Desentralisasi Manajemen Pembangunan Pendidikan
Oleh :
Iman Lesmana
Desentralisasi pendidikan bisa
mencakup seluruh substansi atau bidang garapan manajemen pendidikan, dan dapat
juga hanya salah satu atau beberapa bidang garapan saja, antara lain kurikulum,
tenaga kependidikan, keuangan, dan sarana-prasarana pendidikan. Misi utama desentralisasi dalam manajemen pendidikan
ialah untuk menumbuhkembangkan kemandirian masyarakat daerah dalam mengelola
pendidikan. Artinya, tugas utama dalam
desentralisasi manajemen pendidikan di daerah harus diprioritaskan pada upaya
meningkatkan pratisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan.
Terlepas dari bidang
garapan mana yang didesentralisasikan, sebetulnya aspek utama yang perlu
disiapkan ialah adanya deregulasi peraturan perundang-undangan sebagai produk
dari kebijakan nasional yang dijadikan perangkat kendali sistem manajemen,
sekaligus yang mengatur isi dan luas kewenangan setiap bidang garapan yang
didesentralisasikan. Aspek inilah yang akan memberi corak, jenis dan bentuk-bentuk
desentralisasi dalam manajemen pendidikan. Artinya, substansi desentralisasi manajemen pendidikan
harus pula menyertakan peraturan perundang-undangan yang mengatur batas-batas
kewenangan pangkal, bidang garapan mana yang secara mandiri menjadi hak, bidang
garapan mana yang menjadi kewajiban, bidang mana yang menjadi kewenangan
tambahan, bagaimana hak dan kewajiban tersebut dipertanggungjawabkan, serta
bagaimana peraturan perundang-undangan tersebut mengikat secara hukum terhadap
bidang-bidang garapan manajemen pendidikan yang didesentralisasikan itu.
1.
Desentralisasi Perundang-undangan Pendidikan
Bidang hukum dan
perundang-undangan dalam konteks desentralisasi manajemen pendidikan, saya
anggap paling krusial karena aspek ini merupakan perangkat kendali manajemen yang akan
menentukan isi dan luas wewenang dan tanggung jawab untuk melaksanakan setiap
bidang tugas yang didesentralisasikan. Artinya, setiap penataan organisasi dan
manajemen sebagai konsekuensi dari wewenang yang diterima, tidak terlepas dari
adanya asas legalitas sebagai landasan berpijak dalam membangun
perangkat-perangkat operasional organisasi dan manajemen yang accountable
bagi kepentingan masyarakat, sekaligus untuk memenuhi kebutuhan masyarakatnya.
Dengan demikian, maka salah satu keberhasilan dalam desentralisasi manajemen
pendidikan tergantung pada dukungan peraturan perundang-undangan.
Peraturan
perundang-undangan tersebut terdiri dari dua sumber: Pertama, komitmen
politik yang bersumber dari amanat rakyat. Komitmen ini mencakup komitmen
internal dan eksternal. Komitmen internal berkaitan dengan segala aktivitas
pemenuhan kebutuhan, keinginan dan harapan rakyat untuk kesejahteraan.
Sedangkan komitmen eksternal berkaitan dengan segala aktivitas masyarakat dan
bangsa dalam percaturan global. Kedua, political will (kemauan
politik) para pembuat kebijakan baik pada tatanan manajemen pendidikan di
tingkat pusat maupun pada tingkat daerah. Kemauan politik ini harus konkrit
dalam wujud peraturan perundang-undangan dengan segala akibat hukum yang
menyertainya secara konsisten.
2.
Desentralisasi Organisasi
Kelembagaan Pendidikan
Pembaharuan struktur
kelembagaan pendidikan di daerah perlu memperhatikan tiga hal pokok, yaitu
kewenangan, kemampuan dan kebutuhan masing-masing daerah dengan berazaskan pada
demokratisasi, pemberdayaan dan pelayanan umum di bidang pendidikan. Kewenangan
merupakan rujukan yang dijadikan dasar pijakan dalam menentukan substansi
manajemen pendidikan yang patut dilakukan. Kebutuhan berkaitan dengan
permasalahan yang signifikan di daerah. Dan pada aspek kemampuan berkaitan
dengan potensi sumber daya yang dituangkan dalam PAD.
Di samping itu,
pembaharuan kelembagan pendidikan di daerah perlu didasarkan pada prinsip
rasional, efisien, efektif, realistis dan operasional, serta memperhatikan
karakteristik organisasi dan manajemen modern. Dalam istilah yang lebih
populer, bahwa Struktur Organisasi dan Tata Kerja (SOTK) harus “ramping
struktur kaya fungsi”. Pertimbangannya ialah: (1) terbuka, (2) fleksibel, (3)
ramping, (4) efisien, (5) rasional, (6) fungsionalisasi, (7) jenjang
pengambilan keputusan sangat pendek, (8) desentralisasi dan delegasi wewenang
optimal, (9) peran sentral SDM, (10) kepemimpinan partisipatif, (11) daya
tanggap tinggi atas aspirasi rakyat, (12) antisipatif terhadap masa depan, dan
(13) berorientasi kepada tercapainya tujuan.
Perubahan struktur
organisasi pemerintahan pada tingkat kabupaten/kota turut pula mempangaruhi
struktur organisasi pendidikan. Bentuknya sangat bervariasi, tergantung
aspirasi, bidang garapan dan kebutuhan masing-masing daerah kabupaten/kota yang
bersangkutan. Struktur organisasi
pendidikan pada tingkat satuan pendidikan lebih bervariasi lagi, karena
bersar-kecilnya, luas-sempitnya dan banyak-sedikitnya unit-unit organisasinya
ditentukan oleh bidang garapan manajemen dan karakteristik organisasi satuan
pendidikan itu sendiri. Misalnya, organisasi satuan pendidikan umum akan berbeda
dengan satuan pendidikan kejuruan.
3.
Desentralisasi Manajemen
Kurikulum Pendidikan
Desentralisasi manajemen
kurikulum berkenaan dengan kemampuan daerah dalam aspek relevansi. Permasalahan
relevansi pendidikan selama ini diarahkan pada kurangnya kepercayaan pemerintah
pada daerah untuk menata sistem pendidikannya yang setara dengan kondisi
obyektif di daerahnya. Situasi ini memacu terciptanya penggangguran lulusan
akibat tidak relevannya kurikulum dengan kondisi daerah. Karena itu,
desentralisasi kurikulum menjadi alternatif yang harus dilakukan. Pelaksanaan
kurikulum muatan lokal yang selama ini memiliki pertimbangan persentase lebih
kecil daripada kurikulum nasional belum cukup memadai situasi, kondisi dan
kebutuhan daerah.
Perubahan yang paling mendasar dalam
aspek manajemen kurikulum, bahwa pendidikan harus mampu mengoptimalkan semua
potensi kelembagaan yang ada dalam masyarakat, baik pada lembaga-lembaga
pendidikan yang dikelola pemerintah, masyarakat atau swasta. Persyaratan dasar
penetapan jenis kurikulum antara lain: (1) Kurikulum dikembangkan berdasarkan minat dan bakat peserta
didik; (2) Kurikulum berkaitan dengan karakteristik potensi wilayah setempat
misalnya sumber daya alam, ekonomi, pariwisata dan sosial-budaya; (3) Dapat
dikembangkan secara nyata sebagai dasar penguatan sektor usaha pemberdayaan
ekonomi masyarakat, (4) Pembelajaran berorientasi pada peningkatan kompetensi
keterampilan untuk belajar dan bekerja, lebih bersifat aplikatif dan
operasional, (5) Jenis keterampilan ditetapkan oleh pengelola program
bersama-sama dengan peserta didik, orang tua, tokoh masyarakat, dan mitra
kerja.
Dengan demikian,
persyaratan uatama dalam bobot muatan kurikulum harus mendasar, kuat, dan lebih luas. Mendasar,
dalam arti terkait dengan pemberian kemampuan dalam upaya memenuhi kebutuhan
mendasar peserta didik sebagai individu maupun anggota masyarakat. Kuat,
dalam arti terkait dengan isi dan proses pembelajaran atau penyiapan peserta
didik untuk menguasai pengetahuan, sikap dan keterampilan yang kuat, sehingga
memiliki kemampuan untuk mandiri dalam meningkatkan kualitas pemenuhan kebutuhan mendasarnya. Luas,
dalam arti terkait dengan pemanfaatan dan pendayagunaan potensi dan peluang
yang ada dan dapat dijangkau oleh peserta didik. Potensi dan peluang tersebut
didayagunakan baik pada saat proses pembelajaran maupun pada saat penerapan
hasil pembelajaran. Ketiga aspek tersebut secara bersama-sama memberikan
kemampuan kepada peserta didik untuk dapat menyesuaikan diri terhadap berbagai
kemungkinan kondisi, potensi dan peluang yang ada di lingkungannya.
Komptensi
yang dituntut ialah bekal pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan
fungsional praktis serta perubahan sikap untuk bekerja dan berusaha secara
mandiri, membuka lapangan kerja dan lapangan usaha serta memanfaatkan peluang
yang dimiliki, sehingga dapat meningkatkan kualitas kesejahteraannya.
Penggunaan pendekatan dalam merumuskan kurikulum harus memiliki cakupan yang luas, dapat mengitegrasikan pengetahuan
dengan keterampilan yang diyakini sebagai unsur penting untuk hidup lebih
mandiri. Strategi pembelajaran dirancang untuk membimbing, melatih dan
membelajarkan peserta didik agar mempunyai bekal dalam menghadapi masa
depannya, dengan memanfaatkan peluang dan tantangan yang ada. Metodologi
pengajaran berpegang pada prinsip belajar untuk memperoleh pengetahuan (learning
to learn), belajar untuk dapat berbuat atau bekerja (learning to do),
belajar untuk menjadi orang yang berguna (learning to be) dan belajar
untuk dapat hidup bersama orang lain (learning to live together).
Merujuk pendekatan
tersebut, dari sisi kelompok sasaran pada dasarnya tidak hanya terbatas untuk
pesreta didik usia dewasa yang siap untuk berusaha mencari nafkah. Nilai yang
terkandung dan arah dari orientasi dari kedua konsep tersebut memungkinkan juga
untuk dikuasai oleh usia anak-anak dan pra dewasa. Hal ini didasarkan pada
aspek filosofis, sosial-budaya dan psikologis yang dijadikan landasan dari
ketiga aspek tersebut.
4.
Desentralisasi Manajemen Tenaga Kependidikan
Aspek ketenagaan berkenaan dengan SDM yang
kurang professional menghambat pelaksanaan sistem pendidikan nasional. Penataan
para prajurit SDM yang tidak sesuai dengan latar belakang pendidikannya
menyebabkan pelaksanaan pendidikan tidak profesional. Banyak tenaga pengelola
pendidikan yang latar belakang pendidikannya tidak relevan dengan dunia kerja
yang ditekuninya.
Reorganisasi dan restrukturisasi organisasi
dan manajemen pendidikan dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah, memang
diperlukan. Saya ingat apa yang pernah diingatkan oleh Fasli Jalal dan Dedi
Supriadi (2001), bahwa “restrukturisasi
organisasi pendidikan harus didasarkan pada prinsip tanpa PHK, standar
kompetensi jabatan, dialog antara penanggungjawab instansi terkait guna
mendapatkan pola terbaik, pola karier jelas, retraining, dan sistem
insentif.”
Dengan demikian, apabila kita percaya bahwa
dengan desentralisasi manajemen menuntut profesionalisasi ketenagaan, maka
sebagai suatu konsep, desentralisasi dipercaya banyak mengandung makna yang
menggambarkan suatu situasi yang penuh tantangan. Bahkan sering digambarkan
sebagai keadaan dalam era reformasi, dimana segala sesuatu yang berbau ‘orde
baru’ yang penuh intrik kolusi, korupsi dan nepotisme seperti diapparkan di
atas, perlu dimusnahkan dalam manajemen pembangunan bangsa. Dalam wacana
seperti ini, individu maupun organisasi dituntut dapat hidup secara jujur,
kreatif, responsif, dan inovatif dan transparan. Jujur karena setiap individu
dalam organisasi mempunyai moralitas, agama dan keyakinan, serta komitmen;
Kreatif karena individu dan organisasi harus mencari cara terbaik untuk dapat
‘survive’ dalam usahanya bersaing dengan individu dan organisasi lainnya;
Responsif agar mendapatkan sumberdaya yang terbaik dan memadai; Inovatif agar
dapat meningkatkan efisiensi, efektivitas dan produktivitas yang diinginkannya;
Dan transparan karena harus dipertanggungjawabkan.
Persoalan yang mendasar
yang patut dipertegas ialah pihak-pihak yang harus berperan dalam pelaksanaan
pendidikan. Sekalipun telah disepakati bahwa pelaksanaan pendidikan merupakan
tanggungjawab berasama antara keluaraga, masayarakat dan pemerintah. Akan
tetapi bila dalam praktekanya lebih didominasi pihak pemerintah. Dengan
sendirinya pihak-pihak yang paling bertanggungjawab dalam hal ini ialah pemerintah.
5.
Desentralisasi Manajemen Pembiayaan Pendidikan
Tidak
bisa dipungkiri bahwa pendidikan di samping
mempunyai manfaat ekonomi juga mempunyai manfaat sosial-psikologis yang sulit
dianalisis secara ekonomi. Namun pendekatan ekonomi dalam menganalisis
pendidikan memberikan konstribusi sekurang-kurangnya terhadap dua hal yaitu (1)
Analisis efektivitas dalam arti analisis penggunaan biaya yang
dimanfaatkan untuk mencapai tujuan-tujuan pendidikan; (2) Analisis efesiensi
penyelenggaraan pendidikan dalam arti perbandingan hasil dengan sejumlah
pengorbanan yang diberikan.
Sebetulnya, dalam mengukur
manfaat biaya pendidikan sering didasarkan kepada konsep biaya pendidikan yang
sifatnya lebih kompleks dari keuntungan, karena komponen-komponen biaya
terdiri dari lembaga jenis dan sifatnya.
Biaya pendidikan bukan hanya berbentuk uang atau rupiah, tetapi juga dalam bentuk biaya kesempatan. Biaya kesempatan (income
forgone) yaitu potensi pendapatan bagi seorang siswa selama ia mengikuti
pelajaran atau menyelesaikan studi (Cohn, 1979).
Untuk mengetahui efesiensi biaya pendidikan biasanya digunakan
metode analisis keefektifan biaya (cost effectiveness analysis) yang
memperhitungkan besarnya kontribusi setiap masukan pendidikan terhadap
efektivitas pencapaian tujuan pendidikan atau prestasi belajar. Upaya efisiensi
dapat dikelompokkan ke dalam dua jenis, yaitu efisiensi internal dan efisiensi
eksternal. Kedua konsep tersebut satu sama lain erat kaitannya.
Efisiensi internal dapat
dinilai melalui suatu sistem pendidikan yang menghasilkan output yang
diharapkan dengan biaya minimum. Dapat pula dinyatakan bahwa dengan input yang
tertentu dapat memaksimalkan output yang diharapkan. Output acapkali diukur
dengan indikator-indikator seperti angka kohort, yaitu proporsi siswa yang
dapat bertahan sampai akhir putaran pendidikan, pengetahuan keilmuan,
keterampilan, ketaatan kepada norma-norma perilaku sosial. Karena dengan alasan
inilah persoalan-persoalan mutu pendidikan biasanya dibahas dengan
memperhatikan efisiensi internal dari sistem pendidikan.
Sedangkan efesiensi
eksternal, sering dihubungkan dengan metode cost benefit analysis.
Efisiensi eksternal dihubungkan dengan situasi makro yaitu pertumbuhan ekonomi
dan kesejahteraan sosial sebagai dampak dari hasil pendidikan. Pada tingkat
makro bahwa individu yang berpendidikan cenderung lebih baik memperoleh
pendapatan yang lebih tinggi dan kesehatan yang baik. Analisis efisiensi
eksternal berguna untuk menentukan kebijakan dalam pengalokasian biaya atau
distribusi anggaran kepada seluruh
sub-sub sektor pendidikan. Efisiensi eksternal juga merupakan pengakuan
sosial terhadap lulusan atau hasil pendidikan.
Di samping itu, dalam
menganalisis efisiensi eksternal, dalam bidang pendidikan dapat dibedakan dalam
dua jenis, yaitu: (1) Keuntungan
perorangan (private rate of return), yaitu perbandingan keuntungan
pendidikan kepada individu dengan biaya pendidikan dari individu yang
bersangkutan; (2) Keuntungan
masyarakat (social rate of return), yaitu perbandingan keuntungan
pendidikan kepada masyarakat dengan biaya pendidikan masyarakat. Jadi,
efisiensi eksternal pendidikan meliputi tingkat balik ekonomi dan investasi
pendidikan pada umumnya, alokasi pembiayaan bagi jenis dan jenjang pendidikan.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa efisiensi internal dan efisiensi
eksternal mempunyai kaitan yang sangat erat. Kedua aspek tersebut saling
melengkapi satu sama lain dalam menentukan efisiensi system pendidikan secara
keseluruhan.
Dengan demikian, secara konseptual
efisiensi pendidikan meliputi cost-efectiveness dan cost benefit. Cost
effectiveness dikaitkan dengan perbandingan biaya input pendidikan dan
efektivitasnya dalam mendukung hasil-hasil belajar. Efisiensi internal atau cost
effectiveness sangat bergantung pada dua faktor utama yaitu: (1) Faktor
institusional, (2) Faktor manajerial. Sedangkan cost benefit dikaitkan
dengan analisis keuntungan atas investasi pendidikan dari pembentukan
kemampuan, sikap, keterampilan. Terdapat dua hal penting dalam hal investasi
tersebut, yaitu: (1) Investasi hendaknya menghasilkan kemampuan yang memiliki
nilai ekonomi di luar intrinsiknya; (2) Nilai guna dari kemampuan.
6.
Desentralisasi Manajemen Sarana dan Prasarana Pendidikan
Permasalahan-permasalahan yang menyangkut
fasilitas pendidikan ini, erat kaitannya dengan kondisi tanah, bangunan dan
perabot yang menjadi penunjang terlaksananya proses pendidikan. Dalam aspek
tanah, berkaitan dengan status hukum kepemilikan tanah yang menjadi tempat
pendidikan, letaknya yang kurang memenuhi persyaratan lancarnya proses
pendidikan (sempit, ramai, terpencil, kumuh, labil, kumuh, dan lain-lain).
Aspek bangunan berkenaan dengan kondisi gedung sekolah yang kurang memadai
untuk lancarnya proses pendidikan (lembab, gelap, sempit, rapuh, bahkan banyak
yang sudah ambruk, dan lain-lain) sampai membahayakan keselamatan. Aspek
perabot berkenaan dengan sarana yang kurang memadai bagi pelaksanaan proses
pendidikan termasuk fasilitas untuk kebutuhan ekstrakurikuler.
Menata lahan, bangunan, perabot dan
perlengkapan serta arsip untuk lembaga pendidikan. Prinsip dasar tentang
manajemen berbagai unsur tersebut di atas, seharusnya tidak melupakan usaha
menciptakan suasana aman, sehat dan nyaman serta memenuhi kebutuhan pendidikan, antara lain: (1) Harus
menggambarkan cita dan citra masyarakat seperti halnya yang dinyatakan dalam
filsafat dan tujuan pendidikan; (2) Perencanaan
hendaknya merupakan pancaran keinginan bersama dengan pertimbangan pemikiran
tim ahli yang cukup cakap yang ada di masyarakat; (3) Hendaknya disesuaikan bagi
kepentingan peserta didik, demi terbentuknya karakter/watak mereka dan dapat
melayani serta menjamin mereka di waktu mengikuti pendidikan sesuai dengan
bakatnya masing-masing; (4) Perabot
dan perlengkapan serta peralatan hendaknya disesuaikan dengan kepentingan dan manfaatnya bagi perserta didik
dan tenaga kependidikan; (5) Administrator
lembaga pendidikan harus dapat membantu program pembelajaran secara etektif,
melatih para tenaga kependidikan serta memilih alat dan cara menggunakannya
agar mereka dapat melaksanakan tugasnya; (6) Seorang penanggungjawab lembaga
pendidikan harus mempunyai kecakapan untuk mengenal baik kualitatif maupun
kuantitatif serta menggunakannya dengan tepat perabot dan perlengkapan yang
ada; (7) Sebagai
penanggungjawab lembaga pendidikan harus mampu menggunakan serta memelihara
perabot dan perlengkapan sekitarnya sehingga Ia dapat membantu terwujudnya
kesehatan, keamanan, dan keindahan lembaga; (8) Sebagai penanggungjawab lembaga
pendidikan bukan hanya mengetahui kekayaan yang dipercayakan kepadanya, tetapi
juga harus memperhatikan seluruh keperluan alat-alat pendidikan yang dibutuhkan
perserta didik, sanggup menata dan memeliharanya.
Secara rasional sebelum dituangkan ke dalam
bentuk suatu perencanaan, maka seorang perencana yang baik memulai terlebih
dahulu dengan suatu pola penyusunan program. Pola pikiran bagi penyusunan
program untuk bangunan gedung harus memperhatikan: (a) ukuran dan umur pengguna,
(b) jumlah/kapasitas penghuni, (c) macam perabot yang harus ada di dalam, (d)
jumlah perabot, (e) penataan perabot, (f) cara pernakaian, (g) masa pernakaian,
(h) macam bahan, (I) pembiayaan dan pemeliharaan. Sedangkan untuk perlengkapan
dan perabot perlu memperhatikan: (a) macam perabot/perlengkapan, (b) cara
pemakaian, (c) bentuk perabot, (d) konstruksi perabot, (e) ukuran perabot, (f)
jumlah perabot/perlengkapan, (g) warna perabot, (h) macam bahan, (i) mutu
bahan, (j) harga bahan, dan (k) biaya pembuatan dan pemeliharaan.
Perbaikan yang berlangsung beberapa kali
terhadap perbaikan satu perlengkapan atau perabot akan lebih memakan banyak waktu,
tenaga dan biaya dibandingkan dengan mengganti yang baru. Dalam keadaan yang
normal, maka pada umumnya 5% dan keseluruhan pengeluaran sekolah diperuntukkan
bagi kepentingan pemeliharaan. Pentingnya
pemeliharaan yang layak terhadap bangunan, perabot dan perlengkapan, karena
sebenarnya kerusakan telah dimulai semenjak pertama kali gedung, perabot dan
perlengkapan yang baru diterima dari pihak pemborong atau penjual. Perhatikan
saja saat penerimaan dan pemakaian gedung baru, tembok, dinding, pintu,
jendela, ruang-ruang dan gapura, ditempeli, diikat, digantungi dalam rangka
menghias, padahal mereka sebenarnya mulai dengan ‘pengrusakan’.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar