Rabu, 23 Oktober 2019

Keterampilan Konseling


KETERAMPILAN KONSELING SEBAGAI KOMPONEN PENTING KEBERHASILAN PROSES KONSELING

A.    Kedudukan Keterampilan Konseling dalam Proses Konseling
Konseling sebagai suatu profesi, sebagaimana halnya profesi-prosfesi lain memunculkan banyak karakteristik professional. Bertolak dari konsep konselinng sebagai proses interaksi sosial yang memberikan pengaruh dengan jalan menciptakan kemudahan bagi klien dalam mengembangkan diri ke arah yang diharapkan. Karakteristik professional dari segi konselor__menurut Dorn (1979) menunjuk pada kepakaran (expertness), terpercaya (truswrthiness), keaktrkatifan social (Social Attractiveness) dan kekuatan Sosial (Social Power). Segi kepakaran seorang konselor berkaitan erat dengan ilmu yang dipelajarinya secara formal. Jika dilihat dari esensi profesi yang terletak pada segi pelayanan terhadap masyarakat maka kepakaran seorang konselor akan terwujud apabila masyarakat penerima pelayanan mempersepsikan pekerjaan yang itu dilakuakan oleh seorang yang mendapat pendidikan dan latihan khusus. Persepsi masyarakat terhadap konselor tidak terlepas dari harapan (ekspektasi) masyarakat terhadap apa yang diperoleh konselor. Apa yang diperbuat oleh konselor dalam proses konseling turut membentuk persepsi masyarakat terhadap kepakaran konselor. Secara psikologis prinsip ini mengandung implikasi bahwa ilmu keprofesian konseling yang dipelajari mesti tampil di dalam perbuatan konseling. Konseling merupakan instrument untuk menciptakan situasi yang menimbulkan kemudahan bagi klien dalam mengklarifikasi harapan, dan mengembangkan atau mengubah perilaku. Sifat terpercaya seorang konselor sebagai orang yang mampu membantu. Sifat terpercaya ini tumbuh apabila klien menyadari akan reputasi dan peranan konselor sebagai orang yang memberi bantuan dan tidak berorientasi pada interes dan keuntungan pribadi. Persepsi klien atau masyarakat terhadap konselor sebagai seorang professional yang dapat dipercaya akan terbentuk dari sikap terbuka, jujur, tulus, dan keotentikan pembimbing dalam bertindak.
Keaktraktifan social berkenaan dengan bagaimana pembimbing memperlakukan klien dalam proses konseling. Sikap menguasai, menerima kehadiran klien tanpa pamrih, dan empati adalah perilaku atau tindakan yang dapat membuat klien senang berhubungan dengan pembimbing. Suasana yang tercipta dari proses bimbingan dengan karakteristik ini akan menjadi dasar bagi konselor untuk menciptakan pengaruh terhadap klien.
Segi pengaruh sosial berkaitan dengan seberapa jauh seorang konselor dapat dipercaya sebagai agen yang membawa pengaruh positif pada pertumbuhan dan perkembangan klien. Hal ini dapat terjadi manakala seorang konselor mampu: 1) membawa klien pada situasi yang baru, yakni pada situasi yang berbeda dengan situasi sebelumnya; 2) memberikan informasi normatif tentang bagaimana orang lain merasakan dan bertingkahlaku, dan 3) memberikan eksplorasi falsafah tingkahlaku manusia, sehingga pada gilirannya klien memiliki sikap dan tingkahlaku yang bertanggungjawab. Menurut Goodyear dan Robyak (Dorn, 1984:90) seorang konselor akan mampu memiliki kekuatan social bila ditopang oleh Legitimate power, Expert Power, Referent Power dan Ecological Power.
Bertolak dari konsep pengaruh sosial dari Dorn ini, jelas bahwa dalam proses konseling seorang konselor merupakan agen yang memberi pengaruh pada klien. Implikasi dari masalah ini, untuk menopang fungsi dan perannya seorang konselor hendaknya memiliki kemampuan dan keterampilan untuk “mengubah” tingkahlaku klien. Bila disimak lebih lanjut pendapat Dorn tentang perlunya seorang konselor memiliki kemampuan dan keterampilan untuk “mengubah” klien, sejalan dengan Comb, Avila dan Purkey (1978); Borck dan Pawcet (1982), Dyer (1977), Egan & Gerard (1982), Brammer & Shosrom (1979), Robert Carkhuff (1979), Nicolson & Golson (1983), dan Ivey (1978). Ivey menyebutkan bahwa keterampilan konseling sangat penting dalam menunjang keberhasilan proses konseling. Keterampilan konseling akan membawa pada proses konseling yang efektif. Dari pengamatan yang dilakukan oleh Ivey (1978) menunjukkan bahwa hampir semua ahli teori-teori konseling  mengakui perlunya keterampilan konseling.
Dari keyakinan bahwa seorang konselor memerlukan keterampilan konseling, akhirnya Ivey sendiri mengembangkan model keterampilan konseling. Selanjutnya jenis keterampilan dari Ivey akan dibahas pada bagian jenis-jenis keterampilan konseling.
Di samping Ivey, ahli lain yang mengakui perlunya keterampilan konseling dikuasai oleh konselor adalah Brammer. Brammer (1979) menyebutkan bahwa keterampilan-keterampilan konseling diperlukan untuk pemahaman diri ke dalam tujuh (7) kelompok keterampilan. Ketujuh kelompok keterampilan yang dimaksud adalah: (1) keterampilan mendengarkan, (2) keterampilan mengarahkan, (3) keterampilan merefleksi atau memantulkan, (4) keterampilan merangkumkan, (5) keterampilan memperhadapkan (confronting), (6) keterampilan menafsirkan, dan (7) keterampilan memberi keterangan.
Keterampilan untuk menjamin ketenangan dan menggunakan krisis (Comport and Crisis Utilization) oleh Brammer dikelompokkan ke dalam delapan kelompok, yaitu: (1) keterampilan melakukan kontak, (2) keterampilan memberikan ketentraman, (3) keterampilan untuk melentukkan (relaxing skill), (4) keterampilan untuk memusatkan, (5) keterampilan menginterpretasi krisis, (6) keterampilan mengembangkan alternatif tindakan, (7) keterampilan merujuk, dan (8) keterampilan memperbaharui dan membangun sistem cokongan.
Di samping dua kelompok keterampilan di atas, Brammer juga menyebutkan satu kelompok keterampilan lagi yang perlu dimiliki oleh konselor, yakni keterampilan memberi bantuan untuk mengambil tindakan positif. Termasuk ke dalam keterampilan ini adalah: modeling, keterampilan memberi ganjaran, keterampilan untuk menghilangkan perilaku, keterampilan untuk mengontrol yang bersifat menolak, keterampilan untuk menghilangkan kepekaan.
Dewasa ini telah muncul sejumlah ahli yang mengembangkan model-model keterampilan konseling.

B.     Model-model Keterampilan Konseling
Bila melakukan orientasi terhadap ahli-ahli yang menembangkan model keterampilan konseling, tercatat ada sejumlah nama yang dapat disebutkan diantaranya adalah: L. D Schmidt, Allan E. Ivey, Bruce Hosking, Gerard Egan dan Robert Carkhuff. Menurut M.D Dahlan (1987:17) model-model keterampilan konseling dari ahli-ahli tersebut sampai sekarang masih dikembangkan.
Dilihat dari sejarah perkembangannya keterampilan konseling yang disajikan secara sistematis dimulai sejak Allan Ivey dkk. Menyusun buku Microcounseling, Inovations in Interviewing-Training (Springfield, III, Charles C. Thomas, 1971 (Bruce Hosking, 1978). Menurut Hosking, tujuan utamanya adalah untuk menjembatani jurang antara teori dan praktek konseling, yang dipusatkan pada kekhususan sikap konselor. Menurut Ivey, keterampilan konseling ini (Ivey menyebutnya Microcounseling) dikembangkan agar konselor menguasai keterampilan-keterampilan yang benar-benar tepat, sesuai dengan tuntutan kondisi setempat.
Secara singkat keterampilan-keterampilan konseling yang dikembangkan oleh Ivey adalah: 1) keterampilan attending, dan 2) keterampilan influencing. Termasuk ke dalam keterampilan attending adalah open question, closed question, minimal encourage, paraphrase, reflecting feeling, dan summarization. Sedangkan yang termasuk ke dalam keterampilan influencing adalah directions, expression content, expression feeling, summarization, interpretation, dan direct mutual communication.
Dengan mengembangkan pandangan-pandangan Ivey, Hosking (1978) mengembangkan microcounseling. Menurut Hosking, Microcounseling dikembangkan atas keyakinan bahwa ia akan meningkatkan efektivitas helping. Menurut Hosking lagi, persiapan minimal yang apat dilakukan unutk meningkatkan efektivitas helping dibangun dari empat hal yang saling berkaitan. Keempat hal yang dimaksud adalah melakukan kursus konseling, melakukan latihan khusus dalam keterampilan konseling yang aktual, mengembangkan pertumbuhan pribadi melalui kursus-kursus atau seminar dan bekerja di lapangan di bawah pengawasan seorang ahli. Dengan keempat keyakinan itu, Hosking mengembangkan keterampilan konseling yang sifatnya self-instructional. Melalui buku kerja yang dikembangkannya, calon konselor baik secara perorangan maupun secara kelompok dapat meningkatkan keterampilannya. Keterampilan-keterampilan konseling yang dikembangkan oleh Hosking adalah: attending, paraphrasing, identifying feeling, and emotions, reflecting feelings, confrontation, dan summarizing.
Di samping oleh Ivey & Hosking keterampilan-keterampilan konseling yang sistematis, dikembangkan pula oleh Gerard Egan sepertinya halnya Ivey dan Hosking, Egan mengembangkan keterampilan konseling yang diarahkan untuk meningkatkan keterampilan konselor. Konselor seperti  helping profession lainnya sering dihadapkan pada situasi yang kritis, manakala dihadapkan kliennya. Situasi-situasi yang kritis tersebut dapat diatasi manakala konselor memiliki ketrampilan dan keahlian. Keterampilan-keterampilan yang perlu dimiliki oleh seorang konselor diantaranya adalah: (1) keterampilan untuk menolong klien dalam mengeksplorasi dan mengklarifikasi situasi permasalahan klien, termasuk kedalam keterampilan ini adalah: attending dan listening sebagai dasar bagi responding yang efektif; helper response and client self – eksploration; dan dasar-dasar helping respect, genuineness dan perubahan social, (2) keterampilan untuk mengembangkan perspektif  baru dan penyusunan tujuan. Termasuk ke dalam keterampilan ini adalah keterampilan Summarizing, information giving, and advance empathy, the skill of confrontation, Counselor Self Sharing, and Immediacy, dan The Task of Setting Goals, dan (3) keterampilan untuk mengembangkan dan mengurutkan program. Termasuk ke dalam keterampilan ini adalah keterampilan untuk menolong klien dalam mengidentifikasi kemungkinan-kemungkinan programnya, memilih program, dan menyusun langkah-langkah pelaksanaannya, mengimplementasikan program, dan mengevaluasinya.
Di Indonesia model keterampilan konseling masih jarang dikembangkan. Sebatas pengetahuan penulis, tercatat ada dua nama yang telah mengembangkan model keterampilan konseling di Indonesia, yakni Toga Hutahuruk & S. Pribadi dan M. D Dahlan. Toga Hutahuruk bersama S. Pribadi menyusun model keterampilan konseling (microcounseling) dengan menyadur model Hosking. Keterampilan konselingyang dikembangkan oleh Toga Hutahuruk dan S. Pribadi sama seperti yang dikembangkan oleh Hosking, yakni keterampilan responding, mengundang pembicaraan terbuka, paraphrase, identifikasi perasaan, refleksi perasaan, konfrontasi, dan merngkaskan. Sementara itu seperti diungkapkan, M. D Dahlan mengembangkan latihan keterampilan yang didasarkan pada dua karya Gerard Egan. Bila ditelaah alur pikirnya, menurut M. D Dahlan terlihat adanya pola pemberian bantuan yang menjembatani terapi humanistis dengan behavioristik. Di satu pihak ia berpegang pada pandangan Rational-Emotive Therapy, dan di pihak lain ia patuh pada pandangan Behavior Therapy. Arena itu, menurut M. D Dahlan (1986:11) konseling yang dilakukan mengikuti langkah-langkah yang jelas; (a) menunjukkan pada klien bahwa klein perlu mengubah pola pikirnya; (b) membantu klien memahami bagaimana dan mengapa demikian; (c) menunjukkan bahwa gangguan itu dipelihara oleh klien; (d) mendorong klien agar mengubah dirinya sendiri melaui proses latihan. Menurut M. D Dahlan didasarkan pada alur piker tersebut, konselor bertindak sebagai guru yang mengajar cara bertingkahlaku, mengarahkan berperilaku serta menerangkan kelemahan klien untuk segera diperbaiki.
Dengan penyesuaian pada kondisi realistis dan hasil uji coba buku Latihan Keterampilan Konseling ini dapat digunakan dalam Mata Kuliah Proses Belajar Mengajar Konseling dan Konseling Mikro (M. D Dahlan, 1986:120)
Menurut M. D Dahlan, keterampilan konseling yang dilatihkan dijabarkan dari tugas konselor dalam memberikan bantuan kepada klien secara efektif. Sekurang-kurangnya ada tujuh keterampilan yang dapa dilakukan oleh konselor agar proses konseling berjalan efeltif. Ketujuh keterampilan yang dimaksud adalah: (a) membantu klien menemukan kekuatan dan kelemahan diri, (b) membantu klien mengenali pusat perhatian mereka melalui proses klarifikasi situasi masalah, (c) membantu klien melihat dirinya sendiri, baik yang kondusif bagi pencapaian tujuan yang ditetapkan olehnya, ataupun yang kurang kondusif, baik yang kontradiktif, maupun yang sejalan, (d) membantu klien menetapkan sasaran yang ingin mereka capai, berupa rumusan yang lebih kongkrit dan spesifik, (e) membantu klien menemukan berbagai cara untuk mencapai sasaran yang telah ditetapkan (taksiran berbagai kemungkinan), (f) membantu klien memilih jenis program yang paling cocok dan paling sesuai dengan gaya, dukungan dan lingkungan mereka, dan (g) membantu klien melaksanakan program yang telah mereka pilih, dimulai dengan analisis lapangan, merancang sumber pendukung serta mengatasi hambatan yang mereka hadapi.
Ketrampilan konseling yang dikembangkan oleh M. D Dahlan dikembangkan dalam dua buku, yakni buku kerja dan buku latihan. Secara garis besar jenis-jenis keterampilan yang diajarkan seperti tersaji pada buku latihan keterampilan konseling seni memberikan bantuan dapat disebutkan sebagai berikut.
1.      Pengukuran dan identifikasi masalah. Pada kelompok ini dilatihkan jenis-jenis keterampilan: 1) mengenal kekuatan dan kelemahan diri sendiri; 2) mengenal tugas hidup dan adegan social (Sosial Setting); 3) mengenal konflik dengan lingkungan; 4) mengukur dampak lembaga social terhadap kehidupan peserta; 5) mengukur keterampilan menyelesaikan tugas.
2.      Eksplorasi dan pemusatan perhatian pada masalah awal. Pada kelompok keterampilan ini dilatihkan jenis-jenis keterampilan: 6) memilih masalah untuk ditelusuri lebih lanjut; 7) keterampilan penampilan fisik; 8) keterampilan mendengar dan eksplorasi kongkrit (berbicara kongkrit tentang pengalaman, tingkahlaku, perasaan dan emosi, tingkahlaku dan perasaan sekaligus; 9) empati yang akurat tahap primer (mendeskripsikan perasaan klien; menghayati perasaan dan emosi sendiri, menghayati perasaan secara mendalam; mengidentifikasi perasaan klien; mengidentifikasi pengalaman, tingkahlaku klien dan perasaan yang mengirinnginya. Merespon klien dengan empati tahap primer; empati tahap primer dalam kehidupan sehari-hari); 10) penggunaan probing dalam klarifikasi pengalaman tingkahlaku dan perasaan; mengombinasikan empati dengan probing; melihat kembali proses pemberian bantuan pada tahap awal.
3.      Keterampilan Challenging dan mengembangkan perspektif baru. Pada kelompok ini dilatihkan jenis-jenis keterampilan: 12) meringkas dalam usaha klarifikai masalah; 13) pemberian informasi dan perspektif baru; 14) empati lanjutan yang akurat; 15) membandingkan empati tahap primer dengan lanjutan; 16) mengungkap pengalaman sendiri dalam wawancara konseling; 17) ketepatan mengungkapkan pengalaman sendiri; 18) pengungkapan pengalaman sendiri dalam wawancara konseling; 19) konfrontasi: mempertentangkan berbagai perbedaan; dan 20) eksplorasi hubungan antarpribadi dalam kehidupan;
4.      Merumuskan tujuan. Pada kelompok ini dilatihkan jenis-jenis keterampilan: 21) mengkongkritkan tujuan; 22) mencek kembali: Rumusan tujuan; 23) merumuskan tujuan yang sesuai dengan masalah yang dihadapi sendiri;
5.      Mencari alternatif Program. Pada kelompok ini dilatihkan jenis-jenis keterampilan: 24) brainstorming sebagai teknik mencari alternatif program; 25) membantu klien mencari alternatif program;
6.      Memilih program terbaik. Pada kelompok ini dilatihkan jenis-jenis keterampilan : 26) memilih unsure-unsur program (membuat urutan program; menggunakan lembaran pertimbangan); 27) mengurutkan langkah-langkah program (menetapkan sub tujuan; merumuskan sub progam; merumuskan sub program yang sesuai dengan masalah sendiri; merumuskan sumber pendukung untuk pelaksanaan program);
7.      Melaksanakan program. Pada kelompok ini dilatihkan jenis-jenis keterampilan: 28) menganalisis wahana dan mengidentifkasi sumber pendukung; dan 29) menurunkan kekuatan sumber daya yang menghambat.
8.      Menilai proses membantu dengan belajar dari kegagalan. Bila disimak lebih jauh nampak bahwa keterampilan keterampilan konseling yang dikembangkan oleh M. D Dahlan sangat komprehensif. Keterampilan-keterampilan konseling yang dikembangkan oleh M. D Dahlan meliputi keterampilan-keterampilan yang mengacu pada proses konseling yang lengkap. Dari keterampilan-keterampilan konseling yang diungkapkan oleh M. D Dahlan nampak bahwa dalam proses konseling dan atau setiap langkahnya memerlukan sejumlah keterampilan yang perlu dikuasai oleh seorang konselor. Dengan demikian nampak jelas bahwa dalam proses konseling seorang konsleror membutuhkan sejumlah keterampilan yang mendukung keberhasilan tugas-tugasnya.
Setelah diteliti dan kemudian dilakukan perbandingan antar berbagai keterampilan konseling yang dikembangkan oleh para ahli, meskipun ada beberapa perbedaan nampak unsure-unsur kesamaannya. Bahkan bila disimak lebih lanjut semua ahli yang mengembangkan proses konseling sepakat bahwa sejak dimulai sampai berakhirnya proses konseling, seorang konselor tidak dapat melepaskan diri dari keharusan menguasai berbagai keterampilan konseling.
Seorang konselor yang tidak menguasai keterampilan konseling akan terjebak pada proses konseling yang tidak terarah. Kalau hal ini sampai terjadi pada saat ia melakukan proses konseling, klien yang ditangani akan menanggung akibatnya. Dan ini sangat membahayakan baik bagi konselor maupun bagi kliennya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Penguatan Integrasi Pendidikan

PENGUATAN INTEGRASI PENDIDIKAN DALAM ERA DISUPSI Oleh :  Asep Rohiman Lesmana, M.Pd. Pendidikan merupakan suatu entitas yang s...