ANALISIS KAJIAN SELF-EFFICACY : SEJARAH DAN PERKEMBANGAN TEORI
Oleh :
Iman Lesmana
A. Sejarah Kajian Self-Eficacy
Sekitar tahun 1982, 1986, dan 1989, Bandura telah
mengembangkan suatu model teori perilaku sosial yang meliputi self-efficacy sebagai
faktor utama. Teoriself-efficacy tumbuh dari teori pembelajaran
sosial Bandura (Bandura, 1977) yang berisikan mengenai perilaku
dan aspek-aspek mekanistis organisme perspektif individu.Model ini menggambarkan
tentang nilai pengharapan dan penelitian tentang kemampuan persepsi diri.
Bandura dan yang lainnya telah menerapkan model tersebut di berbagai bidang, mencakup
kesehatan mental, seperti mengatasi depresi dan fobia; perilaku sehat, seperti
kesembuhan akibat serangan jantung dan berhenti merokok; pengambilan keputusan
dan pencapaian
target penjualan dalam suatu usaha; tingkat pencapaian kinerja; berbagai pilihan karier; dan prestasi akademis. Dalam
bidang pendidikan, Schunk (1989, 1994) telah mengawali penelitian dan menjadi seorang pionir teori self-efficacy individu
dalam konteks kelas.
Self-efficacy
didasarkan atas teori sosial-kognitifnya Bandura (1997) yang mendalilkan
bahwa prestasi atau kinerja seseorang tergantung kepada interaksi antara tingkah
laku, faktor pribadi (misalnya: pemikiran, keyakinan) dan kondisi lingkungan seseorang. elf-efficacy merujuk pada
keyakinan tentang kemampuan seseorang untuk belajar
atau menampilkan perilaku efektif.
Berikut akan diuraikan beberapa makna dan karakteristik
dari self-efficacy
menurut Maddux (2005: 278-279).
1.
Self-efficacy merupakan keterampilan yang berkenaan dengan
apa yang diyakini atau keyakinan yang dimiliki oleh seseorang untuk melakukan
atau menyelesaikan sesuatu dengan keterampilan yang dimilikinya dalam situasi
atau kondisi tertentu. Biasanya terungkap dari pernyataan “Saya yakin dapat
mengerjakannya”.
2.
Self-efficacy bukan menggambarkan tentang motif (motive), dorongan (drive), atau kebutuhan lain yang dikontrol. Hal ini dapat
dijelaskan dengan ungkapan, “Saya mempunyai kebutuhan yang kuat untuk
mengontrol domain tertentu dan masih mampu memelihara keyakinan efficacy agar tidak lemah”.
3.
Self-efficacy ialah keyakinan seseorang tentang
kemampuannya dalam mengkoordinir, mengerahkan keterampilan dan kemampuan dalam
mengubah serta menghadapi situasi yang penuh dengan tantangan.
4.
Self-efficacy adalah keyakinan seseorang terhadap apa yang mampu dilakukannya.
5.
Niat pada umumnya dipengaruhi oleh sejumlah
faktor, termasuk self-efficacy.
6.
Proporsi efficacy dalam
domain harga diri (self-esteem)
secara langsung proporsinya berperan penting dalam menempatkan diri seseorang.
7.
Self-efficacy secara sederhana menggambarkan keyakinan
seseorang yang dapat melaksanakan atau menampilkan perilaku produktif.
8.
Self-efficacy didefinisikan dan diukur bukan sebagai suatu
ciri tetapi sebagai keyakinan tentang kemampuan untuk mengkoordinir berbagai
keterampilan dan kemampuan mencapai tujuan yang diharapkan, dalam domain dan
kondisi atau keadaan khusus.
9.
Self-efficacy berkembang sepanjang waktu dan diperoleh
melalui suatu pengalaman. Perkembangannya dimulai pada masa bayi dan berlanjut
sepanjang hayat.
Bila diperhatikan definisi self-efficacy yang telah
diuraikan di atas maka terdapatmakna unsur-unsur yang sama dalam
istilah self-efficacy, yaitu keyakinan dan kemampuanuntuk
mengatur, melaksanakan, dan mendapatkan hasil yang baik sesuai dengan apa yang diharapkan.
Makna self-efficacy merujuk pada dua aspek, keyakinan dan kemampuan.
Aspek keyakinan merujuk kepada kepercayaan atau keyakinan
seseorang untuk memperoleh apa yang diinginkannya, sedangkan aspek
kemampuan berisikan sejumlah prediksi atau perkiraan seseorang
tentang kemampuan yang dimilikinya berdasarkan atas pengalaman
sukses atau keberhasilannya pada waktu yang lampau.
Untuk memahami perkembangan self-efficacymenurut
Bandura (1997; 1-3) dan Barone, Maddux & Snyder (Maddux,
2005: 278), diperlukan sejumlah pemahaman yang lebih luas tentang
latar belakang teori sosial kognitif. Teori ini melakukan pendekatan ke arah
pemahaman kognisi manusia, tindakan atau perilaku, motivasi, dan emosi yang berasumsi
bahwa manusia merupakan makhluk aktif atau makhluk pembentuk aktivitas bukannya
makhluk pasif yang reaktif dan bergantung kepada lingkungan
Terdapat beberapa silang pendapat mengenai istilah self-efficacydan
self-esteem, keduanya seolah-olah memiliki arti
atau makna yang sama. Dalam ensiklopedi bebas Wikipedia (2007:
1), ditegaskan bahwa:
It is important here to understand the distinction between self-esteem
and self- efficacy. Self-esteem
relates to a person’s sense of self-worth, whereas self-efficacy relates
to a person’s perception of their ability to reach a goal. For example, say a person
is a terrible rock climber. They would likely have a poor self-efficacy in
regardtorock climbing, but this wouldn’t need
to affect their self-esteem; most
people don’t invest much of their self-esteem in this activity.
Berkenaan dengan peran self-esteem
dan self-efficacy, dalam situs www.imt.net/~randolfi/esteem.html, dijelaskan pula bahwa:
Self-esteem and self-efficacy are central to the
sustained success of any individual. They combine to formulate a powerful
vaccine against distress, depression, helplessness, dependency, and
irrational cognition. They are the key to optimism, positive
behavior change and the achievement of goals. How can one expect to reach their
potential if they do not believe in themselves and their ability to accomplish
what they take on.
Bahkan,
Branden (1992: 18) mengungkapkan, self-esteem dibagi
ke dalam dua komponen yang saling berkaitan, yaitu: (1) self-efficacydan
(2) self-respect. Self-efficacy,yaitu
suatu keyakinan tentang kemampuan sendiri untuk berpikir yang merupakansumberdasar
kemampuan dalam memroses fakta, berupa pertimbangan, pilihan, dan
keputusan untuk dapat mengatasi rintangan
dan tantangan dalam kehidupan.Keyakinan ini sebagai dasar untuk mencapai kebahagiaan yang
didambakan.Self-respect, yaitu menerima diri
dengan puas dan bangga, menerima hidup sebagaimana adanya, mempunyai kepastian
diri berharga, dan bebas dari rasa bersalah yang berlebihan serta memiliki keyakinan untuk hidup berbahagia.
Pendapat
Branden ini tidak menjelaskan lebih lanjut kecuali definisi dan dimensi self-esteem
saja. Tidak dijelaskan tentang sumber-sumber atau
mekanisme perkembangan aspek self-efficacy.
Jika
dicermati, sesungguhnya kedua istilah tersebut sebenarnya berbeda.
Selfesteemmerujuk pada perasaan
umum tentang harga diri (self-worth)
atau nilai diri (self- value),
sedangkan self-efficacy merujuk pada persepsi
kognitif yang berisikan keyakinan tentang
kemampuan dalam mengatur dan melaksanakan sejumlah tindakan atau aktivitas yang
diperlukan untuk menyelesaikan tuntutan atau tugas-tugas tertentu sehingga
berhasil.
Menurut
Maddux (2005: 279), teori sosial kognitif mempunyai empat premis dasar sebagai
berikut.
Pertama,
manusia dibekali dengan kekuatan kognitif atau kemampuan
simbolisasi (symbolizing)
yang memungkinkan untuk menginternalisasi model pengalaman belajarnya, mengembangkan
tindakan atau perilaku inovatif, menguji hipotetis tindakan atau perilaku untuk
memprediksikan hasilnya, dan berkomunikasi dengan orang lain tentang ide-ide
serta pengalamannya yang kompleks. Manusia juga dapat mengobservasi diri (self-observation),
menganalisis dan mengevaluasi tindakan atau perilaku,
pikiran, dan emosinya. Penyusunankegiatan refleksi diri (self-reflective)
ini merupakan langkah untuk mengendalikan dirinya (self-regulation).
Kedua,
peristiwa-peristiwa yang terjadi di lingkungan,
faktor-faktor internal pribadi seseorang (kognisi, emosi, dan
peristiwa biologis), dan perilaku semuanya berpengaruh secara
timbal balik. Manusia merespons secara kognitif, efektif dan berperilaku
atas berbagai peristiwa yang terjadi di lingkungannya. Melalui kognisinya
manusia berlatih mengendalikan semua perilakunya, kemudian pengaruh tersebut
tidak hanya berasal dari kognisinya saja, melainkan faktor internal lainnya
juga, seperti afektif dan kondisi atau keadaan biologisnya.
Ketiga,
diri (self) dan kepribadian (personality)
keduanya menggambarkan kelekatan sosial (social embedded)
yang berisikan persepsi (akurat atau tidak) tentang diri sendiri dan
contoh-contoh yang lain dari kognisi sosial, emosi, dan tindakan atau perilaku seperti
diperlihatkan dalam satu contoh model pada satu situasi. Karena mereka memiliki
kelekatan sosial (social embedded), diri dan kepribadian keduanya bukan
hanya sekedar mengantarkan kepada interaksi dengan yang lainnya,
melainkan juga berkreasi atau aktif dalam proses interaksi serta
mengalami perubahan sepanjang proses interaksinya.
Keempat,
manusia berkemampuan untuk mengendalikan diri (self-regulation).
Ia mempunyai pilihan dalam mencapai tujuan dan mampu
mengendalikan perilaku dalam rangka menyesuaikan atau mencapai
tujuannya tersebut. Ia mempunyai pusat pengendalian diri,
yaitu suatu kemampuan untuk mengantisipasi atau mengembangkan harapan dengan cara
memanfaatkan pengetahuan dan pengalaman masa lalunya untuk membentuk keyakinan
tentang rencana-rencana atau berbagai peristiwa di masa depannya dan keadaan
atau kondisi serta keyakinan tentang kemampuan dan perilakunya.
Perkembangan
awal self-efficacy terutama dipengaruhi oleh dua faktor yang saling berinteraksi
(Maddux, 2005: 279), sebagai berikut.
Pertama,
dipengaruhi oleh perkembangan kemampuan berpikir simbolis (the development
of the capacity for symbolic thought), khususnya kemampuan yang
berkaitan dengan pemahaman hubungan pengaruh kausal (the
capacity for under-standing cause- effect relationships),
kemampuan mengobservasi diri (the capacity for self-observation) dan
kemampuan refleksi diri (the capacity for self-reflection). Perkembangan
bermakna sebagai agen pribadi (personal agency) yang dimulai
pada masa bayi dan berkembang dari persepsi tentang hubungan
sebab-akibat di antara peristiwa, kemudian berkembang lagi menuju suatu
pemahaman yang mengarahkan kepada perilaku yang efektif (Bandura, 1997). Seseorang harus belajar bahwa satu
peristiwa dapat menyebabkan peristiwa yanglain; mereka tidak terpisah satu sama lainnya dan berbagai hal serta
orang-orang yang ada di sekitarnya
sehingga tindakannya tersebut dapat mempengaruhi lingkungan secara timbal balik
(prinsip triadic reciprocal determinism). Salah satu contoh ialah
meningkatnya bahasa anak-anak, demikian
juga dengan kemampuan berpikir simbolis, kesadaran diri (self-awareness)
dan meningkatnya pemahaman terhadap makna agensi pribadi atau a sense of personal agency (Bandura, 1997).
Kedua,
perkembangan efficacy dipengaruhi oleh kemampuan mereaksi lingkungan, terutama
lingkungan sosial. Seorang bayi atau anak berusaha untuk memanipulasi dan/atau mengendalikan
lingkungan. Lingkungan tersebut merespons perilaku bayi atau anak tersebut sehingga lingkungan pun memfasilitasi
perkembangan efficacy-nya. Apabila lingkungan tidak merespons maka perkembangan efficacy anak akan
terhambat. Perkembangan efficacy seseorangakan
mendorong eksplorasi efficacy bayi atau anak yang pada gilirannya nanti akan meningkat. Lingkungan
sosial anak (terutama orang tua) pada umumnya
lebih banyak merespons bagian tertentu dari lingkungan bayi atau anaknya. Dengan demikian, pada umumnya makna efficacy pada
bayi atau anak berkembang dengan melibatkan tindakan atau manipulasi perilaku
orang-orang yang berada di sekitarnya, untuk kemudian menggeneralisasikannya kepada lingkungan non sosial (Bandura,
1997). Orang tua dapat memfasilitasi
atau bahkan menghambat perkembangan makna agen ini tidak hanya oleh responsnya terhadap perilaku bayi atau
anak, melainkan juga melalui dorongan dan enabling bayi atau anak dalam
mengeksplorasi serta memahami lingkungannya.
Menurut Bandura
(1997: 80-115), self-Efficacydan makna agen secara kontinu turut berkembang sepanjang hayat serta
mengintegrasikan informasi dari empat sumber utama sebagai berikut.
a. Pengalaman
Keberhasilan (Performance Experiences)
Usaha seseorang untuk mengendalikan lingkungan, bersumber
kuat pada informasi self-efficacy.
Keberhasilan usaha pengendalian tersebut berhubungan dengan usaha yang turut
memperkuat self-efficacy dalam berperilaku atau domain tertentu.
Persepsi atas kegagalan atau keberhasilan pada umumnya akan
melemahkan atau meningkatkan self- efficacy
seseorang. Mekanisme pembentukkan self-efficacy ini merujuk pada
penguasaan pengalaman aktual yang bermakna (authentic mastery experiences),
seperti: pengalaman langsung, kinerja aktual, dan tingkat
pencapaiannya.
b. Pengalaman
Perumpamaan (Vicarious Experiences)
Self-efficacy dipengaruhi juga oleh observasi
seseorang terhadap perilaku orang lain. Ia menggunakan informasi
sebagai hasil observasinya untuk membentuk harapantentang
perilaku dan konsekuensinya, terutama tergantung pada tingkat keyakinan mana dirinya
mempunyai kesamaan dengan orang yang sedang diobservasinya (modeling).
Pengalaman perumpamaan secara umum pengaruhnya lebih lemah pada self-efficacydibandingkan
dengan mengalaminya sendiri. Mekanisme pembentukkan self-efficacy ini merujuk
pada pengalaman melalui perumpamaan (vicarious experience), seperti: mengobservasi,
meniru, dan melalui media lainnya.
Self-efficacy seseorang dapat dipengaruhi oleh
imajinasinya sendiri atau model perilaku orang lain baik secara efektif maupun tidak
efektif dalam situasi hipotesis. Misalnya
citra mungkin diperoleh dari pengalaman aktual atau pengalaman
perumpamaandengan salah satu
situasi yang sama model antisipasinya, atau mungkin dipengaruhi oleh persuasi verbal, misalnya bila seorang psikoterapis membimbing seorang konseli melalui intervensi
imajinasi dengan desensitisasi sistematis (imaginal interventions such as systematic desensitization) dan modeling tersembunyi atau covert modeling
(Williams, 1995). Langkahnya
sederhana, hanya membayangkan diri sendiri (imagining myself) mengerjakan sesuatu dengan baik. Kondisi ini
mungkin tidak akan besar pengaruhnya terhadap
self-efficacy sebagaimana mengalaminya sendiri secara aktual.
c.
Persuasi Verbal (Verbal Persuasion)
Efficacy
seseorangdipengaruhi oleh perkataan orang lain tentang
dirinya, dapat melakukan atau tidak. Potensi persuasi verbal sebagai suatu
sumber self-efficacy yang diharapkan akan dipengaruhi oleh
faktor kemahiran (expertness), kepercayaan (trustworthiness),
dan daya tarik sumber (attractiveness of the source), seperti saran penelitian satu dekade tentang perubahan persuasi
verbal dan sikap, misalnya yang dilakukan
oleh Eagly & Chaiken pada tahun 1993. Persuasi verbal merupakan sumber potensi
yang kurang berpengaruh terhadap perubahan self-efficacy yang diharapkan
dibandingkan dengan pengalaman keberhasilan
dan pengalaman perumpamaan. Mekanismepembentukkan
persuasi verbal (verbal persuasions) ini dapat terjadi melalui umpan
balik dari lingkungan, misalnya
petunjuk atau arahan untuk melakukan sesuatu seperti resep masakan, minum obat, dan lain-lain.
d.
Hal-hal yang Berkenaan dengan
Keadaan atau Kondisi Fisiologis dan Emosi (Physiological
and Emotional States)
Keadaan
fisik dan emosional berpengaruh terhadap self-efficacy, biasanya kegagalan
atau keberhasilan akan memunculkan reaksi fisiologis, baik yang menyenangkan
atau sebaliknya. Bila seseorang merasakan kemunculan reaksi
fisiologisnya tidak menyenangkan, maka hal ini akan
berpengaruh terhadap dirinya. Mungkin ia meragukan kemampuan dalam
menyelesaikan sesuatu dibandingkan dengan kemunculan reaksi fisiologis yang
netral atau bahkan menyenangkannya. Demikian pula halnya dengan sensasi fisiologis yang nyaman, mungkin akan
mengarahkan perasaan seseorang untuk yakin akan kemampuannya dalam menghadapi
situasinya. Tanda-tanda reaksi fisiologis dari self-efficacy akan meluas di luar kemunculan syaraf otonomis.
Mekanisme pembentukkan ini merujuk
padakondisi atau keadaan fisiologis (physiological state), misalnya tangan berkeringat, jantung berdebar, dan
sebagainya.
Self-efficacy
seseorang sangat bervariasi dalam berbagai dimensi dan berimplikasi bagi
kinerja konselor. Bandura (1997: 42-50; 2001: 3-6) menjelaskan, bahwa self-efficacymempunyai
struktur atau dimensi, seperti: magnitudeatau level, generality, danstrength.
a. Magnitude
atau Level
Dimensi magnitudeatau level, yaitu dimensi
yang berhubungan dengan tingkat kesulitan masalah atau tugas yang dapat diatasi oleh
seseorang sebagai hasil persepsi tentang
kompetensi dirinya. Misalnya, jika seseorang dihadapkan pada masalah atau tugastugas yang disusun menurut tingkat kesulitan
tertentu maka self-efficacy-nya akan jatuh pada tugas-tugas yang mudah, sedang, dan sulit
sesuai dengan batas kemampuan yang dirasakan
untuk memenuhi tuntutan perilaku yang dibutuhkan bagi masing-masing tingkatannya tersebut.
b. Generality
Dimensi generality, yaitu dimensi yang berhubungan
dengan luas bidang perilaku atau tingkat pencapaian keberhasilan
seseorang dalam mengatasi atau menyelesaikan masalah atau
tugas-tugasnya dalam kondisi tertentu. Misalnya, seseorang mungkin hanya mampu
mengerjakan suatu masalah atau tugas-tugas yang terbatas pada bidang khusus
atau tertentu, sementara orang lain dapat menyebar meliputi
berbagai bidang perilaku.
c. Strength
Dimensi strength, yaitu dimensi yang berhubungan
dengan tingkat kekuatan atau kelemahan keyakinan tentang kompetensi yang
dipersepsinya. Dengan kata lain dimensi strengthini
menunjukkan tentang derajat kemantapan seseorang terhadap keyakinannya. Dimensi
ini biasanya berkenaan langsung dengan dimensi pertama, magnitudeatau level,
yaitu makin tinggi taraf kesulitan tugas maka makin lemah
keyakinan yang dirasakan untuk menyelesaikannya.
Dalam
artikelnya yang berjudul Guide for Constructing Self-Efficacy Scales, Bandura (2001: 5-6) menegaskan, bahwa pengukuran
ketiga dimensi tersebut di atas diduga paling akurat untuk menjelaskan self-efficacy
seseorang karena bersifat spesifik dalam tugas
dan situasi yang dihadapinya. Seseorang dapat memiliki keyakinan yang tinggi
pada suatu tugas atau situasi
tertentu, namun pada situasi dan tugas yang lain mungkin tidak. Self-efficacy bersifat kontekstual, artinya tergantung pada konteks yang dihadapi. Umumnya
self-efficacy akan menghasilkan suatu tampilan yang baik, berkenaan erat
dengan keyakinan tersebut.
Terdapat sejumlah isu mendasar
mengenai self-efficacy sebagai berikut. Pertama, self-efficacy
menekankan pada: (1) perkembangan positif kualitas manusia, (2) memfasilitasi
kesehatan psikologis, dan (3) kebahagiaan umat manusia yang semata-mata diarahkan
untuk mencegah atau menyelesaikan sejumlah persoalan hidup yang negatif dan penuh
kesengsaraan yang terbentuk atas Ketidakmampuan dalam berbuat sesuatu serta memperbaikinya
kembali. Hal ini bermakna juga bahwa individu dapat aktif sebagai agen perubahan
kehidupannya sendiri dan agen perubahan bagi kehidupan orang lain di sekitarnya
(lingkungan). Teori sosial-kognitif dan teori self-efficacy menekankan
tentang pemberdayaan (enabling) dalam perkembangan
kehidupan manusia (termasuk menyiapkan sejumlah keterampilan dalam memilih dan mencapai tujuan
hidup yang diinginkan), dengan cara mencegah
atau mengurangi resiko yang dihadapi. Penelitian yang berfokus pada self-efficacy
memberikan tingkat pemahaman tentang pentingnya pengendalian diri (self-regulation) berkaitan dengan
bagaimana harus bersiap diri untuk memberdayakan keterampilan-keterampilannya (enablement skills).
Kedua, self-efficacy secara
imperatif mengimplikasikan juga tentang kelekatan sosial
individu, mengakui adanya kebahagiaan, dan kesuksesan individu yang tergantung pada
besarnya tingkat kemampuan seseorang dalam bekerja sama, berkolaborasi, bernegosiasi,
dan tingkat kemampuan untuk hidup selaras dengan orang lain. Sebagai tambahan,
kemampuan berbisnis, berorganisasi, bermasyarakat, dan pemerintah (lokal, regional,
nasional, dan internasional) untuk mencapai tujuan, terutama mereka akan terus meningkatkan
kemampuannya dalam mengkoordinir usaha sebab dalam mencapai tujuan ini sering dihadapkan
pada sejumlah konflik. Karena itu, efficacy kolektif --termasuk efficacy kolektif dalam organisasi profesi dan sekolah, serta efficacy perubahan
sosial dan politis, menyimpan
sejumlah pertanyaan penting bagi penelitian di masa depan. Dalam era global yang serba cepat ini, kerja sama dan
kolaborasi dalam bidang bisnis dan pemerintahan
secara umum terus meningkat dan begitu krusial, sehingga diperlukan pemahaman efficacy kolektif yang lebih
baik dan lebih signifikan lagi.
Self-efficacy akan memberikan landasan dan
prakarsa bagi konselor untuk berperilaku secara tekun, ulet, dan
berani menghadapi tuntutan. Self-efficacy bukan hanya sekedar
berisikan perkiraan sederhana mengenai tindakan yang perlu dilakukan pada masa yang
akan datang, tetapi meliputi pola-pola pikir dan reaksi-reaksi emosional yang
dialami dalam situasi-situasi stress (Bandura, 1982).
Munculnya pola-pola pikir dan reaksi-reaksi emosional yang
positif dari konselor bermakna memberikan pelayanan dan
konteks kapasitasnya sebagai pendidik. Konselor berperan dan
berfungsi sebagai seorang pendidik psikologis (psychological educator atau
psychoeducator), dengan perangkat pengetahuan dan
keterampilan psikologis yang dimilikinya untuk membantu individu
mencapai tingkat perkembangan yang lebih optimal. Peran
ini merepresentasikan sebuah tantangan yang dapat memperkuat tujuan-tujuan keilmuan
dan praktek profesional konselor sebagai pelayanan yang menunjukkan keunikan
dan kebermaknaan tersendiri di dalam masyarakat.
Keyakinan dan kemampuan konselor akan mendorong untuk
bersungguh-sungguh menyelesaikan kesulitan ketika
memberikan bantuan. Hal ini dapat dilihat dari seberapa besar
usaha dan seberapa lama ia membantu menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh
konselinya. Sikap optimis menghadapi masa depan mempengaruhi sikap konselor
dalam menghadapi hambatan yang menghalangi tujuan konselingnya. Self-efficacy
yaitu keyakinan seseorang bahwa dirinya mampu melaksanakan
tingkah laku yang dibutuhkan dalam suatu tugas (Pajares, 1996). Self-efficacy
berisikan tentang keyakinan dan kemampuan
yang dimiliki oleh konselor merupakan aspek penting yang memberikan keyakinan
pada dirinya untuk memperoleh apa yang diinginkannya. Kemudian kemampuanmerupakan
perkiraan konselor tentang kemampuannya yang dimiliki berdasarkan pengalaman
keberhasilannya pada waktu di masa lampau dan/atau sepanjang hayatnya. Hal ini
dapat dijadikan sebagai batu loncatan menuju ke arah kesuksesan aktivitas konselingnya.
Proses pemberian bantuan yang diberikan oleh konselor
kepada konselinya berlangsung dalam suatu proses relasi antarpribadi
yang dapat menghasilkan pertalian dan perpaduan di antara unsur-unsur
kepribadian konselor dikombinasikan dengan keterampilan
khusus, menghasilkan suasana yang dapat menunjang pertumbuh-kembangan yang
mengarah kepada keberhasilan yang bermakna bagi konselor, konseli, dan bagi masyarakat
pada umumnya.Bimbingan dan konseling proses pemberian bantuan
terjadi dalam suatu hubungan. Dalam konteks formal, relasi seperti itu terjadi
melalui wawancara yang teratur dan unsur yang membangun
relasi.
Proses pemberian bantuan yang diberikan oleh
konselor kepada konselinya itu bersifat dinamis. Artinya bahwa dalam proses pemberian bantuan itu cenderung akan
terjadi perubahan, baik verbal maupun nonverbal.
Selain itu, relasi antarpribadi yang terjadi dalam proses pemberian bantuan
juga secara psikologis dapat merupakan suatu wahana utama bagi konselor
dan konselinya untuk menyatakan dan
memuaskan kebutuhannya satu sama lain serta untuk menangani masalah konseli dengan menggunakan keahlian
konselor. Dalam hal ini, relasi menekankan kecenderungan afektif karena relasi itu biasanya diartikan sebagai
pernyataan mutu emosi dari suatu
interaksi.
Salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan pemberian
bantuan melalui relasi di antaranya ialah dimensi karakteristik
konselor. Hasil rangkuman dari National Vocational
Guidance Association dalam Shertzer dan Stone (1971),
Hamrin dan Paulson, Council of Student Personnel
Association in Higher School, dan Association for Counselor Education&Supervision
(Syamsu Yusuf dan Juntika, 2005: 44) dan Standar Kompetensi Konselor Indonesia
(2005), mengungkapkan bahwa seorang konselor atau calon konselor minimal
harus mempunyai karakteristik yang baik dalam hal: 1) ke-percayaan diri, 2) berminat
membantu orang lain, 3) sabar, 4) sensitif terhadap reaksi dan sikap orang
lain, 5) berkomitmen terhadap nilai manusiawi individu, 6) bersikap
terbuka, dan 7) emosinya stabil, serta 8) mempunyai
kepercayaan terhadap kemampu-an individu yang dibantunya.
Pendapat ini memberikan implikasi tentang pentingnya
kualifikasi seorang konselor yang bermutu. Apalagi dalam
konteks globalisasi sekarang yang penuh denganpersaingan, wacana dan isu tentang kualitas suatu profesi perlu menjadi kepedulian,
terlebih jika
menyangkut kualitas kinerja suatu profesi pemberi bantuan, seperti halnya
konselor sekolah. Dapat dipahami, bahwa hanya konselor yang berkualitas baik saj
a yang akan tetap bertahan serta
bermanfaat secara signifikan terhadap pihak yang dilayani. Artinya bahwa semakin berkualitas kinerja seorang
konselor maka semakin banyak atau meningkat
pula masyarakat pengguna yang merasa membutuhkan konselor tersebut sebab masyarakat
pengguna memperoleh manfaat yang memuaskan atas pelayanan profesi tersebut.
Salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas dimensi
karakteristik konselor di antaranya aspek self-efficacy
konselor. Aspek ini begitu menentukan keberhasilan kinerjanya.
Seorang konselor yang memiliki self-efficacyyang tinggi akan menggunakan
segenap
kemampuan-nya untuk menyelesaikan tugas-tugas yang sulit sebagai suatu tantangan yang harus dikuasai/diselesaikannya
alih-alih sebagai ancaman yang harus dihindarinya.
Pandangan tentang efficacy dapat membantu perkembangan esensi minat dan keseriusan
konselor dalam beraktivitas. Konselor yang self-efficacy-nya tinggi akan
senantiasa menyiapkan diri dalam menghadapi
tantangan dalam rangka mencapai tujuan dan
memelihara komitmen kerjanya secara kuat.
Dengan
diketahuinya self-efficacy konselor, diharapkan akan diketahui taraf konselor yang memiliki sejumlah harapan untuk
berhasil dalam kinerjanya sebagai pemberi bantuan kemanusiaan yang mengembangkan kesehatan mental para siswa di
sekolah sehingga hal tersebut
mempengaruhi keputusannya untuk mencoba menampilkan perilaku baru yang potensial dan profesional serta mampu
mempertahan-kan perubahan perilakunya tersebut.
Dalam hal ini self-efficacydimaknai sebagai “sense
of personal competence or feelings of mastery' (Kalodner, 1995).
B.
Perkembangan Teori Self-Efficacy
Usaha
menumbuh-kembangkan self-efficacy konselor merupakan suatu keniscayaan sekaligus sebuah hal yang menantang. Gray dan
Tindall (1985: 250) mengemukakan dua
belas langkah pengembangan program sebagai langkah awal pengembangan model,
meliputi: (1) menetapkan tujuan umum program; (2) mene-tapkan tujuan khusus program; (3) meneliti kebutuhan sistem
melalui proses analisis kebutuhan; (4) memodifikasi tujuan umum dan
khusus; (5) perencanaan program; (6) implementasi program; (7) mengevaluasi
program berdasarkan pen-capaian tujuan atau perubahan perilaku; (8) penyesuaian program (mengurangi fase yang dianggap tidak
efektif,menambah sejumlah prosedur
yang diduga diperlukan, dan memodifikasi serta memperkuat prosedur yang dianggap efektif); (9) penetapan/penegasan
tujuan umum dan khusus; (10)
memodifikasi tujuan umum dan khusus jika diperlukan; (11) penyesuaian program (lihat langkah ke-8); dan
(12) penetapan dan pemantapan tujuan umum dan khusus (lihat langkah
ke-9).
Selanjutnya, Lerner dalam Marshal (2000: 1) mengemukakan
tiga komponen yang harus diperhatikan dalam model pengembangan program kom-petensi
konselor, yaitu: (1) pengembangan selalu
berimplikasi terhadap perubahan; (2) perubahan hendaknya diorganisasikan
secara sistematis, dan (3) perubahan melibatkan suksesi sepanjang waktu.
Sesuai dengan makna dan arah self-efficacyyang
secarakontinu turut berkembang sepanjang hayat maka dalam
mengembangkan programnya perlu mengintegrasikan informasi dari
lima sumber utama, seperti yang disarankan oleh Maddux (2005: 280), Bandura
(1997: 80-115), Rokke dan Rehm (2001: 175-202), yaitu: (1) pengalaman keberhasilan langsung,
(2) pengalaman perumpamaan, (3) pengalaman imajinasi, (4) persuasi verbal, dan (5) kondisi atau keadaan
fisiologis dan emosi.
Sebagaimana diuraikan pada bagian terdahulu, dua aspek
perkembangan yang perlu diperhatikan dalam memahami self-efficacy,
meliputi: (1) kemampuan berpikir simbolis (the development of the capacity
for symbolic thought), khususnya pemahaman hubungan pengaruh kausal (the
capacity for under-standing cause-effect relationships), kemampuan mengobservasi
diri (the capacity for self-observation) dan kemampuan refleksi diri (the
capacity for self-reflection);
dan (2) efficacy yang dipengaruhi oleh kemampuan mereaksi lingkungan
sosial, kedua hal ini memberikan implikasi penting mengenai perlunya memilih metode
perlakuan (pengubahan perilaku) dan pemberian fasilitas dalam modelintervensi bimbingan
dan konseling, baik teknik, prosedur, dan strategi.
Tekniknya, dikenal dengan pendekatan secara kombinasi
antara aspek perilaku dan kognitif (Rokke dan Rohm dalam
Dobson, 2001: 173-175). Menurut Cormier & Cormier (dalam
Yuliati, 2004), beberapa teknik konseling kognitif-perilaku adalah pemodelan, perilaku,
meditasi dan rileksasi, desentisasi sistematik, dan pengelolaan diri.
Pada prinsipnya, Bandura (1977: 195) dan Bandura (Rokke
dan Rohm dalam Dobson, 2001: 178) berpendapat, bahwa treatment psikologis
yang efektif, apapun bentuknya, dapat mengubah harapan efficacy seseorang.
Pendekatan manajemen diri melalui terapi
yang berfokus pada dorongan pengembangan keterampilan-keterampilan diri konselor diduga akan mampu mendongkrak peningkatan
self-efficacy-nya, dengan orientasi pelayanan pengembangan terhadap sumber-sumber informasi self-efficacy
konselor seperti terlihat pada gambar
3 sebagai berikut.

Gambar 3
Sumber-sumber Informasi Utama
dalam
Pengembangan Self-Efficacy dan Beberapa Model
Intervensinya
a.
Pengalaman Keberhasilan (Performance
Accomplishments/ Performance Experiences)
Persepsi atas kegagalan atau keberhasilan pada umumnya
akan melemahkan atau meningkatkan self-efficacy
seseorang. Mekanisme pem-bentukkan self-efficacy ini merujuk pada
penguasaan pengalaman aktual yang bermakna (authentic mastery experiences),
seperti: pengalaman langsung, kinerja aktual, dan tingkat pencapaiannya.
Semakin banyak mengalami keberhasilan yang diperoleh maka semakin
meningkatkan harapan efficacy dan sebaliknya.
b.
Pengalaman Perumpamaan (Vicarious
Experiences)
Observasi terhadap perilaku orang lain ini bermanfaat
untuk mengembangkan informasi diri dalam membentuk
harapan efficacy dan konsekuensinya, terutama tergantung pada
tingkat keyakinan mana dirinya mempunyai kesamaan dengan orang yang sedang diobservasinya (modeling).
Dalam hal ini, seseorang melakukan proses perbandingan sosial. Pengalaman perumpamaan secara umum pengaruhnya bergantung pada
relevansi personal dimana self-efficacy
yang dimiliki model (misalnya karakteristik model, membandingkan kemiripan diri dengan modelnya,
hakekat interaksi perilaku diri dengansituasi
model berupa penguasaan perilaku gagal atau berhasil yang disertai dengan taraf
persistensi dirinya serta faktor
keberhasilan yang lainnya). Mekanisme pembentukkan self- efficacy melalui pengalaman perumpamaan (vicarious experience) ini
bentuknya dapat dikembangkan dengan
cara mengobservasi, meniru, dan melalui media permodelan lainnya.
Citra diri mungkin diperoleh berdasarkan pengalaman
aktual atau pengalaman perumpamaan
dengan salah satu situasi yang sama dengan model yang diantisipasinya, atau
bahkan dipengaruhi oleh persuasi verbal, misalnya bila seorang
psikoterapis membimbing seorang konseli melalui intervensi
imajinasi dengan desensitisasi sistematis (imaginal interventions such as
systematic desensitization) dan modeling tersembunyi atau covert
modeling (Williams, 1995). Langkahnya sederhana, hanya
membayangkan diri sendiri (imagining myself) untuk mengerjakan
sesuatu dengan baik.
c. Persuasi
Verbal (Verbal Persuasion)
Eagly & Chaiken (1993) mengungkapkan, bahwa perubahan
persuasi verbal dan dipengaruhi olehkemahiran (expertness),
kepercayaan (trustworthiness), dan daya tarik sumber (attractiveness
of the source). Mekanisme pembentukkannya dapat terjadi melalui umpan balik dari
lingkungan, misalnya petunjuk atau arahan untuk melakukan sesuatu seperti resep masakan, minum obat, dan lain-lain.
d. Hal-hal
yang Berkenaan dengan Keadaan atau Kondisi Fisiologis dan Emosi
(Physiological and Emotional States)
Kegagalan atau keberhasilan biasanya bereaksi terhadap
kondisi fisik dan emosional (menyenangkan atau sebaliknya). Kegagalan
akan memunculkan reaksi fisiologis tidak menyenangkan.
Seseorang mungkin meragukan kemampuannya dalam menghadapi situasi
sulit dihadapinya (Forges, Bower, & Moylan, 1990; Salovey &Birnbaum).
Demikian pula halnya dengan sensasi fisiologis yang nyaman atau menyenangkan,
mungkin hal ini mengarahkan keyakinan seseorang terhadap kemampuan dalam
menghadapi situasi yang sulit. Tanda-tanda reaksi fisiologis dari self-efficacy
ini meluas
di luar kemunculan syaraf otonomis. Mekanisme pembentukkan ini merujuk padakondisi atau keadaan fisiologis (physiological
state) berupa suasana hati (mood), tangan berkeringat, jantung berdebar, dan sebagainya.
Proses
konseling menunjuk pada cara-cara yang digunakan oleh untuk mengorganisasikan program konselingnya dari awal
hingga akhir, mulai dari tahappersiapan
(tahap pembukaan),implementasi teknik
(tahapinti), tahapsimulasi/observasi/bermain peran, dan terminasi
(tahap penutupan/evaluasi berupa analisis, refleksi, dan tindak lanjut). Ada dua aspek krusial perlu diperhatikan
dalam konseling kelompok
kognitif-perilaku, yaitu elemen penting dalam proses konseling kognitif
perilaku dan tahapan dalam proses konseling.
Pemodelan
merupakan suatu prosedur untuk membelajarkan konselor tentang tujuan perilaku profesional konselor.Penyajian
model dapat dilakukan melalui teknik pemodelan
langsung (live modeling), pemodelan tertutup (covert modeling)
dan pemodelan simbolis (symbolic
modeling).
Perilaku merupakan suatu strategi yang digunakan untuk
melatih konselor membentuk perilaku profesional tertentu.Ketika
konselor mempraktekkan perilaku tertentu, sebaiknya dimonitoring dan diberikan
umpan balik terhadap keberhasilannya serta mengoreksi
kesalahannya.
Pemberian dorongan yang diciptakan lingkungan sedemikian
rupa melalui persuasi verbal oleh seseorang yang menjadi
model/panutan sebagai: (1) daya tarik sumber (attractiveness
of the source), (2) mempunyai kemahiran (expertness), (3) dapat
dipercaya (trustworthiness) pada hakekatnya bertujuan
untuk mendorong konselor dalam mempraktekkan keterampilan perilaku
yang telah dipelajari dalam adegan konseling ke dalam kehidupan
sehari-hari atau dalam situasi yang menimbulkan masalah perilaku.Aktivitas
ini hendaknya dilaporkan konselor baik yang berupa hambatan maupun keberhasilan
dalam melaksanakan kegiatan serta memberikan umpan balik terhadap laporan
tersebut.Umpan balik ini juga bertujuan untuk memberikan penguatan terhadap kemajuan
yang dicapai konselor.
Terdapat beberapa cara untuk meningkatkan dan
mengoptimalkan self-efficacyseseorang. Kear (2006: 1-3)
menjelaskan cara-cara sebagai berikut.
a. Menempatkan
pengetahuan sebagai kunci. Manusia perlu memahami diri sendiri, latar belakang
berperilaku, serta mengidentifikasi kelebihan dan kelemahannya. Jika respons
yang selama ini belum dapat merealisasikan harapan-harapan hidupnya, maka ia
perlu belajar lagi untuk menambah pengetahuan, sikap, dan
pengalaman-pengalamannya.
b. Seseorang tidak
mengetahui apa yang seharusnya dilakukan dan bagaimana cara melakukannya karena
ia tidak mempunyai pengetahuan dan pengalaman yang tepat atau memadai. Ia harus
belajar bagaimana cara menggunakan akalnya secara efektif, memfokuskan pada
suatu kegiatan, dan mengontrol pikirannya sebagai suatu keterampilan yang
diperlukan untuk menunjang usaha dan pencapaian tujuannya.
c. Mau menantang
asumsi sendiri. Seseorang harus menyiapkan diri menghadapi tantangan yang ada
berdasarkan kemampuan, bakat, dan kompetensinya. Ia perlu memperkuat mentalnya
dalam mengurangi rasa takut dan agar terlihat potensi aktualnya. Keefektifan
akan meningkat bila terdapat perbedaan persepsi terhadap realitas yang ada.
d. Ubahlah cara
berpikir tentang diri sendiri dan berbagai hal di dalamnya melalui pemahaman
dan pengaplikasian beberapa prinsip dasar keberhasilan. Tidak diperlukan
beratus cara untuk mengubah cara berpikir, mungkin hanya perlu menciptakan
sedikit perbedaan. Keterbatasan cara berpikir akan berpengaruh terhadap
keyakinan seseorang tentang kemampuannya dalam menyelesaikan tugas atau
tuntutan pekerjaannya.
e. Kerjakan
sesuatu oleh sendiri. Cara lain untuk meningkatkan self-efficacy seseorang dan mengetahui bahwa sesuatu dapat
diselesaikan oleh dirinya sendiri. Jika hal ini gagal, coba sekali lagi dan
berikan reaksi yang positif terhadap kegagalan tersebut. Tanya pada diri
sendiri, apa yang akan terjadi selanjutnya dengan dirinya, mencoba mulai lagi
dari yang terkecil serta lanjutkan dengan cara berikutnya.
f.
Jika hal ini berhasil, artinya ia mungkin mendapat
cukup informasi. Keberhasilan menyelesaikan tugas atau tuntutan pekerjaan ini
akan turut meningkatkan self-efficacy,
motivasi, dan memperdalam keyakinan diri untuk mencapai keberhasilan.
g. Lihat bagaimana
orang lain berperilaku atau bekerja. Pelajari cara pakar berperilaku atau
bekerja dan pahami caranya bagaimana sehingga ia berhasil. Seseorang dapat
menentukan keefektifannya dengan cara melihat hasil yang diperolehnya. Melalui
observasi terhadapnya, hal ini akan meningkatkan kesadaran seseorang,
menawarkan berbagai pilihan, dan memperjelas gambaran-gambaran yang mungkin
dihasilkan dari perilaku yang ditampilkan.
h. Tidak ada yang
mustahil jika seseorang mau berusaha. Kemudian ia meniru apa yang dikerjakan
oleh pakar melalui perilaku atau model-model pekerjaan yang relatif sama. Orang
yang berhasil dapat membantu seseorang mengembangkan pola pikir yang sama
tentang harapannya atas penyelesaian suatu tugas atau pekerjaannya.
i.
Merencanakan dan mempersiapkan. Merencanakan dan
mempersiapkan sesuatu dapat membantu seseorang mencapai hasil yang lebih baik
dan berhasil mencapai tujuannya tersebut. Mau bertukar pikiran atau ide,
menetapkan tujuan, mencatat langkah-langkah persiapan yang diperlukan untuk
meningkatkan kualifikasi diri sendiri dalam meningkatkan hasil, dan
mengontrolnya. Melalui kegiatan ini tidak akan terjadi pemborosan waktu dan
energi.
j.
Segalanya dihitung. Direncanakan dan dipersiapkan
setiap hari, minggu, bulan, dan setiap tahun sebab hidup seseorang harus
direncanakan dan dipersiapkan. Langkah merencanakan dan mempersiapkan ini
mengarahkan pada suatu keadaan model berpikir bahwa tidak ada yang mustahil
jika seseorang mau berusaha.
k. Gunakan pikiran
dan akal sehat secara efektif. “Jika seseorang berpikiran kalah maka kalahlah
ia”. Seseorang harus mempunyai trik dalam meningkatkan keyakinannya yang tidak
efektif, tidak kompeten, dan banyak hal yang semuanya memuat ungkapan tidak
mungkin. Keyakinan, identitas, dan bahasa yang dipergunakan oleh seseorang
dapat membawanya ke arah ataukeadaan yang sulit.
l.
Seseorang dapat mengembalikan kendali dirinya untuk
mengubah garis kehidupannya melalui penggunaan pikiran dan akal sehatnya untuk
membentuk kembali dan membuat trik yang baru. Hanya gambaran diri yang
mempunyai kekuatanlah yang mau dilihat, atau hanya kata-kata yang menggambarkan
tentang kekuatanlah yang mau didengarkan serta cuma perasaan-perasaan yang
berisikan pengalaman keberhasilanlah yang mau dihayati secara internal. Apapun
yang terjadi di dalam maka selanjutnya akan muncul keluar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar