik-teknik taman kanak-kanak dan
Montessori begitu cemas untuk membeda-bedakan kecerdasan, tanpa “membuang-buang
waktu,” dimana mereka cenderung untuk mengabaikan atau mengurangi penanganan
materi pengalaman yang dikenal, dan memperkenalkan para siswa pada materi yang
mengungkapkan perbedaan-perbedaan kecerdasan yang telah dibuat oleh orang
dewasa.
Langkah pertama dari kontak dengan beberapa materi baru, pada
usia kematangan apapun, harus menjadi jenis trial
dan error. Seseorang sesungguhnya harus mencoba, dalam
kerja atau bermain, untuk melakukan sesuatu dengan materi dalam melakukan
aktifitasnya sendiri, dan kemudian mencatat interaksi dari energinya dan interaksi
dari materi yang digunakan. Ini adalah
yang terjadi ketika seorang anak pertama-tama mulai membangun balok-balok, dan
begitu pula yang terjadi ketika seorang manusia ilmiah dalam laboratoriumnya
mulai bereksperimen dengan objek-objek yang tidak dikenal.
Oleh karena itu pendekatan pertama untuk beberapa mata
pelajaran di sekolah, jika akan dibangkitkan haruslah sedapat mungkin tidak
bersifat skolastik. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan pengalaman atau
situasi empiris, kita harus mengingat jenis situasi yang ada diluar sekolah;
jenis pekerjaan yang menarik dan melibatkan aktifitas dalam kehidupan
sehari-hari. Dan pemeriksaan yang cermat
terhadap metode-metode yang berhasil dalam pendidikan formal, baik itu dalam
aritmatika atau belajar untuk membaca, atau belajar geografi, atau belajar
fisika atau bahasa asing, akan mengungkapkan bahwa metode-metode itu tergantung
pada efisiensinya pada fakta bahwa metode-metode ini kembali ke jenis situasi
yag menyebabkan refleksi diluar sekolah dalam kehidupan sehari-hari. Metode-metode
ini memberikan siswa untuk melakukan sesuatu, bukan sesuatu untuk dipelajari;
dan menuntut pemikiran, atau mencatat hubungan-hubungan; ini mengakibatkan
pembelajaran secara alami.
Situasi harus
membangkitkan pemikiran, artinya bahwa situasi harus memberikan sesuatu untuk
melakukan yang bukan rutinitas, dengan kata lain, menyajikan apa yang baru
(oleh karena itu tidak pasti atau bermasalah) namun cukup berhubungan dengan
kebiasaan-kebiasaan yang telah ada untuk memunculkan respon yang efektif. Respon efektif berarti respon yang mencapai
hasil yang dapat ditanggapi, yang berbeda dari aktifitas murni, dimana
konsekuensi-konsekuensi tidak dapat secara mental berhubungan dengan apa yang
dilakukan. Pertanyaan paling penting yang dapat diajukan tentang beberapa
situasi atau pengalaman yang diajukan untuk menginduksi pembelajaran adalah
apakah kualitas masalah yang dilibatkannya.
Pertama-tama, tampaknya metode-metode sekolah yang biasa
sesuai dengan standar yang dibuat disini.
Pemberian masalah, pengajuan pertanyaan, pemberian tugas, peningkatan
kesulitan, adalah bagian besar dari
tugas sekolah. Namun tidaklah dapat
dielakan untuk membedakan antara masalah murni dan simulasi dengan masalah
tidak nyata.
Pertanyaan-pertanyaan berikut ini mungkin membantu dalam membuat
diskriminasi tersebut. (a) Apakah ada sesuatu selain masalah? Apakah pertanyaan
secara natural muncul sendiri dalam beberapa situasi atau pengalaman pribadi?
Atau apakah masalah hanya untuk tujuan menyampaikan instruksi dalam beberapa
topik sekolah? Apakah ini jenis
percobaan yang akan membangkitkan observasi dan melibatkan eksperimentasi
diluar sekolah? (b) Apakah ini masalah siswa sendiri, atau apakah ini adalah
masalah guru atau textbook, yang
membuat masalah untuk siswa hanya karena dia tidak dapat memperoleh nilai atau
memperoleh persetujuan guru, kecuali jika dia menghadapinya? Secara jelas,
kedua pertanyaan ini memiliki kesamaan.
Keduanya adalah cara-cara untuk sampai pada kesimpulan yang
sama; Apakah pengalaman akan sesuatu yang bersifat personal akan menstimulasi
dan mengarahkan observasi terhadap hubungan-hubungan yang terlibat, dan akan
menuntun pada kesimpulan dan pengujiannya? Atau apakah masalah siswa secara
sederhana memenuhi kebutuhan eksternal? Pertanyaan-pertanyaan tersebut mungkin
memberikan kita jeda dalam memutuskan sejauhmana praktek-praktek terbaru
diadaptasikan untuk mengembangkan kebiasaan-kebiasaan reflektif. Peralatan dan pengaturan fisik dari ruang sekolah
rata-rata bertentangan dengan keberadaan situasi atau pengalaman nyata. Apakah ini sama dengan kondisi-kondisi
kehidupan sehari-hari yang akan menghasilkan kesulitan-kesulitan?
Hampir tidak mungkin untuk terlalu berlebihan menyatakan
kekontrasan antara kondisi-kondisi tersebut dan situasi-situasi kontak aktif
dengan hal-hal dan orang-orang di rumah, di tempat bermain, dalam memenuhi
tanggung jawab sehari-hari dari kehidupan. Tidak ada seorangpun yang pernah
menjelaskan mengapa anak-anak begitu dipenuhi dengan pertanyaan-pertanyaan
diluar sekolah, dan tidak adanya rasa ingin tahu tentang materi
pelajaran-pelajaran sekolah. Refleksi
terhadap kekontrasan yang tajam ini akan mendasari pertanyaan seberapa jauh
kondisi-kondisi sekolah yang umum menyediakan konteks pengalaman dimana masalah-masalah secara
natural muncul sendiri.
Tidak banyak peningkatan dalam teknik personal dari
instruktur yang akan memperbaiki keadaan. Banyak materi sesungguhnya, banyak
barang, banyak peralatan, dan banyak kesempatan untuk melakukan hal-hal,
sebelum celah ini dapat diatasi. Dan
dimana anak-anak terlibat dalam melakukan hal-hal dan dalam mendiskusikan apa
yang muncul dalam serangkaian tindakan mereka, bahkan dengan mode-mode
instruksi yang tidak berbeda, ditemukan bahwa penelitian anak-anak bersifat
spontan dan begitu banyak serta solusi cukup berkembang dan bervariasi.
Sebagai konsekuensi dari tidak terdapatnya materi-materi dan
pekerjaan yang menghasilkan masalah-masalah nyata, masalah-masalah siswa
bukanlah disebabkan oleh dirinya sendiri. Siswa memiliki masalah, tetapi ini
adalah masalah untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan khusus yang dibuat oleh guru. Masalahnya adalah menemukan apa yang
diinginkan guru, apa yang akan memuaskan guru dalam ujian. Hubungan dengan materi tidak lagi bersifat
langsung. Materi berpikir tidak
ditemukan dalam aritmatika atau sejarah geografi itu sendiri, tetapi dalam
mengadaptasikan materi tersebut secara terampil dengan kebutuhan-kebutuhan
guru. Studi-studi siswa adalah kesepakatan dan standar-standar dari sistem
sekolah dan otoritas sekolah, bukan “studi-studi” nominal.
Masalah siswa bukanlah pada bagaimana untuk memenuhi kebutuhan
dari kehidupan sekolah, tetapi bagaimana untuk tampaknya memenuhinya, atau
bagaimana untuk cukup dekat memenuhinya tanpa banyak pertentangan yang tidak
wajar. Jenis penilaian yang dibentuk
oleh alat-alat ini bukanlah penambahan yang diinginkan untuk karakter. Jika
pernyataan-pernyataan ini memberikan terlalu banyak warna pada gambaran
metode-metode sekolah yang biasa, maka pernyataan berikut berfungsi untuk
mengilustrasikan kesimpulan ini: kebutuhan akan usaha-usaha aktif, yang
melibatkan penggunaan materi untuk mencapai tujuan-tujuan, jika akan ada
situasi-situasi yang secara normal menghasilkan masalah-masalah.
D.
METODE PERKEMBANGAN
Harus ada data untuk menyediakan pertimbangan-pertimbangan
yang dibutuhkan untuk berhubungan dengan kesulitan khusus yang muncul
sendiri. Guru-guru yang sedang mengikuti
metode “perkembangan” terkadang memberitahukan anak-anak untuk berpikir hal-hal
untuk diri mereka sendiri seolah-olah mereka dapat mengeluarkannya dari kepala
mereka sendiri. Materi berpikir bukanlah
pikiran, tetapi tindakan, fakta, peristiwa dan hubungan-hubungan hal-hal. Dengan kata lain, untuk berpikir secara
efektif maka kita harus memiliki
pengalaman-pengalaman yang akan memberikannya sumber-sumber untuk menghadapi
kesulitan. Kesulitan adalah stimulus
untuk berpikir, tetapi tidak semua kesulitan mengharuskan berpikir. Terkadang
kesulitan membuat putus asa.
Situasi yang membingungkan harus cukup menyerupai
situasi-situasi yang telah dihadapi sehingga siswa akan memiliki kontrol untuk
mengatasinya. Bagian besar dari seni
instruksi terletak pada kesulitan dari masalah-masalah baru yang cukup besar
untuk menantang berpikir.
Memori, observasi, bacaan, komunikasi, semuanya adalah cara
untuk menyediakan data. Proporsi relatif untuk diperoleh dari masing-masing
cara tersebut adalah masalah ciri-ciri spesifik dari masalah tertentu.
Pikiran yang terlatih dengan baik adalah pikiran yang
memiliki banyak sumber dibelakangnya, dan terbiasa untuk melewati
pengalaman-pengalaman masa lalunya untuk melihat apa yang dihasilkannya. Di sisi lain, kualitas atau hubungan dari
objek yang familiar mungkin sebelumny telah dilewati, dan fakta yang berguna
untuk menghadapi pertanyaan. Dalam hal ini
observasi langsung dibutuhkan. Prinsip yang sama berlaku pada penggunan yang
akan dibuat dari observasi pada satu sisi dan membaca dan “bercerita” pada sisi
lain. Observasi langsung secara natural
lebih hidup dan vital. Tetapi memiliki
keterbatasan-keterbatasan; dan dalam beberapa hal ini adalah bagian penting
dari pendidikan dimana kita harus memperoleh kemampuan untuk menambahkan
kesempitan dari pengalaman-pengalaman personal ini dengan menggunakn
pengalaman-pengalaman orang lain.
Ketergantungan berlebihan pada orang lain untuk data (apakah
diperoleh dari membaca atau menyimak) akan kurang dihargai. Kemungkinan bahwa
orang lain, buku atau guru, akan memberikan solusi-solusi yang telah dibuat,
daripada memberikan materi yang harus diadaptasikan dan diaplikasikan oleh
siswa pada pertanyaan untuk dirinya sendiri.
Tidak ada konsistensi yang mengatakan bahwa di sekolah
biasanya ada terlalu banyak dan terlalu sedikit informasi yang disediakan oleh
orang lain. Akumulasi dan perolehan
informasi untuk tujuan-tujuan reproduksi dalam resitasi dan pemeriksaan dibuat
terlalu banyak. Pengetahuan dalam pengertian informasi, berarti modal kerja,
sumber-sumber yang mutlak diperlukan dari penelitian lebih lanjut untuk
menemukan atau mempelajari lebih banyak hal. Seringkali pengetahuan dianggap
sebagai tujuan itu sendiri, dan kemudian tujuannya adalah memperlihatkannya
ketika diharuskan.
Pengetahuan yang statis merugikan untuk perkembangan
pendidikan. Tidak hanya membuat
peristiwa-peristiwa untuk berpikir menjadi tidak digunakan, tetapi menggenangi
berpikir. “Tidak ada seorangpun dapat membangun
sebuah rumah di atas tanah yang dipenuhi dengan bermacam sampah”. Siswa
yang telah menyimpan “pikiran” mereka dengan semua jenis materi yang tidak
pernah mereka gunakan untuk intektual pastinya akan terhambat ketika mereka
mencoba untuk berpikir. Mereka tidak
berlatih untuk memilih apa yang tepat; semuanya berada pada tingkat statis yang
mati.
E.
KORELASI DALAM BERPIKIR
Korelasi dalam berpikir mengenai fakta, data, pengetahuan
yang telah diperoleh adalah kesimpulan, makna, dugaan, penjelasan sementara:
singkatnya, gagasan. Pengamatan yang
cermat dan pengumpulan kembali menentukan apa yang diberikan, apa yang telah
ada disana. Tetapi tidak dapat
melengkapi apa yang kurang, namun menentukan, mengklarifikasikan dan
melokasikan pertanyaan; tidak dapat menyediakan jawabannya. Proyeksi, invensi, kecerdikan digunakan untuk
mencapai tujuan tersebut. Data
memunculkan pernyataan, dan hanya dengan mengacu pada data tertentu maka kita
akan memperoleh pernyataan.
Dalam pengertian ini, berpikir adalah suatu kreatifitas yang
melibatkan beberapa kemampuan untuk menemukan. Ketika Newton berpikir mengenai teori
gravitasi, aspek kreatif dari
pemikirannya tidak ditemukan dalam materi-materinya. Materi-materi itu familiar; banyak darinya
adalah hal-hal yang biasa, seperti matahari, bulan, planet, berat, jarak,
massa, kuadrat angka. Ini bukanlan
gagasan orisinil; namun merupakan fakta-fakta yang dibangun. Hal yang sama terjadi pada setiap penemuan
ilmiah yang menonjol, setiap penemuan besar, setiap produksi seni yang
mengagumkan.
Kesimpulan pendidikan berikutnya adalah bahwa semua jenis
berpikir itu adalah orisinil dalam pertimbangan-pertimbangan yang belum
dipahami sebelumnya. Seorang anak
berusia tiga tahun yang menemukan bahwa apa yang dapat dilakukan dengan
balok-balok, atau anak berusia enam tahun yang mengetahui apa yang dapat
dibuatnya dengan meletakan uang lima sen dan lima sen bersama-sama, benar-benar
seorang penemu, walaupun semua orang di dunia mengetahuinya. Ada penambahan pengalaman; bukan item lainnya
yang secara mekanis ditambahkan, tetapi pengayaan oleh kualitas baru. Spontanitas yang dihasilkan oleh anak-anak
kecil disebabkan oleh persepsi dari orisinal kecerdasan ini. Kesenangan yang dialami oleh anak-anak itu
sendiri adalah kesenangan dari kemampuan membangun intelektual, yaitu
kekreatifan, jika kata-kata mungkin digunakan tanpa kesalahpahaman. Namun, moral pendidikan yang Saya
pertimbangkan bukanlah bahwa guru akan menemukan kerja mereka sendiri menjadi
tidak terlalu berat jika kondisi-kondisi sekolah mendukung pembelajaran dalam
pengertian discovery dan bukan dalam pengertian membuang apa yang dituangkan
oleh orang lain kepada mereka; juga tidaklah mungkin untuk memberikan anak-anak
dan remaja dengan kesenangan-kesenangan kemampuan memproduksi kecerdasan
personal. Tidak ada pemikiran, tidak ada
gagasan yang mungkin disampaikan sebagai suatu gagasan dari satu orang ke orang
lain.
Komunikasi mungkin menstimulasi orang lain untuk menyadari
pertanyaan untuk dirinya sendiri dan untuk berpikir menyerupai gagasan, atau
mungkin membuat ketertarikan intelektualnya dan menekan usahanya untuk
berpikir. Tetapi apa yang secara langsung diperolehnya mungkin bukanlah
gagasan. Hanya dengan bergelut dengan kondisi-kondisi dari masalah, dengan
mencari dan menemukan caranya sendiri, maka dia berpikir. Ketika orangtua atau guru telah memberikan
kondisi-kondisi yang menstimulasi berpikir dan telah mengambil sikap
simpatis terhadap aktifitas-aktifitas
siswa masuk kedalam pengalaman yang umum, maka ini dapat membangkitkan
pembelajaran. Jika dia tidak dapat
membuat solusinya sendiri tetapi dalam hubungannya dengan guru dan siswa lain
dan menemukan jalannya sendiri untuk
keluar maka dia tidak akan belajar.
Ini tidak berarti bahwa guru hanya menjadi penonton;
alternatif untuk melengkapi materi yang telah tersedia dan mendengarkan
keakuratan yang dihasilkan kembali bukanlah dengan kepasifan atau diam, tetapi
dengan partisipasi, berbagi dalam suatu
aktifitas. Dalam aktifitas bersama ini,
guru adalah siswa dan siswa tanpa mengetahuinya, adalah guru, dan secara
keseluruhan, semakin tidak sering memberikan atau menerima instruksi, maka proses
pembelajaran lebih baik.
F.
MEMBANGUN GAGASAN
Gagasan seperti yang kita lihat baik itu berupa tebakan atau
teori, adalah antisipasi dari solusi. Gagasan adalah antisipasi dari beberapa
kontinuitas atau hubungan suatu aktifitas dan konsekuensi yang belum terlihat
sendiri. Oleh karena itu diujikan dengan operasi. Gagasan menuntun dan mengatur
observasi, pengumpulan kembali dan
eksperimen yang lebih jauh. Gagasan adalah intermediet dalam pembelajaran.
Ketika perlunya aplikasi gagasan yang diperoleh dalam studi
diakui oleh semua metode yang lebih sukses dari instruksi, penggunaan aplikasi
terkadang dianggap sebagai alat untuk menetapkan apa yang telah dipelajari dan
untuk memperoleh keterampilan praktek yang lebih besar. Tetapi praktek dalam
menerapkan apa yang telah diperoleh dalam studi terutama harus memiliki
kualitas intelektual.
Berpikir adalah indikasi. Berpikir adalah titik pandang dan
metode untuk menghadapi situasi-situasi pengalaman. Hingga berpikir diterapkan
dalam situasi-situasi ini, maka berpikir merupakan realitas penuh. Hanya
aplikasi yang mengujikannya, dan hanya pengujian yang memberikan makna penuh
dan pemahaman akan realitasnya. Mungkin secara serius dipertanyakan apakah
filosofi-filosofi yang memisahkan pikiran dan membuatnya melawan dunia tidak
berasal dari fakta bahwa kumpulan reflektif atau teoretis dari manusia
menjelaskan sejumlah besar gagasan yang tidak mungkin ditindaki atau diujikan
oleh kondisi-kondisi sosial. Akibatnya, manusia dilempar kembali kedalam
pikiran-pikiran mereka sendiri sebagai tujuan.
Ketika sekolah dilengkapi dengan laboratorium, toko dan
kebun, dimana dramatisasi, permainan dan game
digunakan secara bebas, ada kesempatan-kesempatan untuk menghasilkan kembali
situasi-situasi kehidupan, dan untuk memperoleh dan mengaplikasikan informasi
dan gagasan dalam melakukan pengalaman-pengalaman yang progresif. Gagasan tidak terpisah-pisah. Gagasan
menghidupkan dan memperkaya rangkaian kehidupan.
Tetapi kecenderungan pendukung pendidikan budaya, menganggap
bahwa aktifitas-aktifitas tersebut hanyalah memiliki kualitas fisik atau
professional, dengan sendirinya adalah produk dari filosofi-filosofi yang memisahkan pikiran dari arah rangkaian
pengalaman dan oleh karena itu dari tindakan dan hal-hal.
Ketika semua
institusi pendidikan diharapkan untuk memberikan kesempatan kepada siswa untuk
memperoleh dan mengujikan gagasan dan informasi dalam usaha-usaha aktif
mengkhususkan situasi-situasi sosial yang penting, maka membutuhkan waktu yang
lama untuk melengkapi semuanya. Tetapi
keadaan ini tidak memberikan instruktur karena telah menggunakan metode-metode
yang memisahkan pengetahuan sekolah. Setiap resitasi dalam mata pelajaran
memberikan kesempatan untuk membangun hubungan-hubungan silang antara materi
pelajaran dan pengalaman-pengalaman yang semakin luas dan langsung dari
kehidupan sehari-hari. Instruksi kelas masuk kedalam tiga jenis. Jenis yang paling tidak diinginkan
memperlakukan setiap pelajaran sebagai keseluruhan yang terpisah dan tidak memberikan
tanggung jawab kepada siswa untuk menemukan titik-titik kontak antara dirinya
dan pelajaran-pelajaran lain dalam mata pelajaran yang sama, atau bidang-bidang
studi lainnya.
Guru yang bijak melihatnya bahwa siswa secara sistematis
menuntun untuk menggunakan pelajaran-pelajaran sebelumnya untuk membantu
memahami pelajaraan saat ini, dan juga menggunakan pelajaran saat ini untuk
menambahkan apa yang telah
diperoleh. Hasil-hasilnya lebih baik,
tetapi materi sekolah masih terpisah. Jenis paling baik dari mengajar adalah
meletakan siswa dalam sikap kebiasan untuk menemukan titik-titik kontak dan
saling mendukung.
G.
KESIMPULAN
Proses-proses instruksi menyatu, sejauhmana berpusat pada kebiasaan-kebiasaan
berpikir yang baik. Sementara kita berbicara mengenai metode berpikir, hal yang
penting adalah bahwa berpikir adalah metode pengalaman edukatif. Esensi-esensi dari metode oleh karena itu
sama dengan esensi-esensi dari refleksi.
Pertama, siswa memiliki situasi pengalaman yang murni,
dimana ada aktifitas berlanjut yang membuatnya tertarik; kedua, bahwa masalah
murni berkembang dalam situasi ini sebagai suatu stimulus untuk berpikir;
ketiga, bahwa dia memiliki informasi dan membuat observasi-observasi yang
dibutuhkan untuk menghadapinya; keempat, bahwa solusi-solusi yang disarankan
muncul baginya dimana harus bertanggung jawab untuk mengembangkannya dalam cara
yang teratur; kelima, bahwa dia memiliki kesempatan untuk mengujikan
gagasan-gagasannya dengan aplikasi, untuk membuat maknanya menjadi jelas dan untuk
menemukan validitas dari gagasan-gagasan tersebut untuk dirinya sendiri.
H.
DAFTAR RUJUKAN
Dewey,
J. (2001). Democracy and Education.
The Pennsylvania State University.
Elfiky,
I. (2010). Terapi Berpikir Positif.
Bandung: Zaman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar