RANCANGAN PROGRAM KONSELING RASIONAL EMOTIF PERILAKU
UNTUK MENINGKATKAN SELF EFFICACY SISWA YANG MENCONTEK
Oleh :
Asep Rohiman Lesmana
Yadi Mulyadi
Rasional
Usaha peningkatan mutu pendidikan telah
dilakukan oleh pemerintah dengan berbagai cara, termasuk perubahan kurikulum
dan penerapan standar minimal kelulusan dalam ujian nasional (UN). Semenjak
diberlakukannya sistem Ujian Nasional (UN) dengan standar minimal kelulusan,
maka semakin banyak praktik kecurangan yang dilakukan baik oleh murid, guru,
kepala sekolah, bahkan pejabat daerah yang berwenang pun terkait dalam
melakukan kecurangan ini.
Salah satu bentuk kecurangan yang dilakukan oleh siswa
adalah menyontek. Perilaku menyontek atau cheating
sendiri merupakan salah satu fenomena pendidikan yang sering dan bahkan
selalu muncul menyertai aktivitas proses belajar mengajar, namun ironisnya
jarang mendapat perhatian yang serius dari praktisi pendidikan di Indonesia.
Praktik menyontek banyak dijumpai dalam dunia pendidikan, masyarakat pun
cenderung mentolerir dan menganggapnya sebagai hal yang wajar (Haryono, dkk,
2001 : 10).
Masalah mencontek juga terdapat di
SMKN 4 Sukabumi. Dari hasil wawancara dengan guru BK SMKN 4 Sukabumi menunjukan
bahwa perilaku mencontek yang dilakukan tidak hanya terjadi ketika dilaksanakan
ulangan umum, tetapi terjadi pada kegiatan tes harian. Pernyataan guru BK
tersebut diperkuat oleh hasil studi pendahuluan berupa penyebaran angket perilaku
mencontek yang dilakukan oleh peneliti di SMKN 4 Sukabumi terhadap 154 siswa
Dari hasil studi pendahuluan
menunjukan aspek tertinggi bentuk perilaku mencontek terdapat pada indikator social aktif, melihat jawaban teman yang
lain ketika ujian berlangsung 106 siswa (69 %), aspek tertinggi alasan perilaku
mencontek pada indikator self efficacy,
memiliki banyak keraguan ketika menjawab soal 124 siswa (80 %), harus
mendapatkan nilai yang paling tinggi dikelas 126 siswa (82 %), mengetahui
banyak teman-teman yang mencontek ketika ujian 131 siswa (85 %), dituntut oleh bapak/ibu guru untuk
mendapatkan nilai yang sama dengan teman-teman lain 146 siswa (95 %), dan aspek tertinggi gejala mencontek,
harus mempertahankan harga diri dengan segala cara 128 siswa (83 %) dan harus
berkompetisi dengan teman-teman 127 siswa (82 %).
Perilaku mencontek dapat merugikan banyak pihak,
baik itu individu yang mencontek atau individu yang dicontek. Dengan mencontek
siswa tidak dapat mengetahui seberapa besar kemampuan dirinya dalam memahami
atau menguasai pelajaran yang telah didapatkan, sedangkan orang yang dicontek
secara tidak langsung haknya diambil oleh siswa yang mencontek. Selain itu
perialku mencontek dapat menyulitkan guru dalam mengukur tingkat keberhasilan
dari proses pembelajaran disekolah. Meskipun siswa menyadari bahwa mencontek itu melanggar
peraturan, tetapi pada saat melihat temannya yang mencontek maka siswa tersebut
akan berperilaku mencontek (McCabe et al.
1999; Graham et al. 1994; Kibler and Kibler 1993; Stevens and Stevens 1987).
Siswa meyakini bahwa mencontek bisa diterima karena teman yang lain juga
melakukan mencontek.
Temuan ini
dapat dijelaskan oleh Teori Perbandingan Sosial, yang mengusulkan bahwa orang
sering melihat ke orang lain untuk memvalidasi sikap dan keyakinan mereka
sendiri. Semakin siswa percaya bahwa teman-temannya juga
mencontek semakin siswa merasa bahwa mencontek dapat diterima. Penjelasan di
atas diperkuat oleh penelitian McCabe et al (2001) yang menemukan bahwa
perilaku teman sebaya mempengaruhi perilaku mencontek siswa. Teori tersebut
juga di dukung oleh teori Bandura yang menyatakan bahwa kebanyakan perilaku
menyimpang dipelajari melalui perilaku orang lain.
Dengan semakin maraknya perilaku mencontek di
kalangan siswa maka perlu diketahui faktor apa saja yang melatar belakangi
siswa melakukan perilaku mencontek tersebut. Salah satu faktor yang
mempengaruhi perilaku mencontek adalah self
efficacy. Hal ini sejalan
dengan penelitian Anderman & Murdock yang menyebutkan bahwa faktor yang membuat seorang siswa
menyontek antara lain kurangnya self
efficacy dalam mengerjakan tugas atau menghadapi ujian (Anderman &
Murdock, 2007 : 2). Menurut Marsden & Neill (2005) konstruk psikologi seperti self efficacy memiliki hubungan yang kuat dengan perilaku menyontek.
Hal
ini diperkuat oleh penelitian Nababan
(2006), yang meneliti mengenai hubungan antara self-efficacy dengan
frekuensi mencontek. Hasil penelitian menujukkan, peningkatan self efficacy dapat
menurunkan frekuensi mencontek. Lebih lanjut Supardi (2010) meneliti mengenai
keefektifan teknik modelling untuk meningkatkan self-efficacy Hasil
penelitian menunjukkan bahwa siswa yang menyontek disebabkan oleh self efficacy yang
rendah
Siswa yang memiliki self efficacy rendah akan merasakan ketakutan (fear) dalam dirinya.
Rasa takut ini akan membangkitkan kecemasan pada dirinya. Siswa yang diliputi
oleh rasa takut ini tidak yakin dan tidak percaya diri mengenai pemikirannya.
Pada akhirnya siswa yang memiliki self efficacy rendah akan cepat menyerah,
cemas dan cenderung menghindari sesuatu yang dianggap mengancam, termasuk saat
menghadapi ujian. Mereka yang memiliki self efficacy rendah akan merasa
kesulitan dalam menghadapi ujian, dan merasa tidak percaya pada kemampuannya
untuk menyelesaikan soal-soal ujian, sehingga mereka merasa tidak bisa
menggunakan usaha sendiri untuk mengatasi kesulitannya. Hal tersebut yang membuatnya
membawa alat-alat tertentu atau memanfaatkan orang lain untuk membantunya dalam
menyelesaikan soal-soal ujian, meskipun cara-cara tersebut tidak dibenarkan.
Siswa yang memiliki self efficacy tinggi merasa yakin akan kompetensi yang
diimilikinya, sehingga saat ujian berlangsung, mereka akan mengandalkan
kompetensinya tersebut untuk mengerjakan soal soal ujian. Siswa yang memiliki
self efficacy tinggi tidak akan melihat tuntutan sebagai suatu ancaman, tetapi
akan melihat tuntutan sebagai tantangan yang harus diselesaikan melalui usaha
dan kemampuan yang dimilikinya (Chemers, Hu, & Garcia dalam Wedge, 2012 :
3).
Sehingga diperlukan sebuah metode yang efektif
dan sistematis untuk meningkatkan self
efficacy siswa yang terindikasi mencontek dengan asumsi bahwa Siswa yang
memiliki self efficacy tinggi akan
merasa yakin akan kompetensi yang diimilikinya, sehingga saat ujian
berlangsung, mereka akan mengandalkan kompetensinya tersebut untuk mengerjakan
soal soal ujian. Siswa yang memiliki self
efficacy tinggi tidak akan melihat tuntutan sebagai suatu ancaman, tetapi
akan melihat tuntutan sebagai tantangan yang harus diselesaikan melalui usaha
dan kemampuan yang dimilikinya (Chemers, Hu, & Garcia dalam Wedge, 2012 :
3). Metode yang digunakan diantaranya adalah konseling rasional emotif
perilaku.
Asumsi yang mendukung penggunaan konseling
rasional emotif perilaku dalam meningkatkan self
efficacy siswa yang mencontek sebagaimana dikemukakan oleh Ellis &
Grigger (Huchinson dan Chapman, 2010: 9) bahwa konseling rasional emotif
perilaku menggunakan pemikiran rasional untuk mengubah individu menjadi agen
aktif lingkungan yang mampu menghadapi kesulitan hidup dan berbagai peristiwa.
Berfikir rasional berarti berfikir ilmiah, jelas dan fleksibel yang dapat
membawa pada peningkatan resiliensi diri, determinasi diri dan kompetensi diri.
Asumsi lain yang mendukung penggunaan penggunaan
pendekatan konseling rasional emotif perilaku untuk meningkatkan self efficacy adalah sebagaimana yang
dikemukakan oleh Darminto (2007) yang menyatakan, secara khusus konseling
rasional emotif perilaku dapat diterapkan secara efektif untuk menangani
berbagai kesulitan kognisi, emosi dan perilaku yang berkaitan dengan psikologis
maupun psikopatologis.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Baek and Yu (Myung Ah Kim, et.al, 2014 ; 5) menemukan adanya peningkatan self efficacy siswa setelah diberikan
konseling Rasional Emotif Perilaku. Demikain juga penelitian yang dilakukan
oleh Kim yang meneliti konseling kelompok karir, konseling rasional emotif
perilaku efektif dalam meningkatkan self efficacy mahasiswa. (Myung Ah Kim,
et.al, 2014 ; 5). Penelitian yang dilakukan oleh Opole dan Okopi (2012 : 216)
menyatakan bawa Konseling Rasional Emotif Perilaku berhasil meningkatkan self
efficacy siswa beresiko di Universitas NOUN Nigeria. Selain itu konseling
Rasional emotif perilaku juga berhasil meningkatkan self efficacy pasrtisipan
penelitian dan membuat mereka lebih berusaha keras dalam menyelesaikan tugas
dan tidak mudah menyerah
Tujuan Intervensi
Tujuan intervensi konseling rasional emotif perilaku
adalah untuk meningkatkan self efficacy
siswa dengan memanfaatkan kemampuan yang dimiliki dengan merubah cara berpikir
yang irasional menjadi rasional.
Secara
umum tujuan intervensi adalah meningkatkan self efficacy siswa yang terindikasi melakukan perilaku mencontek kelas X SMKN 4 Sukabumi tahun ajaran 2014/2015.
Secara khusus tujuan intervensi adalah mengembangkan keterampilan konseli untuk :
a. Memiliki kemampuan, ketekukan dan komitmen dalam menyelesaikan ujian atau tugas-tugas sekolah yang sulit
b. Memiliki keyakinan diri yang kuat terhadap potensi diri dalam
menghadapi tuntutan-tuntutan ujian dan tugas-tugas sekolah sebagai peserta didik
c. Membantu konseli agar dapat memaknai
pengalaman terdahulu untuk membantu menyelesaikan tugas atau pekerjaan yang
dilakukan dimasa sekarang.
d. Membantu konseli agar dapat
menampilkan sikap yang menunjukan keyakinan diri pada seluruh proses
pembelajaran.
e. Membantu konseli agar dapat
membiasakan diri untuk menata pikirannya menjadi positif atau memiliki
keyakinan diri yang tinggi.
Asumsi-Asumsi Intervensi
Asumsi intervensi dijadikan pijakan dalam menentukan
setiap layanan yang akan dilaksanakan :
a.
Siswa mencontek salah satu faktornya dipengaruhi oleh
rendahnya self efficacy dalam
mengerjakan tugas atau menghadapi ujian.
b.
Pemikiran irrasional siswa menjadi salah satu peyebab
rendahnya self efficacy siswa
c.
Konseling rasional emotif perilaku merupakan
intervensi konseling yang mengajarkan individu untuk mengarahkan atau
menerapkan keyakinan yang rasional dengan mengubah cara berpikir irasional
menjadi rasional
d.
Konseling rasional emotif perilaku digunakan untuk
mengatasi segala permasalahan yang timbul sebagai hasil dari interaksi individu
dengan lingkungan sosial dikarenakan manusia
bukanlah hasil dari dorongan tidak sadar melainkan merupakan hasil belajar,
sehingga dapat diubah dengan memanipulasi dan mengkreasi kondisi-kondisi
pembentuk tingkah laku
e.
Teknik pekerjaan rumah (homework) digunakan untuk membantu dalam proses intervensi,
dikarenakan pencapaian tujuan konseling akan memerlukan waktu lama jika hanya
mengandalkan teknik dan topik selama sesi intervensi berlangsung.
Kompetensi Konselor
Dalam
melaksanakan konseling Rasional Emotif Perilaku untuk meningkatkan self efficacy siswa yang terindikasi memiliki perilaku mencontek
harus didukung oleh kompetensi memadai yang dimiliki oleh peneliti yang
sekaligus berperan sebagai pemberi intervensi.
Kompetensi yang harus dimiliki oleh Konselor adalah:
a. Konselor memiliki latar belakang
pendidikan minimal S1 bimbingan dan konseling, dan akan lebih baik apabila
telah memiliki sertifikat konselor profesional.
b. Menunjukkan penerimaan tanpa syarat terhadap konseli
sebagai manusia yang tidak lepas dari kesalahan.
c.
Memiliki pemahaman dan pengetahuan yang memadai mengenai konsep self efficacy
d.
Memiliki pemahaman, pengetahuan, dan keterampilan yang memadai dalam
konseling rasional emotif perilaku.
e.
Memahami karakteristik siswa SMKN 4 Sukabumi yang merupakan subjek dari
penelitian ini.
f.
Menggunakan beragam teknik terapeutik dalam proses konseling (eklektisisme)
namun tetap sejalan dan konsisten dengan teori konseling REB serta
mengaplikasikan konseling REB dalam cara yang konsisten dengan keilmuan namun
tetap dalam penyampaian yang fleksibel dan non dogmatis
g.
Mampu berperan sebagai guru/pengajar yang aktif direktif
serta komunikator yang terampil selaku pemimpin diskusi dan mitra terapeutik
bagi konseli.
Sasaran Intervensi
Populasi yang menjadi subjek intervensi/konseli
dalam konseling melalui
konseling rasional emotif perilaku untuk
meningkatkan self efficacy adalah siswa kelas
X SMKN 4 Sukabumi, yang teridentifikasi memiliki
tingkat self efficacy rendah.
Perhitungan kriteria self efficacy yang digunakan sebagai acuan
dalam pengelompokan skor self efficacy siswa dapat dilihat pada tabel
berikut ini.
Kriteria Self efficacy
|
Rentang
|
Tinggi
|
X> 2.633,34
|
Sedang
|
1.366,67 < X ≤ 2.633,35
|
Rendah
|
X ≤1.366,67
|
Dari hasil studi pendahuluan
terhadap 154
siswa kelas X SMKN 4 Kota sukabumi tahun
ajaran 2014/2015 menunjukkan bahwa terdapat 3 orang siswa yang
memiliki self efficacy rendah, stabil pada kondisi baseline,
dan menyatakan bersedia mengikuti konseling rasional
emotif perilaku dimana ketiga siswa tersebut memiliki skor 1270, 1100 dan 650,
apabila dilihat dari kriteria gambaran umum self
efficacy siswa makan ketiga siswa tersebut berada dalam kriteria rendah.
Sedangkan
apabila dilihat per aspek maka gambaran self
efficacy siswa dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Sasaran
Intervensi
Nama
|
Jenis Kelamin
|
Usia
|
Aspek yang Rendah
|
NK
|
Laki-laki
|
16
Tahun
|
Level dan
Generality
|
AB
|
Laki-laki
|
16
Tahun
|
Level, Strenght
dan Generality
|
MB
|
Laki-laki
|
16
Tahun
|
Level,
Strenght dan Generality
|
Ketiga
siswa tersebut antara lain adalah sebagai berikut :
1.
Konseli Nk
Hasil wawancara dengan konseli
didapatkan data bahwa konseli pernah beberapa kali ketahuan mencontek sehingga
pernah dipanggil oleh guru bimbingan dan konseling karena masalah tersebut.
Alasan siswa mencontek dikarenakan siswa tidak yakin terhadap kemampuannya
sendiri siswa selalu merasa minder apabila mengisi jawaban ujian sebagai contoh
misalnya siswa sudah mengerjakan soal ujian tetapi tetap saja mencontek kepada
siswa lain dengan alasan untuk menyamakan jawabannya. Pada aspek self efficacy siswa memiliki kriteria
rendah pada aspek level dan generality
Alasan lain siswa mencontek
dikarenakan siswa menganggap bahwa mencontek itu merupakan hal yang wajar
dikarenakan hampir semua siswa melakukannya. Meskipun siswa menyadari bahwa
mencontek itu melanggar peraturan, tetapi pada saat melihat temannya yang mencontek
maka siswa tersebut akan berperilaku mencontek
(McCabe et al. 1999; Graham et al. 1994; Kibler and Kibler 1993; Stevens
and Stevens 1987)..
Beberapa
alasan lainnya yang siswa dikemukakan mengapa siswa tersebut mencontek
berhubungan dengan teori neutralisasi. LaBeff,
et al (Arvidson, 2004; 44)
menyatakan bahwa meskipun siswa menyadari bahwa secara umum mencontek itu
salah, tetapi melalui neutralisasi siswa berpendapat dalam keadaan tertentu,
perilaku mencontek tidak saja diperlukan tetapi dapat diterima. Dibawah ini terdapat beberapa
bentuk teori neutralisasi yaitu :
a. Menghindari rasa tanggung jawab,
pada tahap ini siswa berusaha menghindari dari rasa tanggung jawab karena siswa
menyalahkan orang lain atau lingkungan sekitar atas perilaku yang telah
dilakukannya “misalnya siswa menyontek dengan menyalahkan guru dikarenakan guru
tidak mengajarkan materi dengan baik”
b. Siswa merasa bahwa apa yang dilakukannya
tidak melukai orang lain “misalnya siswa merasa bahwa menyontek tidak merugikan
atau melukai orang lain”
c. Menghukum penghukum. Penghukum
misalnya guru dianggap sebagai seorang yang munafik (Sykes & Matza, 1957,
p. 668). Siswa mengganggap bahwa seorang guru pun pernah melakukan mencontek ,
guru pernah melakukan hal yang sama
apabila menghadapi situasi yang sedang dialami siswa misalnya sedang ujian.
d. Rasa Loyalitas terhadap teman. Dalam
hal ini siswa merasa bahwa terjadi konflik antara norma nilai yang dianut oleh
masyarakat luas dengan norma nilai yang dianut oleh kelompoknya (Sykes &
Matza, 1957). Dalam konflik ini siswa akan lebih mengikuti norma nilai yang
dianut oleh kelompoknya daripada oleh masyarakat luas. Misalnya ketika siswa melihat temannya sedang
mencontek pada saat ujian siswa tersebut akan tetap diam dan tidak akan
melaporkannya kepada pengawas karena siswa tersebut harus memiliki loyalitas
sesama anggota kelompoknya.
e. Mempertahankan keberlangsungan.
Dalam teori neutralisasi ini deikenal istilah “shoot or be shoot” dengan kata lain apabila saya tidak mencontek
sekarang, saya akan gagal sekolah, jika saya gagal sekolah maka keluarga akan
menolak saya dan pada akhirnya tidak punya tempat untuk bernaung”. Siswa tidak
akan merasa bersalah untuk mencontek dikarenakan perilaku tersebut harus
dilakukan dengan tujuan untuk bertahan hidup. Sykes and Matza (Arvidson; 2004;
30-40)
2. Konseli AB
Hasil wawancara dengan konseli
didapatkan data bahwa konseli selalu mencontek pada saat ujian, menurut konseli
hampir setiap kali ujian baik itu ujian harian ataupun ujian semester konseli
selalu mencontek. Hasil wawancara peneliti dengan wali kelas diperoleh
informasi bahwa beberapa kali pengawas ujian mengetahui perilaku mencontek
siswa dan perilaku tersebut langsung dilaporkan kepada wali kelas. Alasan siswa
mencontek dikarenakan siswa tidak yakin terhadap kemampuannya sendiri siswa
selalu merasa minder apabila mengisi jawaban ujian sebagai contoh siswa selalu
menunggu jawaban dari orang lain atau mencontek dari teman yang lain daripada
mengerjakannya sendiri. Pada aspek self
efficacy siswa memiliki kriteria rendah pada aspek level, strength dan generality
Siswa meyakini bahwa mencontek bisa
diterima karena teman yang lain juga melakukan mencontek. hal ini sejalan
dengan teori yang diungkapkan oleh Arvidson
(2004; 46) yang menyatakan
untuk mempertahakan prestasi akademik
atau untuk mencapai tujuan karir dimasa depan, siswa menganggap bahwa mencontek
merupakan sesuatu yang rasional.
Beberapa
alasan lainnya yang siswa dikemukakan mengapa siswa tersebut mencontek
berhubungan dengan teori neutralisasi. LaBeff,
et al (Arvidson, 2004; 44)
menyatakan bahwa meskipun siswa menyadari bahwa secara umum mencontek itu
salah, tetapi melalui neutralisasi siswa berpendapat dalam keadaan tertentu,
perilaku mencontek tidak saja diperlukan tetapi dapat diterima. Dibawah ini terdapat beberapa
bentuk teori neutralisasi yaitu :
a. Menghindari rasa tanggung jawab,
pada tahap ini siswa berusaha menghindari dari rasa tanggung jawab karena siswa
menyalahkan orang lain atau lingkungan sekitar atas perilaku yang telah
dilakukannya “misalnya siswa menyontek dengan menyalahkan guru dikarenakan guru
tidak mengajarkan materi dengan baik”
b. Siswa merasa bahwa apa yang
dilakukannya tidak melukai orang lain “misalnya siswa merasa bahwa menyontek
tidak merugikan atau melukai orang lain”
c. Menghukum penghukum. Penghukum
misalnya guru dianggap sebagai seorang yang munafik (Sykes & Matza, 1957,
p. 668). Siswa mengganggap bahwa seorang guru pun pernah melakukan mencontek ,
guru pernah melakukan hal yang sama
apabila menghadapi situasi yang sedang dialami siswa misalnya sedang ujian.
d. Rasa Loyalitas terhadap teman. Dalam
hal ini siswa merasa bahwa terjadi konflik antara norma nilai yang dianut oleh
masyarakat luas dengan norma nilai yang dianut oleh kelompoknya (Sykes &
Matza, 1957). Dalam konflik ini siswa akan lebih mengikuti norma nilai yang
dianut oleh kelompoknya daripada oleh masyarakat luas. Misalnya ketika siswa melihat temannya sedang
mencontek pada saat ujian siswa tersebut akan tetap diam dan tidak akan
melaporkannya kepada pengawas karena siswa tersebut harus memiliki loyalitas
sesama anggota kelompoknya.
e. Mempertahankan keberlangsungan.
Dalam teori neutralisasi ini deikenal istilah “shoot or be shoot” dengan kata lain apabila saya tidak mencontek
sekarang, saya akan gagal sekolah, jika saya gagal sekolah maka keluarga akan
menolak saya dan pada akhirnya tidak punya tempat untuk bernaung”. Siswa tidak
akan merasa bersalah untuk mencontek dikarenakan perilaku tersebut harus
dilakukan dengan tujuan untuk bertahan hidup. Sykes and Matza (Arvidson; 2004;
30-40).
3. Konseli MB
Hasil wawancara dengan konseli
didapatkan data bahwa perilaku mencontek siswa sudah menjadi kebiasaan setiap
kali dilaksanakan ujian baik itu ujian harian ataupun ujian semester. konseli
mengaku tidak pernah satu kalipun mengerjakan ujian tanpa mencontek. Konseli
sering ketahuan mencontek oleh pengawas bahkan pernah dipanggil oleh wali kelas
dan guru bimbingan dan konseling atas perilaku menconteknya tersebut tetapi
bukan berhenti untuk melakukan perilaku tersebut tetapi konseli malah mencari
cara atau strategi mencontek terbaru agar tidak diketahui oleh pengawas.
Alasan siswa mencontek dikarenakan
siswa tidak yakin terhadap kemampuannya sendiri siswa selalu merasa minder
apabila mengisi jawaban ujian sebagai contoh misalnya siswa sudah mengerjakan
soal ujian tetapi tetap saja mencontek kepada siswa lain dengan alasan untuk
menyamakan jawabannya. Pada aspek self
efficacy siswa memiliki kriteria rendah pada aspek level, strength dan generality
Selain itu alasan lain siswa
mencontek dikarenakan siswa menganggap bahwa mencontek itu merupakan hal yang
wajar dikarenakan hampir semua siswa melakukannya. Meskipun siswa menyadari
bahwa mencontek itu melanggar peraturan, tetapi pada saat melihat temannya yang
mencontek maka siswa tersebut akan berperilaku mencontek (McCabe et al. 1999; Graham et al. 1994;
Kibler and Kibler 1993; Stevens and Stevens 1987).
Temuan ini dapat dijelaskan oleh
teori perbandingan sosial, yang mengusulkan bahwa orang sering melihat ke orang
lain untuk memvalidasi sikap dan keyakinan mereka sendiri. Semakin siswa
percaya bahwa teman-temannya juga mencontek semakin siswa merasa bahwa
mencontek dapat diterima. Penjelasan di atas diperkuat oleh penelitian McCabe
et al (2001) yang menemukan bahwa perilaku teman sebaya mempengaruhi perilaku
mencontek siswa. Teori tersebut juga di dukung oleh teori Bandura yang
menyatakan bahwa kebanyakan perilaku menyimpang dipelajari melalui perilaku
orang lain.
Beberapa
alasan lainnya yang siswa dikemukakan mengapa siswa tersebut mencontek
berhubungan dengan teori neutralisasi. LaBeff,
et al (Arvidson, 2004; 44)
menyatakan bahwa meskipun siswa menyadari bahwa secara umum mencontek itu
salah, tetapi melalui neutralisasi siswa berpendapat dalam keadaan tertentu,
perilaku mencontek tidak saja diperlukan tetapi dapat diterima. Dibawah ini terdapat beberapa
bentuk teori neutralisasi yaitu :
a. Menghindari rasa tanggung jawab,
pada tahap ini siswa berusaha menghindari dari rasa tanggung jawab karena siswa
menyalahkan orang lain atau lingkungan sekitar atas perilaku yang telah
dilakukannya “misalnya siswa menyontek dengan menyalahkan guru dikarenakan guru
tidak mengajarkan materi dengan baik”
b. Siswa merasa bahwa apa yang dilakukannya
tidak melukai orang lain “misalnya siswa merasa bahwa menyontek tidak merugikan
atau melukai orang lain”
c. Menghukum penghukum. Penghukum
misalnya guru dianggap sebagai seorang yang munafik (Sykes & Matza, 1957,
p. 668). Siswa mengganggap bahwa seorang guru pun pernah melakukan mencontek ,
guru pernah melakukan hal yang sama
apabila menghadapi situasi yang sedang dialami siswa misalnya sedang ujian.
d. Rasa Loyalitas terhadap teman. Dalam
hal ini siswa merasa bahwa terjadi konflik antara norma nilai yang dianut oleh
masyarakat luas dengan norma nilai yang dianut oleh kelompoknya (Sykes &
Matza, 1957). Dalam konflik ini siswa akan lebih mengikuti norma nilai yang
dianut oleh kelompoknya daripada oleh masyarakat luas. Misalnya ketika siswa melihat temannya sedang
mencontek pada saat ujian siswa tersebut akan tetap diam dan tidak akan
melaporkannya kepada pengawas karena siswa tersebut harus memiliki loyalitas
sesama anggota kelompoknya.
e. Mempertahankan keberlangsungan.
Dalam teori neutralisasi ini deikenal istilah “shoot or be shoot” dengan kata lain apabila saya tidak mencontek
sekarang, saya akan gagal sekolah, jika saya gagal sekolah maka keluarga akan
menolak saya dan pada akhirnya tidak punya tempat untuk bernaung”. Siswa tidak
akan merasa bersalah untuk mencontek dikarenakan perilaku tersebut harus
dilakukan dengan tujuan untuk bertahan hidup. Sykes and Matza (Arvidson; 2004;
30-40)
Pelaksanaan
Intervensi
Keseluruhan
sesi intervensi mencakup tiga tahap utama dan sepuluh sub-tahap dalam konseling
REB sebagaimana dikemukakan oleh Dryden dan Neenan (2004). Berikut ini adalah
tahap utama dan sub-tahap pelaksanaan konseling rasional emotif perilaku untuk
meningkatkan self efficacy peserta didik.
1.
Tahap
Awal (Beginning Stage)
a. Membangun aliansi kerja
b. Mengajarkan model ABC pada konseli
2. Tahap Pertengahan (Middle
Stage)
a. Mengatasi keraguan-keraguan konseli
b. Mempertimbangkan untuk mengubah fokus masalah
c. Mengidentifikasi dan memodifikasi keyakinan irrasional inti
d. Mendorong konseli untuk terlibat dalam tugas-tugas yang
relevan
e. Membantu konseli menginternalisasikan keyakinan rasional
baru dengan menggunakan teknik-teknik utama dalam konseling REB
f.
Mengatasi
hambatan terhadap perubahan
g. Mendorong konseli untuk memelihara dan meningkatkan apa yang
telah dicapai
h. Mendorong konseli untuk menjadi konselor bagi dirinya
sendiri
3. Tahap
Akhir (Ending Stage)
Dalam tahap akhir ini konselor diperkenankan memberikan
penghargaan terhadap konseli atas peran aktif dalam mengikuti sesi intervensi
konseling, serta menawarkan layanan konseling individual dengan pendekatan
rasional emotif perilaku.
Tahapan Implementasi Konseling
Rasional Emotif Perilaku
Implementasi Konseling Rasional
Emotif Perilaku terdiri atas tiga langkah yaitu awal, tengah dan akhir. Pelaksanaan
intervensi dilakukan sesuai dengan rancangan intervensi yang telah dibuat.
Pelaksanaan intervensi dilakukan setelah kondisi baseline sudah stabil. Pelaksanaan intervensi dilaksanakan selama 8 sesi, setiap sesi dilakukan dengan waktu 60 menit. Penentuan jadwal intervensi
berdasarkan kesepakatan antara peneliti dan siswa. Uraian Proses KREP adalah sebagai berikut.
1.
Tahap Awal (beginning
Stage)
a.
Sesi Kesatu
Pada sesi ini konseling diarahkan
untuk membangun kekakraban dan kesepahaman yang menjadi landasan kegiatan
konseling berikutnya. Terdapat tiga langkah dalam tahap ini, langkah pertama
adalah memapankan kesepakatan dalam konseling. Kesepakatan yang dimaksud
meliputi kesepatakan berkaitan dengan keterikatan antara konselor dengan konseli
(bond), Penetapan tujuan (Goal) dan tugas yang harus dilakukan
konselor dan konseli.
Konselor mengajarkan tentang konsep self efficacy, dan konsep teori ABC.
Pada langkah kedua ini, konselor harus dapat membawa konseli pada tiga insight utama (three main insight), meliputi : bahwa gangguan pada individu bukan
disebabkan oleh peristiwa tetapi pikiran tentang peristiwa tersebut, individu
terus bermasalah karena terus memelihara pikiran irasional tersebut, cara
mengatasinya adalah keluar dari pikiran irrasional tersebut dan menggantikannya
dengan pikiran rasional.
Konselor menjelaskan kepada konseli
tentang konsep Konseling rasional emotif perilaku. Indikator keberhasilan dari
sesi pertama yaitu konseli memahami garis besar sesi intervensi konseling,
memahami model ABC dalam konseling rasional emotif perilaku serta dapat
memahami tentang konsep self efficacy.
2.
Tahap tengah (Middle
Stage)
b.
Sesi kedua
Sesi intevensi ke dua adalah
berdamai dengan banyakanya masalah yang dialami konseli. Idealnya memang
konselor fokus membahas dan menuntaskan satu masalah baru kemudian pindah ke
masalah yang lain. Akan tetapi pada beberapa kondisi bisa tidak seperti itu.
Untuk itu maka kosnelor perlu mendiskusikan dengan konseli apakah perlu
menyelesaikan tersebut dahulu atau melanjutkannya.
Setelah konseli sepakat untuk
menyelesaikan masalah yang sedang dihadapinya, kemudian konselor
mengidentifikasi inti keyakinan irrasional dari permasalahan tersebut. Pada
langkah ini konselor melakukan eksplorasi pemikiran-pemikiran irrasional konseli
yang menyebabkan rendahnya self efficacy
konseli. Konselor membantu konseli memahami mengapa konseli memelihara
keyakinan irrasionalnya. Terdapat 3 alasan, pertama mungkin karena konseli
senang dengan situasi dan kondisi dimana konseli terus memlihara keyakina
irrasional. Kedua, mungkin konseli menghindari keyakinan irrasionalnya sehingga
melakukan perbuatan yang berlawanan.
Ketiga, bisa jadi pikiran irasional tersebut tampak pada perbuatan yang
merupakan kompensasi.
Nama kegiatan layanan dalam sesi ini
adalah ‘Keyakinan Rasional dan Irasional, teknik konseling rasional emotif
behavioral yang digunakan yakni DIBS
(Disputing Irrational beliefs) dan Referensi (Referenting), dan Rational Emotif
Imagery. Media yang digunakan berupa handout
materi, lembar skala self efficacy dan bagan model ABC.
Mendorong konseli terlibat dalam
mengerjakan pekerjaan tugas dirumah. Tugas yang diberikan tentunya harus
menantang tapi tidak berlebihan, sesuaikan dengan kemmapuan konseli. Tugas yang
telah dikerjakan konseli tentunya perlu direview dalam sesi konseling.
c. Sesi Ketiga
Sesi
ini bertujuan memfasilitasi konseli untuk mengimplementasikan model ABC dalam
konseling rasional emotif behavioral untuk menghapuskan keyakinan irrasional yang berkaitan dengan self efficacy yang menyebabkan siswa mencontek. Teknik
konseling rasional emotif perilaku yang
digunakan yakni DIBS (Disputing Irrational beliefs) dan humor (humorous exaggeration methods).
Indikator keberhasilan dari sesi ini adalah konseli dapat mengimplementasikan
model ABC dan DE untuk menghapus keyakinan irasional yang berkaitan dengan self efficacy yang menyebabkan siswa mencontek.
d.
Sesi Keempat
Sesi ini
bertujuan untuk memfasilitasi konseli agar mampu meningkatkan self efficacy dalam menghadapi tantangan
sehari-hari dan beragam kesulitan hidup. Nama kegiatan layanan dalam sesi ini
adalah ‘Aku bisa!’, teknik konseling rasional emotif perilaku yang digunakan
yakni presisi semantik. Media yang digunakan berupa video motivasional dan
lembar self talk. Indikator
keberhasilan dari sesi ini adalah konseli menunjukkan pemahaman terhadap konsep
seputar self efficacy, serta dapat
menggunakan teknik presisi semantik untuk menyusun kalimat positif yang
menyatakan kesiapan untuk mengaplikasikan langkah-langkah menumbuhkan dan
meningkatkan self efficacy.
e.
Sesi Kelima
Sesi ini bertujuan untuk memfasilitasi konseli agar
mampu mengembangkan keterampilan dalam membuat perencanaan dan menentukan
tujuan yang ingin dicapai secara lebih spesifik dan sistematis. Nama kegiatan layanan dalam sesi ini adalah ‘Target operasi’, teknik konseling
rasional emotif behavioral yang digunakan yakni self statement dan penggunaan paksaan. Media yang digunakan berupa handout materi, bagan step-by-step goal statement dan lembar self statement. Indikator keberhasilan
dari sesi ini adalah konseli menunjukkan pemahaman terhadap konsep seputar
keterampilan merencanakan dan menetukan tujuan, dengan menggunakan teknik self statement dan penggunaan paksaan
konseli dapat menuliskan minimal tiga jenis pernyataan tujuan yang spesifik,
sistematis dan sesuai dengan langkah-langkah goal statement, serta dapat menyusun rencana pencapaian tujuan yang
minimal terdiri atas tiga tahapan.
f.
Sesi Keenam
Sesi ke enam adalah mendorong
konseli untuk menjaga dan meningkatkan capaian terapeutiknya. kemudian membuat
generalisasi perubahan-perubahan psikoterapeuitik. Setelah konseli mampu
membuat generalisasi maka langkah selanjutnya adalah menjadikan konseli sehat
secara psikologi. Artinya kosneli didorong untuk menggunakan capaian-capaian
dalam konseling pada keadaan/situasi lain dalam hidup konseli. Teknik yang
digunakan pada sesi ini adalah Desentisasi (desensitization),
teknik ini berbasis dari prinsip-prinsip pembanjiran dalam terapi behavioral
dimana konseli secara sengaja dihadapkan pada hal-hal yang mereka hindari atau
takuti sampai mereka menghasilkan coping yang diperlukan terhadap hal-hal
tersebut
g.
Sesi Ketujuh
Sesi ke tujuh
adalah menjadikan konseli lebih dapat mengaktualisasikan diri. Mendorong
konseli untuk menjadi konselor bagi dirinya sendiri. dengan cara mempraktikkan teknik konseling REB yang telah
dipelajari sebagai upaya meningkatkan self efficacy, membantu konseli menyimpulkan pelajaran dan manfaat yang
diperoleh dari keseluruhan sesi intervensi konseling. Nama kegiatan layanan dalam sesi ini adalah ‘Review’, teknik konseling rasional
emotif behavioral yang digunakan yakni diskusi dan penugasan. Media yang
digunakan berupa lembar kesan dan pelajaran, instrumen Instrumen self Efficacy dan
kartu pujian. Indikator keberhasilan dari sesi ini adalah konseli dapat
menuliskan kesan dan pelajaran yang diperoleh setelah mengikuti keseluruhan
sesi intervensi konseling, konseli dapat memilih dan mempraktikkan minimal tiga
teknik konseling REB terhadap diri sendiri sebagai upaya untuk meningkatkan self efficacy serta dapat mengisi seluruh item instrumen sesuai dengan
petunjuk pengisian dan waktu yang telah ditentukan.
3.
Tahap Akhir (Ending
Stage)
h.
Sesi Kedelapan
Sesi ke delapan
adalah tahap dimana konsleor akan mengakhiri sesi konseling. Tahap ini memliki
dua langkah. Pertama adalah memberikan gambaran kepada konseli mengenai
bagaimana mencegah agar konseli tidak mengulangi kesalahannya lagi. Dan kedua
mengakhiir sesi konseling. Terdapat lima keadaan prasyarat dimana konselor
dapat mengakhiri sesi konsleing meliputi :
1)
Sudah menginternalisasikan teknik konseling rasional
emotif perilaku dan tampak ada perubahan.
2)
Kesuskesan pengentasan masalah dengan konseling rasional
emotif perilaku berdampak pada area lain dalam hidup konseli.
3)
Konseli berhasil mengidentifikasi, menantang, dan
mengubah keyakinan yang irrasional.
4)
Membangun kompetensi dan kepercayaan diri menadi
seorang konselor bagi dirinya sendiri dan setuju untuk mengakhiri sesi
konseling.
Evaluasi
dan Indikator Keberhasilan
Evaluasi keberhasilan intervensi
konseling rasional emotif
perilaku untuk
meningkatkan self efficacy
siswa dilakukan pada setiap sesi
intervensi dan setelah seluruh intervensi selesai dilaksanakan. Selain evaluasi
keberhasilan secara umum, evaluasi proses juga dilakukan dengan melihat
pencapaian tujuan pada setiap sesi dengan menggunakan jurnal kegiatan, lembar
monitoring diri dan lembar observasi.
Indikator keberhasilan pada masing-masing sesi dan
lembar observasi
1.
Pada sesi 1, indikator keberhasilannya sebagai berikut
a. Terjalin hubungan yang hangat antara konselor dengan konseli.
b. Konseli mengenal dan memperoleh pemahaman terkait konsep dasar model ABC dalam konseling rasional emotif perilaku.
c. Siswa memhami urgensi permasalahan self efficacy rendah untuk segera ditangani.
d. Siswa berkomitmen untuk mengikuti setiap sesi konseling sampai
pada sesi akhir yaitu sesi 8.
2.
Pada sesi 2, indikator keberhasilannya sebagai berikut.
a. Siswa mampu mengidentifikasi keyakinan irasional yang
menjadi penyebab self efficacy rendah.
b.
Konseli
mampu menyelesaikan tugas yang diberikan oleh konselor.
3.
Pada sesi 3, indikator keberhasilannya adalah sebagai berikut.
Konseli dapat mengimplementasikan model
ABC dan DE untuk menghapus keyakinan irasional yang menyebabkan self efficacy rendah.
4.
Pada sesi 4, indikator keberhasilannya adalah sebagai berikut.
a. Konseli menunjukkan
pemahaman terhadap konsep seputar self
efficacy.
b. Konseli dapat
menggunakan teknik presisi semantik untuk menyusun kalimat positif yang
menyatakan kesiapan untuk mengaplikasikan langkah-langkah menumbuhkan dan
meningkatkan self efficacy.
5.
Pada sesi 5, indikator keberhasilannya adalah sebagai berikut.
a. Konseli menunjukkan
pemahaman terhadap konsep seputar keterampilan merencanakan dan menetukan
tujuan.
b. Dengan menggunakan
teknik self statement dan penggunaan
paksaan konseli dapat menuliskan minimal tiga jenis pernyataan tujuan yang
spesifik, sistematis dan sesuai dengan langkah-langkah goal statement.
c.
Konseli dapat menyusun rencana pencapaian tujuan yang minimal terdiri atas
tiga tahapan.
6.
Pada sesi 6, indikator keberhasilannya adalah sebagai berikut
a.
Konseli mampu menggunakan pengalaman hidup sebagai suatu langkah untuk
mencapai keberhasilan akademik.
b.
Konseli mampu memahami tentang pentingnya belajar dari pengalaman agar
mampu mencapai kesuksesan dimasa yang akan dating.
7.
Pada sesi 7, indikator keberhasilannya adalah sebagai berikut
Konseli
dapat memilih dan mempraktikkan minimal tiga teknik konseling REB terhadap diri
sendiri sebagai upaya untuk meningkatkan self
efficacy.
8.
Pada sesi 8, indikator keberhasilannya adalah sebagai berikut.
a. Konseli dapat
menyimpulkan pemahaman dan manfaat yang diperoleh dari seluruh sesi intervensi
konseling yang sudah dilaksanakan.
b. Konseli dapat
menuliskan kesan dan pelajaran yang diperoleh setelah mengikuti keseluruhan
sesi intervensi konseling.
c.
Konseli mampu berpikir secara rasional
yang ditunjukan dengan adanya perilaku baru yang lebih sehat.
Terdapat beberapa format
yang digunakan dalam konseling rasional emotif perilaku yakni format A, Format
B, Jurnal 1 sampai dengan 5 lembar monitoring diri, lembar observasi dan lembar
homework. Berikut penjelasan tentang format-format tersebut.
a.
Format A merupakan format yang dirancang untuk mengidentifikasi pemahaman
sisiwa tentang dirinya
b.
Format B merupakan angket pengungkap self
efficacy
c.
Jurnal kegiatan, lembar monitoring diri, lembar observasi dan lembar
homework dan dirancang sesuai dengan komponen yang ada dalam konseling rasional
emotif perilaku dan disesuaikan dengan aspek-aspek self efficacy yang hendak diungkap.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar