Selasa, 15 Oktober 2019

Stres Akademik


Konsep Dasar Stres Akademik
Oleh
Iman Lesmana


Stres akademik diartikan sebagai tekanan-tekanan yang dihadapi individu berkaitan dengan sekolah/perguruan tinggi, dipersepsikan secara negatif, dan berdampak pada kesehatan fisik, psikis, dan performansi belajarnya (Campbell & Svenson, 1992;Ng Lai Oon, 2004). Stres akademik yang dialami individu terjadi bukan semata-mata berasal dari faktor eksternal (lingkungan kampus dan orang tua), namun faktor internal juga mempengaruhi timbulnya stres akademik, yaitu bagaimana individu mempersepsikan tempat belajarnya (Chan,1998:Haywood, 2004).
Stres akademik yang dialami individu berkaitan dengan, (1) tekanan akademik (bersumber dari guru, mata pelajaran, metode mengajar, strategi belajar, menghadapi ulangan/diskusi di kelas), dan (2) tekanan sosial (bersumber dari teman-teman sebaya individu). Stres yang dialami individu selanjutnya akan berpengaruh pada fisik dan aspek psikologisnya yang akan mengakibatkan terganggunya proses belajarnya (Goldman, Christin, Wong, & Eugene, 1997).
Sejalan dengan pemaparan diatas (Alvin, 2007) stress akademik adalah stres yang muncul karena adanya tekanan-tekanan untuk menunjukkan prestasi dan keunggulan dalam kondisi persaingan akademik yang semakin meningkat sehingga mereka semakin terbebani oleh berbagai tekanan dan tuntutan
Menurut Gusniarti (2002), stres akademik yang dialami siswa merupakan hasil persepsi yang subjektif terhadap adanya ketidaksesuaian antara tuntutan lingkungan dengan sumber daya aktual yang dimiliki siswa.
Berdasarkan berbagai definisi di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa stres akademik adalah suatu kondisi atau keadaan dimana terjadi ketidaksesuaian antara tuntutan lingkungan dengan sumber daya aktual yang dimiliki siswa sehingga mereka semakin terbebani oleh berbagai tekanan dan tuntutan.

1. Faktor Penyebab Stres Akademik
Penyebab stres akademik menurut Gadzela dan Baloglu (2001) dapat bersumber dari faktor internal (internal sources) dan faktor eksternal (external sources). Stres yang berkaitan dengan faktor internal meliputi :
a. Frustrasi
Frustasi terjadi ketika motif atau tujuan individu mengalami hambatan dalam pencapainnya. Frustasi bisa bersumber dari dalam dan luar individu. Frustasi yang bersumber dari luar misalnya, bencana alam, kecelakaan, kematian, orang yang disayangi, persaingan yang tidak sehat, dan perceraian. Frustasi yang bersumber dari dalam misalnya, cacat fisik, keyakinan, dan frustasi yang berkaitan dengan kebutuhan rasa harga diri (Hudd, Dumlao, Erdmann-Sager, Murray, Phan, Souka, Yokozuka, 2000).Sebagai contoh, (1) individu yang telah berjuang keras, tetapi gagal, individu yang tersebut dapat mengalami frustasi, dan (2) individu yang dalam keadaan terdesak dan terburu-buru, tetapi terhambat untuk melakukan sesuatu karena macet, misalnya, individu tersebut juga dapat merasakan frustasi.
b. Konflik
Konflik terjadi ketika seseorang berada di bawah tekanan untuk berespon simultan terhadap dua atau lebih kekuatan-kekuatan yang berlawanan. Ada tiga jenis konflik yang biasa dialami, yaitu sebagai berikut.
1). Konflik menjauh-menjauh. Individu terjerat pada dua pilihan yang sama-sama tidak disukai, misalnya, seorang pelajar yang sangat malas belajar, tetapi juga enggan mendapat nilai buruk, apalgi sampai tidak naik kelas.
2). Konflik mendekat-mendekat. Individu terjerat pada dua pilihan yang sama-sama diinginkannya, misalnya, ada suatu acara kerja kelompok yang sangat menarik untuk diikuti, tetapi pada saat sama juga ada film sangat menarik untuk ditonton.
3). Konflik mendekat-menjauh.Konflik ini terjadi ketika individu terjerat dalam situasi, ia tertarik pada sesuatu, tetapi sekaligus ingin menghindar dari situasi tertentu.Konflik tersebut paling sering dihadapi dalam kehidupan sehari-hari, sekaligus lebih sulit diselesaikan. Misalnya, ketika seorang individu akan mengikuti ujian, ia sadar bahwa ia harus mempersiapkan diri dengan maksimal mendekati hari ujian, namun ia juga tidak bisa menghindari untuk bermain play station (PS) bersama teman-temannya.
1.          Pressures (Tekanan)
Individu dapat mengalami tekanan dari dalam maupun luar diri, atau keduanya. Ambisi personal bersumber dari dalam, tetapi kadang dikuatkan oleh harapan-harapan dari pihak di luar diri. Tekanan sehari-hari biarpun kecil misalnya banyak PR, tetapi bila menumpuk, lama-kelamaan dapat menjadi stres yang hebat (Johri, 2004; Sheehy & Horan, 2000).
2.       Self-imposed
Self-imposed berkaitan dengan bagaiamana seseorang memaksakan atau membebankan dirinya sendiri. Misalnya, saya harus menjadi orang yang paling hebat dalam prestasi di kelas dan mengalahkan teman-teman lainnya atau saya sangat takut ketika akan menghadapi ujian karena takut gagal dan tidak membanggakan orang tua.
Stresor akademik diidentifikasi dengan banyaknya tugas, kompetisi dengan siswa lain, kegagalan, kekurangan uang, relasi yang kurang antara sesama siswa dan guru, lingkungan yang bising, sistem semester, dan kekurangan sumber belajar (Agolla dan Ongori, 2009). Selanjutnya, Olejnik dan Holschuh (2007) menyatakan sumber stres akademik atau stresor akademik yang umum antara lain:

a. Ujian, menulis, atau kecemasan berbicara di depan umum
Beberapa siswa merasa stres sebelum ujian atau menulis sesuatu ketika mereka tidak bisa mengingat apa yang mereka pelajari. Telapak tangan mereka berkeringat, dan jantung berdegup kencang. Mereka merasa sakit kepala atau merasa dingin ketika dalam situasi ujian. Biasanya siswa-siswi ini tidak bisa melakukan yang terbaik karena mereka terlalu cemas ketika merefleksikan apa yang telah di pelajari.
b. Prokrastinasi
Beberapa guru menganggap bahwa siswa yang melakukan prokrastinasi menunjukkan ketidakpedulian terhadap tugas mereka, tetapi ternyata banyak siswa yang peduli dan tidak dapat melakukan itu secara bersamaan. Siswa tersebut merasa sangat stres terhadap tugas mereka.
c. Standar akademik yang tinggi
Stres akademik terjadi karena siswa ingin menjadi yang terbaik di sekolah mereka dan guru memiliki harapan yang besar terhadap mereka. Hal ini tentu saja membuat siswa merasa tertekan untuk sukses di level yang lebih tinggi.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa stresor belajar yang umum antara lain: ujian, menulis, atau kecemasan berbicara di depan umum, prokrastinasi, standar akademik yang tinggi.
Tad (Nurdini, 2009: 38) mengemukakan stimulus atau keadaan dari dalam diri individu yang menyebabkan stress akademik adalah :
a. aspek internal
1. language, secara umum siswa yang mengalami stress akademik menggunakan kata-kata yang bermakna destruktif seperti “bosan”, “malas”,”jenuh”, dan pusing.
2. Belief, siswa yang mengalami stress akademik cenderung mempersepsi situasi akademik sebagai situasi yang mengancam.
3, Memory, secara umum siswa yang mengalami stress akademik terbelenggu oleh kegagalan masa lalu.
4. Time, siswa yang mengalami stress akademik cenderung tidak memiliki kesiapan dalam menghadapi tantangan.
5. Decision, siswa yang mengalami stress akademik cenderung menghindari tantangan.
6. Atitude, secara umum siswa yang mengalami stress akademik cenderung memiliki sikap yang negative dalam menghadapisebuah persoalan.
            aspek eksternal, yaitu lingkungan sekolah yang meliputi pengharapan yang tinggi dari ihak sekolah, disiplin sekolah, dan situasi akademik seperti kegiatan ulangan dan ujian.

2. Gejala stress akademik
            Stress akademik dapat diketegorikan sebagai distress, jika sudah mengganggu kondisi psikologis dan fisiologis siswa. Gejala stress akademik seiring dengan gejala stress secara umum, sebab stress akademik adalah bagian dari stress gejala stress yang berupa perilaku, pikiran, reaksi fisik maupun reaksi emosi yang muncul akibat adanya tuntutan akademik. Reaksi gejala stress akademik yang bersifat negative (Wahyuningsih, 2011:21) yaitu sebagai berikut :
a. Psikologis
            reaksi gejala Psikologis biasanya yang ditunjukan oleh siswa yang mengalami stress akademik antara lain gugup, suka berbohong, tidak disiplin, tidak peduli terhadap materi, suka menggerutu, sulit konsentrasi, malas belajar, tidak mengerjakan tugas, suka mengambil jalan pintas, tidak memiliki keterampilan, suka menyendiri, menghindari situasi stress dan cenderung menyalahkan orang lain.
b. Reaksi fisik
 Siswa yang mengalami stress akademik akan cenderung mudah lelah, sakit perut, memegang benda dengan erat, seluruh otot tubuhnya menjadi tegang, sakit kepala, suka berkeringat, dingin, sering buang air kecil, denyut jantung meningkat, tangan menjadi dingin.
c. Kognitif
            Gejala pada aspek pikiran antara lain, bingung pikiran menjadi kacau, pelupa, tidak memiliki tujuan hidup, berfikir negative, prestasi menurun, kehilangan harapan, merasa tidak berguna, merasa tidak menikmati hidup, sulit berkonsentrasi, sulit membuat keputusan, tidak memiliki prioritas.
d. reaksi emosi
            reaksi emosi pada siswa yang mengalami stress akademik yaitu: mudah marah, mudah tersinggung, panic, mudah kecewa, kurang rasa humor, gelisah dan merasa ketakutan.

3. Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Stres Akademik
Alvin (2007) mengemukakan bahwa stres akademik ini diakibatkan oleh dua faktor yaitu internal dan eksternal.
1) Faktor internal yang mengakibatkan stres akademik, yaitu:
a. Pola pikir
Individu yang berfikir mereka tidak dapat mengendalikan situasi mereka cenderung mengalami stres lebih besar. Semakin besar kendali yang siswa pikir dapat ia lakukan, semakin kecil kemungkinan stres yang akan siswa alami.
b. Kepribadian
Kepribadian seorang siswa dapat menentukan tingkat toleransinya terhadap stres. Tingkat stres siswa yang optimis biasanya lebih kecil dibandingkan siswa yang sifatnya pesimis.
c. Keyakinan
Penyebab internal selanjutnya yang turut menentukan tingkat stres siswa adalah keyakinan atau pemikiran terhadap diri. Keyakinan terhadap diri memainkan peranan penting dalam menginterpretasikan situasi-situasi disekitar individu. Penilaian yang diyakini siswa, dapat mengubah cara berfikirnya terhadap suatu hal bahkan dalam jangka panjang dapat membawa stres secara psikologis.
2) Faktor eksternal yang mengakibatkan stres akademik
a. Pelajaran lebih padat
Kurikulum dalam sistem pendidikan telah ditambah bobotnya dengan standar lebih tinggi. Akibatnya persaingan semakin ketat, waktu belajar bertambah dan beban pelajar semakin berlipat. Walaupun beberapa alasan tersebut penting bagi perkembangan pendidikan dalam negara, tetapi tidak dapat menutup mata bahwa hal tersebut menjadikan tingkat stres yang dihadapi siswa meningkat pula.
b. Tekanan untuk berprestasi tinggi
Para siswa sangat ditekan untuk berprestasi dengan baik dalam ujian-uijan mereka. Tekanan ini terutama datang dari orang tua, keluarga guru, tetangga, teman sebaya, dan diri sendiri.
c. Dorongan status sosial
Pendidikan selalu menjadi simbol status sosial. Orang-orang dengan kualifikasi akademik tinggi akan dihormati masyarakat dan yang tidak berpendidikan tinggi akan dipandang rendah. Siswa yang berhasil secara akademik sangat disukai, dikenal, dan dipuji oleh masyarakat. Sebaliknya, siswa yang tidak berprestasi di sekolah disebut lamban, malas atau sulit. Mereka dianggap sebagai pembuat masalah dan cendrung ditolak oleh guru, dimarahi orang tua, dan diabaikan teman-teman sebayanya.
d. Orang tua saling berlomba
Dikalangan orang tua yang lebih terdidik dan kaya informasi, persaingan untuk menghasilkan anak-anak yang memiliki kemampuan dalam berbagai aspek juga lebih keras. Seiring dengan menjamurnya pusat-pusat pendidikan informal, berbagai macam program tambahan, kelas seni rupa, musik, balet, dan drama yang juga menimbulkan persaingan siswa terpandai, terpintar dan serba bisa.

4. Dampak Stres akademik
Individu yang mengalami stres akademik akan menunjukkan perilaku khas antara lain (Ng Lai Oon, 2004), (1) berubah jadi murung, apatis, dan tidak bahagia, (2) tidak mau bergaul, menutup diri, lebih suka menyendiri, (3) mengalami penurunan prestasi di sekolah/perguruan tinggi, (4) jadi agresif dan berperilaku cenderung merusak, (5) sering terlihat cemas, gelisah dan gugup, (6) tidak dapat tidur tenang, selalu gelisah, bermimpi buruk, dan sering mengigau, dan (7) mengalami perubahan pola makan, jadi suka makan atau tidak mau makan sama sekali.
Individu yang mengalami perasaan tertekan (mengalami stres) akan memberikan reaksi fisik, seperti denyut  jantung, napas, dan ketegangan otot-otot tertentu meningkat. Respon mental dan fisik individu terhadap stres akademik akan berdampak pada perilakunya. Kemungkinan amarahnya meledak, menjadi agresif, mengamuk, tertawa, atau sebaliknya  sedih dan gelisah. Reaksi seperti ini biasanya muncul jika stres yang dialami berkepanjangan. Respon lain adalah perilaku gemetar, bicara cepat, tidak konsentrasi, dan lesu.
Dibandingkan dengan individu yang normal, perubahan perilaku individu yang mengalami stres akademik akan lebih nyata, namun terkadang orang dewasa, baik itu guru maupun orang tua salah menilai dan menganggap mereka memiliki masalah perilaku. Kenyataannya tidaklah demikian, perubahan perilaku mungkin hanya akibat individu tersebut merasa tertekan dan tidak tahu harus berbuat apa.
Pengalaman stres cenderung disertai emosi, dan orang yang mengalami stres menggunakan emosi itu dalam menilai stres (Leong & Vaux, 1991). Dari berbagai emosi yang ada, emosi yang biasa menyertai stres adalah takut, sedih atau depresi, dan merupakan emosi yang biasa muncul pada waktu seseorang merasa, entah nyata atau hanya dalam bayangan, berhadapan dengan hal yang berbahaya atau dalam situasi bahaya.
Stres juga dapat menimbulkan rasa sedih (depression).  Perbedaan antara sedih yang normal dan yang tidak normal sulit ditentukan. Orang yang diliputi rasa sedih  atau depresi pada umumnya tidak bahagia, diliputi rasa putus asa, dan cenderung pasif (Hewit & Flett, 1993).Rasa lain yang menyertai stres adalah amarah. Dari marah dapat muncul sikap dan tindakan agresif dalam kehidupan seseorang.Perilaku bisa tepat, yaitu perilaku yang konstruktif, membangun dan baik. Hal ini terjadi, misalnya, pada waktu banyak orang mengalami penderitaan bersama sehingga orang bisa saling memperhatikan dan membantu. Namun, perilaku juga dapat tidak tepat bila stres disertai rasa marah, cemas, rendah diri, perilaku agresif, dan destruktif bisa bertambah.
Stres akademik yang dialami individu dalam jangka waktu yang panjang dapat mengakibatkan hal sebagi berikut :
1.       Menurunnya daya tahan tubuh individu sehingga mudah sakit
Salah satu contoh adalah sakit perut yang dialami individu menjelang ulangan/ujian, bahkan menyebabkan demam. Stres berkepanjangan yang dialami individu tanpa ada solusinya kelak dikemudian hari dapat memicu penyakit-penyakit kardiovaskular, seperti tekanan darh tinggi, kolesterol, dan serangan jantung (Sarafino,1998).
2.       Mempengaruhi kesehatan mental individu
Stres akademik yang berkepanjangan akan mengakibatkan kelelahan mental dan patah semangat, serta mengalami masalah-masalah perilaku dan psikologis pada individu (depresi, kecemas berlebihan, dan psikosomatik). Masalah psikosomatik adalah masalah pada fisik yang dipicu faktor mental (Binder, 1996).Fobia adalah salah satu dampak psikologis lain dari stres yang berkepanjangan. Individu-individu yang terus tertekan dalam suatu hal akan mengembangkan rasa takut terhadap hal tersebut, bahkan berlebihan. Contoh klasiknya adalah fobia terhadap ujian. Individu-individu yang tidak dapat mengelola stresnya akan berpengaruh pada kepercayaan dirinya.
Kombinasi ketidakmampuan individu mengatasi stres dengan stres berkepanjangan dapat menyebabkan individu mengalami masalah perilaku : berperilaku negatif, membuat onar, pasif, emosi meledak-ledak, antisosial, dan merokok. Selain itu, stres yang berkepanjangan juga akan menyebabkan depresi dan penyakit gangguan mental lainnya.

5. Pengukuran Stress Akedemik
            Tingkat stress dalam belajar dapat diukur dengan bermacam-macam inventori diantaranya Student-live Stres inventory oleh Gadzella (1991) yang sudah banyak digunakan sebagai alat ukur pengungkap stres akademik, ataupun pengembangan instrument stress yang didasari pada landasan teori yang digunakan dalam penelitian dengan disertai judgement dari pihak yang kompeten dibidangnya.
Adapun landasan teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah Morris (1990) mengklasifikasikan stressor ke dalam lima kategori dan juga mengidentifikasikan empat reaksi terhadap stres, yaitu:
a. Frustasi (Frustration)
Terjadi ketika kebutuhan pribadi terhalangi dan seseorang gagal dalam mencapai tujuan yang diinginkannya. frustrasi dapat terjadi sebagai akibat dari keterlambatan, kegagalan, kehilangan, kurangnya sumber daya, atau diskriminasi. Frustrasi berasal dari bahasa Latin frustratio, yaitu perasaan kecewaatau jengkel akibat terhalang dalam pencapaian tujuan. Frustasi dapat diartikan sebagai keadaan terhambat dalam mencapai suatu tujuan (Markam,2003). Frustasi menurut JP. Chaplin (2006:201) adalah rintangan atau penggagalan tingkah laku untuk mencapai sasaran; satu keadaan ketegangan yang tak menyenangkan, dipenuhi kecemasan, dan aktivitas simpatetis yang semakin meninggi disebabkan oleh perintangan dan hambatan. Orang seringkali mengalami hambatan dalam pemuasan suatu kebutuhan, motif dan keinginan. Keadaan terhambat dalam mencapai suatu tujuan dinamakan frustasi (Markam, 2003). Frustrasi merupakan ketegangan yang tak menyenangkan yang disebabkan oleh rintangan dan hambatan. Frustrasi dapat berasal dari dalam (internal) dan dari luar diri individu (eksternal). Sumber frustrasi yang berasal dari dalam salahsatunya kekurangan diri sendiri seperti kurangnya rasa percaya diri atau ketakutan pada situasi sosial yang menghalangi pencapaian tujuan. Konflik juga dapat menjadi sumber internal dari frustrasi saat seseorang mempunyai beberapa tujuan yang saling berinterferensi satu sama lain.
b.  Konflik (Conflicts)
Jenis sumber stres yang kedua ini hadir ketika pengalaman  seseorang dihadapi oleh dua atau lebih motif secara bersamaan. Morris (1990) mengidentifikasi empat jenis konflik yaitu,: approach-approach, avoidence-avoidence, approach-avoidence, dan multiple approach-avoidance conflict. Hal ini sesuai dengan Kecenderungan ini menghasilkan tipe dasar konflik (Sarafino, 2008), yaitu:
1).  Approach-approach Conflict
Muncul ketika kita tertarik terhadap dua tujuan yang sama-sama baik. Contohnya, individu  yang  mencoba  untuk  menurunkan  berat  badan  untuk  meningkatkan  kesehatan maupun untuk penampilan, namun konflik sering terjadi ketika tersedianya makanan yang lezat.
2).  Avoidance-avoidance Conflict
Muncul  ketika  kita  dihadapkan  pada  satu  pilihan  antara  dua  situasi  yang  tidak  menyenangkan.  Contohnya,  pasien  dengan  penyakit  serius  mungkin  akan  dihadapkan dengan pilihan antara dua perlakuan yang akan mengontrol atau menyembuhkan penyakit, namun memiliki efek samping yang sangat tidak diinginkan. Sarafino (2008) menjelaskan bahwa orang-orang dalam menghindari konflik ini biasanya mencoba untuk menunda atau menghindar  dari  keputusan  tersebut.  Oleh  karena  itu,  biasanya  avoidance-avoidance
conflict ini sangat sulit untuk diselesaikan.
3).  Approach-avoidance Conflict
Muncul  ketika  kita  melihat  kondisi  yang  menarik  dan tidak  menarik  dalam  satu  tujuan  atau  situasi.  Contohnya,  seseorang  yang  merokok  dan  ingin  berhenti,  namun mereka  mungkin  terbelah  antara  ingin  meningkatkan  kesehatan  dan  ingin  menghindari kenaikan  berat  badan  serta  keinginan  mereka  untuk  percaya  terjadi  jika  mereka  ingin berhenti.
c.  Tekanan (Pressure)
 Jenis dari sumber stress yang ketiga yang diakui oleh Morris, tekanan didefinisikan sebagai stimulus yang menempatkan individu dalam posisi untuk mempercepat, meningkatkan kinerjanya, atau mengubah perilakunya. Tekanan merupakan hasil hubungan antara peristiwa-peristiwa yang dialami individu dengan lingkungan. Bentuk tekanan yang dihasilkan akan bergantung kepada sumber tekanan dan cara individu tersebut meresponnya. Secara umum tekanan mendorong individu untuk meningkatkan performa, mengintensifkan usaha atau mengubah sasaran tingkah laku. Tekanan sering ditemui dalam kehidupan sehari-hari  dan memiliki bentuk yang berbeda-beda pada setiap individu. Tekanan dalam beberapa kasus tertentu dapat menghabiskan sumber-sumber daya yang dimiliki dalam proses pencapaian sasarannya, bahkan bila berlebihan dapat mengarah pada perilaku maladaptive. Tekanan dapat berasal dari sumber internal atau eksternal atau kombinasi dari keduanya.

d.   Mengidentifikasi perubahan (Changes)
Tipe sumber stres yang keempat ini seperti hal nya yang ada di seluruh tahap kehidupan, tetapi tidak dianggap penuh tekanan sampai mengganggu kehidupan seseorang baik secara positif maupun negative.
d.  Self-Imposed
Merupakan sumber stres yang berasal dalam sistem keyakinan pribadi pada seseorang, bukan dari lingkungan. Ini akan dialami oleh seseorang ketika ada tidaknya stres eksternal yang nyata. Beck & Judith (1998) juga menjelaskan bahwa, pikiran-pikiran negatif akan muncul sebagai akibat individu menilai dirinya tidak mampu dalam mengatasi hambatan atau tekanan yang datang. Pikiran-pikiran negatif yang menguasai struktur kognitif individu akhirnya mempengaruhi tingkah lakunya. Jadi, stres yang timbul pada diri seseorang adalah akibat penilaian-penilaian subjektif individu terhadap suatu kondisi, situasi atau peristiwa lebih banyak dikuasai atau dipengaruhi oleh perasaan-perasaan atau pikiran-pikiran negative.
Morris (1990) juga mengidentifikasikan empat reaksi terhadap stres:
Reaksi dari fisiologis terhadap stres menekankan hubungan antara pikiran dan fisik.
a.  Reaksi emosional
Reaksi emosional terhadap stres ini diamati melalui emosi seperti rasa ketakutan, kecemasan, rasa bersalah, kesedihan, depresi, atau kesepian. Situasi stres akan menghasilkan reaksi emosional tertentu pada individu. Reaksi tersebut dapat meliputi reaksi positif (jika stres dapat ditangani) dan reaksi negatif seperti kecemasan, kemarahan dan depresi. Reaksi negatif timbul jika stres yang dialami individu tidak dapat ditangani (Atkinson, 2000). Reaksi-reaksi emosi yang mungkin muncul saat menghadapi situasi stres adalah kecemasan, kemarahan, agregasi, apati, depresi dan gangguan kognitif.
a)     Reaksi kognitif
Reaksi Kognitif mengacu pada pengalaman individu terhadap stres dan penilaian kognitif yang terjadi dengan penilaiannya mengenai peristiwa stres dan kemudian apa strategi coping yang mungkin paling tepat untuk mengelola stres. Lazarus & Folkman (1984) berpendapat, bahwa stres dapat terjadi jika individu menilai kemampuannya tidak cukup untuk memenuhi tuntutan situasi lingkungan fisik dan sosial Artinya, stres akan dialami atau tidak dialami bergantung pada penilaian subjektif individu terhadap sumber stres yang datang. Jika individu menganggap kemampuannya cukup untuk memenuhi tuntutan lingkungan, maka stres tidak akan terjadi. Jika individu menilai dirinya lemah, dan menganggap tuntutan orang lain lebih berkuasa atas harapan-harapannya, maka individu itu akan terpuruk dalam stress.
b)      Reaksi perilaku
Reaksi dari perilaku yang berkaitan dengan reaksi emosional seseorang terhadap stres yang dapat memberikan reaksi menangis, menjadi kasar kepada orang lain atau diri sendiri dan, penggunaan mekanisme pertahanan seperti rasionalisasi. Tingkah laku negatif yang muncul ketika seseorang mengalami stres pada aspek gejala tingkah laku adalah mudah menyalahkan orang lain dan mencari kesalahan orang lain, suka melanggar norma karena dia tidak bisa mengontrol perbuatannya dan bersikap tak acuh pada lingkungan, dan suka melakukan penundaan pekerjaan.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Penguatan Integrasi Pendidikan

PENGUATAN INTEGRASI PENDIDIKAN DALAM ERA DISUPSI Oleh :  Asep Rohiman Lesmana, M.Pd. Pendidikan merupakan suatu entitas yang s...