TREN BIMBINGAN DAN KONSELING ABAD 21
Oleh :
Asep Rohiman Lesmana
imanlesmana382@gmail.com
Perkembangan
global dengan segala karakteristiknya secara langsung ataupun tidak langsung
merupakan tantangan sekaligus peluang bagi profesi bimbingan dan konseling.
Porofesi bimbingan dan konseling harus memberikan respons secara proaktif dalam
menghadapi tantangan dan peluang itu melalui layanan profesional sehingga mampu
membantu individu dalam beradaptasi dengan tuntutan global. Tren perkembangan global telah merasuk
kedalam berbagai sisi kehidupan umat manusia secara universal sehingga
jawabannya pun harus secara profesional dan universal.
Dalam
suatu tulisannya yang berjudul “Knowledge-Information-Service
Era Changes in Work and Education and The Changing Role Of The School Counselor
in Career Education”, Kennet B. Hyot
and Pat Nellor Wickwire (2001) menyatakan bahwa “era layanan informasi
pengetahuan mencerminkan berbagai perubahan yang saling terkait dalam aspek
sosial, ekonomi, pemerintahan, karir, pendidikan, pekerjaan, dan sistem hidup
lainnya”. Perubahan dalam dunia kerja dan tempat kerja mempengaruhi pendidikan
khususnya yang berkenaan dengan perkembangan dan bimbingan karir. Selanjutnya
dikatakan bahwa dalam era ini terjadi kebangkitan dalam berbagai bidang seperti
: (1) proses dan struktur manajemen dan kepemimpinan; (2) gaya, sistem, substansi,
irama komunikasi; (3) dukungan sosial, masyarakat dan sistem satuan keluarga,
peran-peran dan hasil; (4) diri dalam kaitan dengan kebutuhan dan keinginan;
(5) saling ketergantungan globalisasi, nasional, internasional; (6) temuan dan
intervensi melalui bioenergi dan biogenetika. Perubahan-perubahan itu nampak
pula dalam : (1) hubungan dan konvensi antara institusi, masyarakat, dan
khalayak; (2) informasi, pemahaman, dan perilaku kultural dan subkultural; (3)
bentuk dan substansi instrumental dan perilaku dan tindakan agresif; (4) cara,
intensitas, dan variansi dalam identifikasi dan mencari isu-isu sosial; (5)
kepedulian terhadap kesinambungan lingkungan, ekonomi, sosial, dan
pemerintahan; (6) kompleksitas, keragaman, dan konteks pilihan dalam kawasan pribadi,
pekerjaan, pendidikan, dan sosial; dan (7) makna dan pengrauh relatif ilmu
pengetahuan, matematika, dan teknologi terhadap bidang-bidang lain.
Kecenderungan
perubahan pola-pola dalam dunia kerja dan tempat kerja mempunyai perubahan pada
dunia pendidikan persekolahan khususnya yang berkaitan dengan pendidikan dan
bimbingan karir. Menurut Hyot (2001), pendidikan dan bimbingan karir mempunyai
tujuh tujuan utama yaitu untuk : (1) membekali pribadi dengan keterampilan
untuk mampu bekerja, menyesuaikan diri dan meningkatkan diri, (2) membantu
pribadi dalam memperoleh kesadaran karir, eksplorasi karir, dan pembuatan
keputusan karir, (3) menghubungkan antara pendidikan dan pekerjaan sehingga
dapat membuat pilihan keduanya, (4) membuat pekerjaan sebagai satu sebagian
keseluruhan gaya hidup yang bermakna, (5) memperbaiki pendidikan dengan
memasukan penekanan karir didalam kelas, (6) meningkatkan dan menerapkan
kemitraan antara sektor swasta dan pendidikan, (7) mengurangi penyimpangan dan
keragaman dan melindungi kebebasan membuat pilihan. Dengan tujuan itu, hasil
pembelajaran yang diharapkan adalah berupa : (1) keterampilan cakap bekerja,
beradaptasi, meningkatkan kerja, dan akademis dasar, (2) kebiasaan kerja
produktif, (3) nilai-nilai kerja pribadi yang bermakna, (4) pemahaman dan
apresiasi dasar terhadap kewirausahaan, (5) pemahaman diri dan peluang
pendidikan dan pekerjaan yang tersedia, (6) pembuatan keputusan karir, (7)
mencari, menemukan, mendapatkan, dan
pekerjaan, (8) penggunaan waktu luang secara produktif, (9) mengurangi
penyimpangan dan menghargai kebebasan penuh pilihan karir untuk setiap orang,
dan (10) humanisasi tempat kerja bagi diri sendiri.
Kecenderungan
pola-pola pendidikan dan bimbingan karir sebagaimana dikemukakan di atas, akan
berpengaruh terhadap peran-peran konselor dalam melaksanakan proses pendidikan
dan bimbingan karir. Hal yang paling mendasar ialah memahami dan memenuhi
kebutuhan siswa dalam perkembangan karir sehingga memiliki keterampilan karir
pada saar ini meninggalkan bangku sekolah. Hyot (2001) mengemukakan ada empat
kebutuhan utama yaitu kebutuhan untuk : (1) merencanakan pendidikan pasca
sekolah menengah yang berorientasi karir, (2) memperoleh keterampilan umum
dalam cakap kerja, adaptasi kerja, dan peningkatan kerja sehingga mampu
mengikuti perubaha dunia kerja setelah dewasa, (3) penekanan pentingnya
nilai-nilai kerja, dan (4) merencanakan cara-cara menyibukkan diri dalam
pekerjaan sebagai bagian dari keseluruhan perkembangan karir.
Dalam
konteks global, bimbingan dan konseling telah mengalami perkembangan dalam
berbagai aspek dan dimensinya sebgai reaksi terhadap berbagai perkembangan dan
tuntutan global. Globalisasi ditandai dengan perubahan yang berlangsung dengan
cepat terutama didorong oleh kepesatan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Penyempitan ruang, penyempitan waktu, dan hilangnya batas-batas
membuat hubungan antar manusia menjadi lebih dalam, lebih intensif, dan lebih
segera dibandingkan dengan masa sebelumnya.
Kondisi itu mendorong perkembangan konseling dengan tren tertentu dalam
konsep, pelaksanaan/praktek, dan profesi. Beberapa kecenderungan konseling
antara lain : cybercounseling,
multicultral counseling, spiritual konseling, dan pendekatan holistik.
1.
Teknologi dalam Bimbingan dan Konseling
Perkembangan
teknologi terutama dalam bidang komunikasi telah memberikan pengaruh yang cukup
berarti bagi dunia bimbingan dan konseling. Komunikasi untuk bidang bimbingan
dan konseling dilakukan dengan menggunakan media-media komunikasi seperti
telepone, komputer, internet, e-mail, dsb. Interaksi antara konselor dengan
klien tidak hanya dilakukan melalui hubungan tatap muka tetapi juga dilakukan
dengan menggunakan media-media tersebut. Konselor dapat memberikan layanan
tanpa harus berhdadapan langsung dengan klien. Demikian pula klien dapat
memperoleh informasi dalam lingkup yang luas dari berbagai sumber melalui cyberspace
atau ruang maya dengan menggunakan komputer atau internet. Hal yang paling
mutakhir adalah berkembangnya apa yang disebut “cybercounseling’ atau konseling maya, yaitu proses konseling yang
dilakukan dengan menggunakan internet. Dalam bidang bimbingan karir, telah
berkembang publikasi bimbingan dan informasi karir dengan menggunakan cyberpublishing yaitu publikasi melalui
internet dan teknologi informasi lainnya yang bukan dalam bentuk media cetak.
Perkembangan ini sudah tentu menuntut kesiapan dan adaptasi para konselor dalam
penguasaan teknologi dalam melaksanakan bimbingan dan konseling. Hal yang sama
diperlukan oleh para konselor dalam menggunakan teknologi untuk bimbingan
karir.
2.
Bimbingan dan Konseling Multikultural
Pengalaman
amerika serikat dengan kondisi masyarakatnya yang berbudaya ganda
(multikultural) dan tren perkembangan demografis yang mengarah pada konfigurasi
budaya plural, telah mendorong berkembangnya layanan bimbingan dan konseling
yang sifatnya generik. Penggunaan berbagai pendekatan dan teknik diharapkan
mampu memberikan layanan yang lebih efektif dalam kondisi pluralitas budaya.
Dalam kaitan dengan bimbingan dan konseling pendekatan budaya ini sangat tepat
untuk lingkungan yang berbudaya plural seperti amerika serikat dan juga di
indonesia. Bimbingan dan konseling dilaksanakan dengan landasan semangat
bhineka tunggal ika, yaitu kesamaan diatas keragaman. Di Amerika Serikat yang
berbudaya pluralistik, dikembangkan dengan pendekatan konseling yang disebut “multicultural counseling”. Paul B.
Pederson (1991) menyebutkan “multicultural
counseling” sebagai pendekatan generik dalam konseling. Pederson
mengelompokkan multicultural counseling
dalam angkatan keempat dalam pendekatan konseling sebagai pelengkap dari ketiga
angkatan pendekatan sebelumnya yaitu psychodinamic,
behavioral, dan humanistic. Dikatakan
selanjutnya bahwa sebutan multikultural mempunyai implikasi dalam rentang
kelompok yang ganda (multiple) tanpa harus membuat derajat, bandingan, atau
peringkat sebutan lebih baik atau lebih jelek antara satu dengan yang lainnya,
serta tanpa mengabaikan adanya kenyataan saling melengkapi, dan perbedaan
bahkan pertentangan satu dengan lainnya. Perspektif pendekatan multikultural
memberikan kombinasi antara pandangan universalisme dan relativisme dengan
memberikan penjelasan bahwa perilaku
dipelajari dalam perspektif secara kultural yang unik, dan mencari kesamaan
landasan antar budaya. Dengan mengutip pendapat Brislin (1990), Pederson (1991)
menyebutkan ada tujuh aspek budaya pada diri individu yaitu : (1) bagian jalan
hidup yang digunakan orang, (2) gagasan yang diwariskan dari generasi ke
generasi, (3) pengalaman-pengalaman masa kanak-kanak yang berkembang menjadi
nilai-nilai yang kemudia terinternalisasi, (4) sosialisasi anak-anak ke
kedewasaan, (5) pola-pola konsep dan tindak secara konsisten, (6) pola-pola
budaya yang dipelihara meskipun mungkin tidak sesuai, (7) rasa tidak berdaya
atau kebingungan manakala terjadi perubahan pola-pola budaya.
Dengan merujuk
konsep diatas, maka konseling hendaknya lebih berpangkal pada nilai-nilai
budaya bangsa yang secara nyata mampu mewujudkan kehidupan yang harmoni dalam
kondisi pluralistik.
3.
Bimbingan dan Konseling Spiritual
Kehidupan
modern dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kemajuan
ekonomi yang dialami oleh bangsa-bangsa barat ternyata telah menimbulkan
berbagai suasanan kehidupan yang tidak memberikan kebahagian batiniah dan
berkembangnya rasa kehampaan. Mereka menyadari bahwa kemajuan itu telah
memisahkan nilai-nilai spiritual sebagai sumber kebahagian hidup dan dirasakan
oleh mereka sebagai satu kekurangan. Dewasa ini berkembang suatu kehidupan yang
berlandaskan nilai-nilai spiritual. Mereka makin menyadari bahwa suasana
keluarga yang harmonis di atasa landasan nilai-nilai religi yang kuat pada
dasarnya merupakan situasi yang kondusif bagi terciptanya kehidupan. Suasana
seperti itu akan menumbuhkan kualitas manusia agamis yang memiliki ketahanan
dan keberdayaan yang mantap.
Kondisi ini
telah mendorong kencenderungan berkembangnya konseling yang berfondasikan
spiritual atau religi. Dalam kaitan ini Standard, dkk (2000) mengusulkan agar
spiritualitas ini dijadikan sebagai
angkatan kelima dalam konseling dan psikoterapi. Selanjutnya dijelaskan
bahwa “spirituality includes consepts
such as transcendense, self-actualization, purpose and meaning, wholnes,
balance, sacradness, universality and a sense of high power”. Berkaitan
dengan isu-isu agama dalam konseling. Zinbauer & Pargament (2000)
mengemukakan ada empat pendekatan yaitu : (1) rejectionist, yaitu yang
menolak campur aduk agama dengan konseling, (2) exlusivist, yang mengakui adanya agama akan tetapi dipisahkan antara
agama dengan konseling, (3) constructivist,
yang memberikan peluang pendekatan agama dan konseling dan klien sendiri yang
membentuknya, (4) pluralis, yaitu
pendekatan yang memungkinkan proses konseling yang berlandaskan nilai-nilai
agama.
4.
Pendekatan Holistik
Bersamaan
dengan perkembangan global yang mendorong makin besarnya ketergantungan antar
berbagai disiplin dan pihak, maka konseling mengalami kecenderungan untuk
bergeser dari situasi islolasi atau soliter ke arah berkaitan dengan berbagai
aspek. Konseling holistik merupakan pendekatan holistik yang melibatkan
berbagai aspek dan dimensi dalam prosesnya. Dengan demikian maka konseling tidak hanya menyentuh aspek permukaan saja
tetapi lebih menyeluruh dan utuh sehingga penyelesaian suatu masalah dapat
dilakukan secara lebih komprehensif sehingga dapat diselesaikan secara tuntas
dan mendasar. Pola konseling holistik mempunyai makna bahwa layanan yang
diberikan merupakan suatu keutuhan dalam berbagai dimensi yang terkait. Dalam
kaitan dengan lingkungan pendidikan, konseling dilaksnakan secara terpadu mulai
dari lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat luas. Strategi yang diterapkan
merupakan keutuhan yang terpadu antara strategi kurikuler, interksi,
pengembangan pribadi, dan dukungan sistem. Bidang-bidang layanan yang diberikan
meliputi aspek sosial, pribadi, karir, dan budi pekerti dalam satu kesatuan
yang utuh.
Sebagai
contoh pendekatan holistik, Michael D’Andrea & Judy Daniels (1997)
menawarkan apa yang disebut “Respectfull
Counseling” satu model konseling yang mencakup berbagai dimensi.
Dimensi-dimensi tersebut tersirat dalam akronim “Respectfull”: R=Religious/Spiritual
Identity, E=Ethnik/Cultural/Racial
Background, S=Sexual Identity, P=Psychological Maturity, E=Economical Class Standing, C= Chronological Challenges, T=Threat to One’s Well-Being, F= Family History, U= Unique Physical Characteristic, L=Location of Residence. Michael D’Andrea & Judy Daniels (1997)
telah menawarkan satu model bimbingan dan konseling holistik yaitu : “bimbingan
dan konseling yang menuju pada pemberdayaan pribadi, berlangsung dalam nuansa
pendidikan, berpusat pada keluarga, berintikan nilai-nilai religi, dan
berlangsung dalam harmoni budaya bangsa”.
5.
Kualitas dan Pendidikan Konselor
Dengan
kecenderungan-kecenderungan dikemukakan diatas, pada gilirannya akan menuntut
kualitas kompetensi para konselor serta pendidika profesi konselor baik
pra-jabatan maupun dalam jabatan. Konselor dituntut untuk lebih profesional
dengan kualitas kepribadian yang mantap, dilandasi nilai spiritual yang kokoh
(keimanan dan ketaqwaan), ditunjang oleh penguasaan ilmu pengetahuan dan
teknologi, serta memiliki kepekaan budaya.
Hanna, dkk (1999) menyatakan bahwa dalam kecenderungan dewasa ini
kefektifan seorang konselor tidak hanya cukup dengan menguasai konsep, teori
dan teknik konseling akan tetapi yang paling mendasar adalah kualitas
kepribadian dengan “kearifan”. Kearifan sangat diperlukan oleh para konselor
terutama dalam konseling multikultural dalam upaya menciptakan suasana hubungan
yang akrab dengan klien. Dari analisis berbagai kepusatakaan, kearifan mencakup
aspek kognitif dan afektif dengan rincian ciri-ciri sebagai terlampir Hanna
dkk, (1999).
Sifat kearifan
konselor harus dikembangkan melalui berbagai pendidikan dan latihan. Hanna, dkk
(1999) menyarankan agar para konselor harus mendapatkan pengalaman belajar
dalam beberapa hal seperti : keterampilan pemikiran dialektik, menggunakan
teknik kesadaran yang diadaptasi dari terapi gestalt, seperti kontak,
kegembiaraan, frustasi terapeutik, latihan memusat, dan polaritas, teknik
fenomenologis-eksistensial untuk “exploration
of being” dan “transcendence of self”
dapat membantu dalam mengembangkan kebijaksanaan. Teknik-teknik dari tradisi
islam kaum sufi, seperti penyerahan diri dan paradoks. Selanjutnya dikatakan
bahwa konselor multikultural yang arif memiliki karakteristik sebagai berikut :
(1) sangat empatik dan memiliki rasa iba yang besar, (2) tidak menggunakan
pendekatan atau keterampilan yang bersifat otomatis, (3) memiliki tilian secara
mendalam, (4) tidak mudah mengalabui dan menipu, (5) memiliki pengetahuan diri
dan kesadaran diri secara ekstensif, (6) belajar dari kesalahan-kesalahan, (7)
siap melakukan penataan ulang konteks kultural, (8) mengatahui rentangan
strategi mengatasi masalah, (9) dapat memotong langsung kepada esensi situasi
dan kondisi, (10) memahami kerangka masalah secara tepat, (11) melihat saling
ketergantungan antara orang dan benda, (12) secara ekstrim toleran dan mau
menerima, dan (13) seorang ahli dalam melakukan transendensi dir (Hanna &
Ottens, 1995).
Referensi :
Surya, M. (2008). Mewujudkan Bimbingan dan Konseling
Profesional. Bandung : Publikasi Jurusan PPB FIP UPI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar