Gangguan Stres Pasca Trauma Bencana
Gunung Merapi
Oleh :
Iman Lesmana
Kejadian bencana yang datang silih
berganti menimbulkan trauma pada korbannya, stres pascatrauma merupakan sebuah
respon emosional dan behavioral terhadap berbagai macam bentuk stres. Kunci
dari gangguan stres ini secara umum melibatkan tinggnya ketakutan (fear) dan memori spesifik yang tidak
diharapkan mengenai kejadian-kejadian yang membuat seseorang tertekan. Trauma
muncul sebagai akibat dari saling keterkaitan antara ingatan sosial dan ingatan
pribadi tentang peristiwa yang mengguncang eksistensi kejiwaan.
Trauma merupakan rasa kecemasan dan
kesakitan yang sangat mendalam akibat dari keadaan merugikan yang terus menerus
menimpa manusia (Juntika Nurihsan. 2005: 82). Kejadian trauma yang berlangsung
akan menimbulkan luka psikologis pada individu dan mengakibatkan suatu perasaan
tertekan (stres). Stres pascatrauma dapat diartikan sebagai gangguan psikologis
atau kecemasan dimana terjadi pada orang-orang yang pernah mengalami suatu
peristiwa luar biasa.
Stres pascatrauma merupakan sebuah
respon emosional dan behavioral terhadap berbagai macam bentuk stres. Kunci dari
gangguan ini secara umum melibatkan tinggnya ketakutan (fear) dan memori spesifik yang tidak diharapkan mengenai
kejadian-kejadian yang membuat seseorang tertekan. Adalah anak-anak yang sangat
rentan mengalami trauma terhadap bencana alam. Baru-baru ini Indonesia ditimpa
berbagai macam musibah bencana alam hebat dalam rentang waktu yang berdekatan, yaitu
terjadinya banjir bandang di Wasior, terjangan Tsunami di Mentawai, dan meletusnya
Gunung Merapi, ditambah lagi dengan berbagai bencana alam yang hampir setiap
tahun terjadi.
Kejadian-kejadian tersebut dapat
menciptakan trauma terhadap anak, hal ini diakibatkan oleh tekanan yang muncul
akibat dari rasa sakit yang diderita saat kejadian, kehilangan orang tua dan
harta bendanya serta perubahan akan kegiatan sosial anak. Trauma yang muncul
diantaranya adalah rasa takut terhadap gempa, takut melihat gunung, takut
terhadap suara gemuruh dan lain-lain. Trauma yang dirasakan oleh anak yang
menjadi korban bencana letusan Gunung Merapi merupakan salah satu penyebab
gangguan psikologis. Hal ini semakin diperparah oleh pengalaman anak dalam
menyaksikan, mendengarkan bahkan mengalami bencana letusan Gunung Merapi
sendiri.
Anak yang hidup dalam pengungsian,
berada dalam suasana mencekam, rasa cemas, dan mimpi buruk. Selain itu, ada
beberapa anak yang orang tuanya hilang entah kemana dan berbagai peristiwa
tidak menyenangkan lainnya. Kondisi ini akan membuat anak terkena gangguan
emosional, kognitif, dan tingkah laku dalam jangka waktu yang lama. Luka
psikologis setelah kejadian bencana sangat mendalam bagi anak, hal ini sesuai
dengan pernyataan berikut ini :
“After
natural disasters, most children exhibit typical symptoms, which can be
mitigated when parents and teachers provide emotional support and facilitate
adaptive coping strategies. However, some children may experience clinical
symptoms, which require professional counseling.” (Baggerly
and Exum, 2008)
Selanjutnya Baggerly and Exum (2008)
menjelaskan bahwa saat terjadinya bencana alam, anak-anak merupakan salah satu
populasi yang paling rentan karena psikologis anak diperuntukan untuk perubahan
yang permanen dan keterampilan coping
anak belum cukup dibangun untuk mengatasi kejadian bencana. Pengalaman anak
korban bencana letusan Gunung Merapi mengalami dan menyaksikan kejadian bencana
secara langsung membawa kenangan yang buruk dan membuat anak rentan mengalami
trauma.
Anak
yang memiliki pengalaman traumatis akan memengaruhi kehidupannya di masa
mendatang, karena pengalaman tersebut akan membekas dalam diri anak yang akan
muncul di masa mendatang baik dalam bentuk langsung maupun tidak langsung.
Bentuk langsungnya bisa berupa gangguan-gangguan psikologis seperti ketakutan
berlebihan tentang hal yang berkaitan dengan stresor penyebab trauma maupun
gangguan emosi dan gangguan fisik yang lainnya. Adapun gejala tidak langsung
misalnya anak akan mengalami gangguan seperti mudah lupa, kurang berkonsentrasi
dan lain-lain.
Penanggulangan
trauma sangat penting dilakukan terutama bagi anak dan remaja yang mengalami
langsung kejadian traumatis. Sesungguhnya setiap individu memiliki kemampuan
sendiri untuk berdamai dengan kejadian trauma, yaitu disebut dengan coping skill, namun tidak semua individu
memiliki keterampilan coping yang
baik (terutama anak-anak dan remaja). Untuk mengembangkan keterampilan coping tersebut diperlukan layanan
bimbingan dan konseling yang diberikan oleh pihak ahli yang kompeten.
Bimbingan
merupakan suatu prosses pemberian bantuan kepada individu yang dilakukan secara
berkesinambungan agar individu tersebut mampu memahami dirinya sehingga indiviu
tersebut mampu mengarahkan dirinya sehingga bertindak wajar, sesuai dengan
tuntutan dan keadaan lingkungan sekolah, keluarga, masyarakat dan kehidupan
umum. Sedangkan konseling merupakan semua bentuk hubungan antara dua orang,
dimana yang seorang yaitu klien dibantu untuk lebih mampu menyesuaikan diri
secara efektif terhadap dirinya sendiri dan ingkungannya. Pelaksanaan bimbingan
dan konseling memiliki beberapa tujuan salah satunya adalah yang berkaitan dengan
aspek pribadi-sosial yaitu memiliki pemahaman tentang irama kehidupan yang
bersifat fluktuatif antara yang menyenangkan (anugrah) dan yang tidak
menyenangkan (musibah), serta mampu meresponnya secara positif sesuai dengan
ajaran agama yang dianut. Fungsi bimbingan salah satunya adalah perbaikan atau
penyembuhan, berkaitan erat dengan pemberian bantuan kepada siswa yang telah
mengalami masalah. Teknik yang digunakan adalah konseling dan remedial teaching.
Adapun
bantuan yang dapat diberikan kepada anak korban bencana alam letusan Gunung
Merapi berupa layanan konseling kuratif. Layanan bantuan diberikan bagi anak
yang mengalami masalah yaitu stres pascatrauma diberikan untuk mengembalikan
kesehatan mentalnya. Salah satu teknik yang dapat digunakan untuk menanggulangi
trauma pada anak yang mengalami stres pascatrauma adalah dengan teknik menulis.
Pennebaker (Wright, 286 : 2002) mengungkapkan terdapat keterkaitan antara
pengungkapan emosi ketika menulis dengan kesehatan individu. Pada saat menulis
dan mencurahkan emosi yang dihadapinya maka Individu akan kembali merasakan
emosi tersebut meskipun kejadiannya telah berlangsung lama. Menulis merupakan
suatu bentuk terapi yang dapat membantu individu melepaskan stres yang
dialaminya setelah keadian bencana alam, terutama bagi individu yang memiliki
kesulitan dalam mengungkapkan masalah, namun bagi anak menulis merupakan
kegiatan yang cukup membosankan. Menulis kreatif merupakan suatu bentuk
pelaksanaan terapi menulis yang dimaksudkan untuk mengatasi kesulitan hidup
atau kejadian traumatis yang dihadapi oleh seseorang dengan menggunakan media
kreatif, hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Wright & Chung (Wright,
285 : 2002) “Writing therapy is defined
as: client expressive and reflective writing, whether selfgenerated or
suggested by a therapist/researcher.”
Teknik menulis kreatif deilakukan
dengan menggunakan berbagai media yang mampu mengeksplorasi perasaan, gambaran,
dan pemikiran individu untuk membantu indiviu memahami pengalaman dan dunia dalam
dirinya. Teknik menulis kreatif juga menyediakan berbagai cara baru dalam
melihat pengalaman masa kini dan masa lalu memungkinkan individu membuat
perubahan positif dalam kehidupannya. Teknik menulis kreatif diharapkan dapat
membantu anak untuk mengungkapkan kecemasan yang dihadapi dimana kecemasan
menimbulkan trauma dalam dirinya sehingga anak untuk dapat mengatasi
kecemasannya tersebut sendiri dengan bantuan penulis.
Dapat disimpulkan upaya memulihkan
trauma yang dialami anak korban bencana alam letusan Gunung Merapi sangat
penting untuk dilakukan. Untuk melakukan pemulihan tersebut dibutuhkan suatu
cara atau teknik tertentu yang dianggap sesuai atau relevan dengan keadaan
serta karakteristik anak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar