Merancang Peradaban Manusia Indonesia
Oleh :
Iman Lesmana
Menengok sejarah peradaban manusia,
telah begitu banyak upaya untuk mewariskan pengetahuan dan keterampilan kepada
generasi berikutnya. Seiring perjalanan jaman dan semakin bertambahnya
pengetahuan dan keterampilan yang harus diwariskan kepada anak-anaknya, pada
akhirnya para orang tua semakin menunjukkan ketidaksanggupan lagi untuk
mengajarkan semua pengetahuan dan keterampilan yang dimilikinya kepada
anak-anaknya. Dan sejak saat itu, mulailah ada upaya-upaya pembelajaran melalui cara-cara yang tidak formal sesuai pengetahuan dan
keterampilan yang diinginkan para anaknya.
Selanjutnya, seiring pembaharuan dan
perkembangan jaman, di mana pengetahuan dan keterampilan yang harus dipelajari
bertambah dan berkembang semakin kompleks, kemudian upaya-upaya pembelajaran tersebut
mulai diformalkan dalam bentuk apa yang sekarang dikenal dengan persekolahan.
Di mana pun proses pendidikan terjadi, menunjukkan bahwa pendidikan mempunyai
nilai-nilai yang hakiki tentang harkat dan martabat kemanusiaan. Namun,
belakangan lembaga pendidikan yang namanya 'sekolah' ini hanya menyediakan
waktu yang sangat terbatas dengan aturan
yang ketat, serta cenderung menganggap sebagai satu-satunya lembaga pendidikan. Manakala membicarakan pendidikan cenderung
yang dibahas adalah sistem persekolahan; Akibatnya, paradigma pendidikan yang
begitu universal hanya dipandang secara terbatas, dan lebih banyak adaptif
daripada inisiatif (Hadi Supeno, 1991:9).
Dalam situasi demikian, Ivan Illich (1976) telah mengkritik pendidikan
persekolahan ini dengan pertanyaan: “Apakah sekolah itu sesuatu yang perlu
dalam pendidikan?” Bahkan, Everet Reimer (1977) tidak tanggung-tanggung
menganggap bahwa pendidikan persekolahan telah ‘mati’ (school is dead). Illich dan Reimer telah berusaha untuk
memperjelas perbedaan antara sekolah dengan fungsi dan nilai-nilai pendidikan
itu sendiri, sehingga pada prakteknya pendidikan persekolahan tidak mengarah
pada ‘dehumanisasi’.
Tentu saja, saya tidak mau terperangkap dalam konsep yang ekstrim
seperti Reimer. Dalam kondisi ledakan penduduk yang harus dididik dari usia
0-18 tahun, maka konsep ‘deshooling
society’ atau ‘school is dead’
tampaknya hanya impian yang tidak akan pernah dicapai. Kritikan Illich dan Reimer tersebut
setidaknya mengingatkan masyarakat, bahwa pendidikan persekolahan bukanlah
satu-satunya lembaga pendidikan. Menurut Nataatmaja (1982) paradigma
pendidikan yang selalu didasarkan pada paradigma politik telah
terbukti menghasilkan SDM yang hanya
bersifat mekanis dan kurang kreatif. Oleh karena
itu, pembangunan pendidikan akan selalu menyentuh perangkat kendali
sistem pendidikan yang universal. Sehingga, untuk
melakukan pembangunan pendidikan di Indonesia, tidak ada altematif lain kecuali
melakukan pembaharuan orientasi dan pendekatan dalam manajemen pembangunan
pendidikan itu sendiri.
Padangan tersebut menunjukkan bahwa nilai-nilai pendidikan bukan saja
hanya sekedar etika dalam arti 'baik' atau 'tidak baik', namun lebih
ditekankan pada tujuan mengapa perlu ada pembangunan pendidikan. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi seharusnya dapat membimbing
manusia untuk mempunyai tujuan. Seperti yang dialami anak manusia yang
diibaratkan ‘penumpang’ kapal yang bernama Bumi, berputar di jagat kosmos,
melancong lautan waktu yang tidak terbatas. Bukankah manusia seperti binatang
peliharaan yang diceritakan Al-Qur’an: “Mereka bersenang dengan riang gembira
dan makan layaknya binatang…” (QS. Muhammad:12). Al-Qur’an juga menyatakan
bahwa: “Mereka punya hati, tetapi tidak bisa memahami; mereka punya mata,
tetapi tidak melihat; mereka punya telinga, tetapi tidak mendengar. Benar-benar
mereka mirip binatang peliharaan, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah
orang-orang lalai”. (QS. Al-A’raf:179).
Gambaran tersebut mengingatkan apa yang pernah diungkapkan dalam buku Daras Filsafat Islam, bahwa:
Ya, itulah kisah manusia di jaman kita! Dengan kemajuan teknologi yang
menakjubkan, mereka menjadi terserang kebingungan dan kebingungan serta tidak
tahu dari mana mereka berasal dan akan kemana mereka pergi. Ke arah mana mereka
seharusnya berbelok dan jalan apa yang mestinya mereka tempuh? Inilah mengapa
absurdisme, nihilisme, hipiisme muncul di abad ruang angkasa ini. Laksana
kanker, paham-paham ini menyerang jiwa, pikiran dan ruh manusia beradab.
Ia menghancurkan dan meluluhkan
pasak-pasak istana kemanusiaan, bagaikan rayap menggerogoti kayu (Muhammad Taqi
Mishbah Yazdi, 2003: 69).
Berdasarkan pandangan tersebut, saya meyakini bahwa nilai dan
tujuan 'baik' dari pendidikan hanya akan ada
apabila pendidikan itu sendiri dapat menciptakan sesuatu yang memberikan manfaat bagi kehidupan
masyarakat masa kini dan masa mendatang, atau bagi kehidupan di dunia sampai ke
kehidupan di akhirat. Jika pembangunan pendidikan harus dilakukan,
menunjukkan bahwa dalam pembangunan pendidikan selama ini ada sesuatu yang
kurang bermanfaat. Dengan kata lain, kekurangan atau kelebihan dalam
pembangunan pendidikan harus dapat ditemukan, dianalisis, disintesa, kemudian
dipraktekkan kembali sampai menunjukan hasil yang lebih bermanfaat. Dengan demikian, tidak ada
pilihan,..pembangunan manusia Indonesia harus dititikberatkan pada aspek-aspek
yang menjadi sumber kekuatan bangsa, yaitu SDM yang memiliki ilmu pengetahuan dan
teknologi, beriman dan beramal shaleh, dan dilandasi pedoman pembangunan yang bersumber
dari wahyu Tuhan TME, serta diwujudkan dalam perilaku kehidupan berkeluarga, bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara.
Pembangunan bangsa yang harus kita
upayakan, pada hakekatnya harus merujuk pada proses rekontruksi strutur
kehidupan yang memberikan pengaruh timbal balik, baik secara kuantitatif maupun
kualitatif menuju kehidupan mansyarakat yang lebih baik. Pembangunan yang baik
ialah pembangunan yang dapat membatu masyarakat dalam memecahkan setiap
problema kebutuhan, keinginan dan harapan masyarakat yang lebih besar dan
menyeluruh. Karena itu, pembangunan manusia
seyogyanya diupayakan dalam rangka proses-proses penyesuaian diri setiap
anggota masyarakat terhadap lingkungan sosial masyarakat pada umumnya.
Kita selalu berbangga hati dengan
tanah air yang kaya dan subur dengan potensi sumber daya alam, dan potensi
sumber daya insani yang begitu pluralistik, yang dapat dijadikan modal utama
untuk kesejahteraan masyarakat dan bangsa. Namun kita pun sering melupakan,
bahwa kekayaan yang paling berharga dan mulia bagi bangsa adalah budhi-akal dan
akhlaq dari anak-anak bangsa, dan modal terbesar adalah kemandirian bangsa
sendiri; Kita sering berbangga hati, karena bangsa kita merupakan bangsa yang
mempunyai martabat dan kehormatan di mata dunia internasional, dan karenanya
sering menerima berbagai tekanan bangsa lain demi pergaulan internasional.
Namun kita pun sering melupakan, bahwa kehormatan yang terbesar bagi bangsa
adalah kesetiaan terhadap bangsanya sendiri.
Di samping itu, kita juga sering
khawatir dengan tantangan mengerikan yang dihadapi bangsa dewasa
ini, seperti ancaman disintegrasi bangsa, krisis kepemimpinan, krisis moneter, musibah
di mana-mana, kriminalitas dan teror yang membuat hidup ini tidak nyaman, telah
mengakibatkan ‘lunturnya’ jati diri sebagai
bangsa yang besar, bermartabat, dan berbudi luhur. Khawatir
dengan kefakiran dan kemiskinan bangsa, bingung mencari ‘guru’ yang dapat
memberikan ilmu untuk bangkit dari keterpurukan, dan bingung dengan prioritas
pembangunan mana yang harus diutamakan. Karena kita sering melupakan, bahwa
musibah terbesar bagi bangsa adalah keputusasaan. Kefakiran dan kemiskinan
terbesar bagi bangsa adalah kebodohan, guru terbaik bagi bangsa adalah
pengalaman bangsa itu sendiri, dan prioritas yang paling besar bagi bangsa
dalam pembangunan adalah partisipasi bangsanya sendiri dalam proses-proses
pembangunan.
Saya menganggap bahwa kita tidak mungkin ke luar dari krisis, bila
kita masih terbelenggu dengan rasa kebanggaan dan kekhawatiran. Karena, bangsa
yang besar, bangsa pemberani, bangsa bermartabat, bangsa yang berbudi luhur,
tidak diukur dengan rasa kebanggaan dan sejumlah perasaan kekhawatiran. Juga
tidak diukur dengan penyebab dan alasan-alasan mengapa kita menjadi bangsa yang
terpuruk. Akan tetapi diukur dengan
seberapa mampu bangsa kita bangkit dari keterpurukan dan berupaya mengejar
ketinggalan.
Sepatutnya bangsa kita banyak bersyukur
pada Tuhan YME karena telah memberikan karunia, keberanian, kekayaan,
kemuliaan, modal, dan kehormatan yang terbesar-Nya, yaitu keshalehan,
kesabaran, akal dan akhlaq, kemandirian, dan kesetiaan anak-anak bangsa; Namun,
semua yang diberikan Tuhan YME tersebut tidak akan berarti apa-apa, bila tidak
dikelola dan dimanfaatkan untuk pembangunan bangsanya sendiri. Bahkan
potensi-potensi yang diberikan Tuhan YME tersebut akan menjadi ‘petaka’ bila
bangsa kita ‘bodoh’ alias tidak tahu bagaimana cara bersyukur kepada Tuhan YME.
Pengalaman sejarah menunjukkan, banyak bangsa-bangsa besar di dunia terpuruk
karena ‘kebodohan’ atau ketidaktahuan dalam bersyukur kepada Tuhannya. Masihkah
kita bertanya: Mengapa bangsa kita terpuruk? Masih tidak cukupkah Tuhan YME
memberikan potensi-potensi yang berlimpah kepada bangsa kita? Ataukah bangsa
kita tidak cukup ilmu dan keimanan dalam mengelola dan memanfaatkan sejumlah
potensi yang diberikan Tuhan YME?
Saya berkeyakinan, bahwa kunci
permasalahan semua yang kita hadapi ada pada pertanyaan yang terakhir, yaitu
bangsa kita tidak cukup ilmu, alias ‘bodoh’ alias ‘fakir’ dan keimanan yang
rendah, sehingga menyebabkan proses-proses pembangunan dilaksanakan dengan
salah dan salah. Bahkan semakin
terpuruk, karena pembangunan pendidikan bukan merupakan
suatu proses rekontruksi struktur kehidupan yang memberikan pengaruh timbal
balik, baik secara kuantitatif maupun kualitatif menuju kehidupan bangsa yang
lebih baik. Bangsa yang bertambah ilmunya, harus
senantiasa dapat meningkatkan keimanannya, dan kemudian diwujudkan dalam bentuk
perilaku amal shaleh sehari-hari, baik shaleh terhadap diri, keluarga,
masyarakat, alam dan Tuhannya. Ilmu
dalam pandangan Islam diperoleh dari hasil ‘belajar membaca’ tentang alam dan
dari Al-Qur’an sebagai pedoman hidupnya. Motivasi dan semangat bangsa dalam
mencari ilmu, hanya dapat diperoleh apabila bangsa itu mempunyai dan berusaha
selalu meningkatkan keimanannya. Begitu pula sebaliknya, bangsa yang mempunyai keimanan, bukan hanya karena
mendapat hidayah dan karunia secara tiba-tiba, tetapi dihasilkan dari sebuah
proses ‘ikhtiar’ dan ‘ijtihad’ yang mustahil tidak mendapatkan
suatu hidayah dan karunia dari Tuhan YME. Ketiga unsur ini, yaitu ilmu, iman dan amal, menurut pendapat saya patut diupayakan dalam mencapai
insan-insan yang berkualitas. Secara
ilustratif, paradigma ini dapat dilihat pada gambar berikut.
Apabila gambar di atas dijadikan
paradigma dalam pembangunan manusia Indonesia, maka akan dibaca seperti ini:
Pertama, Tuhan YME
telah memberikan seluruh potensi alam semesta (Negara Kesatuan Republik
Indonesia) beserta isinya seperti karunia, keberanian, kekayaan,
kemuliaan, modal, dan kehormatan yang terbesar-Nya, yaitu keshalehan,
kesabaran, budhi-akal dan akhlaq, kemandirian, dan kesetiaan anak-anak bangsa;
Di samping potensi-potensi tersebut, juga diberikan pedoman untuk hidup
dan kehidupanya, yaitu Al-Qur’an yang diwujudkan dalam bentuk dan
struktur peraturan dan perundang-undangan, mulai dari UUD 1945 sampai
dengan peraturan pelaksanaannya untuk mengatur kehidupan berbangsa dan
bernegara, agar supaya menjadi bangsa yang sejahtera lahir-bathin, dunia
akhirat. Kedua potensi ini, yaitu potensi alam beserta isinya dan pedoman
hidup, merupakan sumber rujukan ilmu pengetahuan dan teknologi
pembangunan, yang harus diamalkan, dilaksanakan, diwujudkan dalam bentuk
perilaku atau proses-proses pembangunan yang memberikan manfaat dan
kemaslahatan timbal balik bagi bangsa ke arah yang lebih baik.
Kedua, di samping
kedua potensi tersebut, Tuhan YME menyediakan hidayah, yang akan diberikan
kepada bangsa-bangsa yang dapat meningkatkan keimanannya kepada yang memberikan
kedua potensi tersebut. Keimanan bangsa akan meningkat manakala bangsa itu
mampu menggali ilmu, dan untuk menggali ilmu dibutuhkan tingkat keimanan yang
tinggi. Apabila ilmu meningkat, tuntutannya adalah keimanannya meningkat pula,
dan apabila imannya meningkat menuntut pula ilmunya meningkat. Keduanya bagai
dua sisi mata uang, sama-sama dituntut untuk diamalkan dan diwujudkan dalam
bentuk perilaku yang sesuai dengan tingkatan dan kehendak dari ilmu dan
keimanan tersebut.
Ketiga, perilaku
pembangunan sebagai perwujudan dari amal shaleh bangsa akan menjadi feed-back
dan kembali kepada Tuhan YME, asal dari-Nya sudah tentu harus kembali
kepada-Nya. Apabila feed-back perilaku proses-proses pembangunan sesuai
dengan apa yang telah ditentukan oleh Tuhan YME melalui pedoman hidup yang
telah diberikan, maka hidayah dari-Nya akan diberikan kembali untuk
meningkatkan keimanan, dan selanjutnya keimanan tersebut akan memompa
peningkatan ilmu pengetahuan dan teknologi baru untuk memperbaiki dan
meningkatkan proses-proses pembangunan lebih lanjut dan lebih baik. Masihkan
kita bertanya: mengapa Bangsa Indonesia yang indah dan subur ini terpuruk
karena dilanda krisis? Bisakah kita bertanya: Bagaimana caranya bangsa kita
dapat bangkit dari keterpurukan?
Berdasarkan kepada paradigma tersebut,
tampaknya pertanyaan pertama sudah tidak perlu dipersoalkan lagi. Dan kita
perlu memfokuskan pada pertanyaan kedua. Dengan kata lain, untuk dapat bangkit
dari keterpurukan, maka bangsa kita harus berusaha meningkatkan keimanan, agar
ilmu pengetahuan dan teknologi yang dipunyai bangsa dapat meningkat, dan
kemudian diwujudkan dalam proses-proses pembangunan yang sesuai dengan aturan
hukum dan perundang-undangan, dan dapat mensyukurinya, sehingga mendapat
hidayah untuk bangkit dari keterpurukan. Dengan demikian, substansi, proses dan
konteks pembangunan manusia Indonesia harus dititikberatkan pada aspek-aspek
yang menjadi sumber kekuatan bangsa, yaitu SDM Indonesia yang memiliki ilmu
pengetahuan dan teknologi yang bersumber dari potensi sumber daya alam dan
sumber daya insani bangsa Indonesia sendiri, yang dilandasi oleh pedoman
pembangunan yang bersumber dari wahyu Tuhan YME.
Ahirnya kita sampai pada kesimpulan
bahwa, kekhawatiran tentang musibah, kefakiran dan kemiskinan bangsa, kebingungan
mencari caran membangkitkan dari keterpurukan, akan dapat
kita tangani apabila kita menyadari dan berusaha ke luar dari belenggu
keputusasaan dan kebodohan, belajar dari pengalaman bangsa kita sendiri, bukan
belajar dari pengalaman bangsa lain, dan dapat membangkitkan partisipasi
bangsanya sendiri dalam proses-proses pembangunan. Oleh karena
itu, dalam upaya membangun SDM yang berkualitas bagi bangsanya, harus diarahkan
pada bagaimana proses pembangunan manusia yang memiliki ciri-ciri berikut: (1) Keberanian
untuk meninggalkan perasaan kebanggaan terhadap masa lalu dan diganti dengan
orientasi kepada kehidupan berbangsa dan bernegara ke arah yang lebih baik di
masa depan; (2) Penguasaan terhadap ilmu pengetahuan dan
teknologi yang dapat dirasakan manfaatnya bagi kehidupan hari ini, hari esok
dan masa depan; (3) Kesehatan dan
kekuatan jasmani dan rohani sebagai sarana untuk melakukan ikhtiar dan
berijtihad memenuhi kebutuhan, kehinginan dan harapan hidupnya; (4) Kepemilikan
keimanan tinggi yang dapat memompa semangat berikhtiar dan berijtihad ke arah
kehidupan yang lebih baik; (5) Kepandaian
dalam mensyukuri nikmat terhadap karunia Alloh SWT yang diwujudkan dalam keshalehan
pribadi dan keshalehan sosial; (6) Kepemilikan
dalam kesabaran dan keuletan dalam memperjuangkan kebutuhan, keinginan dan
harapan-harapan hidupnya; (7) Pemanfaatan
kekayaan yang paling berharga yaitu akal sebagai alat dalam
memperjuangkan kebutuhan, keinginan dan harapan-harapannya; (8) Peningkatan
harkat dan martabat dan kemuliaan diri, keluarga, masyarakat dan bangsanya,
melalui peningkatan akhlak dan budi pekertinya yang sesuai dengan
pedoman hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara; (9) Peningkatan
kemandirian yang dapat dijadikan modal utama untuk menghasilkan karya-karya
yang bermanfaat bagi diri, keluarga, masyarakat dan bangsanya; (10) Peningkatan
apresiasi, rasa hormat, dan kesetiaan terhadap bangsanya sendiri.
Apakah
pelaksanaan desentralisasi manajemen pendidikan nasional akan diarahkan ke
sana? Sampai jumpa di tulisan-tulisan
berikut.*
REFERENSI PEMICU INSPIRASI
Abdul
Wahab, Solichin. (1990). Pengantar
Analisis Kebijaksanaan Negara, Jakarta: Rineka Cipta.
Abu
Izzudin, Solihin. (2006). Zero to Hero, Yogyakarta: Pro U-Media.
Alfred,
Richard L. & Patricia Carter. (1995). Building the Future: Comprehensive
Educational Master Planning Report 1995-2005, University of Alabama &
Community College Consortium.
Cohn,
Elchanan. (1979). The Economic of Education, Revised
Edition, Cambridge, Massachusetts: Ballinger Publishing Co.
Dunn, William, N. (1994).
Public Policy Analysis: An Introductions, London:
Prentice-Hall, Inc; Englewood Cliffs
Dye,
Thomas R. (1981). Policy Analysis,
Alabama: University of Alabama Press.
Education for the Knowledge Economy (EKE) dalam [www.amazon.com/
Leading-Learning-Organization-Communication-Competencies/dp/ 0791443671]
Goodgin, Robert E. (1982).
Political
Theory and Public Policy, Chicago: University of Chicago Press.
Grindle,
Merilee S. (1980). Politics and Policy
Implementation in the Third World, NJ: Priceton Press.
Hartanto, Frans Mardi. (1999). Mengelola
Perubahan di Era Pengetahuan, Jakarta: Gramedia.
Indonesian
Corruption Watch, “Otonomi Daerah: Lahan Subur Korupsi”, Laporan Ahir Tahun 2004 ICW, [www.antikorupsi.org/docs/latinfopub2004.pdf]
Irianto, Yoyon Bahtiar. (2006). Pembangunan
Manusia dan Pembaharuan Pendidikan, Bandung: Laboratorium Administrasi Pendidikan
Universitas Pendidikan Indonesia.
Jalal, Fasli dan Dedi Supriadi. (2001), Reformasi
Pendidikan dalam Konteks Otonomi Daerah, Yogyakarta: AdiCita Karya Nusa.
Koentjaraningrat.
(1984). Antropologi Budaya, Jakarta;
Ghalia Indonesia.
Miller,
Eric. (1991). Future
Vision, Napervile: Sourcebooks Trade.
Nataatmadja,
Hidajat. (1982). Krisis Global Ilmu Pengetahuan dan Penyebuhannya
(Al-Furqon), Bandung: Penerbit Iqro.
Pal,
Leslie A. (1996). Public Policy Analysis: An Introduction, Ontario: Nelson
Canada.
Peraturan Pemerintah No.38 Tahun 2007
tentang Pembagian Urusan Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah
Daerah Kabupaten/Kota.
Setiawan, Deddy. (2007).
“Kepemimpinan Pemerintah daerah dalam Pengelolaan Pendidikan: Studi Tentang Kontribusi Gaya Kepemimpinan Pejabat
Pemerintah Daerah terhadap Peningkatan Kinerja Pengelolaan Pendidikan di
Pemerintahan Daerah Kabupaten Garut”, Disertasi, Bandung:
SPS-UPI.
Suryadi,
Ace. (2002). Pendidikan, Investasi SDM, dan Pembangunan: Isu, Teori dan
Aplikasi, Jakarta: Balai Pustaka.
Yazdi, Muhammad Taqi Mishbah. (2003). Buku Daras Filsafat Islam, Bandung:
Mizan.
Undang-Undang No.20 Tahun 2003
Tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar