ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PENDIDIKAN
Oleh :
Iman Lesmana
1. Pendekatan Analitis
Kejelasan maknawiyah tentang teori
kebijakan dapat ditelusuri dari litelatur tentang ketatanegaraan yang
menganggap bahwa ilmu kebijakan sering dianggap lebih dekat kepada Admistrasi
Negara dibandingkan dengan Ilmu Politik. Dalam Political Theory and Public
Policy karya Goodgin (1982), menunjukan bahwa kebijakan dari segi politik
lebih banyak memberikan perhatian kepada substansi, dibandingkan dengan
administrasi negara yang lebih memperhatikan masalah pilihan rencana, evaluasi
pelaksanaan, efisiensi dan produktivitas, serta hal lain yang
tidak berkenan dengan isi dari
kebijakan itu. Meskipun sebenarnya ilmu politik pun mengkaji ilmu kebijakan
dengan yang disebut Policy Advocacy, sehingga Godgin menyebutnya
hanyalah: "administrasi negara lama
dalam baju yang diperbaharui".
Pal
(1996) mengemukakan tiga elemen yang saling berkaitan, yaitu: (1) faktor
lingkungan yang mempengaruhi, (2) isi kebijakan itu sendiri termasuk didalamnya
maksud dan tujuan kebijakan, (3) perumusan masalah dan alat yang digunakan untuk
melaksanakan kebijakan tersebut, serta (4) akibat yang terjadi baik yang sesuai
dengan lingkungan disekitarnya. Namun
demikian, khusus dalam hal perumusan kebijakan sesuai fungsi negara atau
pemerintah sebagai stabilisator, stimulator, koordinator dan alokator.
Kemudian,
Dye (1976) yang menegaskan bahwa setiap kebijakan pemerintah seharusnya
mempertimbangkan berbagai hal sebagaimana mestinya yang ada dalam lingkungan
dan sistem politiknya. Dalam setiap kebijakan, baik itu perumusan kebijakan,
implementasi kebijakan maupun evaluasi kebijakan, maka aspek-aspek lingkungan
harus memperoleh pertimbangan yang matang, sehingga tidak bertentangan dengan
fungsi negara atau pemerintah itu sendiri. Dye
mengusulkan bahwa dalam studi kebijakan, perlu mengidentifikasi masalah,
kemudian menyusun usulan kebijakan, setelah diseleksi, maka kebijakan disahkan
untuk kemudian diimplementasikan. Kemudian, diadakan evaluasi untuk
menganalisis akibat dari kebijakan
tersebut.
Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa, dalam setiap analisis kebijakan publik paling tidak mengandung empat
unsur yang harus diperhatikan, yaitu: (1) unsur masalah; (2) tujuan; (3) cara kerja atau cara pemecahan masalah;
dan (4) otoritas publik. Unsur masalah berkaitan dengan
bidang-bidang garapan pemerintahan seperti pendidikan, kesejahteraan
masyarakat, kesehatan masyarakat, pengembangan wilayah, hubungan luar negeri,
pertahanan dan keamanan, perpajakan, kependudukan dan lain-lain; Unsur ini
lebih dikenal dengan bidang ideologi, politik, sosial-budaya, pertahanan dan
keamanan; Unsur tujuan itu berkenaan dengan sasaran yang hendak dicapai
melalui program-program yang telah ditetapkan oleh negara. Unsur cara kerja
berkaitan dengan prosedur logis dan
sistematis berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Unsur otoritas
berkenaan dengan aparatur yang diberi kepercayaan untuk melakukan aktivitas pemerintahan.
Selanjutnya, dalam memahami suatu
proses kebijakan, terdapat aspek yang sangat penting yaitu implementasi
kebijakan. Tolok ukur keberhasilan suatu kebijakan adalah pada tahap
implementasi. Menurut Dunn (1994), implementasi kebijakan lebih bersifat
kegiatan praktis, termasuk di dalamnya mengeksekusi dan mengarahkan. Dengan
demikian, implementasi kebijakan dapat disebut sebagai rangkaian kegiatan
tindak lanjut setelah sebuah kebijakan ditetapkan, baik yang terdiri atas
pengambilan keputusan, langkah-langkah yang stratejik, maupun operasional yang
ditempuh guna mewujudkan suatu program atau kebijakan menjadi kenyataan, guna
mencapai sasaran dari kebijakan yang telah ditetapkan tersebut. Tingkat
keberhasilan proses ini akan dipengaruhi berbagai unsur, baik yang bersifat
mendukung atau menghambat, serta lingkungan, baik fisik, sosial maupun budaya.
Hal yang perlu diwaspadai adalah dalam memilih alternatif untuk memecahkan
masalah, sehingga tidak mengganggu pencapaian tujuan kebijkan.
Sehubungan dengan sifat praktis dan
terkandungnya tujuan dalam perumusan kebijakan, maka implementasi kebijakan
berkenaan dengan kekuasaan, kepentingan dan strategi para pelaku, walaupun
sebenarnya menurut Pal (1996) disebut sebagai “another problem with
implementation is power”. Namun, ketika
kegagalan kebijakan terjadi, maka perlu dikaji apakah karena perumusan
kebijakan tersebut memang buruk atau karena kesalahan dalam
mengimplementasikannya.
Berhasil atau tidaknya suatu kebijakan
akan ditentukan oleh banyak faktor.
Abdul Wahab (1990:125) misalnya, mengemukakan
faktor-faktor tersebut antara lain: (1) kompleksitas kebijakan yang telah
dirumuskan, (2) kejelasan rumusan masalah dan alternatif pemecahan masalah, (3)
sumber-sumber potensial yang mendukung, (4) keahlian pelaksanaan kebijakan, (5)
dukungan dari khalayak sasaran, (6) efektifitas dan efisiensi birokrasi. Keberhasilan
atau kegagalan implementasi kebijakan dapat dievaluasi kemampuannya secara
nyata dalam mengoperasikan program-program yang telah dirancang sebelumnya.
Sebaliknya proses implementasi kebijakan dievaluasi dengan cara mengukur dan
membandingkan antara hasil akhir program-program tersebut dengan tujuan-tujuan
kebijakan.
Dalam konteks implementasi kebijakan
desentralisasi, Rondinellli & Cheema (1988:30),
memperkenalkan teori implementasi kebijakan yang orientasinya lebih menekankan
kepada hubungan pengarih faktor-faktor implementasi kebijakan desentralisasi
terhadap lembaga daerah di bidang
perencanaan dan administrasi pembangunan. Menurut konsep tersebut, ada dua
pendekatan dalam proses implementasi kebijakan yang sering dikacaukan:
Pertama, the compliance approach, yaitu yang menganggap
implementasi itu tidak lebih dari soal teknik, rutin. Ini adalah suatu proses
pelaksanaan yang tidak mengandung unsur-unsur politik yang perencanaannya sudah
ditetapkan sebelumnya oleh para pimpinan politik (political leaders).
Para administrator biasanya terdiri dari pegawai biasa yang tunduk kepada
petunjuk dari para pemimpin politik tersebut. Kedua, the political approach. Pendekatan yang kedua
ini sering disebut sebagai pendekatan politik yang mengandung “administration
as an intgral part of the policy making process in which polities are refined,
reformulated, or even abandoned in the process of implementing them.”
Administrasi dan manajemen merupakan
bagian integral yang tidak terpisahkan dari proses penetapan kebijakan. Kebijakan
dibuat karena tuntutan administrasi, dan pada saat kebijakan akan
diimplementasikan di situlah manajemen berperan. Dimana kebijakan diubah,
dirumuskan kembali, bahkan menjadi beban yang berat dalam proses implementasi.
Jadi, membuat implementasi menjadi kompleks dan tidak bisa diperhitungkan (unpredictable).
2. Faktor-Faktor yang
Berpengaruh dalam Implementasi Kebijakan
Faktor-faktor yang mempengaruhi
implementasi kebijakan belum mendapat perhatian yang serius di Indonesia,
karena kebanyakan para perumus kebijakan mengenai desentralisasi dan otonomi
daerah lebih suka menggunakan pendekatan the compliance approach daripada
the political approach. Mereka beranggapan apabila suatu kebijakan sudah
ditetapkan dan sudah diumumkan menjadi suatu kebijakan publik serta-merta akan
dapat diimplementasikan oleh para pegawai pelaksana secara teknis tanpa ada
unsur-unsur atau kendala politik apapun, dan hasil yang diharapkan segera akan
dicapai. Padahal, pada kenyataannya tidaklah demikian, justru
pada saat inilah proses kebijakan dimulai.
Keberhasilan
proses implementasi kebijakan tergantung pada kegiatan yang telah dirancang dan
pembiayaan yang cukup, di samping dipengaruhi oleh dua hal, yaitu: (1) Content
of policy, yang terdiri dari: interests affected; type of benefits;
extent of change envisioned; site of decision making; program implementators;
resources commited. (2) Context of implementation, yang terdiri dari:
power, interest, and strategies of actors involved; institusions and regime
characteristics; compiliance and responsiveness (Grindle, 1980:7-11).
Merujuk konsep-konsep seperti
dikemukakan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa implementasi kebijakan di
Indonesia menyangkut program dan kebijakan lainnya yang bukan hanya sekedar
proses teknis dalam melaksanakan perencanaan yang sudah ditetapkan, melainkan
merupakan suatu proses interaksi politik yang dinamis dan tidak dapat
diperhitungkan. Beragam faktor politik, sosial, ekonomi, perilaku dan
organisasi kesemuanya sangat mempengaruhi seberapa jauh kebijakan yang sudah
ditetapkan dapat diimplementasikan sesuai dengan yang diharapkan, dan sampai
seberapa jauh pula implementasi tersebut mencapai tujuan-tujuan dari kebijakan
itu.
Di samping itu, analisis kebijakan pendidikan yang digunakan
di Indonesia sepertinya lebih banyak menggunakan model analisis kebijakan
politik-publik yang didasarkan pada asumsi-asumsi politis. Indikatornya
dapat dikemukakan: Pertama, ketidakjelasan
dalam asumsi-asumsi yang digunakan terhadap permasalahan-permasalahan
pendidikan. Kompleksitas dan heterogenitas jenis, sifat, dan situasi yang
disebut sekolah selalu diidentikan dengan pendidikan. Sehingga tidak
heran manakala membicarakan sistem pendidikan ternyata yang dibahas adalah
sistem persekolahan; Menganalisis kebijakan pendidikan yang dianalisis ternyata
kebijakan penyelenggaraan persekolahan. Akibatnya, paradigma pendidikan yang
universal dipandang secara sempit, dan lebih banyak adaptif daripada inisiatif.
Kedua, dalam melakukan analisis
kebijakan pendidikan kurang kontekstual sebagai suatu kebijakan yang utuh dan
terintegrasi secara empirical, evaluative, normative,
predictive. Sebagai suatu
produk, kebijakan pendidikan tidak diformulasikan berdasarkan elemen-elemen
yang perlu diintegrasikan secara “sinergy”, bukan sebagai komponen yang
“terdikotomi”. Artinya, apakah rumusan-rumusan kebijakan
tersebut telah memenuhi kriteria kebijakan yang utuh atau masih ada butir-butir
yang lepas dari ruang lingkupnya.
Dalam terminologi seperti itu,
analisis kebijakan pendidikan sering diartikan sebagai suatu proses pengkajian pendidikan
secara substansial, bukan pada proses pengkajian terhadap kebijakannya.
Walaupun analisis kebijakan pendidikan dimaksudkan untuk menguraikan dan
menjelaskan latar belakang, alasan, serta akibat dari tindakan-tindakan yang
telah dilakukan oleh suatu pelaku kebijakan. Menurut pendapat saya, pengertian
tersebut mengandung kekeliruan. Kekeliruan tersebut harus segera diperbaiki
dengan jalan:
Pertama, analisis
kebijakan dalam pendidikan harus mengkaji substansi, proses dan konteks
kebijakan pendidikan secara komprehensif. Apakah proses perumusan, implementasi
dan evaluasi kebijakan sudah merujuk kaidah-kaidah keilmuan atau tidak. Apabila
studi tentang analisis kebijakan pendidikan dipandang dari sudut keilmuan,
jelas mempunyai makna imperatif dan harus merujuk pada paradigma filsafat keilmuan
yang mempunyai objek studi dan metodologi. Objek studi analisis kebijakan
pendidikan harus merujuk pada paradigma ilmu pendidikan, bukan pada paradigma
ilmu-ilmu yang lain. Ilmu pendidikan mempunyai paradigma yang berbeda dengan
paradigma ilmu-ilmu lainnya, baik dalam aspek ontologi, aksiologi dan
epistemologinya. Walaupun dalam tatanan praktek kependidikan lebih banyak
menyesuaikan diri dengan bentuk konstelasi dengan ilmu-ilmu lain. Tetapi hanya
bersifat kontekstual. Sedangkan
metodologi analisis kebijakan pendidikan, dapat saja merujuk paradigma keilmuan
yang lain dengan dimulai dengan asumsi, dianalisis menjadi serangkaian prinsip,
disintesa menjadi teori, diverifikasi dalam praktek, diobservasi menjadi
asumsi-asumsi baru, begitulah seterusnya.
Dari
aspek ontologi kebijakan, berkaitan dengan perangkat kendali sistem pendidikan
yang universal dalam bentuk cara pandang fundamental yang dijadikan nilai dasar
dalam mengembangkan manajemen pendidikan. Apabila kembali pada eksistensi
manusia, secara universal pendidikan merupakan upaya menjadikan manusia menurut
kodratnya yang mengemban amanat sebagai khalifah fil ardh, yang akan
dipertanggungjawabkan di alam kemudian. Tujuan pendidikan ialah mengembangkan
potensi manusia untuk melaksanakan amanat tersebut. Pendidikan bukan hanya
sekedar mengembangkan aspek kognitif, apektif dan psikomotorik, akan tetapi
mencakup seluruh aspek moral dan spritual.
Dalam pandangan filsafat, istilah pendidikan
mempunyai makna yang berbeda dengan pengajaran. Perbedaan ini ditegaskan
lebih gamblang oleh Nataatmadja (1982:256-259). Dalam pandangan Nataatmadja,
paradigma pendidikan didasarkan pada ilmu subyektif, dan paradigma pengajaran
didasarkan pada ilmu objektif. Terminologi ilmu subyektif didasarkan pada supra
empirikal, dan eksistensial. Sedangkan terminologi ilmu objektif didasarkan
pada rasional, empirikal, dan fenomenal.
Kedua,
pengembangan asumsi-asumsi dalam kebijakan pendidikan harus merujuk pada
asumsi-asumi pendidikan yang dikembangkan dalam paradigma filsafat pendidikan
yang universal, bukan merujuk pada paradigma filsafat politik dan
ketatanegaraan. Penerapan asumsi-asumsi politik dalam kebijakan pendidikan
sekarang ini telah membuktikan tidak cukup membawa bangsa ini ke arah
tujuan-tujuan pendidikan yang universal. Gejala disintegrasi bangsa, deka-densi
moral, korupsi-kolusi-nepotisme, diakui atau tidak, merupakan sebagian dari
kegagalan-kegagalan yang dicapai proses pendidikan selama ini. Karena itu,
memahami sistem pendidikan nasional tidak sekedar latah karena alasan-alasan
politis, dan selalu tergantung pada situasi politik kenegaraan.
Ketiga, proses
analisis terhadap kebijakan pendidikan tidak parsial, tetapi haruslah
komprehensif dan multidisipliner menyangkut rumusan, implementasi dan
evaluasi dampaknya. Analisis perumusan
kebijakan tersebut meliputi komponen-komponen yang secara eksplisit termuat
dalam rumusan kebijakan. Komponen-komponen tersebut adalah: (1) ruang lingkup
kebijakan; (2) asumsi-asumsi dasar; (3)
tujuan dan sasaran; (4) kriteria; (5) mekanisme atau prosedur yang harus
ditempuh; (6) dukungan sumber daya yang
dibutuhkan.
Kemudian, pada tahap implementasi,
yang diduga pada tahap inilah kecurangan-kecurangan itu terjadi, karena
persyaratan, kriteria, bahkan tujuan pendidikan yang universal tidak
dipedulikan lagi. Pada tahap ini seringkali terjadi penyimpangan-penyimpangan
dan upaya-upaya yang tidak rasional. Faktor-faktor yang menyebabkan
keberhasilan atau kegagalan dari implementasi kebijakan disebabkan oleh faktor
komunikasi, sumber daya, sikap, dan struktur birokrasi. Faktor komunikasi
berkenaan dengan pemahaman aparat pelaksana dalam memahami maksud dan tujuan
serta mekanisme dalam pelaksanaan kegiatan. Karena itu baik rumusan kebijakan
sebagai (message), jalur komunikasi (channel) senantiasa
dijelaskan dengan gamblang. Faktor sumber daya berkenaan dengan kompetensi
profesional aparat pelaksana dan daya dukung sarana dan prasarana yang
memadai. Faktor disposisi atau sikap berkenaan dengan tekad dan semangat para
aparat baik para pembuat kebijakan maupun pelaksana kebijakan dalam
melaksanakan kebijakan. Dan faktor struktur birokrasi berkaitan dengan standard
operating procedures (SOP) yang menjamin koordinasi setiap unsur yang
terkait dalam melaksanakan kebijakan.
Keempat, kebijakan
pendidikan tidak bisa didekati dengan hanya
menggunakan pendekatan the compliance approach, atau the
political approach secara sendiri-sendiri, tetapi harus secara
integratif. Pengalaman menunjukkan bahwa
implementasi kebijakan bukan hanya sekedar proses teknis, melainkan merupakan
suatu proses interaksi dinamis antara unsur-unsur politik, sosial, ekonomi, dan
perilaku birokrat. Unsur-unsur interaktif ini sangat mempengaruhi seberapa jauh
kebijakan yang sudah ditetapkan dapat diimplementasikan sesuai dengan yang
diharapkan, dan sampai seberapa jauh
pula implementasi kebijakan
tersebut mencapai tujuannya.
Dalam kebijakan pendidikan, bukan pada persoalan compliance atau political,
tetapi lebih menekankan kepada hubungan faktor-faktor yang mempengaruhi pada waktu
dan konteks kebijakan itu diimplementasikan.
Berdasarkan uraian tersebut, maka
untuk menilai layak-tidaknya suatu kebijakan dalam pendidikan, harus dilihat
dari ukuran-ukuran: Pertama, dari aspek
formulasi kebijakan pendidikan ialah: (1) Filsafat pendidikan yang dipakai
dasar penyelenggaraan pendidikan; (2) Teori dan Ilmu yang dipakai rujukan untuk
setiap komponen pendidikan (general theory, middle range theory dan
operational theory) (3) Sistem nilai yang dijadikan dalam pengembangan asumsi-asumsi
yang melandasi praktek-praktek pendidikan; Kedua, pada tatanan
implementasi kebijakan ialah: (1) Prioritas permasalahan pada setiap aspek
substansi pendidikan; (2) Pendekatan, proses dan prosedur implementasi yang
digunakan; (3) Peran-peran pelaku kebijakan dari policy maker,
organizational level dan operational level; (4) Setting lingkungan
yang sangat memungkinkan berpengaruh terhadap keseluruhan aspek kebijakan, baik
pada saat proses perumusan, implementasi, maupun lingkungan itu sendiri; Ketiga, pada
tatanan evaluasi kebijakan pendidikan berkenaan dengan norma, alat ukur dan
prosedur yang digunakan. Terutama terhadap aspek: (1) Dampak terhadap efisiensi
penggunaan sumber daya; (2) Kemanjurannya terhadap pencapaian target and
means; (3) Akontabilitas para pelaku kebijakan pada semua tingkatan.
Untuk melihat peran aktor dalam
pengambilan kebijakan pada tingkat makro dan mikro, harus dilihat dari struktur
organisasi sebagai perwujudan dari boundary system kebijakan itu
sendiri. Proses kebijakan itu dapat terjadi pada tingkatan ‘policy level, organization level, dan
operational level’. Dalam suatu negara demokrasi, ‘policy level’ diperankan
badan Legislatif dan Judikatif, sedangkan ‘organization level’ diperankan oleh
Badan Eksekutif. ‘Operational level’ terjadi pada unit-unit pelaksana. Pada
masing-masing level inilah kebijakan diwujudkan dalam bentuk institutional
arrangements yang sesuai dengan tingkatannya.
3.
Tujuan Kebijakan Pendidikan
Di muka telah saya kemukakan
bahwa, hasil analisis kebijakan ada yang bersifat deskriptif, prespektif, dan
prediktif. Deskriptif berarti dapat memberi pemahaman tentang kebijakan yang
direncanakan, yang sedang dilaksanakan, tujuan yang hendak dicapai dan hasil
yang akan diperoleh. Presfektif berarti hasil analisis kebijakan yang cenderung
bersifat evaluasi formatif yang dapat memberikan rekomendasi tentang altematif
kebijakan yang perlu diambil dalam upaya peningkata mutu hasil yang diperoleh.
Prediktif berarti hasil analisis kebijakan dapat memberikan perkiraan apa yang
akan terjadi selanjutnya, baik yang bersifat positif maupun negatif sebagai
akibat kebijakan yang dilaksanakan.
Untuk menentukan pilihan dalam merumuskan kebijakan dalam pendidikan, perlu
pemahaman tentang pandangan-pandangan terhadap tujuan kebijakan, yaitu: (1)
tujuan kebijakan dilihat dari tingkatan masyarakat, (2) tujuan kebijakan
dilihat dari tingkatan politisi, dan (3) tujuan kebijakan dilihat dari
tingkatan ekonomi.
Tujuan Kebijakan Dilihat dari Tingkatan
Masyarakat
Tujuan kebijakan
dilihat dari tingkatan masyarakat, dapat ditelusuri dari hakekat tujuan
pendidikan yang universal. Pendidikan pada awalnya adalah suatu proses
penyempurnaan harkat dan martabat manusia yang diupayakan secara terus menerus.
Di mana pun proses pendidikan terjadi, menunjukkan bahwa pendidikan mempunyai
nilai-nilai yang dalam, karena jika kita berbicara pendidikan pada hakekatnya
membicarakan harkat dan martabat serta nilai-nilai kemanusiaan. Kemudian, pada
perkembangan selanjutnya, akibat kompleksitas dan heterogenitas jenis, sifat,
dan situasi yang disebut sekolah selalu diidentikan dengan pendidikan.
Sehingga, tujuan-tujuan pendidikan semakin melenceng dari tujuan semula.
Persoalan sekarang adalah pendidikan
yang bagaimana yang sesuai dengan kehendak masyarakat yang penuh kebhinekaan.
Politisi, akademisi, praktisi cenderung dapat menjawab sekalipun sangat
bervariasi. Namun, manakala dihadapkan pada pertanyaan: Bagaimana sistem
manajemen yang dapat mengelola proses pendidikan yang penuh kebhinekaan
tersebut? Memang banyak para ahli telah merumuskan apa itu pendidikan, apa itu
tujuan pendidikan, dan apa itu administrasi pendidikan, tetapi tujuan
pendidikan itu sendiri sering menjadi tidak jelas.
Dengan
kondisi seperti itu, berdampak pula pada para ilmuwan dan cendikiawan kebijakan
dan manajemen pendidikan, yang ide-ide, konsep, teori yang tidak relevan dengan
tujuan-tujuan tersebut. Diakui, bahwa pendidikan tidak bebas nilai dan tidak
juga bebas budaya. Pendidikan nasional memang diarahkan pada pembentukan warga
negara, dan karena itulah pendidikan menjadi tanggung jawab semua komponen
bangsa. Namun otonomi masing-masing komponen itulah perlu dipertegas. Apa
sesungguhnya tujuan pendidikan yang diinginkan keluarga, masyarakat dan
pemerintah? Sebatas mana kewenangan diberikan kepada pihak keluarga, masyarakat
dan pemerintah? Sebatas mana kewenangan manajemen pendidikan diserahkan dari
tingkat pusat ke pemerintah tingkat regional, lokal sampai ke tingkat
kelembagaan?
Tujuan Kebijakan Dilihat dari Tingkatan
Politisi
Tujuan
kebijakan dilihat dari tingkatan politisi, dapat ditelusuri dari sumbangan
pendidikan terhadap perkembangan politik pada tingkatan sosial yang berbeda.
Misalnya pada tingkat individual, pendidikan membantu peserta didik untuk
mengembangkan sikap dan keterampilan kewarganegaraan yang positif untuk melatih
warganegara yang benar dan bertanggung jawab. Orang yang berpendidikan
diharapkan lebih mengerti hak dan kewajibannya sehingga wawasan dan perilakunya
semakin demoktratis. Selain itu orang yang berpendidikan diharapkan memiliki kesadaran
dan tanggung jawab terhadap bangsa dan negara lebih baik dibandingkan dengan
yang kurang berpendidikan.
Pada masyarakat pluralistik, tujuan
pendidikan yang lebih praktis ternyata masih sangat bervariasi, yang
mengakibatkan tidak adanya kesamaan bahasa dan terminologi terhadap
tujuan-tujuan kebijakan pendidikan tidak kunjung selesai. Orang tua,
masyarakat, dan pemerintah sama-sama mempunyai tangung jawab dalam pelaksanaan
pendidikan. Akan tetapi, tatkala kebijakan penyelenggaraan pendidikan menjadi otoritas
terpusat pada pemerintah pusat, sehingga praktek manajemen pendidikan pada
level pusat, regional, lokal dan kelembagaan pun menjadi sarana pencapaian
tujuan politik yang diarahkan pada reproduksi ideologi kelompok masyarakat yang
dominan.
Tujuan Kebijakan Dilihat dari Tingkatan
Ekonomi
Tujuan kebijakan
dilihat dari tingkatan ekonom, dapat ditelusuri dari kesadaran pentingnya
pendidikan sebagai investasi jangka pangjang, dengan alasan, bahwa:
Pertama, pendidikan
adalah alat untuk perkembangan ekonomi dan bukan sekedar pertumbuhan ekonomi.
Pada praksis-praksis manajemen pendidikan modern, salah satu dari lima fungsi
pendidikan adalah fungsi teknis-ekonomis baik pada tataran individual hingga
tataran global. Fungsi teknis-ekonomis merujuk pada kontribusi pendidikan untuk
perkembangan ekonomi. Misalnya pendidikan dapat membantu siswa untuk
mendapatkan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk hidup dan
berkompetisi dalam ekonomi yang kompetitif. Secara umum terbukti bahwa semakin
berpendidikan seseorang maka tingkat pendapatannya semakin baik. Hal ini
dimungkinkan karena orang yang berpendidikan lebih produktif dibandingkan
dengan yang tidak berpendidikan.
Kedua, investasi
pendidikan memberikan nilai balik (rate of return) yang lebih tinggi
dari pada investasi fisik di bidang lain. Nilai balik pendidikan adalah
perbandingan antara total biaya yang dikeluarkan untuk membiayai pendidikan
dengan total pendapatan yang akan diperoleh setelah seseorang memasuki dunia
kerja. Pilihan investasi pendidikan juga harus mempertimbangkan tingkatan
pendidikan. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa semakin tinggi tingkat
pendidikan seseorang maka manfaat sosialnya semakin kecil.
Berdasarkan tujuan-tujuan kebijakan
sebagaimana dipaparkan maka nilai-nilai yang dijadikan acuan dalam menilai
kebijakan pembaharuan pendidikan ialah:
Pertama, menurut
pendekatan ekonomi, berkenaan dengan nilai: (1) Teknis-ekonomis, merujuk pada
kontribusi pendidikan dalam membantu peserta didik untuk mendapatkan
pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk hidup dan berkompetisi dalam
ekonomi yang kompetitif; (2) Moneter, merujuk pada kontribusi pendidikan berupa
tambahan pendapatan seseorang yang telah menyelesaikan tingkat pendidikan
tertentu dibandingkan dengan pendapatan lulusan pendidikan dibawahnya; (3)
Non-moneter, merujuk pada diperolehnya kondisi kerja yang lebih baik, kepuasan
kerja, efisiensi konsumsi, kepuasan menikmati masa pensiun dan manfaat hidup
yang lebih lama.
Kedua, menurut
pendekatan politis, berkenaan dengan sumbangan pendidikan terhadap perkembangan
politik pada tingkatan sosial yang berbeda. Misalnya pada tingkat individual,
pendidikan membantu siswa untuk mengembangkan sikap dan keterampilan
kewarganegaraan yang positif untuk melatih warganegara yang benar dan
bertanggung jawab. Orang yang berpendidikan diharapkan lebih mengerti hak dan
kewajibannya sehingga wawasan dan perilakunya semakin demoktratis. Selain itu
orang yang berpendidikan diharapkan memiliki kesadaran dan tanggung jawab
terhadap bangsa dan negara lebih baik dibandingkan dengan yang kurang
berpendidikan.
Ketiga, menurut
pendekatan budaya, berkenaan dengan nilai: (1) Sosial kemanusiaan, merujuk pada
kontribusi pendidikan terhadap perkembangan manusia dan hubungan sosial pada
tingkat sosial yang berbeda. Pada tingkat individual pendidikan membantu siswa
untuk mengembangkan potensi dirinya secara psikologis, sosial, dan fisik
semaksimal mungkin; (2) Budaya masyarakat, merujuk pada sumbangan pendidikan
pada peralihan budaya pada tingkatan sosial yang berbeda. Pada tingkat
individual, pendidikan membantu siswa untuk mengembangkan kreativitasnya,
kesadaran estetis serta untuk bersosialisasi dengan nilai-nilai dan keyakinan
sosial yang baik; (3) Kependidikan, merujuk pada sumbangan pendidikan terhadap
perkembangan dan pemeliharaan pendidikan pada tingkat sosial yang berbeda. Pada
tingkat individual pendidikan membantu siswa belajar cara belajar dan membantu
guru cara mengajar. Di masyarakat luas juga berlaku pendapat umum bahwa semakin
berpendidikan maka makin baik status sosial seseorang dan penghormatan
masyarakat terhadap orang yang berpendidikan lebih baik dari pada yang kurang
berpendidikan.
Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa, tujuan suatu kebijakan pendidikan senantiasa menggunakan pijakan dalam
melakukan analisisnya. Analisis kebijakan pembaharuan tersebut harus didasarkan
padna nilai dan tujuan bahwa investasi dalam bidang pendidikan tidak
semata-mata untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi tetapi lebih luas lagi yaitu
perkembangan ekonomi. Perkembangan ekonomi akan tercapai apabila sumber daya
manusianya memiliki etika, moral, rasa tanggung jawab, rasa keadilan, jujur,
serta menyadari hak dan kewajiban yang kesemuanya itu merupakan indikator hasil
pendidikan yang baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar