Senin, 20 April 2020

Analisis Kajian Self-Efficacy


ANALISIS KAJIAN SELF-EFFICACY : SEJARAH DAN PERKEMBANGAN TEORI

Oleh :
Iman Lesmana


A.     Sejarah Kajian Self-Eficacy
Sekitar tahun 1982, 1986, dan 1989, Bandura telah mengembangkan suatu model teori perilaku sosial yang meliputi self-efficacy sebagai faktor utama. Teoriself-efficacy tumbuh dari teori pembelajaran sosial Bandura (Bandura, 1977) yang berisikan mengenai perilaku dan aspek-aspek mekanistis organisme perspektif individu.Model ini menggambarkan tentang nilai pengharapan dan penelitian tentang kemampuan persepsi diri. Bandura dan yang lainnya telah menerapkan model tersebut di berbagai bidang, mencakup kesehatan mental, seperti mengatasi depresi dan fobia; perilaku sehat, seperti kesembuhan akibat serangan jantung dan berhenti merokok; pengambilan keputusan dan pencapaian target penjualan dalam suatu usaha; tingkat pencapaian kinerja; berbagai pilihan karier; dan prestasi akademis. Dalam bidang pendidikan, Schunk (1989, 1994) telah mengawali penelitian dan menjadi seorang pionir teori self-efficacy individu dalam konteks kelas.
Self-efficacy didasarkan atas teori sosial-kognitifnya Bandura (1997) yang mendalilkan bahwa prestasi atau kinerja seseorang tergantung kepada interaksi antara tingkah laku, faktor pribadi (misalnya: pemikiran, keyakinan) dan kondisi lingkungan seseorang. elf-efficacy merujuk pada keyakinan tentang kemampuan seseorang untuk belajar atau menampilkan perilaku efektif.
Berikut akan diuraikan beberapa makna dan karakteristik dari self-efficacy menurut Maddux (2005: 278-279).
1.              Self-efficacy merupakan keterampilan yang berkenaan dengan apa yang diyakini atau keyakinan yang dimiliki oleh seseorang untuk melakukan atau menyelesaikan sesuatu dengan keterampilan yang dimilikinya dalam situasi atau kondisi tertentu. Biasanya terungkap dari pernyataan “Saya yakin dapat mengerjakannya”.
2.              Self-efficacy bukan menggambarkan tentang motif (motive), dorongan (drive), atau kebutuhan lain yang dikontrol. Hal ini dapat dijelaskan dengan ungkapan, “Saya mempunyai kebutuhan yang kuat untuk mengontrol domain tertentu dan masih mampu memelihara keyakinan efficacy agar tidak lemah”.
3.              Self-efficacy ialah keyakinan seseorang tentang kemampuannya dalam mengkoordinir, mengerahkan keterampilan dan kemampuan dalam mengubah serta menghadapi situasi yang penuh dengan tantangan.
4.              Self-efficacy adalah keyakinan seseorang terhadap apa yang mampu dilakukannya.
5.              Niat pada umumnya dipengaruhi oleh sejumlah faktor, termasuk self-efficacy.
6.              Proporsi efficacy dalam domain harga diri (self-esteem) secara langsung proporsinya berperan penting dalam menempatkan diri seseorang.
7.              Self-efficacy secara sederhana menggambarkan keyakinan seseorang yang dapat melaksanakan atau menampilkan perilaku produktif.
8.              Self-efficacy didefinisikan dan diukur bukan sebagai suatu ciri tetapi sebagai keyakinan tentang kemampuan untuk mengkoordinir berbagai keterampilan dan kemampuan mencapai tujuan yang diharapkan, dalam domain dan kondisi atau keadaan khusus.
9.              Self-efficacy berkembang sepanjang waktu dan diperoleh melalui suatu pengalaman. Perkembangannya dimulai pada masa bayi dan berlanjut sepanjang hayat.
Bila diperhatikan definisi self-efficacy yang telah diuraikan di atas maka terdapatmakna unsur-unsur yang sama dalam istilah self-efficacy, yaitu keyakinan dan kemampuanuntuk mengatur, melaksanakan, dan mendapatkan hasil yang baik sesuai dengan apa yang diharapkan. Makna self-efficacy merujuk pada dua aspek, keyakinan dan kemampuan.
Aspek keyakinan merujuk kepada kepercayaan atau keyakinan seseorang untuk memperoleh apa yang diinginkannya, sedangkan aspek kemampuan berisikan sejumlah prediksi atau perkiraan seseorang tentang kemampuan yang dimilikinya berdasarkan atas pengalaman sukses atau keberhasilannya pada waktu yang lampau.
Untuk memahami perkembangan self-efficacymenurut Bandura (1997; 1-3) dan Barone, Maddux & Snyder (Maddux, 2005: 278), diperlukan sejumlah pemahaman yang lebih luas tentang latar belakang teori sosial kognitif. Teori ini melakukan pendekatan ke arah pemahaman kognisi manusia, tindakan atau perilaku, motivasi, dan emosi yang berasumsi bahwa manusia merupakan makhluk aktif atau makhluk pembentuk aktivitas bukannya makhluk pasif yang reaktif dan bergantung kepada lingkungan
Terdapat beberapa silang pendapat mengenai istilah self-efficacydan self-esteem, keduanya seolah-olah memiliki arti atau makna yang sama. Dalam ensiklopedi bebas Wikipedia (2007: 1), ditegaskan bahwa:
It is important here to understand the distinction between self-esteem and self- efficacy. Self-esteem relates to a person’s sense of self-worth, whereas self-efficacy relates to a person’s perception of their ability to reach a goal. For example, say a person is a terrible rock climber. They would likely have a poor self-efficacy in regardtorock climbing, but this wouldn’t need to affect their self-esteem; most people don’t invest much of their self-esteem in this activity.
Berkenaan dengan peran self-esteem dan self-efficacy, dalam situs www.imt.net/~randolfi/esteem.html, dijelaskan pula bahwa:
Self-esteem and self-efficacy are central to the sustained success of any individual. They combine to formulate a powerful vaccine against distress, depression, helplessness, dependency, and irrational cognition. They are the key to optimism, positive behavior change and the achievement of goals. How can one expect to reach their potential if they do not believe in themselves and their ability to accomplish what they take on.
Bahkan, Branden (1992: 18) mengungkapkan, self-esteem dibagi ke dalam dua komponen yang saling berkaitan, yaitu: (1) self-efficacydan (2) self-respect. Self-efficacy,yaitu suatu keyakinan tentang kemampuan sendiri untuk berpikir yang merupakansumberdasar kemampuan dalam memroses fakta, berupa pertimbangan, pilihan, dan keputusan untuk dapat mengatasi rintangan dan tantangan dalam kehidupan.Keyakinan ini sebagai dasar untuk mencapai kebahagiaan yang didambakan.Self-respect, yaitu menerima diri dengan puas dan bangga, menerima hidup sebagaimana adanya, mempunyai kepastian diri berharga, dan bebas dari rasa bersalah yang berlebihan serta memiliki keyakinan untuk hidup berbahagia.
Pendapat Branden ini tidak menjelaskan lebih lanjut kecuali definisi dan dimensi self-esteem saja. Tidak dijelaskan tentang sumber-sumber atau mekanisme perkembangan aspek self-efficacy.
Jika dicermati, sesungguhnya kedua istilah tersebut sebenarnya berbeda. Self­esteemmerujuk pada perasaan umum tentang harga diri (self-worth) atau nilai diri (self- value), sedangkan self-efficacy merujuk pada persepsi kognitif yang berisikan keyakinan tentang kemampuan dalam mengatur dan melaksanakan sejumlah tindakan atau aktivitas yang diperlukan untuk menyelesaikan tuntutan atau tugas-tugas tertentu sehingga berhasil.
Menurut Maddux (2005: 279), teori sosial kognitif mempunyai empat premis dasar sebagai berikut.
Pertama, manusia dibekali dengan kekuatan kognitif atau kemampuan simbolisasi (symbolizing) yang memungkinkan untuk menginternalisasi model pengalaman belajarnya, mengembangkan tindakan atau perilaku inovatif, menguji hipotetis tindakan atau perilaku untuk memprediksikan hasilnya, dan berkomunikasi dengan orang lain tentang ide-ide serta pengalamannya yang kompleks. Manusia juga dapat mengobservasi diri (self-observation), menganalisis dan mengevaluasi tindakan atau perilaku, pikiran, dan emosinya. Penyusunankegiatan refleksi diri (self-reflective) ini merupakan langkah untuk mengendalikan dirinya (self-regulation).
Kedua, peristiwa-peristiwa yang terjadi di lingkungan, faktor-faktor internal pribadi seseorang (kognisi, emosi, dan peristiwa biologis), dan perilaku semuanya berpengaruh secara timbal balik. Manusia merespons secara kognitif, efektif dan berperilaku atas berbagai peristiwa yang terjadi di lingkungannya. Melalui kognisinya manusia berlatih mengendalikan semua perilakunya, kemudian pengaruh tersebut tidak hanya berasal dari kognisinya saja, melainkan faktor internal lainnya juga, seperti afektif dan kondisi atau keadaan biologisnya.
Ketiga, diri (self) dan kepribadian (personality) keduanya menggambarkan kelekatan sosial (social embedded) yang berisikan persepsi (akurat atau tidak) tentang diri sendiri dan contoh-contoh yang lain dari kognisi sosial, emosi, dan tindakan atau perilaku seperti diperlihatkan dalam satu contoh model pada satu situasi. Karena mereka memiliki kelekatan sosial (social embedded), diri dan kepribadian keduanya bukan hanya sekedar mengantarkan kepada interaksi dengan yang lainnya, melainkan juga berkreasi atau aktif dalam proses interaksi serta mengalami perubahan sepanjang proses interaksinya.
Keempat, manusia berkemampuan untuk mengendalikan diri (self-regulation). Ia mempunyai pilihan dalam mencapai tujuan dan mampu mengendalikan perilaku dalam rangka menyesuaikan atau mencapai tujuannya tersebut. Ia mempunyai pusat pengendalian diri, yaitu suatu kemampuan untuk mengantisipasi atau mengembangkan harapan dengan cara memanfaatkan pengetahuan dan pengalaman masa lalunya untuk membentuk keyakinan tentang rencana-rencana atau berbagai peristiwa di masa depannya dan keadaan atau kondisi serta keyakinan tentang kemampuan dan perilakunya.
Perkembangan awal self-efficacy terutama dipengaruhi oleh dua faktor yang saling berinteraksi (Maddux, 2005: 279), sebagai berikut.
Pertama, dipengaruhi oleh perkembangan kemampuan berpikir simbolis (the development of the capacity for symbolic thought), khususnya kemampuan yang berkaitan dengan pemahaman hubungan pengaruh kausal (the capacity for under-standing cause- effect relationships), kemampuan mengobservasi diri (the capacity for self-observation) dan kemampuan refleksi diri (the capacity for self-reflection). Perkembangan bermakna sebagai agen pribadi (personal agency) yang dimulai pada masa bayi dan berkembang dari persepsi tentang hubungan sebab-akibat di antara peristiwa, kemudian berkembang lagi menuju suatu pemahaman yang mengarahkan kepada perilaku yang efektif (Bandura, 1997). Seseorang harus belajar bahwa satu peristiwa dapat menyebabkan peristiwa yanglain; mereka tidak terpisah satu sama lainnya dan berbagai hal serta orang-orang yang ada di sekitarnya sehingga tindakannya tersebut dapat mempengaruhi lingkungan secara timbal balik (prinsip triadic reciprocal determinism). Salah satu contoh ialah meningkatnya bahasa anak-anak, demikian juga dengan kemampuan berpikir simbolis, kesadaran diri (self-awareness) dan meningkatnya pemahaman terhadap makna agensi pribadi atau a sense of personal agency (Bandura, 1997).
Kedua, perkembangan efficacy dipengaruhi oleh kemampuan mereaksi lingkungan, terutama lingkungan sosial. Seorang bayi atau anak berusaha untuk memanipulasi dan/atau mengendalikan lingkungan. Lingkungan tersebut merespons perilaku bayi atau anak tersebut sehingga lingkungan pun memfasilitasi perkembangan efficacy-nya. Apabila lingkungan tidak merespons maka perkembangan efficacy anak akan terhambat. Perkembangan efficacy seseorangakan mendorong eksplorasi efficacy bayi atau anak yang pada gilirannya nanti akan meningkat. Lingkungan sosial anak (terutama orang tua) pada umumnya lebih banyak merespons bagian tertentu dari lingkungan bayi atau anaknya. Dengan demikian, pada umumnya makna efficacy pada bayi atau anak berkembang dengan melibatkan tindakan atau manipulasi perilaku orang-orang yang berada di sekitarnya, untuk kemudian menggeneralisasikannya kepada lingkungan non sosial (Bandura, 1997). Orang tua dapat memfasilitasi atau bahkan menghambat perkembangan makna agen ini tidak hanya oleh responsnya terhadap perilaku bayi atau anak, melainkan juga melalui dorongan dan enabling bayi atau anak dalam mengeksplorasi serta memahami lingkungannya.
Menurut Bandura (1997: 80-115), self-Efficacydan makna agen secara kontinu turut berkembang sepanjang hayat serta mengintegrasikan informasi dari empat sumber utama sebagai berikut.
a.      Pengalaman Keberhasilan (Performance Experiences)
Usaha seseorang untuk mengendalikan lingkungan, bersumber kuat pada informasi self-efficacy. Keberhasilan usaha pengendalian tersebut berhubungan dengan usaha yang turut memperkuat self-efficacy dalam berperilaku atau domain tertentu. Persepsi atas kegagalan atau keberhasilan pada umumnya akan melemahkan atau meningkatkan self- efficacy seseorang. Mekanisme pembentukkan self-efficacy ini merujuk pada penguasaan pengalaman aktual yang bermakna (authentic mastery experiences), seperti: pengalaman langsung, kinerja aktual, dan tingkat pencapaiannya.
b.      Pengalaman Perumpamaan (Vicarious Experiences)
Self-efficacy dipengaruhi juga oleh observasi seseorang terhadap perilaku orang lain. Ia menggunakan informasi sebagai hasil observasinya untuk membentuk harapantentang perilaku dan konsekuensinya, terutama tergantung pada tingkat keyakinan mana dirinya mempunyai kesamaan dengan orang yang sedang diobservasinya (modeling). Pengalaman perumpamaan secara umum pengaruhnya lebih lemah pada self-efficacydibandingkan dengan mengalaminya sendiri. Mekanisme pembentukkan self-efficacy ini merujuk pada pengalaman melalui perumpamaan (vicarious experience), seperti: mengobservasi, meniru, dan melalui media lainnya.
Self-efficacy seseorang dapat dipengaruhi oleh imajinasinya sendiri atau model perilaku orang lain baik secara efektif maupun tidak efektif dalam situasi hipotesis. Misalnya citra mungkin diperoleh dari pengalaman aktual atau pengalaman perumpamaandengan salah satu situasi yang sama model antisipasinya, atau mungkin dipengaruhi oleh persuasi verbal, misalnya bila seorang psikoterapis membimbing seorang konseli melalui intervensi imajinasi dengan desensitisasi sistematis (imaginal interventions such as systematic desensitization) dan modeling tersembunyi atau covert modeling (Williams, 1995). Langkahnya sederhana, hanya membayangkan diri sendiri (imagining myself) mengerjakan sesuatu dengan baik. Kondisi ini mungkin tidak akan besar pengaruhnya terhadap self-efficacy sebagaimana mengalaminya sendiri secara aktual.
c.         Persuasi Verbal (Verbal Persuasion)
Efficacy seseorangdipengaruhi oleh perkataan orang lain tentang dirinya, dapat melakukan atau tidak. Potensi persuasi verbal sebagai suatu sumber self-efficacy yang diharapkan akan dipengaruhi oleh faktor kemahiran (expertness), kepercayaan (trustworthiness), dan daya tarik sumber (attractiveness of the source), seperti saran penelitian satu dekade tentang perubahan persuasi verbal dan sikap, misalnya yang dilakukan oleh Eagly & Chaiken pada tahun 1993. Persuasi verbal merupakan sumber potensi yang kurang berpengaruh terhadap perubahan self-efficacy yang diharapkan dibandingkan dengan pengalaman keberhasilan dan pengalaman perumpamaan. Mekanismepembentukkan persuasi verbal (verbal persuasions) ini dapat terjadi melalui umpan balik dari lingkungan, misalnya petunjuk atau arahan untuk melakukan sesuatu seperti resep masakan, minum obat, dan lain-lain.
d.        Hal-hal yang Berkenaan dengan Keadaan atau Kondisi Fisiologis dan Emosi (Physiological and Emotional States)
Keadaan fisik dan emosional berpengaruh terhadap self-efficacy, biasanya kegagalan atau keberhasilan akan memunculkan reaksi fisiologis, baik yang menyenangkan atau sebaliknya. Bila seseorang merasakan kemunculan reaksi fisiologisnya tidak menyenangkan, maka hal ini akan berpengaruh terhadap dirinya. Mungkin ia meragukan kemampuan dalam menyelesaikan sesuatu dibandingkan dengan kemunculan reaksi fisiologis yang netral atau bahkan menyenangkannya. Demikian pula halnya dengan sensasi fisiologis yang nyaman, mungkin akan mengarahkan perasaan seseorang untuk yakin akan kemampuannya dalam menghadapi situasinya. Tanda-tanda reaksi fisiologis dari self-efficacy akan meluas di luar kemunculan syaraf otonomis. Mekanisme pembentukkan ini merujuk padakondisi atau keadaan fisiologis (physiological state), misalnya tangan berkeringat, jantung berdebar, dan sebagainya.
Self-efficacy seseorang sangat bervariasi dalam berbagai dimensi dan berimplikasi bagi kinerja konselor. Bandura (1997: 42-50; 2001: 3-6) menjelaskan, bahwa self-efficacymempunyai struktur atau dimensi, seperti: magnitudeatau level, generality, danstrength.
a.       Magnitude atau Level
Dimensi magnitudeatau level, yaitu dimensi yang berhubungan dengan tingkat kesulitan masalah atau tugas yang dapat diatasi oleh seseorang sebagai hasil persepsi tentang kompetensi dirinya. Misalnya, jika seseorang dihadapkan pada masalah atau tugas­tugas yang disusun menurut tingkat kesulitan tertentu maka self-efficacy-nya akan jatuh pada tugas-tugas yang mudah, sedang, dan sulit sesuai dengan batas kemampuan yang dirasakan untuk memenuhi tuntutan perilaku yang dibutuhkan bagi masing-masing tingkatannya tersebut.
b.       Generality
Dimensi generality, yaitu dimensi yang berhubungan dengan luas bidang perilaku atau tingkat pencapaian keberhasilan seseorang dalam mengatasi atau menyelesaikan masalah atau tugas-tugasnya dalam kondisi tertentu. Misalnya, seseorang mungkin hanya mampu mengerjakan suatu masalah atau tugas-tugas yang terbatas pada bidang khusus atau tertentu, sementara orang lain dapat menyebar meliputi berbagai bidang perilaku.

c.       Strength
Dimensi strength, yaitu dimensi yang berhubungan dengan tingkat kekuatan atau kelemahan keyakinan tentang kompetensi yang dipersepsinya. Dengan kata lain dimensi strengthini menunjukkan tentang derajat kemantapan seseorang terhadap keyakinannya. Dimensi ini biasanya berkenaan langsung dengan dimensi pertama, magnitudeatau level, yaitu makin tinggi taraf kesulitan tugas maka makin lemah keyakinan yang dirasakan untuk menyelesaikannya.
Dalam artikelnya yang berjudul Guide for Constructing Self-Efficacy Scales, Bandura (2001: 5-6) menegaskan, bahwa pengukuran ketiga dimensi tersebut di atas diduga paling akurat untuk menjelaskan self-efficacy seseorang karena bersifat spesifik dalam tugas dan situasi yang dihadapinya. Seseorang dapat memiliki keyakinan yang tinggi pada suatu tugas atau situasi tertentu, namun pada situasi dan tugas yang lain mungkin tidak. Self-efficacy bersifat kontekstual, artinya tergantung pada konteks yang dihadapi. Umumnya self-efficacy akan menghasilkan suatu tampilan yang baik, berkenaan erat dengan keyakinan tersebut.
Terdapat sejumlah isu mendasar mengenai self-efficacy sebagai berikut. Pertama, self-efficacy menekankan pada: (1) perkembangan positif kualitas manusia, (2) memfasilitasi kesehatan psikologis, dan (3) kebahagiaan umat manusia yang semata-mata diarahkan untuk mencegah atau menyelesaikan sejumlah persoalan hidup yang negatif dan penuh kesengsaraan yang terbentuk atas Ketidakmampuan dalam berbuat sesuatu serta memperbaikinya kembali. Hal ini bermakna juga bahwa individu dapat aktif sebagai agen perubahan kehidupannya sendiri dan agen perubahan bagi kehidupan orang lain di sekitarnya (lingkungan). Teori sosial-kognitif dan teori self-efficacy menekankan tentang pemberdayaan (enabling) dalam perkembangan kehidupan manusia (termasuk menyiapkan sejumlah keterampilan dalam memilih dan mencapai tujuan hidup yang diinginkan), dengan cara mencegah atau mengurangi resiko yang dihadapi. Penelitian yang berfokus pada self-efficacy memberikan tingkat pemahaman tentang pentingnya pengendalian diri (self-regulation) berkaitan dengan bagaimana harus bersiap diri untuk memberdayakan keterampilan-keterampilannya (enablement skills).
Kedua, self-efficacy secara imperatif mengimplikasikan juga tentang kelekatan sosial individu, mengakui adanya kebahagiaan, dan kesuksesan individu yang tergantung pada besarnya tingkat kemampuan seseorang dalam bekerja sama, berkolaborasi, bernegosiasi, dan tingkat kemampuan untuk hidup selaras dengan orang lain. Sebagai tambahan, kemampuan berbisnis, berorganisasi, bermasyarakat, dan pemerintah (lokal, regional, nasional, dan internasional) untuk mencapai tujuan, terutama mereka akan terus meningkatkan kemampuannya dalam mengkoordinir usaha sebab dalam mencapai tujuan ini sering dihadapkan pada sejumlah konflik. Karena itu, efficacy kolektif --termasuk efficacy kolektif dalam organisasi profesi dan sekolah, serta efficacy perubahan sosial dan politis, menyimpan sejumlah pertanyaan penting bagi penelitian di masa depan. Dalam era global yang serba cepat ini, kerja sama dan kolaborasi dalam bidang bisnis dan pemerintahan secara umum terus meningkat dan begitu krusial, sehingga diperlukan pemahaman efficacy kolektif yang lebih baik dan lebih signifikan lagi.
Self-efficacy akan memberikan landasan dan prakarsa bagi konselor untuk berperilaku secara tekun, ulet, dan berani menghadapi tuntutan. Self-efficacy bukan hanya sekedar berisikan perkiraan sederhana mengenai tindakan yang perlu dilakukan pada masa yang akan datang, tetapi meliputi pola-pola pikir dan reaksi-reaksi emosional yang dialami dalam situasi-situasi stress (Bandura, 1982).
Munculnya pola-pola pikir dan reaksi-reaksi emosional yang positif dari konselor bermakna memberikan pelayanan dan konteks kapasitasnya sebagai pendidik. Konselor berperan dan berfungsi sebagai seorang pendidik psikologis (psychological educator atau psychoeducator), dengan perangkat pengetahuan dan keterampilan psikologis yang dimilikinya untuk membantu individu mencapai tingkat perkembangan yang lebih optimal. Peran ini merepresentasikan sebuah tantangan yang dapat memperkuat tujuan-tujuan keilmuan dan praktek profesional konselor sebagai pelayanan yang menunjukkan keunikan dan kebermaknaan tersendiri di dalam masyarakat.
Keyakinan dan kemampuan konselor akan mendorong untuk bersungguh-sungguh menyelesaikan kesulitan ketika memberikan bantuan. Hal ini dapat dilihat dari seberapa besar usaha dan seberapa lama ia membantu menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh konselinya. Sikap optimis menghadapi masa depan mempengaruhi sikap konselor dalam menghadapi hambatan yang menghalangi tujuan konselingnya. Self-efficacy yaitu keyakinan seseorang bahwa dirinya mampu melaksanakan tingkah laku yang dibutuhkan dalam suatu tugas (Pajares, 1996). Self-efficacy berisikan tentang keyakinan dan kemampuan yang dimiliki oleh konselor merupakan aspek penting yang memberikan keyakinan pada dirinya untuk memperoleh apa yang diinginkannya. Kemudian kemampuanmerupakan perkiraan konselor tentang kemampuannya yang dimiliki berdasarkan pengalaman keberhasilannya pada waktu di masa lampau dan/atau sepanjang hayatnya. Hal ini dapat dijadikan sebagai batu loncatan menuju ke arah kesuksesan aktivitas konselingnya.
Proses pemberian bantuan yang diberikan oleh konselor kepada konselinya berlangsung dalam suatu proses relasi antarpribadi yang dapat menghasilkan pertalian dan perpaduan di antara unsur-unsur kepribadian konselor dikombinasikan dengan keterampilan khusus, menghasilkan suasana yang dapat menunjang pertumbuh-kembangan yang mengarah kepada keberhasilan yang bermakna bagi konselor, konseli, dan bagi masyarakat pada umumnya.Bimbingan dan konseling proses pemberian bantuan terjadi dalam suatu hubungan. Dalam konteks formal, relasi seperti itu terjadi melalui wawancara yang teratur dan unsur yang membangun relasi.




Proses pemberian bantuan yang diberikan oleh konselor kepada konselinya itu bersifat dinamis. Artinya bahwa dalam proses pemberian bantuan itu cenderung akan terjadi perubahan, baik verbal maupun nonverbal. Selain itu, relasi antarpribadi yang terjadi dalam proses pemberian bantuan juga secara psikologis dapat merupakan suatu wahana utama bagi konselor dan konselinya untuk menyatakan dan memuaskan kebutuhannya satu sama lain serta untuk menangani masalah konseli dengan menggunakan keahlian konselor. Dalam hal ini, relasi menekankan kecenderungan afektif karena relasi itu biasanya diartikan sebagai pernyataan mutu emosi dari suatu interaksi.
Salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan pemberian bantuan melalui relasi di antaranya ialah dimensi karakteristik konselor. Hasil rangkuman dari National Vocational Guidance Association dalam Shertzer dan Stone (1971), Hamrin dan Paulson, Council of Student Personnel Association in Higher School, dan Association for Counselor Education&Supervision (Syamsu Yusuf dan Juntika, 2005: 44) dan Standar Kompetensi Konselor Indonesia (2005), mengungkapkan bahwa seorang konselor atau calon konselor minimal harus mempunyai karakteristik yang baik dalam hal: 1) ke-percayaan diri, 2) berminat membantu orang lain, 3) sabar, 4) sensitif terhadap reaksi dan sikap orang lain, 5) berkomitmen terhadap nilai manusiawi individu, 6) bersikap terbuka, dan 7) emosinya stabil, serta 8) mempunyai kepercayaan terhadap kemampu-an individu yang dibantunya.
Pendapat ini memberikan implikasi tentang pentingnya kualifikasi seorang konselor yang bermutu. Apalagi dalam konteks globalisasi sekarang yang penuh denganpersaingan, wacana dan isu tentang kualitas suatu profesi perlu menjadi kepedulian, terlebih jika menyangkut kualitas kinerja suatu profesi pemberi bantuan, seperti halnya konselor sekolah. Dapat dipahami, bahwa hanya konselor yang berkualitas baik saj a yang akan tetap bertahan serta bermanfaat secara signifikan terhadap pihak yang dilayani. Artinya bahwa semakin berkualitas kinerja seorang konselor maka semakin banyak atau meningkat pula masyarakat pengguna yang merasa membutuhkan konselor tersebut sebab masyarakat pengguna memperoleh manfaat yang memuaskan atas pelayanan profesi tersebut.
Salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas dimensi karakteristik konselor di antaranya aspek self-efficacy konselor. Aspek ini begitu menentukan keberhasilan kinerjanya. Seorang konselor yang memiliki self-efficacyyang tinggi akan menggunakan segenap kemampuan-nya untuk menyelesaikan tugas-tugas yang sulit sebagai suatu tantangan yang harus dikuasai/diselesaikannya alih-alih sebagai ancaman yang harus dihindarinya. Pandangan tentang efficacy dapat membantu perkembangan esensi minat dan keseriusan konselor dalam beraktivitas. Konselor yang self-efficacy-nya tinggi akan senantiasa menyiapkan diri dalam menghadapi tantangan dalam rangka mencapai tujuan dan memelihara komitmen kerjanya secara kuat.
Dengan diketahuinya self-efficacy konselor, diharapkan akan diketahui taraf konselor yang memiliki sejumlah harapan untuk berhasil dalam kinerjanya sebagai pemberi bantuan kemanusiaan yang mengembangkan kesehatan mental para siswa di sekolah sehingga hal tersebut mempengaruhi keputusannya untuk mencoba menampilkan perilaku baru yang potensial dan profesional serta mampu mempertahan-kan perubahan perilakunya tersebut. Dalam hal ini self-efficacydimaknai sebagai “sense of personal competence or feelings of mastery' (Kalodner, 1995).

B.    Perkembangan Teori Self-Efficacy
Usaha menumbuh-kembangkan self-efficacy konselor merupakan suatu keniscayaan sekaligus sebuah hal yang menantang. Gray dan Tindall (1985: 250) mengemukakan dua belas langkah pengembangan program sebagai langkah awal pengembangan model, meliputi: (1) menetapkan tujuan umum program; (2) mene-tapkan tujuan khusus program; (3) meneliti kebutuhan sistem melalui proses analisis kebutuhan; (4) memodifikasi tujuan umum dan khusus; (5) perencanaan program; (6) implementasi program; (7) mengevaluasi program berdasarkan pen-capaian tujuan atau perubahan perilaku; (8) penyesuaian program (mengurangi fase yang dianggap tidak efektif,menambah sejumlah prosedur yang diduga diperlukan, dan memodifikasi serta memperkuat prosedur yang dianggap efektif); (9) penetapan/penegasan tujuan umum dan khusus; (10) memodifikasi tujuan umum dan khusus jika diperlukan; (11) penyesuaian program (lihat langkah ke-8); dan (12) penetapan dan pemantapan tujuan umum dan khusus (lihat langkah ke-9).
Selanjutnya, Lerner dalam Marshal (2000: 1) mengemukakan tiga komponen yang harus diperhatikan dalam model pengembangan program kom-petensi konselor, yaitu: (1) pengembangan selalu berimplikasi terhadap perubahan; (2) perubahan hendaknya diorganisasikan secara sistematis, dan (3) perubahan melibatkan suksesi sepanjang waktu.
Sesuai dengan makna dan arah self-efficacyyang secarakontinu turut berkembang sepanjang hayat maka dalam mengembangkan programnya perlu mengintegrasikan informasi dari lima sumber utama, seperti yang disarankan oleh Maddux (2005: 280), Bandura (1997: 80-115), Rokke dan Rehm (2001: 175-202), yaitu: (1) pengalaman keberhasilan langsung, (2) pengalaman perumpamaan, (3) pengalaman imajinasi, (4) persuasi verbal, dan (5) kondisi atau keadaan fisiologis dan emosi.
Sebagaimana diuraikan pada bagian terdahulu, dua aspek perkembangan yang perlu diperhatikan dalam memahami self-efficacy, meliputi: (1) kemampuan berpikir simbolis (the development of the capacity for symbolic thought), khususnya pemahaman hubungan pengaruh kausal (the capacity for under-standing cause-effect relationships), kemampuan mengobservasi diri (the capacity for self-observation) dan kemampuan refleksi diri (the capacity for self-reflection); dan (2) efficacy yang dipengaruhi oleh kemampuan mereaksi lingkungan sosial, kedua hal ini memberikan implikasi penting mengenai perlunya memilih metode perlakuan (pengubahan perilaku) dan pemberian fasilitas dalam modelintervensi bimbingan dan konseling, baik teknik, prosedur, dan strategi.
Tekniknya, dikenal dengan pendekatan secara kombinasi antara aspek perilaku dan kognitif (Rokke dan Rohm dalam Dobson, 2001: 173-175). Menurut Cormier & Cormier (dalam Yuliati, 2004), beberapa teknik konseling kognitif-perilaku adalah pemodelan, perilaku, meditasi dan rileksasi, desentisasi sistematik, dan pengelolaan diri.
Pada prinsipnya, Bandura (1977: 195) dan Bandura (Rokke dan Rohm dalam Dobson, 2001: 178) berpendapat, bahwa treatment psikologis yang efektif, apapun bentuknya, dapat mengubah harapan efficacy seseorang. Pendekatan manajemen diri melalui terapi yang berfokus pada dorongan pengembangan keterampilan-keterampilan diri konselor diduga akan mampu mendongkrak peningkatan self-efficacy-nya, dengan orientasi pelayanan pengembangan terhadap sumber-sumber informasi self-efficacy konselor seperti terlihat pada gambar 3 sebagai berikut.
Gambar 3
Sumber-sumber Informasi Utama dalam
Pengembangan Self-Efficacy dan Beberapa Model Intervensinya



a.              Pengalaman Keberhasilan (Performance Accomplishments/ Performance Experiences)
Persepsi atas kegagalan atau keberhasilan pada umumnya akan melemahkan atau meningkatkan self-efficacy seseorang. Mekanisme pem-bentukkan self-efficacy ini merujuk pada penguasaan pengalaman aktual yang bermakna (authentic mastery experiences), seperti: pengalaman langsung, kinerja aktual, dan tingkat pencapaiannya. Semakin banyak mengalami keberhasilan yang diperoleh maka semakin meningkatkan harapan efficacy dan sebaliknya.
b.             Pengalaman Perumpamaan (Vicarious Experiences)
Observasi terhadap perilaku orang lain ini bermanfaat untuk mengembangkan informasi diri dalam membentuk harapan efficacy dan konsekuensinya, terutama tergantung pada tingkat keyakinan mana dirinya mempunyai kesamaan dengan orang yang sedang diobservasinya (modeling). Dalam hal ini, seseorang melakukan proses perbandingan sosial. Pengalaman perumpamaan secara umum pengaruhnya bergantung pada relevansi personal dimana self-efficacy yang dimiliki model (misalnya karakteristik model, membandingkan kemiripan diri dengan modelnya, hakekat interaksi perilaku diri dengansituasi model berupa penguasaan perilaku gagal atau berhasil yang disertai dengan taraf persistensi dirinya serta faktor keberhasilan yang lainnya). Mekanisme pembentukkan self- efficacy melalui pengalaman perumpamaan (vicarious experience) ini bentuknya dapat dikembangkan dengan cara mengobservasi, meniru, dan melalui media permodelan lainnya.
Citra diri mungkin diperoleh berdasarkan pengalaman aktual atau pengalaman perumpamaan dengan salah satu situasi yang sama dengan model yang diantisipasinya, atau bahkan dipengaruhi oleh persuasi verbal, misalnya bila seorang psikoterapis membimbing seorang konseli melalui intervensi imajinasi dengan desensitisasi sistematis (imaginal interventions such as systematic desensitization) dan modeling tersembunyi atau covert modeling (Williams, 1995). Langkahnya sederhana, hanya membayangkan diri sendiri (imagining myself) untuk mengerjakan sesuatu dengan baik.
c.       Persuasi Verbal (Verbal Persuasion)
Eagly & Chaiken (1993) mengungkapkan, bahwa perubahan persuasi verbal dan dipengaruhi olehkemahiran (expertness), kepercayaan (trustworthiness), dan daya tarik sumber (attractiveness of the source). Mekanisme pembentukkannya dapat terjadi melalui umpan balik dari lingkungan, misalnya petunjuk atau arahan untuk melakukan sesuatu seperti resep masakan, minum obat, dan lain-lain.
d.      Hal-hal yang Berkenaan dengan Keadaan atau Kondisi Fisiologis dan Emosi (Physiological and Emotional States)
Kegagalan atau keberhasilan biasanya bereaksi terhadap kondisi fisik dan emosional (menyenangkan atau sebaliknya). Kegagalan akan memunculkan reaksi fisiologis tidak menyenangkan. Seseorang mungkin meragukan kemampuannya dalam menghadapi situasi sulit dihadapinya (Forges, Bower, & Moylan, 1990; Salovey &Birnbaum). Demikian pula halnya dengan sensasi fisiologis yang nyaman atau menyenangkan, mungkin hal ini mengarahkan keyakinan seseorang terhadap kemampuan dalam menghadapi situasi yang sulit. Tanda-tanda reaksi fisiologis dari self-efficacy ini meluas di luar kemunculan syaraf otonomis. Mekanisme pembentukkan ini merujuk padakondisi atau keadaan fisiologis (physiological state) berupa suasana hati (mood), tangan berkeringat, jantung berdebar, dan sebagainya.
Proses konseling menunjuk pada cara-cara yang digunakan oleh untuk mengorganisasikan program konselingnya dari awal hingga akhir, mulai dari tahappersiapan (tahap pembukaan),implementasi teknik (tahapinti), tahapsimulasi/observasi/bermain peran, dan terminasi (tahap penutupan/evaluasi berupa analisis, refleksi, dan tindak lanjut). Ada dua aspek krusial perlu diperhatikan dalam konseling kelompok kognitif-perilaku, yaitu elemen penting dalam proses konseling kognitif perilaku dan tahapan dalam proses konseling.
Pemodelan merupakan suatu prosedur untuk membelajarkan konselor tentang tujuan perilaku profesional konselor.Penyajian model dapat dilakukan melalui teknik pemodelan langsung (live modeling), pemodelan tertutup (covert modeling) dan pemodelan simbolis (symbolic modeling).
Perilaku merupakan suatu strategi yang digunakan untuk melatih konselor membentuk perilaku profesional tertentu.Ketika konselor mempraktekkan perilaku tertentu, sebaiknya dimonitoring dan diberikan umpan balik terhadap keberhasilannya serta mengoreksi kesalahannya.
Pemberian dorongan yang diciptakan lingkungan sedemikian rupa melalui persuasi verbal oleh seseorang yang menjadi model/panutan sebagai: (1) daya tarik sumber (attractiveness of the source), (2) mempunyai kemahiran (expertness), (3) dapat dipercaya (trustworthiness) pada hakekatnya bertujuan untuk mendorong konselor dalam mempraktekkan keterampilan perilaku yang telah dipelajari dalam adegan konseling ke dalam kehidupan sehari-hari atau dalam situasi yang menimbulkan masalah perilaku.Aktivitas ini hendaknya dilaporkan konselor baik yang berupa hambatan maupun keberhasilan dalam melaksanakan kegiatan serta memberikan umpan balik terhadap laporan tersebut.Umpan balik ini juga bertujuan untuk memberikan penguatan terhadap kemajuan yang dicapai konselor.
Terdapat beberapa cara untuk meningkatkan dan mengoptimalkan self-efficacyseseorang. Kear (2006: 1-3) menjelaskan cara-cara sebagai berikut.
a.       Menempatkan pengetahuan sebagai kunci. Manusia perlu memahami diri sendiri, latar belakang berperilaku, serta mengidentifikasi kelebihan dan kelemahannya. Jika respons yang selama ini belum dapat merealisasikan harapan-harapan hidupnya, maka ia perlu belajar lagi untuk menambah pengetahuan, sikap, dan pengalaman-pengalamannya.
b.      Seseorang tidak mengetahui apa yang seharusnya dilakukan dan bagaimana cara melakukannya karena ia tidak mempunyai pengetahuan dan pengalaman yang tepat atau memadai. Ia harus belajar bagaimana cara menggunakan akalnya secara efektif, memfokuskan pada suatu kegiatan, dan mengontrol pikirannya sebagai suatu keterampilan yang diperlukan untuk menunjang usaha dan pencapaian tujuannya.
c.       Mau menantang asumsi sendiri. Seseorang harus menyiapkan diri menghadapi tantangan yang ada berdasarkan kemampuan, bakat, dan kompetensinya. Ia perlu memperkuat mentalnya dalam mengurangi rasa takut dan agar terlihat potensi aktualnya. Keefektifan akan meningkat bila terdapat perbedaan persepsi terhadap realitas yang ada.
d.      Ubahlah cara berpikir tentang diri sendiri dan berbagai hal di dalamnya melalui pemahaman dan pengaplikasian beberapa prinsip dasar keberhasilan. Tidak diperlukan beratus cara untuk mengubah cara berpikir, mungkin hanya perlu menciptakan sedikit perbedaan. Keterbatasan cara berpikir akan berpengaruh terhadap keyakinan seseorang tentang kemampuannya dalam menyelesaikan tugas atau tuntutan pekerjaannya.
e.       Kerjakan sesuatu oleh sendiri. Cara lain untuk meningkatkan self-efficacy seseorang dan mengetahui bahwa sesuatu dapat diselesaikan oleh dirinya sendiri. Jika hal ini gagal, coba sekali lagi dan berikan reaksi yang positif terhadap kegagalan tersebut. Tanya pada diri sendiri, apa yang akan terjadi selanjutnya dengan dirinya, mencoba mulai lagi dari yang terkecil serta lanjutkan dengan cara berikutnya.
f.        Jika hal ini berhasil, artinya ia mungkin mendapat cukup informasi. Keberhasilan menyelesaikan tugas atau tuntutan pekerjaan ini akan turut meningkatkan self-efficacy, motivasi, dan memperdalam keyakinan diri untuk mencapai keberhasilan.
g.       Lihat bagaimana orang lain berperilaku atau bekerja. Pelajari cara pakar berperilaku atau bekerja dan pahami caranya bagaimana sehingga ia berhasil. Seseorang dapat menentukan keefektifannya dengan cara melihat hasil yang diperolehnya. Melalui observasi terhadapnya, hal ini akan meningkatkan kesadaran seseorang, menawarkan berbagai pilihan, dan memperjelas gambaran-gambaran yang mungkin dihasilkan dari perilaku yang ditampilkan.
h.      Tidak ada yang mustahil jika seseorang mau berusaha. Kemudian ia meniru apa yang dikerjakan oleh pakar melalui perilaku atau model-model pekerjaan yang relatif sama. Orang yang berhasil dapat membantu seseorang mengembangkan pola pikir yang sama tentang harapannya atas penyelesaian suatu tugas atau pekerjaannya.
i.         Merencanakan dan mempersiapkan. Merencanakan dan mempersiapkan sesuatu dapat membantu seseorang mencapai hasil yang lebih baik dan berhasil mencapai tujuannya tersebut. Mau bertukar pikiran atau ide, menetapkan tujuan, mencatat langkah-langkah persiapan yang diperlukan untuk meningkatkan kualifikasi diri sendiri dalam meningkatkan hasil, dan mengontrolnya. Melalui kegiatan ini tidak akan terjadi pemborosan waktu dan energi.
j.         Segalanya dihitung. Direncanakan dan dipersiapkan setiap hari, minggu, bulan, dan setiap tahun sebab hidup seseorang harus direncanakan dan dipersiapkan. Langkah merencanakan dan mempersiapkan ini mengarahkan pada suatu keadaan model berpikir bahwa tidak ada yang mustahil jika seseorang mau berusaha.
k.       Gunakan pikiran dan akal sehat secara efektif. “Jika seseorang berpikiran kalah maka kalahlah ia”. Seseorang harus mempunyai trik dalam meningkatkan keyakinannya yang tidak efektif, tidak kompeten, dan banyak hal yang semuanya memuat ungkapan tidak mungkin. Keyakinan, identitas, dan bahasa yang dipergunakan oleh seseorang dapat membawanya ke arah ataukeadaan yang sulit.
l.         Seseorang dapat mengembalikan kendali dirinya untuk mengubah garis kehidupannya melalui penggunaan pikiran dan akal sehatnya untuk membentuk kembali dan membuat trik yang baru. Hanya gambaran diri yang mempunyai kekuatanlah yang mau dilihat, atau hanya kata-kata yang menggambarkan tentang kekuatanlah yang mau didengarkan serta cuma perasaan-perasaan yang berisikan pengalaman keberhasilanlah yang mau dihayati secara internal. Apapun yang terjadi di dalam maka selanjutnya akan muncul keluar.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Penguatan Integrasi Pendidikan

PENGUATAN INTEGRASI PENDIDIKAN DALAM ERA DISUPSI Oleh :  Asep Rohiman Lesmana, M.Pd. Pendidikan merupakan suatu entitas yang s...