Selasa, 22 Oktober 2019

Self-Efficacy Academic


Perkembangan Self-Efficacy Academic


Perkembangan Self-Efficacy
Teori self-efficacy dikembangkan dari teori kognitif sosial Bandura yang mengungkap tentang perilaku dan aspek-aspek mekanistis organisme perspektif individu (Bandura, 1977). Model kognitif sosial mengungkap mengenai hubungan antara faktor pribadi (kognitif, afektif dan proses biologis), perilaku seseorang, dan kondisi lingkungan yang secara terus menerus saling berinteraksi dan memberikan pengaruh satu sama lain yang sering disebut hubungan segitiga timbal balik. Interaksi antara faktor pribadi dan perilaku mencerminkan dampak dari pikiran, perasaan, dan keyakinan seseorang pada dirinya atau perilakunya, sementara interaksi antara pengaruh lingkungan dan faktor pribadi mencerminkan dampak dari pengaruh sosial (pemodelan, pembelajaran serta persuasi) dalam hal harapan, keyakinan dan emosi orang lain terhadap karakteristik dirinya (Bandura, 1989: Wernersbach, 2011: 4).
Sekitar tahun 1982, 1986 dan 1989 Bandura telah mengembangkan suatu model perilaku sosial yang meliputi self-efficacy sebagai faktor utama (Sudrajat, 2008: 18). Bandura (Finaly, 2011: 38) menjelaskan self-efficacy secara eksplisit berhubungan dengan kemampuan yang dicapai oleh seseorang dalam melaksanakan tugas khusus sebagai predioktor kuat dari perilaku. Selanjutnya, Bandura (Wernersbach, 2011: 5) menjelaskan self-efficacy sebagai faktor motivasi yang dapat meningkatkan atau menghambat tindakan berdasarkan penilaian individu terhadap kemampuannya untuk mengendalikan suatu kejadian/peristiwa yang dapat berpengaruh terhadap hidupnya.
Konsep Self-Efficacy
Self-efficacy merupakan suatu keadaan dimana seseorang yakin dan percaya dirinya dapat berhasil melakukan sesuatu secara efektif. Bandura (1997; 2006: 307) menjelaskan “perceived  self-efficacy is concered with  people’s beliefs in their capabilities to produce given attainments”,  self-efficacy mengacu pada keyakinan individu terhadap kompetensi dirinnya untuk mencapai hasil yang diinginkan.  Selanjutnya, Bandura (Pajares, 1996: 544) menjelaskan ‘self efficacy beliefs are defined as beliefs in one capabilities to organize and execute the course of action required to to manage prospective situations’, self-efficacy didefinisikan sebagai keyakinan dalam satu kemampuan untuk mengatur dan melaksanakan tindakan yang diperlukan untuk mengelola siatuasi yang akan datang. Lebih lanjut, Bandura (Hen dan Goroshit, 2012: 2) menjelaskan ‘Self-efficacy refers to people’s judgments of their own capabilities to organize and execute courses of action required to attain designated types of performances’ , self-efficacy  mengacu pada penilaian individu terhadap kemampuan yang dimilikinya untuk mengatur dan menjalankan rencana tindakan yang diperlukan untuk mencapai hasil yang diharapkan. Ketiga penjelasan dari Bandura mengenai definisi self efficacy mengacu pada keyakinan diri individu terhadap potensi dirinya.
Analog dengan definisi yang dikemukakan Bandura, menjelaskan bahwa self-efficacy merujuk pada persepsi kognitif yang berisikan tentang kemampuan dalam mengatur dan melaksanakan sejumlah tindakan atau aktivitas yang diperlukan untuk menyelesaikan tuntutan atau tugas-tugas tertentu sehingga berhasil.
Rusnawati (2012: 19) mendefinisikan self-efficacy sebagai “keyakinan atau kepercayaan individu terhadap kemampuan yang dimilikinya dalam melaksanakan dan menyelesaikan tugas-tugas yang ia hadapi, sehingga mampu mengatasi rintangan dan mencapai tujuan yang diharapkan”. Selanjutnya, Setiadi (2010: 20) menjelaskan self-efficacy berhubungan dengan someone’s belief in his/her capability to do something or different things under a specific circumstance”, self-efficacy berhubungan dengan keyakinan seseorang terhadap kemampuannya untuk melakukan sesuatu atau hal-hal yang berbeda di bawah kondisi tertentu. Lebih lanjut, Pajares (1996: 544) mengungkapkan “efficacy beliefs help determine how much effort people will expend on an activity, how long they will preserve when confronting obstacles and how resilent they will prove in the face of adverse situstions”, self-efficacy membantu individu dalam menentukan seberapa banyak usaha yang dilakukan ketika melaksanakan suatu kegiatan serta seberapa lama individu mampu bertahan dalam menghadapi hambatan dalam sebuah situasi.
Self-efficacy juga mempengaruhi pola pikir dan reaksi emosional individu. Individu yang memiliki self-efficacy rendah akan mempersepsikan suatu kondisi lebih sulit dari kenyataan yang sebenarnya, sehingga akan cenderung mengalami stres, depresi dan tidak mampu menemukan cara yang terbaik untuk memecahkan masalah yang dialami. Self-efficacy tinggi, akan membantu menciptakan perasaan yang tenang dalam menghadapi tugas akademik maupun kondisi yang sulit. Pada akhirnya, self-efficacy merupakan penentu dan prediktor yang kuat terhadap tingkat prestasi yang akan dicapai oleh individu (Pajares, 1996: 544-545).
Disimpulkan self-efficacy merupakan keyakinan individu terhadap kemampuan yang dimiliki untuk mengatur dan melaksanakan serangkaian tindakan serta mampu bertahan menghadapi tantangan dalam mencapai tujuan yang diharapkan.

Definisi Academic Self-Efficacy
Konseptualisasi self-efficacy dalam situasi akademik disebut dengan academic self-efficacy. Schunk (Sudrajat, 2008: 18) telah mengawali penelitian self-efficacy dalam bidang pendidikan. Schunk (Gore, 2005: 93) menjelaskan ‘academic self-efficacy can be defined as individuals’ confidence in their ability to successfully perform academic tasks at a designated level’, academic self-efficacy dapat didefinisikan sebagai keyakinan individu terhadap kemampuan yang dimilikinya sehingga berhasil melaksanakan tugas-tugas akademik sesuai dengan tingkat kemampuannya. Sejalan dengan pendapat Schunk, Baron dan Byrne (Dwitantyanov et al, 2010: 136) menjelaskan academic self-efficacy dapat diartikan sebagai ‘keyakinan seseorang bahwa dirinya mampu untuk melakukan tugas akademik yang diberikan dan menandakan level kemampuan dirinya.’
Menurut Bandura (Wijaya dan Pratitis, 2012: 6) ‘academic self-efficacy mengacu pada keyakinan yang berkaitan dengan kemampuan dan kesanggupan seorang pelajar untuk mencapai dan menyelesaikan tugas-tugas studi dengan target hasil dan waktu yang telah ditentukan.’ Menurut Bandura (Dwitantyonov, et al, 2010: 136) academic self-efficacy jika disertai dengan tujuan-tujuan yang spesifik dan pemahaman mengenai prestasi akademik, maka akan menjadi penentu suksesnya perilaku akademik di masa yang akan datang.
Bandura (1997: 215) memperjelas konsep academic self-efficacy dengan mengkorelasikan academic self-efficacy terhadap prestasi akademik peserta didik, yaitu:
 Students whose sense of efficacy was raised set higher aspirations for themselves, showed greater strategic flexibility in the search for solutions, achieved higher intellectual performances, and were more accurate in evaluating the quality of their performances than were students of equal cognitive ability who were led to believe they lacked such capabilities.
Mc Grew (Online, 2008) menjelaskan ‘academic self-efficacy refers to a person's conviction that they can successfully achieve at a designated level in a specific academic subject area’, academic self-efficacy mengacu pada keyakinan seseorang bahwa dirinya dapat berhasil mencapai prestasi pada tingkat yang ditetapkan dalam suatu subjek area akademik. Selanjutnya, Ayiku (2005: 21) menjelaskan “academic self-efficacy is a construct where a student’s intellectual performance is based on the development of cognitive skill and his or her perceived self-efficacy”, academic self-efficacy adalah konsep tentang kinerja intelektual peserta didik didasarkan pada pengembangan keterampilan kognitif serta persepsi self-efficacy-nya. Definisi Ayiku menjelaskan kinerja akademik peserta didik dalam menyelesaikan tugas serta tuntutan akademik didasarkan pada keterampilan kognitif serta tingkat self-efficacy-nya.
Disimpulkan academic self-efficacy merupakan tingkat keyakinan diri peserta didik dalam menyelesaikan serangkaian tugas akademik dengan target hasil dan waktu yang telah ditentukan yang menandakan level kemampuannya.
Dimensi-Dimensi Self-Efficacy
Bandura (1997: 42-43) menjelaskan self-efficacy individu dapat dibedakan atas dasar tiga dimensi, yaitu mangnitude atau level, generality, strength.
1)       Magnitude atau Level
Magnitude merujuk pada tingkat kesulitan tugas atau masalah yang diyakini oleh individu dapat diselesaikan sebagai hasil persepsi tentang kompetensi diri. Pada konsep academic self-efficacy, dimensi magnitude berkaitan dengan tingkat kesulitan tugas akademik yang diyakini peserta didik mampu untuk diselesaikan. Peserta didik biasanya akan mencoba tugas yang dirasa mampu untuk diselesaikan. Pada saat peserta didik dihadapkan pada tugas akademik yang disusun menurut tingkat kesulitan tertentu, maka self-efficacy-nya akan jatuh pada tugas yang sangat mudah, mudah, cukup mudah, sulit dan sangat sulit. peserta didik yang memiliki academic self-efficacy yang tinggi cenderung memilih tugas yang tingkat kesukarannya sesuai dengan kemampuannya. Peserta didik yang tingkat academic self-efficacy nya rendah akan menghindari tugas yang dirasa melampaui batas kemampuannya.
2)   Generality
Dimensi Generality berkaitan dengan keluasan tingkat penguasaan atau pencapaian individu terhadap tugas atau masalah dalam kondisi tertentu. Pada konsep academic self-efficacy, generality berkaitan dengan keluasan bidang ilmu pengetahuan yang diyakini dapat dikuasai peserta didik dalam menyelesaikan berbagai tugas akademik berdasarkan pengalaman-pengalaman sebelumnya. Individu dapat menyatakan dirinya memiliki keyakinan diri pada berbagai bidang akademik (mata pelajaran), atau terbatas pada satu bidang akademik tertentu saja. Peserta didik dengan self-efficacy yang tinggi akan merasa yakin mampu menguasai berbagai mata pelajaran sekaligus dalam menyelesaikan tugas akademik. Individu yang memiliki self-efficacy yang rendah hanya menguasai sedikit bidang pengetahuan (mata pelajaran) dalam menyelesaikan suatu tugas akademik.
3)      Strength
Strength merujuk pada tingkat kekuatan atau kelemahan keyakinan individu terhadap kompetensi yang dipersepsinya. Pada konsep academic self-efficacy, dimensi strength merupakan dimensi yang mengungkap kuat atau lemahnya keyakinan peserta didik terhadap kompetensi yang dipersepsinya dalam menyelesaikan tugas akademik yang sulit sekalipun. Dimensi strength berkaitan dengan keteguhan hati keyakinan peserta didik bahwa dirinya akan berhasil dalam mengerjakan tugas akademik yang dicerminkan dalam  daya juang tinggi dan pantang menyerah. Self-efficacy peserta didik yang kuat akan menjadi dasar bagi individu untuk melakukan usaha yang keras, bahkan ketika menemui hambatan sekalipun.

Sumber-Sumber Self-Efficacy
Menurut Bandura (1995: 3-5) keyakinan individu terhadap keberhasilan dirinya dapat dikembangkan oleh empat pengaruh utama, yaitu:
1)       Pengalaman Penguasaan (Mastery Experiences)
Pengaruh pertama dalam membentuk dan memperkuat self-efficacy individu adalah pengalaman penguasaan (mastery experiences). Kesuksesan sebagai hasil dari pengalaman penguasaan, akan membangun kepercayaan yang kuat dalam keyakinan pribadi individu. Sebaliknya, kegagalan akan mengurangi rasa keyakinan (sense of efficacy) individu. Dengan kata lain, semakin sering individu mengalami keberhasilan, maka tingkat self-efficacy nya akan semakin tinggi. Sebaliknya, semakin sering individu mengalami kegagalan maka semakin rendah tingkat self-efficacy nya.
Pada setting akademik, self-efficacy melalui pengalaman penguasaan terbentuk ketika peserta didik berhasil menyelesaikan tugas akademik kemudian menafsirkan dan mengevaluasi hasil yang diperoleh. Ketika peserta didik berhasil menyelesaikan tugas, maka self-efficacy untuk menyelesaikan tugas serupa akan cenderung meningkat juga, sebaliknya ketika peserta didik mengalami kegagalan dalam menyelesaikan tugas, maka self-efficacy untuk berhasil pun akan cenderung berkurang. Pengalaman penguasaan mempunyai pengaruh sangat kuat bagi peserta didik dalam mengatasi hambatan atau mencapai keberhasilan pada tugas-tugas menantang (Usher dan Pajares, 2008: 752).
2)      Pengalaman Perumpamaan (Vicarious Experiences)
Pengaruh yang kedua dalam membentuk dan memperkuat self-efficacy individu adalah pengalaman yang diperoleh melalui pengamatan terhadap model sosial. Dengan mengamati pengalaman orang lain (model sosial) dalam mencapai kesuksesan, akan memperkuat self-efficacy untuk mencapai hasil yang sama dengan hasil yang dicapai oleh model yang diobervasinya. Sebaliknya, kegagalan model yang diobservasi akan melemahkan tingkat motivasi dan self-efficacy individu. Pengaruh pemodelan akan memberikan standar sosial terhadap individu dalam melakukan penilaian terhadap kemampuan dirinya.
Pada setting akademik, model sosial memainkan peran yang kuat dalam pengembangan self-efficacy, terutama ketika peserta didik tidak yakin tentang kemampuan yang dimiliki. Peserta didik cenderung membandingkan kemampuan akademik yang dimiliki dengan teman sekelasnya (Usher dan Pajares, 2008: 753).
Pembentukan self-efficacy melalui pengamatan pengalaman model sosial (vicarious experiences) dapat dilakukan melalui kegiatan observasi, meniru, berimajinasi, dan melalui media lainnya. Individu dalam membentuk kekuatan self-efficacy cenderung mencari model yang memiliki kompetensi yang sesuai dengan cita-citanya. Misalnya, ketika peserta didik bercita-cita untuk menjadi dokter, maka dalam membentuk self-efficacy, peserta didik akan mencari model seorang dokter yang sukses dibidangnya. Dengan mengamati perilaku, pemikiran, pegetahuan, serta kompetensi yang dimiliki model, akan mengajarkan peserta didik suatu keterampilan dan strategi dalam mencapai tujuan.
3)      Persuasi Sosial atau Verbal (Social Persuasion)
Persuasi sosial atau verbal dapat memperkuat self-efficacy dalam pencapaian keberhasilan. Pendapat orang lain yang menganggap individu memiliki kemampuan dalam menyelesaikan suatu kegiatan dengan sukses akan memperkuat self-efficacy individu dalam menghadapi berbagai masalah atau tantangan ketika melaksanakan suatu kegiatan/aktivitas. Sebaliknya, pendapat orang lain yang meganggap individu tidak mampu, akan melemahkan self-efficacy individu dalam melaksanakan aktivitas dengan baik.
Pada setting akademik, persuasi sosial dapat berupa dukungan dari orang tua, guru, dan teman sebaya yang akan memperkuat keyakinan diri peserta didik terhadap kemampuan akademik yang dimiliki. Ketika peserta didik belum terampil dalam membuat penilaian diri yang akurat, peserta didik sering tergantung pada orang lain untuk memberikan umpan balik evaluatif dan penilaian tentang kinerja akademis yang dimilikinya. Persuasi verbal dapat berfungsi untuk meningkatkan upaya peserta didik dalam menanamkan self-efficacy terkait kompetensi yang dimiliki (Usher dan Pajares, 2008: 754).
4)     Kondisi Psikologis dan Emosional (Physiological and Emotional States)
Sumber self-efficacy yang terakhir adalah keadaan fisiologis dan emosional. Individu menafsirkan reaksi stres dan ketegangan sebagai tanda kerentanan terhadap kinerja yang buruk. Pada kegiatan yang melibatkan kekuatan dan stamina, individu cenderung menilai kelelahan fisik sebagai kelemahan, suasana hati mempengaruhi penilaian individu tentang kompetensi dirinya (Bandura, 1995: 4).  Pengembangan self-efficacy tidak hanya tergantung pada keadaan fisiologis dan emosional individu, melainkan pada bagaimana individu menafsirkan kondisi fisiologis dan emosional yang sedang dialami. Peserta didik  yang kurang yakin terhadap kemampuan dirinya akan secara salah menafsirkan kecemasan sebagai tanda ketidakmampuan. Penafsiran tersebut akan mengakibatkan kegagalan dalam menyelesaikan tugas akademik. Keadaan emosional peserta didik juga mempengaruhi bagaimana peserta didik menafsirkan pengalamannya. Cara untuk mengembangkan self-efficacy adalah dengan meningkatkan kekuatan fisik, mengurangi stres dan kecenderungan emosional negatif, serta kesalahan memprespsikan suatu keadaan atau kondisi.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan self-efficacy Peserta didik
Schunk dan Meece (2005: 74-86) dalam jurnal penelitian “Self-Efficacy Development and Adolesences” menjelaskan beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat academic self-efficacy remaja antara lain perubahan perkembangan, lingkungan keluarga, sekolah, serta teman sebaya. Pengaruh yang terkait dengan masing-masing konteks sosial dapat memiliki efek mendalam pada keyakinan remaja tentang kemampuanya untuk berhasil baik di dalam maupun diluar sekolah.
1)       Perubahan Perkembangan (Developmental Changes)
Perubahan kognitif, fisik, dan sosial  pada remaja memiliki implikasi penting bagi remaja dalam mendeskripsikan kemampuan yang dimiliki. Penelitian Harter (Schunk dan Meece, 2005: 77) menunjukkan  deskripsi diri remaja cenderung lebih abstrak dan multidimensi. Perubahan pada masa remaja menunjukan sebagian kemampuan remaja menjadi meningkat untuk kemampuan abstraksi kognitif, refleksi, dan perbandingan sosial . Pada masa remaja, individu  menjadi lebih terampil mengkoordinasikan informasi yang bertentangan dengan harapan, serta membentuk pandangan yang lebih stabil terhadap kemampuan yang dimiliki. Kemampuan remaja mempengaruhi self-efficacy yang dimiliki.
2)      Sekolah
Situasi serta kondisi sekolah akan membantu membentuk self-efficacy remaja. Eccles et al (Schunk danMeece, 2005: 79) menjelaskan dengan kematangan kognitif, remaja lebih mampu menginterpretasikan dan mengintegrasikan beberapa sumber informasi mengenai kompetensi yang dimiliki, serta memiliki pandangan yang jauh lebih berbeda dari kemampuannya. Sekolah memiliki pengaruh potensial pada self-efficacy remaja termasuk bagaimana struktur pengajaran, kemudahan atau kesulitan belajar, umpan balik tentang kinerja, persaingan, kegiatan penilaian, jumlah dan jenis perhatian guru, dan transisi sekolah. Sebagai contoh, struktur pengajaran yang kaku menyebabkan peserta didik mengalami kegagalan dan kesulitan belajar. Kesulitan belajar yang dialami peserta didik akan mengakibatkan menurunnya self-efficacy peserta didik. Ruang kelas dengan banyak kompetisi dan perbandingan sosial dapat menurunkan self-efficacy peserta didik yang merasa kurang berprestasi. 
Periode transisi di sekolah dapat menyebabkan perubahan dalam self-efficacy. Transisi sekolah membawa banyak perubahan dalam hubungan guru dan kelompok sebaya, kelas yang dapat mempengaruhi self-efficacy. Menurut Anderman et al, (Schunk dan Meece, 2005: 80) remaja sering mengalami penurunan kompetensi dan self-efficacy ketika remaja mengalami transisi antara SD dengan SMP. Karakteristik peserta didik SMP berbeda dengan SD, peserta didik SMP lebih cenderung terfokus pada persaingan dan perbedaan kemampuan dibandingkan fokus pada pembelajaran dan penguasaan pengetahuan.
Hal lain yang mempengaruhi self-efficacy adalah sistem pembelajaran sekolah serta lingkungan sekolah yang kondusif. Sistem pembelajaran yang tepat serta lingkungan sekolah yang kondusif akan membantu peserta didik menetapkan tujuan pembelajarannya dan fokus pada kegiatan belajar dan mengajar sehingga peserta didik akan semakin yakin terhadap kemampan yang dimiliki.
3)      Teman Sebaya (Peers)
Pengaruh teman sebaya sangat kuat di kalangan remaja karena teman sebaya memberikan kontribusi yang signifikan untuk proses sosialisasi remaja. Sebuah hasil penelitian menunjukkan self-efficacy remaja sangat dipengaruhi oleh teman sebaya (Schunk dan Miller, 2002; Schunk dan Meece, 2005: 82). Pengamatan peserta didik terhadap kemampuan teman sebayanya dalam menyelesaikan tugas dapat meningkatkan self-efficacy peserta didik dan mengarahkan peserta didik untuk meyakini dirinya mampu menyelesaikan tugas seperti teman sebayanya. Sebaliknya, pada saat teman sebayanya tidak berhasil menyelesaikan tugas, maka self-efficacy peserta didik pun akan menurun. Remaja cenderung memilih teman-teman dan kelompok sebaya atas dasar kesamaan yang kemudian akan meningkatkan pengaruh potensi pemodelan.
4)     Keluarga (Families)
Lingkungan keluarga akan memberikan pengaruh terhadap self-efficacy remaja (Schunk dan Meece, 2005: 84). Orang tua membangun kompetensi remaja ketika memberikan lingkungan yang menawarkan beberapa tantangan, dorongan untuk menetapkan aspirasi yang tinggi namun realistis, memberikan peran model yang positif, menyediakan dan mendukung pengalaman penguasaan, dan mengajarkan bagaimana menghadapi kesulitan.
Faktor lingkungan keluarga lainnya yang mempengaruhi self-efficacy remaja adalah latar belakang ekonomi keluarga. Remaja yang latar belakang keluarganya termasuk kelas ekonomi bawah, akan cenderung memiliki self-efficacy yang rendah, karena keluarga dengan latar belakang ekonomi kelas bawah akan kurang mampu memenuhi kebutuhan akademik yaitu berbagai fasilitas belajar yang membantu menstimulasi perkembangan kognitif remaja seperti komputer dan buku pelajaran.
Pola asuh orang tua akan mempengaruhi perkembangan self-efficacy remaja. Remaja dengan Orang tua yang bersikap hangat, cepat tanggap dan ikut terlibat dalam mendukung perkembangan akademik, akan meningkatkan self-efficacy remaja. Selain itu, persepsi orang tua terhadap kemampuan yang dimiliki anak, akan senantiasa berpengaruh terhadap persepsi remaja terhadap kompetensi yang dimilikinya.

Proses-Proses Self-Efficacy
Efficacy mengatur fungsi individu melalui empat proses utama yaitu proses kognitif, motivasi, afektif, dan seleksi (Bandura, 1995: 5-11).
1)       Proses Kognitif
Fungsi utama dari kognitif adalah memungkinkan individu untuk memprediksi kejadian, serta mengembangkan cara untuk  mengontrol kehidupannya. Misalnya, keterampilan pemecahan masalah secara efektif memerlukan proses kognitif untuk memproses berbagai informasi yang diterima. Asumsi yang timbul pada aspek kognitif adalah semakin efektif kemampuan individu dalam analisis dan dalam berlatih mengungkapkan ide-ide atau gagasan-gagasan pribadi, maka akan mendukung individu bertindak dengan tepat untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Individu akan meramalkan kejadian dan mengembangkan cara untuk mengontrol kejadian yang mempengaruhi hidupnya.
Proses kognitif akan menekan tuntutan atau tugas yang harus diselesaikan, kegagalan, serta kemunduran yang dapat berpengaruh terhadap perkembangan pribadi sosial individu. Pada saat  dihadapkan pada suatu keadaan yang sulit akibat tuntutan lingkungan, individu yang memiliki self-efficacy yang rendah cenderung kurang mampu berpikir secara analitis dalam mengungkapkan aspirasinya. Individu yang mampu mempertahankan rasa keyakinannya dapat menentukan tujuan dan menggunakan pemikiran analitik secara tepat yang ditunjukan dalam prestasi yang dicapainya.
2)      Proses Motivasi
Efficacy memainkan peran penting  dalam regulasi diri motivasi.  Individu memotivasi dirinya dan mengarahkan tindakannya dengan latihan pemikiran. Individu membentuk keyakinan tentang apa yang bisa dilakukan serta mengantisipasi kemungkinan hasil dari tindakan yang dilaksanakan. Individu menetapkan tujuan dan membuat rencana tindakan yang dirancang untuk mewujudkan tujuan. Tingkat motivasi dipengaruhi oleh keyakinan individu terkait dengan hal apa yang dapat dilakukan serta kemungkinan hasil yang dicapai. Selain itu, tujuan yang ingin dicapai juga berpengaruh terhadap motivasi.
3)      Proses Afektif
Keyakinan individu terhadap kemampuan yang dimilikinya berpengaruh terhadap tingkat stres dan depresi yang dialami dalam situasi mengacam. Persepsi self-efficacy dalam melakukan kontrol terhadap stres memainkan peranan penting dalam menentukan tingkat kecemasan individu.
Individu yang  tidak yakin akan potensi dirinya akan berpersepsi lingkungannya berbahaya dan dapat mengancam dirinya, serta merasa kurang mampu menghadapi ancaman tersebut. Individu yang percaya atau yakin terhadap potensi dirinya akan cenderung lebih waspada dan mampu menghadapi berbagai masalah yang dialami.
4)     Proses Seleksi
Kepribadian individu merupakan hasil dari lingkungan tempat tinggalnya. Self-efficacy individu dapat dibentuk melalui pengkondisian lingkungan melalui serangkainan proses yang dilakukan untuk menumbuhkan potensi-potensi dan gaya hidup tertentu. Individu cenderung menghindari kegiatan dan lingkungan yang diyakini diluar kapasitas kemampuan dirinya. Individu siap mengahadapi tantangan ketika lingkungannya berpersepsi dirinya mampu.
Peserta didik yang memiliki academic self-efficacy rendah cenderung  menghindar dari tugas yang sulit, yang dipersepsikan mampu mengacam dirinya, sehingga memiliki aspirasi rendah dan komitmen yang lemah terhadap tujuan yang ingin dicapainya. Selain itu, ketika dihadapkan pada tugas-tugas sulit, peserta didik kurang mampu menghadapi hambatan dan cenderung menyerah, serta lebih berfokus pada pikiran mengenai kegaglan-kegagalan yang akan dialami dibanding berfokus pada bagaimana cara yang harus dilakukan untuk mencapai keberhasilan, sehingga menimbulkan stres dan depresi. Sebaliknya, academic self-efficacy yang kuat akan  meningkatkan prestasi belajar peserta didik dan pencapaian keberhasilan dalam berbagai hal.
Self-efficacy yang tinggi ditandai dengan memiliki komitmen yang kuat dalam mencapai tujuan, selalu mempertahankan dan meningkatkan usahanya dalam menghadapi kesulitan, mampu dengan cepat mengembalikan rasa keberhasilan setelah mengalami kegagalan, selalu berpersepsi dirinya mampu mengontrol atau menghapi hambatan yang dilalami. Self-efficacy yang tinggi akan menghasilkan prestasi yang tinggi, mengurangi stres, dan terhindar dari depresi. Self-efficacy merupakan  hasil dari sebuah proses kompleks yang melibatkan proses persuasi diri  yang bergantung pada pengolahan kognitif, pengalaman pribadi, sosial, dan fisiologis.

Pengukuran Academic Self-Efficacy
Salah satu pengukuran academic self efficacy berbentuk skala self-efficacy yang dikembangkan oleh Bandura (2006: 312-314).  Instrumen self-efficacy disusun berdasarkan tiga aspek self-efficacy yaitu magnitde/level, generality dan strength. Menurut Bandura (2006:312-314) dalam metodologi pengukuran self-efficacy, disajikan item-item yang menggambarkan berbagai tuntutan tugas yang harus dilaksanakan oleh seorang individu, kemudian individu diharuskan memilai kemampuannya menyelesaikan tugas berdasarkan tingkat keyakinannya.
Penilaian keyakinan akan kemampuan diri diklasifikasikan pada skala 0-100 dengan jarak interval 10 dengan ketentuan dimulai dari 0 (tidak yakin sanggup melakukan), 50 (cukup yakin mampu melakukannya); hingga keyakinan penuh, 100 (sangat yakin mampu melakukan). Adapun format respon skala self-efficacy secara sederhana adalah 0 -10. Berikut adalah format respon dari skala self-efficacy  yang dijadikan acuan oleh Bandura:
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
Tidak sanggup melakukannya


Cukup mampu melakukann


Sangat mampu melakukannya

Menurut Pajares et al (Bandura, 2006: 312) skala self efficacy dengan format respon 0-100 lebih baik untuk digunakan dibandingkan pengukuran yang menggunakan skala interval 5, karena hasilnya akan lebih sensitif dan lebih reliabel. Skala self-efficacy berkisar mulai dari 0 sampai dengan kekuatan maksimal. Skala bipolar atau pengukuran negatif dibawah 0 tidak disertakan karena sudah menunjukan ketidakyakinan individu, sehingga item pernyataan yang disusun pun hanya menggunakan item pernyatan positif (Bandura: 2006: 312).

Karakteristik Peserta didik Sekolah Menengah Pertama
Pikunas (Yusuf, 2009: 10 ) membagi masa remaja menjadi tiga bagian yaitu  ‘(1) remaja awal 12-15 tahun, (2) remaja madya : 15-18 tahun dan (3) remaja akhir : usia 18-22 tahun.’ Berdasarkan konsep perkembangan individu bila dilihat dari klasifikasi remaja menurut Pikunas, peserta didik yang memasuki jenjang  pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP) berada pada masa remaja awal dengan rentang usia antara 12-15 tahun.
Selanjutnya, Santrock (1995: 16) mengemukakan peserta didik kelas tujuh sekolah menengah pertama cenderung merasa kurang puas terhadap sekolah, kurang bertanggung jawab terhadap sekolah serta kurang yakin terhadap potensi akademik yang dimiliki. Karaktersitik remaja yang diungkap Sanrock timbul karena adanya transisi sekolah dari tingkat sekolah dasar ke sekolah menengah pertama yang menimbulkan banyak perubahan pada diri remaja baik didalam keluarga maupun sekolah yang berlangsung secara serentak.
Permasalahan academic self-efficacy dapat mempengaruhi pencapaian prestasi akademik. Menurut Papalia et al, (2008: 569) faktor yang paling penting dalam pencapaian prestasi akademik adalah keyakinan peserta didik dan orang tuanya terhadap kemampuan peserta didik dalam mencapai prestasi. Peserta didik dengan tingkat academic self-efficacy yang tinggi menunjukan kemampuan menguasai materi akademis dan mengatur pembelajaran sendiri, memiliki kecenderungan lebih besar untuk mencoba berprestasi dan lebih cenderung sukses dibanding peserta didik yang tidak yakin dengan kemampuannya sendiri (Bandura et al., 1996; Papalia et al., 2008: 56).
Karakteristik perkembangan remaja, termasuk peserta didik Sekolah Menengah Pertama dipengaruhi oleh berbagai dimensi perkembangan remaja yang terdiri dari aspek fisik, kognitif, sosial, psikologis dan emosional (Yusuf, 2008: 201-204).
a)     Aspek Fisik
Menurut Yusuf (2008: 193) masa remaja merupakan “salah satu diantara dua masa rentangan kehidupan individu, dimana terjadi pertumbuhan fisik yang sangat pesat”, Pada masa remaja pria ditandai dengan sangat cepatnya pertumbuhan testis, yaitu pada tahun pertama dan kedua diusia remaja awal. Sedangkan pada remaja wanita, kematangan organ-organ seksnya ditandai dengan tumbuhnya rahim, vagina, dan ovarium. Terdapat ciri-ciri seks sekunder seperti suara laki-laki mulai serak dan tinggi suara menurun, sedangkan pada perempuan pinggul dan payudara mulai membesar. Pada perkembangan fisik, penampilan laki-laki dan perempuan semakin berbeda dan mulai timbul daya tarik akan lawan jenis.
b)     Aspek Kognitif
Menurut Piaget masa remaja awal (11-15 tahun) berada pada periode pemikiran operasional formal (Santrock, 2007: 126). Pemikiran operasional formal ditandai dengan kemampuan remaja dalam menyelesaikan persamaan aljabar, memiliki keterampilan berpikir abstrak idealistik dan logis, memikirkan karakteristik ideal dari diri sendiri, orang lain dan dunia, menyusun berbagai rencana untuk memecahkan masalah dan secara sistematis menguji solusi. Pada masa remaja, individu  menjadi lebih terampil mengkoordinasikan informasi yang bertentangan dengan harapan, serta membentuk pandangan yang lebih stabil terhadap kemampuan yang dimiliki. Kemampuan remaja tersebut dapat mempengaruhi self-efficacy yang dimilikinya.
c)      Aspek Sosial
Pada masa remaja berkembang social cognition, yaitu kemampuan untuk memahami orang lain (Yusuf, 2008: 198). Remaja memahami orang lain sebagai individu yang unik, baik menyangkut sifat-sifat pribadi, minat, nilai-nilai maupun perasaannya. Social cognition mendorong remaja untuk menjalin hubungan sosial yang lebih akrab dengan teman sebayanya. Kemampuan social cognition dapat digunakan oleh remaja untuk membentuk dan memperkuat self-efficacy melalui pengalaman yang diperoleh dari pengamatan terhadap model sosial. Dengan mengamati pengalaman orang lain (model sosial) dalam mencapai kesuksesan, akan memperkuat self-efficacy untuk mencapai hasil yang sama dengan hasil yang dicapai oleh model yang diobervasinya.
d)     Aspek Moral
Melalui pengalaman atau berinteraksi sosial dengan orang tua, guru, teman sebaya, atau orang dewasa lainnya, tingkat moralitas remaja sudah lebih matang jika dibandingkan dengan usia anak. Remaja sudah lebih mengenal tentang nilai-nilai moral atau konsep-konsep moralitas, seperti kejujuran, keadilan, kesopana, dan kedisplinan. Pada masa remaja muncul dorongan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat dinilai baik oleh orang lain. Remaja berperilaku bukan hanya untuk memenuhi kepuasan fisik, tetapi juga kepuasan psikologis (rasa puas dengan adanya penerimaan dan penilaian positif dari orang lain tentang perbuatannya).
e)     Aspek Emosional
Masa remaja merupakan puncak emosionalitas, yaitu perkembangan emosi yang tinggi. Pertumbuhan fisik terutama organ-organ seksual mempengaruhi berkembangnya emosi atau perasaan-perasaan dan dorongan-dorongan baru yang belum dialami sebelumnya. Pada masa remaja awal, perkembangan emosi menunjukan sifat yang sensitif dan reaktif yang sangat kuat terhadap berbagai peristiwa atau situasi sosial, emosi remaja bersikap negatif dan tempramental (Yusuf, 2008: 197).
f)       Aspek Kepribadian
Perkembangan kepribadian merupakan sistem yang dinamis dari sifat, sikap dan kebiasaan yang menghasilkan tingkat konsistensi individu yang beragam ( Pikunas; Yusuf, 2008: 200). Fase remaja merupakan saat yang paling penting bagi perkembangan dan integrasi kepribadian. Masa remaja merupakan saat berkembangnya identity (jati diri). Perkembangan “identity” merupakan isu sentral pada masa remaja yang memberikan dasar bagi masa dewasa.
Erikson (Yusuf, 2008: 201) meyakini perkembangan identity pada masa remaja berkaitan erat dengan komitmennya terhadap okupasi masa depan, peran-peran masa dewasa dan sistem keyakinan pribadi. Masa remaja merupakan saat pertama berkembang usahanya yang sadar untuk menjawab pertanyaa “Who am I”. Menurut James Marcia dan waterman (Anita E. Woolfolk, 1995; Yusuf, 2008: 201) identitas diri merujuk kepada ‘pengorganisasian atau pengaturan dorongan, kemampuan-kemampuan dan keyakinan-keyakinan ke dalam citra diri secara konsisten yang meliputi kemampuan memilih dan mengambil keputusan baik menyangkut pekerjaan, orientasi seksual, dan filsafat hidup.

Referensi :
Adeyemo, DA. (2008). “Moderating Influence of Emotional Intelligence on the Link Between Academic Self-efficacy and Achievement of University Students”. Journal of Psychology and Developing Societis. 19, (2), 199-213.
Ayiku. T.Q. 2005. The Relationships Among College Self-Efficacy, Academic Self-Efficacy, And Athletic Self Efficacy For African American Male Football Player. Thesis of Arts in Counseling and Personal Service, University of Maryland.
Bandura, A. (1995). Self Efficacy in Changing Society. New York: Cambridge University Press.
Bandura, A. (1997). Self-Efficacy The Exercise of Control. New York:  W.H Freeman and Company.
Bandura, A. (2006). Guide for Constructing Self-Efficacy Scales. Dalam Self-Efficacy Beliefs of Adolesences. Information Age Publishing.
Dwitantyanov et al. (2010). Pengaruh Pelatihan Berpikir Positif Pada Efikasi Diri Akademik Mahasiswa. Jurnal Psikologi Undip. 8,  (2), 135-144.
Finaly, M. R. (2011). Layanan Bimbingan Akademik untuk Meningkatkan Self-Efficacy Peserta Didik yang Mengalami Prokrastinasi Akademik. Skripsi pada PPB UPI Bandung: tidak diterbitkan.
Gore, P. (2005). “Academic Sel-Efficacy as a Predictor of Colege Outcomes. Two Incremental Validity Studies”. Journal of Career Asessment. 14, (1), 92-115.
Hen, M. dan Goroshit, M. (2012). Jurnal : “Academic Procrastination, Emotional Intelligence, Academic Self-Efficacy, and GPA: A Comparison Between Students With and Without Learning Disabilities”. Journal of Learning Disabilities. 20, (10), 1-9.
Mc Grew, K. (2008). Self-Efficacy: Definition and Conceptual Background. [Online]. Tersedia Pada: http://www.iapych.com/acmcewok/Academicself-efficacy.html (14 Juni 2012).
Papalia et al. (2008). Human Development (Edisi Kesembilan). Alih Bahasa: Anwar, A.K. Jakarta: Kencana.
Pajares, F. (1996). “Self Efficacy Beliefs in Academic Settings”. Review of Educational Research. 66, (4), 543-578.

Rusmana, Nandang. 2009. Bimbingan dan Konseling Kelompok Di Sekolah. Bandung: Rizqi Press.
Santrock, J.W. (1995). Life-span Development Jilid 2. Alih bahasa: Ahmad Chusairi & Juda Damanik (2002). Jakarta : Erlangga
Santrock, J.W. (2007). Remaja (Edisi ke Sebelas). Alih Bahasa : Benedictine Widyasinta (2007). Jakarta: Erlangga.
Schunk, D.H dan  Meece, J.L. (2005). Self-Efficacy Development in Adoloesences. Dalam Self-Efficacy Beliefs of Adolesences By Information Age Publishing.
Setiadi, R. 2010. Self-Efficacy In Indonesia Literacy Teaching Context: A Theoritical and Empirical Prespective. Bandung: Rizqi Press.
Sudrajat, D. 2008. Program Pengembangan Self-Efficacy Bagi Konselor Di SMA Negeri Se-Kota Bandung. Tesis PPB FIP UPI. [Tidak Diterbitkan].
Suherman, AS. (2007). Manajemen Bimbingan dan Konseling. Jakarta : Madani Press.
Sukardi, D.K. (2008). Pengantar Pelaksanaan Program Bimbingan dan Konseling di Sekolah. . Jakarta : Rineka Cipta.
Sukardi, D.K. dan Kusmawati, N. (2008). Proses Bimbingan dan Konseling di Sekolah. Jakarta : Rineka cipta.
Yusuf, S. (2009). Program Bimbingan dan Konseling di Sekolah. Bandung ; Rizqi Press
Yusuf, S. (2008). Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja ; Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.
Yusuf, S. dan Nurihsan, A.J. (2008). Landasan Bimbingan dan Konseling. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.
Usher, E.L. dan Pajares, F. (2008). Sources of Self Efficacy in School : Critical Review of the Literature and Future Directions”. Review of Educational Research. 7, (4), 751-796.
Wernesbach, B. M. 2011. The Impact of Study Skills Courses on Academic Self-Efficacy. Thesis of UtahState University. Tersedia di: http://digitalcommons.usu.edu/etd/909 (1 April 2012).
Wijaya, I.P dan Pratitis, N.T. 2012. Efikasi Diri Akademik, Dukungan Sosial Orangtua Dan Penyesuaian Diri Mahasiswa Dalam Perkuliahan. [Online]. Tersedia pada : http://drmasda.wordpress.com/. (14 Juni 2012)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Penguatan Integrasi Pendidikan

PENGUATAN INTEGRASI PENDIDIKAN DALAM ERA DISUPSI Oleh :  Asep Rohiman Lesmana, M.Pd. Pendidikan merupakan suatu entitas yang s...