Rabu, 23 Oktober 2019

Era Digital 1


Isu dan Tantangan pada Era Digital

Pendidikan pada jaman tertentu membawa dampak pada perkembangan teknologi. Sejak abad ke 18 terjadi revolusi industri yang mengubah perilaku manusia. Revolusi pertama pada tahun 1784 ditandai dengan diketemukannya dan digunakannya alat-alat produksi mekanik, jalan kereta api, dan mesin uap. Kehidupan menjadi lebih nyaman karena mobilitas dan produktivitas manusia meningkat, terutama dalam bidang pertanian dan transportasi. Revolusi kedua yang terjadi di paruh kedua abad 19 ditandai dengan produksi masal, tenaga listrik, dan assembly line. Revolusi ketiga pada pertengahan abad ke 20 ditandai dengan lahirnya komputer, otomatisasi produksi, dan munculnya barang2 elektronik. Revolusi keempat yang sampai masih berjalan dimulai di awal abad 21 yang ditandai dengan kecerdasan buatan (artificial intelligence), big data, robot, dan hal-hal lain yang sekarang belum ada.
Dalam kehidupan sehari-hari, seiring dengan kemajuan teknologi di berbagai bidang tersebut, terjadi juga perubahan perilaku manusia yang menggunakan hasil kemajuan itu. Tengok misalnya penemuan pendingin ruangan elektrik (air conditioner, AC) oleh Willis Carrier tahun 1902 di Buffalo, New York, sesudah dia lulus dari Universitas Cornell. Hadirnya teknologi pendingin ruangan mengubah banyak perilaku manusia termasuk industri. Sebelum ada AC penduduk Amerika membangun rumah dengan banyak ruang terbuka untuk memungkinkan angin lalu lalang, mereka suka duduk-duduk di bawah pohon di musim panas. Namun dengan dipasangnya AC di rumah mereka, mereka lebih suka ada di dalam rumah yang tertutup dengan pendingin. AC sudah menjadi bagian dari hidup sehari-hari manusia, demi kenyamanan, selain rumah, hotel – super market, rumah sakit, bahkan kandang binatang tertentu oleh manusia diberi AC. Selain AC, alat pendingin air dan makanan, yaitu lemari pendingin atau kulkas juga mengubah perilaku manusia. Berbelanja makanan yang semula dilakukan setiap pagi, sekarang bisa dilakukan hanya seminggu sekali, karena kebutuhan bahan makanan selama itu bisa disimpan di kulkas. Ibu-ibu yang dulunya pergi ke pasar untuk membeli bahan makanan untuk dimasak hari itu, bertemu dengan tetangga, mengobrol di pasar, sudah menyusut jumlahnya. Televisi (TV) adalah produk teknologi  Barat yang masuk ke Indonesia di tahun 1960an. Bahkan pemerintah RI membangun TVRI tahun 1962 untuk meliput siaran Asian Games yang dilaksanakan di Indonesia. TV adalah alat pembelajaran dan penyebaran informasi yang amat ampuh, bahkan diakui sebagai alat pemersatu sebuah bangsa. Berbeda dengan radio, TV menyuguhkan berita, hiburan, dan pendidikan secara audiovisual. Gambar yang langsung dapat dilihat oleh pemirsa mempunyai dampak psikologis berbeda dibandingkan hanya mendengar suara saja. Meskipun demikian, suara yang didengar, sebagaimana buku yang dibaca, memberikan kesempatan tak terhingga untuk menginterpretasikan apa yang didengar atau dibaca. Imajinasi pendengar dan pembaca bisa amat kreatif bahkan liar, yang banyaknya sebanyak pemirsa atau pembaca. Gambar yang ada di TV, sebaliknya, memberi peluang yang lebih terbatas untuk menginterpretasi.
Tayangan televisi sudah lama diprihatinkan orangtua dan pemerintah. Tayangan televisi yang agresif dan mengandung pornografi sudah dideklarasikan sebagai tayangan yang dianggap merusak mental terutama anak dan remaja. Di tahun 1994 dimana hanya ada beberapa stasiun televisi swasta di Indonesia, ada terdapat 29 film anak-anak yang ditayangkan dalam satu minggu. Anak-anak prasekolah yang mempunyai kebiasaan menonton film yang agresif ternyata juga menampilkan perilaku agresif, bahkan mampu menghasilkan fantasi agresif (Wimbarti, 2002). Pada penelitian ini, anak adalah pemirsa pasif, tidak ada interaksi langsung dengan tokohtokoh yang ada dalam tayangan tersebut. Dan cara menonton pasif ini mampu memantik perilaku anak-anak menjadi agresif, karena adanya efek peniruan.
Bagaimana bila anak, remaja, atau orang dewasa tidak hanya pasif menonton, tapi aktif secara virtual dan tenggelam dalam bermain peran di dalam game internet, apakah dampaknya sama dengan bila mereka hanya menonton, ataukah dampaknya lebih dahsyat?

a.      Perkembangan Anak dan Keberadaan Internet
Sejak awal tahun 1990, revolusi teknologi sudah mengubah cara manusia melakukan komunikasi, dan komunikasi berteknologi tinggi ini sudah menjadi peradaban baru manusia. Peradaban baru dalam berkomunikasi ini ditandai dengan mudahnya alat komunikasi tingkat tinggi didapatkan dan diakses oleh banyak orang, murah dan tidak membutuhkan bertemu langsung dengan lawan komunikasinya. Karakteristik teknologi informasi dan komunikasi memberikan kesempatan bagi setiap orang termasuk anak dan remaja untuk mengisi waktu-waktu luangnya (walau hanya sedikit) dengan cara-cara yang mereka sukai.
Keberadaan internet memang seperti pisau berujung dua dan disikapi oleh masyarakat, terutama orangtua dengan positif dan negatif. Terhadap internet ini orangtua memandang berbahaya bagi anak-anak, meracuni pikiran anak dengan isi internet yang tidak sesuai dengan usia anak. Namun di sisi lain, anak Jaman Now bila tidak mengenal internet akan terugikan secara kognitif dan sosial, sebab dari internet anak bisa mendapatkan stimulasi kognitif dan mendapatkan teman baru.
Kajian yang dilakukan oleh Johnson (2010) ternyata mengamini pendapat ini, anak-anak sekolah yang menggunakan internet dibandingkan dengan yang tidak menggunakan internet, ternyata kemampuan membacanya lebih bagus dan rerata nilai akademiknya lebih tinggi saat diukur lagi 6 bulan, 12 bulan, dan 16 bulan kemudian. Ini menandakan penggunaan internet oleh anak mempunyai dampak positif terhadap prestasi belajar dalam kurun waktu yang cukup lama. Mengapa demikian? Anak yang sering mengakses internet dihadapkan pada fitur-fitur yang ada di layar yang juga sering terdapat pada buku bacaan. Kebiasaan berinteraksi dengan fitur internet membuat anak familiar dengan tulisan maupun simbol-simbol yang banyak dijumpai di buku bacaan. Penggunaan internet menstimulasi proses kognitif yang terlibat dalam menginterpretasikan teks yang sedang dibaca, termasuk di dalamnya adalah proses metakognitif yang terjadi. Proses metakognitif yang dimaksud adalah merencanakan, strategi untuk mencari, dan mengevaluasi informasi yang didapat.
Ketiga kegiatan itu adalah hal penting saat berselancar di website. Di saat menggunakan internet, selain jari-jari tangan, mata pengguna juga memegang peranan penting. Pemakaian internet oleh anak-anak ternyata juga membantu meningkatkan perkembangan kognitif mereka. Penelitian Van Deventer dan White (2002) lebih dari 15 tahun yang lalu sudah mengkonfirmasi hal tersebut, pada penggunaan game video. Terutama pada area kecerdasan visual, maka penggunaan games meningkatkan kemampuan pemainnya untuk memonitor beberapa stimulus yang muncul bersamaan di layar, untuk membaca diagram, untuk mengenali ikon, dan membayangkan hubungan-hubungan spasial obyek yang muncul di layar. Pada remaja awal berumur 10-11 tahun yang bermain game video dengan fasih, ternyata juga punya kemampuan memonitor diri yang baik, ingatan visual yang baik, dan rekognisi pola yang lebih lancar daripada remaja yang tidak bermain game video. Namun di sisi lain, dalam relasi sosial, anak dan remaja yang banyak bermain game video juga terbukti perhatiannya mudah terganggu, konsentrasi terpecah, kasar, dan agresif.
Perjalanan hidup setiap manusia biasanya digambarkan seperti mengarungi dunia yang berlapis bak bawang. Artinya, ada unsur di luar diri manusia yang mempengaruhi, yang antara lain adalah mikrosistem, mesosistem, exosistem dan makrosistem seperti yang digambarkan berikut ini.  Subsistem teknoekologi yang merupakan lingkungan mikrosistem yang langsung dihadapi anak bersifat hidup dan tak hidup. Lingkungan hidup misalnya teman-temannya, dan lingkungan tak hidup termasuk alat-alat komunikasi, informasi, dan teknologi untuk rekreasi (televisi, telpon, e-book, komputer, internet, dan sebagainya). Semakin komplek subsistem yang dihadapi oleh anak, maka anak membutuhkan proses kognitif yang makin komplek juga. Internet dalam hal ini, memungkinkan anak dan orang dewasa untuk menjangkau informasi yang komplek, internet menjadi jembatan antara diri individu dengan dunia luar yang menuntut proses yang lebih luhur.
Orangtua dan guru adalah kelompok yang mencemaskan penggunaan internet anak-anak dan remaja. Psikolog khususnya, mengkhawatirkan kalau penggunaan internet yang berlebihan di antara anak dan remaja akan mengganggu kesejahteraan subyektif mereka. Mereka yang memakai internet berlebihan banyak dilaporkan mempunyai kesejahteraan subyektif yang rendah, misalnya munculnya depresi dan jauh dari kehidupan sosial yang wajar. Australia sebagai negara maju, mempunyai warganegara dewasa pengguna internet sebanyak 83%; di antara remaja Australia yang berumur 15–17 tahun, 97% nya adalah orang-orang yang rajin ber-online-ria. Ini prosentase yang lebih tinggi dibandingkan Amerika Serikat (93%) dan Eropa (86%). Di negara kanguru ini ternyata ada hasil penelitian menarik
yang dilakukan oleh Posso di tahun 2016, yaitu pelajar yang memakai waktunya di atas rata-rata sibuk dengan media sosialnya ternyata prestasi matematikanya di bawah rata-rata. Sebaliknya, mereka yang sibuk dengan game internet bisa mencapai nilai matematika di atas rata-rata!.
Penggunaan internet untuk bermain game online, offline, atau media sosial tidak akan membuat cemas masyarakat luas bila tidak ada dampak negatifnya. Kekhawatiran tersebut nampaknya riil bila sudah meninjau informasi berikut ini. Survey yang melibatkan 23.533 orang dewasa menunjukkan mereka yang kecanduan memakai internet ternyata menunjukkan gangguan mental. Munculnya gejala ADHD, obsesif kompulsif, cemas dan depresi biasa terlihat di antara orang-orang ini. Apakah ada variasi dampak penggunaan itu antara pria dan wanita? YA! Pengguna laki-laki ternyata berkaitan kuat dengan penggunaan berlebihan game video, sedangkan para wanitanya gangguan mental banyak terkait dengan media sosial. Mereka yang statusnya tidak menikah ternyata gangguan mental berkaitan dengan sukanya menggunakan game video dan media sosial. Survey ini dilakukan di tahun 2016 oleh sekelompok ilmuwan yakni Andreassen, Billieux, Griffiths, Kuss, Demetrovics, Mazzoni, dan Pallesen.

b.     Era Teknologi Digital dan Perubahan Perilaku
Kecanduan internet dapat juga dibahasakan dengan penggunaan internet yang bermasalah;, gangguan kecanduan internet, penggunaan internet berlebihan, yang semuanya menunjuk pada pemakaian internet yang berlebihan, yang menimbulkan konsekuensi negatif secara psikologis, mengganggu kehidupan sosial dan pekerjaan, dan kehidupan akademis seseorang.
Sebetulnya, seberapa banyak orang Indonesia yang menggunakan internet? Bagaimana komposisi umurnya? Pada tahun 2016, Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia melaporkan bahwa jumlah penggunanya adalah 132,7 juta orang, jumlah yang lebih dari 50% penduduk Indonesia. Dari jumlah itu 18,4% nya adalah pengguna anak sampai dewasa awal berumur 10 – 24 tahun. Daya penetrasi internet pada anak dan remaja dalam rentang itu adalah 75,5%. Pertanyaannya adalah, di manakah mereka tinggal? Laporan dari Kementerian Komunikasi dan Informatika Indonesia menunjukkan bahwa pengguna internet terbesar di Indonesia berasal dari Jakarta, Banten, dan Yogyakarta. Aktivitas memakai internet yang dilakukan kebanyakan adalah untuk mengakses Youtube (40%), bermain game online (63%), mencari informasi akademik (65%) dan menggunakan media sosial (77%).
Dimanakah umumnya orang Indonesia mengakses internet? Ini menarik. Survey tahun 2017 yang dilakukan oleh Nielsen Cross-Platform 2017 (Lubis, 2017) menunjukkan orang mengakses internet hampir di semua tempat yaitu Kendaraan Umum (53%), Kafe atau Restoran (51%), dan acara Konser (24%). Belum dilaporkan apakah pengaksesan dari rumah dan tempat kerja juga tinggi.
Pada jaman manusia di bumi ini masih hidup pada masa mencari makan dengan berburu, menangkap ikan, dan bercocok tanam, tentu saja telpon, televisi, apalagi internet, belum ada. Pada masa itu komunikasi langsung dan cepat amat diperlukan untuk keberlangsungan hidup. Adanya tanda-tanda akan ada banjir, binatang buas datang, penyakit menular dan semacamnya, yang mengancam keberlangsungan hidup diri atau komunitasnya harus diketahui seawal mungkin. Setiap orang dewasa harus selalu dalam keadaan waspada, tidak boleh ketinggalan berita, karena ketinggalan berita dapat berarti ancaman bagi hidup seseorang atau komunitas (suku). Setiap orang dewasa selalu ingin tidak ketinggalan mengetahui keadaan setiap saat.
Fenomena ini disebut fear of missing out (FoMO). Komunikasi secara oral relatif tidak banyak berubah, namun komunikasi tertulis berkembang amat pesat terutama dengan munculnya Social Networking Sites (SNS). Facebook digunakan oleh 1,74 juta orang di seluruh dunia dan merupakan platform yang terpopuler. Karena jejaring online menggunakan Facebook, Instagram, Twitter atau pelayanan pengiriman berita menjadi amat popular di antara anak dan remaja, maka konsekuensi anak dan remaja mengalami FoMO amat besar.
FoMO masih ada pada jaman now ini, tetapi dalam bentuk yang berbeda. Stimulusnya berbeda, sumber dari ketakutan ini berbeda. Jaman sekarang sumber dari FoMO adalah sosial media. Dalam sepuluh tahun terakhir ini fenomena FoMO begitu merebaknya sehingga istilah ini dimasukkan ke dalam Oxford Dictionary di tahun 2013. Kamus itu menerjemahkan FoMO sebagai munculnya kecemasan yang dialami seseorang bila ia ketinggalan berita menarik yang terjadi dimana saja, terutama di media sosial. Orang yang mengalami FoMO, ingin selalu terhubung dengan media sosial untuk mengetahui apa yang terjadi pada kenalan-kenalannya, apa yang mereka kerjakan, kemana mereka pergi, dengan siapa, bagaimana suasananya. Orang seperti merasa tidak mau ketinggalan, selalu harus ada dengan siapa saja, dimana saja. Tidak betah dalam keadaan sendiri. Bila tidak terhubung dengan kenalannya dia akan merasa gelisah. Selalu memastikan bahwa ponselnya ada di dekatnya, setiap ada notifikasi selalu tergesa-gesa untuk membukanya.
Andrew Przybylski dari Oxford Internet Institute banyak meneliti tentang bermain game elektronik dan kaitannya dengan adaptasi psikososial remaja. Anak dan remaja di Inggris yang hanya sedikit bermain game, ternyata juga lebih sehat mentalnya, kehidupannya memuaskan dan dapat berekspresi dengan sehat dibandingkan mereka yang terlalu banyak bermain game.
Lebih jauh lagi, mereka yang banyak berkutat menggunakan media sosial cenderung akan mengalami FoMO. FoMO akan mendorong orang untuk membuka Facebook, bukan Facebook yang menyebabkan orang mengalami FoMO. Orang yang mengalami FoMO akan selalu memonitor teleponnya saat bangun tidur di pagi hari, sampai mereka mau tidur lagi di malam hari, bahkan di saat mereka menyetir mobil. Di Spanyol Fuster, Chamarro, & Oberst (2017) membenarkan dugaan bahwa FoMO berkaitan dengan banyaknya menggunakan media sosial, intensitasnya dalam menggunakan jaringan sosial, kecanduan memakai ponsel, dan akses terhadap jejaring sosial. Tentang Instagram, Majalah Time (MacMillan, 2017) melaporkan bahwa berdasarkan penelitiannya terhadap 1.500 remaja dan orang dewasa awal, Instagram ternyata adalah media sosial yang terburuk, ditilik dari sudut pandang kesehatan mental. Instagram memang dipuji sebagai lahan untuk expresi diri dan identitas diri, akan tetapi juga berkaitan dengan tingginya kecemasan, depresi, bullying, dan FoMO.

Berbeda dengan Instagram, YouTube diakui sebagai media sosial yang mempromosikan kesehatan dan kesejahteraan penggunanya. FoMO pada dasarnya adalah emosi ketakutan. Bila ini berkenaan dengan emosi, maka dimanakah secara neuropsikologis FoMO ini berada di otak? Amigdala, bagian dari sistem limbik di otak adalah sumber dari emosi dan ingatan jangka panjang. Amigdala memberi sinyal kepada otak untuk flight atau fight ketika orang merasa terancam atau tidak aman.
Fenomena FoMO hampir mirip dengan perasaan adanya pengucilan atau eksklusi sosial. Saat seseorang mengalami FoMO, otak akan menghantarkan sinyal stres mirip saat seseorang mengalami pengucilan dari aktivitas. Individu yang mengalami ekslusi sosial
mengalami kenaikan aktivitas di otak yang berkaitan dengan rasa sakit. Saat seseorang merasa dikucilkan, korteks singulat anterior dan korteks prefrontal ventral kanan menjadi aktif. Saat merasa distres seperti perasaan dikucilkan, korteks singulat anterior berfungsisebagai “sistem alarm” yang membuat otak menjadi waspada selama perasaan dikucilkan tersebut muncul. Hal ini menunjukkan bahwa saat seseorang merasa terkucil, badan orang itu bereaksi seperti saat dia merasakan sakit. Terkait dengan FoMO, orang merasa dia terkucil dari orang-orang lain, perasaan terkucil ini menimbulkan kecemasan dan distres saat dia tahu bahwa orang-orang lain beraktivitas bersamasama, sedangkan dia tidak ikut (Lopera, 2016).
Bagaimana sekarang jalan keluar dari FoMO? Kerapkali penyebab FoMO adalah ketidakbahagiaan hidup. Untuk menjadi bahagia, orang berusaha mencari kebahagiaan itu dari luar dirinya. Disarankan orang yang mengalami FoMO untuk menemukan kebahagiaan dari dalam dirinya. Memulai dengan diri sendiri, yaitu dengan memberikan Perhatian. Berikan perhatian lebih pada aktivitas sekolah, pada aktivitas di rumah, atau di lingkungan. Artinya, mulailah menyibukkan diri dengan ikut dalam kegiatan di lingkungan sekolah seperti OSIS, olahraga, kegiatan sosial, yang membuat individu sibuk dalam dunia nyata.
Penggunaan internet berlebihan akan menjurus ke kecanduan internet dimana orang yang kecanduan menjadi kurang atau tidak bisa berfungsi normal dalam kehidupan sehari-harinya. Kecanduan internet dapat menimbulkan kriminalitas di kala orang itu membutuhkan uang untuk dapat selalu online. Mencuri atau merampas uang dengan kekerasan sering dilakukan remaja agar selalu dapat terhubung dengan internet. Mengurung diri kamar, lupa makan, minum, dan tidur sehingga mengganggu kesehatan juga bagian dari orang yang kecanduan internet. Dalam beberapa studi ternyata orang-orang yang kesepian dan pemalu adalah calon dari pecandu internet. Sedangkan orang-orang yang lebih tangguh dapat melindungi dirinya sendiri dari kecanduan internet (Nitu, 2017; Terwase & Ibaishwa, 2014).
Manusia hidup sejak kecil meniru perilaku orang yang ada di sekitarnya, baik yang riil maupun non-riil seperti yang ditampilkan dalam video atau film. Di banyak negara, termasuk Indonesia banyak anak dan remaja melakukan tindak kekerasan yang merupakan copycat dari apa yang sudah ditontonnya di layar. Semakin mirip tokoh yang ada di layar dengan dirinya, maka akan semakin mudah bagi pemirsanya untuk meniru langsung. Kemiripan itu antara lain dalam hal: warna kulit, warna rambut, jenis kelamin, umur, dan asal (orang se negara – orang asing). Di awal tahun 1990-an di mana internet masih belum berkembang, dan permainan game video belum merebak seperti sekarang, anak-anak dan remaja menonton televisi atau film di bioskop. Menonton tayangan TV yang penuh kekerasan, meskipun anak sebagai pemirsa pasif, ternyata dapat menimbulkan efek imitasi/meniru pada anak-anak (Wimbarti, 2002). Sekarang, anak tidak lagi sebagai pemirsa pasif dalam bermain game video, akan tetapi bermain langsung dan meleburkan dirinya sebagai tokoh
dalam game video. Game video dengan judul yang sudah provokatif keras ini akan amat mudah di”reacting” kembali oleh pemainnya di dunia nyata: “Manhunt,” “Thrill Kill,” “Gears of War” dan “Mortal Kombat.” Adanya dampak bermain game video terhadap perilaku kekerasan anak dan remaja mengakibatkan turunnya kemampuan prososial, empati dan keterlibatan moral dalam perilaku anak dan remaja. Anak menjadi seperti robot yang tanpa perasaan, kasar, yang akhirnya menggunakan cara keras untuk menyelesaikan masalah.
Sebuah lingkaran kekerasan yang dipicu oleh menonton dan bermain game video keras. Dalam tesisnya akhir-akhir ini Prisca Anindya Dewi (2018) menemukan bahwa kecanduan bermain game video berkaitan erat dengan munculnya agresivitas pada remaja laki-laki. Namun demikian bila orangtua berperan aktif sebagai mediator anak dalam bermain game video, agresivitas anak dapat dihindari. Menilik banyaknya dampak negatif dari pemakaian internet yang tidak bijaksana menimbulkan pertanyaan yang menggelitik. Sebetulnya, bagaimana sih temperamen atau kepribadian dari orangorang yang kecanduan internet? Kecanduan internet sendiri banyak dipertanyakan, apakah dampak pada orang yang kecanduan internet sama dengan kecanduan obat-obatan (narkoba) atau kecanduan sex? Kecanduan internet mempunyai karakteristik sebagai aktivitas yang terus menerus dengan dunia maya, tergantung berlebihan ke dunia maya, dengan disertai perubahan mood, kurang toleran, menarik diri dan sifatnya kambuhan (muncul kembali, kambuh).
Kecanduan internet juga dianggap sebagai perilaku kecanduan seperti kecanduan menonton televisi, kecanduan game video, dan berjudi yang patologis (Lee & Jung, 2012). APA sendiri memasukkan diagnosis terkait penggunaan internet sebagai bermain game video online dan tidak berminat pada hal-hal lain; mengalami gangguan klinis atau distres sebagai akibat dari bermain game internet yang berlebih-lebihan; mengalami dampak negatif dalam kehidupan akademis maupun kerja karena tersitanya waktu untuk bermain video online atau game komputer; dan mengalami gejala menarik diri (withdrawl) bila tak bisa mendapatkan akses ke game online (APA, 2013). Yang termuat dalam DSM-5 tidak termasuk fenomena seperti orang yang menghabiskan banyak waktu dengan internet, masalah yang berkaitan dengan bermain game online atau banyak memakai media social seperti Facebook.
Remaja yang bermasalah dalam penggunaan internet (Problematic Internet User = PIU) dibandingkan dengan remaja yang bermasalah dalam penggunaan obat-obatan (Problematic Drug Users = PDU) ternyata mempunyai temperamen yang berbeda. Remaja yang bermasalah dalam penggunaan internet dalam kehidupan sosialnya ternyata lebih tidak sensitif dibandingkan dengan temannya yang bermasalah dalam penggunaan obat-obatan (Lee & Jung, 2012). Mereka yang kecanduan internet adalah orang-orang yang cenderung menghindari keadaan yang sulit, kurang bisa mengarahkan dirinya sendiri, kurang dapat menata hidupnya sendiri, dan kurang bisa diajak bekerjasama. Selanjutnya, pecandu internet ini juga dilaporkan mempunyai gen dan kepribadian yang mirip dengan pasien penderita depresi (Lee & Jung, 2012).
Penggunaan internet yang merupakan jelmaan dari revolusi industri level 4 disikapi bermacam-macam oleh orangtua dan profesional (guru, dokter, psikolog dan sebagainya). Meskipun internet menunjukkan pengaruh yang positif bagi kemampuan kognitif manusia termasuk dalam kemampuan matematika, namun ternyata dampak negatifnya terhitung lebih banyak. Hal ini membutuhkan kewaspadaan bagi para penggunanya. Sebetulnya internet juga mempunyai daya rusak yang tinggi terhadap kehidupan masyarakat, terutama media sosial.
Terjadinya kesalahpahaman, terjadinya pengiriman berita palsu (hoax) melalui media sosial adalah dampak negatif dari penggunaan internet, yang berpotensi mempunyai daya rusak besar terhadap suatu bangsa. Sayang kajian tentang hoax ini tidak akan dilakukan di sini. Kenyataan bahwa penggunaan internet terutama game internet mempunyai daya rusak pada penggunanya, yang disejajarkan dengan kerusakan akibat kecanduan yang lain, maka keluarga, sekolah, dan institusi tempat kerja perlu melakukan deteksi dini dan mengupayakan pertolongan bagi anggotanya yang sudah kecanduan. FoMO perlu disikapi dengan bijak, karena adanya FoMO menunjukkan kehidupan yang tidak bahagia. Karena anak-anak pra remaja di Indonesia banyak yang telah menggunakan internet, maka pendampingan terhadap mereka perlu dipikirkan. Propaganda Kesehatan Mental di sekolah yang berkenaan dengan penggunaan internet bisa dikembangkan untuk prevensi kecanduan game internet. Ramdhani (2016) menyatakan bahwa terapi perilaku kognitif (cognitive behavior therapy) seperti self talk, dan mindfulness dapat dilatihkan untuk menambah kemampuan orang mengontrol dirinya terutama dalam penggunaan internet yang berlebihan.


Referensi : 

Adepina, dkk. (2018). Isu-Isu Masyarakat Digital Kontemporer. Seri Literasi Digital. Dapat diakses http:/literasidigital.id.

Azhar, Tauhid Nur, dkk. (2018). Gence : Membedah Anatomi Peradaban Digital. Bandung. Tasdiqiya Publisher.

Jaringan Pegiat Literasi Digital (Japelidi). (2018). Panduan Literasi Digital.  Yogyakarta.

Japelidi. (2018). Yuk, Jadi Gamer Cerdas: Berbagi Informasi Melalui Literasi. Yogyakarta. Cetakan 1, 12 September 2018. ISBN 978-602-71877-5-7. Prodi Magister Ilmu Komunikasi UGM.

Kominfo. (2018). Panduan Internet bagi Orang Tua. Siberkreasi. Jakarta.  Tidak Diterbitkan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Penguatan Integrasi Pendidikan

PENGUATAN INTEGRASI PENDIDIKAN DALAM ERA DISUPSI Oleh :  Asep Rohiman Lesmana, M.Pd. Pendidikan merupakan suatu entitas yang s...