KETERAMPILAN KONSELING
SEBAGAI KOMPONEN PENTING KEBERHASILAN PROSES KONSELING
A. Kedudukan Keterampilan
Konseling dalam Proses Konseling
Konseling sebagai suatu profesi, sebagaimana halnya
profesi-prosfesi lain memunculkan banyak karakteristik professional. Bertolak
dari konsep konselinng sebagai proses interaksi sosial yang memberikan pengaruh
dengan jalan menciptakan kemudahan bagi klien dalam mengembangkan diri ke arah
yang diharapkan. Karakteristik professional dari segi konselor__menurut Dorn (1979)
menunjuk pada kepakaran (expertness),
terpercaya (truswrthiness),
keaktrkatifan social (Social
Attractiveness) dan kekuatan Sosial (Social
Power). Segi kepakaran seorang konselor berkaitan erat dengan ilmu yang
dipelajarinya secara formal. Jika dilihat dari esensi profesi yang terletak
pada segi pelayanan terhadap masyarakat maka kepakaran seorang konselor akan
terwujud apabila masyarakat penerima pelayanan mempersepsikan pekerjaan yang
itu dilakuakan oleh seorang yang mendapat pendidikan dan latihan khusus.
Persepsi masyarakat terhadap konselor tidak terlepas dari harapan (ekspektasi)
masyarakat terhadap apa yang diperoleh konselor. Apa yang diperbuat oleh
konselor dalam proses konseling turut membentuk persepsi masyarakat terhadap
kepakaran konselor. Secara psikologis prinsip ini mengandung implikasi bahwa
ilmu keprofesian konseling yang dipelajari mesti tampil di dalam perbuatan
konseling. Konseling merupakan instrument untuk menciptakan situasi yang
menimbulkan kemudahan bagi klien dalam mengklarifikasi harapan, dan
mengembangkan atau mengubah perilaku. Sifat terpercaya seorang konselor sebagai
orang yang mampu membantu. Sifat terpercaya ini tumbuh apabila klien menyadari
akan reputasi dan peranan konselor sebagai orang yang memberi bantuan dan tidak
berorientasi pada interes dan keuntungan pribadi. Persepsi klien atau
masyarakat terhadap konselor sebagai seorang professional yang dapat dipercaya
akan terbentuk dari sikap terbuka, jujur, tulus, dan keotentikan pembimbing
dalam bertindak.
Keaktraktifan social berkenaan dengan bagaimana
pembimbing memperlakukan klien dalam proses konseling. Sikap menguasai,
menerima kehadiran klien tanpa pamrih, dan empati adalah perilaku atau tindakan
yang dapat membuat klien senang berhubungan dengan pembimbing. Suasana yang
tercipta dari proses bimbingan dengan karakteristik ini akan menjadi dasar bagi
konselor untuk menciptakan pengaruh terhadap klien.
Segi pengaruh sosial berkaitan dengan seberapa jauh
seorang konselor dapat dipercaya sebagai agen yang membawa pengaruh positif
pada pertumbuhan dan perkembangan klien. Hal ini dapat terjadi manakala seorang
konselor mampu: 1) membawa klien pada situasi yang baru, yakni pada situasi
yang berbeda dengan situasi sebelumnya; 2) memberikan informasi normatif
tentang bagaimana orang lain merasakan dan bertingkahlaku, dan 3) memberikan
eksplorasi falsafah tingkahlaku manusia, sehingga pada gilirannya klien
memiliki sikap dan tingkahlaku yang bertanggungjawab. Menurut Goodyear dan
Robyak (Dorn, 1984:90) seorang konselor akan mampu memiliki kekuatan social
bila ditopang oleh Legitimate power,
Expert Power, Referent Power dan
Ecological Power.
Bertolak dari konsep pengaruh sosial dari Dorn ini,
jelas bahwa dalam proses konseling seorang konselor merupakan agen yang memberi
pengaruh pada klien. Implikasi dari masalah ini, untuk menopang fungsi dan
perannya seorang konselor hendaknya memiliki kemampuan dan keterampilan untuk
“mengubah” tingkahlaku klien. Bila disimak lebih lanjut pendapat Dorn tentang
perlunya seorang konselor memiliki kemampuan dan keterampilan untuk “mengubah”
klien, sejalan dengan Comb, Avila dan Purkey (1978); Borck dan Pawcet (1982),
Dyer (1977), Egan & Gerard (1982), Brammer & Shosrom (1979), Robert
Carkhuff (1979), Nicolson & Golson (1983), dan Ivey (1978). Ivey menyebutkan
bahwa keterampilan konseling sangat penting dalam menunjang keberhasilan proses
konseling. Keterampilan konseling akan membawa pada proses konseling yang
efektif. Dari pengamatan yang dilakukan oleh Ivey (1978) menunjukkan bahwa
hampir semua ahli teori-teori konseling
mengakui perlunya keterampilan konseling.
Dari keyakinan bahwa seorang konselor memerlukan
keterampilan konseling, akhirnya Ivey sendiri mengembangkan model keterampilan
konseling. Selanjutnya jenis keterampilan dari Ivey akan dibahas pada bagian
jenis-jenis keterampilan konseling.
Di samping Ivey, ahli lain yang mengakui perlunya
keterampilan konseling dikuasai oleh konselor adalah Brammer. Brammer (1979)
menyebutkan bahwa keterampilan-keterampilan konseling diperlukan untuk pemahaman
diri ke dalam tujuh (7) kelompok keterampilan. Ketujuh kelompok keterampilan
yang dimaksud adalah: (1) keterampilan mendengarkan, (2) keterampilan
mengarahkan, (3) keterampilan merefleksi atau memantulkan, (4) keterampilan
merangkumkan, (5) keterampilan memperhadapkan (confronting), (6) keterampilan menafsirkan, dan (7) keterampilan
memberi keterangan.
Keterampilan untuk menjamin ketenangan dan menggunakan
krisis (Comport and Crisis Utilization)
oleh Brammer dikelompokkan ke dalam delapan kelompok, yaitu: (1) keterampilan
melakukan kontak, (2) keterampilan memberikan ketentraman, (3) keterampilan
untuk melentukkan (relaxing skill),
(4) keterampilan untuk memusatkan, (5) keterampilan menginterpretasi krisis,
(6) keterampilan mengembangkan alternatif tindakan, (7) keterampilan merujuk,
dan (8) keterampilan memperbaharui dan membangun sistem cokongan.
Di samping dua kelompok keterampilan di atas, Brammer
juga menyebutkan satu kelompok keterampilan lagi yang perlu dimiliki oleh
konselor, yakni keterampilan memberi bantuan untuk mengambil tindakan positif.
Termasuk ke dalam keterampilan ini adalah: modeling, keterampilan memberi
ganjaran, keterampilan untuk menghilangkan perilaku, keterampilan untuk
mengontrol yang bersifat menolak, keterampilan untuk menghilangkan kepekaan.
Dewasa ini telah muncul sejumlah ahli yang mengembangkan
model-model keterampilan konseling.
B. Model-model Keterampilan
Konseling
Bila melakukan orientasi terhadap ahli-ahli yang
menembangkan model keterampilan konseling, tercatat ada sejumlah nama yang
dapat disebutkan diantaranya adalah: L. D Schmidt, Allan E. Ivey, Bruce
Hosking, Gerard Egan dan Robert Carkhuff. Menurut M.D Dahlan (1987:17)
model-model keterampilan konseling dari ahli-ahli tersebut sampai sekarang
masih dikembangkan.
Dilihat dari sejarah perkembangannya keterampilan
konseling yang disajikan secara sistematis dimulai sejak Allan Ivey dkk.
Menyusun buku Microcounseling, Inovations
in Interviewing-Training (Springfield, III, Charles C. Thomas, 1971 (Bruce
Hosking, 1978). Menurut Hosking, tujuan utamanya adalah untuk menjembatani
jurang antara teori dan praktek konseling, yang dipusatkan pada kekhususan
sikap konselor. Menurut Ivey, keterampilan konseling ini (Ivey menyebutnya Microcounseling) dikembangkan agar
konselor menguasai keterampilan-keterampilan yang benar-benar tepat, sesuai
dengan tuntutan kondisi setempat.
Secara singkat keterampilan-keterampilan konseling yang
dikembangkan oleh Ivey adalah: 1) keterampilan attending, dan 2) keterampilan influencing. Termasuk ke dalam
keterampilan attending adalah open
question, closed question, minimal encourage,
paraphrase, reflecting feeling, dan summarization.
Sedangkan yang termasuk ke dalam keterampilan influencing adalah directions,
expression content, expression feeling,
summarization, interpretation, dan direct
mutual communication.
Dengan mengembangkan pandangan-pandangan Ivey, Hosking
(1978) mengembangkan microcounseling. Menurut Hosking, Microcounseling dikembangkan atas keyakinan bahwa ia akan
meningkatkan efektivitas helping.
Menurut Hosking lagi, persiapan minimal yang apat dilakukan unutk meningkatkan
efektivitas helping dibangun dari empat hal yang saling berkaitan. Keempat hal
yang dimaksud adalah melakukan kursus konseling, melakukan latihan khusus dalam
keterampilan konseling yang aktual, mengembangkan pertumbuhan pribadi melalui
kursus-kursus atau seminar dan bekerja di lapangan di bawah pengawasan seorang
ahli. Dengan keempat keyakinan itu, Hosking mengembangkan keterampilan
konseling yang sifatnya self-instructional.
Melalui buku kerja yang dikembangkannya, calon konselor baik secara
perorangan maupun secara kelompok dapat meningkatkan keterampilannya.
Keterampilan-keterampilan konseling yang dikembangkan oleh Hosking adalah: attending, paraphrasing, identifying feeling,
and emotions, reflecting feelings, confrontation, dan summarizing.
Di samping oleh Ivey & Hosking
keterampilan-keterampilan konseling yang sistematis, dikembangkan pula oleh
Gerard Egan sepertinya halnya Ivey dan Hosking, Egan mengembangkan keterampilan
konseling yang diarahkan untuk meningkatkan keterampilan konselor. Konselor
seperti helping profession lainnya sering dihadapkan pada situasi yang
kritis, manakala dihadapkan kliennya. Situasi-situasi yang kritis tersebut
dapat diatasi manakala konselor memiliki ketrampilan dan keahlian.
Keterampilan-keterampilan yang perlu dimiliki oleh seorang konselor diantaranya
adalah: (1) keterampilan untuk menolong klien dalam mengeksplorasi dan
mengklarifikasi situasi permasalahan klien, termasuk kedalam keterampilan ini
adalah: attending dan listening sebagai dasar bagi responding
yang efektif; helper response and client
self – eksploration; dan dasar-dasar helping
respect, genuineness dan
perubahan social, (2) keterampilan untuk mengembangkan perspektif baru dan penyusunan tujuan. Termasuk ke dalam
keterampilan ini adalah keterampilan Summarizing,
information giving, and advance
empathy, the skill of confrontation, Counselor Self Sharing, and Immediacy, dan
The Task of Setting Goals, dan (3) keterampilan untuk mengembangkan dan
mengurutkan program. Termasuk ke dalam keterampilan ini adalah keterampilan
untuk menolong klien dalam mengidentifikasi kemungkinan-kemungkinan programnya,
memilih program, dan menyusun langkah-langkah pelaksanaannya, mengimplementasikan
program, dan mengevaluasinya.
Di Indonesia model keterampilan konseling masih jarang
dikembangkan. Sebatas pengetahuan penulis, tercatat ada dua nama yang telah
mengembangkan model keterampilan konseling di Indonesia, yakni Toga Hutahuruk
& S. Pribadi dan M. D Dahlan. Toga Hutahuruk bersama S. Pribadi menyusun
model keterampilan konseling (microcounseling)
dengan menyadur model Hosking. Keterampilan konselingyang dikembangkan oleh
Toga Hutahuruk dan S. Pribadi sama seperti yang dikembangkan oleh Hosking,
yakni keterampilan responding,
mengundang pembicaraan terbuka, paraphrase, identifikasi perasaan, refleksi
perasaan, konfrontasi, dan merngkaskan. Sementara itu seperti diungkapkan, M. D
Dahlan mengembangkan latihan keterampilan yang didasarkan pada dua karya Gerard
Egan. Bila ditelaah alur pikirnya, menurut M. D Dahlan terlihat adanya pola
pemberian bantuan yang menjembatani terapi humanistis dengan behavioristik. Di
satu pihak ia berpegang pada pandangan Rational-Emotive
Therapy, dan di pihak lain ia patuh pada pandangan Behavior Therapy. Arena itu, menurut M. D Dahlan (1986:11)
konseling yang dilakukan mengikuti langkah-langkah yang jelas; (a) menunjukkan
pada klien bahwa klein perlu mengubah pola pikirnya; (b) membantu klien
memahami bagaimana dan mengapa demikian; (c) menunjukkan bahwa gangguan itu
dipelihara oleh klien; (d) mendorong klien agar mengubah dirinya sendiri melaui
proses latihan. Menurut M. D Dahlan didasarkan pada alur piker tersebut,
konselor bertindak sebagai guru yang mengajar cara bertingkahlaku, mengarahkan
berperilaku serta menerangkan kelemahan klien untuk segera diperbaiki.
Dengan penyesuaian pada kondisi realistis dan hasil uji
coba buku Latihan Keterampilan Konseling ini
dapat digunakan dalam Mata Kuliah Proses Belajar Mengajar Konseling dan
Konseling Mikro (M. D Dahlan, 1986:120)
Menurut M. D Dahlan, keterampilan konseling yang
dilatihkan dijabarkan dari tugas konselor dalam memberikan bantuan kepada klien
secara efektif. Sekurang-kurangnya ada tujuh keterampilan yang dapa dilakukan
oleh konselor agar proses konseling berjalan efeltif. Ketujuh keterampilan yang
dimaksud adalah: (a) membantu klien menemukan kekuatan dan kelemahan diri, (b)
membantu klien mengenali pusat perhatian mereka melalui proses klarifikasi
situasi masalah, (c) membantu klien melihat dirinya sendiri, baik yang kondusif
bagi pencapaian tujuan yang ditetapkan olehnya, ataupun yang kurang kondusif,
baik yang kontradiktif, maupun yang sejalan, (d) membantu klien menetapkan
sasaran yang ingin mereka capai, berupa rumusan yang lebih kongkrit dan
spesifik, (e) membantu klien menemukan berbagai cara untuk mencapai sasaran
yang telah ditetapkan (taksiran berbagai kemungkinan), (f) membantu klien
memilih jenis program yang paling cocok dan paling sesuai dengan gaya, dukungan
dan lingkungan mereka, dan (g) membantu klien melaksanakan program yang telah
mereka pilih, dimulai dengan analisis lapangan, merancang sumber pendukung
serta mengatasi hambatan yang mereka hadapi.
Ketrampilan konseling yang dikembangkan oleh M. D Dahlan
dikembangkan dalam dua buku, yakni buku kerja dan buku latihan. Secara garis
besar jenis-jenis keterampilan yang diajarkan seperti tersaji pada buku latihan
keterampilan konseling seni memberikan bantuan dapat disebutkan sebagai
berikut.
1.
Pengukuran dan identifikasi
masalah. Pada kelompok ini dilatihkan jenis-jenis keterampilan: 1) mengenal
kekuatan dan kelemahan diri sendiri; 2) mengenal tugas hidup dan adegan social (Sosial Setting); 3) mengenal konflik
dengan lingkungan; 4) mengukur dampak lembaga social terhadap kehidupan
peserta; 5) mengukur keterampilan menyelesaikan tugas.
2.
Eksplorasi dan pemusatan
perhatian pada masalah awal. Pada kelompok keterampilan ini dilatihkan
jenis-jenis keterampilan: 6) memilih masalah untuk ditelusuri lebih lanjut; 7)
keterampilan penampilan fisik; 8) keterampilan mendengar dan eksplorasi
kongkrit (berbicara kongkrit tentang pengalaman, tingkahlaku, perasaan dan
emosi, tingkahlaku dan perasaan sekaligus; 9) empati yang akurat tahap primer
(mendeskripsikan perasaan klien; menghayati perasaan dan emosi sendiri,
menghayati perasaan secara mendalam; mengidentifikasi perasaan klien;
mengidentifikasi pengalaman, tingkahlaku klien dan perasaan yang
mengirinnginya. Merespon klien dengan empati tahap primer; empati tahap primer
dalam kehidupan sehari-hari); 10) penggunaan probing dalam klarifikasi
pengalaman tingkahlaku dan perasaan; mengombinasikan empati dengan probing;
melihat kembali proses pemberian bantuan pada tahap awal.
3.
Keterampilan Challenging dan mengembangkan perspektif
baru. Pada kelompok ini dilatihkan jenis-jenis keterampilan: 12) meringkas
dalam usaha klarifikai masalah; 13) pemberian informasi dan perspektif baru;
14) empati lanjutan yang akurat; 15) membandingkan empati tahap primer dengan
lanjutan; 16) mengungkap pengalaman sendiri dalam wawancara konseling; 17)
ketepatan mengungkapkan pengalaman sendiri; 18) pengungkapan pengalaman sendiri
dalam wawancara konseling; 19) konfrontasi: mempertentangkan berbagai
perbedaan; dan 20) eksplorasi hubungan antarpribadi dalam kehidupan;
4.
Merumuskan tujuan. Pada
kelompok ini dilatihkan jenis-jenis keterampilan: 21) mengkongkritkan tujuan;
22) mencek kembali: Rumusan tujuan; 23) merumuskan tujuan yang sesuai dengan
masalah yang dihadapi sendiri;
5.
Mencari alternatif Program.
Pada kelompok ini dilatihkan jenis-jenis keterampilan: 24) brainstorming sebagai
teknik mencari alternatif program; 25) membantu klien mencari alternatif
program;
6.
Memilih program terbaik. Pada
kelompok ini dilatihkan jenis-jenis keterampilan : 26) memilih unsure-unsur
program (membuat urutan program; menggunakan lembaran pertimbangan); 27)
mengurutkan langkah-langkah program (menetapkan sub tujuan; merumuskan sub
progam; merumuskan sub program yang sesuai dengan masalah sendiri; merumuskan
sumber pendukung untuk pelaksanaan program);
7.
Melaksanakan program. Pada
kelompok ini dilatihkan jenis-jenis keterampilan: 28) menganalisis wahana dan
mengidentifkasi sumber pendukung; dan 29) menurunkan kekuatan sumber daya yang
menghambat.
8.
Menilai proses membantu dengan
belajar dari kegagalan. Bila disimak lebih jauh nampak bahwa keterampilan
keterampilan konseling yang dikembangkan oleh M. D Dahlan sangat komprehensif.
Keterampilan-keterampilan konseling yang dikembangkan oleh M. D Dahlan meliputi
keterampilan-keterampilan yang mengacu pada proses konseling yang lengkap. Dari
keterampilan-keterampilan konseling yang diungkapkan oleh M. D Dahlan nampak
bahwa dalam proses konseling dan atau setiap langkahnya memerlukan sejumlah
keterampilan yang perlu dikuasai oleh seorang konselor. Dengan demikian nampak
jelas bahwa dalam proses konseling seorang konsleror membutuhkan sejumlah
keterampilan yang mendukung keberhasilan tugas-tugasnya.
Setelah diteliti dan kemudian dilakukan perbandingan
antar berbagai keterampilan konseling yang dikembangkan oleh para ahli,
meskipun ada beberapa perbedaan nampak unsure-unsur kesamaannya. Bahkan bila
disimak lebih lanjut semua ahli yang mengembangkan proses konseling sepakat
bahwa sejak dimulai sampai berakhirnya proses konseling, seorang konselor tidak
dapat melepaskan diri dari keharusan menguasai berbagai keterampilan konseling.
Seorang konselor yang tidak menguasai keterampilan
konseling akan terjebak pada proses konseling yang tidak terarah. Kalau hal ini
sampai terjadi pada saat ia melakukan proses konseling, klien yang ditangani
akan menanggung akibatnya. Dan ini sangat membahayakan baik bagi konselor
maupun bagi kliennya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar