KONSEP
DASAR SELF REGULATED LEARNING
Oleh :
Iman Lesmana
Para
ahli melakukan berbagai penelitian yang berguna, untuk meningkatkan kualitas
pendidikan. Salah satunya mengenai teori self-regulated learning. Berbagai penelitian dilakukan untuk
mengupas lebih lanjut mengenai self-regulated
learning. Salah satu tokoh yang
ikut berkontribusi besar dalam perkembangan teori self-regulated learning adalah Barry J. Zimmerman dalam Self Regulated Learning (SRL) : a Literature
View (2009;3) Memaparkan Self
Regulated Learning (SRL) dalam penjelasan yang cukup lengkap.
Self Regulated Learning (SRL) mengacu pada diri yang terintegrasikan pada pikiran, perasaan, dan
tindakan yang terencana secara siklus diadaptasikan untuk mencapai tujuan
pribadi. Zimmerman sendiri menghadirkan perbedaan Self Regulation Learning (SRL) sebagai penelitian ranah psikologis
yang tercermin dalam pergerakan strategi untuk meningkatkan integrasi diri
peserta didik, Meta-Kognitif, Konsep diri (Self
Concept), dan Kontrol Diri (Self
Control).
Definisi Inklusif Self
Regulated Learning (SRL) sendiri dikembangkan (Zimmerman, 2008) dalam
sebuah Research Spectrum bahwa Self Regulation Learning (SRL) adalah
upaya meningkatkan Meta-Kognitif, motivasi dan perilaku partisipasi aktif
peserta didik yang juga melibatkan pertanyaan mengenai aturan emosi yang dimiliki
oleh peserta didik.
“In general,
student can be describe as self regulated learning to the degree that they are
metacognitevely, motivationally and behaviorally active peaticipants to their
own learning (Zimmerman,
1989:1).”
Artinya
siswa yang memiliki regulasi belajar dapat dilihat dari partisipasi aktifnya
dalam mengarahkan proses-proses metakognitif, motivasi dan perilakunya. Arti metakognitif merujuk pada proses
pengambilan keputusan yang mengatur pemilihan dan penggunaan berbagai bentuk
pengetahuan. Siswa dikatakan telah menerapkan self-regulated learning apabila siswa tersebut memiliki strategi
untuk mengaktifkan metakognisi, motivasi, dan tingkah laku dalam proses belajar
mereka sendiri (Zimmerman dan Martinez-Ponz, 1990, Zimmerman, 1989).
Menurut
Zimmerman dan Martinez-Pons (1989:4) siswa yang
mampu mengarahkan dirinya saat belajar (Self-regulated
learners) dapat dilihat dari cara mereka merencanakan, mengorganisasikan
dan mengarahkan diri sendiri, serta melakukan evaluasi diri pada berbagai
tingkatan selama proses perolehan informasi.
Siswa yang memiliki self-regulated
dapat dikatakan sebagai orang yang memiliki kemampuan (self-efficator), memiliki otonomi (autonomous) dan memiliki motivasi dari dalam diri sendiri (intrinsically motivated).
Menurut Flavel dan Brown, 1978 dalam The Role of Self Regulated Learning in Contextual Teaching (Scott
G. Paris, 2010:3) Self Regulated Learning
(SRL) berkembang karena adanya kesadaran mengenai pola pikir yang efektif
yang menjadi suatu kebiasaan. Hal ini juga disebut sebagai Meta-Kognitif atau
berpikir mengenai bagaimana proses cara berpikir itu sendiri.
Menurut Paris, Lipson dan Wixson (1983) Self Regulation Learning (SRL) memiliki tiga aspek Meta-Kognitif
sebagai strategi, yaitu: Strategi sebagai “apa itu strategi?” (Declarative Knowledge), “Bagaimana
strategi tersebut dioperasikan?”
(Procedural Knowledge), dan “Mengapa strategi tersebut perlu digunakan?” (Conditional Knowledge).
Self regulated learning
disebut juga pembelajaran dengan pengaturan diri. Self regulated learner adalah seseorang yang memiliki pengetahuan
tentang strategi belajar efektif dan bagaimana pengetahuan bekerja serta kapan
menggunakan pengetahuan itu (Bandura, 1991, Howard-Rose& Winne,1993; Schunk
& Zimmerman, 1994,Winne, 19935 dalam Slavin 1997).
Pintrich and
Zusho (2002) mengemukakan definisi self-regulated
learning :
Self-regulated learning
is an active constructive process whereby learners set goals for their learning
and monitor, regulate, and control their
cognition, motivation, and behaviour,guided and constrained by their goals and
the contextual features of the environment. (p. 64).
Artinya Self-regulated learning adalah proses konstruktif aktif dimana peserta didik
menetapkan tujuan untuk apa mereka belajar dan memonitor, mengatur, dan kontrol kognisi,
motivasi, dan perilaku, dibimbing
dan dibatasi oleh tujuan mereka dan fitur kontekstual lingkungan.
Sementara Pengertian populer Self
Regulated Learning (SRL) yang dikembangkan oleh Dale H. Schunk dan Peggy A.
Ertmer (2000;631) bahwa Self Regulated
Learning (SRL) termasuk didalamnya beberapa proses seperti:
“menyusun langkah-langkah yang akan ditempuh
untuk mencapai tujuan pembelajaran, berkonsentrasi pada instruksi yang
diberikan, mengingat informasi-informasi yang diterima, menciptakan lingkungan
kerja yang produktif, menggunakan sumber-sumber pembelajaran dengan efektif,
memonitor penampilan, mengatur waktu dengan baik, mencari asisten belajar
ketika dibutuhkan, memegang suatu keyakinan tentang salah satu kemampuan yang
dimiliki, memegang nilai-nilai pembelajaran, mengetahui faktor-faktor apa saja
yang mempengaruhi proses belajar dan mengantisipasi hasil-hasil dari
tindakan-tindakan yang dilakukan dan memilki kebanggaan dari pengalaman yang
didapatkan dan memiliki kepuasan dengan hasil kerja keras yang selama ini
ditempuh”.
Schunk
(1989), mengemukakan bahwa siswa dikatakan melakukan self-regulated learning dalam belajar bila mereka secara sistematis
mengatur perilaku dan kognisinya dengan memperhatikan aturan yang dibuat
sendiri, mengontrol berjalannya suatu proses belajar dan mengintegrasikan
pengetahuan, melatih untuk mengingat informasi yang diperoleh, serta mengembangkan
dan mempertahankan nilai-nilai positif belajarnya.
Ada pilihan dan kontrol yang menjadi inti Self Regulated Learning (SRL) yaitu peserta didik dapat meregulasi
dirinya apabila peserta didik memiliki pilihan-pilihan dan mereka mampu
mengontrol, pilihan-pilihan tersebut dalam proses pembelajaran, selanjutnya Self Regulated Learning (SRL) membutuhkan
dukungan yang sifatnya berkelanjutan untuk meningkatkan keberanian peserta
didik untuk belajar dan bertanggungjawab untuk apa yang peserta didik pelajari,
seperti halnya yang telah diajarkan oleh pendidik pada peserta didik dalam Reciprocal Teaching.
Wolter
dan Pintrich dalam Self-Regulated
Learning (SRL) : a Literature View (2009:
4) hanya menyebutkan Self-Regulated
Learning (SRL) menunjukan
motivasi dan orientasi tujuan siswa sebagai ukuran perilaku partisipasi aktif
pada proses pembelajaran.
Seorang
siswa dapat dikatakan memiliki
self-regulated jika dengan kemauan sendiri, mengambil inisiatif pribadi dan
mengarahkan usaha-usaha dalam dirinya untuk memperoleh pengetahuan dan
keterampilan. Siswa tidak menggantungkan
diri pada guru, orang tua atau orang lain untuk mengarahkan proses
belajarnya. Siswa yang memiliki self-regulated learning meliputi tiga
karakter, diantaranya siswa menggunakan strategi self-regulated learning, siswa merespon timbal balik orientasi diri
mengenai efektivitas pembelajaran, dan siswa bergantung pada proses
motivasi. Siswa memilih dan menggunakan
strategi self-regulated learning
untuk memperoleh hasil akademis yang diinginkan berkenaan dengan kemampuan
serta efektifitas pembelajaran (Zimmerman, 1990:6).
Self-regulated learning (SRL) mengacu
pada proses-proses pengarahan diri dan keyakinan diri yang memacu pembelajaran
untuk mentransformasikan pengetahuan kemampuan mental menjadi kemampuan
performa akademik. Pendekatan dari teori
self-regulated learning mengandung
proses belajar sebagai aktivitas yang dilakukan siswa secara proaktif, dan
bukan hanya keadaan reaktif yang muncul karena hasil dari pengalaman belajar
yang telah dilaluinya. Pengertian proses
proaktif disini adalah pembelajaran menggunakan kemampuan akademik seperti
merencanakan tujuan, memilih dan mengembangkan strategi, serta memonitor
keefektifannya.
Menurut Kathryn Dukworth, et al. (2009: 7) Self-Regulation
Learning (SRL) mengacu pada
“pikiran, perasaan dan aksi yang terencana dan diadaptasikan untuk mencapai
tujuan-tujuan personal”, yang meliputi:
a.
A Growth Mindset yaitu adanya
kemampuan untuk mengembangkan kemampuan intelektual dalam rangka pencapaian
tujuan pendidikan disebut juga sebagai “incremental
theory”(Dweck dan Grant, 2008). Mengembangkan kemampuan diri dan berpikir
ini melibatkan upaya peserta didik agar mampu fokus pada setiap transisi
pembelajaran. Mindset ini merupakan
atribut yang akan melindungi individu dari reaksi diri negative;
b.
Thinking Skills, yaitu kemampuan
berpikir ini didefinisikan sebagai pendekatan yang diidentifikasikan untuk
mampu diterima dan diterjemahkan, proses mental ini mengajari peserta didik
untuk mampu membuat rencana dan mengevaluasi apa yang telah mereka pelajari
(Higgins et. Al.,2005);
c.
Self Efficacy yaitu keyakinan
diri dalam konteks Self Regulation
Learning didefinisikan sebagai situasi spesifik dimana individu memiliki
motivasi inti bahwa tujuannya akan tercapai (Dweck, 2007);
d.
Self Esteem yaitu penghargaan
diri didefinisikan sebagai intensitas validasi diri, apakah diri individu
berharga dengan sejumlah pembuktian mengenai kualitas diri, apa yang dimiliki
dan apa yang telah dilakukan oleh individu (Crocker dan Park, 2004);
e.
Wellbeing yang diartikan sebagai kombinasi antara perasaan
yang baik dan fungsi perasaan yang efektif (Huppert, 2007);
f.
Capacity to learn
or learning power dimana Claxton (2007) menyatakan bahwa proses belajar membutuhkan
kekuatan untuk mengembangkan motivasi, disposisi dan penerimaan hasil belajar,
apakah hasil belajar dapat dengan mudah diterima atau tidak. Kemampuan atau
kapasitas yang dimiliki untuk mengembangkan kekuatan belajar ini akan membantu
peserta didik agar mampu mengakses secara efektif setiap kesempatan yang ada
pada setiap proses pembelajaran; dan
g.
Dispositional View
of Inteligence yaitu pandangan disposisi terhadap kecerdasan ini diartikan
sebagai kemampuan yang dapat digunakan oleh peserta didik yang dapat
direpresentasikan dengan pendekatan pemecahan masalah (Claxton, 2007).
Sementara Zimmerman (1989;4) mengemukakan tiga unsur dalam Self-Regulated Learning (SRL), yaitu :
a. Meta-Cognitive
yang meliputi proses pemahaman akan kesadaran dan
kewaspadaan diri serta pengetahuan dalam menentukan pendekatan pembelajaran
sebagai salah satu cara didalam proses berpikir. Corni et al, 1986 mengemukakan kemampuan metakognisi
mendukung proses self-regulated learning (SRL)
dengan merencanakan, menetapkan tujuan, memonitor, mengorganisasikan dan
mengevaluasi bermacam-macam kegiatan selama proses peningkatan kemampuan
(Zimmerman, 1990:5).
b. Motivationally.
Individu yang
memiliki motivasi adalah individu yang memiliki fokus terhadap pentingnya usaha
luar biasa dan ketekunan dalam belajar.
Menurut Borkowski et al 1986, motivasi dalam Self Regulation Learning (SRL) adalah situasi karakteristik yang
menunjukkan efficacy yang tinggi,
serta sifat diri dan ketertarikan terhadap tugas, adanya persepsi siswa mampu
menyelesaikan tugas dan potensi siswa akan mencapai kesuksesan dan berani
menghadapi kegagalan (Zimmerman, 1990:5).
c. Behaviorally
active participants.
Perilaku partisipasi aktif merupakan respon yang dipengaruhi oleh beberapa
proses seperti perilaku yang baik yang ditampilkan pada sebuah lingkungan,
perilaku partisipasi aktif adalah perilaku yang dapat diamati, dapat dilatih
dan dikembangkan serta sifatnya adalah interaksi. Proses perilaku dalam self-regulated learning yang dikemukakan oleh Henderson et al, 1986
diantaranya memilih, menyusun dan menciptakan lingkungan untuk belajar. Siswa mencari nasihat, informasi dan tempat
yang disuaki untuk belajar. Siswa juga
melatih kemahiran dan menguatkan pembentukan performa (Zimmerman, 1990:5).
Self Regulated Learning (SRL) merupakan dinamika konsep dimana aktivitas sugesti dan proses
berpikir dapat mengikat peserta didik untuk mampu melakukan perubahan diri
kearah yang lebih positif. Self Regulated
Learning (SRL) secara singkat dinyatakan sebagai “Well Established”. Kathryn Duckworth, et al. dalam bukunya Self Regulated Learning (SRL) : a Literature
View (2009; 11) memaparkan bahwa Self
Regulated Learning (SRL) terdiri dari kemampuan untuk berkonsentrasi,
mengembangkan kemampuan diri dalam kelompok, mampu beraktivitas dengan baik
untuk mengontrol dan perilaku yang sifatnya mengganggu dan impulsif serta mampu
bekerja dan belajar mandiri.
Istilah
self-regulated learning (SRL) juga
dapat diartikan sebagai tindakan strategi yang meliputi perencanaan, monitoring
dan mengevaluasi kemajuan diri sesuai dengan standar yang ditetapkan. Siswa yang meregulasi diri dalam belajar,
akan sangat yakin dengan kemampuan dirinya.
Kegagalan serta kesuksesan para siswa sangat bergantung pada usaha dalam
menyelesaikan tugas berdasarkan penggunaan strtegi self-regulated learning.
Ada
tiga poin yang dapat guru pertimbangkan
saat akan menanamkan self-regulated
learning kepada siswa, yaitu:
a. self-regulated
learning
adalah konstruk yang cukup baru dalam penelitian terkait kinerja dan prestasi siswa
dalam kelas.
b. Adanya satu set umum self-regulated learning, serta keterampilan
mengatur diri dalam belajar yang membuat setiap siswa harus dapat mengembangkan
pribadi untuk menjadi sukses di sekolah dan di kehidupannya.
c. self-regulated
learning skill dapat diajarkan, dipelajari, dan
dikendalikan.
Menurut
Barry Zimmerman (1989), self-regulated
learning melibatkan regulasi dari tiga aspek umum pembelajaran akademik,
yaitu:
a. Regulasi motivasi diri yang
melibatkan pengendalikan dan mengubah keyakinan dan motivasi seperti self-efficacy dan orientasi tujuan,
sehingga siswa dapat beradaptasi dengan tuntutan. Selain itu, siswa dapat
belajar bagaimana mengontrol emosi mereka yang mempengaruhi (seperti kecemasan)
dengan suatu cara yang akan meningkatkan pembelajaran mereka.
b. Regulasi perilaku diri yang melibatkan
kontrol aktif dari berbagai
sumber daya siswa yang telah tersedia bagi mereka, seperti waktu mereka, studi mereka lingkungan (misalnya, tempat di mana mereka belajar), dan mereka menggunakan orang lain seperti rekan-rekan dan anggota fakultas untuk membantu mereka (Garcia & Pintrich, 1994; Pintrich, Smith, Garcia, & McKeachie, 1993).
sumber daya siswa yang telah tersedia bagi mereka, seperti waktu mereka, studi mereka lingkungan (misalnya, tempat di mana mereka belajar), dan mereka menggunakan orang lain seperti rekan-rekan dan anggota fakultas untuk membantu mereka (Garcia & Pintrich, 1994; Pintrich, Smith, Garcia, & McKeachie, 1993).
c. Regulasi Kontrol kognisi diri melibatkan berbagai strategi kognitif untuk belajar,
seperti penggunaan pengolahan dalam strategi yang menghasilkan belajar dan
kinerja yang lebih baik dari yang siswa
tunjukkan sebelumnya (Garcia & Pintrich, 1994; Pintrich, Smith, Garcia,
& McKeachie, 1993).
Sebagaimana
dicatat sebelumnya, self-regulated
learning merupakan proses pembelajaran terpadu, yang terdiri dari pengembangan
seperangkat perilaku konstruktif yang mempengaruhi belajar seseorang. Proses
ini direncanakan dan disesuaikan untuk mendukung tujuan pribadi dalam mengubah lingkungan
pembelajaran. Peserta didik dengan tingkat
self-regulated learning tinggi memiliki kontrol yang baik atas pencapaian tujuan
mereka. Kesadaran regulasi diri diperlukan siswa untuk fokus pada proses
bagaimana memperoleh keterampilan ini. Dalam penelitiannya, Zimmerman, melaporkan
bahwa kesuksesan siswa adalah karena penggunaan strategi self-regulated learning yang menyumbang sebagian besar kesuksesan
belajar siswa di sekolah.
1.
Fase- Fase dalam self regulated learning
a. Fase Forethought
Forethought adalah
fase regulasi diri yang berhubungan dengan self
concept dan motivational belief. Fase pemikiran ini mencakup analisis tugas (penetapan tujuan dan perencanaan
strategis) dan motivasi diri (self-efficacy,
ekspektasi hasil, minat intrinsik / nilai dan orientasi tujuan). Analiasi
tugas yang terlibat dalam fase pemikiran
adalah: menetapkan tujuan hasil, proses,
strategi rencana, dan mengatur belajar. Motivasi diri berasal dari keyakinan siswa
tentang belajar, seperti keyakinan (self-efficacy) tentang
memiliki kemampuan pribadi untuk belajar dan harapan akan hasil konsekuensi belajar pribadi(Bandura, 1997).
memiliki kemampuan pribadi untuk belajar dan harapan akan hasil konsekuensi belajar pribadi(Bandura, 1997).
Fase
ini mendahului kinerja aktual; set tahap tindakan; memetakan tugas-tugas yang tidak
diketahui, dan membantu untuk mengembangkan pola pikir positif. harapan Realistis
dapat membuat tugas lebih menarik. Tujuan harus ditetapkan sebagai hasil yang
spesifik, yang diatur dalam urutan dari
jangka pendek sampai jangka panjang. Kita harus bertanya apakah siswa mempertimbangkan
hal berikut:
1) Kapan mereka akan mulai
belajar?
2) Dimana mereka akan melakukan
belajar?
3) Bagaimana mereka memulai?
4) Kondisi Apa yang akan membantu
atau menghalangi kegiatan belajar mereka yang merupakan bagian dari fase?
b. Performance
or Volitional Control
Performance or Volitional Control adalah
fase regulasi diri yang berhubungan dengan proses mengontrol diri dan melakukan
strategi pemenuhan tugas sesuai dengan tujuan belajar yang telah ditetapkan. Fase ini
terbagi dalam dua subproses yaitu Self
Control dan self observation. Pengendalian diri (self control )nmengacu
pada penyebaran metode atau strategi tertentu yang dipilih selama fase
pemikiran. Metode yang tergolong self control adalah pencitraan (imagery)
, membuat instruksi pada diri (self-instruction), fokus memperhatikan
( attention focusing) dan strategi tugas (task strategies).
Pengamatan-diri (self observation) mengacu
pada rekaman pribadi (self
recording) tentang kejadian atau
eksperimen diri ( self
experimentation) untuk mengetahui
penyebab peristiwa ini. Sebagai contoh, siswa
diminta untuk mencatat waktu yang digunakan untuk membuat mereka menyadari berapa banyak waktu yang mereka
habiskan
untuk belajar.
Secara
konkrit beberapa langkah yang dapat ditempuh dalam fase kinerja ini adalah Pertama, Pembelajaran pengaturan
diri mengharuskan pelajar-pelajar memiliki beberapa pengetahuan khusus dan
keahlian. Mereka perlu untuk mengetahui dan mampu untuk melakukan sesuatu yang
pasti - mengambil tindakan, mengajukan pertanyaan, membuat pilihan yang bebas,
berpikir kreatif dan kritis, memiliki kesadaran diri, dan berkolaborasi.
Kedua,
Pembelajaran pengaturan diri mengharuskan orang muda melakukan sesuatu dengan
menggunakan pengetahuan dan keahlian dalam susunan yang jelas, satu langkah
logika (bisa diterima akal) yang menggantikan yang lain.
Fase Performance
control ini melibatkan proses selama belajar dan
upaya aktif dalam memanfaatkan strategi khusus untuk membantu siswa menjadi lebih sukses. Guru harus meminta siswa untuk mempertimbangkan hal-hal berikut:
upaya aktif dalam memanfaatkan strategi khusus untuk membantu siswa menjadi lebih sukses. Guru harus meminta siswa untuk mempertimbangkan hal-hal berikut:
1) Apakah siswa mencapai apa yang
mereka berharap dapat melakukan?
2) Apakah mereka terganggu?
3) Apakah ini mengambil waktu
lebih dari yang mereka pikirkan?
4) Di bawah kondisi seperti apa yang paling mereka capai?
5) Apa pertanyaan yang bisa
mereka tanyakan pada diri sendiri sementara mereka bekerja?
6) Bagaimana mereka bisa mendorong diri untuk
tetap bekerja (termasuk selftalk-ayolah,
selesaikan pekerjaan Anda sehingga Anda dapat menonton televisi atau Anda dapat
membaca majalah!)
3. Accurate
Self-Reflection
Accurate Self-Reflection adalah
fase regulasi diri yang berhubungan
dengan penilaian diri (self judgement)
dan reaksi diri (self reaction). Salah satu bentuk penilaian diri atau evaluasi diri, mengacu pada perbandingan pengamatan terhadap beberapa standar kinerja, seperti standar
sebelumnya, kinerja orang
lain, atau kinerja standar mutlak. Bentuk lainnya penilaian diri
melibatkan atribusi kausal, yang mengacu pada keyakinan tentang penyebab kegagalan atau keberhasilan seseorang.
Salah satu bentuk reaksi diri melibatkan perasaan dari pengaruh kepuasan diri (self-satisfaction/affect) dan positif mengenai kinerja belajar. Peningkatan kepuasan diri meningkatkan motivasi, sedangkan penurunan kepuasan diri
merusak upaya lebih lanjut untuk belajar (Schunk,2001). Reaksi
diri juga mengambil bentuk tanggapan
adaptif / defensif ( adaptive/depensive
respon). Reaksi defensif merujuk
upaya untuk melindungi citra diri seseorang dengan
menarik diri atau menghindari
kesempatan untuk belajar seperti berhenti kursus atau tidak
hadir untuk tes.
Sebaliknya, reaksi adaptif mengacu pada desain penyesuaian diri untuk meningkatkan efektivitas metode belajar seseorang, seperti membuang atau
memodifikasi strategi pembelajaran tidak efektif.
Fase
refleksi diri ini melibatkan refleksi setelah menunjukkan kinerja, sebuah evaluasi
diri dibandingkan dengan hasil. Tugas yang
terlibat dalam fase refleksi diri adalah: refleksi pada pekerjaan, refleksi
pada proses, dan kesadaran peluang tujuan baru. Kita harus meminta
siswa untuk mempertimbangkan ha-hal berikut:
1) Apakah mereka mencapai apa
yang mereka rencanakan ?
2) Apakah mereka mengalami
gangguan dan bagaimana mereka kembali bekerja?
3) Apakah mereka merencanakan
waktu yang cukup atau mereka membutuhkan waktu lebih dari mereka berpikir?
4) Dalam kondisi apa mereka dapat
menyelesaikan pekerjaan yang paling maksimal?
5)
3. Faktor-faktor
yang Memengaruhi Self-Regulated Learning
Terdapat faktor-faktor yang
memengaruhi Self Regulation Learning
(SRL), faktor-faktor tersebut digambarkan oleh Thoresen dan Mahoney, 1974 dalam A Social Cognitive View of Self Regulated Academic Learning, Zimmerman
(1989;3) dalam A Triadic Analysis of Self Regulated Functioning seperti yang
digambarkan dalam bagan berikut:
Menurut
Albert Bandura (Zimmerman 1989:2) perspektif dari sosial kognitif memandang self-regulation sebagai proses interaksi
dari personal, behavioral dan lingkungan.
Perilaku adalah produk dari pengaruh akan proses dalam diri (self-generated) serta sumber dari
luar. Diasumsikan terdapat hubungan
timbal balik diantara tiga aspek. Self-Regulated Learning tidak
semata-mata ditentukan oleh proses personal saja, namun juga dipengaruhi oleh
behavioral dan lingkungan secara timbal balik.
Bandura
(Zimmerman 1989:3) menegaskan dalam hubungan timbal balik antara diri, perilaku
dan lingkungan, masing-masing pengaruh tidak harus memiliki kekuatan atau
pola-pola temporal yang sama. Pengaruh
lingkungan bisa lebih kuat daripada personal atau behavioral dalam konteks
tertentu atau pada waktu tertentu.
a. Faktor dalam Diri (Personal)
Self-regulated
learning pada
siswa salah satunya dipengaruhi oleh proses dalam diri yang saling berhubungan. Proses diri atau personal diantaranya, pengetahuan yang dimiliki siswa, proses
pengambilan keputusan metakognitif, tujuan akademis dan kondisi afektif. Berikut dijelaskan lebih lanjut.
1)
Pengetahuan
yang dimiliki siswa
Zimmerman (1989:5) membedakan
dua jenis pengetahuan yang saling mempengaruhi dalam self-regulated learning, yaitu:
a) Pengetahuan deklaratif (declarative knowledge). Pengetahuan
yang berupa pernyataan, terorganisasi dalam bentuk subjek dan predikat,
mempunyai hubungan yang jelas dengan kejadian-kejadian di dunia luar, serta
tidak dipengaruhi situasi dan kondisi (Zimmerman 1989:5). Informasi yang diterima berupa pengetahuan
yang didapat sesuai dengan
lingkungan tanpa melalui proses
pemikiran lebih lanjut.
b) Pengetahuan tentang bagaimana
mengarahkan diri (self-regulative
knowledge). Menurut Zimmerman (1989:6) pengetahuan ini diasumsikan terdiri
atas pengetahuan prosedural dan pengetahuan kondisional. Pengetahuan prosedural yaitu pengetahuan tentang
bagaimana cara menggunakan suatu strategi, misalnya untuk mengerjakan suatu
tugas seseorang membagi waktu pengerjaannya.
Pengetahuan kondisional berarti pengetahuan yang dimiliki mengenai kapan
dan mengapa strategi menjadi efektif. Misalnya
dengan meneruskan atau memberhentikan strategi yang digunakan.
2)
Proses
pengambilan keputusan metakognitif
Berkaitan dengan proses metakognitif, Zimmerman(1989:7)
membedakan dua tingkat self-regulation
yang saling mempengaruhi, yaitu umum dan khusus.
Pada self-regulation
tingkat umum, siswa melakukan analisa tugas atau perencanaan melalui
proses-proses pengambilan keputusan untuk memilih dan mengganti strategi-strategi
yang akan digunakan. Perencanaan diasumsikan
berlangsung berdasarkan bentuk tugas dan lingkungan yang dihadapi siswa, tujuan
yang akan dicapainya, persepsi tentang kemampuannya, kondisi perasaannya serta
hasil dari proses mengendalikan perilakunya (behavioral
control). Pada self-regulation
tingkat khusus, siswa melaksanakan rencana yang telah dibuat dengan menerapkan
proses pengendalian perilaku. Proses
pengendalian perilaku, mengarahkan perhatian, pelaksanaan, ketekunan dan
pengawasan respon-respon yang berupa strategi ataupun non strategi dalam
situasi-situasi khusus. Selanjutnya
hasil yang telah diperoleh menjadi umpan balik bagi proses perencanaan.
3)
Tujuan
akademis
Tujuan akademis menjadi alasan adanya variasi dalam
penggunaan strategi self-regulated
learning diantara siswa yang berprestasi tinggi dan rendah. Siswa pada dasarnya memiliki potensi serta
alasan yang berbeda untuk berprestasi. Setiap alasan mempengaruhi cara
pendekatan, keterlibatan dan respon terhadap situasi akademis. Bandura mengemukakan orang yang mempunyai self efficacy tinggi menetapkan tujuan
yang lebih menantang untuk dicapainya (Zimmerman 1989:8).
4)
Kondisi
afektif
Afeksi diartikan sebagai bentuk emosi yang dimiliki peserta
didik. Bentuk emosi yang dimiliki siswa
dapat bersifat menghambat atau memperlancar pencapaian akademis. Misalnya kecemasan, terdapat bukti kecemasan dapat menghalangi proses
mengendalikan perilaku (Zimmerman, 1989:8).
b.
Faktor
Perilaku (Behavioral)
Bentuk-bentuk perilaku yang dinilai mempengaruhi self-regulated learning adalah self-observation, self-judgement dan self-reaction.
1)
Self-observation
Self-Observation adalah respon siswa yang
melibatkan pemantauan sistematis terhadap hasil yang dicapainya. Siswa telah sanggup memonitir penampilannya
meskipun belum lengkap atau akurat.
Siswa memilih dengan selektif sejumlah aspek perilaku dan mengabaikan
aspek lainnya. Ketika menghadapi ujian,
siswa yang memiliki self-observation tinggi
akan memberikan perhatian yang penuh pada kualitas, kuantitas, kecepatan serta
orsinilitas atau keasliaan pekerjaannya. Mengobservasi diri sendiri dapat
memberikan informasi mengenai tingkat kemajuan seseorang dalam mencapai
tujuannnya. Metode self-observation yang sering digunakan adalah laporan lisan maupun
tulisan dan catatan kuantitatif tentang aksi dan reaksi seseorang.
2)
Self-judgment
Self-judgement adalah respon siswa yang
melibatkan perbandingan sistematis antara hasil yang sudah dicapai dengan suatu
hasil standar. Self-judgement membantu meregulasi perilaku melalui proses mediasi
kognitif. Proses penilaian bergantung
pada empat hal: standar pribadi, performa-performa acuan, nilai aktivitas, dan
penyempurnaan performa. . Dua
cara yang biasa digunakan oleh siswa untuk melakukan self-judgement adalah dengan meneliti kembali dan membandingan
hasil yang diperoleh dengan hasil yang diperoleh orang lain atau dengan standar
tertentu.
3)
Self-reaction
Self-reaction adalah respon siswa terhadap
hasil yang dicapainya. Individu merespon
positif atau negatif perilaku tergantung bagaimana perilaku diukur dan apa
standar pribadinya. Berdasarkan teori
sosial kognitif, terdapat tiga jenis self-reaction
(Zimmerman, 1989:8), yaitu: behavioral self-reaction
yang digunakan siswa untuk mengoptimalkan respon belajarnya (misalnya memuji
atau mengkritik diri sendiri), personal
self-reaction yang digunakan siswa untuk meningkatkan proses-proses dalam
dirinya selama belajar (misalnya mengulang materi dan menghapalkan), dan environmental self-reaction yang
digunakan siswa untuk meningkatkan atau memperbaiki lingkungan belajarnya
(misalnya, menyusun buku sedemikian rupa agar mudah dijangkau).
c.
Faktor
Lingkungan (Environmental)
Menurut Zimmerman (1989:9) dua
jenis pengaruh lingkungan yang mempengaruhi self-regulated
learning adalah pengalaman sosial dan struktur lingkungan belajar. Keduanya diasumsikan berhubungan secara
timbal balik. Penjelasannya sebagai berikut :
1) Pengalaman
sosial. Salah satu pengalaman sosial yang berpengaruh bagi self-regulated learning adalah belajar melalui pengamatan secara
langsung terhadap perilaku diri sendiri dan hasil yang diperoleh dari
perilaku. Menurut Zimmerman (1989:9)
keputusan siswa untuk menggunakan suatu strategi belajar tertentu akan
tergantung pada penilaiannya tentang manfaatnya untuk mempelajari sesuatu. Bandura menekankan pentingnya pengalaman
langsung (enactive experience) dalam
memberikan umpan balik mengenai kemampuan diri sendiri sekaligus pengetahuan
deklaratif dan pengetahuan mengenai cara mengarahkan diri sendiri pada
siswa. Perasaan mampu untuk mempelajari
sesuatu diasumsikan sebagai motivasi untuk pemilihan dan penerapan strategi
selanjutnya. Pengalaman secara langsung bisa
didapatkan dari berbagai cara yang didapat dari lingkungan individu. Modeling
merupakan proses dalam pengalaman sosial yang membawa dampak bagi self-regulated learning. Bentuk pengalaman sosial lain yang juga
penting adalah persuasi verbal. Apabila
berdiri sendiri, metode persuasi verbal seringkali kurang efektif untuk
mendorong penggunaan suatu strategi belajar.
Persuasi verbal pabila dikombinasikan dengan modeling menjadi perantara yang sangat baik sehingga siswa dapat mempelajari
berbagai keterampilan akademis. Zimmerman
dan Martinez-Pons (Zimmerman, 1989:9) mengidentifikasi dua sumber dukungan sosial
lain untuk memperkuat modeling dan
persuasi verbal, yaitu pengarahan langsung (direct
assitance) dari guru, teman atau orang dewasa lain, serta informasi dan
literatur atau bentuk-bentuk simbolik lain seperti diagram, buku panduan,
gambar, dan catatan.
2) Struktur
lingkungan belajar. Lingkungan diilustrasikan sebagai
tindakan siswa sebagai tindakan proaktif seperti: meminimalisir gangguan berupa
polusi udara (noise) bagi siswa yang
gemar belajar dilingkungan yang sepi, mengatur cahaya pada ruangan tempat
belajar dan menata meja belajar. Inisiasi lingkungan merupakan salah satu
formula yang mendukung keberhasilan self-regulated
Learning (SRL).
4. Strategi
Self-Regulated Learning
Zimmerman
(1989:11) menekankan untuk dapat dikatakan self-regulated,
proses belajar siswa harus melibatkan penggunaan strategi-strategi khusus untuk
mencapai tujuan akademisnya. Strategi
dalam self-regulated learning mengarah
pada tindakan dan proses yang diarahkan pada perolehan informasi atau
keterampilan yang melibatkan pengorganisasian (agency), tujuan (purpose) dan
persepsi instrumental individu. Agency adalah kemampuan individu untuk
memulai dan mengarahkan suatu tindakan untuk mencapai tujuan yang
diharapkan. Purpose adalah tujuan yang diharapkan untuk tercapai dari
pelaksanaan setiap tindakan yang dapat membantu meraih tujuan.
Cara
siswa mengarahkan proses belajarnya dapat dilihat dari penggunaan
strategi-strategi self-regulated learning dalam menyelesaikan
tugas-tugas akademik yang diberikan kepadanya.
Strategi self-regulated learning
dapat pula didefinisikan sebagai strategi-strategi spesifik yang digunakan oleh
siswa dalam tugas-tugas belajar, untuk melatih pengendalian terhadap proses pembelajaran. Strategi dianggap penting karena dengan
melakukan strategi, individu dapat belajar dan meningkatkan performa serta
keterampilannya (Zimmerman, 1989:11).
Self-Regulated
Learning (SRL) atau pengelolaan diri
dalam belajar merupakan strategi yang harus dimiliki oleh seseorang dalam
melakukan kegiatan belajar, sehingga diperoleh hasil belajar sesuai dengan
kemampuan yang dimiliki. Zimmerman dan
Martinez-pons mengidentifikasi 14 strategi dalam self-regulated learning yang diperoleh dari teori kognitif sosial,
didalamnya melibatkan unsur-unsur metakognitif, lingkungan dan motivasi. Setiap strategi bertujuan meningkatkan
regulasi diri siswa pada fungsi personal,
behavioral, dan environmental.
a.
Strategi
untuk mengoptimalkan fungsi personal (personal
function), meliputi:
1)
Organizing & transforming (pengorganisasian dan
transformasi). Siswa menelaah kembali
materi-materi pembelajaran untuk meningkatkan pembelajaran. Misalnya, siswa
mempelajari materi pembelajaran dari awal sampai akhir.
2)
Goal setting and planning (penetapan tujuan dan
perencanaan). Siswa menetapkan tujuan
belajar serta merencanakan urutan, waktu, dan penyeleasaian aktivitas-aktivitas
yang berhubungan dengan tujuan.
Misalnya; siswa menetukan
waktu-waktu khusus untuk belajar.
3)
Rehearsing and memorizing (melatih dan menghapal). Siswa berusaha untuk berlatih dan
menghapalkan materi. Misalnya; siswa
berlatih mengerjakan soal-soal dan siswa membaca ulang materi pelajaran sampai benar-benar
hapal.
b.
Strategi
untuk mengoptimalkan fungsi tingkah laku (behavioral
function), meliputi:
1)
Self-evaluating (evaluasi diri). Siswa melakukan evaluasi terhadap kualitas
atau kemajuan dari pekerjaannya.
Misalnya; siswa mengecek ulang tugas-tugas untuk memastikan sudah dikerjakan
dengan baik atau belum, siswa mencermati hasil ujian agar dapat menilai
kemampuan belajarnya.
2)
Self-consequenting (konsekuensi diri). Siswa membayangkan reward atau punishment yang
didapat jika memperoleh kesuksesan atau kegagalan. Misalnya; siswa akan merasa malu jika
mendapatkan hasil ujian yang jelek, siswa menjadikan keberhasilan sebagai
motivasi untuk mengulangi keberhasilan yang sama.
c.
Strategi
untuk mengoptimalkan fungsi lingkungan (environmental
function), meliputi:
1)
Seeking information (pencarian informasi). Siswa berusaha untuk mencari informasi lebih
lengkap dari sumber-sumber non sosial.
Misalnya, siswa berusaha melengkapi materi pembelajaran dari sumber-sumber
buku lain, atau literature di perpustakaan.
2)
Keeping records & self
monitoring (pembuatan
catatan dan memonitor diri). Siswa
berusaha untuk mencatat berbagai kejadian atau hasil yang diperoleh dalam
proses belajar. Misalnya; siswa mencatat
semua hal yang penting untuk dipelajari, siswa mencatat hal-hal yang tidak
dipahami untuk dipelajari kembali.
3)
Environmental structuring (penyusunan lingkungan). Siswa berusaha untuk memilih atau mengatur
lingkungan fisik sehingga proses belajar menjadi lebih mudah. Misalnya, siswa tidak menyalakan radio
ketikan sedang belajar untuk membantu berkonsentrasi.
4)
Seeking social assistance (pencarian bantuan
sosial). Siswa berusaha mencari bantuan
dari: a) teman sebaya, b) guru-guru, c) orang dewasa lainnya. Misalnya, siswa bertanya kepada teman atau
guru ketika menemui kesulitan dalam belajar.
5)
Reviewing Records (melihat kembali
referensi). Siswa berusaha melihat
kembali referensi untuk menghadapi ujian.
Misalnya; siswa membaca ulang catatan, melihat referensi tugas
sebelumnya, dan membaca buku-buku pedoman.
5. Perkembangan
Strategi Self-Regulated Learning
Perkembangan
self-regulated learning menjelaskan
proses siswa dalam memperoleh keterampilan self-regulated
learning. Banyak teori yang
berasumsi anak-anak tidak dapat meregulasi dirinya dalam belajar dan dalam
berbagai peraturan yang berlaku.
Zimmerman mengemukakan perkembangan pola belajar pada anak-anak
memperlihatkan berbagai macam proses self-regulated
learning seperti ketidakmampuan untuk mengefektifkan self-monitor dan respon untuk hasil pembelajarannya (Ghatala, 1986)
dan dalam pertumbuhan kemampuan verbal serta self-efficacy matematika (Zimmerman & Martinez-Pons
1990:12). Zimmerman & Martinez-Ponz
dalam pertumbuhan dan perkembangan self-efficacy
akademik menemukan pertambahan kombinasi yang digunakan pelajar dari 14
strategi mulai usia 5 tahun sampai 8 tahun dan dari 8 tahun samapai 11
tahun. Siswa berbakat dalam belajar
menunjukkan perkembangan yang cepat dalam kemampuan verbal dan self-efficacy matematika jika
dibandingkan dengan siswa tidak berbakat, karena siswa berbakat menggambarkan
motivasi diri yang tinggi.
Paris
and Newman meringkas riset yang dilakukan e.g., Flavell, Friedriches, &
Hoyt, 1970; Stipek & Tannatt, 1984 (Zimmerman, 1990:13) dalam perkembangan
serta perubahan pada anak-anak yang memiliki kemampuan mengatur
pembelajarannya. Contohnya, sebelum usia 7 tahun, anak-anak terlihat naïf dan
sangat optimis dengan kemampuannya untuk belajar. Anak-anak memulai sekolah dengan pemahaman
yang kurang jelas mengenai hal-hal yang meliputi tugas-tugas akademik dan
pengetahuan mengenai strategi yang tidak lengkap, semuanya berdasarkan
intuisi. Skinner, Chapman, & baltes,
1988 menyatakan anak-anak jarang memikirkan pencapaian prestasi, dan anak-anak
percaya kerja keras sudah cukup untuk menjamin sukses (Zimmerman,
1990:13). Anak-anak yang mendekati masa
remaja persepsi akademiknya menjadi lebih akurat, dan sedikit demi sedikit
mulai menyadari bahwa sukses tidak dapat diraih hanya dengan mengandalkan usaha
sendiri.
Paris
and Newman menyimpulkan persepsi akademik berubah tergantung pada pembentukan self-competence pada anak-anak,
tugas-tugas akademik, strategi kognitif, motivasi dan sosial kognitif di dalam
kelas. Anak-anak membangun gagasan
mengenai keyakinannya, kepercayaan dirinya, kemurnian tugas-tugasnya,
penggunaan dan ketersediaan strategi kognitif, serta penempatan sosial dengan
orang lain di dalam kelas. Keyakinan
yang dimiliki anak-anak lebih sering tidak jelas dan tidak lengkap, meskipun
demikian anak-anak menggunakan usaha yang cukup untuk meregulasi cara belajarnya. Pertambahan usia pada anak-anak dapat
mengembangkan keyakinan dan dapat mengartikulasikan persepsi akademik yang
lebih akurat. Paris and Newman juga
mengemukakan perhatian pada sugesti mengajar dan proses interaksi kelompok yang
dapat meningkatkan perkembangan anak-anak dalam pemahamannya mengenai self-regulated learning (Zimmerman,
1990:13)
D. Kaitan Teori Metakognitif dengan self-regulated learning dan Penelitian
Terdahulu yang Relevan
Bagaimana peserta
didik dapat belajar dengan baik di sekolah? Itu semua tergantung pada berbagai
macam hal seperti aspek kepribadian, aspek sosial, keluarga, instruksional, dan
faktor lingkungan (Dale H. Schunk dan Peggy A. Ertmer, 2000;631). Scott G.
Paris (2010;3) memaparkan terminologi Self
Regulated Learning (SRL) menjadi popular ditahun 1980an karena menekankan
kemandirian dan tanggung jawab peserta didik untuk mengatur sendiri proses
belajarnya. Secara umum terminologi ini terangkum dalam sub-sub terminologi
dalam Strategi Kognitif, Meta-Kognitif, Motivasi yang koheren yang terkonstruksi
dalam “Bagaimana Diri’ menjadi agen untuk menetapkan tujuan dan taktik
pembelajaran dan bagaimana setiap individu mempersepsikan diri dan tugas yang
mempengaruhi tugas dan menghasilkan kualitas tugas yang baik”. Self Regulated Learning (SRL) sendiri
termasuk didalamnya adalah proses Self
Regulatory dimana para peneliti meyakini adanya hubungan antara motivasi
dan pembelajaran.
Kemandirian
peserta didik dalam belajar berkaitan dengan bagaimana individu memiliki
pengetahuan dan kesadaran tentang kemampuan diri yang berkaitan dengan proses
kognitif atau pengetahuan tentang pikiran dan cara kerjanya yang disebut
metakognitif. Metakognitif ini memiliki arti yang sangat penting dalam proses
belajar, karena pengetahuan individu tentang proses kognitifnya sendiri dapat
mengarahkan individu untuk menyeleksi strategi kognitif yang akan digunakan
ketika menghadapi tugas-tugas tertentu.
Metacognition
merupakan salah satu teori belajar yang konstruktifis yang menganut visi siswa
ideal. Seorang siswa harus memiliki kemampuan mengatur dirinya sendiri. Apabila
seorang siswa dihadapkan pada permasalahan-permasalahan yang kompleks maka dia
akan mengetahui bagaimana memecahkan masalah yang kompleks itu. Mereka tahu
langkah awal dan langkah lanjutan yang harus diperbuatnya. Mereka paham kapan harus membaca, mendalami permasalahan dan
melakukan aksinya. Apabila siswa telah memiliki self regulated learning, maka mereka akan memiliki kemampuan untuk
tetap menekuni tugas jangka panjang sampai dengan tugas itu selesai. Mereka
akan puas, dan kemungkinan sekali mereka dapat menjadi pelajar yang efektif.
Sebuah
penelitian korelasional
yang dilakukan Savia Coutinho (2003)
menguji hubungan antara self-efficacy, metakognisi, dan kinerja
pada siswa kelas menengah atas. Hasilnya
menunjukkan bahwa hubungan antara metakognisi
dan kinerja sepenuhnya dimediasi oleh self-efficacy.
Hal ini menunjukkan bahwa siswa dengan strategi metakognitif efektif juga
memiliki keyakinan yang kuat dalam kemampuan mereka untuk berhasil melakukan
suatu tugas. Temuan ini memberikan dukungan bagi program-program pelatihan bagi
siswa yang meningkatkan self-efficacy
dan memperkuat strategi metakognitif. Hasil
penelitian ini juga menunjukkan bahwa keterampilan metakognitif
dapat diajarkan kepada siswa untuk meningkatkan prestasi
belajar
mereka (Nietfeld & Schraw, 2002; Thiede, Anderson, & Therriault, 2003).
Self efficacy merupakan salah satu aspek yang akan membentuk Self-regulated learning (SRL) pada diri
siswa. Dengan SRL, siswa belajar disiplin mengatur dan mengendalikan diri
sendiri, terutama bila menghadapi tugas-tugas yang sulit. Pada sisi lain, self-regulated learning menekankan
pentingnya inisiatif karena SRL merupakan belajar yang terjadi atas inisiatif.
Siswa yang memiliki inisiatif menunjukkan kemampuan untuk mempergunakan
pemikiran-pemikirannya, perasaan-perasaannya, strategi dan tingkah lakunya yang
ditunjukkan untuk mencapai tujuan (Zimmerman, 2002).
Para
siswa lebih menyadari proses berpikir mereka saat mereka belajar, semakin
mereka dapat mengontrol hal-hal seperti tujuan, disposisi, dan perhatian.
Kesadaran diri mempromosikan regulasi diri (self
regulated learning). Jika siswa menyadari seberapa besar komitmen (atau tidak terikat) mereka dalam mencapai tujuan,
seberapa kuat (atau lemah) disposisi mereka untuk bertahan, dan bagaimana
terfokus (atau mengembara) perhatian mereka untuk tugas berpikir atau menulis,
mereka dapat mengatur komitmen mereka, disposisi, dan perhatian (Marzano dkk.,
1988).
Begitu
juga dalam hal belajar, siswa yang sudah tahu pasti tujuan dari kegiatan
belajarnya akan mengarahkan segala pemikiran, perasaan, penerapan starategi,
dan tingkah lakunya untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dan
mempertahankan prestasi akademiknya (Paris & Newman, 1990). Maka, betapa
efektifnya belajar jika siswa memiliki keterampilan self-regulated learning (SRL).
Darmiany
(2008) melakukan penelitian tindakan kelas
(Classroom Action Research) pada
mahasiswa Program Studi S-1 FMIPA
Pendidikan Matematika UM semester genap tahun 2007/2008, dengan
melakukan latihan dan pemanfaatan metakognisi, motivasi dan perilaku yang
diduga efektif melalui penerapan belajar eksperiensial yang hasilnya berhasil mengembangkan self regulated learning mahasiswa.
Noor
Gabriela H. (2010) melakukan penelitian pre-eksperiment untuk menguji
efektivitas program self regulatin learning dalam mereduksi prokrastinasi akademik
siswa SMPN 5 Bandung. Hasilnya program Self Regulation Learning (SRL) dikembangkan berdasarkan hasil pre test instrument strategi Self
Regulation Learning (SRL) yang berfokus
pada pengembangan kompetensi akademik berhasil mereduksi prokrastinasi
akademik siswa SMPN 5 Bandung.
Philip C. Abrami (2005) dari Concordia
University, Kanada ,
telah mengembangkan software portofolio Elektronik (EP) sebagai suatu wadah digital yang mampu menyimpan konten visual
dan auditori termasuk teks, gambar video, dan suara. EP
ini mampu merangkum prestasi kreatif peserta didik dan sekaligus menggambarkan
proses mencapai prestasi tersebut. EP ini berdasarkan penelitian yang dilakukan
Philip C. Abrami (2005) pada 1200 siswa sekolah
dasar di Quebec mampu mendorong pembelajaran aktif reflektif (ePEARL) yang
didasarkan pada terbentuknya self
regulated learning dalam diri siswa.
Menurut Jonassen (Wangid, 2006), strategi
belajar sangat diperlukan agar proses belajar menjadi lebik efektif. Hal ini
didukung pula oleh hasil penelitian dari Pintrich & De Groot (1991) yang
menemukan adanya hubungan antara strategi belajar dengan hasil unjuk kerja.
Kualitas belajar bagaimanapun juga bergantung pada strategi yang digunakan oleh
individu. Brown dan Volet (dalam Vermunt, 1998) menyatakan fungsi self regulated learning secara konkret
adalah merencanakan proses belajar, memantau kemajuan belajar, mendiagnosis
sebab-sebab terjadinya kesulitan yang muncul selama proses belajar, dan
menentukan tujuan (target yang harus dicapai) dalam belajar.
Strategi
metakognitif merupakan salah satu kecakapan aspek kognitif yang penting
dikuasai oleh seorang peserta didik dalam belajar atau memecahkan masalah.
Strategi metakognitif ini dapat dipelajari oleh peserta didik, artinya guru
dapat mengajarkannya. Proses pembelajaran bukan semata-mata proses penyampaian
materi bidang ilmu tertentu, tetapi yang lebih penting adalah proses
pengembangan kemampuan strategi metakognitif peserta didik. Menurut Desmita
(2009), hal senada dengan yang dikemukakan oleh Pressley (Santrock, 2006) bahwa
kunci pendidikan adalah membantu siswa mempelajari serangkaian strategi yang
dapat menghasilkan problem solving.
Berbagai studi telah meneliti pengaruh keterampilan
metakognitif pada kinerja individu.
Everson dan Tobias (2001) melaporkan bahwa penelitian menunjukkan ada perbedaan
dalam metakognisi yang efektif pada peserta didik. Penggunaan metakognisi efektif menunjukkan
memprediksi kinerja belajar (Pintrich & DeGroot, 1990). Siswa dengan
keterampilan metakognitif lebih tinggi mengungguli mereka dengan keterampilan
metakognitif rendah dalam pemecahan masalah tugas, terlepas dari bakat mereka
secara keseluruhan.
Dalam sebuah studi yang membandingkan pembelajaran
mandiri di perguruan tinggi diantara mahasiswa pascasarjana (Lindner, Harris, dan Gordon,
1996) menunjukkan korelasi kuat antara metakognisi dan derajat penyelesaian masalah.
Penelitian secara konsisten menunjukkan bahwa siswa yang berprestasi tinggi
dalam domain pembelajaran akademis seperti membaca, menulis, matematika dan ilmu
pengetahuan juga menunjukkan pengetahuan metakognitif berada
pada tingkat yang lebih tinggi untuk domain tersebut, dan telah mengembangkan kemampuan yang lebih besar
dalam pengaturan diri (Baker & Cerro, 2000).
Flavell
(1971) menyatakan bahwa pengetahuan
tentang metakognitf dan keterampilan menggunakan strategi metakognitif dalam
paradigma konstruktivisme melahirkan siswa ideal yaitu seorang pelajar yang
memiliki kemampuan mengatur dirinya sendiri (self-regulated learner). Peserta didik yang memiliki self regulated learning adalah seseorang
yang memiliki pengetahuan tentang strategi belajar efektif, atau biasa disebut academic learning skill, yang dipadu
dengan kontrol diri dan motivasi yang tetap terpelihara, Jadi peserta didik
yang menjadi self regulated learned
adalah seorang yang mampu (skill) dan
mau (will) belajar. Bagi self regulated learner, motivasi belajar
adalah untuk belajar itu sendiri bukan karena ingin mendapatkan nilai, atau
motivasi eksternal lainnya.
Pengkajian
atas kedua teori tersebut menunjukkan adanya hubungan antara aspek-aspek dari
teori metacognition Flavell (1971)
dengan fase self regulated learning yang
dikemukakan B.J. Zimmerman (1994).
Hubungan antara kedua teori tersebut :
1) Pengetahuan kognitif siswa (metacognitive knowledge) yang meliputi
variabel individu, tugas dan strategi membuat siswa melalui fase pertama untuk
terbentuknya SRL yaitu fase forethought
yang
memetakan tugas-tugas yang tidak
diketahui (variabel tugas), dan membantu untuk mengembangkan pola pikir positif
(variabel individu), penggunakan strategi yang tepat dalam memenuhi harapan realistis
dari tugas (variabel strategi).
2) Tujuan dan tugas metakognitif (tasks and goals) adalah hasil yang
diinginkan atau tujuan dari sebuah usaha kognitif. Tujuan harus ditetapkan sebagai
hasil yang spesifik, yang diatur dalam
urutan dari jangka pendek sampai jangka panjang. Dan penetapan tujuan ini
merupakan fase forethought dalam
pembentukan SRL.
3) Strategi metakognitif dirancang
untuk memantau perkembangan kognitif. Strategi metakognitif memerintahkan
proses yang digunakan untuk mengontrol aktivitas kognitif dan untuk memastikan
bahwa tujuan kognitif telah terpenuhi. Seorang yang telah menggunakan strategi
metakognitif berarti ia telah melalui fase
Performance/ volitional control ini melibatkan proses selama belajar dan upaya aktif dalam memanfaatkan strategi khusus untuk membantu
siswa menjadi lebih sukses.
4) Pengalaman metakognitif (metacognitive experiences) mencakup
respon afektif terhadap tugas. Rasa Sukses atau kegagalan, frustrasi atau
kepuasan, dan banyak efek tanggapan lainnya yang juga merupakan refleksi dari
tugas bagi seorang individu, akan menentukan minatnya atau keinginan siswa
untuk mengejar tugas-tugas serupa di masa mendatang. Pengalaman metakognitif
membuat siswa memasuki fase self
reflection dalam SRL yang melibatkan refleksi setelah menunjukkan kinerja
belajar.
Berdasarkan
uraian diatas, diasumsikan bahwa peserta didik yang mendapatkan bimbingan
belajar melalui strategi metakognitif akan memiliki self regulated learning artinya peserta didik tersebut akan memiliki
motivasi belajar instrinsik, mengetahui gaya belajarnya, mengetahui berbagai strategi belajar dan
dapat menggunakan strategi belajar yang tepat dan mampu mengatur tingkah
lakunya secara dinamis dan fleksibel dalam menghadapi berbagai tantangan dalam
belajar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar