KONSEP DASAR KEMANDIRIAN PADA REMAJA
Oleh :
Asep Rohiman Lesmana
imanlesmana382@gmail.com
A. Kemandirian
sebagai Isu Perkembangan pada Remaja
Perkembangan kemandirian (autonomy) pada remaja merupakan salah satu isu yang sama penting
dan menariknya untuk dikaji secara serius dengan isu perkembangan identitas. Pentingnya
kajian secara serius terhadap isu perkembangan kemandirian pada remaja
didasarkan kepada pertimbangan bahwa bagi remaja, pencapaian kemandirian
merupakan dasar untuk menjadi orang dewasa yang sempurna. Kemandirian dapat mendasari
orang dewasa dalam menentukan sikap, mengambil keputusan dengan tepat, serta
keajegan dalam menentukan dan melakukan prinsip-prinsip kebenaran dan kebaikan. Gambaran pentingnya kemandirian
dimiliki oleh remaja tampak pada komitmen profesi bimbingan dan konseling yang
menyatakan bahwa bimbingan dan konseling
yang diharapkan terjadi pada jalur pendidikan formal adalah bimbingan dan konseling yang
memandirikan (Ditjen PMPTK, 2007)..
Kajian terhadap isu perkembangan kemandirian pada remaja
akan sangat menarik karena fenomena perkembangan kemandirian di masyarakat,
terutama kultur masyarakat timur seperti Indonesia , sering disalahtafsirkan.
Misalnya, perilaku kemandirian terkadang ditafsirkan sebagai pemberontakan (rebellion) karena pada kenyataannya
remaja yang memulai mengembangkan kemandirian sering kali diawali dengan
memunculkan perilaku yang tidak sesuai dengan aturan keluarga (Steinberg, 1995
: 286). Akibatnya orang tua kurang toleran terhadap proses perolehan
kemandirian yang dilakukan remaja. Tetapi dalam situasi lain orang tua ternyata
menginginkan remaja memiliki kemandirian, bahkan mereka berharap saat dewasa nanti
tidak lagi bergantung kepada orang tua. Inferensi dari salah satu fenomena
perkembangan kemandirian ini adalah
bahwa tidak sedikit orang tua yang belum memahami kemandirian. Apa sesungguhnya
kemandirian itu? Bagaimana kemandirian berkembang? Bagaimana remaja memperoleh
kemamndirian? Jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan tersebut dipaparkan pada bagian berikut ini.
B. Konsep
Kemandirian
Dalam teori kemandirian yang dikembangkan Steinberg
(1995) istilah independence dan autonomy sering disejajarartikan
secara silih berganti (interchangeable) sesuai dengan konsep kedua
istilah tersebut. Meski secara umum kedua istilah tersebut memiliki arti yang
sama yakni kemandirian, tetapi sesungguhnya secara konseptual kedua istilah
tersebut berbeda. Secara leksikal independence berarti kemerdekaan atau
kebebasan (Kamus Inggris-Indonesia). Secara konseptual independence
mengacu kepada kapasitas individu untuk memperlakukan diri sendiri. Steinberg
(1995 : 286) menyatakannya independence generally refers to individuals’
capacity to behave on their own.
Berdasarkan konsep independence ini Steinberg (1995) menjelaskan
bahwa anak yang sudah mencapai independence ia mampu menjalankan atau
melakukan sendiri aktivitas hidup terlepas dari pengaruh kontrol orang lain
terutama orang tua. Misalnya, ketika anak ingin buang air kecil ia langsung
pergi ke toilet, tidak merengek-rengek meminta dibantu buka celana atau minta
dicarikan tempat kencing. Kemandirian yang mengarah kepada konsep independence
ini merupakan bagian dari perkembangan autonomy selama masa remaja,
hanya saja autonomy mencakup dimensi emosional, behavioral, dan nilai.
Steinberg (1995 : 286) menegaskan the growth of independence is surely a
part of becoming autonomous during adolescence.
Hanna Widjaja (1986), mengemukakan tiga istilah yang
bersepadanan untuk menunjukkan kemampuan berdikari anak, yaitu autonomy,
kompetensi, dan kemandirian. Menurutnya, kompetensi berarti kemampuan untuk bersaing dengan
individu-individu lain yang normal. Kompetensi juga menunjuk pada suatu taraf
mental yang cukup pada individu untuk memikul tanggung jawab atas
tindakan-tindakannya. Istilah autonomy
seringkali disamaartikan dengan kemandirian, sehingga didefinisikan
bahwa individu yang otonom ialah individu yang mandiri, tidak mengandalkan
bantuan atau dukungan orang lain yang kompeten, dan bebas bertindak. Padahal
dalam perspektif Hanna Widjaja (1986) autonomy dan kemandirian adalah dua konsep yang berbeda. Menurutnya,
kemandirian menunjuk pada adanya kepercayaan akan kemampuan diri untuk menyelesaikan persoalan-persoalan
tanpa bantuan khusus dari orang lain, keengganan untuk dikontrol orang lain,
dapat melakukan sendiri kegiatan-kegiatan, dan menyelesaikan sendiri
masalah-masalah yang dihadapi.
Dalam pandangan Lerner (1976),
konsep kemandirian (autonomy)
mencakup kebebasan untuk bertindak, tidan tergantung kepada orang lain,
tidak terpengaruh lingkugan dan bebas mengatur kebutuhan sendiri. Konsep kemandirian ini hampir senada dengan yang diajukan Watson dan
Lindgren (1973) yang menyatakan bahwa kemandirian (autonomy) ialah
kebebasan untuk mengambil inisiatif, mengatasi hambatan, gigih dalam usaha, dan
melakukan sendiri segala sesuatu tanpa bantuan orang lain.
Dengan menggunakan istilah autonomy, Steinberg (1995 : 285) mengkonsepsikan kemandirian
sebagai self governing person, yakni
kemampuan menguasai diri sendiri.
Jika konsep-konsep di atas dicermati, maka konsep
kemandirian adalah kemampuan untuk menguasai, mengatur, atau mengelola diri
sendiri. Remaja yang memiliki kemandirian ditandai oleh kemampuannya untuk
tidak tergantung secara emosional terhadap orang lain terutama orang tua, mampu mengambil keputusan secara mandiri dan
konsekuen terhadap keputusan tersebut, serta
kemampuan menggunakan (memiliki) seperangkat prinsip tentang benar dan
salah serta penting dan tidak penting (Steinberg, 1995). Kemampuannya untuk tidak tergantung secara
emosional terhadap orang lain terutama orang tua disebut kemandirian emosional
(emotional autonomy), kemampuan
mengambil keputusan secara mandiri dan konsekuen terhadap keputusan tersebut
disebut kemandirian behavioral (behavioral autonomy), serta kemampuan untuk memaknai seperangkat prinsip
tentang benar dan salah serta penting dan tidak penting disebut kemandirian
nilai (values autonomy).
C. Perkembangan Kemandirian pada Remaja
Kemandirian (autonomy) merupakan salah satu tugas
perkembangan yang fundamental pada tahun-tahun perkembangan masa remaja.
Steinberg (1995 : 286) menegaskan becoming an autonomous person – a self
governing person – is one of the fundamental development tasks of the
adolescent years. Disebut fundamental karena pencapaian kemandirian pada
remaja sangat penting artinya dalam kerangka menjadi individu dewasa. Bahkan
pentingnya kemandirian diperoleh individu pada masa remaja sama dengan
pentingnya pencapaian identitas diri oleh mereka. Steinberg (1993 : 286)
menegaskan for most adolescents,
establishing a sense of autonomy is as important a part of becoming an adult as
is establishing a sense of identity.
Oleh karena itu mereka begitu gigih dalam memperjuangkan kemandirian.
Fasick (Rice, 1996 : 336) membahasakan perjuangan akan kemandirian mereka
dengan ungkapan one …… of every adolescent is to be accepted as an autonomous adult.
Sesungguhnya tidak mudah bagi remaja dalam
memperjuangkan kemandiriannya. Kesulitannya terletak pada upaya pemutusan
ikatan infantile yang telah berkembang dan dinikmati dengan penuh rasa nyaman
selama masa kanak-kanak. Bahkan pemutusan ikatan infantile itu seringkali
menimbulkan reaksi yang sulit dipahami (misunderstood) bagi kedua belah
pihak --- remaja dan orang tua (Rice, 1996). Terkadang remaja sering kali
kesulitan dalam memutuskan simpul-simpul ikatan emosional kekanak-kanakannya secara logis dan
objektif. Dalam upayanya itu mereka
kadang-kadang harus menentang keinginan dan aturan orang tua. Orang tua
terkadang mempersepsi upaya pemutusan simpul-simpul ikatan infantil yang
dilakukan remaja sebagai pemberontakan atau peminggatan. Sekaitan dengan kesulitan remaja – orang
tua dalam memutuskan ikatan infantile
dalam kerangka pencapaian kemandiriannya Steinberg (1995 : 286) menyatakan autonomy
is often confused with rebellion, and becoming an independent person is often equated with breaking away from the family.
Dalam analisis Steinberg (1995 : 290) jika remaja,
terutama remaja awal, mampu memutuskan simpul-simpul ikatan infantile maka ia
akan melakukan separasi, yakni pemisahan diri dari keluarga. Keberhasilan dalam
melakukan separasi inilah yang merupakan dasar bagi pencapaian kemandirian
terutama kemandirian yang bersifat independence. Dengan kata lain
kemandirian yang pertama muncul pada diri individu adalah kemandirian yang
bersifat independence, yakni lepasnya ikatan-ikatan emosional infantile
individu sehingga ia dapat menentukan sesuatu tanpa harus selalu ada dukungan
emosional dari orang tua. Oleh karena itu pada masa remaja ada suatu pergerakan
kemandirian yang dinamis dari ketidakmandirian individu pada masa
kanak-kanak menuju kemandirian yang
lebih bersifat autonomy pada masa dewasa. Steinberg (1995 : 286)
menyatakan during adolescence, there is a movement away from the dependency
typical of childhood toward the autonomy typical of adulthood.
Kemandirian emosional berkembang lebih awal dan menjadi
dasar bagi perkembangan kemandirian behavioral dan nilai. Sembari individu
mengembangkan secara lebih matang kemandirian emosionalnya, secara perlahan ia
mengembangkan kemandirian behavioralnya. Perkembangan kemandirian emosional dan
behavioral tersebut menjadi dasar bagi perkembangan kemandirian nilai. Oleh
karena itu, pada diri individu kemandirian nilai berkembang lebih akhir
dibanding kemandirian emosional dan behavioral.
D. Tipe-tipe Kemandirian pada Remaja
Steinberg (1995 : 289) membagi kemandirian dalam tiga tipe, yaitu kemandirian emosional (emotional autonomy), kemandirian behavioral (behavioral autonomy), dan kemandirian nilai (values autonomy). Kemandirian emosional (emotional autonomy) pada remaja ialah dimensi kemandirian yang berhubungan dengan perubahan keterikatan hubungan emosional remaja dengan orang lain, terutama dengan orang tua. Oleh karena itu kemandirian emosional didefinisikan sebagai kemampuan remaja untuk tidak tergantung terhadap dukungan emosional orang lain, terutama orang tua. Kemandirian behavioral (behavioral autonomy) pada remaja ialah dimensi kemandirian yang merujuk kepada kemampuan remaja membuat keputusan secara bebas dan konsekuen atas keputusannya itu. Kemandirian nilai (values autonomy) pada remaja ialah dimensi kemandirian yang merujuk kepada kemampuan untuk memaknai seperangkat prinsip tentang benar dan salah, serta penting dan tidak penting.
1. Kemandirian Emosional (Emotional
Autonomy)
Pemudaran
ikatan emosional anak dengan orang tua pada masa remaja terjadi dengan sangat
cepat. Percepatan pemudaran hubungan itu terjadi seiring dengan semakin
mandirinya remaja dalam mengurus diri sendiri. Dalam analisis Berk (1994)
konsekuensi dari semakin mampunya remaja mengurus dirinya sendiri maka waktu
yang diluangkan orang tua terhadap anak semakin berkurang dengan sangat tajam.
Proses ini sedikit besarnya memberikan peluang bagi remaja untuk mengembangkan
kemandiriannya terutama kemandirian emosional.
Proses
psikososial lainnya yang mendorong
remaja mengembangkan kemandirian emosional adalah perubahan pengungkapan
kasih sayang, meningkatnya pendistribusian kewenangan dan tanggung jawab, dan
menurunnya interaksi verbal dan kesempatan perjumpaan bersama antara remaja dan
orang tua, di satu pihak dan semakin larutnya remaja dalam pola-pola hubungan
teman sebaya untuk menyelami hubungan dunia kehidupan yang baru di luar
keluarga di pihak lain. Kedua pihak ini lambat laun akan mengendorkan simpul-simpul
ikatan emosional infantil anak dengan orang tua (Steinberg, 1995 : 290).
Menjelang akhir masa remaja ketergantungan emosional remaja terhadap orang tua
menjadi semakin jauh berkurang menyusul semakin memuncaknya kemandirian
emosional mereka, meskipun ikatan emosional remaja terhadap orang tua
sesungguhnya tidak mungkin dapat diputuskan secara sempurna (Rice, 1996). Perlu
dipahami pula bahwa munculnya kemandirian emosional pada remaja bukan berarti
pemberontakan mereka terhadap keluarga,
terutama orang tua atau pelepasan
hubungan orang tua anak. Oleh karena itu Steinberg (1995 : 190) dengan merujuk
kepada penelitian Collins (1990), Hill and Holmbeck (1986), dan Steinberg
(1990) menegaskan adolescents can become emotionally autonomous from their parents
without becoming detached from them.
Beberapa
hasil studi terkini menunjukkan bahwa perkembangan kemandirian emosional
terjadi pada rentang waktu yang cukup lama. Perkembangannya dimulai pada awal
masa remaja (early in adolescence)
dan dilanjutkan secara lebih sempurna pada masa dewasa awal (young adulthood)
(Steinberg, 1995 : 291). Menurut Silverberg dan Steinberg (Steinberg, 1995
:291) ada empat aspek kemandirian emosional, yaitu (1) sejauh mana remaja mampu melakukan de-idealized
terhadap orang tua, (2) sejauh mana
remaja mampu memandang orang tua sebagai orang dewasa umumnya (parents as
people), (3) sejauh mana remaja tergantung kepada kemampuannya sendiri
tanpa mengharapkan bantuan emosional orang lain (non dependency), dan (4) sejauh mana remaja mampu melakukan
individualisasi di dalam hubungannya dengan orang tua.
Aspek
pertama dari kemandirian emosional adalah de-idealized, yakni kemampuan
remaja untuk tidak mengidealkan orang tuanya. Perilaku yang dapat dilihat ialah
remaja memandang orang tua tidak selamanya tahu, benar, dan memiliki kekuasaan,
sehingga pada saat menentukan sesuatu maka mereka tidak lagi bergantung kepada
dukungan emosional orang tuanya. Menurut penelitian yang dilakukan Smollar dan
Younis tahun 1985 (Steinberg, 1995 : 292) tidak mudah bagi remaja untuk
melakukan de-idealized. Bayangan masa kecil anak tentang kehebatan orang
tua tidak mudah untuk dilecehkan atau dikritik.
Kesulitan untuk melakukan de-idealized remaja terbukti dari hasil
riset yang dilakukan Steinberg (1995 : 193)
yang menemukan bahwa masih banyak remaja awal yang sudah mandiri secara
emosional. Mereka masih menganggap orang tua selamanya tahu, benar, dan
berkuasa atas dirinya. Mereka terkadang sulit sekedar untuk menerima pandangan
bahwa orang tua terkadang melakukan kesalahan.
Aspek
kedua dari kemandirian emosional adalah pandangan tentang parents as people,
yakni kemampuan remaja dalam
memandang orang tua sebagaimana orang lain pada umumnya. Perilaku yang
dapat dilihat ialah remaja melihat orang tua sebagai individu selain sebagai
orang tuanya dan berinteraksi dengan orang tua tidak hanya dalam hubungan orang
tua-anak tetapi juga dalam hubungan antar individu. Menurut Steinberg (1995 :
291) remaja pada tingkat SMA tampak mengalami kesulitan dalam memandang orang
tua sebagaimana orang lain pada umumnya. Dalam analisisnya aspek kemandirian
emosional ini sulit berkembang dengan baik pada masa-masa remaja, mungkin bisa
sampai dewasa muda.
Aspek
ketiga dari kemandirian emosional adalah nondependency, yakni suatu
derajat di mana remaja tergantung kepada dirinya sendiri dari pada kepada orang
tuanya untuk suatu bantuan. Perilaku yang dapat dilihat ialah mampu menunda
keinginan untuk segera menumpahkan perasaan kepada orang lain, mampu menunda
keinginan untuk meminta dukungan emosional kepada orang tua atau orang dewasa
lain ketika menghadapi masalah.
Aspek keempat dari kemandirian emosional pada remaja adalah mereka memiliki derajat individuasi dalam hubungan dengan orang tua (individuated). Individuasi berarti berperilaku lebih bertanggung jawab. Perilaku individuasi yang dapat dilihat ialah mampu melihat perbedaan antara pandangan orang tua dengan pandangannya sendiri tentang dirinya, menunjukkan perilaku yang lebih bertanggung jawab. Contoh perilaku remaja yang memiliki derajat individuasi di antaranya mereka mengelola uang jajan dengan cara menabung tanpa sepengetahuan orang tua. Collins dan Smatana (Steinberg, 1995 : 293) berkeyakinan bahwa perkembangan individuasi ke tingkat yang lebih tinggi didorong oleh perkembangan kognisi sosial mereka. Kognisi sosial remaja yang dimaksud merujuk pada pemikiran mereka tentang diri mereka dan hubungannya dengan orang lain. Misalnya, remaja berpandangan “Teman saya berpendapat bahwa saya adalah seorang gadis baik, maka saya harus menjadi gadis yang baik”.
Kemandirian perilaku (behavioral autonomy) merupakan kapasitas individu dalam menentukan
pilihan dan mengambil keputusan. Remaja
yang memiliki kemandirian perilaku (behavioral autonomy) bebas dari
pengaruh pihak lain dalam menentukan pilihan dan keputusan. Tetapi bukan
berarti mereka tidak perlu pendapat orang lain. Bagi remaja yang memiliki
kemandirian behavioral memadai, pendapat/nasehat orang lain yang sesuai
dijadikan sebagai dasar pengembangan alternatif pilihan untuk dipertimbangkan
dalam pengambilan keputusan. Melalui pertimbangan diri sendiri dan sugesti orang lain ia
mengambil suatu keputusan yang mandiri bagaimana seharusnya
berperilaku/bertindak (Hill dan Holmbeck dalam Steinberg, 1992 : 296).
Kemandirian perilaku, khususnya kemampuan mandiri secara
fisik sesungguhnya sudah berkembang sejak
usia anak (Hanna Widjaja, 1986) dan meningkat dengan sangat tajam pada
usia remaja. Peningkatannya itu bahkan lebih pesat dari pada peningkatan
kemandirian emosional. Ini bisa terjadi karena didukung oleh perkembangan
kognitif mereka yang semakin berkualitas. Dengan perkembangan kognitif seperti
ini remaja semakin mampu memandang ke depan, memperhitungkan risiko-risiko dan
kemungkinan hasil-hasil dari alternatif pilihan mereka, dan mampu memandang
bahwa nasehat seseorang bisa tercemar/ternoda oleh kepenringan-kepentingan
dirinya sendiri (Steinberg, 1993).
Menurut Steinberg (1993 : 296) ada tiga domain kemandirian
perilaku (behavioral autonomy) yang berkembang pada masa remaja. Pertama,
mereka memiliki kemampuan mengambil keputusan yang ditandai oleh (a) menyadari
adanya resiko dari tingkah lakunya, (b) memilih alternatif pemecahan masalah
didasarkan atas pertimbangan sendiri dan orang lain dan (c) bertanggung jawab
atas konsekuensi dari keputusan yang diambilnya. Kedua, mereka memiliki kekuatan terhadap pengaruh
pihak lain yang ditandai oleh (a) tidak mudah terpengaruh dalam situasi yang
menuntut konformitas, (b) tidak mudah terpengaruh tekanan teman sebaya dan orang tua dalam
mengambil keputusan, dan (c) memasuki
kelompok sosial tanpa tekanan. Ketiga, mereka memiliki rasa percaya diri
(self reliance) yang ditandai oleh
(a) merasa mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari di rumah dan di sekolah,
(b) merasa mampu memenuhi tanggung jawab di rumah dan di sekolah, (c) merasa mampu mengatasi sendiri
masalahnya, (d) berani mengemukakan ide atau gagasan.
3. Kemandirian Nilai (Values
Autonomy)
Kemandirian nilai
(values autonomy) merupakan proses yang paling kompleks, tidak
jelas bagaimana proses berlangsung dan pencapaiannya, terjadi melalui proses
internalisasi yang pada lazimnya tidak disadari, umumnya berkembang paling
kahir dan paling sulit dicapai secara sempurna dibanding kedua tipe kemandirian lainnya. Kemandirian
nilai (values autonomy) yang
dimaksud adalah kemampuan individu menolak tekanan untuk mengikuti tuntutan
orang lain tentang keyakinan (belief) dalam bidang nilai.
Menurut Rest (Steinberg, 1995 : 307) kemandirian nilai
berkembang selama masa remaja khususnya tahun-tahun remaja akhir.
Perkembangannya didukung oleh kemandirian emosional dan kemandirian perilaku
yang memadai. Menurut Steinberg (1993), dalam perkembangan kemandirian nilai,
terdapat tiga perubahan yang teramati pada masa remaja. Pertama,
keyakinan akan nilai-nilai semakin abstrak (abstract belief). Perilaku
yang dapat dilihat ialah remaja mampu menimbang berbagai kemungkinan dalam
bidang nilai. Misalnya, remaja mempertimbangkan berbagai kemungkinan yang akan
terjadi pada saat mengambil keputusan yang bernilai moral. Kedua, keyakinan akan nilai-nilai
semakin mengarah kepada yang bersifat prisip (principled belief).
Perilaku yang dapat dilihat ialah (a) berpikir dan (b) bertindak sesuai dengan
prinsip yang dapat dipertanggungjawabkan dalam bidang nilai. Ketiga,
keyakinan akan niali-nilai semakin terbentuk dalam diri remaja sendiri dan
bukan hanya dalam sistem nilai yang diberikan oleh orang tuanya atau orang
dewasa lainnya (independent belief). Perilaku yang dapat dilihat ialah
(a) remaja mulai mengevaluasi kembali keyakinan dan nilai-nilai yang
diterimanya dari orang lain, (b)
berpikir sesuai dengan keyakinan dan nilainya sendiri, dan (c)
bertingkah laku sesuai dengan keyakinan dan nilainya sendiri. Misalnya remaja
menggali kembali nilai-nilai yang selama ini diyakini kebenarannya. Upaya remaja ini hakekatnya merupakan proses
evaluasi akan nilai-nilai yang diterimanya dari orang lain.
Sebagian besar perkembangan kemandirian nilai dapat
ditelusuri pada karakteristik perubahan kognitif. Dengan meningkatnya kemampuan
rasional dan makin berkembangnya kemampuan berpikir hipotetis remaja, maka
timbul minat-minat remaja pada bidang-bidang ideologi dan filosofi dan cara mereka melihat persoalan-persoalan
semakin mendetail. Oleh karena proses itu maka perkembangan kemandirian nilai
membawa perubahan-perubahan pada konsepsi-konsepsi remaja tentang moral,
politik, ideologi, dan persoalan-persoalan agama (Steinberg, 1993 : 303).
Secara sekuensial perkembangan kemandirian nilai
mempersyaratkan perkembangan kemandirian emosional (emotional autonomy)
dan kemandirian perilaku (behavioral autonomy). Steinberg (1995 : 304)
menyatakan the growth of value autonomy is encouraged by the
development of emotional and behavioral development as well. Kemandirian emosional membekali remaja dengan kemampuan untuk
melihat pandangan orang tua mereka secara lebih objektif sedangkan kemandirian perilaku dapat menjadi
bekal bagi remaja dalam upayanya mencari kejelasan dari nilai-nilai yang telah
ditanamkan kepadanya (Steinberg, 1995). Oleh karena itu perkembangan
kemandirian nilai berlangsung belakangan, umumnya pada masa remaja akhir atau dewasa muda. Remaja akhir merupakan
kesempatan bagi remaja untuk melakukan koreksi-koreksi, penegasan kembali, dan
menilai ulang terhadap keyakinan-keyakinan dan nilai-nilai yang mereka warisi
sejak masih berada dalam ketergantungan masa kanak-kanaknya pada orang tua
(Adelson, 1980; Steinberg, 1993, Berk, 1994).
Daftar Pustaka
Adelson, Joseph.
(1980). Hand Book of Adolescent Psychology. New York : John Wiley & Son, Inc.
Badudu, J.S. (1976). Bahasa Indonesia: Dalam Pembinaan
TVRI. Bandung :
CV Pustaka Prima
Barandiaran, X. (1996). Adaptive Behaviour,
Autonomy, and Value Systems.
citeseer . nj . nec . com/barandiaran adaptive . html.
Bertens. K. (2001).
Etika. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Cobb, Nancy J. (1992). Adolescence : Continuity,
Changes, and Diversity, Mayfield Publishing Company : Los Angeles .
Hanna, K.M., and Guthrie, D. (2003). Adolescents’
Behavioral Autonomy Related to Diabetes Management and Adolescent
Activities/Rules. Indiana University School of Nursing USA . Kathanna@iupui.edu.
Hanna Wijaya. (1986). Hubungan antara Asuhan Anak dan Ketergantungan-Kemandirian.
(Disertasi). Bandung : Universitas Padjadjaran.
Lerner, Richard & Hultch, David. (1983). Human
Development : A Life-Span
Perspective. New York
: Mc Graw-Hill, Inc.
Oliva, A. (2000). Personal, Social, and Family
Correlates of Emotional Autonomy in Adolescence. Departamento de Psicologia Evolutiva y de la
Education Universidad de Savilla : oliva@cica.es.
Papalia, Diane E. & Olds, Sally Wendkos. (1995). Human
Development. New York : Mc Graw-Hill Inc.
Steinberg, Laurence. (1995). Adolescene Sanfrancisco : McGraw-Hill Inc.
Soenaryati. (2001). Masyarakat Perlu Kembalikan
Keseimbangan Nilai, Kompas 26 Januari 2001.
Zainun Mu’tadin. (2002). Kemandirian sebagai Kebutuhan Psikologis pada Remaja. National Computational Information
Coordinating Committee, http://www.uncg.edu : 80/ericcas
2/assessment/html.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar