Selasa, 15 Oktober 2019

Konseling Rasional Emotif Perilaku


RANCANGAN PROGRAM KONSELING RASIONAL EMOTIF PERILAKU UNTUK MENINGKATKAN SELF EFFICACY SISWA YANG MENCONTEK


Oleh :
Asep Rohiman Lesmana
Yadi Mulyadi


Rasional
Usaha peningkatan mutu pendidikan telah dilakukan oleh pemerintah dengan berbagai cara, termasuk perubahan kurikulum dan penerapan standar minimal kelulusan dalam ujian nasional (UN). Semenjak diberlakukannya sistem Ujian Nasional (UN) dengan standar minimal kelulusan, maka semakin banyak praktik kecurangan yang dilakukan baik oleh murid, guru, kepala sekolah, bahkan pejabat daerah yang berwenang pun terkait dalam melakukan kecurangan ini.
Salah satu bentuk kecurangan yang dilakukan oleh siswa adalah menyontek. Perilaku menyontek atau cheating sendiri merupakan salah satu fenomena pendidikan yang sering dan bahkan selalu muncul menyertai aktivitas proses belajar mengajar, namun ironisnya jarang mendapat perhatian yang serius dari praktisi pendidikan di Indonesia. Praktik menyontek banyak dijumpai dalam dunia pendidikan, masyarakat pun cenderung mentolerir dan menganggapnya sebagai hal yang wajar (Haryono, dkk, 2001 : 10).
Masalah mencontek juga terdapat di SMKN 4 Sukabumi. Dari hasil wawancara dengan guru BK SMKN 4 Sukabumi menunjukan bahwa perilaku mencontek yang dilakukan tidak hanya terjadi ketika dilaksanakan ulangan umum, tetapi terjadi pada kegiatan tes harian. Pernyataan guru BK tersebut diperkuat oleh hasil studi pendahuluan berupa penyebaran angket perilaku mencontek yang dilakukan oleh peneliti di SMKN 4 Sukabumi terhadap 154 siswa
Dari hasil studi pendahuluan menunjukan aspek tertinggi bentuk perilaku mencontek terdapat pada indikator social aktif, melihat jawaban teman yang lain ketika ujian berlangsung 106 siswa (69 %), aspek tertinggi alasan perilaku mencontek pada indikator self efficacy, memiliki banyak keraguan ketika menjawab soal 124 siswa (80 %), harus mendapatkan nilai yang paling tinggi dikelas 126 siswa (82 %), mengetahui banyak teman-teman yang mencontek ketika ujian 131 siswa  (85 %), dituntut oleh bapak/ibu guru untuk mendapatkan nilai yang sama dengan teman-teman lain 146 siswa  (95 %), dan aspek tertinggi gejala mencontek, harus mempertahankan harga diri dengan segala cara 128 siswa (83 %) dan harus berkompetisi dengan teman-teman 127 siswa (82 %).
Perilaku mencontek dapat merugikan banyak pihak, baik itu individu yang mencontek atau individu yang dicontek. Dengan mencontek siswa tidak dapat mengetahui seberapa besar kemampuan dirinya dalam memahami atau menguasai pelajaran yang telah didapatkan, sedangkan orang yang dicontek secara tidak langsung haknya diambil oleh siswa yang mencontek. Selain itu perialku mencontek dapat menyulitkan guru dalam mengukur tingkat keberhasilan dari proses pembelajaran disekolah. Meskipun siswa menyadari bahwa mencontek itu melanggar peraturan, tetapi pada saat melihat temannya yang mencontek maka siswa tersebut akan berperilaku mencontek  (McCabe et al. 1999; Graham et al. 1994; Kibler and Kibler 1993; Stevens and Stevens 1987). Siswa meyakini bahwa mencontek bisa diterima karena teman yang lain juga melakukan mencontek.
Temuan ini dapat dijelaskan oleh Teori Perbandingan Sosial, yang mengusulkan bahwa orang sering melihat ke orang lain untuk memvalidasi sikap dan keyakinan mereka sendiri. Semakin siswa percaya bahwa teman-temannya juga mencontek semakin siswa merasa bahwa mencontek dapat diterima. Penjelasan di atas diperkuat oleh penelitian McCabe et al (2001) yang menemukan bahwa perilaku teman sebaya mempengaruhi perilaku mencontek siswa. Teori tersebut juga di dukung oleh teori Bandura yang menyatakan bahwa kebanyakan perilaku menyimpang dipelajari melalui perilaku orang lain.
Dengan semakin maraknya perilaku mencontek di kalangan siswa maka perlu diketahui faktor apa saja yang melatar belakangi siswa melakukan perilaku mencontek tersebut. Salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku mencontek adalah self efficacy. Hal ini sejalan dengan penelitian Anderman & Murdock yang menyebutkan bahwa faktor yang membuat seorang siswa menyontek antara lain kurangnya self efficacy dalam mengerjakan tugas atau menghadapi ujian (Anderman & Murdock, 2007 : 2). Menurut Marsden & Neill (2005) konstruk psikologi seperti self efficacy memiliki hubungan yang kuat dengan perilaku menyontek.
Hal ini diperkuat oleh penelitian Nababan (2006), yang meneliti mengenai hubungan antara self-efficacy dengan frekuensi mencontek. Hasil penelitian menujukkan, peningkatan self efficacy dapat menurunkan frekuensi mencontek. Lebih lanjut Supardi (2010) meneliti mengenai keefektifan teknik modelling untuk meningkatkan self-efficacy Hasil penelitian menunjukkan bahwa siswa yang menyontek disebabkan oleh self efficacy yang rendah
Siswa yang memiliki self efficacy rendah akan merasakan ketakutan (fear) dalam dirinya. Rasa takut ini akan membangkitkan kecemasan pada dirinya. Siswa yang diliputi oleh rasa takut ini tidak yakin dan tidak percaya diri mengenai pemikirannya. Pada akhirnya siswa yang memiliki self efficacy rendah akan cepat menyerah, cemas dan cenderung menghindari sesuatu yang dianggap mengancam, termasuk saat menghadapi ujian. Mereka yang memiliki self efficacy rendah akan merasa kesulitan dalam menghadapi ujian, dan merasa tidak percaya pada kemampuannya untuk menyelesaikan soal-soal ujian, sehingga mereka merasa tidak bisa menggunakan usaha sendiri untuk mengatasi kesulitannya. Hal tersebut yang membuatnya membawa alat-alat tertentu atau memanfaatkan orang lain untuk membantunya dalam menyelesaikan soal-soal ujian, meskipun cara-cara tersebut tidak dibenarkan.
Siswa yang memiliki self efficacy tinggi merasa yakin akan kompetensi yang diimilikinya, sehingga saat ujian berlangsung, mereka akan mengandalkan kompetensinya tersebut untuk mengerjakan soal soal ujian. Siswa yang memiliki self efficacy tinggi tidak akan melihat tuntutan sebagai suatu ancaman, tetapi akan melihat tuntutan sebagai tantangan yang harus diselesaikan melalui usaha dan kemampuan yang dimilikinya (Chemers, Hu, & Garcia dalam Wedge, 2012 : 3).
Sehingga diperlukan sebuah metode yang efektif dan sistematis untuk meningkatkan self efficacy siswa yang terindikasi mencontek dengan asumsi bahwa Siswa yang memiliki self efficacy tinggi akan merasa yakin akan kompetensi yang diimilikinya, sehingga saat ujian berlangsung, mereka akan mengandalkan kompetensinya tersebut untuk mengerjakan soal soal ujian. Siswa yang memiliki self efficacy tinggi tidak akan melihat tuntutan sebagai suatu ancaman, tetapi akan melihat tuntutan sebagai tantangan yang harus diselesaikan melalui usaha dan kemampuan yang dimilikinya (Chemers, Hu, & Garcia dalam Wedge, 2012 : 3). Metode yang digunakan diantaranya adalah konseling rasional emotif perilaku.
Asumsi yang mendukung penggunaan konseling rasional emotif perilaku dalam meningkatkan self efficacy siswa yang mencontek sebagaimana dikemukakan oleh Ellis & Grigger (Huchinson dan Chapman, 2010: 9) bahwa konseling rasional emotif perilaku menggunakan pemikiran rasional untuk mengubah individu menjadi agen aktif lingkungan yang mampu menghadapi kesulitan hidup dan berbagai peristiwa. Berfikir rasional berarti berfikir ilmiah, jelas dan fleksibel yang dapat membawa pada peningkatan resiliensi diri, determinasi diri dan kompetensi diri.
Asumsi lain yang mendukung penggunaan penggunaan pendekatan konseling rasional emotif perilaku untuk meningkatkan self efficacy adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh Darminto (2007) yang menyatakan, secara khusus konseling rasional emotif perilaku dapat diterapkan secara efektif untuk menangani berbagai kesulitan kognisi, emosi dan perilaku yang berkaitan dengan psikologis maupun psikopatologis.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Baek and Yu (Myung Ah Kim, et.al, 2014 ; 5) menemukan adanya peningkatan self efficacy siswa setelah diberikan konseling Rasional Emotif Perilaku. Demikain juga penelitian yang dilakukan oleh Kim yang meneliti konseling kelompok karir, konseling rasional emotif perilaku efektif dalam meningkatkan self efficacy mahasiswa. (Myung Ah Kim, et.al, 2014 ; 5). Penelitian yang dilakukan oleh Opole dan Okopi (2012 : 216) menyatakan bawa Konseling Rasional Emotif Perilaku berhasil meningkatkan self efficacy siswa beresiko di Universitas NOUN Nigeria. Selain itu konseling Rasional emotif perilaku juga berhasil meningkatkan self efficacy  pasrtisipan penelitian dan membuat mereka lebih berusaha keras dalam menyelesaikan tugas dan tidak mudah menyerah

Tujuan Intervensi
Tujuan intervensi konseling rasional emotif perilaku adalah untuk meningkatkan self efficacy siswa dengan memanfaatkan kemampuan yang dimiliki dengan merubah cara berpikir yang irasional menjadi rasional.
Secara umum tujuan intervensi adalah meningkatkan self efficacy siswa yang terindikasi melakukan perilaku mencontek  kelas X SMKN 4 Sukabumi tahun ajaran 2014/2015. Secara khusus tujuan intervensi adalah mengembangkan keterampilan konseli untuk :
a.      Memiliki kemampuan, ketekukan dan komitmen dalam menyelesaikan ujian atau tugas-tugas sekolah yang sulit
b.      Memiliki keyakinan diri yang kuat terhadap potensi diri dalam menghadapi tuntutan-tuntutan ujian dan tugas-tugas sekolah sebagai peserta didik
c.       Membantu konseli agar dapat memaknai pengalaman terdahulu untuk membantu menyelesaikan tugas atau pekerjaan yang dilakukan dimasa sekarang.
d.      Membantu konseli agar dapat menampilkan sikap yang menunjukan keyakinan diri pada seluruh proses pembelajaran.
e.      Membantu konseli agar dapat membiasakan diri untuk menata pikirannya menjadi positif atau memiliki keyakinan diri yang tinggi.

Asumsi-Asumsi Intervensi
Asumsi intervensi dijadikan pijakan dalam menentukan setiap layanan yang akan dilaksanakan :
a.      Siswa mencontek salah satu faktornya dipengaruhi oleh rendahnya self efficacy dalam mengerjakan tugas atau menghadapi ujian.
b.      Pemikiran irrasional siswa menjadi salah satu peyebab rendahnya self efficacy siswa
c.       Konseling rasional emotif perilaku merupakan intervensi konseling yang mengajarkan individu untuk mengarahkan atau menerapkan keyakinan yang rasional dengan mengubah cara berpikir irasional menjadi rasional
d.      Konseling rasional emotif perilaku digunakan untuk mengatasi segala permasalahan yang timbul sebagai hasil dari interaksi individu dengan lingkungan sosial dikarenakan manusia bukanlah hasil dari dorongan tidak sadar melainkan merupakan hasil belajar, sehingga dapat diubah dengan memanipulasi dan mengkreasi kondisi-kondisi pembentuk tingkah laku
e.      Teknik pekerjaan rumah (homework) digunakan untuk membantu dalam proses intervensi, dikarenakan pencapaian tujuan konseling akan memerlukan waktu lama jika hanya mengandalkan teknik dan topik selama sesi intervensi berlangsung.

Kompetensi Konselor
Dalam melaksanakan konseling Rasional Emotif Perilaku  untuk meningkatkan self efficacy siswa yang terindikasi memiliki perilaku mencontek harus didukung oleh kompetensi memadai yang dimiliki oleh peneliti yang sekaligus berperan sebagai pemberi intervensi.
Kompetensi yang harus dimiliki oleh Konselor adalah:
a.      Konselor memiliki latar belakang pendidikan minimal S1 bimbingan dan konseling, dan akan lebih baik apabila telah memiliki sertifikat konselor profesional.
b.      Menunjukkan penerimaan tanpa syarat terhadap konseli sebagai manusia yang tidak lepas dari kesalahan.
c.       Memiliki pemahaman dan pengetahuan yang memadai mengenai konsep self efficacy
d.      Memiliki pemahaman, pengetahuan, dan keterampilan yang memadai dalam konseling rasional emotif perilaku.
e.      Memahami karakteristik siswa SMKN 4 Sukabumi yang merupakan subjek dari penelitian ini.
f.        Menggunakan beragam teknik terapeutik dalam proses konseling (eklektisisme) namun tetap sejalan dan konsisten dengan teori konseling REB serta mengaplikasikan konseling REB dalam cara yang konsisten dengan keilmuan namun tetap dalam penyampaian yang fleksibel dan non dogmatis
g.      Mampu berperan sebagai guru/pengajar yang aktif direktif serta komunikator yang terampil selaku pemimpin diskusi dan mitra terapeutik bagi konseli.

Sasaran Intervensi
Populasi yang menjadi subjek intervensi/konseli dalam konseling melalui konseling rasional emotif perilaku untuk meningkatkan self efficacy adalah siswa kelas X SMKN 4 Sukabumi, yang teridentifikasi memiliki tingkat self efficacy rendah.
Perhitungan kriteria self efficacy yang digunakan sebagai acuan dalam pengelompokan skor self efficacy siswa dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Kriteria Self efficacy
Rentang
Tinggi
X> 2.633,34
Sedang
1.366,67 < X ≤ 2.633,35
Rendah
X ≤1.366,67

Dari hasil studi pendahuluan terhadap 154 siswa kelas X SMKN 4 Kota sukabumi tahun ajaran 2014/2015 menunjukkan bahwa terdapat 3 orang siswa yang memiliki self efficacy rendah, stabil pada kondisi baseline, dan menyatakan bersedia mengikuti konseling rasional emotif perilaku dimana ketiga siswa tersebut memiliki skor 1270, 1100 dan 650, apabila dilihat dari kriteria gambaran umum self efficacy siswa makan ketiga siswa tersebut berada dalam kriteria rendah.
Sedangkan apabila dilihat per aspek maka gambaran self efficacy siswa dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Sasaran Intervensi
Nama
Jenis Kelamin
Usia
Aspek yang Rendah
NK
Laki-laki
16 Tahun
Level dan Generality
AB
Laki-laki
16 Tahun
Level, Strenght dan Generality
MB
Laki-laki
16 Tahun
Level, Strenght dan Generality

Ketiga siswa tersebut antara lain adalah sebagai berikut :
1.        Konseli Nk
Hasil wawancara dengan konseli didapatkan data bahwa konseli pernah beberapa kali ketahuan mencontek sehingga pernah dipanggil oleh guru bimbingan dan konseling karena masalah tersebut. Alasan siswa mencontek dikarenakan siswa tidak yakin terhadap kemampuannya sendiri siswa selalu merasa minder apabila mengisi jawaban ujian sebagai contoh misalnya siswa sudah mengerjakan soal ujian tetapi tetap saja mencontek kepada siswa lain dengan alasan untuk menyamakan jawabannya. Pada aspek self efficacy siswa memiliki kriteria rendah pada aspek level dan generality
Alasan lain siswa mencontek dikarenakan siswa menganggap bahwa mencontek itu merupakan hal yang wajar dikarenakan hampir semua siswa melakukannya. Meskipun siswa menyadari bahwa mencontek itu melanggar peraturan, tetapi pada saat melihat temannya yang mencontek maka siswa tersebut akan berperilaku mencontek  (McCabe et al. 1999; Graham et al. 1994; Kibler and Kibler 1993; Stevens and Stevens 1987)..
       Beberapa alasan lainnya yang siswa dikemukakan mengapa siswa tersebut mencontek berhubungan dengan teori neutralisasi. LaBeff, et al (Arvidson, 2004; 44) menyatakan bahwa meskipun siswa menyadari bahwa secara umum mencontek itu salah, tetapi melalui neutralisasi siswa berpendapat dalam keadaan tertentu, perilaku mencontek tidak saja diperlukan tetapi dapat diterima. Dibawah ini terdapat beberapa bentuk teori neutralisasi yaitu :
a.      Menghindari rasa tanggung jawab, pada tahap ini siswa berusaha menghindari dari rasa tanggung jawab karena siswa menyalahkan orang lain atau lingkungan sekitar atas perilaku yang telah dilakukannya “misalnya siswa menyontek dengan menyalahkan guru dikarenakan guru tidak mengajarkan materi dengan baik”
b.      Siswa merasa bahwa apa yang dilakukannya tidak melukai orang lain “misalnya siswa merasa bahwa menyontek tidak merugikan atau melukai orang lain”
c.       Menghukum penghukum. Penghukum misalnya guru dianggap sebagai seorang yang munafik (Sykes & Matza, 1957, p. 668). Siswa mengganggap bahwa seorang guru pun pernah melakukan mencontek , guru pernah  melakukan hal yang sama apabila menghadapi situasi yang sedang dialami siswa misalnya sedang ujian.
d.      Rasa Loyalitas terhadap teman. Dalam hal ini siswa merasa bahwa terjadi konflik antara norma nilai yang dianut oleh masyarakat luas dengan norma nilai yang dianut oleh kelompoknya (Sykes & Matza, 1957). Dalam konflik ini siswa akan lebih mengikuti norma nilai yang dianut oleh kelompoknya daripada oleh masyarakat luas.  Misalnya ketika siswa melihat temannya sedang mencontek pada saat ujian siswa tersebut akan tetap diam dan tidak akan melaporkannya kepada pengawas karena siswa tersebut harus memiliki loyalitas sesama anggota kelompoknya.
e.      Mempertahankan keberlangsungan. Dalam teori neutralisasi ini deikenal istilah “shoot or be shoot” dengan kata lain apabila saya tidak mencontek sekarang, saya akan gagal sekolah, jika saya gagal sekolah maka keluarga akan menolak saya dan pada akhirnya tidak punya tempat untuk bernaung”. Siswa tidak akan merasa bersalah untuk mencontek dikarenakan perilaku tersebut harus dilakukan dengan tujuan untuk bertahan hidup. Sykes and Matza (Arvidson; 2004; 30-40)

2.      Konseli AB
Hasil wawancara dengan konseli didapatkan data bahwa konseli selalu mencontek pada saat ujian, menurut konseli hampir setiap kali ujian baik itu ujian harian ataupun ujian semester konseli selalu mencontek. Hasil wawancara peneliti dengan wali kelas diperoleh informasi bahwa beberapa kali pengawas ujian mengetahui perilaku mencontek siswa dan perilaku tersebut langsung dilaporkan kepada wali kelas. Alasan siswa mencontek dikarenakan siswa tidak yakin terhadap kemampuannya sendiri siswa selalu merasa minder apabila mengisi jawaban ujian sebagai contoh siswa selalu menunggu jawaban dari orang lain atau mencontek dari teman yang lain daripada mengerjakannya sendiri. Pada aspek self efficacy siswa memiliki kriteria rendah pada aspek level, strength dan generality
Siswa meyakini bahwa mencontek bisa diterima karena teman yang lain juga melakukan mencontek. hal ini sejalan dengan teori yang diungkapkan oleh Arvidson (2004; 46) yang menyatakan untuk mempertahakan prestasi akademik atau untuk mencapai tujuan karir dimasa depan, siswa menganggap bahwa mencontek merupakan sesuatu yang rasional.
       Beberapa alasan lainnya yang siswa dikemukakan mengapa siswa tersebut mencontek berhubungan dengan teori neutralisasi. LaBeff, et al (Arvidson, 2004; 44) menyatakan bahwa meskipun siswa menyadari bahwa secara umum mencontek itu salah, tetapi melalui neutralisasi siswa berpendapat dalam keadaan tertentu, perilaku mencontek tidak saja diperlukan tetapi dapat diterima. Dibawah ini terdapat beberapa bentuk teori neutralisasi yaitu :
a.      Menghindari rasa tanggung jawab, pada tahap ini siswa berusaha menghindari dari rasa tanggung jawab karena siswa menyalahkan orang lain atau lingkungan sekitar atas perilaku yang telah dilakukannya “misalnya siswa menyontek dengan menyalahkan guru dikarenakan guru tidak mengajarkan materi dengan baik”
b.      Siswa merasa bahwa apa yang dilakukannya tidak melukai orang lain “misalnya siswa merasa bahwa menyontek tidak merugikan atau melukai orang lain”
c.       Menghukum penghukum. Penghukum misalnya guru dianggap sebagai seorang yang munafik (Sykes & Matza, 1957, p. 668). Siswa mengganggap bahwa seorang guru pun pernah melakukan mencontek , guru pernah  melakukan hal yang sama apabila menghadapi situasi yang sedang dialami siswa misalnya sedang ujian.
d.      Rasa Loyalitas terhadap teman. Dalam hal ini siswa merasa bahwa terjadi konflik antara norma nilai yang dianut oleh masyarakat luas dengan norma nilai yang dianut oleh kelompoknya (Sykes & Matza, 1957). Dalam konflik ini siswa akan lebih mengikuti norma nilai yang dianut oleh kelompoknya daripada oleh masyarakat luas.  Misalnya ketika siswa melihat temannya sedang mencontek pada saat ujian siswa tersebut akan tetap diam dan tidak akan melaporkannya kepada pengawas karena siswa tersebut harus memiliki loyalitas sesama anggota kelompoknya.
e.      Mempertahankan keberlangsungan. Dalam teori neutralisasi ini deikenal istilah “shoot or be shoot” dengan kata lain apabila saya tidak mencontek sekarang, saya akan gagal sekolah, jika saya gagal sekolah maka keluarga akan menolak saya dan pada akhirnya tidak punya tempat untuk bernaung”. Siswa tidak akan merasa bersalah untuk mencontek dikarenakan perilaku tersebut harus dilakukan dengan tujuan untuk bertahan hidup. Sykes and Matza (Arvidson; 2004; 30-40).



3.      Konseli MB
Hasil wawancara dengan konseli didapatkan data bahwa perilaku mencontek siswa sudah menjadi kebiasaan setiap kali dilaksanakan ujian baik itu ujian harian ataupun ujian semester. konseli mengaku tidak pernah satu kalipun mengerjakan ujian tanpa mencontek. Konseli sering ketahuan mencontek oleh pengawas bahkan pernah dipanggil oleh wali kelas dan guru bimbingan dan konseling atas perilaku menconteknya tersebut tetapi bukan berhenti untuk melakukan perilaku tersebut tetapi konseli malah mencari cara atau strategi mencontek terbaru agar tidak diketahui oleh pengawas.
Alasan siswa mencontek dikarenakan siswa tidak yakin terhadap kemampuannya sendiri siswa selalu merasa minder apabila mengisi jawaban ujian sebagai contoh misalnya siswa sudah mengerjakan soal ujian tetapi tetap saja mencontek kepada siswa lain dengan alasan untuk menyamakan jawabannya. Pada aspek self efficacy siswa memiliki kriteria rendah pada aspek level, strength dan generality
Selain itu alasan lain siswa mencontek dikarenakan siswa menganggap bahwa mencontek itu merupakan hal yang wajar dikarenakan hampir semua siswa melakukannya. Meskipun siswa menyadari bahwa mencontek itu melanggar peraturan, tetapi pada saat melihat temannya yang mencontek maka siswa tersebut akan berperilaku mencontek  (McCabe et al. 1999; Graham et al. 1994; Kibler and Kibler 1993; Stevens and Stevens 1987).
Temuan ini dapat dijelaskan oleh teori perbandingan sosial, yang mengusulkan bahwa orang sering melihat ke orang lain untuk memvalidasi sikap dan keyakinan mereka sendiri. Semakin siswa percaya bahwa teman-temannya juga mencontek semakin siswa merasa bahwa mencontek dapat diterima. Penjelasan di atas diperkuat oleh penelitian McCabe et al (2001) yang menemukan bahwa perilaku teman sebaya mempengaruhi perilaku mencontek siswa. Teori tersebut juga di dukung oleh teori Bandura yang menyatakan bahwa kebanyakan perilaku menyimpang dipelajari melalui perilaku orang lain.
        Beberapa alasan lainnya yang siswa dikemukakan mengapa siswa tersebut mencontek berhubungan dengan teori neutralisasi. LaBeff, et al (Arvidson, 2004; 44) menyatakan bahwa meskipun siswa menyadari bahwa secara umum mencontek itu salah, tetapi melalui neutralisasi siswa berpendapat dalam keadaan tertentu, perilaku mencontek tidak saja diperlukan tetapi dapat diterima. Dibawah ini terdapat beberapa bentuk teori neutralisasi yaitu :
a.      Menghindari rasa tanggung jawab, pada tahap ini siswa berusaha menghindari dari rasa tanggung jawab karena siswa menyalahkan orang lain atau lingkungan sekitar atas perilaku yang telah dilakukannya “misalnya siswa menyontek dengan menyalahkan guru dikarenakan guru tidak mengajarkan materi dengan baik”
b.      Siswa merasa bahwa apa yang dilakukannya tidak melukai orang lain “misalnya siswa merasa bahwa menyontek tidak merugikan atau melukai orang lain”
c.       Menghukum penghukum. Penghukum misalnya guru dianggap sebagai seorang yang munafik (Sykes & Matza, 1957, p. 668). Siswa mengganggap bahwa seorang guru pun pernah melakukan mencontek , guru pernah  melakukan hal yang sama apabila menghadapi situasi yang sedang dialami siswa misalnya sedang ujian.
d.      Rasa Loyalitas terhadap teman. Dalam hal ini siswa merasa bahwa terjadi konflik antara norma nilai yang dianut oleh masyarakat luas dengan norma nilai yang dianut oleh kelompoknya (Sykes & Matza, 1957). Dalam konflik ini siswa akan lebih mengikuti norma nilai yang dianut oleh kelompoknya daripada oleh masyarakat luas.  Misalnya ketika siswa melihat temannya sedang mencontek pada saat ujian siswa tersebut akan tetap diam dan tidak akan melaporkannya kepada pengawas karena siswa tersebut harus memiliki loyalitas sesama anggota kelompoknya.
e.      Mempertahankan keberlangsungan. Dalam teori neutralisasi ini deikenal istilah “shoot or be shoot” dengan kata lain apabila saya tidak mencontek sekarang, saya akan gagal sekolah, jika saya gagal sekolah maka keluarga akan menolak saya dan pada akhirnya tidak punya tempat untuk bernaung”. Siswa tidak akan merasa bersalah untuk mencontek dikarenakan perilaku tersebut harus dilakukan dengan tujuan untuk bertahan hidup. Sykes and Matza (Arvidson; 2004; 30-40)

Pelaksanaan Intervensi
Keseluruhan sesi intervensi mencakup tiga tahap utama dan sepuluh sub-tahap dalam konseling REB sebagaimana dikemukakan oleh Dryden dan Neenan (2004). Berikut ini adalah tahap utama dan sub-tahap pelaksanaan konseling rasional emotif perilaku untuk meningkatkan self efficacy peserta didik.
1.         Tahap Awal (Beginning Stage)
a.      Membangun aliansi kerja
b.      Mengajarkan model ABC pada konseli
2.  Tahap Pertengahan (Middle Stage)
a.      Mengatasi keraguan-keraguan konseli
b.      Mempertimbangkan untuk mengubah fokus masalah
c.       Mengidentifikasi dan memodifikasi keyakinan irrasional inti
d.      Mendorong konseli untuk terlibat dalam tugas-tugas yang relevan
e.      Membantu konseli menginternalisasikan keyakinan rasional baru dengan menggunakan teknik-teknik utama dalam konseling REB
f.        Mengatasi hambatan terhadap perubahan
g.      Mendorong konseli untuk memelihara dan meningkatkan apa yang telah dicapai
h.      Mendorong konseli untuk menjadi konselor bagi dirinya sendiri
3. Tahap Akhir (Ending Stage)
Dalam tahap akhir ini konselor diperkenankan memberikan penghargaan terhadap konseli atas peran aktif dalam mengikuti sesi intervensi konseling, serta menawarkan layanan konseling individual dengan pendekatan rasional emotif perilaku.

Tahapan Implementasi Konseling Rasional Emotif Perilaku
Implementasi Konseling Rasional Emotif Perilaku terdiri atas tiga langkah yaitu awal, tengah dan akhir. Pelaksanaan intervensi dilakukan sesuai dengan rancangan intervensi yang telah dibuat. Pelaksanaan intervensi dilakukan setelah kondisi baseline sudah stabil. Pelaksanaan intervensi dilaksanakan selama 8 sesi, setiap sesi dilakukan dengan waktu 60 menit. Penentuan jadwal intervensi berdasarkan kesepakatan antara peneliti dan siswa. Uraian Proses KREP adalah sebagai berikut.
1.       Tahap Awal (beginning Stage)
a.      Sesi Kesatu
Pada sesi ini konseling diarahkan untuk membangun kekakraban dan kesepahaman yang menjadi landasan kegiatan konseling berikutnya. Terdapat tiga langkah dalam tahap ini, langkah pertama adalah memapankan kesepakatan dalam konseling. Kesepakatan yang dimaksud meliputi kesepatakan berkaitan dengan keterikatan antara konselor dengan konseli (bond), Penetapan tujuan (Goal) dan tugas yang harus dilakukan konselor dan konseli.
Konselor mengajarkan tentang konsep self efficacy, dan konsep teori ABC. Pada langkah kedua ini, konselor harus dapat membawa konseli pada tiga insight utama (three main insight), meliputi : bahwa gangguan pada individu bukan disebabkan oleh peristiwa tetapi pikiran tentang peristiwa tersebut, individu terus bermasalah karena terus memelihara pikiran irasional tersebut, cara mengatasinya adalah keluar dari pikiran irrasional tersebut dan menggantikannya dengan pikiran rasional.
Konselor menjelaskan kepada konseli tentang konsep Konseling rasional emotif perilaku. Indikator keberhasilan dari sesi pertama yaitu konseli memahami garis besar sesi intervensi konseling, memahami model ABC dalam konseling rasional emotif perilaku serta dapat memahami tentang konsep self efficacy.

2.       Tahap tengah (Middle Stage)
b.      Sesi kedua
Sesi intevensi ke dua adalah berdamai dengan banyakanya masalah yang dialami konseli. Idealnya memang konselor fokus membahas dan menuntaskan satu masalah baru kemudian pindah ke masalah yang lain. Akan tetapi pada beberapa kondisi bisa tidak seperti itu. Untuk itu maka kosnelor perlu mendiskusikan dengan konseli apakah perlu menyelesaikan tersebut dahulu atau melanjutkannya.
Setelah konseli sepakat untuk menyelesaikan masalah yang sedang dihadapinya, kemudian konselor mengidentifikasi inti keyakinan irrasional dari permasalahan tersebut. Pada langkah ini konselor melakukan eksplorasi pemikiran-pemikiran irrasional konseli yang menyebabkan rendahnya self efficacy konseli. Konselor membantu konseli memahami mengapa konseli memelihara keyakinan irrasionalnya. Terdapat 3 alasan, pertama mungkin karena konseli senang dengan situasi dan kondisi dimana konseli terus memlihara keyakina irrasional. Kedua, mungkin konseli menghindari keyakinan irrasionalnya sehingga melakukan perbuatan yang  berlawanan. Ketiga, bisa jadi pikiran irasional tersebut tampak pada perbuatan yang merupakan kompensasi.
Nama kegiatan layanan dalam sesi ini adalah ‘Keyakinan Rasional dan Irasional, teknik konseling rasional emotif behavioral yang digunakan yakni DIBS (Disputing Irrational beliefs) dan Referensi (Referenting), dan Rational Emotif Imagery. Media yang digunakan berupa handout materi, lembar skala self efficacy dan bagan model ABC.
Mendorong konseli terlibat dalam mengerjakan pekerjaan tugas dirumah. Tugas yang diberikan tentunya harus menantang tapi tidak berlebihan, sesuaikan dengan kemmapuan konseli. Tugas yang telah dikerjakan konseli tentunya perlu direview dalam sesi konseling.
c.       Sesi Ketiga
Sesi ini bertujuan memfasilitasi konseli untuk mengimplementasikan model ABC dalam konseling rasional emotif behavioral untuk menghapuskan keyakinan irrasional yang berkaitan dengan self efficacy yang menyebabkan siswa mencontek. Teknik konseling rasional emotif perilaku yang digunakan yakni DIBS (Disputing Irrational beliefs) dan  humor (humorous exaggeration methods). Indikator keberhasilan dari sesi ini adalah konseli dapat mengimplementasikan model ABC dan DE untuk menghapus keyakinan irasional yang berkaitan dengan self efficacy yang menyebabkan siswa mencontek.
d.      Sesi Keempat
Sesi ini bertujuan untuk memfasilitasi konseli agar mampu meningkatkan self efficacy dalam menghadapi tantangan sehari-hari dan beragam kesulitan hidup. Nama kegiatan layanan dalam sesi ini adalah ‘Aku bisa!’, teknik konseling rasional emotif perilaku yang digunakan yakni presisi semantik. Media yang digunakan berupa video motivasional dan lembar self talk. Indikator keberhasilan dari sesi ini adalah konseli menunjukkan pemahaman terhadap konsep seputar self efficacy, serta dapat menggunakan teknik presisi semantik untuk menyusun kalimat positif yang menyatakan kesiapan untuk mengaplikasikan langkah-langkah menumbuhkan dan meningkatkan self efficacy.
e.      Sesi  Kelima
Sesi ini bertujuan untuk memfasilitasi konseli agar mampu mengembangkan keterampilan dalam membuat perencanaan dan menentukan tujuan yang ingin dicapai secara lebih spesifik dan sistematis. Nama kegiatan layanan dalam sesi ini adalah ‘Target operasi’, teknik konseling rasional emotif behavioral yang digunakan yakni self statement dan penggunaan paksaan. Media yang digunakan berupa handout materi, bagan step-by-step goal statement dan lembar self statement. Indikator keberhasilan dari sesi ini adalah konseli menunjukkan pemahaman terhadap konsep seputar keterampilan merencanakan dan menetukan tujuan, dengan menggunakan teknik self statement dan penggunaan paksaan konseli dapat menuliskan minimal tiga jenis pernyataan tujuan yang spesifik, sistematis dan sesuai dengan langkah-langkah goal statement, serta dapat menyusun rencana pencapaian tujuan yang minimal terdiri atas tiga tahapan.
f.        Sesi Keenam
Sesi ke enam adalah mendorong konseli untuk menjaga dan meningkatkan capaian terapeutiknya. kemudian membuat generalisasi perubahan-perubahan psikoterapeuitik. Setelah konseli mampu membuat generalisasi maka langkah selanjutnya adalah menjadikan konseli sehat secara psikologi. Artinya kosneli didorong untuk menggunakan capaian-capaian dalam konseling pada keadaan/situasi lain dalam hidup konseli. Teknik yang digunakan pada sesi ini adalah Desentisasi (desensitization), teknik ini berbasis dari prinsip-prinsip pembanjiran dalam terapi behavioral dimana konseli secara sengaja dihadapkan pada hal-hal yang mereka hindari atau takuti sampai mereka menghasilkan coping yang diperlukan terhadap hal-hal tersebut
g.      Sesi Ketujuh
Sesi ke tujuh adalah menjadikan konseli lebih dapat mengaktualisasikan diri. Mendorong konseli untuk menjadi konselor bagi dirinya sendiri. dengan cara mempraktikkan teknik konseling REB yang telah dipelajari sebagai upaya meningkatkan self efficacy, membantu konseli menyimpulkan pelajaran dan manfaat yang diperoleh dari keseluruhan sesi intervensi konseling. Nama kegiatan layanan dalam sesi ini adalah ‘Review’, teknik konseling rasional emotif behavioral yang digunakan yakni diskusi dan penugasan. Media yang digunakan berupa lembar kesan dan pelajaran, instrumen Instrumen self Efficacy dan kartu pujian. Indikator keberhasilan dari sesi ini adalah konseli dapat menuliskan kesan dan pelajaran yang diperoleh setelah mengikuti keseluruhan sesi intervensi konseling, konseli dapat memilih dan mempraktikkan minimal tiga teknik konseling REB terhadap diri sendiri sebagai upaya untuk meningkatkan self efficacy serta dapat mengisi seluruh item instrumen sesuai dengan petunjuk pengisian dan waktu yang telah ditentukan.

3.      Tahap Akhir (Ending Stage)
h.      Sesi Kedelapan
Sesi ke delapan adalah tahap dimana konsleor akan mengakhiri sesi konseling. Tahap ini memliki dua langkah. Pertama adalah memberikan gambaran kepada konseli mengenai bagaimana mencegah agar konseli tidak mengulangi kesalahannya lagi. Dan kedua mengakhiir sesi konseling. Terdapat lima keadaan prasyarat dimana konselor dapat mengakhiri sesi konsleing meliputi :
1)       Sudah menginternalisasikan teknik konseling rasional emotif perilaku dan tampak ada perubahan.
2)      Kesuskesan pengentasan masalah dengan konseling rasional emotif perilaku berdampak pada area lain dalam hidup konseli.
3)      Konseli berhasil mengidentifikasi, menantang, dan mengubah keyakinan yang irrasional.
4)     Membangun kompetensi dan kepercayaan diri menadi seorang konselor bagi dirinya sendiri dan setuju untuk mengakhiri sesi konseling.

Evaluasi dan Indikator Keberhasilan
Evaluasi keberhasilan intervensi konseling rasional emotif perilaku  untuk meningkatkan self efficacy siswa dilakukan pada setiap sesi intervensi dan setelah seluruh intervensi selesai dilaksanakan. Selain evaluasi keberhasilan secara umum, evaluasi proses juga dilakukan dengan melihat pencapaian tujuan pada setiap sesi dengan menggunakan jurnal kegiatan, lembar monitoring diri dan lembar observasi.
Indikator keberhasilan pada masing-masing sesi dan lembar observasi
1.       Pada sesi 1, indikator keberhasilannya sebagai berikut
a.      Terjalin hubungan yang hangat antara konselor dengan konseli.
b.      Konseli mengenal dan memperoleh pemahaman terkait  konsep dasar model ABC dalam konseling rasional emotif perilaku.
c.       Siswa memhami urgensi permasalahan self efficacy rendah untuk segera ditangani.
d.      Siswa berkomitmen untuk mengikuti setiap sesi konseling sampai pada sesi akhir yaitu sesi 8.
2.       Pada sesi 2, indikator keberhasilannya sebagai berikut.
a.      Siswa mampu mengidentifikasi keyakinan irasional yang menjadi penyebab self efficacy rendah.
b.      Konseli mampu menyelesaikan tugas yang diberikan oleh konselor.
3.      Pada sesi 3, indikator keberhasilannya adalah sebagai berikut.
Konseli dapat mengimplementasikan model ABC dan DE untuk menghapus keyakinan irasional yang menyebabkan self efficacy rendah.
4.      Pada sesi 4, indikator keberhasilannya adalah sebagai berikut.
a.      Konseli menunjukkan pemahaman terhadap konsep seputar self efficacy.
b.      Konseli dapat menggunakan teknik presisi semantik untuk menyusun kalimat positif yang menyatakan kesiapan untuk mengaplikasikan langkah-langkah menumbuhkan dan meningkatkan self efficacy.
5.      Pada sesi 5, indikator keberhasilannya adalah sebagai berikut.
a.      Konseli menunjukkan pemahaman terhadap konsep seputar keterampilan merencanakan dan menetukan tujuan.
b.      Dengan menggunakan teknik self statement dan penggunaan paksaan konseli dapat menuliskan minimal tiga jenis pernyataan tujuan yang spesifik, sistematis dan sesuai dengan langkah-langkah goal statement.
c.       Konseli dapat menyusun rencana pencapaian tujuan yang minimal terdiri atas tiga tahapan.
6.      Pada sesi 6, indikator keberhasilannya adalah sebagai berikut
a.      Konseli mampu menggunakan pengalaman hidup sebagai suatu langkah untuk mencapai keberhasilan akademik.
b.      Konseli mampu memahami tentang pentingnya belajar dari pengalaman agar mampu mencapai kesuksesan dimasa yang akan dating.
7.      Pada sesi 7, indikator keberhasilannya adalah sebagai berikut
Konseli dapat memilih dan mempraktikkan minimal tiga teknik konseling REB terhadap diri sendiri sebagai upaya untuk meningkatkan self efficacy.
8.      Pada sesi 8, indikator keberhasilannya adalah sebagai berikut.
a.      Konseli dapat menyimpulkan pemahaman dan manfaat yang diperoleh dari seluruh sesi intervensi konseling yang sudah dilaksanakan.
b.      Konseli dapat menuliskan kesan dan pelajaran yang diperoleh setelah mengikuti keseluruhan sesi intervensi konseling.
c.       Konseli mampu berpikir secara rasional yang ditunjukan dengan adanya perilaku baru yang lebih sehat.
            Terdapat beberapa format yang digunakan dalam konseling rasional emotif perilaku yakni format A, Format B, Jurnal 1 sampai dengan 5 lembar monitoring diri, lembar observasi dan lembar homework. Berikut penjelasan tentang format-format tersebut.
a.      Format A merupakan format yang dirancang untuk mengidentifikasi pemahaman sisiwa tentang dirinya
b.      Format B merupakan angket pengungkap self efficacy
c.       Jurnal kegiatan, lembar monitoring diri, lembar observasi dan lembar homework dan dirancang sesuai dengan komponen yang ada dalam konseling rasional emotif perilaku dan disesuaikan dengan aspek-aspek self efficacy yang hendak diungkap.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Penguatan Integrasi Pendidikan

PENGUATAN INTEGRASI PENDIDIKAN DALAM ERA DISUPSI Oleh :  Asep Rohiman Lesmana, M.Pd. Pendidikan merupakan suatu entitas yang s...