Rabu, 23 Oktober 2019

Pendidikan Karakter


Memaknai Pendidikan Karakter

Analisis Persamaan dan Perbedaan Karakter, Budi Pekerti, Akhlak, Moral dan Afeksi
Analisis Bahasa Umum.  Judul bagian ini melibatkan sejumlah istilah yang dapat membuat pembaca bingung: Karakter, Budi Pekerti, Akhlak, Afeksi, dan Moral.  Apakah istilah-istilah ini memiliki persamaan atau perbedaan, atau keduanya, artinya ada persamaannya sekaligus juga ada perbedaannya?  Istilah-istilah ini akan kita kaji dari segi bahasa harian dengan merujuk pada kamus umum.  Setelah pengkajian bahasa harian ini, kita akan coba selami substansi dari masing-masing istilah tersebut.
            “Budi Pekerti” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1996: 150) diletakkan dalam masukan “budi”, artinya: (1) alat batin yang merupakan panduan akan dan perasaan untuk menimbang baik dan buruk; (2) tabiat, akhlak, watak; (3) perbuatan baik, kebaikan; (4) daya upaya, ikhtiar; (5) akal (dalam arti kecerdikan menipu atau tipu daya).  Dan budi pekerti diartikannya sebagai tingkah laku, perangai, akhlak; watak.   Dalam kamus umum ini kita menemukan bahwa budi pekerti sama dengan akhlak, watak, tabiat, perbuatan baik, kebaikan.  Sinonimnya perlu kita tambahi dengan kata “susila”.  Perlu dicatat disini bahwa arti yang nomor (5) jarang digunakan orang dewasa ini: tidak pernah orang yang berbudi pekerti dikaitkan dengan kelakuan cerdik menipu.
            “Moral”, masih dari kamus yang sama (1996: 665), didefinisikan  sebagai: (1) (ajaran tentang) baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dan sebagainya; (2) kondisi mental yang membuat orang tetap berani, bersemangat, bergairah, berdisiplin, dan sebagainya; (3) ajaran kesusilaan yang dapat ditarik dari suatu cerita.  Definisi moral ini menyatakan bahwa moral adalah ajaran tentang moral.  Definisinya yang nomor (2) menurut penulis menyatakan sebuah kondisi mental yang sudah menyerap suatu ajaran moral.
            Ringkasnya, berbagai pengertian di atas dapat kita petakan dalam formulasi yang berikut ini :





Kata “karakter” belum muncul dalam paparan di atas.  Karakter adalah istilah serapan dari bahasa Inggris character.  Encarta Dictionaries (Microsoft® Encarta® 2008.) menyatakan bahwa “karakter” adalah kata benda yang memiliki arti: (1) kualitas-kualitas pembeda; (2) kualitas-kualitas positif; (3) reputasi; (4) seseorang dalam buku atau film; (5) orang yang luar biasa; (6) individu dalam kaitannya dengan kepribadian, tingkah laku, atau tampilan; (7) huruf atau simbol; dan (8) unit data komputer.  Arti nomor (7) dan (8) ini tidak relevan dengan kajian pendidikan karakter.  Di samping itu terdapat kata karakteristik (characteristic) yang masih juga kata benda yang artinya: fitur (ciri) pembatas (defining feature), sebuah fitur atau kualitas yang membuat seseorang atau suatu hal dapat dikenali.  Kata sifat untuk karakter adalah “khas” (typical), artinya pembeda atau mewakili seseorang atau hal tertentu.  Tentang “karakter” dan “karakteristik” ini dpat disimpulkan melalui kalimat berikut: “Ia memiliki karakter herois” dan “Karakteristiknya yang herois telah membuatnya memiliki nasib yang meyedihkan tersebut.”

            Karakter, berdasarkan kajian kamus umum di atas, merujuk pada beberapa hal berikut.  Pertama, karakter dikenakan pada orang atau bukan orang.  Dalam wacana pendidikan karakter, kata ini terutama berkenaan dengan orang.  Kedua, ia berkenaan dengan kualitas (bukan kuantitas) dan reputasi orang.  Ketiga, ia berkenaan dengan daya pembeda atau pembatas, membedakan atau membatasi yang satu dari yang lainnya, membedakan orang/masyarakat yang satu dengan orang/masyarakat yang lainnya.  Keempat, karakter dapat merujuk pada kualitas negatif atau positif: orang dengan karakter mulia atau orang berkarakter flamboyan.  Keempat hal tentang karakter dari kamus umum tersebut relevan dengan kajian kita tentang karakter dalam pendidikan karakter.  Simpulannya, bahwa karakter adalah sebuah kata yang merujuk pada kualitas orang dengan karakteristik tertentu.
            Demikianlah, ternyata semua kata tersebut: karakter, budi pekerti, akhlak, moral, afeksi, susila, tabiat, watak memiliki arti yang sama.  Dan dalam tulisan ini kata yang sering muncul adalah: karakter, akhlak, moral, afeksi/afektif; karena kata-kata ini dewasa ini sering muncul dalam percakapan harian tentang pendidikan karakter.
Analisis pedagogis.   Ada sebuah definisi dari kamus umum tersebut yang belum kita soroti, yaitu definisi yang nomor (6), yaitu: individu dalam kaitannya dengan kepribadian, tingkah laku, atau tampilan.  Definisi ini mulai memasuki wilayah substantif wacana kita.  Menurut penulis, karakter berada dalam sekurang-kurangnya wilayah disiplin-disiplin: psikologi, etika (cabang filsafat umum), antropologi budaya, dan pedagogika.  Studi psikologi tentang karakter dan pendidikan karakter sudah sangat maju.  Studi psikologi ini bersifat empiris-analitis.  Studi filsafat (etika) bukan tertuju pada karakter, tetapi pada isi karakter atau ajaran karakter/moral/etik/akhlak/susila.  Studi etika bersifat rasional, radikal, kritis – sebagaimana halnya studi filsafat.  Studi antropologi budaya tertuju pada isi karakter atau ajaran karakter/moral/etik/akhlak/susila dalam bentuknya yang empiris, yang dihidupi dalam kehidupan harian kelompok-kelompok sosial.  Studi pedagogika melibatkan semua studi tersebut dengan tujuan membantu individu atau kelompok agar mengalami perkembangan karakter/moral/akhlak/susila/watak/tabiat.
            Hurlock (1974: 8) dalam bukunya, Personality Development, secara tidak langsung mengungkapkan bahwa karakter terdapat pada kepribadian.  Karakter mengimplikasikan sebuah standar moral dan melibatkan sebuah pertimbangan nilai.  Karakter berkaitan dengan tingkah laku yang diatur oleh upaya dan keinginan.  Hati nurani, sebuah unsur esensial dari karakter, adalah sebuah pola kebiasaan perlarangan yang mengontrol tingkah laku seseorang, membuatnya menjadi selaras dengan pola-pola kelompok yang diterima secara sosial.   Definisi karakter dari Hurlock, untuk sementara ini, bersifat cukup bagi kita untuk memulai menganalisis secara lebih jauh apa itu karakter dan implikasi-implikasinya.

Ajaran Moral.  Ajaran moral atau moralitas dipelajari oleh filsafat moral atau etika.  Urusan utama etika (Audi, 1999: 284) adalah studi tentang kebaikan/hal yang baik/hal yang bernilai/moralitas/nilai dan studi tentang tindakan yang baik.   Pada kesempatan ini, akan dikaji secara ringkas studi tentang kebaikan/nilai, dan studi tentang tindakan yang baik tidak akan dikaji di sini.
            Studi tentang nilai. Studi tentang nilai/kebaikan tertuju untuk menjawab: (1) apa komponen-komponen esensial untuk kehidupan yang baik, dan (2) apa jenis-jenis hal yang baik pada dirinya sendiri.  Yang pertama, menghasilkan teori-teori eudaimonia/human well being/kesejahteraan manusia (kebahagiaan/happiness dan bertumbuh subur/flourishing).  Perasaan senang/bahagia adalah komponen esensial kehidupan, dan karena itu harus menjadi tujuan kehidupan, dianut oleh hedonisme, tokoh klasiknya Epicurus.  Epicurus mengajarkan bahwa berbuat baik – pengerahan daya intelektual seseorang dan kebajikan-kebajikan moral dengan cara-cara teladan dan berguna, misalnya – sarana yang terbukti baik dan benar untuk mengalami kesenangan yang paling memuaskan dari kehidupan.  Hedonisme ini terbagi dua, hedonisme egoistik yang tertuju pada kesenangan pribadi, dan hedonisme universal yang tertuju pada kesenangan bersama atau semua orang.  Sejak modernisasi diluncurkan oleh peradaban Barat, hedonisme egoistik ini menjadi dominan dan merusak banyak nilai-nilai kehidupan Timur yang luhur. Hedonisme abad modern ini berbeda dari ajaran Epicurus. Bukan perasaan senang sebagai komponen esensial kehidupan yang baik, tetapi adalah perbuatan baik; perbuatan baik membuat kita senang/bahagia, ini dianut oleh perfeksionisme.  Tokohnya antara lain: Plato, Aristoteles, kaum Stoik, Nietcsche dan Muhammad Iqbal.    

Teori komponen esensial ini bertumpu pada asumsi (anggapan dasar yang menjadi titik tolak) bahwa manusia secara alami mencari kehidupan yang baik.  Teori ini disajikan karena menurut penulis bersifat praktis bagi mereka yang tidak belajar filsafat untuk berfilsafat etika.  Caranya dengan mulai menjawab pertanyaan-pertanyaan: apa komponen esensial kehidupan yang baik dan apa perbuatan baik itu?  Jawaban-jawaban yang diberikan harus juga mempertimbangkan konsekuensi-konsekuensi logis atau implikasi-implikasi-(isyarat)-nya untuk bidang-bidang kehidupan tertentu.  Apapun dapat kita ajukan sebagai jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut, namun jawaban hendaknya disertai dengan penjelasan yang merupakan pertanggungjawaban kita secara rasional.

            “Saling menghargai antarmanusia”, contohnya, dalah sebuah jawaban yang dapat kita pilih.  Alasannya, kehidupan yang damai sepanjang masa dan dimanapun adalah tujuan penting umat manusia.  Tanpa kedamaian kehidupan akan sulit diarungi.  Lalu, apa “saling menghargai antarmanusia itu?” atau “Bagaimana kita mempraktikkannya dalam kehidupan kita?”  Salah satu jawabannya, yaitu: “perbuatan menghormati orang lain, tidak merendahkannya.
            Di samping teori komponen esensial yang bertumpu pada asumsi metafisika bahwa manusia secara alami mencari kebaikan,  terdapat teori nilai intrinsik.  Teori nilai intrinsik tidak mengandung juga tidak mengandaikan tesis-tesis metafisika apapun.  Yang menjadi isu dalam teori ini adalah apa yang baik pada dirinya sendiri, dan seseorang dapat mengambil sebuah posisi terhadap isu ini tanpa terikat pada tesis apapun tentang realitas atau bukan-realitas dari kebaikan atau tentang transendensi atau imanensinya.  Sejumlah hal yang dianggap baik pada dirinya sendiri oleh para filsuf akan mencakup kehidupan, kebahagiaan, kesenangan, pengetahuan, kebajikan, persahabatan, keindahan, dan harmoni.  Daftar ini dapat diperpanjang dengan mudah.  Gambaran sederhana pandangan penganut teori nilai intrinsik ini dapat dilukiskan melalui kalimat berikut.  “Persahabatan adalah baik, karena persahabatan itu baik”.  “Kesenangan adalah baik, karena kesenangan itu baik”.  Kebaikan yang intrinsik, dan bukan kebaikan instrumental atau kebaikan dalam rangka mencapai tujuan yang lainnya.  Kebaikan sebagai sarana untuk mencapai tujuan lainnya dianut oleh teori nilai instrumental.
            Perspektif teori nilai intrinsik dan lawannya, teori nilai instrumental sering kita butuhkan dalam rangka memahami sebuah nilai.  Contoh, ada uang abang sayang, tidak ada uang abang ditendang, adalah sikap instrumentalisme yang sering ditolak masyarakat.  Dan sikap ini didamping oleh instrumentalisme yang sama: “Selagi muda dan cantik adalah kesayangan abang, dan ketika tua dan keriput bukan lagi kesayanngan abang.”  Instrumentalisme yang demikian ini menimbulkan masalah keadilan dan kemanusiaan.

Ajaran moral yang dianut oleh individu atau kelompok, pada langkah berikutnya dijadikan standar moral oleh individu dan kelompok tersebut untuk mengukur suatu perbuatan moral.  Ajaran moral yang dianut oleh seseorang atau oleh suatu kelompok sosial dapat kita kaji dengan menerapkan pemahaman kita tentang berbagai teori nilai yang dipaparkan di atas.

            Ada banyak pola untuk memetakan nilai-nilai.  Paparan di atas adalah sebuah pola dari studi filsafat moral yang dikemukakan dalam The Cambridge Dictionary of Philosophy (Audi, 1999).  Lickona (1991:  ) memiliki peta konsep filosofis sistem nilai yang tampaknya lebih sederhana.  Ia menyatakan bahwa nilai-nilai terdiri atas obligatory values dan non-obligatory values.  Nilai-nilai yang non-obligatory adalah nilai-nilai seni atau keindahan.  Nilai seni tidak mewajibkan orang untuk berbuat sesuatu, tetapi membuat orang menjadi apresiatif terhadapnya.  Nilai-nilai yang obligatory atau mewajibkan adalah nilai-nilai moral.  Lickona merinci lebih lanjut nilai-nilai moral ini sebagai (1) respect and responsibility to man dan (2) respect and responsibility to nature.  Penulis kira, orang Indonesia dengan Pancasilanya akan senang menambahinya dengan yang ke-(3) respect and resposibility to God.
Karakter.  Ada ajaran moral dan standar moral, dan ada juga pertimbangan moral atau nilai yang menjadi komponen-komponen karakter sebagaimana diungkapkan oleh Hurlock di atas.  Pertimbangan nilai adalah sebuah pertimbangan tentang baik atau buruk sesuatu berdasarkan pandangan pribadi tentang moralitas.  Karakter, selanjutnya, berkaitan dengan tingkah laku yang yang diatur oleh upaya dan keinginan.  Jika demikian halnya, karakter berkaitan dengan tingkah laku yang tidak otomatis dimiliki seseorang: ketika dilahirkan ia otomatis memilikinya dan ketika ia memerlukannya karakter muncul secara otomatis.  Karakter diatur oleh upaya dan keinginan.  Pernyataan ini mengasumsikan kebebasan manusia.  Karena itu upaya dan keinginan ini muncul dari dalam batin individu.  Upaya dan keinginan ini dicurahkan secara suka rela.
            Selanjutnya, jika upaya dan keinginan tersebut tidak secara otomatis  dimiliki manusia, dari mana mereka berasal.  Mereka berasal dari pengalaman dan pendidikan individu.  Karakter adalah aspek tingkah laku hasil belajar, bukan tersedia secara genetik.  Unsur esensial karakter adalah hati nurani.  Banyak pakar pendidikan karakter bersepakat atas hal ini.  Hanya atas definisi yang disediakan oleh Hurlock, orang dapat tidak bersepakat.  Hurlock mengungkapkan karakter sebagai a pattern of inhibitory conditioning (sebuah pola kebiasaan perlarangan).  Di sini Hurlock menunjukkan bahwa hati nurani sebagai produk dari pembiasaan larangan-larangan, ia behavioristis.  Ada filsuf yang mengungkapkan bahwa hati nurani adalah bawaan/inherent manusia, begitu dilahirkan ia memiliki hati nurani.  Asumsi teori komponen esensial di atas yang berbunyi “manusia secara alamiah mencari kebaikan” mengimpliksikan adanya hati nurani bawaan ini.  Yang berikutnya, hati nurani bukan hanya terbentuk oleh larangan-larangan, tetapi juga berisi kerisauan, kegelisahan atau panggilan batin, kecintaan akan kebaikan.  Seseorang melakukan kebaikan bukan hanya karena larangan atau suruhan/perintah, tetapi juga karena kecintaannya akan kebaikan.
            Yang terakhir tentang karakter, masih dalam rangka menganalisis definisi karakter dari Hurlock di atas, yaitu keselarasan individu dengan pola-pola kelompok sosial tempat individu itu hidup – sebagai hasil dari kontrol hati nurani terhadap tingkah laku individu.  Pola-pola kelompok dapat mencakup pola-pola tingkah laku overt dan covert.  Pola tingkah laku overt (terbuka bagi observasi) meliputi utamanya: kecenderungan, kebiasaan, kesiapan untuk perbuatan-perbuatan yang dapat diobservasi dengan mata telanjang.  Contohnya: kebiasaan makan, kebiasaan berpakaian, kebiasaan berbicara, dan gerakan-gerakan jasmaniah seseorang.  Adapun pola tingkah laku covert (tersembunyi bagi observasi) mencakup tingkah laku kognitif dan afektif, tingkah laku mental atau kesadaran.  Tingkah laku ini tidak dapat diobservasi secara langsung.  Mereka dapat diketahui melalui penyimpulan atas tingkah laku overt-nya, interviu, angket/kuesioner, observasi partisipatif, dan laporan-diri.  Bentuknya sama dengan tingkah laku yang overt, meliputi: kecenderungan, kebiasaan, dan kesiapan berbuat. Pola-pola kelompok atau pola-pola tingkah laku kelompok dipelajari oleh bidang studi antropologi budaya.     

Afeksi.  Di samping karakter, terdapat istilah afeksi, berasal dari affect.  Dalam Encarta Dictionaries terdapat tiga kata affect dengan arti yang berbeda-beda.  Yang relevan di sini adalah yang ketiga.  Affect di sini adalah sebuah kata benda, artinya perasaan yang berkaitan dengan tindakan: sebuah emosi atau mood yang berkaitan dengan sebuah ide atau tindakan, atau ekspresi eksternal dari perasaan tersebut.  Kata jadiannya adalah affective, kata sifat atau ajektiva, artinya hal yang berkenaan dengan ekspresi emosi: berkaitan dengan ekspresi eksternal dari emosi yang terkait dengan sebuah ide atau tindakan.  Dengan demikian jika kita berbicara tentang pendidikan afektif, maka yang dimaksud adalah pendidikan emosi, bukan pendidikan pikiran, rasio, atau kognisi.  Dalam Merriam-Webster’s 11th Collegiate Dictionary, affect diartikannya sebagai  sehimpunan manifestasi dari suatu emosi yang dialami secara subjektif.  Dalam wacana praktik dan studi pendidikan, afektif sering diungkapkan dengan sikap (attitude).  Memang salah satu komponen dari afeksi adalah sikap.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Penguatan Integrasi Pendidikan

PENGUATAN INTEGRASI PENDIDIKAN DALAM ERA DISUPSI Oleh :  Asep Rohiman Lesmana, M.Pd. Pendidikan merupakan suatu entitas yang s...