Selasa, 15 Oktober 2019

Desentralisasi MPP


Desentralisasi Manajemen Pembangunan Pendidikan
Oleh :
Iman Lesmana

Desentralisasi pendidikan bisa mencakup seluruh substansi atau bidang garapan manajemen pendidikan, dan dapat juga hanya salah satu atau beberapa bidang garapan saja, antara lain kurikulum, tenaga kependidikan, keuangan, dan sarana-prasarana pendidikan. Misi utama desentralisasi dalam manajemen pendidikan ialah untuk menumbuhkembangkan kemandirian masyarakat daerah dalam mengelola pendidikan. Artinya, tugas  utama dalam desentralisasi manajemen pendidikan di daerah harus diprioritaskan pada upaya meningkatkan pratisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan.
Terlepas dari bidang garapan mana yang didesentralisasikan, sebetulnya aspek utama yang perlu disiapkan ialah adanya deregulasi peraturan perundang-undangan sebagai produk dari kebijakan nasional yang dijadikan perangkat kendali sistem manajemen, sekaligus yang mengatur isi dan luas kewenangan setiap bidang garapan yang didesentralisasikan. Aspek inilah yang akan memberi corak, jenis dan bentuk-bentuk desentralisasi dalam manajemen pendidikan. Artinya,  substansi desentralisasi manajemen pendidikan harus pula menyertakan peraturan perundang-undangan yang mengatur batas-batas kewenangan pangkal, bidang garapan mana yang secara mandiri menjadi hak, bidang garapan mana yang menjadi kewajiban, bidang mana yang menjadi kewenangan tambahan, bagaimana hak dan kewajiban tersebut dipertanggungjawabkan, serta bagaimana peraturan perundang-undangan tersebut mengikat secara hukum terhadap bidang-bidang garapan manajemen pendidikan yang didesentralisasikan itu.
1.          Desentralisasi Perundang-undangan Pendidikan
Bidang hukum dan perundang-undangan dalam konteks desentralisasi manajemen pendidikan, saya anggap paling krusial karena aspek ini merupakan  perangkat kendali manajemen yang akan menentukan isi dan luas wewenang dan tanggung jawab untuk melaksanakan setiap bidang tugas yang didesentralisasikan. Artinya, setiap penataan organisasi dan manajemen sebagai konsekuensi dari wewenang yang diterima, tidak terlepas dari adanya asas legalitas sebagai landasan berpijak dalam membangun perangkat-perangkat operasional organisasi dan manajemen yang accountable bagi kepentingan masyarakat, sekaligus untuk memenuhi kebutuhan masyarakatnya. Dengan demikian, maka salah satu keberhasilan dalam desentralisasi manajemen pendidikan tergantung pada dukungan peraturan perundang-undangan.
Peraturan perundang-undangan tersebut terdiri dari dua sumber: Pertama, komitmen politik yang bersumber dari amanat rakyat. Komitmen ini mencakup komitmen internal dan eksternal. Komitmen internal berkaitan dengan segala aktivitas pemenuhan kebutuhan, keinginan dan harapan rakyat untuk kesejahteraan. Sedangkan komitmen eksternal berkaitan dengan segala aktivitas masyarakat dan bangsa dalam percaturan global. Kedua, political will (kemauan politik) para pembuat kebijakan baik pada tatanan manajemen pendidikan di tingkat pusat maupun pada tingkat daerah. Kemauan politik ini harus konkrit dalam wujud peraturan perundang-undangan dengan segala akibat hukum yang menyertainya secara konsisten.
2.        Desentralisasi Organisasi Kelembagaan Pendidikan
Pembaharuan struktur kelembagaan pendidikan di daerah perlu memperhatikan tiga hal pokok, yaitu kewenangan, kemampuan dan kebutuhan masing-masing daerah dengan berazaskan pada demokratisasi, pemberdayaan dan pelayanan umum di bidang pendidikan. Kewenangan merupakan rujukan yang dijadikan dasar pijakan dalam menentukan substansi manajemen pendidikan yang patut dilakukan. Kebutuhan berkaitan dengan permasalahan yang signifikan di daerah. Dan pada aspek kemampuan berkaitan dengan potensi sumber daya yang dituangkan dalam PAD.
Di samping itu, pembaharuan kelembagan pendidikan di daerah perlu didasarkan pada prinsip rasional, efisien, efektif, realistis dan operasional, serta memperhatikan karakteristik organisasi dan manajemen modern. Dalam istilah yang lebih populer, bahwa Struktur Organisasi dan Tata Kerja (SOTK) harus “ramping struktur kaya fungsi”. Pertimbangannya ialah: (1) terbuka, (2) fleksibel, (3) ramping, (4) efisien, (5) rasional, (6) fungsionalisasi, (7) jenjang pengambilan keputusan sangat pendek, (8) desentralisasi dan delegasi wewenang optimal, (9) peran sentral SDM, (10) kepemimpinan partisipatif, (11) daya tanggap tinggi atas aspirasi rakyat, (12) antisipatif terhadap masa depan, dan (13) berorientasi kepada tercapainya tujuan.
Perubahan struktur organisasi pemerintahan pada tingkat kabupaten/kota turut pula mempangaruhi struktur organisasi pendidikan. Bentuknya sangat bervariasi, tergantung aspirasi, bidang garapan dan kebutuhan masing-masing daerah kabupaten/kota yang bersangkutan.   Struktur organisasi pendidikan pada tingkat satuan pendidikan lebih bervariasi lagi, karena bersar-kecilnya, luas-sempitnya dan banyak-sedikitnya unit-unit organisasinya ditentukan oleh bidang garapan manajemen dan karakteristik organisasi satuan pendidikan itu sendiri. Misalnya, organisasi satuan pendidikan umum akan berbeda dengan satuan pendidikan kejuruan.
3.        Desentralisasi Manajemen Kurikulum Pendidikan
Desentralisasi manajemen kurikulum berkenaan dengan kemampuan daerah dalam aspek relevansi. Permasalahan relevansi pendidikan selama ini diarahkan pada kurangnya kepercayaan pemerintah pada daerah untuk menata sistem pendidikannya yang setara dengan kondisi obyektif di daerahnya. Situasi ini memacu terciptanya penggangguran lulusan akibat tidak relevannya kurikulum dengan kondisi daerah. Karena itu, desentralisasi kurikulum menjadi alternatif yang harus dilakukan. Pelaksanaan kurikulum muatan lokal yang selama ini memiliki pertimbangan persentase lebih kecil daripada kurikulum nasional belum cukup memadai situasi, kondisi dan kebutuhan daerah.
Perubahan yang paling mendasar dalam aspek manajemen kurikulum, bahwa pendidikan harus mampu mengoptimalkan semua potensi kelembagaan yang ada dalam masyarakat, baik pada lembaga-lembaga pendidikan yang dikelola pemerintah, masyarakat atau swasta. Persyaratan dasar penetapan jenis kurikulum antara lain: (1) Kurikulum dikembangkan berdasarkan minat dan bakat peserta didik; (2) Kurikulum berkaitan dengan karakteristik potensi wilayah setempat misalnya sumber daya alam, ekonomi, pariwisata dan sosial-budaya; (3) Dapat dikembangkan secara nyata sebagai dasar penguatan sektor usaha pemberdayaan ekonomi masyarakat, (4) Pembelajaran berorientasi pada peningkatan kompetensi keterampilan untuk belajar dan bekerja, lebih bersifat aplikatif dan operasional, (5) Jenis keterampilan ditetapkan oleh pengelola program bersama-sama dengan peserta didik, orang tua, tokoh masyarakat, dan mitra kerja.
Dengan demikian, persyaratan uatama dalam bobot muatan kurikulum harus  mendasar, kuat, dan lebih luas. Mendasar, dalam arti terkait dengan pemberian kemampuan dalam upaya memenuhi kebutuhan mendasar peserta didik sebagai individu maupun anggota masyarakat. Kuat, dalam arti terkait dengan isi dan proses pembelajaran atau penyiapan peserta didik untuk menguasai pengetahuan, sikap dan keterampilan yang kuat, sehingga memiliki kemampuan untuk mandiri dalam meningkatkan kualitas  pemenuhan kebutuhan mendasarnya. Luas, dalam arti terkait dengan pemanfaatan dan pendayagunaan potensi dan peluang yang ada dan dapat dijangkau oleh peserta didik. Potensi dan peluang tersebut didayagunakan baik pada saat proses pembelajaran maupun pada saat penerapan hasil pembelajaran. Ketiga aspek tersebut secara bersama-sama memberikan kemampuan kepada peserta didik untuk dapat menyesuaikan diri terhadap berbagai kemungkinan kondisi, potensi dan peluang yang ada di lingkungannya.
Komptensi yang dituntut ialah bekal pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan fungsional praktis serta perubahan sikap untuk bekerja dan berusaha secara mandiri, membuka lapangan kerja dan lapangan usaha serta memanfaatkan peluang yang dimiliki, sehingga dapat meningkatkan kualitas kesejahteraannya. Penggunaan pendekatan dalam merumuskan kurikulum harus memiliki cakupan  yang luas, dapat mengitegrasikan pengetahuan dengan keterampilan yang diyakini sebagai unsur penting untuk hidup lebih mandiri. Strategi pembelajaran dirancang untuk membimbing, melatih dan membelajarkan peserta didik agar mempunyai bekal dalam menghadapi masa depannya, dengan memanfaatkan peluang dan tantangan yang ada. Metodologi pengajaran berpegang pada prinsip belajar untuk memperoleh pengetahuan (learning to learn), belajar untuk dapat berbuat atau bekerja (learning to do), belajar untuk menjadi orang yang berguna (learning to be) dan belajar untuk dapat hidup bersama orang lain (learning to live together).
Merujuk pendekatan tersebut, dari sisi kelompok sasaran pada dasarnya tidak hanya terbatas untuk pesreta didik usia dewasa yang siap untuk berusaha mencari nafkah. Nilai yang terkandung dan arah dari orientasi dari kedua konsep tersebut memungkinkan juga untuk dikuasai oleh usia anak-anak dan pra dewasa. Hal ini didasarkan pada aspek filosofis, sosial-budaya dan psikologis yang dijadikan landasan dari ketiga aspek tersebut.
4.        Desentralisasi Manajemen Tenaga Kependidikan
Aspek ketenagaan berkenaan dengan SDM yang kurang professional menghambat pelaksanaan sistem pendidikan nasional. Penataan para prajurit SDM yang tidak sesuai dengan latar belakang pendidikannya menyebabkan pelaksanaan pendidikan tidak profesional. Banyak tenaga pengelola pendidikan yang latar belakang pendidikannya tidak relevan dengan dunia kerja yang ditekuninya.
Reorganisasi dan restrukturisasi organisasi dan manajemen pendidikan dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah, memang diperlukan. Saya ingat apa yang pernah diingatkan oleh Fasli Jalal dan Dedi Supriadi (2001), bahwa  “restrukturisasi organisasi pendidikan harus didasarkan pada prinsip tanpa PHK, standar kompetensi jabatan, dialog antara penanggungjawab instansi terkait guna mendapatkan pola terbaik, pola karier jelas, retraining, dan sistem insentif.”
Dengan demikian, apabila kita percaya bahwa dengan desentralisasi manajemen menuntut profesionalisasi ketenagaan, maka sebagai suatu konsep, desentralisasi dipercaya banyak mengandung makna yang menggambarkan suatu situasi yang penuh tantangan. Bahkan sering digambarkan sebagai keadaan dalam era reformasi, dimana segala sesuatu yang berbau ‘orde baru’ yang penuh intrik kolusi, korupsi dan nepotisme seperti diapparkan di atas, perlu dimusnahkan dalam manajemen pembangunan bangsa. Dalam wacana seperti ini, individu maupun organisasi dituntut dapat hidup secara jujur, kreatif, responsif, dan inovatif dan transparan. Jujur karena setiap individu dalam organisasi mempunyai moralitas, agama dan keyakinan, serta komitmen; Kreatif karena individu dan organisasi harus mencari cara terbaik untuk dapat ‘survive’ dalam usahanya bersaing dengan individu dan organisasi lainnya; Responsif agar mendapatkan sumberdaya yang terbaik dan memadai; Inovatif agar dapat meningkatkan efisiensi, efektivitas dan produktivitas yang diinginkannya; Dan transparan karena harus dipertanggungjawabkan.
Persoalan yang mendasar yang patut dipertegas ialah pihak-pihak yang harus berperan dalam pelaksanaan pendidikan. Sekalipun telah disepakati bahwa pelaksanaan pendidikan merupakan tanggungjawab berasama antara keluaraga, masayarakat dan pemerintah. Akan tetapi bila dalam praktekanya lebih didominasi pihak pemerintah. Dengan sendirinya pihak-pihak yang paling bertanggungjawab dalam hal ini ialah pemerintah.
5.        Desentralisasi Manajemen Pembiayaan Pendidikan
Tidak bisa dipungkiri bahwa pendidikan di samping mempunyai manfaat ekonomi juga mempunyai manfaat sosial-psikologis yang sulit dianalisis secara ekonomi. Namun pendekatan ekonomi dalam menganalisis pendidikan memberikan konstribusi sekurang-kurangnya terhadap dua hal yaitu (1) Analisis efektivitas dalam arti analisis penggunaan biaya yang dimanfaatkan untuk mencapai tujuan-tujuan pendidikan; (2) Analisis efesiensi penyelenggaraan pendidikan dalam arti perbandingan hasil dengan sejumlah pengorbanan yang diberikan.
Sebetulnya, dalam mengukur manfaat biaya pendidikan sering didasarkan kepada konsep biaya pendidikan yang sifatnya lebih kompleks dari keuntungan, karena komponen-komponen biaya terdiri  dari lembaga jenis dan sifatnya. Biaya pendidikan bukan hanya berbentuk uang atau rupiah, tetapi juga dalam  bentuk biaya kesempatan. Biaya kesempatan (income forgone) yaitu potensi pendapatan bagi seorang siswa selama ia mengikuti pelajaran atau menyelesaikan studi (Cohn, 1979). Untuk mengetahui efesiensi biaya pendidikan biasanya digunakan metode analisis keefektifan biaya (cost effectiveness analysis) yang memperhitungkan besarnya kontribusi setiap masukan pendidikan terhadap efektivitas pencapaian tujuan pendidikan atau prestasi belajar. Upaya efisiensi dapat dikelompokkan ke dalam dua jenis, yaitu efisiensi internal dan efisiensi eksternal. Kedua konsep tersebut satu sama lain erat kaitannya.
Efisiensi internal dapat dinilai melalui suatu sistem pendidikan yang menghasilkan output yang diharapkan dengan biaya minimum. Dapat pula dinyatakan bahwa dengan input yang tertentu dapat memaksimalkan output yang diharapkan. Output acapkali diukur dengan indikator-indikator seperti angka kohort, yaitu proporsi siswa yang dapat bertahan sampai akhir putaran pendidikan, pengetahuan keilmuan, keterampilan, ketaatan kepada norma-norma perilaku sosial. Karena dengan alasan inilah persoalan-persoalan mutu pendidikan biasanya dibahas dengan memperhatikan efisiensi internal dari sistem pendidikan.
Sedangkan efesiensi eksternal, sering dihubungkan dengan metode cost benefit analysis. Efisiensi eksternal dihubungkan dengan situasi makro yaitu pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan sosial sebagai dampak dari hasil pendidikan. Pada tingkat makro bahwa individu yang berpendidikan cenderung lebih baik memperoleh pendapatan yang lebih tinggi dan kesehatan yang baik. Analisis efisiensi eksternal berguna untuk menentukan kebijakan dalam pengalokasian biaya atau distribusi anggaran kepada seluruh  sub-sub sektor pendidikan. Efisiensi eksternal juga merupakan pengakuan sosial terhadap lulusan atau hasil pendidikan.
Di samping itu, dalam menganalisis efisiensi eksternal, dalam bidang pendidikan dapat dibedakan dalam dua jenis, yaitu: (1)  Keuntungan perorangan (private rate of return), yaitu perbandingan keuntungan pendidikan kepada individu dengan biaya pendidikan dari individu yang bersangkutan; (2)  Keuntungan masyarakat (social rate of return), yaitu perbandingan keuntungan pendidikan kepada masyarakat dengan biaya pendidikan masyarakat. Jadi, efisiensi eksternal pendidikan meliputi tingkat balik ekonomi dan investasi pendidikan pada umumnya, alokasi pembiayaan bagi jenis dan jenjang pendidikan. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa efisiensi internal dan efisiensi eksternal mempunyai kaitan yang sangat erat. Kedua aspek tersebut saling melengkapi satu sama lain dalam menentukan efisiensi system pendidikan secara keseluruhan.
Dengan demikian, secara konseptual efisiensi pendidikan meliputi cost-efectiveness dan cost benefit. Cost effectiveness dikaitkan dengan perbandingan biaya input pendidikan dan efektivitasnya dalam mendukung hasil-hasil belajar. Efisiensi internal atau cost effectiveness sangat bergantung pada dua faktor utama yaitu: (1) Faktor institusional, (2) Faktor manajerial. Sedangkan cost benefit dikaitkan dengan analisis keuntungan atas investasi pendidikan dari pembentukan kemampuan, sikap, keterampilan. Terdapat dua hal penting dalam hal investasi tersebut, yaitu: (1) Investasi hendaknya menghasilkan kemampuan yang memiliki nilai ekonomi di luar intrinsiknya; (2) Nilai guna dari kemampuan.
6.        Desentralisasi Manajemen Sarana dan Prasarana Pendidikan
Permasalahan-permasalahan yang menyangkut fasilitas pendidikan ini, erat kaitannya dengan kondisi tanah, bangunan dan perabot yang menjadi penunjang terlaksananya proses pendidikan. Dalam aspek tanah, berkaitan dengan status hukum kepemilikan tanah yang menjadi tempat pendidikan, letaknya yang kurang memenuhi persyaratan lancarnya proses pendidikan (sempit, ramai, terpencil, kumuh, labil, kumuh, dan lain-lain). Aspek bangunan berkenaan dengan kondisi gedung sekolah yang kurang memadai untuk lancarnya proses pendidikan (lembab, gelap, sempit, rapuh, bahkan banyak yang sudah ambruk, dan lain-lain) sampai membahayakan keselamatan. Aspek perabot berkenaan dengan sarana yang kurang memadai bagi pelaksanaan proses pendidikan termasuk fasilitas untuk kebutuhan ekstrakurikuler.
Menata lahan, bangunan, perabot dan perlengkapan serta arsip untuk lembaga pendidikan. Prinsip dasar tentang manajemen berbagai unsur tersebut di atas, seharusnya tidak melupakan usaha menciptakan suasana aman, sehat dan nyaman serta memenuhi kebutuhan pendidikan, antara lain: (1) Harus menggambarkan cita dan citra masyarakat seperti halnya yang dinyatakan dalam filsafat dan tujuan pendidikan; (2) Perencanaan hendaknya merupakan pancaran keinginan bersama dengan pertimbangan pemikiran tim ahli yang cukup cakap yang ada di masyarakat; (3) Hendak­nya disesuaikan bagi kepentingan peserta didik, demi terbentuknya karakter/watak mereka dan dapat mela­yani serta menjamin mereka di waktu mengikuti pendidikan sesuai dengan bakatnya masing-masing; (4) Perabot dan perlengkapan serta peralatan hendaknya disesuaikan dengan kepentingan dan manfaat­nya bagi perserta didik dan tenaga kependidikan; (5) Administrator lembaga pendidikan harus dapat membantu program pembelajaran secara etektif, melatih para tenaga kependidikan serta memilih alat dan cara menggunakannya agar mereka dapat melaksanakan tugasnya; (6) Seorang penanggungjawab lembaga pendidikan harus mempunyai kecakap­an untuk mengenal baik kualitatif maupun kuantitatif serta meng­gunakannya dengan tepat perabot dan perlengkapan yang ada; (7) Sebagai penanggungjawab lembaga pendidikan harus mampu mengguna­kan serta memelihara perabot dan perlengkapan sekitarnya sehingga Ia dapat membantu terwujudnya kesehatan, keamanan, dan keindahan lembaga; (8) Sebagai penanggungjawab lembaga pendidikan bukan hanya mengetahui kekayaan yang dipercayakan kepadanya, tetapi juga harus memperhatikan seluruh keperluan alat-alat pendidikan yang dibutuhkan perserta didik, sanggup menata dan me­meliharanya.
Secara rasional sebelum dituangkan ke dalam bentuk suatu pe­rencanaan, maka seorang perencana yang baik memulai terlebih dahulu dengan suatu pola penyusunan program. Pola pikiran bagi penyusunan program untuk bangunan gedung harus memperhatikan: (a) ukuran dan umur pengguna, (b) jumlah/kapasitas penghuni, (c) macam perabot yang harus ada di dalam, (d) jumlah perabot, (e) penataan perabot, (f) cara pernakaian, (g) masa pernakaian, (h) macam bahan, (I) pembiayaan dan pemeliharaan. Sedangkan untuk perlengkapan dan perabot perlu memperhatikan: (a) macam perabot/perlengkapan, (b) cara pemakaian, (c) bentuk perabot, (d) konstruksi perabot, (e) ukuran perabot, (f) jumlah perabot/perlengkapan, (g) warna perabot, (h) macam bahan, (i) mutu bahan, (j) harga bahan, dan (k) biaya pembuatan dan pemeliharaan.
Perbaikan yang berlangsung beberapa kali terhadap perbaikan satu perlengkapan atau perabot akan lebih memakan banyak wak­tu, tenaga dan biaya dibandingkan dengan mengganti yang baru. Dalam keadaan yang normal, maka pada umumnya 5% dan kese­luruhan pengeluaran sekolah diperuntukkan bagi kepentingan pemeliharaan. Pentingnya pemeliharaan yang layak terhadap bangunan, pera­bot dan perlengkapan, karena sebenarnya kerusakan telah dimulai semenjak pertama kali gedung, perabot dan perlengkapan yang baru diterima dari pihak pemborong atau penjual. Perhatikan saja saat penerimaan dan pemakaian gedung baru, tem­bok, dinding, pintu, jendela, ruang-ruang dan gapura, di­tempeli, diikat, digantungi dalam rangka menghias, padahal mereka sebenarnya mulai dengan ‘pengrusakan’.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Penguatan Integrasi Pendidikan

PENGUATAN INTEGRASI PENDIDIKAN DALAM ERA DISUPSI Oleh :  Asep Rohiman Lesmana, M.Pd. Pendidikan merupakan suatu entitas yang s...