Konsep Dasar Stres Akademik
Oleh
Iman Lesmana
Stres akademik diartikan sebagai tekanan-tekanan yang
dihadapi individu berkaitan dengan sekolah/perguruan tinggi, dipersepsikan
secara negatif, dan berdampak pada kesehatan fisik, psikis, dan performansi
belajarnya (Campbell & Svenson, 1992;Ng Lai Oon, 2004). Stres akademik yang
dialami individu terjadi bukan semata-mata berasal dari faktor eksternal
(lingkungan kampus dan orang tua), namun faktor internal juga mempengaruhi
timbulnya stres akademik, yaitu bagaimana individu mempersepsikan tempat
belajarnya (Chan,1998:Haywood, 2004).
Stres akademik yang dialami individu berkaitan dengan, (1)
tekanan akademik (bersumber dari guru, mata
pelajaran, metode mengajar, strategi belajar, menghadapi ulangan/diskusi di
kelas), dan (2) tekanan sosial (bersumber dari teman-teman sebaya individu).
Stres yang dialami individu selanjutnya akan berpengaruh pada fisik dan aspek
psikologisnya yang akan mengakibatkan terganggunya proses belajarnya (Goldman,
Christin, Wong, & Eugene, 1997).
Sejalan dengan pemaparan diatas (Alvin, 2007) stress
akademik adalah stres yang muncul karena adanya tekanan-tekanan untuk
menunjukkan prestasi dan keunggulan dalam kondisi persaingan akademik yang
semakin meningkat sehingga mereka semakin terbebani oleh berbagai tekanan dan
tuntutan
Menurut Gusniarti (2002), stres akademik yang dialami siswa
merupakan hasil persepsi yang subjektif terhadap adanya ketidaksesuaian antara
tuntutan lingkungan dengan sumber daya aktual yang dimiliki siswa.
Berdasarkan berbagai definisi di atas, maka dapat diambil kesimpulan
bahwa stres akademik adalah suatu kondisi atau keadaan dimana terjadi
ketidaksesuaian antara tuntutan lingkungan dengan sumber daya aktual yang
dimiliki siswa sehingga mereka semakin terbebani oleh berbagai tekanan dan
tuntutan.
1. Faktor Penyebab Stres Akademik
Penyebab stres akademik menurut Gadzela dan Baloglu (2001)
dapat bersumber dari faktor internal (internal
sources) dan faktor eksternal (external sources). Stres yang
berkaitan dengan faktor internal meliputi :
a. Frustrasi
Frustasi terjadi ketika motif atau tujuan individu mengalami
hambatan dalam pencapainnya. Frustasi bisa bersumber dari dalam dan luar
individu. Frustasi yang bersumber dari luar misalnya, bencana alam, kecelakaan,
kematian, orang yang disayangi, persaingan yang tidak sehat, dan perceraian.
Frustasi yang bersumber dari dalam misalnya, cacat fisik, keyakinan, dan
frustasi yang berkaitan dengan kebutuhan rasa harga diri (Hudd, Dumlao,
Erdmann-Sager, Murray, Phan, Souka, Yokozuka, 2000).Sebagai contoh, (1)
individu yang telah berjuang keras, tetapi gagal, individu yang tersebut dapat
mengalami frustasi, dan (2) individu yang dalam keadaan terdesak dan
terburu-buru, tetapi terhambat untuk melakukan sesuatu karena macet, misalnya,
individu tersebut juga dapat merasakan frustasi.
b.
Konflik
Konflik terjadi ketika seseorang berada
di bawah tekanan untuk berespon simultan terhadap dua atau lebih
kekuatan-kekuatan yang berlawanan. Ada tiga jenis konflik yang biasa dialami,
yaitu sebagai berikut.
1). Konflik menjauh-menjauh. Individu
terjerat pada dua pilihan yang sama-sama tidak disukai, misalnya, seorang
pelajar yang sangat malas belajar, tetapi juga enggan mendapat nilai buruk,
apalgi sampai tidak naik kelas.
2). Konflik mendekat-mendekat. Individu
terjerat pada dua pilihan yang sama-sama diinginkannya, misalnya, ada suatu
acara kerja kelompok yang sangat menarik untuk diikuti, tetapi pada saat sama
juga ada film sangat menarik untuk ditonton.
3). Konflik mendekat-menjauh.Konflik
ini terjadi ketika individu terjerat dalam situasi, ia tertarik pada sesuatu,
tetapi sekaligus ingin menghindar dari situasi tertentu.Konflik tersebut paling
sering dihadapi dalam kehidupan sehari-hari, sekaligus lebih sulit
diselesaikan. Misalnya, ketika seorang individu akan mengikuti ujian, ia sadar
bahwa ia harus mempersiapkan diri dengan maksimal mendekati hari ujian, namun
ia juga tidak bisa menghindari untuk bermain play station (PS) bersama
teman-temannya.
1.
Pressures
(Tekanan)
Individu dapat mengalami tekanan dari dalam maupun luar
diri, atau keduanya. Ambisi personal bersumber dari dalam, tetapi kadang
dikuatkan oleh harapan-harapan dari pihak di luar diri. Tekanan sehari-hari
biarpun kecil misalnya banyak PR, tetapi bila menumpuk, lama-kelamaan dapat
menjadi stres yang hebat (Johri, 2004; Sheehy & Horan, 2000).
2. Self-imposed
Self-imposed berkaitan
dengan bagaiamana seseorang memaksakan atau membebankan dirinya sendiri.
Misalnya, saya harus menjadi orang yang paling hebat dalam prestasi di kelas
dan mengalahkan teman-teman lainnya atau saya sangat takut ketika akan
menghadapi ujian karena takut gagal dan tidak membanggakan orang tua.
Stresor akademik diidentifikasi dengan banyaknya tugas,
kompetisi dengan siswa lain, kegagalan, kekurangan uang, relasi yang kurang
antara sesama siswa dan guru, lingkungan yang bising, sistem semester, dan
kekurangan sumber belajar (Agolla dan Ongori, 2009). Selanjutnya, Olejnik dan
Holschuh (2007) menyatakan sumber stres akademik atau stresor akademik yang
umum antara lain:
a.
Ujian, menulis, atau kecemasan berbicara di depan umum
Beberapa siswa merasa stres sebelum ujian atau menulis
sesuatu ketika mereka tidak bisa mengingat apa yang mereka pelajari. Telapak
tangan mereka berkeringat, dan jantung berdegup kencang. Mereka merasa sakit
kepala atau merasa dingin ketika dalam situasi ujian. Biasanya siswa-siswi ini
tidak bisa melakukan yang terbaik karena mereka terlalu cemas ketika
merefleksikan apa yang telah di pelajari.
b.
Prokrastinasi
Beberapa guru menganggap bahwa siswa yang melakukan
prokrastinasi menunjukkan ketidakpedulian terhadap tugas mereka, tetapi
ternyata banyak siswa yang peduli dan tidak dapat melakukan itu secara
bersamaan. Siswa tersebut merasa sangat stres terhadap tugas mereka.
c.
Standar akademik yang tinggi
Stres akademik terjadi karena siswa ingin menjadi yang
terbaik di sekolah mereka dan guru memiliki harapan yang besar terhadap mereka.
Hal ini tentu saja membuat siswa merasa tertekan untuk sukses di level yang
lebih tinggi.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa stresor
belajar yang umum antara lain: ujian, menulis, atau kecemasan berbicara di
depan umum, prokrastinasi, standar akademik yang tinggi.
Tad (Nurdini, 2009:
38) mengemukakan stimulus atau keadaan dari dalam diri individu yang
menyebabkan stress akademik adalah :
a. aspek internal
1.
language, secara umum siswa yang
mengalami stress akademik menggunakan kata-kata yang bermakna destruktif
seperti “bosan”, “malas”,”jenuh”, dan pusing.
2.
Belief, siswa yang mengalami stress
akademik cenderung mempersepsi situasi akademik sebagai situasi yang mengancam.
3,
Memory, secara umum siswa yang
mengalami stress akademik terbelenggu oleh kegagalan masa lalu.
4.
Time, siswa yang mengalami stress
akademik cenderung tidak memiliki kesiapan dalam menghadapi tantangan.
5.
Decision, siswa yang mengalami stress
akademik cenderung menghindari tantangan.
6.
Atitude, secara umum siswa yang
mengalami stress akademik cenderung memiliki sikap yang negative dalam
menghadapisebuah persoalan.
aspek eksternal, yaitu lingkungan
sekolah yang meliputi pengharapan yang tinggi dari ihak sekolah, disiplin
sekolah, dan situasi akademik seperti kegiatan ulangan dan ujian.
2. Gejala stress akademik
Stress akademik dapat diketegorikan sebagai distress, jika
sudah mengganggu kondisi psikologis dan fisiologis siswa. Gejala stress
akademik seiring dengan gejala stress secara umum, sebab stress akademik adalah
bagian dari stress gejala stress yang berupa perilaku, pikiran, reaksi fisik
maupun reaksi emosi yang muncul akibat adanya tuntutan akademik. Reaksi gejala
stress akademik yang bersifat negative (Wahyuningsih, 2011:21) yaitu sebagai
berikut :
a.
Psikologis
reaksi gejala Psikologis biasanya
yang ditunjukan oleh siswa yang mengalami stress akademik antara lain gugup,
suka berbohong, tidak disiplin, tidak peduli terhadap materi, suka menggerutu,
sulit konsentrasi, malas belajar, tidak mengerjakan tugas, suka mengambil jalan
pintas, tidak memiliki keterampilan, suka menyendiri, menghindari situasi
stress dan cenderung menyalahkan orang lain.
b.
Reaksi fisik
Siswa yang mengalami
stress akademik akan cenderung mudah lelah, sakit perut, memegang benda dengan
erat, seluruh otot tubuhnya menjadi tegang, sakit kepala, suka berkeringat,
dingin, sering buang air kecil, denyut jantung meningkat, tangan menjadi dingin.
c.
Kognitif
Gejala pada aspek pikiran antara
lain, bingung pikiran menjadi kacau, pelupa, tidak memiliki tujuan hidup,
berfikir negative, prestasi menurun, kehilangan harapan, merasa tidak berguna,
merasa tidak menikmati hidup, sulit berkonsentrasi, sulit membuat keputusan,
tidak memiliki prioritas.
d.
reaksi emosi
reaksi emosi pada siswa yang
mengalami stress akademik yaitu: mudah marah, mudah tersinggung, panic, mudah
kecewa, kurang rasa humor, gelisah dan merasa ketakutan.
3. Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Stres Akademik
Alvin (2007) mengemukakan bahwa stres akademik ini
diakibatkan oleh dua faktor yaitu internal dan eksternal.
1)
Faktor internal yang mengakibatkan stres akademik, yaitu:
a.
Pola pikir
Individu yang berfikir mereka tidak dapat mengendalikan
situasi mereka cenderung mengalami stres lebih besar. Semakin besar kendali
yang siswa pikir dapat ia lakukan, semakin kecil kemungkinan stres yang akan
siswa alami.
b.
Kepribadian
Kepribadian seorang siswa dapat menentukan tingkat toleransinya
terhadap stres. Tingkat stres siswa yang optimis biasanya lebih kecil
dibandingkan siswa yang sifatnya pesimis.
c.
Keyakinan
Penyebab internal selanjutnya yang turut menentukan tingkat
stres siswa adalah keyakinan atau pemikiran terhadap diri. Keyakinan terhadap
diri memainkan peranan penting dalam menginterpretasikan situasi-situasi
disekitar individu. Penilaian yang diyakini siswa, dapat mengubah cara
berfikirnya terhadap suatu hal bahkan dalam jangka panjang dapat membawa stres
secara psikologis.
2)
Faktor eksternal yang mengakibatkan stres akademik
a.
Pelajaran lebih padat
Kurikulum dalam sistem pendidikan telah ditambah bobotnya
dengan standar lebih tinggi. Akibatnya persaingan semakin ketat, waktu belajar
bertambah dan beban pelajar semakin berlipat. Walaupun beberapa alasan tersebut
penting bagi perkembangan pendidikan dalam negara, tetapi tidak dapat menutup
mata bahwa hal tersebut menjadikan tingkat stres yang dihadapi siswa meningkat
pula.
b.
Tekanan untuk berprestasi tinggi
Para siswa sangat ditekan untuk berprestasi dengan baik
dalam ujian-uijan mereka. Tekanan ini terutama datang dari orang tua, keluarga
guru, tetangga, teman sebaya, dan diri sendiri.
c.
Dorongan status sosial
Pendidikan selalu menjadi simbol status sosial. Orang-orang
dengan kualifikasi akademik tinggi akan dihormati masyarakat dan yang tidak
berpendidikan tinggi akan dipandang rendah. Siswa yang berhasil secara akademik
sangat disukai, dikenal, dan dipuji oleh masyarakat. Sebaliknya, siswa yang
tidak berprestasi di sekolah disebut lamban, malas atau sulit. Mereka dianggap
sebagai pembuat masalah dan cendrung ditolak oleh guru, dimarahi orang tua, dan
diabaikan teman-teman sebayanya.
d.
Orang tua saling berlomba
Dikalangan orang tua yang lebih terdidik dan kaya informasi,
persaingan untuk menghasilkan anak-anak yang memiliki kemampuan dalam berbagai
aspek juga lebih keras. Seiring dengan menjamurnya pusat-pusat pendidikan
informal, berbagai macam program tambahan, kelas seni rupa, musik, balet, dan
drama yang juga menimbulkan persaingan siswa terpandai, terpintar dan serba
bisa.
4. Dampak Stres akademik
Individu yang mengalami stres akademik akan menunjukkan
perilaku khas antara lain (Ng Lai Oon, 2004), (1) berubah jadi murung, apatis,
dan tidak bahagia, (2) tidak mau bergaul, menutup diri, lebih suka menyendiri,
(3) mengalami penurunan prestasi di sekolah/perguruan tinggi, (4) jadi agresif
dan berperilaku cenderung merusak, (5) sering terlihat cemas, gelisah dan
gugup, (6) tidak dapat tidur tenang, selalu gelisah, bermimpi buruk, dan sering
mengigau, dan (7) mengalami perubahan pola makan, jadi suka makan atau tidak
mau makan sama sekali.
Individu yang mengalami perasaan tertekan (mengalami stres)
akan memberikan reaksi fisik, seperti denyut
jantung, napas, dan ketegangan otot-otot tertentu meningkat. Respon
mental dan fisik individu terhadap stres akademik akan berdampak pada
perilakunya. Kemungkinan amarahnya meledak, menjadi agresif, mengamuk, tertawa,
atau sebaliknya sedih dan gelisah.
Reaksi seperti ini biasanya muncul jika stres yang dialami berkepanjangan.
Respon lain adalah perilaku gemetar, bicara cepat, tidak konsentrasi, dan lesu.
Dibandingkan dengan individu yang normal, perubahan perilaku
individu yang mengalami stres akademik akan lebih nyata, namun terkadang orang
dewasa, baik itu guru maupun orang tua salah menilai dan menganggap mereka
memiliki masalah perilaku. Kenyataannya tidaklah demikian, perubahan perilaku
mungkin hanya akibat individu tersebut merasa tertekan dan tidak tahu harus
berbuat apa.
Pengalaman stres cenderung disertai emosi, dan orang yang
mengalami stres menggunakan emosi itu dalam menilai stres (Leong & Vaux,
1991). Dari berbagai emosi yang ada, emosi yang biasa menyertai stres adalah
takut, sedih atau depresi, dan merupakan emosi yang biasa muncul pada waktu
seseorang merasa, entah nyata atau hanya dalam bayangan, berhadapan dengan hal
yang berbahaya atau dalam situasi bahaya.
Stres juga dapat menimbulkan rasa sedih (depression). Perbedaan antara sedih yang normal dan yang
tidak normal sulit ditentukan. Orang yang diliputi rasa sedih atau depresi pada umumnya tidak bahagia,
diliputi rasa putus asa, dan cenderung pasif (Hewit & Flett, 1993).Rasa
lain yang menyertai stres adalah amarah. Dari marah dapat muncul sikap dan
tindakan agresif dalam kehidupan seseorang.Perilaku bisa tepat, yaitu perilaku
yang konstruktif, membangun dan baik. Hal ini terjadi, misalnya, pada waktu
banyak orang mengalami penderitaan bersama sehingga orang bisa saling
memperhatikan dan membantu. Namun, perilaku juga dapat tidak tepat bila stres
disertai rasa marah, cemas, rendah diri, perilaku agresif, dan destruktif bisa
bertambah.
Stres akademik yang dialami individu dalam jangka waktu yang
panjang dapat mengakibatkan hal sebagi berikut :
1. Menurunnya daya tahan tubuh individu sehingga mudah sakit
Salah satu contoh adalah sakit perut yang dialami individu
menjelang ulangan/ujian, bahkan menyebabkan demam. Stres berkepanjangan yang
dialami individu tanpa ada solusinya kelak dikemudian hari dapat memicu
penyakit-penyakit kardiovaskular, seperti tekanan darh tinggi, kolesterol, dan
serangan jantung (Sarafino,1998).
2. Mempengaruhi kesehatan mental individu
Stres akademik yang berkepanjangan akan mengakibatkan kelelahan
mental dan patah semangat, serta mengalami masalah-masalah perilaku dan
psikologis pada individu (depresi, kecemas berlebihan, dan psikosomatik).
Masalah psikosomatik adalah masalah pada fisik yang dipicu faktor mental
(Binder, 1996).Fobia adalah salah satu dampak psikologis lain dari stres yang
berkepanjangan. Individu-individu yang terus tertekan dalam suatu hal akan
mengembangkan rasa takut terhadap hal tersebut, bahkan berlebihan. Contoh
klasiknya adalah fobia terhadap ujian. Individu-individu yang tidak dapat
mengelola stresnya akan berpengaruh pada kepercayaan dirinya.
Kombinasi ketidakmampuan individu mengatasi stres dengan
stres berkepanjangan dapat menyebabkan individu mengalami masalah perilaku :
berperilaku negatif, membuat onar, pasif, emosi meledak-ledak, antisosial, dan
merokok. Selain itu, stres yang berkepanjangan juga akan menyebabkan depresi
dan penyakit gangguan mental lainnya.
5. Pengukuran Stress Akedemik
Tingkat stress dalam belajar dapat diukur dengan
bermacam-macam inventori diantaranya Student-live
Stres inventory oleh Gadzella (1991) yang sudah banyak digunakan sebagai
alat ukur pengungkap stres akademik, ataupun pengembangan instrument stress
yang didasari pada landasan teori yang digunakan dalam penelitian dengan
disertai judgement dari pihak yang kompeten dibidangnya.
Adapun landasan teori yang digunakan dalam penelitian ini
adalah Morris (1990) mengklasifikasikan stressor ke dalam
lima kategori dan juga mengidentifikasikan empat reaksi terhadap stres, yaitu:
a. Frustasi (Frustration)
Terjadi ketika kebutuhan pribadi terhalangi
dan seseorang gagal dalam mencapai tujuan yang diinginkannya. frustrasi dapat
terjadi sebagai akibat dari keterlambatan, kegagalan, kehilangan, kurangnya
sumber daya, atau diskriminasi. Frustrasi berasal dari bahasa Latin frustratio, yaitu perasaan
kecewaatau jengkel akibat terhalang dalam pencapaian tujuan. Frustasi dapat
diartikan sebagai keadaan terhambat dalam mencapai suatu tujuan (Markam,2003). Frustasi menurut JP. Chaplin (2006:201) adalah rintangan
atau penggagalan tingkah laku untuk mencapai sasaran; satu keadaan ketegangan
yang tak menyenangkan, dipenuhi kecemasan, dan aktivitas simpatetis yang
semakin meninggi disebabkan oleh perintangan dan hambatan. Orang seringkali
mengalami hambatan dalam pemuasan suatu kebutuhan, motif dan keinginan. Keadaan
terhambat dalam mencapai suatu tujuan dinamakan frustasi (Markam, 2003). Frustrasi merupakan ketegangan yang tak menyenangkan yang
disebabkan oleh rintangan dan hambatan. Frustrasi dapat berasal dari dalam
(internal) dan dari luar diri individu (eksternal). Sumber frustrasi yang
berasal dari dalam salahsatunya kekurangan diri sendiri seperti kurangnya rasa
percaya diri atau ketakutan pada situasi sosial yang menghalangi pencapaian
tujuan. Konflik juga dapat
menjadi sumber internal dari frustrasi saat seseorang mempunyai beberapa tujuan
yang saling berinterferensi satu sama lain.
b.
Konflik (Conflicts)
Jenis sumber stres yang kedua ini hadir ketika
pengalaman seseorang dihadapi oleh dua
atau lebih motif secara bersamaan. Morris (1990) mengidentifikasi empat jenis
konflik yaitu,: approach-approach,
avoidence-avoidence, approach-avoidence, dan multiple approach-avoidance
conflict. Hal ini sesuai dengan Kecenderungan ini menghasilkan tipe
dasar konflik (Sarafino, 2008), yaitu:
1). Approach-approach
Conflict
Muncul ketika kita tertarik
terhadap dua tujuan yang sama-sama baik. Contohnya, individu yang
mencoba untuk menurunkan
berat badan untuk
meningkatkan kesehatan maupun
untuk penampilan, namun konflik sering terjadi ketika tersedianya makanan yang
lezat.
2). Avoidance-avoidance
Conflict
Muncul ketika
kita dihadapkan pada
satu pilihan antara
dua situasi yang
tidak menyenangkan. Contohnya,
pasien dengan penyakit
serius mungkin akan
dihadapkan dengan pilihan antara dua perlakuan yang akan mengontrol atau
menyembuhkan penyakit, namun memiliki efek samping yang sangat tidak diinginkan.
Sarafino (2008) menjelaskan bahwa orang-orang dalam menghindari konflik ini
biasanya mencoba untuk menunda atau menghindar
dari keputusan tersebut.
Oleh karena itu,
biasanya avoidance-avoidance
conflict ini sangat sulit
untuk diselesaikan.
3). Approach-avoidance
Conflict
Muncul ketika
kita melihat kondisi
yang menarik dan tidak
menarik dalam satu
tujuan atau situasi.
Contohnya, seseorang yang
merokok dan ingin
berhenti, namun mereka mungkin
terbelah antara ingin
meningkatkan kesehatan dan
ingin menghindari kenaikan berat
badan serta keinginan
mereka untuk percaya
terjadi jika mereka
ingin berhenti.
c. Tekanan (Pressure)
Jenis
dari sumber stress yang ketiga yang diakui oleh Morris, tekanan didefinisikan
sebagai stimulus yang menempatkan individu dalam posisi untuk mempercepat,
meningkatkan kinerjanya, atau mengubah perilakunya. Tekanan merupakan hasil
hubungan antara peristiwa-peristiwa yang dialami individu dengan lingkungan.
Bentuk tekanan yang dihasilkan akan bergantung kepada sumber tekanan dan cara
individu tersebut meresponnya. Secara
umum tekanan mendorong individu untuk meningkatkan performa, mengintensifkan
usaha atau mengubah sasaran tingkah laku. Tekanan sering ditemui dalam
kehidupan sehari-hari dan
memiliki bentuk yang berbeda-beda pada setiap individu. Tekanan dalam beberapa
kasus tertentu dapat menghabiskan sumber-sumber daya yang dimiliki dalam proses
pencapaian sasarannya, bahkan bila berlebihan dapat mengarah pada perilaku
maladaptive. Tekanan dapat berasal dari sumber internal atau eksternal atau
kombinasi dari keduanya.
d.
Mengidentifikasi perubahan (Changes)
Tipe sumber stres yang keempat ini seperti
hal nya yang ada di seluruh tahap kehidupan, tetapi tidak dianggap penuh
tekanan sampai mengganggu kehidupan seseorang baik secara positif maupun
negative.
d. Self-Imposed
Merupakan sumber stres yang berasal dalam
sistem keyakinan pribadi pada seseorang, bukan dari lingkungan. Ini akan
dialami oleh seseorang ketika ada tidaknya stres eksternal yang nyata. Beck & Judith (1998) juga menjelaskan bahwa,
pikiran-pikiran negatif akan muncul sebagai akibat individu menilai dirinya
tidak mampu dalam mengatasi hambatan atau tekanan yang datang. Pikiran-pikiran
negatif yang menguasai struktur kognitif individu akhirnya mempengaruhi tingkah
lakunya. Jadi, stres yang timbul pada diri seseorang adalah akibat
penilaian-penilaian subjektif individu terhadap suatu kondisi, situasi atau
peristiwa lebih banyak dikuasai atau dipengaruhi oleh perasaan-perasaan atau
pikiran-pikiran negative.
Morris (1990) juga mengidentifikasikan empat reaksi
terhadap stres:
Reaksi dari fisiologis terhadap stres
menekankan hubungan antara pikiran dan fisik.
a.
Reaksi emosional
Reaksi emosional terhadap stres ini diamati
melalui emosi seperti rasa ketakutan, kecemasan, rasa bersalah, kesedihan,
depresi, atau kesepian. Situasi stres akan menghasilkan reaksi
emosional tertentu pada individu. Reaksi tersebut dapat meliputi reaksi positif
(jika stres dapat ditangani) dan reaksi negatif seperti kecemasan, kemarahan
dan depresi. Reaksi negatif timbul jika stres yang dialami individu tidak dapat
ditangani (Atkinson, 2000). Reaksi-reaksi emosi yang mungkin muncul saat
menghadapi situasi stres adalah kecemasan, kemarahan, agregasi, apati, depresi
dan gangguan kognitif.
a)
Reaksi kognitif
Reaksi Kognitif mengacu pada pengalaman
individu terhadap stres dan penilaian kognitif yang terjadi dengan penilaiannya
mengenai peristiwa stres dan kemudian apa strategi coping yang mungkin paling
tepat untuk mengelola stres. Lazarus
& Folkman (1984) berpendapat, bahwa stres dapat terjadi jika individu menilai
kemampuannya tidak cukup untuk memenuhi tuntutan situasi lingkungan fisik dan
sosial Artinya, stres akan dialami atau tidak dialami bergantung pada penilaian
subjektif individu terhadap sumber stres yang datang. Jika individu menganggap
kemampuannya cukup untuk memenuhi tuntutan lingkungan, maka stres tidak akan
terjadi. Jika individu menilai dirinya lemah, dan menganggap tuntutan orang
lain lebih berkuasa atas harapan-harapannya, maka individu itu akan terpuruk
dalam stress.
b)
Reaksi
perilaku
Reaksi dari perilaku yang berkaitan dengan reaksi
emosional seseorang terhadap stres yang dapat memberikan reaksi menangis,
menjadi kasar kepada orang lain atau diri sendiri dan, penggunaan mekanisme
pertahanan seperti rasionalisasi. Tingkah laku negatif yang muncul
ketika seseorang mengalami stres pada aspek gejala tingkah laku adalah mudah
menyalahkan orang lain dan mencari kesalahan orang lain, suka melanggar norma
karena dia tidak bisa mengontrol perbuatannya dan bersikap tak acuh pada
lingkungan, dan suka melakukan penundaan pekerjaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar