Minggu, 26 April 2020

Gangguan Stres Pasca Trauma


Gangguan Stres Pasca Trauma Bencana
Gunung Merapi

Oleh :
Iman Lesmana


Kejadian bencana yang datang silih berganti menimbulkan trauma pada korbannya, stres pascatrauma merupakan sebuah respon emosional dan behavioral terhadap berbagai macam bentuk stres. Kunci dari gangguan stres ini secara umum melibatkan tinggnya ketakutan (fear) dan memori spesifik yang tidak diharapkan mengenai kejadian-kejadian yang membuat seseorang tertekan. Trauma muncul sebagai akibat dari saling keterkaitan antara ingatan sosial dan ingatan pribadi tentang peristiwa yang mengguncang eksistensi kejiwaan.
Trauma merupakan rasa kecemasan dan kesakitan yang sangat mendalam akibat dari keadaan merugikan yang terus menerus menimpa manusia (Juntika Nurihsan. 2005: 82). Kejadian trauma yang berlangsung akan menimbulkan luka psikologis pada individu dan mengakibatkan suatu perasaan tertekan (stres). Stres pascatrauma dapat diartikan sebagai gangguan psikologis atau kecemasan dimana terjadi pada orang-orang yang pernah mengalami suatu peristiwa luar biasa.
Stres pascatrauma merupakan sebuah respon emosional dan behavioral terhadap berbagai macam bentuk stres. Kunci dari gangguan ini secara umum melibatkan tinggnya ketakutan (fear) dan memori spesifik yang tidak diharapkan mengenai kejadian-kejadian yang membuat seseorang tertekan. Adalah anak-anak yang sangat rentan mengalami trauma terhadap bencana alam. Baru-baru ini Indonesia ditimpa berbagai macam musibah bencana alam hebat dalam rentang waktu yang berdekatan, yaitu terjadinya banjir bandang di Wasior, terjangan Tsunami di Mentawai, dan meletusnya Gunung Merapi, ditambah lagi dengan berbagai bencana alam yang hampir setiap tahun terjadi.
Kejadian-kejadian tersebut dapat menciptakan trauma terhadap anak, hal ini diakibatkan oleh tekanan yang muncul akibat dari rasa sakit yang diderita saat kejadian, kehilangan orang tua dan harta bendanya serta perubahan akan kegiatan sosial anak. Trauma yang muncul diantaranya adalah rasa takut terhadap gempa, takut melihat gunung, takut terhadap suara gemuruh dan lain-lain. Trauma yang dirasakan oleh anak yang menjadi korban bencana letusan Gunung Merapi merupakan salah satu penyebab gangguan psikologis. Hal ini semakin diperparah oleh pengalaman anak dalam menyaksikan, mendengarkan bahkan mengalami bencana letusan Gunung Merapi sendiri.
Anak yang hidup dalam pengungsian, berada dalam suasana mencekam, rasa cemas, dan mimpi buruk. Selain itu, ada beberapa anak yang orang tuanya hilang entah kemana dan berbagai peristiwa tidak menyenangkan lainnya. Kondisi ini akan membuat anak terkena gangguan emosional, kognitif, dan tingkah laku dalam jangka waktu yang lama. Luka psikologis setelah kejadian bencana sangat mendalam bagi anak, hal ini sesuai dengan pernyataan berikut ini :
“After natural disasters, most children exhibit typical symptoms, which can be mitigated when parents and teachers provide emotional support and facilitate adaptive coping strategies. However, some children may experience clinical symptoms, which require professional counseling.”  (Baggerly and Exum, 2008)
Selanjutnya Baggerly and Exum (2008) menjelaskan bahwa saat terjadinya bencana alam, anak-anak merupakan salah satu populasi yang paling rentan karena psikologis anak diperuntukan untuk perubahan yang permanen dan keterampilan coping anak belum cukup dibangun untuk mengatasi kejadian bencana. Pengalaman anak korban bencana letusan Gunung Merapi mengalami dan menyaksikan kejadian bencana secara langsung membawa kenangan yang buruk dan membuat anak rentan mengalami trauma.
Anak yang memiliki pengalaman traumatis akan memengaruhi kehidupannya di masa mendatang, karena pengalaman tersebut akan membekas dalam diri anak yang akan muncul di masa mendatang baik dalam bentuk langsung maupun tidak langsung. Bentuk langsungnya bisa berupa gangguan-gangguan psikologis seperti ketakutan berlebihan tentang hal yang berkaitan dengan stresor penyebab trauma maupun gangguan emosi dan gangguan fisik yang lainnya. Adapun gejala tidak langsung misalnya anak akan mengalami gangguan seperti mudah lupa, kurang berkonsentrasi dan lain-lain.
Penanggulangan trauma sangat penting dilakukan terutama bagi anak dan remaja yang mengalami langsung kejadian traumatis. Sesungguhnya setiap individu memiliki kemampuan sendiri untuk berdamai dengan kejadian trauma, yaitu disebut dengan coping skill, namun tidak semua individu memiliki keterampilan coping yang baik (terutama anak-anak dan remaja). Untuk mengembangkan keterampilan coping tersebut diperlukan layanan bimbingan dan konseling yang diberikan oleh pihak ahli yang kompeten.
Bimbingan merupakan suatu prosses pemberian bantuan kepada individu yang dilakukan secara berkesinambungan agar individu tersebut mampu memahami dirinya sehingga indiviu tersebut mampu mengarahkan dirinya sehingga bertindak wajar, sesuai dengan tuntutan dan keadaan lingkungan sekolah, keluarga, masyarakat dan kehidupan umum. Sedangkan konseling merupakan semua bentuk hubungan antara dua orang, dimana yang seorang yaitu klien dibantu untuk lebih mampu menyesuaikan diri secara efektif terhadap dirinya sendiri dan ingkungannya. Pelaksanaan bimbingan dan konseling memiliki beberapa tujuan  salah satunya adalah yang berkaitan dengan aspek pribadi-sosial yaitu memiliki pemahaman tentang irama kehidupan yang bersifat fluktuatif antara yang menyenangkan (anugrah) dan yang tidak menyenangkan (musibah), serta mampu meresponnya secara positif sesuai dengan ajaran agama yang dianut. Fungsi  bimbingan salah satunya adalah perbaikan atau penyembuhan, berkaitan erat dengan pemberian bantuan kepada siswa yang telah mengalami masalah. Teknik yang digunakan adalah konseling dan remedial teaching.
Adapun bantuan yang dapat diberikan kepada anak korban bencana alam letusan Gunung Merapi berupa layanan konseling kuratif. Layanan bantuan diberikan bagi anak yang mengalami masalah yaitu stres pascatrauma diberikan untuk mengembalikan kesehatan mentalnya. Salah satu teknik yang dapat digunakan untuk menanggulangi trauma pada anak yang mengalami stres pascatrauma adalah dengan teknik menulis. Pennebaker (Wright, 286 : 2002) mengungkapkan terdapat keterkaitan antara pengungkapan emosi ketika menulis dengan kesehatan individu. Pada saat menulis dan mencurahkan emosi yang dihadapinya maka Individu akan kembali merasakan emosi tersebut meskipun kejadiannya telah berlangsung lama. Menulis merupakan suatu bentuk terapi yang dapat membantu individu melepaskan stres yang dialaminya setelah keadian bencana alam, terutama bagi individu yang memiliki kesulitan dalam mengungkapkan masalah, namun bagi anak menulis merupakan kegiatan yang cukup membosankan. Menulis kreatif merupakan suatu bentuk pelaksanaan terapi menulis yang dimaksudkan untuk mengatasi kesulitan hidup atau kejadian traumatis yang dihadapi oleh seseorang dengan menggunakan media kreatif, hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Wright & Chung (Wright, 285 : 2002) “Writing therapy is defined as: client expressive and reflective writing, whether selfgenerated or suggested by a therapist/researcher.”
Teknik menulis kreatif deilakukan dengan menggunakan berbagai media yang mampu mengeksplorasi perasaan, gambaran, dan pemikiran individu untuk membantu indiviu memahami pengalaman dan dunia dalam dirinya. Teknik menulis kreatif juga menyediakan berbagai cara baru dalam melihat pengalaman masa kini dan masa lalu memungkinkan individu membuat perubahan positif dalam kehidupannya. Teknik menulis kreatif diharapkan dapat membantu anak untuk mengungkapkan kecemasan yang dihadapi dimana kecemasan menimbulkan trauma dalam dirinya sehingga anak untuk dapat mengatasi kecemasannya tersebut sendiri dengan bantuan penulis.
Dapat disimpulkan upaya memulihkan trauma yang dialami anak korban bencana alam letusan Gunung Merapi sangat penting untuk dilakukan. Untuk melakukan pemulihan tersebut dibutuhkan suatu cara atau teknik tertentu yang dianggap sesuai atau relevan dengan keadaan serta karakteristik anak.
 Trauma yang dirasakan oleh anak korban bencana letusan Gunung Merapi merupakan salah satu penyebab gangguan psikologis yang dapat muncul pasca kejadaian bencana yaitu stres pascatrauma. Keadaan lingkungan yang tidak lagi sama seperti keadaan sebelum kejadian bencana, rasa sakit yang dialami saat kejadian bencana, kehilangan orang yang disayangi, dan kehilangan benda-benda berharga akan membuat anak mengalami masalah yang berkaitan dengan gangguan emosional, kognitif, dan tingkah laku dalam jangka waktu yang lama.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Penguatan Integrasi Pendidikan

PENGUATAN INTEGRASI PENDIDIKAN DALAM ERA DISUPSI Oleh :  Asep Rohiman Lesmana, M.Pd. Pendidikan merupakan suatu entitas yang s...