Mengembangkan Identitas Karier Mahasiswa melalui
Program Bimbingan Karier
Oleh :
Iman Lesmana
Mahasiswa memiliki berbagai masalah dan
hambatan dalam proses akademiknya di perguruan tinggi. Misalnya, survey yang
dilakukan oleh Organization for Economic
Cooperation and Development (Smitina, 2008) kepada 19 negara melaporkan
bahwa ada sekitar 31% mahasiswa yang tidak menyelesaikan program pendidikannya.
Penyebabnya kebanyakan permasalahan pribadi, seperti tidak berminat dalam
program studi yang dipilih, kekecewaan dalam masa studinya dan permasalahan
ekonomi.
Lebih khusus, penelitian Smitina di Latvia Universities (2008) dimana
Latvia adalah Negara di luar laporan OECD yang ditemukan bahwa sebanyak 20%
mahasiswa Drop Out pada tahun
pertama, dikarenakan adanya hambatan dalam informasi karier dan juga beberapa
penghalang yang bersifat internal maupun eksternal dalam diri mahasiswa. Selain
itu, 34% dari keseluruhan mahasiswa pernah berpikir untuk meninggalkan
pendidikannya (26% mahasiswa menyatakan pikirannya untuk meninggalkan
kuliahnya, 19% lainnya sudah memutuskannya). Kemudian kelompok ini disebut
sebagai kelompok mahasiswa dengan resiko drop
out yang tinggi. Penyebabnya adalah sebanyak 32,4% tidak memiliki minat
dengan program studinya; 20,6% memiliki alasan personal; 17,6% tidak yakin
dengan perspektif profesinya; 17,6% tidak sesuai dengan apa yang diharapkan;
14,7% alasan ekonomi dan 11,8% hambatan dalam kemampuan akademik.
Masih
terkait dengan isu masa studi mahasiswa di perguruan tinggi, penelitian yang
dilakukan oleh Harvard Graduate School of
Education (2011) menyatakan bahwa di Amerika terdapat sekitar 56% dari
jumlah mahasiswa menyelesaikan masa studi selama 6 tahun (seharusnya 4 tahun)
dan 29% mahasiswa pascasarjana menyelesaikan studinya selama 3 tahun
(seharusnya 2 tahun). Dapat dikatakan bahwa banyak mahasiswa di perguruan
tinggi gagal menyelesaikan masa studinya tepat waktu, dan banyak di antaranya juga
yang tidak dapat menyelesaikan masa studinya. Penyebabnya adalah tugas-tugas
dalam perkuliahan, tekanan finansial, tuntutan antara keluarga dan pekerjaan
dengan beragam masalah. Akan tetapi secara umum, yang menjadi penyebab utamanya
adalah banyak yang tidak dapat melihat dengan jelas, hubungan antara program
studi pilihan mereka dan kesempatan yang ada dengan pekerjaan mereka.
Fenomena-fenomena di atas menggambarkan
bahwa permasalahan dan hambatan yang dihadapi mahasiswa dalam bidang akademik penyebabnya
bukan hanya mengenai informasi yang tidak cukup jelas mengenai program studi
dan profesi yang dipilih tapi juga mahasiswa tidak memiliki gambaran jelas
mengenai kemampuan, talenta, minat dan tujuan yang dimilikinya. Dengan kata
lain, mahasiswa memiliki tingkatan identitas karier yang rendah (Smitina, 2008).
Berdasarkan
hal tersebut dapat dikatakan bahwa sangat penting mahasiswa mengembangkan
identitas karier yang dimilikinya. Karena kesesuaian antara faktor diri
mahasiswa (dalam hal ini identitas karier) dengan pilihan jurusan perkuliahan
menentukan keberhasilan dan keberuntungannya dalam studi (Song dan Glick,
2004).
Istilah
identitas karier tidak terlepas dari konsep identitas yang dikemukakan oleh
Erikson (Marcia, 1993) yakni “how one
define oneself” yang berarti bahwa bagaimana seseorang memahami dirinya
sendiri berdasarkan kepercayaan dan nilai-nilai dalam diri yang mengarahkan dan
menentukan yang terbaik untuk mencapai tujuan tertentu. Identitas bersikap
internal, pembentukan diri berdasarkan harapan-harapan, kemampuan dan sejarah
seseorang (Meeus, 1993). Mahasiswa yang berhasil mencapai identitas akan
memperoleh suatu pandangan yang jelas tentang dirinya, tidak meragukan tentang
identitas diri, serta mengenal perannya dalam masyarakat, termasuk perannya
dalam bidang karier.
Erikson
(Marcia, 1993) juga mengemukakan bahwa tugas perkembangan mahasiswa adalah
mencapai berbagai aspek identitas, eksplorasi dan komitmen merupakan peran yang
paling penting dalam semua proses pembentukan identitas. Marcia (Archer, 1994)
mengemukakan bahwa “successful identity
achievers are high in both exploration and commitment”. Mahasiswa yang
mampu melihat kemampuan, bakat dan minatnya, mampu meraih peluang yang ada
serta membuat komitmen terhadap pilihan karier dikatakan sebagai mahasiswa yang
mencapai status identitas achievement
dalam bidang pekerjaan.
Marcia
(1993) membagi status identitas karier menjadi 4 tahap status identitas yakni: diffusion (no crisis, no commitment) tidak adanya
eksplorasi dan komitmen pada mahasiswa, foreclosure (commitment, but no crisis) mahasiswa sudah mulai berkomitmen tapi
tanpa adanya kesiapan mengeksplorasi, moratorium (crisis, no commitment) mahasiswa mengeksplor dan menanyakan asumsi tapi
belum ada kesimpulan, achievement (crisis, then commitment) pada tahap
ini mahasiswa mengeksplorasi dan sudah membentuk keputusan akan identitasnya
dimasa yang akan datang.
Penelitian
yang dilakukan oleh Sawitri
(2008) mengenai status identitas mengatakan bahwa status identitas memiliki
pengaruh tidak langsung melalui efikasi diri keputusan karier terhadap keraguan
mengambil keputusan karier. Hal ini berarti bahwa identifikasi individu pada
status identitas achievement akan
berdampak positif terhadap efikasi diri keputusan karier, dan efikasi diri
keputusan karier ini akan berpengaruh negatif terhadap keraguan mengambil
keputusan karier pada mahasiswa.
Selanjutnya
ditegaskan oleh penelitian yang dilakukan Kartini (2010) mengenai status identitas
vokasional melaporkan bahwa mahasiswa UPI yang berusia antara 18-21 tahun
(remaja akhir) memiliki status identitas achievement
43,8%, moratorium 13,5%, foreclosure 11,2% dan diffusion 31,5%. Dimana hal tersebut
menunjukkan bahwa masih ada 56,2% mahasiswa UPI yang memiliki kebingungan akan
pilihan kariernya.
Fakta empirik tersebut mengisyaratkan
bahwa pilihan jurusan yang diambil di perguruan tinggi tidak menghilangkan
kebingungan mengenai identitas karier mahasiswa. Rogow, Marcia dan Slugoski
(Adams et. al., 1992:92-98) mengatakan
bahwa area yang paling penting untuk dikembangkan pada masa remaja adalah pada
area sekolah (pendidikan) dan pekerjaan (masa depan). Kemudian Marcia
(Malanchuk, 2010) mengatakan bahwa mengembangkan identitas karier yang sesuai
dan realistik pada masa remaja adalah sangat penting untuk keberhasilan dalam masa
transisi menuju masa dewasa. Witmer dan Sweeney (Surya, 2003:194-199) mengatakan
bahwa secara rasional setiap orang mendambakan pilihan karier yang mampu
mengantarkannya ke kehidupan yang layak, suatu kondisi hidup yang “wellness”.
Mahasiswa dengan pengetahuan yang
memadai terhadap identitas karier yang dimilikinya diharapkan dapat
meminimalisir berbagai kemungkinan permasalahan yang akan terjadi terutama
dalam perkembangan identitas karier yang akan mempengaruhi kehidupannya kelak. Akan tetapi tidak menutup kemungkinan
bahwa dalam menjalani prosesnya perkembangan identitas karier mahasiswa akan
menghadapi berbagai macam hambatan, sehingga bimbingan dari pihak lain yang
dianggap sebagai ahli dinilai sangat dibutuhkan. Seperti yang telah ditegaskan oleh Asosiasi
Bimbingan dan Konseling Indonesia (2007) bahwa:
Tugas konselor adalah proses pengenalan diri sendiri oleh
konseli, baik mengenai kekuatan dan kelemahan yang ditemukan pada dirinya
maupun aspirasi hidup yang dihayatinya, yang dihadapkan dengan peluang yang
terbuka dan tantangan yang menghadang yang ditemukannya dalam lingkungan.
Upaya
pengembangan identitas karier mahasiswa, konselor di perguruan tinggi memerlukan
program bimbingan karier yang dirancang secara relevan dan komprehensif sesuai
dengan kebutuhan mahasiswa. Dearing (Gothard et. al., 2001) mengatakan bahwa sebuah program bimbingan karier
yang terencana merupakan bagian esensial dalam sebuah kurikulum, karena
mendorong dan menyiapkan masa depan seseorang. Program bimbingan karier
tersebut harus memberikan pengalaman dan proses belajar yang bertahap.
Proses
belajar yang dibutuhkan dalam mengembangkan identitas karier menurut Meijers
(1998) adalah membutuhkan situasi dimana pemahaman baru secara aktif
(berinteraksi) bersatu atau berhubungan dengan pemahaman yang sudah ada, dan
mahasiswa mendukung dengan maksud tertentu untuk mengembangkan pemikiran dan
aktivitas belajar yang dihasilkan dalam belajar yang berorientasi dalam
pemaknaan. Proses belajar tersebut Meijers (1998) menyebutnya sebagai “higher order learning” dan dalam
konteks teori belajar karier disebut sebagai “understanding” oleh Law (1996). Pemaknaan proses belajar harus
disertakan dengan eksplorasi dan komitmen (Archer, 1994) dalam hal ini
mahasiswa melakukan kegiatan yang bermakna bagi dirinya sendiri. Dengan
demikian, pengembangan program bimbingan karier dalam penelitian ini didasarkan
atas prinsip teori identitas Marcia, tahapan layanan bimbingan dan konseling
yang diberikan yakni sensing, sifting, focusing hingga mencapai tahap understanding
(Meijers, 1998; Law, 1996) atau mahasiswa melakukan kegiatan eksplorasi
hingga membuat keputusan karier berdasarkan pengalamannya (komitmen) seperti
yang dikatakan oleh Marcia (1993).
Jika teori identitas tersebut diaplikasikan
ke dalam program bimbingan karier sebagai landasan tugas konselor, maka layanan
yang diberikan untuk mengembangkan identitas karier akan memiliki dasar yang
kuat dan juga memiliki tujuan yang jelas. Dengan
demikian tidak akan muncul keraguan terhadap pelayanan bimbingan yang diberikan
kepada para mahasiswa. Atas pemikiran tersebut, mencermati pentingnya identitas karier pada mahasiswa
dan pentingnya program bimbingan karier yang diberikan berdasarkan teori identitas
Marcia. Berdasarkan hal tersebut penelitian ini difokuskan pada kajian tentang program bimbingan karier untuk mengembangkan
identitas karier mahasiswa.
Mahasiswa
mengalami hambatan dalam mengembangkan identitas karier yang dimilikinya.
Domain identitas karier dalam hal ini bukan hanya sebatas dalam bidang
pendidikan dan pekerjaan akan tetapi bagaimana seseorang itu merencanakan
hidupnya, sedangkan dalam proses perencanaan tersebut seseorang harus mampu membuat
keputusan dan membuat komitmen di antara beberapa pilihan. Proses pemilihan
tersebut bukan hanya dikarenakan oleh pendapat atau masukan dari orang lain
akan tetapi harus berdasarkan pemahaman dirinya dengan cara eksplorasi karier yang
dimilikinya.
Kenyataannya
adalah banyak mahasiswa yang masih belum memahami kemampuan, talenta, minat dan tujuan yang
dimilikinya dan mengakibatkan kebimbangan/kebingungan karier, seperti yang
dikemukakan oleh Gianakos (1999) career
indecision is common among college students. Kebingungan mahasiswa dalam
menentukan pilihan karier atau pilihan program studi di perguruan tinggi
menurut Kartini (2010) disebabkan kurang proaktif dalam mencari berbagai
informasi karier, atau dengan kata lain kurang eksplorasi, dan kurang perencanaan
sehingga akhirnya tidak dapat menentukan pilihan karier atau program studi yang
menjadi minatnya.
Hal tersebut berakibat pada munculnya
bermacam permasalahan akademik mahasiswa di perguruan tinggi, seperti:
ketidaksesuaian pilihan jurusan dengan minat, tidak mengetahui akan menjadi apa
mereka setelah lulus, nilai Indeks Prestasi dibawah standar, keterlambatan
penyelesaian masa studi bahkan drop out.
Bersamaan dengan hal tersebut, layanan
bimbingan dan konseling di perguruan tinggi juga menemukan kendala bahwa masih
banyak mahasiswa yang belum memahami fungsinya, sehingga layanan terbatas,
terutama dalam layanan bimbingan dan konseling karier.
Banyak para ahli yang berpendapat dalam
mengembangkan identitas karier dalam proses belajar. Proses belajar yang
dibutuhkan dalam pengembangan identitas karier Meijers (1998) mengkarakterisasikannya
sebagai “higher order learning”, Vermunt (Meijers, 1998) menyebutnya sebagai
proses belajar yang mengarah pada pemaknaan (meaning oriented learning), sebagai
“creative learning” (penentang belajar
reproduktif) oleh Van Peursen (Meijers, 1998), dan baru-baru ini, dalam konteks “career learning theory” sebagai “understanding” oleh Law (1996). Layaknya
sebuah proses belajar membutuhkan situasi belajar dimana pemahaman yang baru secara
aktif berhubungan dengan pemahaman yang sudah ada, dan pembelajar mendukung
dengan maksud tertentu mengembangkan pemikiran dan aktivitas belajar yang
menghasilkan pembelajaran berorientasi pada pemaknaan (eksplorasi dan komitmen).
Konsep tersebut berkaitan dengan konsep eksplorasi dan komitmen dari Marcia
(1993). Sehingga program bimbingan karier dalam penelitian ini disusun
berdasarkan teori identitas Marcia. Program bimbingan karier tersebut merupakan salah satu upaya yang
dapat diberikan kepada mahasiswa dalam usaha meminimalisir berbagai
permasalahan mahasiswa yang bersinggungan dengan permasalahan karier.
Identitas Karier
Istilah
identitas karier akan berhubungan dengan identitas okupasional, identitas
vokasional dan status identitas. Identitas okupasional menurut Erikson (1968)
merupakan “…much attention and energy are
directed at defining or constructing one’s work interest and building skills in
the technology of the selected occupational choice”. Erikson memandang
bahwa identitas okupasional timbul pada tiap individu dalam penghargaannya pada
nilai, kepercayaan, dan komitmen untuk bekerja dan membantu remaja menemukan
komitmen pada pendidikan, pekerjaan dan karier. Erikson memandang bahwa
identitas okupasional dapat dilihat berdasarkan kemampuan yang dimiliki dan
motivasinya dalam sebuah pekerjaan. Sejalan dengan hal tersebut Schwartz et al. (2011) menambahkan bahwa
identitas okupasional terbagi menjadi dua sisi, salah satu sisinya
merepresentasikan persepsi seseorang terhadap minat kerja, kemampuan, tujuan
dan nilai-nilai sedangkan sisi lainnya merepresentasikan struktur kompleks dari
pemaknaan seseorang yang berhubungan dengan motivasi dan kompetensi terhadap
peran karier yang dapat diterimanya.
Identitas
vokasional menurut Holland (1997) merupakan derajat kejelasan dari sebuah
gambaran tujuan karier, minat dan kemampuan seseorang yang jelas, stabil dan
masuk akal. Holland mengatakan bahwa identitas vokasional sebagai diferensiasi
dan kristalisasi dalam beraktifitas, sesuai dengan minat, kompetensi dan nilai-nilainya, identitas vokasional juga
dikatakan sebagai kesempatan ke dalam konsistensi akan keunikan dirinya yang
disesuaikan dengan dunia kerja. Identitas pada remaja memberikan kejelasan dan
kestabilan terhadap tujuan kariernya saat ini dan di masa yang akan datang dan
selanjutnya menjadi arah karier yang akan dikejarnya. Secara konsep Holland
(Hirschi, 2011) juga mengusulkan bahwa identitas vokasional sebagai sebuah
gagasan yang berhubungan dengan pola kepribadian yang terlihat dalam struktur
minat seseorang dalam masa diferensiasi dan konsistensi minat. Hal tersebut
(diferensiasi, konsistensi, koherensi) berhubungan positif dengan stabilitas
dan arah perkembangan karier berikutnya.
Meijers
(1998) mengatakan bahwa identitas karier adalah sebuah struktur atau sebuah
jaringan pemaknaan individu secara sadar yang mengarahkan pada motivasi, minat
dan kompetensi dengan peran karier yang dapat diterima. Identitas karier lebih
merujuk pada struktur diri yang terbentuk berdasarkan ekplorasi dan pengalaman
dari lingkungannya dan dengan memilih nilai-nilai dan norma-norma yang spesifik
tertentu yang akan menentukan perilakunya kemudian.
Identitas
karier menurut Marcia (1993) merupakan sekumpulan status yang mendefinisikan
keluasan eksplorasi pilihan individu terhadap hidupnya dan menunjukkan
keluasannya dengan membuat komitmen terhadap suatu pekerjaan dan pendidikan.
Pendapat tersebut dipertegas dengan pendapat Polivka (2007) menyebutkan identitas
karier sebagai “sense of identity
involves knowing one’s self and where one going in life”. Kemudian Marcia (1993)
membagi perkembangan identitas karier menjadi 4 tingkatan mengenai status
identitas yakni diffusion, moratorium, foreclosure dan achievement.
Pada kedua tahap moratorium dan diffusion, memiliki komitmen rendah,
tapi pada moratorium, individu secara
aktif mengeksplor aspek-aspek yang memungkinkan untuk identitasnya. Pada tahap foreclosure dan achievement, terdapat tingkat komitmen yang tinggi, tapi eksplorasi
hanya terdapat pada tahap achievement.
Berdasarkan
definisi-definisi yang disebutkan di atas maka dapat disimpulkan bahwa
identitas karier adalah pemaknaan diri terhadap tujuan karier, pengalaman,
nilai-nilai, kepercayaan, minat dan kemampuan dalam hubungannya dengan
pendidikan yang ditempuh saat ini dan pekerjaan yang sesuai di masa depan.
Pemaknaan diri tersebut dilihat berdasarkan eksplorasi dan komitmen yang
dilakukan mahasiswa terhadap tujuan karier tujuan karier, pengalaman,
nilai-nilai, kepercayaan, minat dan kemampuannya.
Program Bimbingan Karier
Program bimbingan karier adalah bagian
dari program bimbingan dan konseling (Supriatna, 2009). Gysbers dan Henderson
(2006: 58) mendefinisikan program sebagai sebuah kerangka kerja yang
terorganisasi dengan susunan layanan dan aktivitas yang terencana, berangkaian
dan terkoordinasi berdasar pada kebutuhan dan sumber daya yang ada.
Program
bimbingan menurut Schmidt (1999: 39) adalah serangkaian kegiatan yang
direncanakan secara sistematis, terarah dan terpadu untuk mencapai tujuan yang
diselaraskan dengan kebutuhan konseli yang telah teridentifikasi atas tujuan
yang diemban.
Menurut Surya (Supriatna &
Ilfiandra, 2006) bimbingan karier merupakan salah satu jenis bimbingan dalam
mempersiapkan diri dalam menghadapi dunia kerja, dalam memilih lapangan kerja
atau jabatan/profesi tertentu serta
membekali diri supaya siap memangku jabatan itu, dan dalam menyesuaikan diri
dengan berbagai tuntutan dari lapangan pekerjaan yang dimasuki.
Rochman Natawidjaja (Supriatna &
Ilfiandra, 2006) mengatakan bahwa bimbingan karir adalah suatu proses membantu
seseorang untuk mengerti dan menerima gambaran tentang diri pribadinya dan
gambaran tentang dunia kerja di luar dirinya, mempertemukan gambaran diri
tersebut dengan dunia kerja itu untuk pada akhirnya dapat memilih bidang
pekejaan, memasukinya dan membina karir dalam bidang tersebut.
Berdasarkan definisi tersebut dapat
disimpulkan bahwa program bimbingan karier adalah serangkaian kegiatan yang
direncanakan secara sistematis, terarah dan terpadu untuk memahami dan mempersiapkan
diri dalam menghadapi dunia kerja, dalam memilih lapangan kerja atau
jabatan/profesi tertentu serta membekali
diri supaya siap memangku jabatan itu, dan menyesuaikan diri dengan berbagai
tuntutan dari lapangan pekerjaan yang dimasuki. Hal tersebut memberikan
pemahaman bahwa penyusunan program
layanan bimbingan karier harus memperhatikan banyak aspek, selain program yang dikembangkan sesuai dengan kebutuhan konseli juga harus realistis dengan keadaan di masyarakat.
Sumber :
Kiswanto,
Andi. (2014). Program Bimbingan
Karier untuk Mengembangkan Identitas Karier Mahasiswa. Tesis SPs Program Studi BK UPI. Bandung: Tidak diterbitkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar