Selasa, 22 Oktober 2019

Bibliokonseling


Teknik Bibliokonseling

Oleh:
Iman Lesmana

Berdasarkan pemikiran Plato yang diterus­kan oleh Rush dan Galt pada tahun 1815-1853 bibliotherapy dapat di­padukan dengan proses konseling atau disebut juga bibliokonseling. Bertujuan untuk menciptakan hubungan yang hangat, mengeksplorasi gaya hidup, dan memberikan insight mendalam. Tujuan dari proses konseling adalah untuk membantu individu agar menjadi pribadi yang lebih fungsionibel, men­capai integritas diri, identitas diri, dan aktualisasi diri. (Yuliawati, 2011, hlm. 21)
Menurut Herink dan Goleman (1980, hlm. 54) Bibliotherapy merupakan turunan dari psikoanalisis. Bibliotherapy menggunakan buku sebagai medianya. Pada awal abad ke-20 muncul bibliotherapy kognitif yang bertujuan untuk membantu konseli dengan masalah psikologis. Bibliotherapy kognitif berasal dari teknik Cognitive Behavioral Therapy (CBT) dengan mekanisme utama perubahan menggunakan proses belajar. Bibliotherapy kognitif memberikan buku yang sesuai dengan kesulitan khas dari individu, dengan asumsi dasar individu belajar dari proses membaca buku dan menerapkannya terhadap kehidupannya (Herlina, 2013, hlm. 99).
Bibliotherapy telah dikenal dengan banyak nama, misalnya bibliocounseling, biblioeducation, bibliopsychology, librarytherapeutic, biblioprophylaxis, tutorial group therapy, dan literatherapy Rubin (dalam Herlina, 2013, hlm. 77). Pada istilah yang digunakan dalam skripsi menggunakan nama Bibliokonseling. Berikut dipaparkan mengenai pengertian teknik bibliokonseling, sejarah bibliokonseling, tujuan bibliokonseling, prinsip bibliokonseling, tipe bibliokonseling, dan intervensi teknik bibliokonseling.

Pengertian Teknik Bibliokonseling
Istilah bibliotherapy berasal dari bahasa Yunani, yaitu biblus berarti buku, dan therapy yaitu upaya bantuan psikologis. Bibliotherapy dapat didefinisikan sebagai penggunaan buku-buku untuk membantu memecahkan masalah. Pada kamus Webster (1985, hlm. 185) mendefinisikan bibliotherapy sebagai pedoman dalam solusi mengatasi masalah pribadi melalui membaca. Berry (dalam Schetman, 2009, hlm. 21) memberikan definisi yang lebih komprehensif: “a family of techniques for structuring interaction between a facilitator and a participant... based an their mutual sharing of literature”. Teknik kekeluargaan untuk menstruktur pola interaksi antara fasilitator dan partisipan berdasarkan saling berbagi literatur.
Bibliokonseling adalah teknik yang menggunakan bacaan dari literatur. Dipercaya membaca dapat berakibat sikap, perasaan, dan tingkah laku individu menjadi lebih dewasa setelah membacanya sendiri (Sclabassi, dalam Maydina, 2009, hlm.42). Bibliokonseling merupakan terapi ekspresif yang didalamnya terdapat hubungan individu dengan isi atau intisari buku dan puisi serta tulisan lain sebagai sebuah terapi. Bibliokonseling selalu dikombinasikan dengan kegiatan menulis sebagai refleksi diri. Bibliokonseling disebut juga terapi membaca, yaitu sebuah terapi yang didalamnya seseorang yang mengalami masalah diminta untuk membaca buku-buku yang bersifat membantu diri dan motivasi agar mempercepat penyembuhan.
Shectman (2008, hlm. 8) menekankan “Bibliotherapy entails the use of literature for therapeutic purposes and it includes listening to stories and poems, watching films, and looking at pictures. It is a playful, engaging, and fun process.” Artinya Shectman mengkombinasikan kegiatan mendengarkan cerita, membaca puisi, menonton film, gambar dilakukan didalam kegiatan bibliotherapy, sehingga aktivitas berjalan menarik dan menyenangkan.
Bibliokonseling merupakan suatu cara yang dapat dilakukan dengan menggunakan buku untuk menolong seseorang menyelesaikan masalah-masalah. Sclabassi (Eliasa, 2007, hlm. 5) mengemukakan bibliokonseling merupakan salah satu jenis terapi yang menggunakan aktivitas membaca suatu literatur untuk mengatasi masalah yang dihadapi. Bibliokonseling mencakup tugas membaca terhadap bahan bacaan yang terseleksi, terencana, dan terarah sebagai suatu prosedur treatment atau tindakan dengan tujuan terapeutik karena diyakini pembaca dapat mempengaruhi sikap, perasaan, dan perilaku individu sesuai dengan yang diharapkan.
Teknik Bibliokonseling merupakan teknik yang relevan untuk mengatasi masalah. Analoginya, lewat membaca seseorang dapat mengenali diri. Informasi dan pengetahuan yang diperoleh dari kegiatan membaca menjadi masukan untuk memecahkan masalah yang dihadapi. Saat membaca, pembaca menginterpretasi jalan pikiran penulis, menerjemahkan simbol dan huruf ke dalam kata dan kalimat yang memiliki makna tertentu, seperti rasa haru dan simpati. Perasaan haru dan simpati dapat “membersihkan diri” dan mendorong sesorang untuk berperilaku lebih positif.
Berdasarkan definisi yang telah dipaparkan dapat disimpulkan Bibliokonseling adalah sebuah teknik yang menggunakan buku sebagai media untuk menyelesaikan masalah yang dialami oleh konseli. Teknik bibliokonseling dapat memberi jalan untuk menyembuhkan diri dari sebuah masalah dengan tujuan memperoleh insight. Perolehan insight yang sudah disharingkan akan menampilkan masalah secara umum serta memberikan dorongan untuk memperoleh jalan keluar yang terbaik.

Sejarah Bibliokonseling
Selama berabad-abad buku digunakan sebagai sumber daya untuk membantu orang mengatasi masalahnya. Pada masa Thebes kuno, perpustakaan digambarkan sebagai “The healing Place of The Soul”, tempat penyembuhan jiwa. Masyarakat Thebes kuno menghargai buku sebagai sebuah sumber untuk meningkatkan kualitas kehidupan.
Tujuan teknik Bibliokonseling adalah untuk memberi dasar berpikir kepada individu sehingga memahami masalah yang dihadapi, serta bertujuan mengatasi berbagai hambatan dalam kepribadian dengan cara mengganti anggapan yang salah dengan pendapat yang benar.
Beberapa buku sekolah permulaan di Amerika seperti New England Primer dan Mc Guffy Readers digunakan  tidak  hanya  untuk  tujuan  mengajar  anakanak  namun  juga  membantu  mengembangkan karakter dan nilai (value) positif untuk meningkatkan penyesuaian pribadi. Para pendidik termasuk banyak klinisi, menyadari dapat memainkan peran positif dalam membantu orang mengatasi masalah penyesuaian pribadi, termasuk masalah kehidupan seharihari (Herlina, 2013, hlm. 81).
Perkembangan bibliotherapy terjadi pada sekitar awal abad 20. Dua orang pendukung awal bibliotherapy pada abad  20  adalah  Dr.  Karl  dan  Dr.  William  Menninger.  Sejumlah  artikel  muncul  dalam  literatur profesional pada tahun 1940an; artikelartikel seringkali memfokuskan pada validitas psikologis dari  teknik biliotherapy.  Selama  tahun  1950an  beberapa pemikiran yang berkaitan dengan bibliotherapy dibuat oleh (Shrodes, dalam Herlina, 2013, hlm. 82) yang menguji status seni dalam mempengaruhi  pandangan  filosoif.  Definisi  awal  dari  Shrodes  (dalam Herlina, 2013, hlm. 82)  tentang bibliotherapy  as  a  process  of  dynamic  interaction  between  the  personality  of  the  reader  and literature under the guidance of a trained helper”. (proses dari intraksi dinamis antara kepribadian pembaca  dengan  literatur  yang  mendasari  bimbingan  dari  helper  terlatih)  terus  mempengaruhi lapangan pada masa sekarang. Dengan demikian teknik bibliotherapy dapat digunakan untuk menangani beragam masalah yang dihadapi oleh anak, remaja maupun dewasa.

Kedudukan Bibliokonseling dalam BK
Bibliokonseling berasal dari pendekatan kognitif yang diturunkan pada teori Cognitive Behavioral Therapy (CBT) dengan mekanisme utama perubahan menggunakan proses belajar. Bibliokonseling kognitif menawarkan buku-buku kepada siswa yang sesuai dengan kesulitannya, dengan asumsi siswa belajar dari proses membaca dan menerapkannya pada kehidupan. Bibliokonseling kognitif dapat dilakukan menjadi self-help atau diikuti oleh pertemuan-pertemuan sesekali untuk membahas buku. Fokus utama dari Bibliokonseling kognitif adalah pada konten yang disajikan dalam buku dan relevansinya dengan kesulitan seseorang atau masalah (Shectman, 2009, hlm. 22).
Asumsi yang mendasari Cognitive Behavioral Therapy (CBT) adalah semua perilaku dipelajari, sehingga dapat mempelajarinya kembali dengan bimbingan yang tepat. Teori CBT bergantung pada pembelajaran sebagai katalis utama perubahan perilaku. Bibliokonseling kognitif adalah proses belajar yang bermanfaat terapeutik. Pendekatan CBT pada Bibliokonseling memiliki bentuk intervensi berorientasi pendidikan, dimana penguasaan informasi dan perolehan keterampilan merupakan tujuan utama (Eliasa, 2007, hlm. 7).
               Pendekatan CBT telah banyak digunakan dan efektif dalam bibliokonseling. Pendekatan kognitif-behavioral pada awal abad 20 mendapatkan popularitas lebih banyak dari pendekatan yang lain (Shectman, 2009, hlm. 22). Menggunakan bibliokonseling kognitif, siswa dapat belajar strategi yang sesuai untuk mengembangkan potensi dalam menghadapi masalah serta mencegah stres. Pada tingkat perilaku siswa dapat meniru karakter dan melihat bagaimana cara mengatasi situasi yang sulit.
Pada dunia bimbingan dan konseling, bibliokonseling merupakan terapi membaca dimana siswa diminta untuk membaca sebuah buku yang didalamnya terkandung nilai dan informasi penting untuk pengembangan dirinya. Tujuan utama proses bibliokonseling adalah siswa mampu mengambil informasi, nilai, dan solusi tepat dari permasalahan yang dihadapi melalui buku yang dibaca (Yuliawati, 2011, hlm. 19-24).
            Disimpulkan Bibliokonseling merupakan strategi yang dapat dilakukan dalam layanan konseling. Bibliokonseling memiliki nilai positif dalam rangka menumbuhkan karakter pada siswa. Terlaksananya bibliokonseling, secara tidak langsung dapat menumbuhkan kebiasaan siswa untuk meningkatkan minat baca yang positif.

Tujuan Teknik Bibliokonseling
Jake dan Iex (2011,  online) menyatakan tujuan yang dapat diperoleh dengan menggunakan bibliokonseling sebagai berikut.
1)       Untuk membangun konsep diri secara individual
2)      Untuk menambah pemahaman individu atas perilaku manusia atau motivasi.
3)      Untuk mengasuh penilaian diri yang jujur dari individu
4)     Untuk mendapatkan keuntungan atas jalan untuk orang yang menemukan ketertarikan diluar diri.
5)     Untuk mengurangi tekanan emosional atau mental.
6)     Untuk menunjukkan pada individu bahwa dia bukan yang pertama atau hanya dia yang menjumpai masalah tersebut.
7)      Untuk membantu orang mendiskusikan masalahnya secara lebih bebas.
8)     Untuk membantu individu merencanakan arah jalan yang konstruktif dari aksi untuk memecahkan masalah.

Menurut Bruth & Burggraf, Griffin, dan Pardeck & Pardeck (dalam Herlina, 2013, hlm. 79) tujuan umum bibliokonseling adalah:
1)       Memberikan informasi tentang masalah,
2)      Memberikan insight (pemahaman yang timbul dengan cepat) tentang masalah,
3)      Menstimulasi diskusi tentang masalah,
4)     Mengkomunikasikan diskusi tentang masalah,
5)     Menstimulasi diskusi tentang masalah,
6)     Mengkomunikasikan nilai-nilai dan sikap-sikap baru,
7)      Menciptakan suatu kesadaran (awareness) bahwa orang lain berhasil mengatasi masalah yang mirip, dan
8)     Memberikan solusi atas permalasalahan.

Teknik Bibliokonseling dapat menambah informasi yang diperoleh melalui kegiatan membaca. Bibliokonseling dapat membuat individu mempelajari fakta-fakta baru, cara pandang berbeda dalam menghadapi masalah, dan pilihan cara memikirkan masalah.
Berdasarkan tujuan yang telah dipaparkan, dapat disimpulkan tujuan teknik Bibliokonseling membantu individu membangun konsep diri dan menambah motivasi yang diperolehnya dari buku karena didalam buku terdapat lebih dari satu solusi mengenai masalahnya sehingga mampu mengurangi tekanan emosional.

Prinsip Bibliokonseling
Pardeck & Pardeck dan Rubin (dalam Herlina, 2013, hlm. 93) menguraikan prinsip‐prinsip utama Bibliokonseling sebagai berikut.
1)       Orang yang membantu harus menggunakan material bacaan yang dikenalnya.
2)      Orang yang membantu harus menyadari panjang material bacaan. Hindari material yang kompleks dengan detail dan situasi yang tidak ada hubungan.
3)      Pertimbangkan masalah konseli; material bacaan harus dapat diaplikasikan terhadap masalah, namun tidak harus identik.
4)     Kemampuan membaca konseli harus diketahui dan dijadikan pengarah dalam memilih material bacaan yang akan digunakan. Jika konseli tidak dapat atau kurang mampu membaca, perlu dilakukan membaca nyaring atau menggunakan material audiovisual.
5)     Kondisi  emosional  dan  usia  kronologis  konseli  harus  diperhatikan  dan  direfleksikan  dalam tingkat kesulitan material bacaan terpilih.
6)     Sebagaimana  dikatakan  oleh  Zaccaria  &  Moses  (1968),  minat  membaca,  baik  individu maupun umum merupakan pengarah dalam seleksi minat baca anakanak dan remaja mengikuti tahapan yang dapat diprediksi.
1)       Dari  usia  2-7  tahun  anak  senang  mendengarkan  cerita  tentang kejadiankejadian seputar keluarga.
2)      6-11 tahun, terdapat peningkatan minat terhadap ceritacerita fantasi.
3)      Remaja melalui beberapa tahapan membaca. Remaja awal (1215 tahun) cenderung tertarik pada cerita binatang, petualangan, misteri, kisah supernatural, olahraga. Remaja pertengahan  (1518  tahun)  minat  membaca  berubah  terhadap  topik  seperti  kisah perang, roman, dan cerita kehidupan remaja. Minat membaca pada usia remaja akhir (1821 tahun) cenderung terarah pada cerita yang berkaitan dengan nilaniali pribadi, makna sosial, pengalaman manusia yang asing dan tidak biasa, dan transisi terhadap kehidupan usia dewasa.
7)      Material  bacaan  yang  mengekspresikan  perasaan  atau  mood  yang  sama  dengan  klien seringkali merupakan pilihan yang baik. Prinsip bacaan disebut sebagai “isoprinciple”, istilah yang berasal dari teknik terapi musik dan biasa digunakan dalam terapi puisi.
8)     Material audiovisual harus dipertimbangkan dalam treatment  jika tidak tersedia material bacaan.
Tipe-tipe Bibliokonseling
Menurut Berry (Eliasa, 2007, hlm. 4) Bibliokonseling dapat dibagi menjadi dua macam tipe, yaitu: 1) tipe klinis dan 2) tipe pendidikan/humanistik.
a.      Tipe klinis
Merupakan bentuk psikoterapi yang dilaksanaan oleh profesi kesehatan termasuk psikiater, psikolog, dan pekerja sosial. Fasilitatornya adalah seorang terapis dan partisipannya adalah orang sakit. Tujuannya adalah untuk membantu klien memperoleh keadaan menjadi lebih baik. Pada tipe klinis fungsi terapi adalah membentuk kehidupan individu. Seorang pasien yang menderita penyakit atau mengalami cacat tertentu dapat merasakan suatu kepuasan tertentu dengan membaca biografi atau cerita keberhasilan penyesuaian diri dari orang yang mengalami penderitaan yang sama.
b.      Tipe Pendidikan atau humanistik
Merupakan tipe terapi pustaka yang dilaksanakan oleh konselor, guru, dan petugas perpustakaan dalam setting pendidikan. Fasilitatornya adalah pimpinan atau manajer kelompok. Adapun partisipan pada terapi pustaka tipe humanistik adalah orang yang sehat, misalnya siswa.
Tujuan dari tipe pendidikan atau humanistik adalah membantu partisipan untuk mencapai pendidikan atau mencapai kepuasan dan aktualisasi diri yang lebih besar. Pada tipe pendidikaan, terapi pustaka dapat memperluas pandangan seseorang tentang perbedaan kondisi manusiawi, sehingga diperoleh pandangan yang luas mengenai perbedaan kondisi yang sifatnya manusiawi.
Teknik Bibliokonseling juga membantu membuka wawasan adanya nilai-nilai yang beraneka ragam yang dapat membangun hidup seseorang. Pada akhirnya seseorang dapat memahami berbagai kondisi sosial seperti kemiskinan, prasangka sosial, dan sebagainya serta dapat memberikan tekanan terhadap pola-pola kehidupan individu.

Intervensi Teknik Bibliokonseling
Intervensi teknik Bibliokonseling dapat dilakukan dengan beberapa cara atau tahapan. Menurut White (Maydina, 2009, hlm. 45) terdapat empat langkah dasar yang harus diikuti dalam penggunaan Bibliokonseling, sebagai berikut.
1)       Berharap, yakni perilaku penuh harapan dan keseriusan.
2)      Membaca, yakni memulai membaca buku yang diberikan.
3)      Mengevaluasi, Mengevaluasi apa yang sudah diperoleh dari bacaan tersebut bersama dengan terapis atau teman dekat.
4)     Berkreasi, menuangkan apa yang ada dalam pikiran pembaca setelah memperoleh seseuatu dari yang dibacanya. Hal ini bisa melalui tulisan, gambar, dan lain lain.
Menurut Novitawati (2011, hlm. 258) intervensi Bibliokonseling dapat dikelompokkan dalam empat tingkatan, yaitu intelektual, sosial, perilaku, dan emosional, berikut.
1)       Pertama, pada tingkat intelektual individu memperoleh pengetahuan tentang perilaku yang dapat memecahkan masalah, membantu pengertian diri, serta mendapatkan wawasan intelektual. Selanjutnya, individu dapat menyadari ada banyak pilihan dalam menangai masalah.
2)      Kedua, di tingkat sosial, individu dapat mengasah kepekaan sosial melampaui bingkai referensinya sendiri melalui imajinasi orang lain. Teknik bibliokonseling dapat menguatkan pola-pola sosial, budaya, menyerap nilai kemanusiaan dan saling memiliki.
3)      Ketiga, tingkat perilaku individu akan mendapatkan kepercayaan diri untuk membicarakan masalah-masalah yang sulit didiskusikan akibat perasaan takut, malu, dan bersalah. Melalui membaca membantu individu didorong untuk berdiskusi tanpa rasa malu akibat rahasia pribadinya terbongkar.
4)     Keempat, pada tingkat emosional, individu dapat terbawa perasaannya dan mengembangkan kesadaran menyangkut wawasan emosional. Teknik bibliokonseling dapat menyediakan solusi-solusi terbaik dari rujukan masalah sejenis yang telah dialami orang lain sehingga merangsang kemauan yang kuat pada individu untuk memecahkan masalahnya.
Oslen (2007, hlm. 27) menyarankan lima tahap penerapan Bibliokonseling, baik dilakukan secara perorangan maupun kelompok, sebagai berikut.
1)       Motivasi.
konselor dapat memberikan kegiatan pendahuluan, seperti permainan atau bermain peran, yang dapat memotivasi peserta untuk terlibat secara aktif dalam kegiatan konseling.
2)      Membaca.
konselor mengajak peserta untuk membaca bahan-bahan bacaan yang telah disiapkan hingga selesai. Yakinkan, terapis telah akrab dengan bahan-bahan bacaan yang disediakan.
3)      Inkubasi.
konselor memberikan waktu pada peserta untuk merenungkan materi yang baru saja mereka baca.
4)     Tindak lanjut.
Sebaiknya tindak lanjut dilakukan dengan metode diskusi. Diskusi membuat peserta mendapatkan ruang untuk saling bertukar pandangan sehingga memunculkan gagasan baru. Terapis membantu peserta untuk merealisasikan pengetahuan dalam kehidupannya.
5)     Evaluasi.
Evaluasi dilakukan secara mandiri oleh peserta. Berguna untuk memancing peserta memperoleh kesimpulan yang tuntas dan memahami arti pengalaman yang dialami.
Menurut Afolayan (1992, hlm. 140) intervensi teknik Bibliokonseling meliputi  tahapan sebagai berikut.
1)       Mengidentifikasi kebutuhan konseli.
Mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan konseli dilakukan melalui penyebaran instrumen angket kepercayaan diri siswa.
2)      Menetapkan bacaan.
Menetapkan bacaan merupakan langkah untuk memilih bahan-bahan bacaan yang tepat, yakni sumber bacaan yang sesuai dengan tingkat kemampuan baca konseli, bacaan menarik agar melatih konseli untuk lebih dewasa, tema bacaan sesuai dengan kebutuhan yang telah diidentifikasi dari konseli.
3)      Menyusun rancangan Bibliokonseling.
Rancangan Bibliokonseling dilakukan dengan menyusun aktivitas sesi intervensi yang sesuai untuk meningkatkan kepercayaan diri siswa.
4)     Rancangan aktivitas setelah Bibliokonseling.
Rancangan aktivitas setelah Bibliokonseling merupakan aktivitas-aktivitas tindak lanjut setelah membaca, seperti diskusi, menonton video, menggambar, dan drama.
5)     Motivasi konseli.
Motivasi konseli merupakan aktivitas pengenalan seperti mengajukan pertanyaan untuk menuju ke pembahasan tentang tema yang dibicarakan.
6)     Diskusi.
Tahap diskusi melibatkan konseli dalam fase membaca, berkomentar atau mendengarkan. Pada tahap diskusi mengajukan pertanyaan-pertanyaan pokok dan berdiskusi kecil tentang bacaan. Diakhir proses diskusi dilakukan simpulan untuk menyimpulkan hasil berdasarkan hasil diskusi.
7)      Refleksi.
Tajap refleksi merupakan tahap untuk merefleksikan bacaan dan tahap intervensi teknik bibliokonseling yang telah dilakukan. Pada tahap refleksi memberi waktu jeda beberapa menit agar konseli bisa merefleksikan materi bacaannya.
8)     Solusi / Rancangan tindakan.
Tahap solusi / rancangan tindakan merupakan tahap konseli untuk meraih penutupan melalui diskusi dan menyusun daftar jalan keluar yang mungkin atau aktivitas lainnya.


Referensi :


Afolayan. (1992). Documentary Perspective of  Bibliotherapy in Education. Journal Reading Horizos, Vol.33 hlm 138-148.
Eliasa. (2007). Bibliotherapy Bertema Karir Untuk Meningkatkan Motivasi Karir Pada Mahasiswa Program Studi Bimbingan dan Konseling. Jurnal Universitas Negeri Yogyakarta, hlm 1-14.
Habiba. (2013). Penerapan teknik self instruction untuk meningkatkan kepercayaan diri ketika pelajaran Retell story pada siswa kelas VIII SMPN 5 Cepu. Jurnal BK Unesa,Volume 03 (01)hlm. 187-196.
Herlina. (2013). Bibliotherapy Mengatasi Masalah Anak dan Remaja Melalui Buku. Bandung: Pustaka Cendikia Utama.
Hidayat. (2008). Aplikasi Bibliokonseling sebagai salah satu strategi membantu klien dalam konseling. Jurnal  Lentera Pendidikan Vol 11 No (1) hlm. 129-139.
Jake dan Iex. (2011). Bibliotherapy Applications for Recreation Therapy. [Online]. Diakses dari http://www.recreationtherapy.com/articles/bibliotherapy.htm.
Kamaningtyas. (2012). Keefektifan Bibliokonseling untuk Meningkatkan Kesadaran Toleransi Siswa SMP. (Skripsi). Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Malang, Malang.
Karacan. (2009). The effect of Self-Esteem Enrichment Bibliocounsling Program On The Self Esteem Level Of Sixth Grade Students. (Tesis). The Graduate school of Social Science, Middle East Technical University.
Kreamer. (2006). Using elf Help Bibliotherapy In Counseling. (Tesis). Faculty of Education, University of Calgary, Lethbridge Alberta.
Maydina. (2009). Efektivitas Bibliotherapy untuk mengurangi kecemasan pada penderita kanker. (Skripsi). Fakultas Psikologi, Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang.
Meier Jensen. (2001). The effects of bibliotherapy on reducing stress/worry in inner-city first grade students. [Online]. Diakses dari www.uwstout.edu/lib/thesis/2001/2001meier-jensenw.pdf.
Novitawati. (2011). Pengaruh Rational Bibliotherapy terhadap penurunan perilaku Merokok dengan Transtheoritical Model of Behaviour Change sebagai Acuan Pengukuran. Jurnal Anima, VOL 16 Nomor 3.
Olsen, M. A. (2007). Bibliotherapy: School psychologists’ report of use and efficacy. (Thesis for educational specialist, Brigham Young University, 2007). [Online]. Diakses dari http://contentdm.lib.byu.edu/ETD/image/etd1274.pdf.
Schlenther. (1999). Using Reading Therapy With Children. Jurnal Blackwell Science Ltd., Health Libraries Review, 16,hlm. 29-37.
Seligman. (2005). The Optimimistic Child. Bandung: PT Mizan Pustaka.

Shectman. (2009). Treating Child and Adolescent Aggression Through Bibliotherapy. New York: Springer Science and Business Media.
Suherman, U. (2011). Manajemen Bimbingan dan Konseling. Bandung: Rizqi Press.
Sukiman, Sugiharto. (2012) “Konseling Kelompok dengan teknik Restukturisasi Kognitif untuk meningkatkan kepercayaan diri siswa”. Jurnal BK 1 (2, hlm. 75-80.
Webster. (1985). Ninth New Collegiete Dictionary. Princetown: University Press.
Yuliawati. (2011). Layanan Bimbingan dan Konseling Berbasis Biblioterapi: Sebuah Upaya Pengembangan Perpustakaan Sekolah. Jurnal Visi Pustaka, Vol. 13 hlm. 19-24.
Yusuf, S. (2009). Psikologi Mental Hygiene terapi psikospiritual untuk hidup sehat berkualitas. Bandung: Maestro.
Yusuf, S. (2011). Pengantar Teori Kepribadian. Bandung : PT Rosdakarya.
Yusuf dan Nurihsan. (2008). Landasan Bimbingan dan Konseling. Bandung : Rosda.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Penguatan Integrasi Pendidikan

PENGUATAN INTEGRASI PENDIDIKAN DALAM ERA DISUPSI Oleh :  Asep Rohiman Lesmana, M.Pd. Pendidikan merupakan suatu entitas yang s...