Kamis, 19 September 2019

Tren BK Abad 21


TREN BIMBINGAN DAN KONSELING ABAD 21

Oleh :
Asep Rohiman Lesmana
imanlesmana382@gmail.com

Perkembangan global dengan segala karakteristiknya secara langsung ataupun tidak langsung merupakan tantangan sekaligus peluang bagi profesi bimbingan dan konseling. Porofesi bimbingan dan konseling harus memberikan respons secara proaktif dalam menghadapi tantangan dan peluang itu melalui layanan profesional sehingga mampu membantu individu dalam beradaptasi dengan tuntutan global.  Tren perkembangan global telah merasuk kedalam berbagai sisi kehidupan umat manusia secara universal sehingga jawabannya pun harus secara profesional dan universal.
            Dalam suatu tulisannya yang berjudul “Knowledge-Information-Service Era Changes in Work and Education and The Changing Role Of The School Counselor in Career Education”, Kennet  B. Hyot and Pat Nellor Wickwire (2001) menyatakan bahwa “era layanan informasi pengetahuan mencerminkan berbagai perubahan yang saling terkait dalam aspek sosial, ekonomi, pemerintahan, karir, pendidikan, pekerjaan, dan sistem hidup lainnya”. Perubahan dalam dunia kerja dan tempat kerja mempengaruhi pendidikan khususnya yang berkenaan dengan perkembangan dan bimbingan karir. Selanjutnya dikatakan bahwa dalam era ini terjadi kebangkitan dalam berbagai bidang seperti : (1) proses dan struktur manajemen dan kepemimpinan; (2) gaya, sistem, substansi, irama komunikasi; (3) dukungan sosial, masyarakat dan sistem satuan keluarga, peran-peran dan hasil; (4) diri dalam kaitan dengan kebutuhan dan keinginan; (5) saling ketergantungan globalisasi, nasional, internasional; (6) temuan dan intervensi melalui bioenergi dan biogenetika. Perubahan-perubahan itu nampak pula dalam : (1) hubungan dan konvensi antara institusi, masyarakat, dan khalayak; (2) informasi, pemahaman, dan perilaku kultural dan subkultural; (3) bentuk dan substansi instrumental dan perilaku dan tindakan agresif; (4) cara, intensitas, dan variansi dalam identifikasi dan mencari isu-isu sosial; (5) kepedulian terhadap kesinambungan lingkungan, ekonomi, sosial, dan pemerintahan; (6) kompleksitas, keragaman, dan konteks pilihan dalam kawasan pribadi, pekerjaan, pendidikan, dan sosial; dan (7) makna dan pengrauh relatif ilmu pengetahuan, matematika, dan teknologi terhadap bidang-bidang lain.
            Kecenderungan perubahan pola-pola dalam dunia kerja dan tempat kerja mempunyai perubahan pada dunia pendidikan persekolahan khususnya yang berkaitan dengan pendidikan dan bimbingan karir. Menurut Hyot (2001), pendidikan dan bimbingan karir mempunyai tujuh tujuan utama yaitu untuk : (1) membekali pribadi dengan keterampilan untuk mampu bekerja, menyesuaikan diri dan meningkatkan diri, (2) membantu pribadi dalam memperoleh kesadaran karir, eksplorasi karir, dan pembuatan keputusan karir, (3) menghubungkan antara pendidikan dan pekerjaan sehingga dapat membuat pilihan keduanya, (4) membuat pekerjaan sebagai satu sebagian keseluruhan gaya hidup yang bermakna, (5) memperbaiki pendidikan dengan memasukan penekanan karir didalam kelas, (6) meningkatkan dan menerapkan kemitraan antara sektor swasta dan pendidikan, (7) mengurangi penyimpangan dan keragaman dan melindungi kebebasan membuat pilihan. Dengan tujuan itu, hasil pembelajaran yang diharapkan adalah berupa : (1) keterampilan cakap bekerja, beradaptasi, meningkatkan kerja, dan akademis dasar, (2) kebiasaan kerja produktif, (3) nilai-nilai kerja pribadi yang bermakna, (4) pemahaman dan apresiasi dasar terhadap kewirausahaan, (5) pemahaman diri dan peluang pendidikan dan pekerjaan yang tersedia, (6) pembuatan keputusan karir, (7) mencari, menemukan, mendapatkan, dan   pekerjaan, (8) penggunaan waktu luang secara produktif, (9) mengurangi penyimpangan dan menghargai kebebasan penuh pilihan karir untuk setiap orang, dan (10) humanisasi tempat kerja bagi diri sendiri.
            Kecenderungan pola-pola pendidikan dan bimbingan karir sebagaimana dikemukakan di atas, akan berpengaruh terhadap peran-peran konselor dalam melaksanakan proses pendidikan dan bimbingan karir. Hal yang paling mendasar ialah memahami dan memenuhi kebutuhan siswa dalam perkembangan karir sehingga memiliki keterampilan karir pada saar ini meninggalkan bangku sekolah. Hyot (2001) mengemukakan ada empat kebutuhan utama yaitu kebutuhan untuk : (1) merencanakan pendidikan pasca sekolah menengah yang berorientasi karir, (2) memperoleh keterampilan umum dalam cakap kerja, adaptasi kerja, dan peningkatan kerja sehingga mampu mengikuti perubaha dunia kerja setelah dewasa, (3) penekanan pentingnya nilai-nilai kerja, dan (4) merencanakan cara-cara menyibukkan diri dalam pekerjaan sebagai bagian dari keseluruhan perkembangan karir.
            Dalam konteks global, bimbingan dan konseling telah mengalami perkembangan dalam berbagai aspek dan dimensinya sebgai reaksi terhadap berbagai perkembangan dan tuntutan global. Globalisasi ditandai dengan perubahan yang berlangsung dengan cepat terutama didorong oleh kepesatan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Penyempitan ruang, penyempitan waktu, dan hilangnya batas-batas membuat hubungan antar manusia menjadi lebih dalam, lebih intensif, dan lebih segera dibandingkan dengan masa sebelumnya.  Kondisi itu mendorong perkembangan konseling dengan tren tertentu dalam konsep, pelaksanaan/praktek, dan profesi. Beberapa kecenderungan konseling antara lain : cybercounseling, multicultral counseling, spiritual konseling, dan pendekatan holistik.

1.        Teknologi dalam Bimbingan dan Konseling
Perkembangan teknologi terutama dalam bidang komunikasi telah memberikan pengaruh yang cukup berarti bagi dunia bimbingan dan konseling. Komunikasi untuk bidang bimbingan dan konseling dilakukan dengan menggunakan media-media komunikasi seperti telepone, komputer, internet, e-mail, dsb. Interaksi antara konselor dengan klien tidak hanya dilakukan melalui hubungan tatap muka tetapi juga dilakukan dengan menggunakan media-media tersebut. Konselor dapat memberikan layanan tanpa harus berhdadapan langsung dengan klien. Demikian pula klien dapat memperoleh informasi dalam lingkup yang luas dari berbagai sumber  melalui cyberspace atau ruang maya dengan menggunakan komputer atau internet. Hal yang paling mutakhir adalah berkembangnya apa yang disebut “cybercounseling’ atau konseling maya, yaitu proses konseling yang dilakukan dengan menggunakan internet. Dalam bidang bimbingan karir, telah berkembang publikasi bimbingan dan informasi karir dengan menggunakan cyberpublishing yaitu publikasi melalui internet dan teknologi informasi lainnya yang bukan dalam bentuk media cetak. Perkembangan ini sudah tentu menuntut kesiapan dan adaptasi para konselor dalam penguasaan teknologi dalam melaksanakan bimbingan dan konseling. Hal yang sama diperlukan oleh para konselor dalam menggunakan teknologi untuk bimbingan karir.
2.      Bimbingan dan Konseling Multikultural
Pengalaman amerika serikat dengan kondisi masyarakatnya yang berbudaya ganda (multikultural) dan tren perkembangan demografis yang mengarah pada konfigurasi budaya plural, telah mendorong berkembangnya layanan bimbingan dan konseling yang sifatnya generik. Penggunaan berbagai pendekatan dan teknik diharapkan mampu memberikan layanan yang lebih efektif dalam kondisi pluralitas budaya. Dalam kaitan dengan bimbingan dan konseling pendekatan budaya ini sangat tepat untuk lingkungan yang berbudaya plural seperti amerika serikat dan juga di indonesia. Bimbingan dan konseling dilaksanakan dengan landasan semangat bhineka tunggal ika, yaitu kesamaan diatas keragaman. Di Amerika Serikat yang berbudaya pluralistik, dikembangkan dengan pendekatan konseling yang disebut “multicultural counseling”. Paul B. Pederson (1991) menyebutkan “multicultural counseling” sebagai pendekatan generik dalam konseling. Pederson mengelompokkan multicultural counseling dalam angkatan keempat dalam pendekatan konseling sebagai pelengkap dari ketiga angkatan pendekatan sebelumnya yaitu psychodinamic, behavioral, dan humanistic. Dikatakan selanjutnya bahwa sebutan multikultural mempunyai implikasi dalam rentang kelompok yang ganda (multiple) tanpa harus membuat derajat, bandingan, atau peringkat sebutan lebih baik atau lebih jelek antara satu dengan yang lainnya, serta tanpa mengabaikan adanya kenyataan saling melengkapi, dan perbedaan bahkan pertentangan satu dengan lainnya. Perspektif pendekatan multikultural memberikan kombinasi antara pandangan universalisme dan relativisme dengan memberikan penjelasan bahwa  perilaku dipelajari dalam perspektif secara kultural yang unik, dan mencari kesamaan landasan antar budaya. Dengan mengutip pendapat Brislin (1990), Pederson (1991) menyebutkan ada tujuh aspek budaya pada diri individu yaitu : (1) bagian jalan hidup yang digunakan orang, (2) gagasan yang diwariskan dari generasi ke generasi, (3) pengalaman-pengalaman masa kanak-kanak yang berkembang menjadi nilai-nilai yang kemudia terinternalisasi, (4) sosialisasi anak-anak ke kedewasaan, (5) pola-pola konsep dan tindak secara konsisten, (6) pola-pola budaya yang dipelihara meskipun mungkin tidak sesuai, (7) rasa tidak berdaya atau kebingungan manakala terjadi perubahan pola-pola budaya.
Dengan merujuk konsep diatas, maka konseling hendaknya lebih berpangkal pada nilai-nilai budaya bangsa yang secara nyata mampu mewujudkan kehidupan yang harmoni dalam kondisi pluralistik.

3.      Bimbingan dan Konseling Spiritual
Kehidupan modern dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kemajuan ekonomi yang dialami oleh bangsa-bangsa barat ternyata telah menimbulkan berbagai suasanan kehidupan yang tidak memberikan kebahagian batiniah dan berkembangnya rasa kehampaan. Mereka menyadari bahwa kemajuan itu telah memisahkan nilai-nilai spiritual sebagai sumber kebahagian hidup dan dirasakan oleh mereka sebagai satu kekurangan. Dewasa ini berkembang suatu kehidupan yang berlandaskan nilai-nilai spiritual. Mereka makin menyadari bahwa suasana keluarga yang harmonis di atasa landasan nilai-nilai religi yang kuat pada dasarnya merupakan situasi yang kondusif bagi terciptanya kehidupan. Suasana seperti itu akan menumbuhkan kualitas manusia agamis yang memiliki ketahanan dan keberdayaan yang mantap.
Kondisi ini telah mendorong kencenderungan berkembangnya konseling yang berfondasikan spiritual atau religi. Dalam kaitan ini Standard, dkk (2000) mengusulkan agar spiritualitas ini dijadikan sebagai angkatan kelima dalam konseling dan psikoterapi. Selanjutnya dijelaskan bahwa “spirituality includes consepts such as transcendense, self-actualization, purpose and meaning, wholnes, balance, sacradness, universality and a sense of high power”. Berkaitan dengan isu-isu agama dalam konseling. Zinbauer & Pargament (2000) mengemukakan ada empat pendekatan yaitu : (1) rejectionist,  yaitu yang menolak campur aduk agama dengan konseling, (2) exlusivist, yang mengakui adanya agama akan tetapi dipisahkan antara agama dengan konseling, (3) constructivist, yang memberikan peluang pendekatan agama dan konseling dan klien sendiri yang membentuknya, (4) pluralis, yaitu pendekatan yang memungkinkan proses konseling yang berlandaskan nilai-nilai agama.

4.      Pendekatan Holistik
Bersamaan dengan perkembangan global yang mendorong makin besarnya ketergantungan antar berbagai disiplin dan pihak, maka konseling mengalami kecenderungan untuk bergeser dari situasi islolasi atau soliter ke arah berkaitan dengan berbagai aspek. Konseling holistik merupakan pendekatan holistik yang melibatkan berbagai aspek dan dimensi dalam prosesnya. Dengan demikian maka konseling  tidak hanya menyentuh aspek permukaan saja tetapi lebih menyeluruh dan utuh sehingga penyelesaian suatu masalah dapat dilakukan secara lebih komprehensif sehingga dapat diselesaikan secara tuntas dan mendasar. Pola konseling holistik mempunyai makna bahwa layanan yang diberikan merupakan suatu keutuhan dalam berbagai dimensi yang terkait. Dalam kaitan dengan lingkungan pendidikan, konseling dilaksnakan secara terpadu mulai dari lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat luas. Strategi yang diterapkan merupakan keutuhan yang terpadu antara strategi kurikuler, interksi, pengembangan pribadi, dan dukungan sistem. Bidang-bidang layanan yang diberikan meliputi aspek sosial, pribadi, karir, dan budi pekerti dalam satu kesatuan yang utuh.
            Sebagai contoh pendekatan holistik, Michael D’Andrea & Judy Daniels (1997) menawarkan apa yang disebut “Respectfull Counseling” satu model konseling yang mencakup berbagai dimensi. Dimensi-dimensi tersebut tersirat dalam akronim “Respectfull”: R=Religious/Spiritual Identity, E=Ethnik/Cultural/Racial Background, S=Sexual Identity, P=Psychological Maturity, E=Economical Class Standing, C= Chronological Challenges, T=Threat to One’s Well-Being, F= Family History, U= Unique Physical Characteristic, L=Location of Residence. Michael D’Andrea & Judy Daniels (1997) telah menawarkan satu model bimbingan dan konseling holistik yaitu : “bimbingan dan konseling yang menuju pada pemberdayaan pribadi, berlangsung dalam nuansa pendidikan, berpusat pada keluarga, berintikan nilai-nilai religi, dan berlangsung dalam harmoni budaya bangsa”.

5.      Kualitas dan Pendidikan Konselor
Dengan kecenderungan-kecenderungan dikemukakan diatas, pada gilirannya akan menuntut kualitas kompetensi para konselor serta pendidika profesi konselor baik pra-jabatan maupun dalam jabatan. Konselor dituntut untuk lebih profesional dengan kualitas kepribadian yang mantap, dilandasi nilai spiritual yang kokoh (keimanan dan ketaqwaan), ditunjang oleh penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta memiliki kepekaan budaya.  Hanna, dkk (1999) menyatakan bahwa dalam kecenderungan dewasa ini kefektifan seorang konselor tidak hanya cukup dengan menguasai konsep, teori dan teknik konseling akan tetapi yang paling mendasar adalah kualitas kepribadian dengan “kearifan”. Kearifan sangat diperlukan oleh para konselor terutama dalam konseling multikultural dalam upaya menciptakan suasana hubungan yang akrab dengan klien. Dari analisis berbagai kepusatakaan, kearifan mencakup aspek kognitif dan afektif dengan rincian ciri-ciri sebagai terlampir Hanna dkk, (1999).
Sifat kearifan konselor harus dikembangkan melalui berbagai pendidikan dan latihan. Hanna, dkk (1999) menyarankan agar para konselor harus mendapatkan pengalaman belajar dalam beberapa hal seperti : keterampilan pemikiran dialektik, menggunakan teknik kesadaran yang diadaptasi dari terapi gestalt, seperti kontak, kegembiaraan, frustasi terapeutik, latihan memusat, dan polaritas, teknik fenomenologis-eksistensial untuk “exploration of being” dan “transcendence of self” dapat membantu dalam mengembangkan kebijaksanaan. Teknik-teknik dari tradisi islam kaum sufi, seperti penyerahan diri dan paradoks. Selanjutnya dikatakan bahwa konselor multikultural yang arif memiliki karakteristik sebagai berikut : (1) sangat empatik dan memiliki rasa iba yang besar, (2) tidak menggunakan pendekatan atau keterampilan yang bersifat otomatis, (3) memiliki tilian secara mendalam, (4) tidak mudah mengalabui dan menipu, (5) memiliki pengetahuan diri dan kesadaran diri secara ekstensif, (6) belajar dari kesalahan-kesalahan, (7) siap melakukan penataan ulang konteks kultural, (8) mengatahui rentangan strategi mengatasi masalah, (9) dapat memotong langsung kepada esensi situasi dan kondisi, (10) memahami kerangka masalah secara tepat, (11) melihat saling ketergantungan antara orang dan benda, (12) secara ekstrim toleran dan mau menerima, dan (13) seorang ahli dalam melakukan transendensi dir (Hanna & Ottens, 1995).


Referensi :

Surya, M. (2008). Mewujudkan Bimbingan dan Konseling Profesional. Bandung : Publikasi Jurusan PPB FIP UPI.                                                                                                                

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Penguatan Integrasi Pendidikan

PENGUATAN INTEGRASI PENDIDIKAN DALAM ERA DISUPSI Oleh :  Asep Rohiman Lesmana, M.Pd. Pendidikan merupakan suatu entitas yang s...