Teknik Bibliokonseling
Oleh:
Iman Lesmana
Berdasarkan pemikiran Plato yang
diteruskan oleh Rush dan Galt pada tahun 1815-1853 bibliotherapy dapat dipadukan dengan proses konseling atau disebut
juga bibliokonseling. Bertujuan untuk menciptakan hubungan yang hangat,
mengeksplorasi gaya hidup, dan memberikan insight
mendalam. Tujuan dari proses konseling adalah untuk membantu individu agar
menjadi pribadi yang lebih fungsionibel, mencapai integritas diri, identitas
diri, dan aktualisasi diri. (Yuliawati, 2011, hlm. 21)
Menurut Herink dan Goleman (1980, hlm.
54) Bibliotherapy merupakan turunan
dari psikoanalisis. Bibliotherapy
menggunakan buku sebagai medianya. Pada awal abad ke-20 muncul bibliotherapy kognitif yang bertujuan
untuk membantu konseli dengan masalah psikologis. Bibliotherapy kognitif berasal dari teknik Cognitive Behavioral Therapy (CBT) dengan mekanisme utama perubahan
menggunakan proses belajar. Bibliotherapy
kognitif memberikan buku yang sesuai dengan kesulitan khas dari individu,
dengan asumsi dasar individu belajar dari proses membaca buku dan menerapkannya
terhadap kehidupannya (Herlina, 2013, hlm. 99).
Bibliotherapy telah
dikenal dengan banyak nama, misalnya bibliocounseling,
biblioeducation, bibliopsychology, librarytherapeutic, biblioprophylaxis,
tutorial group therapy, dan literatherapy Rubin (dalam Herlina, 2013, hlm.
77). Pada istilah yang digunakan dalam skripsi menggunakan nama Bibliokonseling.
Berikut dipaparkan mengenai pengertian teknik bibliokonseling, sejarah
bibliokonseling, tujuan bibliokonseling, prinsip bibliokonseling, tipe
bibliokonseling, dan intervensi teknik bibliokonseling.
Pengertian
Teknik Bibliokonseling
Istilah bibliotherapy berasal
dari bahasa Yunani, yaitu biblus berarti buku, dan therapy yaitu
upaya bantuan psikologis. Bibliotherapy dapat didefinisikan sebagai
penggunaan buku-buku untuk membantu memecahkan masalah. Pada kamus Webster
(1985, hlm. 185) mendefinisikan bibliotherapy sebagai pedoman dalam
solusi mengatasi masalah pribadi melalui membaca. Berry (dalam Schetman, 2009,
hlm. 21) memberikan definisi yang lebih komprehensif: “a family of techniques for structuring interaction between a
facilitator and a participant... based an their mutual sharing of literature”.
Teknik kekeluargaan untuk menstruktur pola interaksi antara fasilitator dan
partisipan berdasarkan saling berbagi literatur.
Bibliokonseling
adalah teknik yang menggunakan bacaan dari literatur. Dipercaya membaca dapat
berakibat sikap, perasaan, dan tingkah laku individu menjadi lebih dewasa
setelah membacanya sendiri (Sclabassi, dalam Maydina, 2009, hlm.42).
Bibliokonseling merupakan terapi ekspresif yang didalamnya terdapat hubungan
individu dengan isi atau intisari buku dan puisi serta tulisan lain sebagai
sebuah terapi. Bibliokonseling selalu dikombinasikan dengan kegiatan menulis
sebagai refleksi diri. Bibliokonseling disebut juga terapi membaca, yaitu
sebuah terapi yang didalamnya seseorang yang mengalami masalah diminta untuk
membaca buku-buku yang bersifat membantu diri dan motivasi agar mempercepat
penyembuhan.
Shectman (2008, hlm. 8) menekankan “Bibliotherapy
entails the use of literature for therapeutic purposes and it includes
listening to stories and poems, watching films, and looking at pictures. It is
a playful, engaging, and fun process.” Artinya Shectman mengkombinasikan
kegiatan mendengarkan cerita, membaca puisi, menonton film, gambar dilakukan
didalam kegiatan bibliotherapy,
sehingga aktivitas berjalan menarik dan menyenangkan.
Bibliokonseling merupakan suatu cara
yang dapat dilakukan dengan menggunakan buku untuk menolong seseorang
menyelesaikan masalah-masalah. Sclabassi (Eliasa, 2007, hlm. 5) mengemukakan
bibliokonseling merupakan salah satu jenis terapi yang menggunakan aktivitas
membaca suatu literatur untuk mengatasi masalah yang dihadapi. Bibliokonseling
mencakup tugas membaca terhadap bahan bacaan yang terseleksi, terencana, dan
terarah sebagai suatu prosedur treatment
atau tindakan dengan tujuan terapeutik karena diyakini pembaca dapat
mempengaruhi sikap, perasaan, dan perilaku individu sesuai dengan yang
diharapkan.
Teknik Bibliokonseling merupakan teknik yang relevan
untuk mengatasi masalah. Analoginya, lewat membaca seseorang dapat mengenali
diri. Informasi dan pengetahuan yang diperoleh dari kegiatan membaca menjadi
masukan untuk memecahkan masalah yang dihadapi. Saat membaca, pembaca
menginterpretasi jalan pikiran penulis, menerjemahkan simbol dan huruf ke dalam
kata dan kalimat yang memiliki makna tertentu, seperti rasa haru dan simpati.
Perasaan haru dan simpati dapat “membersihkan diri” dan mendorong sesorang
untuk berperilaku lebih positif.
Berdasarkan definisi yang telah dipaparkan dapat
disimpulkan Bibliokonseling adalah sebuah teknik yang menggunakan buku sebagai
media untuk menyelesaikan masalah yang dialami oleh konseli. Teknik bibliokonseling
dapat memberi jalan untuk menyembuhkan diri dari sebuah masalah dengan tujuan
memperoleh insight. Perolehan insight yang sudah disharingkan akan menampilkan masalah
secara umum serta memberikan dorongan untuk memperoleh jalan keluar yang
terbaik.
Sejarah Bibliokonseling
Selama
berabad-abad buku digunakan sebagai sumber daya untuk membantu orang mengatasi
masalahnya. Pada masa Thebes kuno, perpustakaan digambarkan sebagai “The healing Place of The Soul”, tempat
penyembuhan jiwa. Masyarakat Thebes kuno menghargai buku sebagai sebuah sumber
untuk meningkatkan kualitas kehidupan.
Tujuan
teknik Bibliokonseling adalah untuk memberi dasar berpikir kepada individu
sehingga memahami masalah yang dihadapi, serta bertujuan mengatasi berbagai
hambatan dalam kepribadian dengan cara mengganti anggapan yang salah dengan
pendapat yang benar.
Beberapa
buku sekolah permulaan di Amerika seperti New
England Primer dan Mc Guffy Readers
digunakan tidak hanya
untuk tujuan mengajar
anak‐anak namun
juga membantu mengembangkan karakter dan nilai (value) positif untuk meningkatkan
penyesuaian pribadi. Para pendidik termasuk banyak klinisi, menyadari dapat
memainkan peran positif dalam membantu orang mengatasi masalah penyesuaian
pribadi, termasuk masalah kehidupan sehari‐hari (Herlina, 2013, hlm. 81).
Perkembangan
bibliotherapy terjadi pada sekitar
awal abad 20. Dua orang pendukung awal bibliotherapy pada abad 20
adalah Dr. Karl
dan Dr. William
Menninger. Sejumlah artikel
muncul dalam literatur profesional pada tahun 1940‐an; artikel‐artikel seringkali memfokuskan pada
validitas psikologis dari teknik
biliotherapy. Selama tahun
1950‐an beberapa pemikiran yang berkaitan dengan
bibliotherapy dibuat oleh (Shrodes, dalam Herlina, 2013, hlm. 82) yang menguji
status seni dalam mempengaruhi
pandangan filosoif. Definisi
awal dari Shrodes
(dalam Herlina, 2013, hlm. 82)
tentang bibliotherapy “as
a process of
dynamic interaction between
the personality of the reader
and literature under the guidance of a trained helper”. (proses dari
intraksi dinamis antara kepribadian pembaca
dengan literatur yang
mendasari bimbingan dari
helper terlatih) terus
mempengaruhi lapangan pada masa sekarang. Dengan demikian teknik bibliotherapy dapat digunakan untuk
menangani beragam masalah yang dihadapi oleh anak, remaja maupun dewasa.
Kedudukan
Bibliokonseling dalam BK
Bibliokonseling berasal dari pendekatan
kognitif yang diturunkan pada teori Cognitive
Behavioral Therapy (CBT) dengan mekanisme utama perubahan menggunakan
proses belajar. Bibliokonseling kognitif menawarkan buku-buku kepada siswa yang
sesuai dengan kesulitannya, dengan asumsi siswa belajar dari proses membaca dan
menerapkannya pada kehidupan. Bibliokonseling kognitif dapat dilakukan menjadi self-help
atau diikuti oleh pertemuan-pertemuan sesekali untuk membahas buku. Fokus
utama dari Bibliokonseling kognitif adalah pada konten yang disajikan dalam
buku dan relevansinya dengan kesulitan seseorang atau masalah (Shectman, 2009, hlm. 22).
Asumsi yang mendasari Cognitive Behavioral Therapy (CBT)
adalah semua perilaku dipelajari, sehingga dapat mempelajarinya kembali dengan
bimbingan yang tepat. Teori CBT bergantung pada pembelajaran sebagai katalis
utama perubahan perilaku. Bibliokonseling kognitif adalah proses belajar yang
bermanfaat terapeutik. Pendekatan CBT pada Bibliokonseling memiliki bentuk
intervensi berorientasi pendidikan, dimana penguasaan informasi dan perolehan
keterampilan merupakan tujuan utama (Eliasa, 2007, hlm. 7).
Pendekatan CBT telah
banyak digunakan dan efektif dalam bibliokonseling. Pendekatan
kognitif-behavioral pada awal abad 20 mendapatkan popularitas lebih banyak dari
pendekatan yang lain (Shectman, 2009, hlm. 22). Menggunakan bibliokonseling kognitif,
siswa dapat belajar strategi yang sesuai untuk mengembangkan potensi dalam
menghadapi masalah serta mencegah stres. Pada tingkat perilaku siswa dapat
meniru karakter dan melihat bagaimana cara mengatasi situasi yang sulit.
Pada
dunia bimbingan dan konseling, bibliokonseling merupakan terapi membaca dimana
siswa diminta untuk membaca sebuah buku yang didalamnya terkandung nilai dan
informasi penting untuk pengembangan dirinya. Tujuan utama proses
bibliokonseling adalah siswa mampu mengambil informasi, nilai, dan solusi tepat
dari permasalahan yang dihadapi melalui buku yang dibaca (Yuliawati, 2011, hlm.
19-24).
Disimpulkan Bibliokonseling
merupakan strategi yang dapat dilakukan dalam layanan konseling.
Bibliokonseling memiliki nilai positif dalam rangka menumbuhkan karakter pada
siswa. Terlaksananya bibliokonseling, secara tidak langsung dapat menumbuhkan
kebiasaan siswa untuk meningkatkan minat baca yang positif.
Tujuan Teknik Bibliokonseling
Jake
dan Iex (2011, online) menyatakan tujuan
yang dapat diperoleh dengan menggunakan bibliokonseling sebagai berikut.
1) Untuk membangun konsep diri secara individual
2) Untuk menambah pemahaman individu atas perilaku manusia atau
motivasi.
3) Untuk mengasuh penilaian diri yang jujur dari individu
4) Untuk mendapatkan keuntungan atas jalan untuk orang yang
menemukan ketertarikan diluar diri.
5) Untuk mengurangi tekanan emosional atau mental.
6) Untuk menunjukkan pada individu bahwa dia bukan yang pertama
atau hanya dia yang menjumpai masalah tersebut.
7) Untuk membantu orang mendiskusikan masalahnya secara lebih
bebas.
8) Untuk membantu individu merencanakan arah jalan yang
konstruktif dari aksi untuk memecahkan masalah.
Menurut
Bruth & Burggraf, Griffin, dan Pardeck & Pardeck (dalam Herlina, 2013,
hlm. 79) tujuan umum bibliokonseling adalah:
1) Memberikan informasi tentang masalah,
2) Memberikan insight
(pemahaman yang timbul dengan cepat) tentang masalah,
3) Menstimulasi diskusi tentang masalah,
4) Mengkomunikasikan diskusi tentang masalah,
5) Menstimulasi diskusi tentang masalah,
6) Mengkomunikasikan nilai-nilai dan sikap-sikap baru,
7) Menciptakan suatu kesadaran (awareness) bahwa orang lain berhasil mengatasi masalah yang mirip,
dan
8) Memberikan solusi atas permalasalahan.
Teknik
Bibliokonseling dapat menambah informasi yang diperoleh melalui kegiatan
membaca. Bibliokonseling dapat membuat individu mempelajari fakta-fakta baru,
cara pandang berbeda dalam menghadapi masalah, dan pilihan cara memikirkan
masalah.
Berdasarkan
tujuan yang telah dipaparkan, dapat disimpulkan tujuan teknik Bibliokonseling
membantu individu membangun konsep diri dan menambah motivasi yang diperolehnya
dari buku karena didalam buku terdapat lebih dari satu solusi mengenai
masalahnya sehingga mampu mengurangi tekanan emosional.
Prinsip Bibliokonseling
Pardeck
& Pardeck dan Rubin (dalam Herlina, 2013, hlm. 93) menguraikan
prinsip‐prinsip utama Bibliokonseling sebagai berikut.
1) Orang yang membantu harus
menggunakan material bacaan yang dikenalnya.
2) Orang yang membantu harus
menyadari panjang material bacaan. Hindari material yang kompleks dengan detail
dan situasi yang tidak ada hubungan.
3) Pertimbangkan masalah konseli;
material bacaan harus dapat diaplikasikan terhadap masalah, namun tidak harus
identik.
4) Kemampuan membaca konseli
harus diketahui dan dijadikan pengarah dalam memilih material bacaan yang akan
digunakan. Jika konseli tidak dapat atau kurang mampu membaca, perlu dilakukan
membaca nyaring atau menggunakan material audiovisual.
5) Kondisi emosional
dan usia kronologis konseli harus
diperhatikan dan direfleksikan dalam tingkat kesulitan
material bacaan terpilih.
6) Sebagaimana
dikatakan oleh Zaccaria & Moses (1968),
minat membaca, baik individu maupun umum merupakan pengarah
dalam seleksi minat baca anak‐anak dan remaja mengikuti tahapan yang dapat diprediksi.
1) Dari usia
2-7 tahun anak senang mendengarkan cerita
tentang kejadian‐kejadian seputar keluarga.
2) 6-11 tahun, terdapat
peningkatan minat terhadap cerita‐cerita fantasi.
3) Remaja melalui beberapa
tahapan membaca. Remaja awal (12‐15 tahun) cenderung tertarik pada cerita binatang,
petualangan, misteri, kisah supernatural, olahraga. Remaja pertengahan
(15‐18
tahun) minat membaca berubah terhadap topik
seperti kisah perang, roman, dan cerita kehidupan remaja. Minat membaca
pada usia remaja akhir (18‐21 tahun) cenderung terarah pada cerita yang berkaitan
dengan nila‐niali pribadi, makna sosial, pengalaman manusia yang
asing dan tidak biasa, dan transisi terhadap kehidupan usia dewasa.
7) Material bacaan
yang mengekspresikan perasaan atau mood
yang sama dengan klien seringkali merupakan pilihan yang
baik. Prinsip bacaan disebut sebagai “isoprinciple”, istilah yang berasal dari
teknik terapi musik dan biasa digunakan dalam terapi puisi.
8) Material audiovisual harus
dipertimbangkan dalam treatment
jika tidak tersedia material bacaan.
Tipe-tipe Bibliokonseling
Menurut Berry (Eliasa, 2007, hlm. 4)
Bibliokonseling dapat dibagi menjadi dua macam tipe, yaitu: 1) tipe klinis dan
2) tipe pendidikan/humanistik.
a. Tipe klinis
Merupakan bentuk psikoterapi yang
dilaksanaan oleh profesi kesehatan termasuk psikiater, psikolog, dan pekerja
sosial. Fasilitatornya adalah seorang terapis dan partisipannya adalah orang
sakit. Tujuannya adalah untuk membantu klien memperoleh keadaan menjadi lebih
baik. Pada tipe klinis fungsi terapi adalah membentuk kehidupan individu.
Seorang pasien yang menderita penyakit atau mengalami cacat tertentu dapat
merasakan suatu kepuasan tertentu dengan membaca biografi atau cerita
keberhasilan penyesuaian diri dari orang yang mengalami penderitaan yang sama.
b. Tipe Pendidikan atau humanistik
Merupakan tipe terapi pustaka yang
dilaksanakan oleh konselor, guru, dan petugas perpustakaan dalam setting pendidikan.
Fasilitatornya adalah pimpinan atau manajer kelompok. Adapun partisipan pada
terapi pustaka tipe humanistik adalah orang yang sehat, misalnya siswa.
Tujuan dari tipe pendidikan atau
humanistik adalah membantu partisipan untuk mencapai pendidikan atau mencapai
kepuasan dan aktualisasi diri yang lebih besar. Pada tipe pendidikaan, terapi
pustaka dapat memperluas pandangan seseorang tentang perbedaan kondisi
manusiawi, sehingga diperoleh pandangan yang luas mengenai perbedaan kondisi
yang sifatnya manusiawi.
Teknik Bibliokonseling juga membantu
membuka wawasan adanya nilai-nilai yang beraneka ragam yang dapat membangun
hidup seseorang. Pada akhirnya seseorang dapat memahami berbagai kondisi sosial
seperti kemiskinan, prasangka sosial, dan sebagainya serta dapat memberikan
tekanan terhadap pola-pola kehidupan individu.
Intervensi Teknik Bibliokonseling
Intervensi teknik Bibliokonseling
dapat dilakukan dengan beberapa cara atau tahapan. Menurut White (Maydina,
2009, hlm. 45) terdapat empat langkah dasar yang harus diikuti dalam penggunaan
Bibliokonseling, sebagai berikut.
1) Berharap, yakni perilaku penuh
harapan dan keseriusan.
2) Membaca, yakni memulai membaca
buku yang diberikan.
3) Mengevaluasi, Mengevaluasi apa
yang sudah diperoleh dari bacaan tersebut bersama dengan terapis atau teman
dekat.
4) Berkreasi, menuangkan apa yang
ada dalam pikiran pembaca setelah memperoleh seseuatu dari yang dibacanya. Hal
ini bisa melalui tulisan, gambar, dan lain lain.
Menurut Novitawati (2011, hlm. 258) intervensi Bibliokonseling
dapat dikelompokkan dalam empat tingkatan, yaitu intelektual, sosial, perilaku,
dan emosional, berikut.
1) Pertama, pada tingkat intelektual individu memperoleh
pengetahuan tentang perilaku yang dapat memecahkan masalah, membantu pengertian
diri, serta mendapatkan wawasan intelektual. Selanjutnya, individu dapat
menyadari ada banyak pilihan dalam menangai masalah.
2) Kedua, di tingkat sosial, individu dapat mengasah
kepekaan sosial melampaui bingkai referensinya sendiri melalui imajinasi orang
lain. Teknik bibliokonseling dapat menguatkan pola-pola sosial, budaya,
menyerap nilai kemanusiaan dan saling memiliki.
3) Ketiga, tingkat perilaku individu akan mendapatkan
kepercayaan diri untuk membicarakan masalah-masalah yang sulit didiskusikan
akibat perasaan takut, malu, dan bersalah. Melalui membaca membantu individu
didorong untuk berdiskusi tanpa rasa malu akibat rahasia pribadinya terbongkar.
4) Keempat, pada tingkat emosional, individu dapat
terbawa perasaannya dan mengembangkan kesadaran menyangkut wawasan emosional.
Teknik bibliokonseling dapat menyediakan solusi-solusi terbaik dari rujukan
masalah sejenis yang telah dialami orang lain sehingga merangsang kemauan yang
kuat pada individu untuk memecahkan masalahnya.
Oslen (2007, hlm. 27) menyarankan lima tahap penerapan
Bibliokonseling, baik dilakukan secara perorangan maupun kelompok, sebagai
berikut.
1)
Motivasi.
konselor dapat memberikan kegiatan pendahuluan, seperti permainan atau
bermain peran, yang dapat memotivasi peserta untuk terlibat secara aktif dalam
kegiatan konseling.
2)
Membaca.
konselor mengajak peserta untuk membaca bahan-bahan bacaan yang telah
disiapkan hingga selesai. Yakinkan, terapis telah akrab dengan bahan-bahan
bacaan yang disediakan.
3)
Inkubasi.
konselor memberikan waktu pada peserta untuk merenungkan materi yang baru
saja mereka baca.
4)
Tindak lanjut.
Sebaiknya tindak lanjut dilakukan dengan metode diskusi. Diskusi membuat
peserta mendapatkan ruang untuk saling bertukar pandangan sehingga memunculkan
gagasan baru. Terapis membantu peserta untuk merealisasikan pengetahuan dalam
kehidupannya.
5)
Evaluasi.
Evaluasi dilakukan secara mandiri oleh peserta. Berguna untuk memancing
peserta memperoleh kesimpulan yang tuntas dan memahami arti pengalaman yang
dialami.
Menurut
Afolayan (1992, hlm. 140) intervensi teknik Bibliokonseling meliputi tahapan sebagai berikut.
1)
Mengidentifikasi
kebutuhan konseli.
Mengidentifikasi
kebutuhan-kebutuhan konseli dilakukan melalui penyebaran instrumen angket
kepercayaan diri siswa.
2)
Menetapkan
bacaan.
Menetapkan
bacaan merupakan langkah untuk memilih bahan-bahan bacaan yang tepat, yakni
sumber bacaan yang sesuai dengan tingkat kemampuan baca konseli, bacaan menarik
agar melatih konseli untuk lebih dewasa, tema bacaan sesuai dengan kebutuhan
yang telah diidentifikasi dari konseli.
3)
Menyusun
rancangan Bibliokonseling.
Rancangan
Bibliokonseling dilakukan dengan menyusun aktivitas sesi intervensi yang sesuai
untuk meningkatkan kepercayaan diri siswa.
4)
Rancangan
aktivitas setelah Bibliokonseling.
Rancangan
aktivitas setelah Bibliokonseling merupakan aktivitas-aktivitas tindak lanjut
setelah membaca, seperti diskusi, menonton video, menggambar, dan drama.
5)
Motivasi
konseli.
Motivasi
konseli merupakan aktivitas pengenalan seperti mengajukan pertanyaan untuk
menuju ke pembahasan tentang tema yang dibicarakan.
6)
Diskusi.
Tahap diskusi
melibatkan konseli dalam fase membaca, berkomentar atau mendengarkan. Pada
tahap diskusi mengajukan pertanyaan-pertanyaan pokok dan berdiskusi kecil
tentang bacaan. Diakhir proses diskusi dilakukan simpulan untuk menyimpulkan
hasil berdasarkan hasil diskusi.
7)
Refleksi.
Tajap refleksi
merupakan tahap untuk merefleksikan bacaan dan tahap intervensi teknik
bibliokonseling yang telah dilakukan. Pada tahap refleksi memberi waktu jeda
beberapa menit agar konseli bisa merefleksikan materi bacaannya.
8)
Solusi /
Rancangan tindakan.
Tahap solusi /
rancangan tindakan merupakan tahap konseli untuk meraih penutupan melalui
diskusi dan menyusun daftar jalan keluar yang mungkin atau aktivitas lainnya.
Referensi :
Afolayan. (1992). Documentary Perspective of Bibliotherapy in Education. Journal Reading Horizos, Vol.33 hlm 138-148.
Eliasa. (2007). Bibliotherapy Bertema Karir Untuk Meningkatkan
Motivasi Karir Pada Mahasiswa Program Studi Bimbingan dan Konseling. Jurnal Universitas Negeri Yogyakarta, hlm
1-14.
Habiba. (2013). Penerapan teknik self instruction untuk
meningkatkan kepercayaan diri ketika pelajaran Retell story pada siswa kelas
VIII SMPN 5 Cepu. Jurnal BK Unesa,Volume
03 (01)hlm. 187-196.
Herlina. (2013). Bibliotherapy
Mengatasi Masalah Anak dan Remaja Melalui Buku. Bandung: Pustaka Cendikia
Utama.
Hidayat. (2008). Aplikasi Bibliokonseling sebagai salah satu
strategi membantu klien dalam konseling. Jurnal Lentera Pendidikan Vol 11 No (1) hlm. 129-139.
Jake dan Iex. (2011). Bibliotherapy
Applications for Recreation Therapy. [Online]. Diakses dari http://www.recreationtherapy.com/articles/bibliotherapy.htm.
Kamaningtyas. (2012). Keefektifan
Bibliokonseling untuk Meningkatkan Kesadaran Toleransi Siswa SMP.
(Skripsi). Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Malang, Malang.
Karacan. (2009). The effect of Self-Esteem Enrichment Bibliocounsling
Program On The Self Esteem Level Of Sixth Grade Students. (Tesis). The Graduate school of Social Science,
Middle East Technical University.
Kreamer. (2006). Using elf
Help Bibliotherapy In Counseling. (Tesis). Faculty of Education, University
of Calgary, Lethbridge Alberta.
Maydina. (2009). Efektivitas
Bibliotherapy untuk mengurangi kecemasan pada penderita kanker. (Skripsi).
Fakultas Psikologi, Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang.
Meier Jensen. (2001). The effects of bibliotherapy on reducing
stress/worry in inner-city first grade students. [Online]. Diakses dari www.uwstout.edu/lib/thesis/2001/2001meier-jensenw.pdf.
Novitawati. (2011). Pengaruh Rational Bibliotherapy terhadap
penurunan perilaku Merokok dengan Transtheoritical Model of Behaviour Change sebagai Acuan Pengukuran. Jurnal Anima, VOL 16 Nomor 3.
Olsen, M. A. (2007). Bibliotherapy: School psychologists’ report of use and
efficacy. (Thesis for
educational specialist, Brigham Young University, 2007). [Online]. Diakses dari http://contentdm.lib.byu.edu/ETD/image/etd1274.pdf.
Schlenther. (1999). Using Reading Therapy With Children. Jurnal Blackwell Science Ltd., Health
Libraries Review, 16,hlm. 29-37.
Seligman. (2005). The
Optimimistic Child. Bandung: PT Mizan Pustaka.
Shectman. (2009). Treating
Child and Adolescent Aggression Through Bibliotherapy. New York: Springer
Science and Business Media.
Suherman, U. (2011). Manajemen Bimbingan dan Konseling.
Bandung: Rizqi Press.
Sukiman, Sugiharto. (2012) “Konseling Kelompok dengan teknik
Restukturisasi Kognitif untuk meningkatkan kepercayaan diri siswa”. Jurnal BK 1 (2, hlm. 75-80.
Webster.
(1985). Ninth New Collegiete Dictionary. Princetown: University Press.
Yuliawati. (2011). Layanan Bimbingan dan Konseling Berbasis
Biblioterapi: Sebuah Upaya Pengembangan Perpustakaan Sekolah. Jurnal Visi Pustaka, Vol.
13 hlm. 19-24.
Yusuf,
S. (2009). Psikologi Mental Hygiene terapi psikospiritual untuk hidup sehat
berkualitas. Bandung: Maestro.
Yusuf,
S. (2011). Pengantar Teori Kepribadian. Bandung : PT Rosdakarya.
Yusuf dan Nurihsan. (2008). Landasan Bimbingan dan Konseling. Bandung : Rosda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar