Senin, 20 April 2020

Konsep Dasar Self Regulated Learning


KONSEP DASAR SELF REGULATED LEARNING

Oleh :
Iman Lesmana

Para ahli melakukan berbagai penelitian yang berguna, untuk meningkatkan kualitas pendidikan.  Salah satunya mengenai teori self-regulated learning.  Berbagai penelitian dilakukan untuk mengupas lebih lanjut mengenai self-regulated learning.   Salah satu tokoh yang ikut berkontribusi besar dalam perkembangan teori self-regulated learning adalah Barry J. Zimmerman dalam  Self Regulated Learning (SRL) : a Literature View (2009;3) Memaparkan Self Regulated Learning (SRL) dalam penjelasan yang cukup lengkap.
Self Regulated Learning (SRL) mengacu pada diri yang terintegrasikan pada pikiran, perasaan, dan tindakan yang terencana secara siklus diadaptasikan untuk mencapai tujuan pribadi. Zimmerman sendiri menghadirkan perbedaan Self Regulation Learning (SRL) sebagai penelitian ranah psikologis yang tercermin dalam pergerakan strategi untuk meningkatkan integrasi diri peserta didik, Meta-Kognitif, Konsep diri (Self Concept), dan Kontrol Diri (Self Control).
Definisi Inklusif Self Regulated Learning (SRL) sendiri dikembangkan (Zimmerman, 2008) dalam sebuah Research Spectrum bahwa Self Regulation Learning (SRL) adalah upaya meningkatkan Meta-Kognitif, motivasi dan perilaku partisipasi aktif peserta didik yang juga melibatkan pertanyaan mengenai aturan emosi yang dimiliki oleh peserta didik.
“In general, student can be describe as self regulated learning to the degree that they are metacognitevely, motivationally and behaviorally active peaticipants to their own learning (Zimmerman, 1989:1).”
Artinya siswa yang memiliki regulasi belajar dapat dilihat dari partisipasi aktifnya dalam mengarahkan proses-proses metakognitif, motivasi dan perilakunya.  Arti metakognitif merujuk pada proses pengambilan keputusan yang mengatur pemilihan dan penggunaan berbagai bentuk pengetahuan. Siswa dikatakan telah menerapkan self-regulated learning apabila siswa tersebut memiliki strategi untuk mengaktifkan metakognisi, motivasi, dan tingkah laku dalam proses belajar mereka sendiri (Zimmerman dan Martinez-Ponz, 1990, Zimmerman, 1989).
Menurut Zimmerman dan Martinez-Pons (1989:4) siswa yang mampu mengarahkan dirinya saat belajar (Self-regulated learners) dapat dilihat dari cara mereka merencanakan, mengorganisasikan dan mengarahkan diri sendiri, serta melakukan evaluasi diri pada berbagai tingkatan selama proses perolehan informasi.  Siswa yang memiliki self-regulated dapat dikatakan sebagai orang yang memiliki kemampuan (self-efficator), memiliki otonomi (autonomous) dan memiliki motivasi dari dalam diri sendiri (intrinsically motivated).
Menurut Flavel dan Brown, 1978 dalam The Role of Self Regulated Learning in Contextual Teaching (Scott G. Paris, 2010:3) Self Regulated Learning (SRL) berkembang karena adanya kesadaran mengenai pola pikir yang efektif yang menjadi suatu kebiasaan. Hal ini juga disebut sebagai Meta-Kognitif atau berpikir mengenai bagaimana proses cara berpikir itu sendiri.
Menurut Paris, Lipson dan Wixson (1983) Self Regulation Learning (SRL) memiliki tiga aspek Meta-Kognitif sebagai strategi, yaitu: Strategi sebagai “apa itu strategi?” (Declarative Knowledge), “Bagaimana strategi tersebut dioperasikan?” (Procedural Knowledge), dan “Mengapa strategi tersebut perlu digunakan?” (Conditional Knowledge).
Self regulated learning disebut juga pembelajaran dengan pengaturan diri. Self regulated learner adalah seseorang yang memiliki pengetahuan tentang strategi belajar efektif dan bagaimana pengetahuan bekerja serta kapan menggunakan pengetahuan itu (Bandura, 1991, Howard-Rose& Winne,1993; Schunk & Zimmerman, 1994,Winne, 19935 dalam Slavin 1997).
Pintrich and Zusho (2002) mengemukakan definisi self-regulated learning :
Self-regulated  learning is an active constructive process whereby learners set goals for their learning and  monitor, regulate, and control their cognition, motivation, and behaviour,guided and constrained by their goals and the contextual features of the environment. (p. 64).
Artinya Self-regulated learning adalah proses konstruktif aktif dimana peserta didik menetapkan tujuan untuk apa  mereka belajar dan memonitor, mengatur, dan kontrol kognisi, motivasi, dan perilaku, dibimbing dan dibatasi oleh tujuan mereka dan fitur kontekstual lingkungan.
Sementara Pengertian populer Self Regulated Learning (SRL) yang dikembangkan oleh Dale H. Schunk dan Peggy A. Ertmer (2000;631) bahwa Self Regulated Learning (SRL) termasuk didalamnya beberapa proses seperti:
 “menyusun langkah-langkah yang akan ditempuh untuk mencapai tujuan pembelajaran, berkonsentrasi pada instruksi yang diberikan, mengingat informasi-informasi yang diterima, menciptakan lingkungan kerja yang produktif, menggunakan sumber-sumber pembelajaran dengan efektif, memonitor penampilan, mengatur waktu dengan baik, mencari asisten belajar ketika dibutuhkan, memegang suatu keyakinan tentang salah satu kemampuan yang dimiliki, memegang nilai-nilai pembelajaran, mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi proses belajar dan mengantisipasi hasil-hasil dari tindakan-tindakan yang dilakukan dan memilki kebanggaan dari pengalaman yang didapatkan dan memiliki kepuasan dengan hasil kerja keras yang selama ini ditempuh”.

Schunk (1989), mengemukakan bahwa siswa dikatakan melakukan self-regulated learning dalam belajar bila mereka secara sistematis mengatur perilaku dan kognisinya dengan memperhatikan aturan yang dibuat sendiri, mengontrol berjalannya suatu proses belajar dan mengintegrasikan pengetahuan, melatih untuk mengingat informasi yang diperoleh, serta mengembangkan dan mempertahankan nilai-nilai positif belajarnya.
Ada pilihan dan kontrol yang menjadi inti Self Regulated Learning (SRL) yaitu peserta didik dapat meregulasi dirinya apabila peserta didik memiliki pilihan-pilihan dan mereka mampu mengontrol, pilihan-pilihan tersebut dalam proses pembelajaran, selanjutnya Self Regulated Learning (SRL) membutuhkan dukungan yang sifatnya berkelanjutan untuk meningkatkan keberanian peserta didik untuk belajar dan bertanggungjawab untuk apa yang peserta didik pelajari, seperti halnya yang telah diajarkan oleh pendidik pada peserta didik dalam Reciprocal Teaching.
Wolter dan Pintrich dalam Self-Regulated Learning (SRL) : a Literature View (2009: 4) hanya menyebutkan Self-Regulated Learning (SRL) menunjukan motivasi dan orientasi tujuan siswa sebagai ukuran perilaku partisipasi aktif pada proses pembelajaran.
Seorang siswa dapat dikatakan memiliki self-regulated jika dengan kemauan sendiri, mengambil inisiatif pribadi dan mengarahkan usaha-usaha dalam dirinya untuk memperoleh pengetahuan dan keterampilan.  Siswa tidak menggantungkan diri pada guru, orang tua atau orang lain untuk mengarahkan proses belajarnya.  Siswa yang memiliki self-regulated learning meliputi tiga karakter, diantaranya siswa menggunakan strategi self-regulated learning, siswa merespon timbal balik orientasi diri mengenai efektivitas pembelajaran, dan siswa bergantung pada proses motivasi.  Siswa memilih dan menggunakan strategi self-regulated learning untuk memperoleh hasil akademis yang diinginkan berkenaan dengan kemampuan serta efektifitas pembelajaran (Zimmerman, 1990:6).
Self-regulated learning (SRL) mengacu pada proses-proses pengarahan diri dan keyakinan diri yang memacu pembelajaran untuk mentransformasikan pengetahuan kemampuan mental menjadi kemampuan performa akademik.  Pendekatan dari teori self-regulated learning mengandung proses belajar sebagai aktivitas yang dilakukan siswa secara proaktif, dan bukan hanya keadaan reaktif yang muncul karena hasil dari pengalaman belajar yang telah dilaluinya.  Pengertian proses proaktif disini adalah pembelajaran menggunakan kemampuan akademik seperti merencanakan tujuan, memilih dan mengembangkan strategi, serta memonitor keefektifannya.
Menurut Kathryn Dukworth, et al. (2009: 7) Self-Regulation Learning (SRL) mengacu pada “pikiran, perasaan dan aksi yang terencana dan diadaptasikan untuk mencapai tujuan-tujuan personal”, yang meliputi: 
a.       A Growth Mindset yaitu adanya kemampuan untuk mengembangkan kemampuan intelektual dalam rangka pencapaian tujuan pendidikan disebut juga sebagai “incremental theory”(Dweck dan Grant, 2008). Mengembangkan kemampuan diri dan berpikir ini melibatkan upaya peserta didik agar mampu fokus pada setiap transisi pembelajaran. Mindset ini merupakan atribut yang akan melindungi individu dari reaksi diri negative;
b.      Thinking Skills, yaitu kemampuan berpikir ini didefinisikan sebagai pendekatan yang diidentifikasikan untuk mampu diterima dan diterjemahkan, proses mental ini mengajari peserta didik untuk mampu membuat rencana dan mengevaluasi apa yang telah mereka pelajari (Higgins et. Al.,2005);
c.       Self Efficacy yaitu keyakinan diri dalam konteks Self Regulation Learning didefinisikan sebagai situasi spesifik dimana individu memiliki motivasi inti bahwa tujuannya akan tercapai (Dweck, 2007);
d.      Self Esteem yaitu penghargaan diri didefinisikan sebagai intensitas validasi diri, apakah diri individu berharga dengan sejumlah pembuktian mengenai kualitas diri, apa yang dimiliki dan apa yang telah dilakukan oleh individu (Crocker dan Park, 2004);
e.       Wellbeing  yang diartikan sebagai kombinasi antara perasaan yang baik dan fungsi perasaan yang efektif (Huppert, 2007);
f.        Capacity to learn or learning power dimana Claxton (2007) menyatakan bahwa proses belajar membutuhkan kekuatan untuk mengembangkan motivasi, disposisi dan penerimaan hasil belajar, apakah hasil belajar dapat dengan mudah diterima atau tidak. Kemampuan atau kapasitas yang dimiliki untuk mengembangkan kekuatan belajar ini akan membantu peserta didik agar mampu mengakses secara efektif setiap kesempatan yang ada pada setiap proses pembelajaran; dan
g.       Dispositional View of Inteligence yaitu pandangan disposisi terhadap kecerdasan ini diartikan sebagai kemampuan yang dapat digunakan oleh peserta didik yang dapat direpresentasikan dengan pendekatan pemecahan masalah (Claxton, 2007).
Sementara Zimmerman (1989;4) mengemukakan tiga unsur dalam Self-Regulated Learning (SRL), yaitu :
a.       Meta-Cognitive yang  meliputi proses pemahaman akan kesadaran dan kewaspadaan diri serta pengetahuan dalam menentukan pendekatan pembelajaran sebagai salah satu cara didalam proses berpikir.  Corni et al, 1986 mengemukakan kemampuan metakognisi mendukung proses self-regulated learning (SRL) dengan merencanakan, menetapkan tujuan, memonitor, mengorganisasikan dan mengevaluasi bermacam-macam kegiatan selama proses peningkatan kemampuan (Zimmerman, 1990:5).
b.      Motivationally. Individu yang memiliki motivasi adalah individu yang memiliki fokus terhadap pentingnya usaha luar biasa dan ketekunan dalam belajar.  Menurut Borkowski et al 1986, motivasi dalam Self Regulation Learning (SRL) adalah situasi karakteristik yang menunjukkan efficacy yang tinggi, serta sifat diri dan ketertarikan terhadap tugas, adanya persepsi siswa mampu menyelesaikan tugas dan potensi siswa akan mencapai kesuksesan dan berani menghadapi kegagalan (Zimmerman, 1990:5).
c.       Behaviorally active participants. Perilaku partisipasi aktif merupakan respon yang dipengaruhi oleh beberapa proses seperti perilaku yang baik yang ditampilkan pada sebuah lingkungan, perilaku partisipasi aktif adalah perilaku yang dapat diamati, dapat dilatih dan dikembangkan serta sifatnya adalah interaksi.  Proses perilaku dalam self-regulated learning yang dikemukakan oleh Henderson et al, 1986 diantaranya memilih, menyusun dan menciptakan lingkungan untuk belajar.  Siswa mencari nasihat, informasi dan tempat yang disuaki untuk belajar.  Siswa juga melatih kemahiran dan menguatkan pembentukan performa (Zimmerman, 1990:5).
Self Regulated Learning (SRL) merupakan dinamika konsep dimana aktivitas sugesti dan proses berpikir dapat mengikat peserta didik untuk mampu melakukan perubahan diri kearah yang lebih positif. Self Regulated Learning (SRL) secara singkat dinyatakan sebagai “Well Established”. Kathryn Duckworth, et al. dalam bukunya Self Regulated Learning (SRL) : a Literature View (2009; 11) memaparkan bahwa Self Regulated Learning (SRL) terdiri dari kemampuan untuk berkonsentrasi, mengembangkan kemampuan diri dalam kelompok, mampu beraktivitas dengan baik untuk mengontrol dan perilaku yang sifatnya mengganggu dan impulsif serta mampu bekerja dan belajar mandiri.
Istilah self-regulated learning (SRL) juga dapat diartikan sebagai tindakan strategi yang meliputi perencanaan, monitoring dan mengevaluasi kemajuan diri sesuai dengan standar yang ditetapkan.  Siswa yang meregulasi diri dalam belajar, akan sangat yakin dengan kemampuan dirinya.  Kegagalan serta kesuksesan para siswa sangat bergantung pada usaha dalam menyelesaikan tugas berdasarkan penggunaan strtegi self-regulated learning.
Ada tiga poin yang dapat guru pertimbangkan  saat akan menanamkan self-regulated learning kepada siswa, yaitu:
a.       self-regulated learning adalah konstruk yang cukup baru dalam penelitian terkait kinerja dan prestasi siswa dalam kelas.
b.      Adanya satu set umum self-regulated learning, serta keterampilan mengatur diri dalam belajar yang membuat setiap siswa harus dapat mengembangkan pribadi untuk menjadi sukses di sekolah dan  di kehidupannya.
c.       self-regulated learning skill dapat diajarkan, dipelajari, dan dikendalikan.
Menurut Barry Zimmerman (1989), self-regulated learning melibatkan regulasi dari tiga aspek umum pembelajaran akademik, yaitu:
a.       Regulasi motivasi diri yang melibatkan pengendalikan dan mengubah keyakinan dan motivasi seperti self-efficacy dan orientasi tujuan, sehingga siswa dapat beradaptasi dengan tuntutan. Selain itu, siswa dapat belajar bagaimana mengontrol emosi mereka yang mempengaruhi (seperti kecemasan) dengan suatu cara yang akan meningkatkan pembelajaran mereka.
b.      Regulasi perilaku diri yang melibatkan kontrol aktif dari berbagai
sumber daya siswa yang telah tersedia bagi mereka, seperti waktu mereka, studi mereka lingkungan (misalnya, tempat di mana mereka belajar), dan mereka menggunakan orang lain seperti rekan-rekan dan anggota fakultas untuk membantu mereka (Garcia & Pintrich, 1994; Pintrich, Smith, Garcia, & McKeachie, 1993).
c.       Regulasi Kontrol kognisi diri  melibatkan berbagai strategi kognitif untuk belajar, seperti penggunaan pengolahan dalam strategi yang menghasilkan belajar dan kinerja yang lebih baik dari yang  siswa tunjukkan sebelumnya (Garcia & Pintrich, 1994; Pintrich, Smith, Garcia, & McKeachie, 1993).
Sebagaimana dicatat sebelumnya, self-regulated learning merupakan proses pembelajaran terpadu, yang terdiri dari pengembangan seperangkat perilaku konstruktif yang mempengaruhi belajar seseorang. Proses ini direncanakan dan disesuaikan untuk mendukung tujuan pribadi dalam mengubah lingkungan pembelajaran. Peserta didik dengan tingkat self-regulated learning tinggi memiliki kontrol yang baik atas pencapaian tujuan mereka. Kesadaran regulasi diri diperlukan siswa untuk fokus pada proses bagaimana memperoleh keterampilan ini. Dalam penelitiannya, Zimmerman, melaporkan bahwa kesuksesan siswa adalah karena penggunaan strategi self-regulated learning yang menyumbang sebagian besar kesuksesan belajar siswa di sekolah.

1. Fase- Fase dalam self regulated learning
a. Fase Forethought
Forethought adalah fase regulasi diri yang berhubungan dengan self concept dan motivational belief. Fase pemikiran ini mencakup analisis tugas (penetapan tujuan dan perencanaan strategis) dan motivasi diri (self-efficacy, ekspektasi hasil, minat intrinsik / nilai dan orientasi tujuan). Analiasi tugas yang terlibat dalam fase pemikiran adalah: menetapkan tujuan hasil, proses,  strategi rencana, dan mengatur belajar. Motivasi diri berasal dari keyakinan siswa tentang belajar, seperti keyakinan (self-efficacy) tentang
memiliki kemampuan pribadi untuk belajar dan harapan
akan hasil konsekuensi belajar pribadi(Bandura, 1997).
Fase ini mendahului kinerja aktual; set tahap tindakan; memetakan tugas-tugas yang tidak diketahui, dan membantu untuk mengembangkan pola pikir positif. harapan Realistis dapat membuat tugas lebih menarik. Tujuan harus ditetapkan sebagai hasil yang spesifik, yang  diatur dalam urutan dari jangka pendek sampai jangka panjang. Kita harus bertanya apakah siswa mempertimbangkan hal berikut:
1)     Kapan mereka akan mulai belajar?
2)     Dimana mereka akan melakukan belajar?
3)     Bagaimana mereka memulai?
4)     Kondisi Apa yang akan membantu atau menghalangi kegiatan belajar mereka yang merupakan bagian dari fase?

b. Performance or Volitional Control
Performance or Volitional Control adalah fase regulasi diri yang berhubungan dengan proses mengontrol diri dan melakukan strategi pemenuhan tugas sesuai dengan tujuan belajar yang telah ditetapkan. Fase ini terbagi dalam dua subproses yaitu Self Control dan self observation. Pengendalian diri (self control )nmengacu pada penyebaran metode atau strategi tertentu yang dipilih selama fase pemikiran. Metode yang tergolong self control adalah pencitraan  (imagery) , membuat instruksi pada diri (self-instruction), fokus memperhatikan ( attention focusing) dan strategi tugas (task strategies).
Pengamatan-diri (self observation) mengacu pada rekaman pribadi (self recording) tentang kejadian atau eksperimen diri ( self experimentation) untuk mengetahui penyebab peristiwa ini. Sebagai contoh, siswa diminta untuk mencatat waktu yang digunakan untuk membuat mereka menyadari berapa banyak waktu yang mereka habiskan untuk belajar.
Secara konkrit beberapa langkah yang dapat ditempuh dalam fase kinerja ini  adalah Pertama, Pembelajaran pengaturan diri mengharuskan pelajar-pelajar memiliki beberapa pengetahuan khusus dan keahlian. Mereka perlu untuk mengetahui dan mampu untuk melakukan sesuatu yang pasti - mengambil tindakan, mengajukan pertanyaan, membuat pilihan yang bebas, berpikir kreatif dan kritis, memiliki kesadaran diri, dan berkolaborasi.
Kedua, Pembelajaran pengaturan diri mengharuskan orang muda melakukan sesuatu dengan menggunakan pengetahuan dan keahlian dalam susunan yang jelas, satu langkah logika (bisa diterima akal) yang menggantikan yang lain.
Fase Performance control ini melibatkan proses selama belajar dan
upaya aktif dalam  memanfaatkan strategi khusus untuk membantu siswa menjadi lebih sukses. Guru harus meminta siswa untuk mempertimbangkan hal-hal berikut:
1)     Apakah siswa mencapai apa yang mereka berharap dapat melakukan?
2)     Apakah mereka terganggu?
3)     Apakah ini mengambil waktu lebih dari yang mereka pikirkan?
4)      Di bawah kondisi  seperti apa yang paling mereka capai?
5)     Apa pertanyaan yang bisa mereka tanyakan pada diri sendiri sementara mereka bekerja?
6)      Bagaimana mereka bisa mendorong diri untuk tetap bekerja (termasuk selftalk-ayolah, selesaikan pekerjaan Anda sehingga Anda dapat menonton televisi atau Anda dapat membaca majalah!)

3. Accurate Self-Reflection
Accurate Self-Reflection adalah fase  regulasi diri yang berhubungan dengan penilaian diri (self judgement) dan reaksi diri (self reaction). Salah satu bentuk penilaian diri atau evaluasi diri, mengacu pada perbandingan pengamatan terhadap beberapa standar  kinerja, seperti standar sebelumnya, kinerja orang lain, atau kinerja standar mutlak. Bentuk lainnya penilaian diri melibatkan atribusi kausal, yang mengacu pada keyakinan tentang penyebab kegagalan atau keberhasilan seseorang.
Salah satu bentuk reaksi diri melibatkan perasaan dari pengaruh kepuasan diri (self-satisfaction/affect) dan positif mengenai kinerja belajar. Peningkatan kepuasan diri meningkatkan motivasi, sedangkan penurunan kepuasan diri merusak upaya lebih lanjut untuk belajar (Schunk,2001). Reaksi diri juga mengambil bentuk tanggapan adaptif / defensif ( adaptive/depensive respon). Reaksi defensif merujuk upaya untuk melindungi citra diri seseorang dengan menarik diri atau menghindari kesempatan untuk belajar seperti berhenti  kursus atau tidak hadir untuk tes. Sebaliknya, reaksi adaptif mengacu pada desain penyesuaian diri untuk meningkatkan efektivitas metode belajar seseorang, seperti membuang atau memodifikasi strategi pembelajaran tidak efektif.
Fase refleksi diri ini melibatkan refleksi setelah menunjukkan kinerja, sebuah evaluasi diri dibandingkan dengan hasil. Tugas yang terlibat dalam fase refleksi diri adalah: refleksi pada pekerjaan, refleksi pada proses, dan kesadaran peluang tujuan baru. Kita harus meminta siswa untuk mempertimbangkan ha-hal berikut:
1)     Apakah mereka mencapai apa yang mereka rencanakan ?
2)     Apakah mereka mengalami gangguan dan bagaimana mereka kembali bekerja?
3)     Apakah mereka merencanakan waktu yang cukup atau mereka membutuhkan waktu lebih dari mereka berpikir?
4)     Dalam kondisi apa mereka dapat menyelesaikan pekerjaan yang paling maksimal?
5)      
3. Faktor-faktor yang Memengaruhi Self-Regulated Learning
Terdapat faktor-faktor yang memengaruhi Self Regulation Learning (SRL), faktor-faktor tersebut digambarkan oleh Thoresen  dan Mahoney, 1974 dalam A Social Cognitive View of Self Regulated Academic Learning, Zimmerman (1989;3) dalam  A Triadic Analysis of Self Regulated Functioning seperti yang digambarkan dalam bagan berikut:

Menurut Albert Bandura (Zimmerman 1989:2) perspektif dari sosial kognitif memandang self-regulation sebagai proses interaksi dari personal, behavioral dan lingkungan.  Perilaku adalah produk dari pengaruh akan proses dalam diri (self-generated) serta sumber dari luar.  Diasumsikan terdapat hubungan timbal balik diantara tiga aspek.  Self-Regulated Learning tidak semata-mata ditentukan oleh proses personal saja, namun juga dipengaruhi oleh behavioral dan lingkungan secara timbal balik.
Bandura (Zimmerman 1989:3) menegaskan dalam hubungan timbal balik antara diri, perilaku dan lingkungan, masing-masing pengaruh tidak harus memiliki kekuatan atau pola-pola temporal yang sama.  Pengaruh lingkungan bisa lebih kuat daripada personal atau behavioral dalam konteks tertentu atau pada waktu tertentu.
a.       Faktor dalam Diri (Personal)
Self-regulated learning pada siswa salah satunya dipengaruhi oleh proses dalam diri yang saling berhubungan.  Proses diri atau personal diantaranya, pengetahuan yang dimiliki siswa, proses pengambilan keputusan metakognitif, tujuan akademis dan kondisi afektif.  Berikut dijelaskan lebih lanjut.
1)      Pengetahuan yang dimiliki siswa
Zimmerman (1989:5) membedakan dua jenis pengetahuan yang saling mempengaruhi dalam self-regulated learning, yaitu:
a)     Pengetahuan deklaratif (declarative knowledge). Pengetahuan yang berupa pernyataan, terorganisasi dalam bentuk subjek dan predikat, mempunyai hubungan yang jelas dengan kejadian-kejadian di dunia luar, serta tidak dipengaruhi situasi dan kondisi (Zimmerman 1989:5).  Informasi yang diterima berupa pengetahuan yang didapat  sesuai dengan lingkungan  tanpa melalui proses pemikiran lebih lanjut.
b)     Pengetahuan tentang bagaimana mengarahkan diri (self-regulative knowledge). Menurut Zimmerman (1989:6) pengetahuan ini diasumsikan terdiri atas pengetahuan prosedural dan pengetahuan kondisional.  Pengetahuan prosedural yaitu pengetahuan tentang bagaimana cara menggunakan suatu strategi, misalnya untuk mengerjakan suatu tugas seseorang membagi waktu pengerjaannya.  Pengetahuan kondisional berarti pengetahuan yang dimiliki mengenai kapan dan mengapa strategi menjadi efektif.  Misalnya dengan meneruskan atau memberhentikan strategi yang digunakan.
2)      Proses pengambilan keputusan metakognitif
Berkaitan dengan proses metakognitif, Zimmerman(1989:7) membedakan dua tingkat self-regulation yang saling mempengaruhi, yaitu umum dan khusus.
Pada self-regulation tingkat umum, siswa melakukan analisa tugas atau perencanaan melalui proses-proses pengambilan keputusan untuk memilih dan mengganti strategi-strategi yang akan digunakan.  Perencanaan diasumsikan berlangsung berdasarkan bentuk tugas dan lingkungan yang dihadapi siswa, tujuan yang akan dicapainya, persepsi tentang kemampuannya, kondisi perasaannya serta hasil dari proses mengendalikan perilakunya (behavioral control). Pada self-regulation tingkat khusus, siswa melaksanakan rencana yang telah dibuat dengan menerapkan proses pengendalian perilaku.  Proses pengendalian perilaku, mengarahkan perhatian, pelaksanaan, ketekunan dan pengawasan respon-respon yang berupa strategi ataupun non strategi dalam situasi-situasi khusus.  Selanjutnya hasil yang telah diperoleh menjadi umpan balik bagi proses perencanaan.
3)      Tujuan akademis
Tujuan akademis menjadi alasan adanya variasi dalam penggunaan strategi self-regulated learning diantara siswa yang berprestasi tinggi dan rendah.  Siswa pada dasarnya memiliki potensi serta alasan yang berbeda untuk berprestasi. Setiap alasan mempengaruhi cara pendekatan, keterlibatan dan respon terhadap situasi akademis.  Bandura mengemukakan orang yang mempunyai self efficacy tinggi menetapkan tujuan yang lebih menantang untuk dicapainya (Zimmerman 1989:8). 
4)      Kondisi afektif
Afeksi diartikan sebagai bentuk emosi yang dimiliki peserta didik.  Bentuk emosi yang dimiliki siswa dapat bersifat menghambat atau memperlancar pencapaian akademis.  Misalnya kecemasan, terdapat bukti  kecemasan dapat menghalangi proses mengendalikan perilaku (Zimmerman, 1989:8).
b.       Faktor Perilaku (Behavioral)
Bentuk-bentuk perilaku yang dinilai mempengaruhi self-regulated learning adalah self-observation, self-judgement dan self-reaction.
1)      Self-observation
Self-Observation adalah respon siswa yang melibatkan pemantauan sistematis terhadap hasil yang dicapainya.  Siswa telah sanggup memonitir penampilannya meskipun belum lengkap atau akurat.  Siswa memilih dengan selektif sejumlah aspek perilaku dan mengabaikan aspek lainnya.  Ketika menghadapi ujian, siswa yang memiliki self-observation tinggi akan memberikan perhatian yang penuh pada kualitas, kuantitas, kecepatan serta orsinilitas atau keasliaan pekerjaannya. Mengobservasi diri sendiri dapat memberikan informasi mengenai tingkat kemajuan seseorang dalam mencapai tujuannnya.  Metode self-observation yang sering digunakan adalah laporan lisan maupun tulisan dan catatan kuantitatif tentang aksi dan reaksi seseorang.
2)      Self-judgment
Self-judgement adalah respon siswa yang melibatkan perbandingan sistematis antara hasil yang sudah dicapai dengan suatu hasil standar.  Self-judgement membantu meregulasi perilaku melalui proses mediasi kognitif.  Proses penilaian bergantung pada empat hal: standar pribadi, performa-performa acuan, nilai aktivitas, dan penyempurnaan performa.  .  Dua cara yang biasa digunakan oleh siswa untuk melakukan self-judgement adalah dengan meneliti kembali dan membandingan hasil yang diperoleh dengan hasil yang diperoleh orang lain atau dengan standar tertentu.
3)      Self-reaction
Self-reaction adalah respon siswa terhadap hasil yang dicapainya.  Individu merespon positif atau negatif perilaku tergantung bagaimana perilaku diukur dan apa standar pribadinya.  Berdasarkan teori sosial kognitif, terdapat tiga jenis self-reaction (Zimmerman, 1989:8), yaitu: behavioral self-reaction yang digunakan siswa untuk mengoptimalkan respon belajarnya (misalnya memuji atau mengkritik diri sendiri), personal self-reaction yang digunakan siswa untuk meningkatkan proses-proses dalam dirinya selama belajar (misalnya mengulang materi dan menghapalkan), dan environmental self-reaction yang digunakan siswa untuk meningkatkan atau memperbaiki lingkungan belajarnya (misalnya, menyusun buku sedemikian rupa agar mudah dijangkau).
c.       Faktor Lingkungan (Environmental)
Menurut Zimmerman (1989:9) dua jenis pengaruh lingkungan yang mempengaruhi self-regulated learning adalah pengalaman sosial dan struktur lingkungan belajar.  Keduanya diasumsikan berhubungan secara timbal balik. Penjelasannya sebagai berikut :
1) Pengalaman sosial. Salah satu pengalaman sosial yang berpengaruh bagi self-regulated learning adalah belajar melalui pengamatan secara langsung terhadap perilaku diri sendiri dan hasil yang diperoleh dari perilaku.  Menurut Zimmerman (1989:9) keputusan siswa untuk menggunakan suatu strategi belajar tertentu akan tergantung pada penilaiannya tentang manfaatnya untuk mempelajari sesuatu.  Bandura menekankan pentingnya pengalaman langsung (enactive experience) dalam memberikan umpan balik mengenai kemampuan diri sendiri sekaligus pengetahuan deklaratif dan pengetahuan mengenai cara mengarahkan diri sendiri pada siswa.  Perasaan mampu untuk mempelajari sesuatu diasumsikan sebagai motivasi untuk pemilihan dan penerapan strategi selanjutnya.  Pengalaman secara langsung bisa didapatkan dari berbagai cara yang didapat dari lingkungan individu.  Modeling merupakan proses dalam pengalaman sosial yang membawa dampak bagi self-regulated learning. Bentuk pengalaman sosial lain yang juga penting adalah persuasi verbal.  Apabila berdiri sendiri, metode persuasi verbal seringkali kurang efektif untuk mendorong penggunaan suatu strategi belajar.  Persuasi verbal pabila dikombinasikan dengan modeling menjadi perantara yang sangat baik sehingga siswa dapat mempelajari berbagai keterampilan akademis.  Zimmerman dan Martinez-Pons (Zimmerman, 1989:9) mengidentifikasi dua sumber dukungan sosial lain untuk memperkuat modeling dan persuasi verbal, yaitu pengarahan langsung (direct assitance) dari guru, teman atau orang dewasa lain, serta informasi dan literatur atau bentuk-bentuk simbolik lain seperti diagram, buku panduan, gambar, dan catatan.
2) Struktur lingkungan belajar. Lingkungan diilustrasikan sebagai tindakan siswa sebagai tindakan proaktif seperti: meminimalisir gangguan berupa polusi udara (noise) bagi siswa yang gemar belajar dilingkungan yang sepi, mengatur cahaya pada ruangan tempat belajar dan menata meja belajar. Inisiasi lingkungan merupakan salah satu formula yang mendukung keberhasilan self-regulated Learning (SRL).

4. Strategi Self-Regulated Learning
Zimmerman (1989:11) menekankan untuk dapat dikatakan self-regulated, proses belajar siswa harus melibatkan penggunaan strategi-strategi khusus untuk mencapai tujuan akademisnya.  Strategi dalam self-regulated learning mengarah pada tindakan dan proses yang diarahkan pada perolehan informasi atau keterampilan yang melibatkan pengorganisasian (agency), tujuan (purpose) dan persepsi instrumental individu.  Agency adalah kemampuan individu untuk memulai dan mengarahkan suatu tindakan untuk mencapai tujuan yang diharapkan.  Purpose adalah tujuan yang diharapkan untuk tercapai dari pelaksanaan setiap tindakan yang dapat membantu meraih tujuan. 
Cara siswa mengarahkan proses belajarnya dapat dilihat dari penggunaan strategi-strategi self-regulated learning dalam menyelesaikan tugas-tugas akademik yang diberikan kepadanya.  Strategi self-regulated learning dapat pula didefinisikan sebagai strategi-strategi spesifik yang digunakan oleh siswa dalam tugas-tugas belajar, untuk melatih pengendalian terhadap proses pembelajaran.  Strategi dianggap penting karena dengan melakukan strategi, individu dapat belajar dan meningkatkan performa serta keterampilannya (Zimmerman, 1989:11).
Self-Regulated Learning (SRL) atau pengelolaan diri dalam belajar merupakan strategi yang harus dimiliki oleh seseorang dalam melakukan kegiatan belajar, sehingga diperoleh hasil belajar sesuai dengan kemampuan yang dimiliki.  Zimmerman dan Martinez-pons mengidentifikasi 14 strategi dalam self-regulated learning yang diperoleh dari teori kognitif sosial, didalamnya melibatkan unsur-unsur metakognitif, lingkungan dan motivasi.  Setiap strategi bertujuan meningkatkan regulasi diri siswa pada fungsi personal, behavioral, dan environmental.
a.             Strategi untuk mengoptimalkan fungsi personal (personal function), meliputi:
1)           Organizing & transforming (pengorganisasian dan transformasi).  Siswa menelaah kembali materi-materi pembelajaran untuk meningkatkan pembelajaran. Misalnya, siswa mempelajari materi pembelajaran dari awal sampai akhir.
2)           Goal setting and planning (penetapan tujuan dan perencanaan).  Siswa menetapkan tujuan belajar serta merencanakan urutan, waktu, dan penyeleasaian aktivitas-aktivitas yang berhubungan dengan tujuan.  Misalnya;  siswa menetukan waktu-waktu khusus untuk belajar.
3)           Rehearsing and memorizing (melatih dan menghapal).  Siswa berusaha untuk berlatih dan menghapalkan materi.  Misalnya; siswa berlatih mengerjakan soal-soal dan siswa membaca ulang materi pelajaran sampai benar-benar hapal.
b.            Strategi untuk mengoptimalkan fungsi tingkah laku (behavioral function), meliputi:
1)            Self-evaluating (evaluasi diri).  Siswa melakukan evaluasi terhadap kualitas atau kemajuan dari pekerjaannya.  Misalnya; siswa mengecek ulang tugas-tugas untuk memastikan sudah dikerjakan dengan baik atau belum, siswa mencermati hasil ujian agar dapat menilai kemampuan belajarnya.
2)            Self-consequenting (konsekuensi diri).  Siswa membayangkan reward atau punishment yang didapat jika memperoleh kesuksesan atau kegagalan.  Misalnya; siswa akan merasa malu jika mendapatkan hasil ujian yang jelek, siswa menjadikan keberhasilan sebagai motivasi untuk mengulangi keberhasilan yang sama.
c.             Strategi untuk mengoptimalkan fungsi lingkungan (environmental function), meliputi:
1)               Seeking information (pencarian informasi).  Siswa berusaha untuk mencari informasi lebih lengkap dari sumber-sumber non sosial.  Misalnya, siswa berusaha melengkapi materi pembelajaran dari sumber-sumber buku lain, atau literature di perpustakaan.
2)               Keeping records & self monitoring (pembuatan catatan dan memonitor diri).  Siswa berusaha untuk mencatat berbagai kejadian atau hasil yang diperoleh dalam proses belajar.  Misalnya; siswa mencatat semua hal yang penting untuk dipelajari, siswa mencatat hal-hal yang tidak dipahami untuk dipelajari kembali.
3)               Environmental structuring (penyusunan lingkungan).  Siswa berusaha untuk memilih atau mengatur lingkungan fisik sehingga proses belajar menjadi lebih mudah.  Misalnya, siswa tidak menyalakan radio ketikan sedang belajar untuk membantu berkonsentrasi.
4)               Seeking social assistance (pencarian bantuan sosial).  Siswa berusaha mencari bantuan dari: a) teman sebaya, b) guru-guru, c) orang dewasa lainnya.  Misalnya, siswa bertanya kepada teman atau guru ketika menemui kesulitan dalam belajar.
5)               Reviewing Records (melihat kembali referensi).  Siswa berusaha melihat kembali referensi untuk menghadapi ujian.  Misalnya; siswa membaca ulang catatan, melihat referensi tugas sebelumnya, dan membaca buku-buku pedoman.

5. Perkembangan Strategi Self-Regulated Learning
Perkembangan self-regulated learning menjelaskan proses siswa dalam memperoleh keterampilan self-regulated learning.  Banyak teori yang berasumsi anak-anak tidak dapat meregulasi dirinya dalam belajar dan dalam berbagai peraturan yang berlaku.  Zimmerman mengemukakan perkembangan pola belajar pada anak-anak memperlihatkan berbagai macam proses self-regulated learning seperti ketidakmampuan untuk mengefektifkan self-monitor dan respon untuk hasil pembelajarannya (Ghatala, 1986) dan dalam pertumbuhan kemampuan verbal serta self-efficacy matematika (Zimmerman & Martinez-Pons 1990:12).  Zimmerman & Martinez-Ponz dalam pertumbuhan dan perkembangan self-efficacy akademik menemukan pertambahan kombinasi yang digunakan pelajar dari 14 strategi mulai usia 5 tahun sampai 8 tahun dan dari 8 tahun samapai 11 tahun.  Siswa berbakat dalam belajar menunjukkan perkembangan yang cepat dalam kemampuan verbal dan self-efficacy matematika jika dibandingkan dengan siswa tidak berbakat, karena siswa berbakat menggambarkan motivasi diri yang tinggi.
Paris and Newman meringkas riset yang dilakukan e.g., Flavell, Friedriches, & Hoyt, 1970; Stipek & Tannatt, 1984 (Zimmerman, 1990:13) dalam perkembangan serta perubahan pada anak-anak yang memiliki kemampuan mengatur pembelajarannya. Contohnya, sebelum usia 7 tahun, anak-anak terlihat naïf dan sangat optimis dengan kemampuannya untuk belajar.  Anak-anak memulai sekolah dengan pemahaman yang kurang jelas mengenai hal-hal yang meliputi tugas-tugas akademik dan pengetahuan mengenai strategi yang tidak lengkap, semuanya berdasarkan intuisi.  Skinner, Chapman, & baltes, 1988 menyatakan anak-anak jarang memikirkan pencapaian prestasi, dan anak-anak percaya kerja keras sudah cukup untuk menjamin sukses (Zimmerman, 1990:13).  Anak-anak yang mendekati masa remaja persepsi akademiknya menjadi lebih akurat, dan sedikit demi sedikit mulai menyadari bahwa sukses tidak dapat diraih hanya dengan mengandalkan usaha sendiri.
Paris and Newman menyimpulkan persepsi akademik berubah tergantung pada pembentukan self-competence pada anak-anak, tugas-tugas akademik, strategi kognitif, motivasi dan sosial kognitif di dalam kelas.  Anak-anak membangun gagasan mengenai keyakinannya, kepercayaan dirinya, kemurnian tugas-tugasnya, penggunaan dan ketersediaan strategi kognitif, serta penempatan sosial dengan orang lain di dalam kelas.  Keyakinan yang dimiliki anak-anak lebih sering tidak jelas dan tidak lengkap, meskipun demikian anak-anak menggunakan usaha yang cukup untuk meregulasi cara belajarnya.  Pertambahan usia pada anak-anak dapat mengembangkan keyakinan dan dapat mengartikulasikan persepsi akademik yang lebih akurat.  Paris and Newman juga mengemukakan perhatian pada sugesti mengajar dan proses interaksi kelompok yang dapat meningkatkan perkembangan anak-anak dalam pemahamannya mengenai self-regulated learning (Zimmerman, 1990:13)

D. Kaitan Teori Metakognitif dengan self-regulated learning dan Penelitian Terdahulu yang Relevan
     Bagaimana peserta didik dapat belajar dengan baik di sekolah? Itu semua tergantung pada berbagai macam hal seperti aspek kepribadian, aspek sosial, keluarga, instruksional, dan faktor lingkungan (Dale H. Schunk dan Peggy A. Ertmer, 2000;631). Scott G. Paris (2010;3) memaparkan terminologi Self Regulated Learning (SRL) menjadi popular ditahun 1980an karena menekankan kemandirian dan tanggung jawab peserta didik untuk mengatur sendiri proses belajarnya. Secara umum terminologi ini terangkum dalam sub-sub terminologi dalam Strategi Kognitif, Meta-Kognitif, Motivasi yang koheren yang terkonstruksi dalam “Bagaimana Diri’ menjadi agen untuk menetapkan tujuan dan taktik pembelajaran dan bagaimana setiap individu mempersepsikan diri dan tugas yang mempengaruhi tugas dan menghasilkan kualitas tugas yang baik”. Self Regulated Learning (SRL) sendiri termasuk didalamnya adalah proses Self Regulatory dimana para peneliti meyakini adanya hubungan antara motivasi dan pembelajaran.
Kemandirian peserta didik dalam belajar berkaitan dengan bagaimana individu memiliki pengetahuan dan kesadaran tentang kemampuan diri yang berkaitan dengan proses kognitif atau pengetahuan tentang pikiran dan cara kerjanya yang disebut metakognitif. Metakognitif ini memiliki arti yang sangat penting dalam proses belajar, karena pengetahuan individu tentang proses kognitifnya sendiri dapat mengarahkan individu untuk menyeleksi strategi kognitif yang akan digunakan ketika menghadapi tugas-tugas tertentu.
Metacognition merupakan salah satu teori belajar yang konstruktifis yang menganut visi siswa ideal. Seorang siswa harus memiliki kemampuan mengatur dirinya sendiri. Apabila seorang siswa dihadapkan pada permasalahan-permasalahan yang kompleks maka dia akan mengetahui bagaimana memecahkan masalah yang kompleks itu. Mereka tahu langkah awal dan langkah lanjutan yang harus diperbuatnya. Mereka paham kapan  harus membaca, mendalami permasalahan dan melakukan aksinya. Apabila siswa telah memiliki self regulated learning, maka mereka akan memiliki kemampuan untuk tetap menekuni tugas jangka panjang sampai dengan tugas itu selesai. Mereka akan puas, dan kemungkinan sekali mereka dapat menjadi pelajar yang efektif.
Sebuah penelitian korelasional yang dilakukan Savia Coutinho (2003)  menguji hubungan antara self-efficacy, metakognisi, dan kinerja pada siswa kelas menengah atas. Hasilnya  menunjukkan bahwa hubungan antara metakognisi dan kinerja sepenuhnya dimediasi oleh self-efficacy. Hal ini menunjukkan bahwa siswa dengan strategi metakognitif efektif juga memiliki keyakinan yang kuat dalam kemampuan mereka untuk berhasil melakukan suatu tugas. Temuan ini memberikan dukungan bagi program-program pelatihan bagi siswa yang meningkatkan self-efficacy dan memperkuat strategi metakognitif. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa keterampilan metakognitif dapat diajarkan kepada siswa untuk meningkatkan prestasi belajar mereka (Nietfeld & Schraw, 2002; Thiede, Anderson, & Therriault, 2003).
Self efficacy merupakan salah satu aspek yang akan membentuk Self-regulated learning (SRL) pada diri siswa. Dengan SRL, siswa belajar disiplin mengatur dan mengendalikan diri sendiri, terutama bila menghadapi tugas-tugas yang sulit. Pada sisi lain, self-regulated learning menekankan pentingnya inisiatif karena SRL merupakan belajar yang terjadi atas inisiatif. Siswa yang memiliki inisiatif menunjukkan kemampuan untuk mempergunakan pemikiran-pemikirannya, perasaan-perasaannya, strategi dan tingkah lakunya yang ditunjukkan untuk mencapai tujuan (Zimmerman, 2002).
Para siswa lebih menyadari proses berpikir mereka saat mereka belajar, semakin mereka dapat mengontrol hal-hal seperti tujuan, disposisi, dan perhatian. Kesadaran diri mempromosikan regulasi diri (self regulated learning). Jika siswa menyadari seberapa besar komitmen (atau  tidak terikat) mereka dalam mencapai tujuan, seberapa kuat (atau lemah) disposisi mereka untuk bertahan, dan bagaimana terfokus (atau mengembara) perhatian mereka untuk tugas berpikir atau menulis, mereka dapat mengatur komitmen mereka, disposisi, dan perhatian (Marzano dkk., 1988).
Begitu juga dalam hal belajar, siswa yang sudah tahu pasti tujuan dari kegiatan belajarnya akan mengarahkan segala pemikiran, perasaan, penerapan starategi, dan tingkah lakunya untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dan mempertahankan prestasi akademiknya (Paris & Newman, 1990). Maka, betapa efektifnya belajar jika siswa memiliki keterampilan self-regulated learning (SRL).
Darmiany (2008) melakukan penelitian tindakan kelas (Classroom Action Research) pada mahasiswa Program Studi S-1 FMIPA Pendidikan Matematika UM semester genap tahun 2007/2008, dengan melakukan latihan dan pemanfaatan metakognisi, motivasi dan perilaku yang diduga efektif melalui penerapan belajar eksperiensial  yang hasilnya berhasil mengembangkan self regulated learning mahasiswa.
Noor Gabriela H. (2010) melakukan penelitian  pre-eksperiment untuk menguji efektivitas  program self regulatin learning dalam mereduksi prokrastinasi akademik siswa SMPN 5 Bandung.  Hasilnya  program  Self Regulation Learning (SRL) dikembangkan berdasarkan hasil pre test instrument strategi Self Regulation Learning (SRL) yang berfokus pada pengembangan kompetensi akademik berhasil mereduksi prokrastinasi akademik siswa SMPN 5 Bandung.
Philip C. Abrami (2005) dari Concordia University, Kanada , telah mengembangkan software portofolio Elektronik (EP) sebagai suatu wadah digital yang mampu menyimpan konten visual dan auditori termasuk teks, gambar video, dan suara. EP ini mampu merangkum prestasi kreatif peserta didik dan sekaligus menggambarkan proses mencapai prestasi tersebut. EP ini berdasarkan penelitian yang dilakukan Philip C. Abrami (2005) pada 1200 siswa sekolah dasar di Quebec mampu mendorong pembelajaran aktif reflektif (ePEARL) yang didasarkan pada terbentuknya self regulated learning dalam diri siswa.
 Menurut Jonassen (Wangid, 2006), strategi belajar sangat diperlukan agar proses belajar menjadi lebik efektif. Hal ini didukung pula oleh hasil penelitian dari Pintrich & De Groot (1991) yang menemukan adanya hubungan antara strategi belajar dengan hasil unjuk kerja. Kualitas belajar bagaimanapun juga bergantung pada strategi yang digunakan oleh individu. Brown dan Volet (dalam Vermunt, 1998) menyatakan fungsi self regulated learning secara konkret adalah merencanakan proses belajar, memantau kemajuan belajar, mendiagnosis sebab-sebab terjadinya kesulitan yang muncul selama proses belajar, dan menentukan tujuan (target yang harus dicapai) dalam belajar.
Strategi metakognitif merupakan salah satu kecakapan aspek kognitif yang penting dikuasai oleh seorang peserta didik dalam belajar atau memecahkan masalah. Strategi metakognitif ini dapat dipelajari oleh peserta didik, artinya guru dapat mengajarkannya. Proses pembelajaran bukan semata-mata proses penyampaian materi bidang ilmu tertentu, tetapi yang lebih penting adalah proses pengembangan kemampuan strategi metakognitif peserta didik. Menurut Desmita (2009), hal senada dengan yang dikemukakan oleh Pressley (Santrock, 2006) bahwa kunci pendidikan adalah membantu siswa mempelajari serangkaian strategi yang dapat menghasilkan problem solving.
Berbagai studi telah meneliti pengaruh keterampilan metakognitif pada kinerja individu. Everson dan Tobias (2001) melaporkan bahwa penelitian menunjukkan ada perbedaan dalam metakognisi yang efektif pada peserta didik. Penggunaan metakognisi efektif menunjukkan memprediksi kinerja belajar (Pintrich & DeGroot, 1990). Siswa dengan keterampilan metakognitif lebih tinggi mengungguli mereka dengan keterampilan metakognitif rendah dalam pemecahan masalah tugas, terlepas dari bakat mereka secara keseluruhan.
Dalam sebuah studi yang membandingkan pembelajaran mandiri di perguruan tinggi  diantara mahasiswa pascasarjana (Lindner, Harris, dan Gordon, 1996) menunjukkan korelasi kuat antara metakognisi dan derajat penyelesaian  masalah. Penelitian secara konsisten menunjukkan bahwa siswa yang berprestasi tinggi dalam domain pembelajaran akademis seperti membaca, menulis, matematika dan ilmu pengetahuan juga menunjukkan pengetahuan metakognitif berada pada tingkat yang lebih tinggi untuk domain tersebut, dan telah mengembangkan kemampuan yang lebih besar dalam pengaturan diri (Baker & Cerro, 2000).
Flavell (1971) menyatakan bahwa pengetahuan tentang metakognitf dan keterampilan menggunakan strategi metakognitif dalam paradigma konstruktivisme melahirkan siswa ideal yaitu seorang pelajar yang memiliki kemampuan mengatur dirinya sendiri (self-regulated learner). Peserta didik yang memiliki self regulated learning adalah seseorang yang memiliki pengetahuan tentang strategi belajar efektif, atau biasa disebut academic learning skill, yang dipadu dengan kontrol diri dan motivasi yang tetap terpelihara, Jadi peserta didik yang menjadi self regulated learned adalah seorang yang mampu (skill) dan mau (will) belajar. Bagi self regulated learner, motivasi belajar adalah untuk belajar itu sendiri bukan karena ingin mendapatkan nilai, atau motivasi eksternal lainnya.
Pengkajian atas kedua teori tersebut menunjukkan adanya hubungan antara aspek-aspek dari teori metacognition Flavell (1971) dengan fase self regulated learning yang dikemukakan  B.J. Zimmerman (1994). Hubungan antara kedua teori tersebut :

1)     Pengetahuan kognitif siswa (metacognitive knowledge) yang meliputi variabel individu, tugas dan strategi membuat siswa melalui fase pertama untuk terbentuknya SRL yaitu fase forethought yang memetakan tugas-tugas yang tidak diketahui (variabel tugas), dan membantu untuk mengembangkan pola pikir positif (variabel individu), penggunakan strategi yang tepat dalam memenuhi harapan realistis dari tugas (variabel strategi).
2)     Tujuan dan tugas metakognitif (tasks and goals) adalah hasil yang diinginkan atau tujuan dari sebuah usaha kognitif. Tujuan harus ditetapkan sebagai hasil yang spesifik, yang  diatur dalam urutan dari jangka pendek sampai jangka panjang. Dan penetapan tujuan ini merupakan fase forethought dalam pembentukan SRL.
3)     Strategi metakognitif dirancang untuk memantau perkembangan kognitif. Strategi metakognitif memerintahkan proses yang digunakan untuk mengontrol aktivitas kognitif dan untuk memastikan bahwa tujuan kognitif telah terpenuhi. Seorang yang telah menggunakan strategi metakognitif berarti ia telah melalui fase Performance/ volitional control ini melibatkan proses selama belajar dan upaya aktif dalam  memanfaatkan strategi khusus untuk membantu siswa menjadi lebih sukses.
4)     Pengalaman metakognitif (metacognitive experiences) mencakup respon afektif terhadap tugas. Rasa Sukses atau kegagalan, frustrasi atau kepuasan, dan banyak efek tanggapan lainnya yang juga merupakan refleksi dari tugas bagi seorang individu, akan menentukan minatnya atau keinginan siswa untuk mengejar tugas-tugas serupa di masa mendatang. Pengalaman metakognitif membuat siswa memasuki fase self reflection dalam SRL yang melibatkan refleksi setelah menunjukkan kinerja belajar.
Berdasarkan uraian diatas, diasumsikan bahwa peserta didik yang mendapatkan bimbingan belajar melalui strategi metakognitif akan memiliki self regulated learning artinya peserta didik tersebut akan memiliki motivasi belajar instrinsik, mengetahui gaya belajarnya,  mengetahui berbagai strategi belajar dan dapat menggunakan strategi belajar yang tepat dan mampu mengatur tingkah lakunya secara dinamis dan fleksibel dalam menghadapi berbagai tantangan dalam belajar.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Penguatan Integrasi Pendidikan

PENGUATAN INTEGRASI PENDIDIKAN DALAM ERA DISUPSI Oleh :  Asep Rohiman Lesmana, M.Pd. Pendidikan merupakan suatu entitas yang s...