Selasa, 15 Oktober 2019

Kebijakan Pembangunan Pendidikan


ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PENDIDIKAN
Oleh :
Iman Lesmana

1.       Pendekatan Analitis
Kejelasan maknawiyah tentang teori kebijakan dapat ditelusuri dari litelatur tentang ketatanegaraan yang menganggap bahwa ilmu kebijakan sering dianggap lebih dekat kepada Admistrasi Negara dibandingkan dengan Ilmu Politik. Dalam Political Theory and Public Policy karya Goodgin (1982), menunjukan bahwa kebijakan dari segi politik lebih banyak memberikan perhatian kepada substansi, dibandingkan  dengan administrasi negara yang lebih memperhatikan masalah pilihan rencana, evaluasi pelaksanaan, efisiensi dan produktivitas,  serta hal  lain  yang  tidak  berkenan dengan isi dari kebijakan itu. Meskipun sebenarnya ilmu politik pun mengkaji ilmu kebijakan dengan yang disebut Policy Advocacy, sehingga Godgin menyebutnya hanyalah: "administrasi negara lama  dalam baju yang diperbaharui".
Pal (1996) mengemukakan tiga elemen yang saling berkaitan, yaitu: (1) faktor lingkungan yang mempengaruhi, (2) isi kebijakan itu sendiri termasuk didalamnya maksud dan tujuan kebijakan, (3) perumusan masalah dan alat yang digunakan untuk melaksanakan kebijakan tersebut, serta (4) akibat yang terjadi baik yang sesuai dengan  lingkungan disekitarnya. Namun demikian, khusus dalam hal perumusan kebijakan sesuai fungsi negara atau pemerintah sebagai stabilisator, stimulator, koordinator dan alokator.
Kemudian, Dye (1976) yang menegaskan bahwa setiap kebijakan pemerintah seharusnya mempertimbangkan berbagai hal sebagaimana mestinya yang ada dalam lingkungan dan sistem politiknya. Dalam setiap kebijakan, baik itu perumusan kebijakan, implementasi kebijakan maupun evaluasi kebijakan, maka aspek-aspek lingkungan harus memperoleh pertimbangan yang matang, sehingga tidak bertentangan dengan fungsi negara atau pemerintah itu sendiri. Dye  mengusulkan bahwa dalam studi kebijakan, perlu mengidentifikasi masalah, kemudian menyusun usulan kebijakan, setelah diseleksi, maka kebijakan disahkan untuk kemudian diimplementasikan. Kemudian, diadakan evaluasi untuk menganalisis akibat  dari kebijakan tersebut.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, dalam setiap analisis kebijakan publik paling tidak mengandung empat unsur yang harus diperhatikan, yaitu: (1) unsur masalah; (2) tujuan;  (3) cara kerja atau cara pemecahan masalah; dan (4) otoritas publik. Unsur masalah berkaitan dengan bidang-bidang garapan pemerintahan seperti pendidikan, kesejahteraan masyarakat, kesehatan masyara­kat, pengembangan wilayah, hubungan luar negeri, pertahanan dan keamanan, perpajakan, kependudukan dan lain-lain; Unsur ini lebih dikenal dengan bidang ideologi, politik, sosial-budaya, pertaha­nan dan keamanan; Unsur tujuan itu berkenaan dengan sasaran yang hendak dicapai melalui program-program yang telah ditetapkan oleh negara. Unsur cara kerja berkaitan dengan prosedur logis dan  sistematis berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Unsur otoritas berkenaan dengan aparatur yang diberi kepercayaan  untuk melakukan aktivitas pemerintahan.
Selanjutnya, dalam memahami suatu proses kebijakan, terdapat aspek yang sangat penting yaitu implementasi kebijakan. Tolok ukur keberhasilan suatu kebijakan adalah pada tahap implementasi. Menurut Dunn (1994), implementasi kebijakan lebih bersifat kegiatan praktis, termasuk di dalamnya mengeksekusi dan mengarahkan. Dengan demikian, implementasi kebijakan dapat disebut sebagai rangkaian kegiatan tindak lanjut setelah sebuah kebijakan ditetapkan, baik yang terdiri atas pengambilan keputusan, langkah-langkah yang stratejik, maupun operasional yang ditempuh guna mewujudkan suatu program atau kebijakan menjadi kenyataan, guna mencapai sasaran dari kebijakan yang telah ditetapkan tersebut. Tingkat keberhasilan proses ini akan dipengaruhi berbagai unsur, baik yang bersifat mendukung atau menghambat, serta lingkungan, baik fisik, sosial maupun budaya. Hal yang perlu diwaspadai adalah dalam memilih alternatif untuk memecahkan masalah, sehingga tidak mengganggu pencapaian tujuan kebijkan.
Sehubungan dengan sifat praktis dan terkandungnya tujuan dalam perumusan kebijakan, maka implementasi kebijakan berkenaan dengan kekuasaan, kepentingan dan strategi para pelaku, walaupun sebenarnya menurut Pal (1996) disebut sebagai “another problem with implementation is power”. Namun, ketika kegagalan kebijakan terjadi, maka perlu dikaji apakah karena perumusan kebijakan tersebut memang buruk atau karena kesalahan dalam mengimplementasikannya.
Berhasil atau tidaknya suatu kebijakan akan ditentukan oleh banyak faktor.  Abdul Wahab (1990:125) misalnya, mengemukakan faktor-faktor tersebut antara lain: (1) kompleksitas kebijakan yang telah dirumuskan, (2) kejelasan rumusan masalah dan alternatif pemecahan masalah, (3) sumber-sumber potensial yang mendukung, (4) keahlian pelaksanaan kebijakan, (5) dukungan dari khalayak sasaran, (6) efektifitas dan efisiensi birokrasi. Keberhasilan atau kegagalan implementasi kebijakan dapat dievaluasi kemampuannya secara nyata dalam mengoperasikan program-program yang telah dirancang sebelumnya. Sebaliknya proses implementasi kebijakan dievaluasi dengan cara mengukur dan membandingkan antara hasil akhir program-program tersebut dengan tujuan-tujuan kebijakan.
Dalam konteks implementasi kebijakan desentralisasi, Rondinellli & Cheema (1988:30), memperkenalkan teori implementasi kebijakan yang orientasinya lebih menekankan kepada hubungan pengarih faktor-faktor implementasi kebijakan desentralisasi terhadap lembaga daerah di bidang perencanaan dan administrasi pembangunan. Menurut konsep tersebut, ada dua pendekatan dalam proses implementasi kebijakan yang sering dikacaukan:
Pertama, the compliance approach, yaitu yang menganggap implementasi itu tidak lebih dari soal teknik, rutin. Ini adalah suatu proses pelaksanaan yang tidak mengandung unsur-unsur politik yang perencanaannya sudah ditetapkan sebelumnya oleh para pimpinan politik (political leaders). Para administrator biasanya terdiri dari pegawai biasa yang tunduk kepada petunjuk dari para pemimpin politik tersebut. Kedua, the political approach. Pendekatan yang kedua ini sering disebut sebagai pendekatan politik yang mengandung “administration as an intgral part of the policy making process in which polities are refined, reformulated, or even abandoned in the process of implementing them.”
Administrasi dan manajemen merupakan bagian integral yang tidak terpisahkan dari proses penetapan kebijakan. Kebijakan dibuat karena tuntutan administrasi, dan pada saat kebijakan akan diimplementasikan di situlah manajemen berperan. Dimana kebijakan diubah, dirumuskan kembali, bahkan menjadi beban yang berat dalam proses implementasi. Jadi, membuat implementasi menjadi kompleks dan tidak bisa diperhitungkan (unpredictable).
2.      Faktor-Faktor yang Berpengaruh dalam Implementasi Kebijakan
Faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan belum mendapat perhatian yang serius di Indonesia, karena kebanyakan para perumus kebijakan mengenai desentralisasi dan otonomi daerah lebih suka menggunakan pendekatan the compliance approach daripada the political approach. Mereka beranggapan apabila suatu kebijakan sudah ditetapkan dan sudah diumumkan menjadi suatu kebijakan publik serta-merta akan dapat diimplementasikan oleh para pegawai pelaksana secara teknis tanpa ada unsur-unsur atau kendala politik apapun, dan hasil yang diharapkan segera akan dicapai. Padahal, pada kenyataannya tidaklah demikian, justru pada saat inilah proses kebijakan dimulai.
Keberhasilan proses implementasi kebijakan tergantung pada kegiatan yang telah dirancang dan pembiayaan yang cukup, di samping dipengaruhi oleh dua hal, yaitu: (1) Content of policy, yang terdiri dari: interests affected; type of benefits; extent of change envisioned; site of decision making; program implementators; resources commited. (2) Context of implementation, yang terdiri dari: power, interest, and strategies of actors involved; institusions and regime characteristics; compiliance and responsiveness (Grindle, 1980:7-11).
Merujuk konsep-konsep seperti dikemukakan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa implementasi kebijakan di Indonesia menyangkut program dan kebijakan lainnya yang bukan hanya sekedar proses teknis dalam melaksanakan perencanaan yang sudah ditetapkan, melainkan merupakan suatu proses interaksi politik yang dinamis dan tidak dapat diperhitungkan. Beragam faktor politik, sosial, ekonomi, perilaku dan organisasi kesemuanya sangat mempengaruhi seberapa jauh kebijakan yang sudah ditetapkan dapat diimplementasikan sesuai dengan yang diharapkan, dan sampai seberapa jauh pula implementasi tersebut mencapai tujuan-tujuan dari kebijakan itu.
Di samping itu, analisis kebijakan pendidikan yang digunakan di Indonesia sepertinya lebih banyak menggunakan model analisis kebijakan politik-publik yang didasarkan pada asumsi-asumsi politis. Indikatornya dapat dikemukakan: Pertama, ketidakjelasan dalam asumsi-asumsi yang digunakan terhadap permasalahan-permasalahan pendidikan. Kompleksitas dan heterogenitas jenis, sifat, dan situasi yang disebut sekolah selalu diidentikan dengan pendidikan. Sehingga tidak heran manakala membicarakan sistem pendidikan ternyata yang dibahas adalah sistem persekolahan; Menganalisis kebijakan pendidikan yang dianalisis ternyata kebijakan penyelenggaraan persekolahan. Akibatnya, paradigma pendidikan yang universal dipandang secara sempit, dan lebih banyak adaptif daripada inisiatif. Kedua, dalam melakukan analisis kebijakan pendidikan kurang kontekstual sebagai suatu kebijakan yang utuh dan terintegrasi secara empirical, evaluative, normative, predictive. Sebagai suatu produk, kebijakan pendidikan tidak diformulasikan berdasarkan elemen-elemen yang perlu diintegrasikan secara “sinergy”, bukan sebagai komponen yang “terdikotomi”. Artinya, apakah rumusan-rumusan kebijakan tersebut telah memenuhi kriteria kebijakan yang utuh atau masih ada butir-butir yang lepas dari ruang lingkupnya.
Dalam terminologi seperti itu, analisis kebijakan pendidikan sering diartikan sebagai  suatu proses pengkajian pendidikan secara substansial, bukan pada proses pengkajian terhadap kebijakannya. Walaupun analisis kebijakan pendidikan dimaksudkan untuk menguraikan dan menjelaskan latar belakang, alasan, serta akibat dari tindakan-tindakan yang telah dilakukan oleh suatu pelaku kebijakan. Menurut pendapat saya, pengertian tersebut mengandung kekeliruan. Kekeliruan tersebut harus segera diperbaiki dengan jalan:
Pertama, analisis kebijakan dalam pendidikan harus mengkaji substansi, proses dan konteks kebijakan pendidikan secara komprehensif. Apakah proses perumusan, implementasi dan evaluasi kebijakan sudah merujuk kaidah-kaidah keilmuan atau tidak. Apabila studi tentang analisis kebijakan pendidikan dipandang dari sudut keilmuan, jelas mempunyai makna imperatif dan harus merujuk pada paradigma filsafat keilmuan yang mempunyai objek studi dan metodologi. Objek studi analisis kebijakan pendidikan harus merujuk pada paradigma ilmu pendidikan, bukan pada paradigma ilmu-ilmu yang lain. Ilmu pendidikan mempunyai paradigma yang berbeda dengan paradigma ilmu-ilmu lainnya, baik dalam aspek ontologi, aksiologi dan epistemologinya. Walaupun dalam tatanan praktek kependidikan lebih banyak menyesuaikan diri dengan bentuk konstelasi dengan ilmu-ilmu lain. Tetapi hanya bersifat kontekstual.  Sedangkan metodologi analisis kebijakan pendidikan, dapat saja merujuk paradigma keilmuan yang lain dengan dimulai dengan asumsi, dianalisis menjadi serangkaian prinsip, disintesa menjadi teori, diverifikasi dalam praktek, diobservasi menjadi asumsi-asumsi baru, begitulah seterusnya.
            Dari aspek ontologi kebijakan, berkaitan dengan perangkat kendali sistem pendidikan yang universal dalam bentuk cara pandang fundamental yang dijadikan nilai dasar dalam mengembangkan manajemen pendidikan. Apabila kembali pada eksistensi manusia, secara universal pendidikan merupakan upaya menjadikan manusia menurut kodratnya yang mengemban amanat sebagai khalifah fil ardh, yang akan dipertanggungjawabkan di alam kemudian. Tujuan pendidikan ialah mengembangkan potensi manusia untuk melaksanakan amanat tersebut. Pendidikan bukan hanya sekedar mengembangkan aspek kognitif, apektif dan psikomotorik, akan tetapi mencakup seluruh aspek moral dan spritual.
Dalam pandangan filsafat, istilah pendidikan mempunyai makna yang berbeda dengan pengajaran. Perbedaan ini ditegaskan lebih gamblang oleh Nataatmadja (1982:256-259). Dalam pandangan Nataatmadja, paradigma pendidikan didasarkan pada ilmu subyektif, dan paradigma pengajaran didasarkan pada ilmu objektif. Terminologi ilmu subyektif didasarkan pada supra empirikal, dan eksistensial. Sedangkan terminologi ilmu objektif didasarkan pada rasional, empirikal, dan fenomenal.
            Kedua, pengembangan asumsi-asumsi dalam kebijakan pendidikan harus merujuk pada asumsi-asumi pendidikan yang dikembangkan dalam paradigma filsafat pendidikan yang universal, bukan merujuk pada paradigma filsafat politik dan ketatanegaraan. Penerapan asumsi-asumsi politik dalam kebijakan pendidikan sekarang ini telah membuktikan tidak cukup membawa bangsa ini ke arah tujuan-tujuan pendidikan yang universal. Gejala disintegrasi bangsa, deka-densi moral, korupsi-kolusi-nepotisme, diakui atau tidak, merupakan sebagian dari kegagalan-kegagalan yang dicapai proses pendidikan selama ini. Karena itu, memahami sistem pendidikan nasional tidak sekedar latah karena alasan-alasan politis, dan selalu tergantung pada situasi politik kenegaraan.
Ketiga, proses analisis terhadap kebijakan pendidikan tidak parsial, tetapi haruslah komprehensif dan multidisipliner menyangkut rumusan, implementasi dan evaluasi  dampaknya. Analisis perumusan kebijakan tersebut meliputi komponen-komponen yang secara eksplisit termuat dalam rumusan kebijakan. Komponen-komponen tersebut adalah: (1) ruang lingkup kebijakan; (2) asumsi-asumsi dasar; (3)  tujuan dan sasaran; (4) kriteria; (5) mekanisme atau prosedur yang harus ditempuh; (6) dukungan sumber daya  yang dibutuhkan. 
Kemudian, pada tahap implementasi, yang diduga pada tahap inilah kecurangan-kecurangan itu terjadi, karena persyaratan, kriteria, bahkan tujuan pendidikan yang universal tidak dipedulikan lagi. Pada tahap ini seringkali terjadi penyimpangan-penyimpangan dan upaya-upaya yang tidak rasional. Faktor-faktor yang menyebabkan keberhasilan atau kegagalan dari implementasi kebijakan disebabkan oleh faktor komunikasi, sumber daya, sikap, dan struktur birokra­si. Faktor komunikasi berkenaan dengan pemahaman aparat pelaksana dalam memahami maksud dan tujuan serta mekanisme dalam pelaksa­naan kegiatan. Karena itu baik rumusan kebijakan sebagai (mes­sage), jalur komunikasi (channel) senantiasa dijelaskan dengan gamblang. Faktor sumber daya berkenaan dengan kompetensi profe­sional aparat pelaksana dan daya dukung sarana dan prasarana yang memadai. Faktor disposisi atau sikap berkenaan dengan tekad dan semangat para aparat baik para pembuat kebijakan maupun pelaksana kebijakan dalam melaksanakan kebijakan. Dan faktor struktur birokrasi berkaitan dengan standard operating procedures (SOP) yang menjamin koordinasi setiap unsur yang terkait dalam melaksa­nakan kebijakan.
Keempat, kebijakan pendidikan tidak bisa didekati dengan hanya  menggunakan pendeka­tan the compliance approach, atau the political approach secara sendiri-sendiri, tetapi harus secara integratif.  Pengalaman menunjukkan bahwa implementasi kebijakan bukan hanya sekedar proses teknis, melainkan merupakan suatu proses interaksi dinamis antara unsur-unsur politik, sosial, ekonomi, dan perilaku birokrat. Unsur-unsur interaktif ini sangat mempengaruhi seberapa jauh kebijakan yang sudah ditetapkan dapat diimplementa­sikan sesuai dengan yang diharapkan, dan sampai seberapa jauh  pula  implementasi  kebijakan  tersebut  mencapai tujuannya. Dalam kebijakan pendidikan, bukan pada persoalan compliance atau political, tetapi lebih menekankan kepada hubungan faktor-faktor yang mempengaruhi pada waktu dan konteks kebijakan itu diimplementasikan.
Berdasarkan uraian tersebut, maka untuk menilai layak-tidaknya suatu kebijakan dalam pendidikan, harus dilihat dari ukuran-ukuran: Pertama, dari aspek formulasi kebijakan pendidikan ialah: (1) Filsafat pendidikan yang dipakai dasar penyelenggaraan pendidikan; (2) Teori dan Ilmu yang dipakai rujukan untuk setiap komponen pendidikan (general theory, middle range theory dan operational theory) (3) Sistem nilai yang dijadikan dalam pengembangan asumsi-asumsi yang melandasi praktek-praktek pendidikan; Kedua, pada tatanan implementasi kebijakan ialah: (1) Prioritas permasalahan pada setiap aspek substansi pendidikan; (2) Pendekatan, proses dan prosedur implementasi yang digunakan; (3) Peran-peran pelaku kebijakan dari policy maker, organizational level dan operational level; (4) Setting lingkungan yang sangat memungkinkan berpengaruh terhadap keseluruhan aspek kebijakan, baik pada saat proses perumusan, implementasi, maupun lingkungan itu sendiri; Ketiga, pada tatanan evaluasi kebijakan pendidikan berkenaan dengan norma, alat ukur dan prosedur yang digunakan. Terutama terhadap aspek: (1) Dampak terhadap efisiensi penggunaan sumber daya; (2) Kemanjurannya terhadap pencapaian target and means; (3) Akontabilitas para pelaku kebijakan pada semua tingkatan.
Untuk melihat peran aktor dalam pengambilan kebijakan pada tingkat makro dan mikro, harus dilihat dari struktur organisasi sebagai perwujudan dari boundary system kebijakan itu sendiri. Proses kebijakan itu dapat terjadi pada tingkatan ‘policy level, organization level, dan operational level’. Dalam suatu negara demokrasi, ‘policy level’ diperankan badan Legislatif dan Judikatif, sedangkan ‘organization level’ diperankan oleh Badan Eksekutif. ‘Operational level’ terjadi pada unit-unit pelaksana. Pada masing-masing level inilah kebijakan diwujudkan dalam bentuk institutional arrangements yang sesuai dengan tingkatannya.

3.      Tujuan Kebijakan Pendidikan

Di muka telah saya kemukakan bahwa, hasil analisis kebijakan ada yang bersifat deskriptif, prespektif, dan prediktif. Deskriptif berarti dapat memberi pemahaman tentang kebijakan yang direncanakan, yang sedang dilaksanakan, tujuan yang hendak dicapai dan hasil yang akan diperoleh. Presfektif berarti hasil analisis kebijakan yang cenderung bersifat evaluasi formatif yang dapat memberikan rekomendasi tentang altematif kebijakan yang perlu diambil dalam upaya peningkata mutu hasil yang diperoleh. Prediktif berarti hasil analisis kebijakan dapat memberikan perkiraan apa yang akan terjadi selanjutnya, baik yang bersifat positif maupun negatif sebagai akibat kebijakan yang dilaksanakan.
Untuk menentukan pilihan dalam merumuskan kebijakan dalam pendidikan, perlu pemahaman tentang pandangan-pandangan terhadap tujuan kebijakan, yaitu: (1) tujuan kebijakan dilihat dari tingkatan masyarakat, (2) tujuan kebijakan dilihat dari tingkatan politisi, dan (3) tujuan kebijakan dilihat dari tingkatan ekonomi.
Tujuan Kebijakan Dilihat dari Tingkatan Masyarakat
Tujuan kebijakan dilihat dari tingkatan masyarakat, dapat ditelusuri dari hakekat tujuan pendidikan yang universal. Pendidikan pada awalnya adalah suatu proses penyempurnaan harkat dan martabat manusia yang diupayakan secara terus menerus. Di mana pun proses pendidikan terjadi, menunjukkan bahwa pendidikan mempunyai nilai-nilai yang dalam, karena jika kita berbicara pendidikan pada hakekatnya membicarakan harkat dan martabat serta nilai-nilai kemanusiaan. Kemudian, pada perkembangan selanjutnya, akibat kompleksitas dan heterogenitas jenis, sifat, dan situasi yang disebut sekolah selalu diidentikan dengan pendidikan. Sehingga, tujuan-tujuan pendidikan semakin melenceng dari tujuan semula.
Persoalan sekarang adalah pendidikan yang bagaimana yang sesuai dengan kehendak masyarakat yang penuh kebhinekaan. Politisi, akademisi, praktisi cenderung dapat menjawab sekalipun sangat bervariasi. Namun, manakala dihadapkan pada pertanyaan: Bagaimana sistem manajemen yang dapat mengelola proses pendidikan yang penuh kebhinekaan tersebut? Memang banyak para ahli telah merumuskan apa itu pendidikan, apa itu tujuan pendidikan, dan apa itu administrasi pendidikan, tetapi tujuan pendidikan itu sendiri sering menjadi tidak jelas.
            Dengan kondisi seperti itu, berdampak pula pada para ilmuwan dan cendikiawan kebijakan dan manajemen pendidikan, yang ide-ide, konsep, teori yang tidak relevan dengan tujuan-tujuan tersebut. Diakui, bahwa pendidikan tidak bebas nilai dan tidak juga bebas budaya. Pendidikan nasional memang diarahkan pada pembentukan warga negara, dan karena itulah pendidikan menjadi tanggung jawab semua komponen bangsa. Namun otonomi masing-masing komponen itulah perlu dipertegas. Apa sesungguhnya tujuan pendidikan yang diinginkan keluarga, masyarakat dan pemerintah? Sebatas mana kewenangan diberikan kepada pihak keluarga, masyarakat dan pemerintah? Sebatas mana kewenangan manajemen pendidikan diserahkan dari tingkat pusat ke pemerintah tingkat regional, lokal sampai ke tingkat kelembagaan?
Tujuan Kebijakan Dilihat dari Tingkatan Politisi
            Tujuan kebijakan dilihat dari tingkatan politisi, dapat ditelusuri dari sumbangan pendidikan terhadap perkembangan politik pada tingkatan sosial yang berbeda. Misalnya pada tingkat individual, pendidikan membantu peserta didik untuk mengembangkan sikap dan keterampilan kewarganegaraan yang positif untuk melatih warganegara yang benar dan bertanggung jawab. Orang yang berpendidikan diharapkan lebih mengerti hak dan kewajibannya sehingga wawasan dan perilakunya semakin demoktratis. Selain itu orang yang berpendidikan diharapkan memiliki kesadaran dan tanggung jawab terhadap bangsa dan negara lebih baik dibandingkan dengan yang kurang berpendidikan.
Pada masyarakat pluralistik, tujuan pendidikan yang lebih praktis ternyata masih sangat bervariasi, yang mengakibatkan tidak adanya kesamaan bahasa dan terminologi terhadap tujuan-tujuan kebijakan pendidikan tidak kunjung selesai. Orang tua, masyarakat, dan pemerintah sama-sama mempunyai tangung jawab dalam pelaksanaan pendidikan. Akan tetapi, tatkala kebijakan penyelenggaraan pendidikan menjadi otoritas terpusat pada pemerintah pusat, sehingga praktek manajemen pendidikan pada level pusat, regional, lokal dan kelembagaan pun menjadi sarana pencapaian tujuan politik yang diarahkan pada reproduksi ideologi kelompok masyarakat yang dominan.
Tujuan Kebijakan Dilihat dari Tingkatan Ekonomi
Tujuan kebijakan dilihat dari tingkatan ekonom, dapat ditelusuri dari kesadaran pentingnya pendidikan sebagai investasi jangka pangjang, dengan alasan, bahwa:
Pertama, pendidikan adalah alat untuk perkembangan ekonomi dan bukan sekedar pertumbuhan ekonomi. Pada praksis-praksis manajemen pendidikan modern, salah satu dari lima fungsi pendidikan adalah fungsi teknis-ekonomis baik pada tataran individual hingga tataran global. Fungsi teknis-ekonomis merujuk pada kontribusi pendidikan untuk perkembangan ekonomi. Misalnya pendidikan dapat membantu siswa untuk mendapatkan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk hidup dan berkompetisi dalam ekonomi yang kompetitif. Secara umum terbukti bahwa semakin berpendidikan seseorang maka tingkat pendapatannya semakin baik. Hal ini dimungkinkan karena orang yang berpendidikan lebih produktif dibandingkan dengan yang tidak berpendidikan.
Kedua, investasi pendidikan memberikan nilai balik (rate of return) yang lebih tinggi dari pada investasi fisik di bidang lain. Nilai balik pendidikan adalah perbandingan antara total biaya yang dikeluarkan untuk membiayai pendidikan dengan total pendapatan yang akan diperoleh setelah seseorang memasuki dunia kerja. Pilihan investasi pendidikan juga harus mempertimbangkan tingkatan pendidikan. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka manfaat sosialnya semakin kecil.
Berdasarkan tujuan-tujuan kebijakan sebagaimana dipaparkan maka nilai-nilai yang dijadikan acuan dalam menilai kebijakan pembaharuan pendidikan ialah:
Pertama, menurut pendekatan ekonomi, berkenaan dengan nilai: (1) Teknis-ekonomis, merujuk pada kontribusi pendidikan dalam membantu peserta didik untuk mendapatkan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk hidup dan berkompetisi dalam ekonomi yang kompetitif; (2) Moneter, merujuk pada kontribusi pendidikan berupa tambahan pendapatan seseorang yang telah menyelesaikan tingkat pendidikan tertentu dibandingkan dengan pendapatan lulusan pendidikan dibawahnya; (3) Non-moneter, merujuk pada diperolehnya kondisi kerja yang lebih baik, kepuasan kerja, efisiensi konsumsi, kepuasan menikmati masa pensiun dan manfaat hidup yang lebih lama.
Kedua, menurut pendekatan politis, berkenaan dengan sumbangan pendidikan terhadap perkembangan politik pada tingkatan sosial yang berbeda. Misalnya pada tingkat individual, pendidikan membantu siswa untuk mengembangkan sikap dan keterampilan kewarganegaraan yang positif untuk melatih warganegara yang benar dan bertanggung jawab. Orang yang berpendidikan diharapkan lebih mengerti hak dan kewajibannya sehingga wawasan dan perilakunya semakin demoktratis. Selain itu orang yang berpendidikan diharapkan memiliki kesadaran dan tanggung jawab terhadap bangsa dan negara lebih baik dibandingkan dengan yang kurang berpendidikan.
Ketiga, menurut pendekatan budaya, berkenaan dengan nilai: (1) Sosial kemanusiaan, merujuk pada kontribusi pendidikan terhadap perkembangan manusia dan hubungan sosial pada tingkat sosial yang berbeda. Pada tingkat individual pendidikan membantu siswa untuk mengembangkan potensi dirinya secara psikologis, sosial, dan fisik semaksimal mungkin; (2) Budaya masyarakat, merujuk pada sumbangan pendidikan pada peralihan budaya pada tingkatan sosial yang berbeda. Pada tingkat individual, pendidikan membantu siswa untuk mengembangkan kreativitasnya, kesadaran estetis serta untuk bersosialisasi dengan nilai-nilai dan keyakinan sosial yang baik; (3) Kependidikan, merujuk pada sumbangan pendidikan terhadap perkembangan dan pemeliharaan pendidikan pada tingkat sosial yang berbeda. Pada tingkat individual pendidikan membantu siswa belajar cara belajar dan membantu guru cara mengajar. Di masyarakat luas juga berlaku pendapat umum bahwa semakin berpendidikan maka makin baik status sosial seseorang dan penghormatan masyarakat terhadap orang yang berpendidikan lebih baik dari pada yang kurang berpendidikan.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, tujuan suatu kebijakan pendidikan senantiasa menggunakan pijakan dalam melakukan analisisnya. Analisis kebijakan pembaharuan tersebut harus didasarkan padna nilai dan tujuan bahwa investasi dalam bidang pendidikan tidak semata-mata untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi tetapi lebih luas lagi yaitu perkembangan ekonomi. Perkembangan ekonomi akan tercapai apabila sumber daya manusianya memiliki etika, moral, rasa tanggung jawab, rasa keadilan, jujur, serta menyadari hak dan kewajiban yang kesemuanya itu merupakan indikator hasil pendidikan yang baik.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Penguatan Integrasi Pendidikan

PENGUATAN INTEGRASI PENDIDIKAN DALAM ERA DISUPSI Oleh :  Asep Rohiman Lesmana, M.Pd. Pendidikan merupakan suatu entitas yang s...