Kerangka Teori dan Konsep Kualitas Pribadi
Konselor
Terdapat dua teori utama yang menjadi pembahan mengenai kualitas pribadi konselor, yakni teori
pribadi konselor dan five minds.
Teori utama pribadi konselor adalah teori pribadi konselor dari Cavanagh and
Justin (2002), Geldard, D & Geldard, K. (2005), dan dari William J. L. and
Alissa S. (2008). Sedangkan teori five minds yang digunakan adalah teori five
minds dari Gardner (2000 dan 2008) sehingga disebut pembelajaran berbasis Gardner’s Five Minds.
Teori Pribadi Konselor
Secara
etimologi, kepribadian
yang bahasa
Inggrisnya personality, berasal dari bahasa Yunani,
yaitu persona, yang berarti topeng
dan personare, yang berarti menembus. Menurut Boeree
(2005: 120) persona adalah topeng yang dipakai ketika individu menampilkan diri
ke dunia luar. Namung seiring
dengan perkembangan yang dialami individu, konsep persona yang semula sebagai
arketip sehingga diartikan topeng,
lambat laun ia menyadari bahwa topeng itu merupakan bagian dari dirinya
sendiri yang paling jauh letaknya dari alam bawah sadar kolektif (Boeree, 2005:
120). Ketidaksadaran ini mendorong individu senantiasa memunculkan kesan baik
ketika lingkungan menuntut untuk menampilkan peran itu, terutama ketika
lingkungan mendukung.
Prinsipnya
kepribadian itu akan terus berkembang dan menjadi bagian dari sistem yang ada
dalam diri individu. Artinya, kepribadian bersifat dinamis. Apa lagi jika
dikaji dari sisi determinasi perkembangan, bahwa determinan perkembangan
kepribadian adalah faktor lingkungan, maka sangat yakin bahwa kepribadian
bersifat dinamis. Dinamika ini terutama dalam rangka memperkokoh suatu sistem
yang disebut sistem psiko-fisik.
Demikian halnya
dengan perkembangan pribadi konselor, dalam arti karakteristik kepribadian
seorang konselor akan terus berkembang seiring dengan dinamika yang terjadi
pada lingkungannya, khususnya yang disebut pembelajaran. Karakteristik pribadi
konselor yang dimaksud adalah pemahaman diri,
sepenuh hati, dapat dipercaya, sehat secara psikologis, jujur, ketegasan,
hangat, memberikan respon yang aktif, sabar, sensitif, mandiri, kesadaran
holistik (Cavanagh and Justin, 2002 : 46). Menurut Brammer (1982 : 75) cirri
pribadi konselor yang efektif adalah konselor yang empati (emphaty), terbuka (open
mindedness), konkret (concreteness),
dan realistis (realistic). Geldard, D
& Geldard, K. (2005 : 23) mengemukakan sepuluh karakteristik konselor efektif dalam mengembangkan
hubungan yang bersifat membantu, yakni penerimaan (acceptance), empati (empathy), stabilitas emosi (emotional stability),
fleksibilitas (flexibility), keterbukaan (open-mindedness), ketertarikan
pada orang (interest in people), keaslian (genuineness), kepercayaan/keyakinan
(confidence),sensitivitas (sensitivity), dan
(fairness). Sementara itu Verheul .R,
et.al. (2008 : 23-34) mengemukakan tiga factor yang berkorelasi dengan
kualitas hubungan yang bersifat membantu (helping
relationship), yakni kontrol diri (self-control),
integrasi identitas (identity integration),
kapasitas hubungan (relational capacities),
dan tanggung jawab (responsibility).
Pribadi konselor yang
berkualitas berkembang optimal pada pengasuhan (attechment) yang memfasilitasi (William J. L. and Alissa S., 2008 ; 406),
yakni pembelajaran yang memberikan kemudahan kepada mahasiswa mengembangkan
pribadi konselornya. Pembelajaran yang dimaksud adalah pembelajaran berbasis Gardner’s Five Minds. Pembelajaran ini
dipandang cocok sebab pribadi konselor dilandasi berpikir keilmuan, sintesis,
kreatif, respek, sampai berpikir persoalan etik. Pembelajaran berbasis Gardner’s Five Minds tidak mengajarkan
substansi melainkan mengajarkan alat berpikir untuk pengembangan pikiran secara
kontekstual dan normatif.
Teori Pembelajaran Berbasis
Gardner’s Five Minds.
Konsep Gardner’s Five Mind
Petualangan intelektual Howard Gardner, yang
sering lebih dikenal dengan nama Gardner, selama lebih dari 30 tahun
menghasilkan paradigma berpikir yang berbeda dari para pemikir lainnya. Setelah
sukses pada awal tahun 1990an dengan teori multiple
intelligence, pada tahun 1999 ia menerbitkan buku yang diberi judul The Disciplined Mind. Buku ini termasuk best seller, karena isinya menggagas
berpkir ilmu yang bukan sekedar pengetahuan, malainkan berpikir yang powerfull
yang bukan hanya sekedar memahami keilmuan bidang-bidang studi. Namun demikian,
Gardner begitu haus dengan pengembangan berpikirnya sehingga pada suatu seminar
tahun 2008 mengemukakan konsep five minds
for the future.
1.
The Disciplined Mind
Menurut Gardner (2008 : 5) ada tiga konotasi discipline, yakni melakukan sasuatu hal
secara ajeg dan mantap yang akhirnya memperoleh hasil yang terbaik, menguasai
cara-cara pokok berpikir sehingga disscipline
merupakan cara berpikir yang powerful
tetapi tidak intuitif, menjadi seorang
ahli pada sesuatu yang digeluti, dan discipline
mind selalu menunjukkan kebaruan. Discipline mind dintandai dengan minimal
melibatkan penguasaan satu
cara berpikir dan pemanfaatan pendekatan saintifik dalam memecahkan masalah pada area manapun.
2.
The Synthesizing Mind
Pikiran sintesa (synthesizing mind) pikiran yang mampu
mengumpulkan informasi dari pelbagai sumber
yang berbeda dan menempatkan ide-ide bersama-sama dalam cara yang masuk akal
untuk pelajar. Kemampuan untuk mensintesis ide-ide adalah keterampilan penting
di masa depan – suatu keterampilan
dasar kepemimpinan yang inovatif. Gardner (2008 : 8) berpendapat bahwa salah
satu figure synthesizer mind adalah
Charles Darwin. Ia berkeliling ke beberapa Negara dan mengamati flora dan
fauna. Ia melakukan uji coba dan observasi di berbagai belahan dunia. Pada 20
tahun berikut ia mengemukakan sintesa intelektual terbaiknya “On the Origin of the Species”.
3.
The Creative Mind
Pikiran kreatif (creative
mind) adalah pikiran yang mampu
memecah landasan baru, mengembangkan ide-ide baru, dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan baru atau memunculkan alternatif lain.
4.
The Respectful Mind
Pikiran respek
(respectful mind) adalah pikiran yang mengakui perbedaan antara individu, kelompok dan budaya, belajar untuk
menghargai rasa 'orang lain'. Pikiran ini membutuhkan lompatan imajinatif untuk
memungkinkan kita untuk memahami orang lain dengan cara mereka sendiri.
5.
The Ethical Mind
Pikiran etis ethical
mind) adalah yang mempertimbangkan
bagaimana siswa dapat melayani tujuan di luar kepentingan diri sendiri. Pikiran
ini memperhitungkan 'kebaikan bersama' dari masyarakat luas khususnya di bawah
situasi yang menantang atau dilema. Perkembangan keyakinan bersama yang penting
untuk mencapai pikiran ini dan proyek-proyek yang melibatkan memberikan layanan
kepada orang lain.
Five Minds sebagai
Dasar Pembelajaran
Dalam pandangan Gardner (2008 : 1) five minds for the future merupakan
sesuatu antara must dan should. Must dalam pengertian bahwa five
mind merupakan kompetensi yang orang muda dan masyarakat perlukan pada abad
21 yang sedang dijalani. Should dalam
pengertian keputusan tentang pengembangan five
minds sesuai dengan nilai masing-masing orang. Artinya, jika seseorang
yakin bahwa pengembangan five minds amat penting bagi seseorang untuk menghadapi
masa depan, maka orang itu sudah seharusnya mengembangkan five minds yang terintegrasi pada pribadinya.
Bagi Gardner (2008 : 2) five minds sangat penting sebab gambaran masa depan sebagai the genetic revolution, yakni suatu masa
dimana anak pergi sekolah dengan membawa chips
gene masing-masing dan mereka akan berkata kepada guru dan administrtator
“these are the genes that are inactive, these are the ones that are working –
teach me effectively (Inilah gen yang belum aktif, tetapi sebagaian sedang
berkembang – ajarlah kami dengan efektif.)” dan kita tidak akan bisa menolak
permohonan ini.
Dalam konteks pembelajaran pengembangan
pribadi konselor five minds dipandang
sebagai keutuhan. Implikasinya pembelajaran harus mengembangkan kelima minds itu sebagai keutuhan pribadi. Gardner’s Five Minds dianggap cocok bagi
penegmbangan pembelajaran pribadi konselor dengan pemikiran sebagai berikut.
1. Pribadi
konselor dilandasi pengetahuan tapi bukan sebatas pengetahuan melainkan sampai
pada persoalan etik.
2.
Pengembangan
pribadi konselor menghendaki keutuhan pembelajaran yang melintas aspek
kognitif, afektif, dan psikomotor secara terstruktur dan terprogram, sehingga five minds bisa merepresentasikan
struktur, proses dan program dimaksud.
3. Five minds tidak mengajarkan
substansi melainkan mengajarkan alat berpikir untuk pengembangan pikiran secara
kontekstual dan normatif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar