Perkembangan
Self-Efficacy Academic
Perkembangan Self-Efficacy
Teori self-efficacy dikembangkan dari teori
kognitif sosial Bandura yang mengungkap tentang perilaku dan aspek-aspek
mekanistis organisme perspektif individu (Bandura, 1977). Model kognitif sosial mengungkap mengenai hubungan antara faktor pribadi
(kognitif, afektif dan proses biologis), perilaku seseorang, dan kondisi
lingkungan yang secara terus menerus saling berinteraksi dan memberikan
pengaruh satu sama lain yang sering disebut hubungan segitiga timbal balik.
Interaksi antara faktor pribadi dan perilaku mencerminkan dampak dari pikiran,
perasaan, dan keyakinan seseorang pada dirinya atau perilakunya, sementara
interaksi antara pengaruh lingkungan dan faktor pribadi mencerminkan dampak
dari pengaruh sosial (pemodelan, pembelajaran serta persuasi) dalam hal
harapan, keyakinan dan emosi orang lain terhadap karakteristik dirinya
(Bandura, 1989: Wernersbach,
2011: 4).
Sekitar tahun 1982, 1986 dan 1989 Bandura telah mengembangkan suatu model
perilaku sosial yang meliputi self-efficacy
sebagai faktor utama (Sudrajat, 2008: 18). Bandura (Finaly, 2011: 38)
menjelaskan self-efficacy secara
eksplisit berhubungan dengan kemampuan yang dicapai oleh seseorang dalam
melaksanakan tugas khusus sebagai predioktor kuat dari perilaku. Selanjutnya,
Bandura (Wernersbach,
2011: 5) menjelaskan self-efficacy
sebagai faktor motivasi yang dapat meningkatkan atau menghambat tindakan
berdasarkan penilaian individu terhadap kemampuannya untuk mengendalikan suatu
kejadian/peristiwa yang dapat berpengaruh terhadap hidupnya.
Konsep Self-Efficacy
Self-efficacy merupakan suatu
keadaan dimana seseorang yakin dan percaya dirinya dapat berhasil melakukan
sesuatu secara efektif. Bandura (1997; 2006: 307) menjelaskan “perceived
self-efficacy is concered with
people’s beliefs in their capabilities to produce given attainments”, self-efficacy
mengacu pada keyakinan individu terhadap kompetensi dirinnya untuk mencapai
hasil yang diinginkan. Selanjutnya,
Bandura (Pajares, 1996: 544) menjelaskan ‘self
efficacy beliefs are defined as beliefs in one capabilities to organize and
execute the course of action required to to manage prospective situations’,
self-efficacy didefinisikan sebagai keyakinan dalam satu kemampuan untuk mengatur dan
melaksanakan tindakan yang diperlukan untuk mengelola
siatuasi yang akan datang. Lebih lanjut, Bandura (Hen dan Goroshit, 2012: 2)
menjelaskan ‘Self-efficacy refers to people’s judgments of their own capabilities to
organize and execute courses of action required to attain designated types of
performances’ , self-efficacy mengacu pada penilaian individu
terhadap kemampuan yang dimilikinya untuk
mengatur dan menjalankan rencana tindakan yang diperlukan untuk mencapai hasil
yang diharapkan. Ketiga penjelasan dari Bandura mengenai definisi
self efficacy mengacu pada keyakinan
diri individu terhadap potensi dirinya.
Analog dengan
definisi yang dikemukakan Bandura, menjelaskan bahwa self-efficacy merujuk pada persepsi
kognitif yang berisikan tentang kemampuan dalam mengatur dan melaksanakan
sejumlah tindakan atau aktivitas yang diperlukan untuk menyelesaikan tuntutan
atau tugas-tugas tertentu sehingga berhasil.
Rusnawati
(2012: 19) mendefinisikan self-efficacy sebagai
“keyakinan atau kepercayaan individu terhadap kemampuan yang dimilikinya dalam
melaksanakan dan menyelesaikan tugas-tugas yang ia hadapi, sehingga mampu
mengatasi rintangan dan mencapai tujuan yang diharapkan”. Selanjutnya,
Setiadi (2010: 20) menjelaskan self-efficacy berhubungan dengan “someone’s belief in
his/her capability to do something or different things under a specific
circumstance”, self-efficacy berhubungan dengan keyakinan
seseorang terhadap kemampuannya untuk melakukan sesuatu atau hal-hal yang
berbeda di bawah kondisi tertentu. Lebih lanjut,
Pajares (1996: 544) mengungkapkan “efficacy beliefs help determine how much
effort people will expend on an activity, how long they will preserve when
confronting obstacles and how resilent they will prove in the face of adverse
situstions”, self-efficacy membantu individu dalam
menentukan seberapa banyak usaha yang dilakukan ketika melaksanakan suatu
kegiatan serta seberapa lama individu mampu bertahan dalam menghadapi hambatan
dalam sebuah situasi.
Self-efficacy juga mempengaruhi pola
pikir dan reaksi emosional individu. Individu yang memiliki self-efficacy rendah akan mempersepsikan suatu
kondisi lebih sulit dari kenyataan yang sebenarnya, sehingga akan cenderung
mengalami stres, depresi dan tidak mampu menemukan cara yang terbaik untuk
memecahkan masalah yang dialami. Self-efficacy tinggi, akan membantu menciptakan perasaan yang tenang dalam menghadapi tugas akademik maupun
kondisi yang sulit. Pada akhirnya, self-efficacy merupakan penentu dan prediktor yang kuat
terhadap tingkat prestasi yang akan
dicapai oleh individu (Pajares, 1996: 544-545).
Disimpulkan self-efficacy merupakan keyakinan
individu terhadap kemampuan yang dimiliki untuk mengatur dan melaksanakan
serangkaian tindakan serta mampu bertahan menghadapi tantangan dalam
mencapai tujuan yang diharapkan.
Definisi Academic Self-Efficacy
Konseptualisasi
self-efficacy dalam
situasi akademik disebut dengan academic
self-efficacy. Schunk
(Sudrajat, 2008: 18) telah mengawali penelitian self-efficacy dalam bidang pendidikan. Schunk (Gore, 2005: 93)
menjelaskan ‘academic self-efficacy can
be defined as individuals’ confidence in their ability to successfully perform
academic tasks at a designated level’, academic
self-efficacy dapat
didefinisikan sebagai keyakinan individu terhadap kemampuan yang dimilikinya
sehingga berhasil melaksanakan tugas-tugas akademik sesuai dengan tingkat
kemampuannya. Sejalan dengan
pendapat Schunk, Baron dan Byrne (Dwitantyanov et al, 2010: 136)
menjelaskan academic
self-efficacy dapat diartikan sebagai ‘keyakinan seseorang bahwa dirinya
mampu untuk melakukan tugas akademik yang diberikan dan menandakan level
kemampuan dirinya.’
Menurut
Bandura (Wijaya dan Pratitis, 2012:
6) ‘academic self-efficacy mengacu
pada keyakinan yang berkaitan dengan kemampuan dan kesanggupan seorang pelajar
untuk mencapai dan menyelesaikan tugas-tugas studi dengan target hasil dan
waktu yang telah ditentukan.’ Menurut Bandura
(Dwitantyonov, et al, 2010: 136) academic self-efficacy jika
disertai dengan tujuan-tujuan yang spesifik dan pemahaman mengenai prestasi
akademik, maka akan menjadi penentu suksesnya perilaku akademik di masa yang
akan datang.
Bandura
(1997: 215) memperjelas konsep academic
self-efficacy dengan mengkorelasikan academic
self-efficacy terhadap prestasi akademik peserta didik, yaitu:
Students
whose sense of efficacy was raised set higher aspirations for themselves,
showed greater strategic flexibility in the search for solutions, achieved
higher intellectual performances, and were more accurate in evaluating the
quality of their performances than were students of equal cognitive ability who
were led to believe they lacked such capabilities.
Mc Grew (Online, 2008) menjelaskan ‘academic self-efficacy refers to a person's conviction that they
can successfully achieve at a designated level in a specific academic subject
area’, academic self-efficacy mengacu pada keyakinan
seseorang
bahwa dirinya
dapat berhasil mencapai prestasi pada tingkat yang ditetapkan dalam
suatu subjek area akademik.
Selanjutnya, Ayiku (2005: 21) menjelaskan “academic self-efficacy is a construct where a student’s intellectual performance
is based on the development of cognitive skill and his or her perceived
self-efficacy”, academic self-efficacy
adalah konsep
tentang kinerja
intelektual
peserta didik
didasarkan
pada
pengembangan keterampilan
kognitif serta
persepsi self-efficacy-nya.
Definisi Ayiku menjelaskan kinerja akademik peserta didik dalam menyelesaikan
tugas serta tuntutan akademik didasarkan pada keterampilan kognitif serta
tingkat self-efficacy-nya.
Disimpulkan academic self-efficacy merupakan tingkat
keyakinan diri peserta didik dalam menyelesaikan serangkaian tugas akademik
dengan target hasil dan waktu yang telah ditentukan yang menandakan level
kemampuannya.
Dimensi-Dimensi
Self-Efficacy
Bandura (1997: 42-43) menjelaskan self-efficacy individu dapat dibedakan atas dasar tiga dimensi,
yaitu mangnitude atau level, generality, strength.
1)
Magnitude atau Level
Magnitude merujuk pada
tingkat kesulitan tugas atau masalah yang diyakini oleh individu dapat
diselesaikan sebagai hasil persepsi tentang kompetensi diri. Pada konsep academic self-efficacy, dimensi magnitude berkaitan dengan tingkat
kesulitan tugas akademik yang diyakini peserta didik mampu untuk diselesaikan.
Peserta didik biasanya akan mencoba tugas yang dirasa mampu untuk diselesaikan.
Pada saat peserta didik dihadapkan pada tugas akademik yang disusun menurut
tingkat kesulitan tertentu, maka self-efficacy-nya
akan jatuh pada tugas yang sangat mudah, mudah, cukup mudah, sulit dan sangat
sulit. peserta didik yang memiliki academic
self-efficacy yang tinggi cenderung memilih tugas yang tingkat kesukarannya
sesuai dengan kemampuannya. Peserta didik yang tingkat academic self-efficacy nya rendah akan menghindari tugas yang
dirasa melampaui batas kemampuannya.
2) Generality
Dimensi Generality berkaitan dengan keluasan tingkat penguasaan atau
pencapaian individu terhadap tugas atau masalah dalam kondisi tertentu. Pada
konsep academic self-efficacy, generality berkaitan dengan keluasan
bidang ilmu pengetahuan yang diyakini dapat dikuasai peserta didik dalam menyelesaikan
berbagai tugas akademik berdasarkan pengalaman-pengalaman sebelumnya. Individu
dapat menyatakan dirinya memiliki keyakinan diri pada berbagai bidang
akademik (mata pelajaran), atau terbatas pada satu bidang akademik tertentu
saja. Peserta didik dengan self-efficacy
yang tinggi akan merasa yakin mampu menguasai berbagai mata pelajaran sekaligus
dalam menyelesaikan tugas akademik. Individu yang memiliki self-efficacy yang rendah hanya menguasai sedikit bidang
pengetahuan (mata pelajaran) dalam menyelesaikan suatu tugas akademik.
3) Strength
Strength merujuk pada
tingkat kekuatan atau kelemahan keyakinan individu terhadap kompetensi yang dipersepsinya. Pada
konsep academic self-efficacy, dimensi strength merupakan
dimensi yang mengungkap kuat atau lemahnya keyakinan peserta didik terhadap
kompetensi yang dipersepsinya dalam menyelesaikan tugas akademik yang sulit sekalipun.
Dimensi strength berkaitan dengan
keteguhan hati keyakinan peserta didik bahwa dirinya akan berhasil dalam
mengerjakan tugas akademik yang dicerminkan dalam daya juang tinggi dan pantang menyerah. Self-efficacy peserta didik yang kuat
akan menjadi dasar bagi individu untuk melakukan usaha yang keras,
bahkan ketika menemui hambatan sekalipun.
Sumber-Sumber
Self-Efficacy
Menurut
Bandura (1995: 3-5) keyakinan individu terhadap keberhasilan dirinya dapat
dikembangkan oleh empat pengaruh utama, yaitu:
1) Pengalaman
Penguasaan (Mastery Experiences)
Pengaruh pertama
dalam membentuk dan memperkuat self-efficacy
individu adalah pengalaman
penguasaan (mastery experiences). Kesuksesan
sebagai hasil dari pengalaman penguasaan, akan membangun kepercayaan yang kuat
dalam keyakinan pribadi individu. Sebaliknya, kegagalan akan mengurangi rasa
keyakinan (sense of efficacy)
individu. Dengan kata lain, semakin sering individu mengalami keberhasilan,
maka tingkat self-efficacy
nya akan semakin tinggi. Sebaliknya, semakin sering individu mengalami
kegagalan maka semakin rendah tingkat self-efficacy
nya.
Pada setting akademik, self-efficacy
melalui pengalaman penguasaan terbentuk ketika peserta didik berhasil
menyelesaikan tugas akademik kemudian menafsirkan dan mengevaluasi
hasil yang
diperoleh. Ketika peserta didik berhasil menyelesaikan tugas, maka self-efficacy untuk menyelesaikan tugas serupa akan
cenderung meningkat juga, sebaliknya ketika peserta didik mengalami
kegagalan dalam menyelesaikan tugas, maka self-efficacy
untuk berhasil pun akan cenderung berkurang. Pengalaman penguasaan mempunyai
pengaruh sangat kuat bagi peserta didik dalam mengatasi hambatan atau
mencapai keberhasilan pada tugas-tugas menantang (Usher dan Pajares, 2008: 752).
2) Pengalaman
Perumpamaan (Vicarious Experiences)
Pengaruh yang kedua
dalam membentuk dan memperkuat self-efficacy
individu adalah pengalaman yang diperoleh melalui pengamatan terhadap model
sosial. Dengan mengamati pengalaman orang lain (model sosial) dalam mencapai
kesuksesan, akan memperkuat self-efficacy
untuk mencapai hasil yang sama dengan hasil yang dicapai oleh model yang
diobervasinya. Sebaliknya, kegagalan model yang diobservasi akan melemahkan
tingkat motivasi dan self-efficacy
individu. Pengaruh pemodelan akan memberikan standar sosial terhadap individu
dalam melakukan penilaian terhadap kemampuan dirinya.
Pada setting akademik,
model sosial memainkan peran yang kuat dalam
pengembangan self-efficacy,
terutama
ketika peserta
didik tidak
yakin tentang kemampuan yang dimiliki. Peserta didik cenderung
membandingkan kemampuan akademik yang dimiliki dengan teman sekelasnya (Usher
dan Pajares, 2008: 753).
Pembentukan self-efficacy melalui
pengamatan pengalaman model sosial (vicarious
experiences) dapat dilakukan melalui kegiatan observasi, meniru,
berimajinasi, dan melalui media lainnya. Individu dalam membentuk kekuatan self-efficacy cenderung
mencari model yang memiliki kompetensi yang sesuai dengan cita-citanya.
Misalnya, ketika peserta didik bercita-cita untuk menjadi dokter,
maka dalam membentuk self-efficacy, peserta
didik akan
mencari model seorang dokter yang sukses dibidangnya. Dengan mengamati
perilaku, pemikiran, pegetahuan, serta kompetensi yang dimiliki model, akan
mengajarkan peserta didik suatu keterampilan dan strategi dalam
mencapai tujuan.
3) Persuasi Sosial atau
Verbal (Social Persuasion)
Persuasi sosial atau verbal
dapat memperkuat self-efficacy
dalam pencapaian keberhasilan. Pendapat orang lain yang menganggap individu
memiliki kemampuan dalam menyelesaikan suatu kegiatan dengan sukses akan
memperkuat self-efficacy individu
dalam menghadapi berbagai masalah atau tantangan ketika melaksanakan suatu
kegiatan/aktivitas. Sebaliknya, pendapat orang lain yang meganggap individu
tidak mampu, akan melemahkan self-efficacy
individu dalam melaksanakan aktivitas dengan baik.
Pada setting akademik, persuasi sosial dapat
berupa dukungan dari orang tua, guru, dan teman
sebaya yang akan memperkuat keyakinan diri peserta didik terhadap
kemampuan akademik yang dimiliki. Ketika peserta didik belum terampil
dalam membuat penilaian diri yang akurat, peserta didik sering
tergantung
pada orang lain untuk memberikan umpan balik evaluatif dan penilaian tentang
kinerja akademis yang dimilikinya. Persuasi verbal dapat berfungsi untuk
meningkatkan upaya peserta didik dalam menanamkan self-efficacy terkait kompetensi yang dimiliki
(Usher dan Pajares, 2008: 754).
4) Kondisi Psikologis
dan Emosional (Physiological and
Emotional States)
Sumber self-efficacy
yang terakhir adalah keadaan fisiologis dan emosional. Individu
menafsirkan reaksi stres dan ketegangan sebagai tanda
kerentanan terhadap kinerja yang buruk. Pada
kegiatan yang melibatkan kekuatan dan stamina, individu cenderung
menilai kelelahan fisik sebagai kelemahan, suasana hati mempengaruhi
penilaian individu tentang kompetensi dirinya (Bandura, 1995: 4).
Pengembangan self-efficacy tidak
hanya tergantung pada keadaan fisiologis dan emosional individu, melainkan pada
bagaimana individu menafsirkan kondisi fisiologis dan emosional yang sedang
dialami. Peserta didik
yang kurang yakin terhadap kemampuan dirinya akan secara salah
menafsirkan kecemasan sebagai tanda ketidakmampuan. Penafsiran tersebut akan
mengakibatkan kegagalan dalam menyelesaikan tugas akademik. Keadaan emosional peserta
didik juga
mempengaruhi bagaimana peserta didik menafsirkan pengalamannya. Cara
untuk mengembangkan self-efficacy adalah
dengan meningkatkan kekuatan fisik, mengurangi stres dan kecenderungan
emosional negatif, serta kesalahan memprespsikan suatu keadaan atau kondisi.
Faktor-Faktor
yang Mempengaruhi Perkembangan self-efficacy
Peserta didik
Schunk dan Meece (2005: 74-86) dalam
jurnal penelitian “Self-Efficacy
Development and Adolesences” menjelaskan beberapa faktor yang mempengaruhi
tingkat academic self-efficacy remaja
antara lain perubahan perkembangan, lingkungan keluarga, sekolah, serta teman
sebaya. Pengaruh
yang terkait dengan masing-masing konteks sosial dapat memiliki efek mendalam
pada keyakinan remaja tentang kemampuanya untuk berhasil baik di dalam maupun
diluar sekolah.
1) Perubahan
Perkembangan (Developmental Changes)
Perubahan kognitif,
fisik, dan
sosial
pada remaja memiliki
implikasi penting bagi remaja dalam mendeskripsikan kemampuan yang dimiliki.
Penelitian
Harter (Schunk dan Meece, 2005: 77) menunjukkan deskripsi diri remaja
cenderung lebih abstrak dan multidimensi. Perubahan pada masa remaja menunjukan
sebagian kemampuan remaja menjadi
meningkat untuk
kemampuan abstraksi kognitif, refleksi, dan perbandingan
sosial . Pada
masa remaja,
individu menjadi lebih terampil mengkoordinasikan informasi yang
bertentangan dengan harapan, serta membentuk pandangan yang lebih stabil terhadap kemampuan
yang dimiliki. Kemampuan remaja mempengaruhi self-efficacy yang dimiliki.
2) Sekolah
Situasi serta
kondisi sekolah akan membantu membentuk self-efficacy
remaja.
Eccles
et al (Schunk danMeece, 2005: 79)
menjelaskan dengan kematangan kognitif, remaja lebih mampu menginterpretasikan
dan mengintegrasikan beberapa sumber informasi mengenai kompetensi
yang dimiliki, serta memiliki pandangan yang jauh lebih berbeda dari
kemampuannya. Sekolah memiliki
pengaruh potensial pada self-efficacy remaja
termasuk bagaimana struktur pengajaran, kemudahan atau kesulitan belajar,
umpan
balik tentang kinerja, persaingan, kegiatan penilaian, jumlah
dan jenis perhatian guru, dan transisi sekolah. Sebagai
contoh, struktur pengajaran yang kaku menyebabkan peserta
didik
mengalami kegagalan dan kesulitan belajar. Kesulitan belajar yang dialami peserta
didik
akan mengakibatkan menurunnya self-efficacy peserta
didik.
Ruang kelas dengan banyak kompetisi dan perbandingan sosial dapat
menurunkan self-efficacy peserta
didik
yang merasa kurang berprestasi.
Periode
transisi di sekolah dapat menyebabkan perubahan dalam self-efficacy.
Transisi sekolah membawa banyak perubahan dalam hubungan guru dan kelompok
sebaya, kelas yang dapat mempengaruhi self-efficacy.
Menurut Anderman et al, (Schunk dan
Meece, 2005: 80) remaja sering mengalami penurunan
kompetensi dan self-efficacy ketika
remaja mengalami transisi antara SD dengan SMP. Karakteristik peserta
didik
SMP berbeda dengan SD, peserta didik SMP lebih cenderung terfokus pada
persaingan dan perbedaan kemampuan dibandingkan fokus pada pembelajaran dan
penguasaan pengetahuan.
Hal lain yang mempengaruhi self-efficacy adalah sistem pembelajaran
sekolah serta lingkungan sekolah yang kondusif. Sistem pembelajaran yang tepat
serta lingkungan sekolah yang kondusif akan membantu peserta didik
menetapkan tujuan pembelajarannya dan fokus pada kegiatan belajar dan mengajar
sehingga peserta didik akan semakin yakin terhadap kemampan
yang dimiliki.
3) Teman Sebaya (Peers)
Pengaruh
teman sebaya sangat kuat di kalangan remaja karena teman
sebaya memberikan kontribusi yang signifikan untuk proses sosialisasi remaja.
Sebuah
hasil penelitian menunjukkan self-efficacy remaja
sangat dipengaruhi oleh teman sebaya (Schunk dan Miller, 2002; Schunk dan
Meece, 2005: 82). Pengamatan peserta didik terhadap
kemampuan teman sebayanya dalam menyelesaikan tugas dapat meningkatkan self-efficacy peserta
didik
dan mengarahkan peserta didik untuk meyakini dirinya mampu
menyelesaikan tugas seperti teman sebayanya. Sebaliknya,
pada saat teman sebayanya tidak berhasil menyelesaikan tugas, maka self-efficacy peserta
didik
pun akan menurun. Remaja cenderung memilih teman-teman dan kelompok sebaya atas
dasar kesamaan yang kemudian akan meningkatkan pengaruh potensi pemodelan.
4) Keluarga (Families)
Lingkungan
keluarga akan memberikan pengaruh terhadap self-efficacy
remaja (Schunk dan Meece, 2005: 84). Orang tua
membangun kompetensi remaja ketika memberikan lingkungan yang
menawarkan beberapa tantangan, dorongan untuk menetapkan aspirasi yang tinggi
namun realistis, memberikan peran model yang positif,
menyediakan dan mendukung pengalaman penguasaan, dan
mengajarkan bagaimana menghadapi kesulitan.
Faktor
lingkungan keluarga lainnya yang mempengaruhi self-efficacy remaja
adalah latar belakang ekonomi keluarga. Remaja yang latar belakang keluarganya
termasuk kelas ekonomi bawah, akan cenderung memiliki self-efficacy
yang rendah, karena keluarga dengan latar belakang ekonomi kelas bawah akan
kurang mampu memenuhi kebutuhan akademik yaitu berbagai fasilitas belajar yang
membantu menstimulasi perkembangan kognitif remaja seperti komputer dan buku
pelajaran.
Pola asuh orang tua akan mempengaruhi
perkembangan self-efficacy remaja.
Remaja dengan Orang tua yang bersikap hangat, cepat tanggap dan ikut
terlibat dalam mendukung perkembangan akademik, akan meningkatkan self-efficacy remaja.
Selain itu, persepsi orang tua terhadap kemampuan yang dimiliki anak, akan
senantiasa berpengaruh terhadap persepsi remaja terhadap kompetensi yang
dimilikinya.
Proses-Proses
Self-Efficacy
Efficacy
mengatur fungsi individu melalui empat proses utama yaitu proses kognitif,
motivasi, afektif, dan seleksi (Bandura, 1995: 5-11).
1)
Proses
Kognitif
Fungsi utama
dari kognitif adalah memungkinkan individu untuk memprediksi kejadian, serta
mengembangkan cara untuk mengontrol kehidupannya. Misalnya,
keterampilan pemecahan masalah secara efektif memerlukan
proses kognitif untuk memproses berbagai informasi yang diterima. Asumsi
yang timbul pada aspek kognitif adalah semakin efektif kemampuan individu dalam
analisis dan dalam berlatih mengungkapkan ide-ide atau gagasan-gagasan pribadi,
maka akan mendukung individu bertindak dengan tepat untuk mencapai tujuan yang
diharapkan. Individu akan meramalkan kejadian dan mengembangkan cara untuk
mengontrol kejadian yang mempengaruhi hidupnya.
Proses
kognitif akan menekan tuntutan atau tugas yang harus diselesaikan, kegagalan,
serta kemunduran yang dapat berpengaruh terhadap perkembangan pribadi sosial
individu. Pada saat dihadapkan pada
suatu keadaan yang sulit akibat tuntutan lingkungan, individu yang memiliki self-efficacy
yang rendah cenderung kurang mampu berpikir secara analitis dalam mengungkapkan
aspirasinya. Individu yang mampu mempertahankan rasa keyakinannya dapat
menentukan tujuan dan menggunakan pemikiran analitik secara tepat yang
ditunjukan dalam prestasi yang dicapainya.
2)
Proses
Motivasi
Efficacy
memainkan peran penting dalam regulasi
diri motivasi.
Individu memotivasi dirinya dan mengarahkan tindakannya dengan
latihan pemikiran. Individu
membentuk keyakinan tentang apa yang bisa dilakukan serta mengantisipasi
kemungkinan hasil dari tindakan yang dilaksanakan. Individu
menetapkan tujuan dan membuat rencana tindakan yang dirancang untuk mewujudkan
tujuan. Tingkat motivasi dipengaruhi oleh keyakinan individu terkait dengan hal
apa yang dapat dilakukan serta kemungkinan hasil yang dicapai. Selain itu,
tujuan yang ingin dicapai juga berpengaruh terhadap motivasi.
3)
Proses
Afektif
Keyakinan individu terhadap kemampuan
yang dimilikinya berpengaruh terhadap tingkat stres dan depresi yang dialami
dalam situasi mengacam. Persepsi self-efficacy dalam melakukan kontrol
terhadap stres memainkan peranan penting dalam menentukan tingkat kecemasan
individu.
Individu yang tidak yakin akan potensi dirinya akan
berpersepsi lingkungannya berbahaya dan dapat mengancam dirinya, serta merasa
kurang mampu menghadapi ancaman tersebut. Individu yang percaya atau yakin
terhadap potensi dirinya akan cenderung lebih waspada dan mampu menghadapi
berbagai masalah yang dialami.
4)
Proses
Seleksi
Kepribadian
individu merupakan hasil dari lingkungan tempat tinggalnya. Self-efficacy individu dapat
dibentuk melalui pengkondisian lingkungan melalui serangkainan proses yang
dilakukan untuk menumbuhkan potensi-potensi dan gaya hidup tertentu. Individu
cenderung menghindari kegiatan dan lingkungan yang diyakini diluar kapasitas
kemampuan dirinya. Individu siap mengahadapi tantangan ketika lingkungannya
berpersepsi dirinya mampu.
Peserta didik yang memiliki academic
self-efficacy rendah
cenderung menghindar dari tugas yang
sulit, yang dipersepsikan mampu mengacam dirinya, sehingga memiliki aspirasi
rendah dan komitmen yang lemah terhadap tujuan yang ingin dicapainya.
Selain itu, ketika dihadapkan pada tugas-tugas sulit, peserta
didik
kurang mampu menghadapi hambatan dan cenderung menyerah, serta lebih berfokus
pada pikiran mengenai kegaglan-kegagalan yang akan dialami dibanding berfokus
pada bagaimana cara yang harus dilakukan untuk mencapai keberhasilan, sehingga
menimbulkan stres dan depresi. Sebaliknya, academic
self-efficacy yang
kuat akan meningkatkan prestasi belajar
peserta didik
dan pencapaian keberhasilan dalam berbagai hal.
Self-efficacy
yang tinggi ditandai dengan memiliki komitmen yang kuat dalam mencapai tujuan,
selalu mempertahankan dan meningkatkan usahanya dalam menghadapi kesulitan,
mampu dengan cepat mengembalikan rasa keberhasilan setelah mengalami kegagalan,
selalu berpersepsi dirinya mampu mengontrol atau menghapi hambatan yang
dilalami. Self-efficacy yang tinggi
akan menghasilkan prestasi yang tinggi, mengurangi stres, dan
terhindar dari depresi. Self-efficacy merupakan hasil dari sebuah proses kompleks yang
melibatkan proses persuasi diri yang bergantung pada pengolahan kognitif,
pengalaman pribadi, sosial,
dan fisiologis.
Pengukuran Academic
Self-Efficacy
Salah satu pengukuran academic self efficacy berbentuk skala self-efficacy yang dikembangkan oleh
Bandura (2006: 312-314). Instrumen self-efficacy disusun berdasarkan tiga
aspek self-efficacy yaitu magnitde/level, generality dan strength. Menurut Bandura (2006:312-314)
dalam metodologi pengukuran self-efficacy,
disajikan item-item yang menggambarkan berbagai tuntutan tugas yang harus
dilaksanakan oleh seorang individu, kemudian individu diharuskan memilai
kemampuannya menyelesaikan tugas berdasarkan tingkat keyakinannya.
Penilaian keyakinan akan kemampuan
diri diklasifikasikan pada skala 0-100 dengan jarak interval 10 dengan
ketentuan dimulai dari 0 (tidak yakin sanggup melakukan), 50 (cukup yakin mampu
melakukannya); hingga keyakinan penuh, 100 (sangat yakin mampu melakukan).
Adapun format respon skala self-efficacy secara
sederhana adalah 0 -10. Berikut adalah format respon dari skala self-efficacy yang dijadikan acuan oleh Bandura:
0
|
10
|
20
|
30
|
40
|
50
|
60
|
70
|
80
|
90
|
100
|
Tidak sanggup melakukannya
|
Cukup mampu melakukann
|
Sangat mampu melakukannya
|
Menurut Pajares et al (Bandura, 2006: 312) skala self efficacy dengan format respon 0-100 lebih baik untuk digunakan
dibandingkan pengukuran yang menggunakan skala interval 5, karena hasilnya akan
lebih sensitif dan lebih reliabel. Skala self-efficacy
berkisar mulai dari 0 sampai dengan kekuatan maksimal. Skala bipolar atau
pengukuran negatif dibawah 0 tidak disertakan karena sudah menunjukan
ketidakyakinan individu, sehingga item pernyataan yang disusun pun hanya
menggunakan item pernyatan positif (Bandura: 2006: 312).
Karakteristik Peserta
didik Sekolah Menengah Pertama
Pikunas (Yusuf, 2009: 10 ) membagi
masa remaja menjadi tiga bagian yaitu
‘(1) remaja awal 12-15 tahun, (2) remaja madya : 15-18 tahun dan (3)
remaja akhir : usia 18-22 tahun.’ Berdasarkan konsep perkembangan individu bila
dilihat dari klasifikasi remaja menurut Pikunas, peserta didik yang memasuki
jenjang pendidikan Sekolah Menengah
Pertama (SMP) berada pada masa remaja awal dengan rentang usia antara 12-15
tahun.
Selanjutnya, Santrock (1995: 16)
mengemukakan peserta didik kelas tujuh sekolah menengah pertama cenderung
merasa kurang puas terhadap sekolah, kurang bertanggung jawab terhadap sekolah
serta kurang yakin terhadap potensi akademik yang dimiliki. Karaktersitik
remaja yang diungkap Sanrock timbul karena adanya transisi sekolah dari tingkat
sekolah dasar ke sekolah menengah pertama yang menimbulkan banyak perubahan
pada diri remaja baik didalam keluarga maupun sekolah yang berlangsung secara
serentak.
Permasalahan academic self-efficacy dapat mempengaruhi pencapaian prestasi
akademik. Menurut Papalia et al,
(2008: 569) faktor yang paling penting dalam pencapaian prestasi akademik
adalah keyakinan peserta didik dan orang tuanya terhadap kemampuan peserta
didik dalam mencapai prestasi. Peserta didik dengan tingkat academic
self-efficacy yang tinggi menunjukan kemampuan menguasai materi akademis
dan mengatur pembelajaran sendiri, memiliki kecenderungan lebih besar untuk
mencoba berprestasi dan lebih cenderung sukses dibanding peserta didik yang
tidak yakin dengan kemampuannya sendiri (Bandura et al., 1996; Papalia et al.,
2008: 56).
Karakteristik perkembangan remaja,
termasuk peserta didik Sekolah Menengah Pertama dipengaruhi oleh berbagai
dimensi perkembangan remaja yang terdiri dari aspek fisik, kognitif, sosial,
psikologis dan emosional (Yusuf, 2008: 201-204).
a)
Aspek Fisik
Menurut Yusuf (2008: 193) masa remaja
merupakan “salah satu diantara dua masa rentangan kehidupan individu, dimana
terjadi pertumbuhan fisik yang sangat pesat”, Pada masa remaja pria ditandai
dengan sangat cepatnya pertumbuhan testis, yaitu pada tahun pertama dan kedua
diusia remaja awal. Sedangkan pada remaja wanita, kematangan organ-organ
seksnya ditandai dengan tumbuhnya rahim, vagina, dan ovarium. Terdapat
ciri-ciri seks sekunder seperti suara laki-laki mulai serak dan tinggi suara
menurun, sedangkan pada perempuan pinggul
dan payudara mulai membesar. Pada perkembangan fisik, penampilan laki-laki dan
perempuan semakin berbeda dan mulai
timbul daya tarik akan lawan jenis.
b)
Aspek
Kognitif
Menurut Piaget masa remaja awal (11-15
tahun) berada pada periode pemikiran operasional formal (Santrock, 2007: 126). Pemikiran operasional formal ditandai dengan
kemampuan remaja dalam menyelesaikan persamaan aljabar, memiliki keterampilan
berpikir abstrak idealistik dan logis, memikirkan karakteristik ideal dari diri
sendiri, orang lain dan dunia, menyusun berbagai rencana untuk memecahkan
masalah dan secara sistematis menguji solusi.
Pada masa remaja,
individu menjadi lebih terampil mengkoordinasikan informasi yang
bertentangan dengan harapan, serta membentuk pandangan yang lebih stabil terhadap kemampuan
yang dimiliki. Kemampuan remaja tersebut dapat mempengaruhi self-efficacy yang dimilikinya.
c)
Aspek Sosial
Pada masa remaja berkembang social cognition, yaitu kemampuan untuk
memahami orang lain (Yusuf, 2008: 198). Remaja memahami orang lain sebagai
individu yang unik, baik menyangkut sifat-sifat pribadi, minat, nilai-nilai
maupun perasaannya. Social cognition mendorong
remaja untuk menjalin hubungan sosial yang lebih akrab dengan teman sebayanya.
Kemampuan social cognition dapat
digunakan oleh remaja untuk membentuk
dan memperkuat self-efficacy melalui pengalaman yang diperoleh
dari pengamatan terhadap model sosial. Dengan mengamati pengalaman orang lain
(model sosial) dalam mencapai kesuksesan, akan memperkuat
self-efficacy
untuk mencapai hasil yang sama dengan hasil yang dicapai oleh model yang
diobervasinya.
d)
Aspek Moral
Melalui pengalaman atau berinteraksi
sosial dengan orang tua, guru, teman sebaya, atau orang dewasa lainnya, tingkat
moralitas remaja sudah lebih matang jika dibandingkan dengan usia anak. Remaja
sudah lebih mengenal tentang nilai-nilai moral atau konsep-konsep moralitas,
seperti kejujuran, keadilan, kesopana, dan kedisplinan. Pada masa remaja muncul
dorongan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat dinilai baik oleh orang
lain. Remaja berperilaku bukan hanya untuk memenuhi kepuasan fisik, tetapi juga
kepuasan psikologis (rasa puas dengan adanya penerimaan dan penilaian positif
dari orang lain tentang perbuatannya).
e)
Aspek
Emosional
Masa remaja merupakan puncak
emosionalitas, yaitu perkembangan emosi yang tinggi. Pertumbuhan fisik terutama
organ-organ seksual mempengaruhi berkembangnya emosi atau perasaan-perasaan dan
dorongan-dorongan baru yang belum dialami sebelumnya. Pada masa remaja awal,
perkembangan emosi menunjukan sifat yang sensitif dan reaktif yang sangat kuat
terhadap berbagai peristiwa atau situasi sosial, emosi remaja bersikap negatif
dan tempramental (Yusuf, 2008: 197).
f)
Aspek
Kepribadian
Perkembangan kepribadian merupakan
sistem yang dinamis dari sifat, sikap dan kebiasaan yang menghasilkan tingkat
konsistensi individu yang beragam ( Pikunas; Yusuf, 2008: 200). Fase remaja
merupakan saat yang paling penting bagi perkembangan dan integrasi kepribadian.
Masa remaja merupakan saat berkembangnya identity
(jati diri). Perkembangan “identity” merupakan isu sentral pada masa remaja
yang memberikan dasar bagi masa dewasa.
Erikson (Yusuf, 2008: 201) meyakini
perkembangan identity pada masa
remaja berkaitan erat dengan komitmennya terhadap okupasi masa depan,
peran-peran masa dewasa dan sistem keyakinan pribadi. Masa remaja merupakan
saat pertama berkembang usahanya yang sadar untuk menjawab pertanyaa “Who am
I”. Menurut James Marcia dan waterman (Anita E. Woolfolk, 1995; Yusuf, 2008:
201) identitas diri merujuk kepada ‘pengorganisasian atau pengaturan dorongan,
kemampuan-kemampuan dan keyakinan-keyakinan ke dalam citra diri secara
konsisten yang meliputi kemampuan memilih dan mengambil keputusan baik menyangkut
pekerjaan, orientasi seksual, dan filsafat hidup.
Referensi :
Adeyemo, DA. (2008). “Moderating Influence of Emotional Intelligence on the Link Between
Academic Self-efficacy and Achievement of University Students”. Journal of Psychology and Developing
Societis. 19, (2), 199-213.
Ayiku.
T.Q. 2005. The Relationships Among
College Self-Efficacy, Academic Self-Efficacy, And Athletic Self Efficacy For
African American Male Football Player. Thesis of Arts in Counseling and
Personal Service, University of Maryland.
Bandura,
A. (1995). Self Efficacy in Changing
Society. New York: Cambridge University Press.
Bandura,
A. (1997). Self-Efficacy The Exercise of
Control. New York: W.H Freeman and Company.
Bandura,
A. (2006). Guide for Constructing
Self-Efficacy Scales. Dalam Self-Efficacy
Beliefs of Adolesences. Information Age Publishing.
Dwitantyanov
et al. (2010). Pengaruh Pelatihan Berpikir
Positif Pada Efikasi Diri Akademik Mahasiswa. Jurnal Psikologi Undip. 8,
(2), 135-144.
Finaly,
M. R. (2011). Layanan Bimbingan Akademik
untuk Meningkatkan Self-Efficacy Peserta Didik yang Mengalami Prokrastinasi
Akademik. Skripsi pada PPB UPI Bandung: tidak diterbitkan.
Gore,
P. (2005). “Academic Sel-Efficacy as a Predictor of Colege Outcomes. Two
Incremental Validity Studies”. Journal of
Career Asessment. 14, (1),
92-115.
Hen,
M. dan Goroshit, M. (2012). Jurnal : “Academic
Procrastination, Emotional Intelligence, Academic Self-Efficacy, and GPA: A
Comparison Between Students With and Without Learning Disabilities”. Journal of Learning Disabilities. 20,
(10), 1-9.
Mc
Grew, K. (2008). Self-Efficacy:
Definition and Conceptual Background. [Online]. Tersedia Pada: http://www.iapych.com/acmcewok/Academicself-efficacy.html
(14 Juni 2012).
Papalia
et al. (2008). Human Development (Edisi Kesembilan). Alih Bahasa: Anwar, A.K.
Jakarta: Kencana.
Pajares,
F. (1996). “Self Efficacy Beliefs in Academic Settings”. Review of Educational Research. 66, (4), 543-578.
Rusmana,
Nandang. 2009. Bimbingan dan Konseling
Kelompok Di Sekolah. Bandung: Rizqi Press.
Santrock,
J.W. (1995). Life-span Development Jilid
2. Alih bahasa: Ahmad Chusairi & Juda Damanik (2002). Jakarta : Erlangga
Santrock,
J.W. (2007). Remaja (Edisi ke
Sebelas). Alih Bahasa : Benedictine Widyasinta (2007). Jakarta: Erlangga.
Schunk,
D.H dan Meece, J.L. (2005).
Self-Efficacy Development in Adoloesences. Dalam Self-Efficacy Beliefs of Adolesences By Information Age Publishing.
Setiadi,
R. 2010. Self-Efficacy In Indonesia
Literacy Teaching Context: A Theoritical and Empirical Prespective. Bandung:
Rizqi Press.
Sudrajat,
D. 2008. Program Pengembangan
Self-Efficacy Bagi Konselor Di SMA Negeri Se-Kota Bandung. Tesis PPB FIP
UPI. [Tidak Diterbitkan].
Suherman,
AS. (2007). Manajemen Bimbingan dan Konseling. Jakarta : Madani Press.
Sukardi, D.K. (2008). Pengantar Pelaksanaan Program Bimbingan dan Konseling di Sekolah. . Jakarta : Rineka Cipta.
Sukardi,
D.K. dan Kusmawati, N. (2008). Proses
Bimbingan dan Konseling di Sekolah. Jakarta : Rineka cipta.
Yusuf, S. (2009). Program
Bimbingan dan Konseling di Sekolah. Bandung ; Rizqi Press
Yusuf, S. (2008). Psikologi
Perkembangan Anak dan Remaja ; Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.
Yusuf, S. dan Nurihsan, A.J. (2008). Landasan Bimbingan dan Konseling. Bandung
: PT. Remaja Rosdakarya.
Usher,
E.L. dan Pajares, F. (2008). Sources of Self Efficacy in School : Critical
Review of the Literature and Future Directions”. Review of Educational Research. 7, (4), 751-796.
Wernesbach,
B. M. 2011. The Impact of Study Skills
Courses on Academic Self-Efficacy. Thesis of UtahState University. Tersedia
di: http://digitalcommons.usu.edu/etd/909
(1
April 2012).
Wijaya,
I.P dan Pratitis, N.T. 2012. Efikasi Diri
Akademik, Dukungan Sosial Orangtua Dan Penyesuaian Diri Mahasiswa
Dalam Perkuliahan. [Online]. Tersedia pada : http://drmasda.wordpress.com/.
(14 Juni 2012)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar