Isu dan Tantangan pada Era Digital
Pendidikan pada jaman tertentu membawa dampak
pada perkembangan teknologi. Sejak abad ke 18 terjadi revolusi industri yang
mengubah perilaku manusia. Revolusi pertama pada tahun 1784 ditandai dengan
diketemukannya dan digunakannya alat-alat produksi mekanik, jalan kereta api,
dan mesin uap. Kehidupan menjadi lebih nyaman karena mobilitas dan
produktivitas manusia meningkat, terutama dalam bidang pertanian dan
transportasi. Revolusi kedua yang terjadi di paruh kedua abad 19 ditandai
dengan produksi masal, tenaga listrik, dan assembly line. Revolusi
ketiga pada pertengahan abad ke 20 ditandai dengan lahirnya komputer,
otomatisasi produksi, dan munculnya barang2 elektronik. Revolusi keempat yang
sampai masih berjalan dimulai di awal abad 21 yang ditandai dengan kecerdasan
buatan (artificial intelligence), big data, robot, dan hal-hal
lain yang sekarang belum ada.
Dalam kehidupan sehari-hari, seiring dengan
kemajuan teknologi di berbagai bidang tersebut, terjadi juga perubahan perilaku
manusia yang menggunakan hasil kemajuan itu. Tengok misalnya penemuan pendingin
ruangan elektrik (air conditioner, AC) oleh Willis Carrier tahun 1902 di
Buffalo, New York, sesudah dia lulus dari Universitas Cornell. Hadirnya
teknologi pendingin ruangan mengubah banyak perilaku manusia termasuk industri.
Sebelum ada AC penduduk Amerika membangun rumah dengan banyak ruang terbuka
untuk memungkinkan angin lalu lalang, mereka suka duduk-duduk di bawah pohon di
musim panas. Namun dengan dipasangnya AC di rumah mereka, mereka lebih suka ada
di dalam rumah yang tertutup dengan pendingin. AC sudah menjadi bagian dari
hidup sehari-hari manusia, demi kenyamanan, selain rumah, hotel – super market,
rumah sakit, bahkan kandang binatang tertentu oleh manusia diberi AC. Selain
AC, alat pendingin air dan makanan, yaitu lemari pendingin atau kulkas juga
mengubah perilaku manusia. Berbelanja makanan yang semula dilakukan setiap
pagi, sekarang bisa dilakukan hanya seminggu sekali, karena kebutuhan bahan
makanan selama itu bisa disimpan di kulkas. Ibu-ibu yang dulunya pergi ke pasar
untuk membeli bahan makanan untuk dimasak hari itu, bertemu dengan tetangga,
mengobrol di pasar, sudah menyusut jumlahnya. Televisi (TV) adalah produk
teknologi Barat yang masuk ke Indonesia
di tahun 1960an. Bahkan pemerintah RI membangun TVRI tahun 1962 untuk meliput
siaran Asian Games yang dilaksanakan di Indonesia. TV adalah alat pembelajaran
dan penyebaran informasi yang amat ampuh, bahkan diakui sebagai alat pemersatu
sebuah bangsa. Berbeda dengan radio, TV menyuguhkan berita, hiburan, dan
pendidikan secara audiovisual. Gambar yang langsung dapat dilihat oleh pemirsa
mempunyai dampak psikologis berbeda dibandingkan hanya mendengar suara saja.
Meskipun demikian, suara yang didengar, sebagaimana buku yang dibaca, memberikan
kesempatan tak terhingga untuk menginterpretasikan apa yang didengar atau
dibaca. Imajinasi pendengar dan pembaca bisa amat kreatif bahkan liar, yang
banyaknya sebanyak pemirsa atau pembaca. Gambar yang ada di TV, sebaliknya,
memberi peluang yang lebih terbatas untuk menginterpretasi.
Tayangan televisi sudah lama diprihatinkan
orangtua dan pemerintah. Tayangan televisi yang agresif dan mengandung
pornografi sudah dideklarasikan sebagai tayangan yang dianggap merusak mental
terutama anak dan remaja. Di tahun 1994 dimana hanya ada beberapa stasiun
televisi swasta di Indonesia, ada terdapat 29 film anak-anak yang ditayangkan
dalam satu minggu. Anak-anak prasekolah yang mempunyai kebiasaan menonton film
yang agresif ternyata juga menampilkan perilaku agresif, bahkan mampu
menghasilkan fantasi agresif (Wimbarti, 2002). Pada penelitian ini, anak adalah
pemirsa pasif, tidak ada interaksi langsung dengan tokohtokoh yang ada dalam
tayangan tersebut. Dan cara menonton pasif ini mampu memantik perilaku anak-anak
menjadi agresif, karena adanya efek peniruan.
Bagaimana bila anak, remaja, atau orang dewasa
tidak hanya pasif menonton, tapi aktif secara virtual dan tenggelam dalam
bermain peran di dalam game internet, apakah dampaknya sama dengan bila
mereka hanya menonton, ataukah dampaknya lebih dahsyat?
a.
Perkembangan
Anak dan Keberadaan Internet
Sejak awal tahun 1990, revolusi teknologi sudah
mengubah cara manusia melakukan komunikasi, dan komunikasi berteknologi tinggi
ini sudah menjadi peradaban baru manusia. Peradaban baru dalam berkomunikasi
ini ditandai dengan mudahnya alat komunikasi tingkat tinggi didapatkan dan
diakses oleh banyak orang, murah dan tidak membutuhkan bertemu langsung dengan
lawan komunikasinya. Karakteristik teknologi informasi dan komunikasi
memberikan kesempatan bagi setiap orang termasuk anak dan remaja untuk mengisi
waktu-waktu luangnya (walau hanya sedikit) dengan cara-cara yang mereka sukai.
Keberadaan internet memang seperti pisau berujung
dua dan disikapi oleh masyarakat, terutama orangtua dengan positif dan negatif.
Terhadap internet ini orangtua memandang berbahaya bagi anak-anak, meracuni
pikiran anak dengan isi internet yang tidak sesuai dengan usia anak. Namun di
sisi lain, anak Jaman Now bila tidak mengenal internet akan terugikan secara
kognitif dan sosial, sebab dari internet anak bisa mendapatkan stimulasi
kognitif dan mendapatkan teman baru.
Kajian yang dilakukan oleh Johnson (2010)
ternyata mengamini pendapat ini, anak-anak sekolah yang menggunakan internet
dibandingkan dengan yang tidak menggunakan internet, ternyata kemampuan
membacanya lebih bagus dan rerata nilai akademiknya lebih tinggi saat diukur
lagi 6 bulan, 12 bulan, dan 16 bulan kemudian. Ini menandakan penggunaan
internet oleh anak mempunyai dampak positif terhadap prestasi belajar dalam
kurun waktu yang cukup lama. Mengapa demikian? Anak yang sering mengakses
internet dihadapkan pada fitur-fitur yang ada di layar yang juga sering
terdapat pada buku bacaan. Kebiasaan berinteraksi dengan fitur internet membuat
anak familiar dengan tulisan maupun simbol-simbol yang banyak dijumpai di buku
bacaan. Penggunaan internet menstimulasi proses kognitif yang terlibat dalam
menginterpretasikan teks yang sedang dibaca, termasuk di dalamnya adalah proses
metakognitif yang terjadi. Proses metakognitif yang dimaksud adalah
merencanakan, strategi untuk mencari, dan mengevaluasi informasi yang didapat.
Ketiga kegiatan itu adalah hal penting saat
berselancar di website. Di saat menggunakan internet, selain jari-jari
tangan, mata pengguna juga memegang peranan penting. Pemakaian internet oleh
anak-anak ternyata juga membantu meningkatkan perkembangan kognitif mereka.
Penelitian Van Deventer dan White (2002) lebih dari 15 tahun yang lalu sudah
mengkonfirmasi hal tersebut, pada penggunaan game video. Terutama pada area
kecerdasan visual, maka penggunaan games meningkatkan kemampuan
pemainnya untuk memonitor beberapa stimulus yang muncul bersamaan di layar,
untuk membaca diagram, untuk mengenali ikon, dan membayangkan hubungan-hubungan
spasial obyek yang muncul di layar. Pada remaja awal berumur 10-11 tahun yang
bermain game video dengan fasih, ternyata juga punya kemampuan memonitor diri
yang baik, ingatan visual yang baik, dan rekognisi pola yang lebih lancar
daripada remaja yang tidak bermain game video. Namun di sisi lain, dalam relasi
sosial, anak dan remaja yang banyak bermain game video juga terbukti
perhatiannya mudah terganggu, konsentrasi terpecah, kasar, dan agresif.
Perjalanan hidup setiap manusia biasanya
digambarkan seperti mengarungi dunia yang berlapis bak bawang. Artinya, ada
unsur di luar diri manusia yang mempengaruhi, yang antara lain adalah
mikrosistem, mesosistem, exosistem dan makrosistem seperti yang digambarkan
berikut ini. Subsistem teknoekologi
yang merupakan lingkungan mikrosistem yang langsung dihadapi anak bersifat
hidup dan tak hidup. Lingkungan hidup misalnya teman-temannya, dan lingkungan
tak hidup termasuk alat-alat komunikasi, informasi, dan teknologi untuk
rekreasi (televisi, telpon, e-book, komputer, internet, dan sebagainya).
Semakin komplek subsistem yang dihadapi oleh anak, maka anak membutuhkan proses
kognitif yang makin komplek juga. Internet dalam hal ini, memungkinkan anak dan
orang dewasa untuk menjangkau informasi yang komplek, internet menjadi jembatan
antara diri individu dengan dunia luar yang menuntut proses yang lebih luhur.
Orangtua dan guru adalah
kelompok yang mencemaskan penggunaan internet anak-anak dan remaja. Psikolog
khususnya, mengkhawatirkan kalau penggunaan internet yang berlebihan di antara
anak dan remaja akan mengganggu kesejahteraan subyektif mereka. Mereka yang
memakai internet berlebihan banyak dilaporkan mempunyai kesejahteraan subyektif
yang rendah, misalnya munculnya depresi dan jauh dari kehidupan sosial yang
wajar. Australia sebagai negara maju, mempunyai warganegara dewasa pengguna
internet sebanyak 83%; di antara remaja Australia yang berumur 15–17 tahun, 97%
nya adalah orang-orang yang rajin ber-online-ria. Ini prosentase yang
lebih tinggi dibandingkan Amerika Serikat (93%) dan Eropa (86%). Di negara
kanguru ini ternyata ada hasil penelitian menarik
yang dilakukan oleh Posso
di tahun 2016, yaitu pelajar yang memakai waktunya di atas rata-rata sibuk
dengan media sosialnya ternyata prestasi matematikanya di bawah rata-rata. Sebaliknya,
mereka yang sibuk dengan game internet bisa mencapai nilai matematika di atas
rata-rata!.
Penggunaan internet untuk
bermain game online, offline, atau media sosial tidak akan
membuat cemas masyarakat luas bila tidak ada dampak negatifnya. Kekhawatiran
tersebut nampaknya riil bila sudah meninjau informasi berikut ini. Survey yang
melibatkan 23.533 orang dewasa menunjukkan mereka yang kecanduan memakai
internet ternyata menunjukkan gangguan mental. Munculnya gejala ADHD, obsesif
kompulsif, cemas dan depresi biasa terlihat di antara orang-orang ini. Apakah
ada variasi dampak penggunaan itu antara pria dan wanita? YA! Pengguna
laki-laki ternyata berkaitan kuat dengan penggunaan berlebihan game video,
sedangkan para wanitanya gangguan mental banyak terkait dengan media sosial.
Mereka yang statusnya tidak menikah ternyata gangguan mental berkaitan dengan
sukanya menggunakan game video dan media sosial. Survey ini dilakukan di tahun
2016 oleh sekelompok ilmuwan yakni Andreassen, Billieux, Griffiths, Kuss,
Demetrovics, Mazzoni, dan Pallesen.
b.
Era Teknologi Digital dan Perubahan Perilaku
Kecanduan internet dapat
juga dibahasakan dengan penggunaan internet yang bermasalah;, gangguan
kecanduan internet, penggunaan internet berlebihan, yang semuanya menunjuk pada
pemakaian internet yang berlebihan, yang menimbulkan konsekuensi negatif secara
psikologis, mengganggu kehidupan sosial dan pekerjaan, dan kehidupan akademis
seseorang.
Sebetulnya, seberapa
banyak orang Indonesia yang menggunakan internet? Bagaimana komposisi umurnya?
Pada tahun 2016, Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia melaporkan
bahwa jumlah penggunanya adalah 132,7 juta orang, jumlah yang lebih dari 50%
penduduk Indonesia. Dari jumlah itu 18,4% nya adalah pengguna anak sampai
dewasa awal berumur 10 – 24 tahun. Daya penetrasi internet pada anak dan remaja
dalam rentang itu adalah 75,5%. Pertanyaannya adalah, di manakah mereka
tinggal? Laporan dari Kementerian Komunikasi dan Informatika Indonesia
menunjukkan bahwa pengguna internet terbesar di Indonesia berasal dari Jakarta,
Banten, dan Yogyakarta. Aktivitas memakai internet yang dilakukan kebanyakan
adalah untuk mengakses Youtube (40%), bermain game online (63%), mencari
informasi akademik (65%) dan menggunakan media sosial (77%).
Dimanakah umumnya orang
Indonesia mengakses internet? Ini menarik. Survey tahun 2017 yang dilakukan
oleh Nielsen Cross-Platform 2017 (Lubis, 2017) menunjukkan orang mengakses
internet hampir di semua tempat yaitu Kendaraan Umum (53%), Kafe atau Restoran
(51%), dan acara Konser (24%). Belum dilaporkan apakah pengaksesan dari rumah
dan tempat kerja juga tinggi.
Pada jaman manusia di
bumi ini masih hidup pada masa mencari makan dengan berburu, menangkap ikan,
dan bercocok tanam, tentu saja telpon, televisi, apalagi internet, belum ada.
Pada masa itu komunikasi langsung dan cepat amat diperlukan untuk
keberlangsungan hidup. Adanya tanda-tanda akan ada banjir, binatang buas
datang, penyakit menular dan semacamnya, yang mengancam keberlangsungan hidup
diri atau komunitasnya harus diketahui seawal mungkin. Setiap orang dewasa
harus selalu dalam keadaan waspada, tidak boleh ketinggalan berita, karena
ketinggalan berita dapat berarti ancaman bagi hidup seseorang atau komunitas
(suku). Setiap orang dewasa selalu ingin tidak ketinggalan mengetahui keadaan
setiap saat.
Fenomena ini disebut fear
of missing out (FoMO). Komunikasi secara oral relatif tidak banyak berubah,
namun komunikasi tertulis berkembang amat pesat terutama dengan munculnya Social
Networking Sites (SNS). Facebook digunakan oleh 1,74 juta orang di
seluruh dunia dan merupakan platform yang terpopuler. Karena jejaring online
menggunakan Facebook, Instagram, Twitter atau pelayanan pengiriman berita
menjadi amat popular di antara anak dan remaja, maka konsekuensi anak dan
remaja mengalami FoMO amat besar.
FoMO masih ada pada jaman
now ini, tetapi dalam bentuk yang berbeda. Stimulusnya berbeda, sumber dari
ketakutan ini berbeda. Jaman sekarang sumber dari FoMO adalah sosial media.
Dalam sepuluh tahun terakhir ini fenomena FoMO begitu merebaknya sehingga
istilah ini dimasukkan ke dalam Oxford Dictionary di tahun 2013. Kamus itu
menerjemahkan FoMO sebagai munculnya kecemasan yang dialami seseorang bila ia
ketinggalan berita menarik yang terjadi dimana saja, terutama di media sosial.
Orang yang mengalami FoMO, ingin selalu terhubung dengan media sosial untuk
mengetahui apa yang terjadi pada kenalan-kenalannya, apa yang mereka kerjakan,
kemana mereka pergi, dengan siapa, bagaimana suasananya. Orang seperti merasa
tidak mau ketinggalan, selalu harus ada dengan siapa saja, dimana saja. Tidak
betah dalam keadaan sendiri. Bila tidak terhubung dengan kenalannya dia akan
merasa gelisah. Selalu memastikan bahwa ponselnya ada di dekatnya, setiap ada
notifikasi selalu tergesa-gesa untuk membukanya.
Andrew Przybylski dari
Oxford Internet Institute banyak meneliti tentang bermain game elektronik dan
kaitannya dengan adaptasi psikososial remaja. Anak dan remaja di Inggris yang
hanya sedikit bermain game, ternyata juga lebih sehat mentalnya, kehidupannya
memuaskan dan dapat berekspresi dengan sehat dibandingkan mereka yang terlalu
banyak bermain game.
Lebih jauh lagi, mereka
yang banyak berkutat menggunakan media sosial cenderung akan mengalami FoMO.
FoMO akan mendorong orang untuk membuka Facebook, bukan Facebook yang
menyebabkan orang mengalami FoMO. Orang yang mengalami FoMO akan selalu
memonitor teleponnya saat bangun tidur di pagi hari, sampai mereka mau tidur
lagi di malam hari, bahkan di saat mereka menyetir mobil. Di Spanyol Fuster, Chamarro,
& Oberst (2017) membenarkan dugaan bahwa FoMO berkaitan dengan banyaknya
menggunakan media sosial, intensitasnya dalam menggunakan jaringan sosial,
kecanduan memakai ponsel, dan akses terhadap jejaring sosial. Tentang
Instagram, Majalah Time (MacMillan, 2017) melaporkan bahwa berdasarkan
penelitiannya terhadap 1.500 remaja dan orang dewasa awal, Instagram ternyata
adalah media sosial yang terburuk, ditilik dari sudut pandang kesehatan mental.
Instagram memang dipuji sebagai lahan untuk expresi diri dan identitas diri,
akan tetapi juga berkaitan dengan tingginya kecemasan, depresi, bullying, dan
FoMO.
Berbeda dengan Instagram,
YouTube diakui sebagai media sosial yang mempromosikan kesehatan dan
kesejahteraan penggunanya. FoMO pada dasarnya adalah emosi ketakutan. Bila ini
berkenaan dengan emosi, maka dimanakah secara neuropsikologis FoMO ini berada
di otak? Amigdala, bagian dari sistem limbik di otak adalah sumber dari emosi
dan ingatan jangka panjang. Amigdala memberi sinyal kepada otak untuk flight
atau fight ketika orang merasa terancam atau tidak aman.
Fenomena FoMO hampir
mirip dengan perasaan adanya pengucilan atau eksklusi sosial. Saat seseorang
mengalami FoMO, otak akan menghantarkan sinyal stres mirip saat seseorang
mengalami pengucilan dari aktivitas. Individu yang mengalami ekslusi sosial
mengalami kenaikan
aktivitas di otak yang berkaitan dengan rasa sakit. Saat seseorang merasa
dikucilkan, korteks singulat anterior dan korteks prefrontal ventral kanan
menjadi aktif. Saat merasa distres seperti perasaan dikucilkan, korteks
singulat anterior berfungsisebagai “sistem alarm” yang membuat otak menjadi
waspada selama perasaan dikucilkan tersebut muncul. Hal ini menunjukkan bahwa
saat seseorang merasa terkucil, badan orang itu bereaksi seperti saat dia
merasakan sakit. Terkait dengan FoMO, orang merasa dia terkucil dari
orang-orang lain, perasaan terkucil ini menimbulkan kecemasan dan distres saat
dia tahu bahwa orang-orang lain beraktivitas bersamasama, sedangkan dia tidak
ikut (Lopera, 2016).
Bagaimana sekarang jalan
keluar dari FoMO? Kerapkali penyebab FoMO adalah ketidakbahagiaan hidup. Untuk
menjadi bahagia, orang berusaha mencari kebahagiaan itu dari luar dirinya.
Disarankan orang yang mengalami FoMO untuk menemukan kebahagiaan dari dalam
dirinya. Memulai dengan diri sendiri, yaitu dengan memberikan Perhatian.
Berikan perhatian lebih pada aktivitas sekolah, pada aktivitas di rumah, atau
di lingkungan. Artinya, mulailah menyibukkan diri dengan ikut dalam kegiatan di
lingkungan sekolah seperti OSIS, olahraga, kegiatan sosial, yang membuat
individu sibuk dalam dunia nyata.
Penggunaan internet
berlebihan akan menjurus ke kecanduan internet dimana orang yang kecanduan
menjadi kurang atau tidak bisa berfungsi normal dalam kehidupan sehari-harinya.
Kecanduan internet dapat menimbulkan kriminalitas di kala orang itu membutuhkan
uang untuk dapat selalu online. Mencuri atau merampas uang dengan kekerasan
sering dilakukan remaja agar selalu dapat terhubung dengan internet. Mengurung
diri kamar, lupa makan, minum, dan tidur sehingga mengganggu kesehatan juga
bagian dari orang yang kecanduan internet. Dalam beberapa studi ternyata
orang-orang yang kesepian dan pemalu adalah calon dari pecandu internet.
Sedangkan orang-orang yang lebih tangguh dapat melindungi dirinya sendiri dari
kecanduan internet (Nitu, 2017; Terwase & Ibaishwa, 2014).
Manusia hidup sejak kecil
meniru perilaku orang yang ada di sekitarnya, baik yang riil maupun non-riil
seperti yang ditampilkan dalam video atau film. Di banyak negara, termasuk Indonesia
banyak anak dan remaja melakukan tindak kekerasan yang merupakan copycat dari
apa yang sudah ditontonnya di layar. Semakin mirip tokoh yang ada di layar
dengan dirinya, maka akan semakin mudah bagi pemirsanya untuk meniru langsung.
Kemiripan itu antara lain dalam hal: warna kulit, warna rambut, jenis kelamin,
umur, dan asal (orang se negara – orang asing). Di awal tahun 1990-an di mana
internet masih belum berkembang, dan permainan game video belum merebak seperti
sekarang, anak-anak dan remaja menonton televisi atau film di bioskop. Menonton
tayangan TV yang penuh kekerasan, meskipun anak sebagai pemirsa pasif, ternyata
dapat menimbulkan efek imitasi/meniru pada anak-anak (Wimbarti, 2002).
Sekarang, anak tidak lagi sebagai pemirsa pasif dalam bermain game video, akan
tetapi bermain langsung dan meleburkan dirinya sebagai tokoh
dalam game video. Game
video dengan judul yang sudah provokatif keras ini akan amat mudah di”reacting”
kembali oleh pemainnya di dunia nyata: “Manhunt,” “Thrill Kill,” “Gears of War”
dan “Mortal Kombat.” Adanya dampak bermain game video terhadap perilaku
kekerasan anak dan remaja mengakibatkan turunnya kemampuan prososial, empati
dan keterlibatan moral dalam perilaku anak dan remaja. Anak menjadi seperti
robot yang tanpa perasaan, kasar, yang akhirnya menggunakan cara keras untuk
menyelesaikan masalah.
Sebuah lingkaran
kekerasan yang dipicu oleh menonton dan bermain game video keras. Dalam
tesisnya akhir-akhir ini Prisca Anindya Dewi (2018) menemukan bahwa kecanduan
bermain game video berkaitan erat dengan munculnya agresivitas pada remaja
laki-laki. Namun demikian bila orangtua berperan aktif sebagai mediator anak
dalam bermain game video, agresivitas anak dapat dihindari. Menilik banyaknya
dampak negatif dari pemakaian internet yang tidak bijaksana menimbulkan
pertanyaan yang menggelitik. Sebetulnya, bagaimana sih temperamen atau
kepribadian dari orangorang yang kecanduan internet? Kecanduan internet sendiri
banyak dipertanyakan, apakah dampak pada orang yang kecanduan internet sama
dengan kecanduan obat-obatan (narkoba) atau kecanduan sex? Kecanduan internet
mempunyai karakteristik sebagai aktivitas yang terus menerus dengan dunia maya,
tergantung berlebihan ke dunia maya, dengan disertai perubahan mood,
kurang toleran, menarik diri dan sifatnya kambuhan (muncul kembali, kambuh).
Kecanduan internet juga
dianggap sebagai perilaku kecanduan seperti kecanduan menonton televisi,
kecanduan game video, dan berjudi yang patologis (Lee & Jung, 2012). APA
sendiri memasukkan diagnosis terkait penggunaan internet sebagai bermain game
video online dan tidak berminat pada hal-hal lain; mengalami gangguan klinis
atau distres sebagai akibat dari bermain game internet yang berlebih-lebihan;
mengalami dampak negatif dalam kehidupan akademis maupun kerja karena
tersitanya waktu untuk bermain video online atau game komputer; dan mengalami
gejala menarik diri (withdrawl) bila tak bisa mendapatkan akses ke game
online (APA, 2013). Yang termuat dalam DSM-5 tidak termasuk fenomena seperti
orang yang menghabiskan banyak waktu dengan internet, masalah yang berkaitan
dengan bermain game online atau banyak memakai media social seperti Facebook.
Remaja yang bermasalah
dalam penggunaan internet (Problematic Internet User = PIU) dibandingkan
dengan remaja yang bermasalah dalam penggunaan obat-obatan (Problematic
Drug Users = PDU) ternyata mempunyai temperamen yang berbeda. Remaja
yang bermasalah dalam penggunaan internet dalam kehidupan sosialnya
ternyata lebih tidak sensitif dibandingkan dengan temannya yang bermasalah
dalam penggunaan obat-obatan (Lee & Jung, 2012). Mereka yang
kecanduan internet adalah orang-orang yang cenderung menghindari keadaan
yang sulit, kurang bisa mengarahkan dirinya sendiri, kurang dapat menata
hidupnya sendiri, dan kurang bisa diajak bekerjasama. Selanjutnya, pecandu
internet ini juga dilaporkan mempunyai gen dan kepribadian yang mirip
dengan pasien penderita depresi (Lee & Jung, 2012).
Penggunaan internet yang
merupakan jelmaan dari revolusi industri level 4 disikapi bermacam-macam oleh
orangtua dan profesional (guru, dokter, psikolog dan sebagainya). Meskipun
internet menunjukkan pengaruh yang positif bagi kemampuan kognitif manusia
termasuk dalam kemampuan matematika, namun ternyata dampak negatifnya terhitung
lebih banyak. Hal ini membutuhkan kewaspadaan bagi para penggunanya. Sebetulnya
internet juga mempunyai daya rusak yang tinggi terhadap kehidupan masyarakat,
terutama media sosial.
Terjadinya
kesalahpahaman, terjadinya pengiriman berita palsu (hoax) melalui media
sosial adalah dampak negatif dari penggunaan internet, yang berpotensi
mempunyai daya rusak besar terhadap suatu bangsa. Sayang kajian tentang hoax
ini tidak akan dilakukan di sini. Kenyataan bahwa penggunaan internet
terutama game internet mempunyai daya rusak pada penggunanya, yang disejajarkan
dengan kerusakan akibat kecanduan yang lain, maka keluarga, sekolah, dan
institusi tempat kerja perlu melakukan deteksi dini dan mengupayakan
pertolongan bagi anggotanya yang sudah kecanduan. FoMO perlu disikapi dengan
bijak, karena adanya FoMO menunjukkan kehidupan yang tidak bahagia. Karena
anak-anak pra remaja di Indonesia banyak yang telah menggunakan internet, maka
pendampingan terhadap mereka perlu dipikirkan. Propaganda Kesehatan Mental di
sekolah yang berkenaan dengan penggunaan internet bisa dikembangkan untuk
prevensi kecanduan game internet. Ramdhani (2016) menyatakan bahwa terapi
perilaku kognitif (cognitive behavior therapy) seperti
self talk, dan mindfulness dapat dilatihkan untuk menambah kemampuan orang mengontrol
dirinya terutama dalam penggunaan internet yang berlebihan.
Referensi :
Adepina, dkk. (2018). Isu-Isu Masyarakat Digital Kontemporer. Seri Literasi Digital.
Dapat diakses http:/literasidigital.id.
Azhar, Tauhid Nur, dkk. (2018). Gence :
Membedah Anatomi Peradaban Digital. Bandung. Tasdiqiya Publisher.
Jaringan Pegiat
Literasi Digital (Japelidi). (2018). Panduan
Literasi Digital. Yogyakarta.
Japelidi.
(2018). Yuk, Jadi Gamer Cerdas: Berbagi Informasi Melalui Literasi. Yogyakarta.
Cetakan 1, 12 September 2018. ISBN 978-602-71877-5-7. Prodi Magister Ilmu Komunikasi
UGM.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar