Hakikat Hidup Beragama
dalam Perspektif Kejiwaan
Abstrak
Allah Swt sebagai khaliq (pencipta)
alam semesta telah menurunkan wahyu (agama) kepada para utusan-Nya (sejak Nabi
Adam As sampai dengan Nabi terakhir, Muhammad SAW) sebagai pedoman hidup bagi manusia di
dunia ini, agar memperoleh kebahagiaan yang hakiki, baik di dunia ini maupun di
akhirat kelak. Kaidah-kaidah (nilai-nilai) yang terkandung dalam agama selaras
dengan fitrah manusia sebagai makhluk beragama (homo religious), yaitu makhluk yang memiliki naluri beragama, rasa
keagamaan, dan kemampuan untuk memahami serta mengamalkan nilai-nilai agama
tersebut. Apabila seseorang telah mempedomani agama sebagai dasar rujukan
berperilaku, dan sebagai kompas dalam mencapai tujuan hidupnya, maka dia telah
menjadi seorang pribadi yang telah terbebaskan dari belenggu kebodohan
(jahiliyah) yang sangat dipengaruhi oleh hawa nafsu (syaithoniyah dan bahimiyah),
dan memperoleh pencerahan hidup yang sarat dengan nur ilahi (beriman dan
beramal shalih). Dalam QS. Ibrahim (14):1 Allah berfirman “…kitabun anzalnahu ilaika litukhrijan nasa minadldlulumati ilannur…”
(Aku menurunkan, mewahyukan kitab Al-Quran ke padamu, agar engkau membawa dan
mengeluarkan manusia dari kegelapan (kehidupan jahiliyah) menuju cahaya yang
terang benderang (kehidupan yang berkeadaban dan berpedoman pada Al-Quran). Ditilik dari segi kejiwaan,
agama Islam telah memberikan pencerahan terhadap pola pikir manusia secara
benar tentang makna hidupnya di dunia ini. Melalui agama, manusia memperoleh
hudan (petunjuk) tentang siapa dirinya; tujuan tugas hidupnya; karakteristik (sifat-sifat)
dirinya; dan keterkaitannya dengan makhluk lain (alam semesta).
Aspek-aspek kejiwaan (psikis) yang berkembang dalam diri seorang muslim,
sebagai dampak dari agama Islam yang dianutnya, dijelaskan sebagai berikut.
A.
Pemahaman tentang Jati Diri sebagai Makhluk
Orang islam
menyadari bahwa keberadaannya di dunia ini bukan kemauan sendiri, atau hasil
proses evolusi, melainkan kehendak Yang Maha Kuasa, Allah Rabbul ‘alamin.
Dengan demikian, dia menyadari bahwa dirinya adalah ciptaan (makhluk) Allah,
yang dalam hidupnya mempunyai ketergantungan (dependent) kepada-Nya. Sebagai makhluk, dia berada dalam posisi
lemah (terbatas), dalam arti tidak bisa menolak, menentang, atau merekayasa apa
yang sudah dipastikan-Nya (seperti kelahiran dan kematian). Dalam QS. Fathir
(35):15 Allah berfirman: “Ya ayyuhannasu
antumul fuqara ilallah,wallahu huwal ghaniyyul hamid”. Hai manusia kalian
fuqara (sangat memerlukan pertolongan) Allah, dan Dia-lah yang Maha Kaya (tidak
membutuhkan sesuatu) lagi Maha Terpuji”).
Salah satu dalil
yang menunjukan bahwa manusia ciptaan
Allah, adalah Firman-Nya dalam Q.S Attin (95) : 4 “Sungguh Kami telah
menciptakan manusia dalam bentuk yang sangat baik (sempurna)”. Tentang hal ini,
Prof.Tafsir menjelaskan dengan baik sekali dalam buku beliau Pesan Moral Ajaran
Islam, (Maestro, 2008).
Orang Islam
meyakini bahwa manusia adalah makhluk Allah yang mulia. Keyakinan ini
didasarkan Firman Allah dalam QS. Bani Israil (17):70 “Kami telah memuliakan
bani Adam (manusia) dan Kami angkut mereka di daratan dan lautan, kami memberi
rizki kepada mereka dari yang baik-baik, dan Kami lebihkan mereka dengan
kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah kami ciptakan”.
Keyakinan bahwa
dirinya mempunyai posisi, atau harkat dan martabat yang begitu mulia di sisi
Allah dibandingkan dengan makhluk-makhluk yang lainnya, akan memberikan dampak
yang positif bagi suasana rohaniah atau kejiwaannya, seperti: rasa percaya diri
(self confidance), perasaan berharga (self esteem), atau terhindar dari
perasaan inferior (minder,rendah diri).
B.
Pemahaman tentang Tujuan Hidup
Sebagaimana telah dikemukakan manusia lahir ke dunia kehendak Allah SWT.
Pada saat manusia dilahirkan ke alam fana ini, dia tidak tahu apa-apa (lata lamuna syaia). Jangankan mengetahui
tujuan hidupnya , tahu tentang siapa dirinya, orangtuanya, dan tempat hidup-nya
pun tidak tahu.
Bagi orang yang membenci agama (seperti orang-orang ateis), tujuan hidup
di dunia ini baginya adalah misteri, sesuatu yang tidak jelas, baik arah maupun
wujudnya, sehingga akhirnya dia mengalami kehidupan yang sesat. Sigmund Freud,
seorang psikoanalisis yang ateis mengatakan bahwa tujuan hidup manusia adalah
kematian (di dunia ini).
Agar manusia hidupnya tidak sesat, maka agama memberikan petunjuk kepada
manusia, tentang apa kepada manusia, tentang apa sebenarnya tujuan hidup di
dunia ini. Dalam hal ini, Islam menjelaskan bahwa tujuan hidup manusia di dunia
ini, tiada lain adalah “mardlatillah”
(ridha Allah, dicintai Allah). Untuk mencapai tujuan ini adalah dengan
bertakwa, atau beriman dan beramal shalih (beribadah kepada Allah).
C.
Pemahaman Tentang Tugas Dan Fungsi Hidup
Orang islam
memahami bahwa hidup di dunia ini mempunyai tugas yang jelas, yaitu beribadah
kepada Allah. Tugas ibadah ini sebagaimana tercantum dalam QS. Adz-Dzariyat
(51) : 56 “Wama khalaqtul jinna wal insa illa liya’ budun” (Tidak Aku ciptakan jin dan manusia kecuali
untuk beribadah kepada-Ku).
Pelaksanaan ibadah
ini amat terkait dengan fungsi manusia itu di dunia ini, yaitu sebagai hamba
Allah (‘abdullah) dan khalifah Allah (khalifatullah).
Sebagai hamba Allah, orang islam menyadari bahwa dirinya mempunyai kewajiban
untuk mengabdi, ber-taqarrub atau beribadah kepada-Nya (hablum minallah), melalui ibadah mahdlah (ibadah ritual-personal,
seperti: shalat shaum,zakat dan haji).
Sementara sebagai
khalifah Allah, orang islam menyadari bahwa dirinya mengemban amanah atau
tanggungjawab (responsibility) untuk
mewujudkan misi suci kemanusiannya sebagai rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi
seluruh alam). Upaya yang ditempuh untuk mewujudkan misi tersebut adalah dengan
senantiasa berinisiatif dan berpartisipasi aktif dalam menciptakan tatanan
kehidupan masyarakat yang nyaman dan sejatera; dan berupaya mencegah terjadinya
pelecehan nilai-nilai kemanusiaan, penindasan terhadap kaum mustadl’afin (kaum lemah, miskin, atau
orang-orang yang dimarjinalkan) dan perusakan lingkungan hidup (baik lokal,
regional, maupun global).
Kewajiban untuk
menciptakan kemakmuran di muka bumi ini terdapat dalam QS. Huud (11) : 61 ”…Huwa
ansya akum minal ardli wasta’marakum fiha” (Dia-lah yang menciptakan kamu dari
bumi dan memerintahkan kepadamu untuk memakmurkannya).
D.
Pemahaman Bahwa Hidup Ini Adalah Ujian
Orang islam yang benar-benar beriman memahami bahwa romantika kehidupan
di dunia ini berfluktuasi antara khairan atau yusran (suasana kehidupan yang
menyenangkan, seperti anugerah kecantikan, kekayaan, jabatan, dan kesehatan)
dengan syarron atau ‘usran (suasana kehidupan yang tidak menyenangkan, seperti
musibah, mempunyai wajah yang tidak cantik, hidup sakit-sakitan, dan miskin)
dan mampu mensikapinya secara benar (pada saat mendapatkan anugerah, dia
bersyukur, dan pada saat mendapat musibah dia bersabar).
Dalam QS. Al-Insyirah (94) : 5 Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya dalam kesulitan itu ada kemudahan”. Terkait dengan
hal ini, Rasulullah SAW membenarkan dengan sabdanya:’ajaban liamril mumini,inna
amrahu kulluhu lahu khairun walaisa dzalika liahadin illa lilmumini, in
ashabathu sarrahu syakara fakana khairan lahu; in ashabathu dharrahu
shabara,fakana khairan lahu. (Sungguh takjub/ bangga terhadap orang-orang
beriman, karena semua urusannya itu adalah baik baginya, dan tiada hal itu
terjadi pada seseorang, kecuali pada diri orang beriman. Jika dia mendapat
kegembiraan, dia bersyukur dan hal itu baik baginya; dan apabila dia mendapat
musibah atau kemadharatan (sesuatu yang tidak menyenangkan) maka dia bershabar,
dan hal itu baik baginya) HR. Muslim (Kitab Riyadlushalihin, Imam Abu Zakariya,
Yahya bin Syaraf, An-Nawawy, terj. Muslich Shabir,1981:48).
E.
Pemahaman Tentang Potensi Ruhaniah, Dan Kita Kiat Pengelolaannya
Agama memberikan penjelasan bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki
potensi untuk berakhlak baik (taqwa)
atau buruk (fujur). Potensi fujur
akan senantiasa eksis dalam diri manusia, karena terkait dengan aspek instink,
naluriah, atau hawa nafsu, seperti naluri makan-minum, seks, berkuasa, dan rasa
aman. Apabila potensi takwa seseorang lemah karena tidak terkembangkan (melalui
pendidikan), maka perilaku manusia dalam hidupnya tidak akan berbeda dengan
hewan, karena didominasi oleh potensi fujurnya yang bersifat instinktif, atau
impulsif (seperti berzina, membunuh, mencuri, meminum minuman keras atau
menggunakan narkoba, main judi, dll).
Agar hawa nafsu itu terkendalikan (dalam arti pemenuhannya sesuai dengan
ajaran agama), maka potensi takwa itu harus dikembangkan, yaitu melalui
pendidikan agama dari sejak usia dini. Apabila nilai-nilai agama telah terinternalisasi
dalam diri seseorang, maka dia akan mampu mengembangkan dirinya sebagai manusia
yang bertakwa, yang salah satu karakteristiknya adalah mampu mengendalikan diri
(self-control) dari pemuasan hawa
nafsu yang tidak sesuai dengan ajaran agama.
F.
Kesadaran Mengendalikan Diri (Self
Control)
Dengan menganut agama islam, seseorang akan memiliki kesadaran untuk
mengendalikan diri dari perbuatan yang diharamkan Allah. Kesadaran ini
berkembang atas dasar keyakinannya akan ayat “wanahannafsa ‘anil hawa fainnaljannata hiyal mawa” (dan bagi orang
yang mampu mengendalikan dirinya dari dorongan hawa nafsu maka surga-lah tempat
kembalinya). Kemampuan mengendalikan diri
ini sangatlah penting bagi kehidupan bersama. Karena terjadinya peristiwa atau
fenomena tindak kekerasan atau tindak kejahatan di masyarakat, pada umumnya
dilakukan oleh orang-orang yang tidak memiliki kemampuan mengendalikan diri
(impulsif, dalam bahasa Sunda = ngalajur nafsu). ,
G.
Komitmen Bagi Kesejahteraan Umat Manusia
Komitmen ini didasarkan kepada hadits Rasulullah SAW, yaitu “Khairunnas anfa’uhum linnas”
(sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak memberikan manfaat bagi orang
lain). Dan QS. Al-Anbiya: 107 (21): “wama arsalnaka illa rahmatan lil alamin”
(tidaklah Kami mengutus engkau kecuali untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam).
Berdasarkan hadits dan ayat tersebut, seorang muslim dilarang untuk bersifat
egois atau selfish (hidup mementingkan diri sendiri) tetapi sebaliknya dia
harus bersifat ta’awun bilma’ruf (altruis), yaitu memberikan pertolongan kepada
orang lain atau memberikan kontribusi nyata terhadap kesejahteraan hidup orang
banyak, baik melalui ilmu, harta kekayaan, maupun jiwa raga.
Kebermaknaan hidup sebagai muslim juga, adalah
senantiasa berupaya untuk mencegah dirinya sendiri atau orang lain dari
perbuatan yang merusak tatanan kehidupan bersama, seperti : berzina (free sex), mencuri (korupsi),
mengkonsumsi minuman atau makanan yang haram, mengkonsumsi obat-obatan
terlarang (Narkoba atau Naza), dan merusak lingkungan alam. Dalam QS.
Al-Qashash (28):77, Allah berfirman:”… wa ahsin kama ahsanallaahu ilaika
walatabgilfasada filardi innallaha la yuhibbul mufsidin (dan berbuat
baiklah kamu (kepada orang lain), seperti Allah telah memberikan kebaikan
kepadamu, dan janganlah berbuat fasad = kerusakan di bumi, sesungguhnya Allah
membenci orang-orang yang berbuat kerusakan).
H.
Ketenangan Batin
Orang islam yang telah memiliki keimanan yang kokoh terhadap Allah SWT
dan beristiqamah dalam mengamalkan perintah-Nya, maka hidupnya berada dalam
suasana batin, kejiwaan, atau psikologis yang tenang, tenteram, atau nyaman,
dan mampu mengatasi perasaan gelisah, cemas, atau stress dan frustasi pada saat
mengalami masalah atau musibah.
Dalam QS. Fush Shilat (41) : 30 Allah berfirman
“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan Allah Tuhan kami kemudian mereka
beristiqamah, maka turun kepada mereka malaikat (seraya berkata) janganlah
engkau takut (cemas) dan bersedih hati (frustasi) dan bergembiralah dengan
surga yang kepadamu dijanjikan”.
Ketentraman batin juga didapat oleh kaum muslim, karena mereka
senantiasa berdzikir kepada Allah, seperti (1) mendawamkan ucapan kalimah
tasbih (subhanallah= Maha Suci Allah), tahmid (Alhamdulillah= segala puji bagi
Allah), takbir (Allahu Akbar : Allah Maha Besar) dan tahlil (lailaha illaah =
Tiada Tuhan kecuali Allah; (2) membaca dan menelaah al-Qur’an; (3) memikirkan
atau menelaah alam sebagai ciptaan Allah yang Maha Agung, dan (4) senantiasa
bersikap ikhlas terhadap takdir atau ketentuan dari Allah yang tidak
menyenangkan, seperti penyakit, kecacatan tubuh, kemiskinan, kecelakaan dan
musibah lainnya. Dalam QS. Ar-Ra’d (13): 28 Allah berfirman: “Alladzina amanu watath mainnu qulubuhum
bidzikrillahi, ala bidzikrillahi tathmainnul qulub” (orang-orang yang
beriman, hati mereka tentram, karena berdzikir kepada Allah; ingat! Dengan
berdzikir kepada Allah-lah hati itu akan tenteram).
Daftar Pustaka
Al-Quran
Abu Zakariya, Yahya bin
Syaraf, An-Nawawy. 1981. Riyadushshalihin
(terjemahan Muslich Shabir).
Ali Syari’ati. 1985. Idelogi Kaum Intelek. Bandung: Mizan.
Aziz Ahyadi. 1981. Psikologi Agama. Bandung: Martiana.
Endang Saifudin Anshari. 1968.
Pokok-pokok Pikiran tentang Islam.
Bandung: Pelajar.
Syafaat M. 1965. Mengapa Anda Beragama islam. Jakarta:
Wijaya.
Tafsir A. 2008. Pesan
Moral Ajaran islam. Bandung: Maestro.
Yusuf Syamsu LN. 2008. Psikologi Belajar Agama. Bandung: Maestro.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar