Helping Families from War to Peace : Trauma-Stabilizinng
Principles for Helpers, Parents, and Children
Oleh :
Iman Lesmana
Tulisan
ini dimaksudkan sebagai terjemahan teori trauma modern ke dalam 10 prinsip
praktik bagi orang-orang yang bekerja dalam keluarga pengungsi trauma perang.
Trauma yang kompleks dapat disebabkan oleh perang, dan anak menjadi mudah untuk
mengalami trauma kompleks karena permasalahan pengalaman sepanjang hidupnya.
Penelitian memberitahukan bahwa para pengungsi memiliki gejala trauma
psikologis 3 tahun setelah kedatangan mereka ke negara-negara yang aman. 10
Prinsip-prinsip untuk menstabilkan trauma yang efektif dikembangkan setelah 2
tahun projek dengan pengungsi Chechnian di Norwegia. Mereka memperoleh
informasi kualitatif, pemahaman klinis yang dikombinasikan dengan teori trauma.
Teori trauma dalam proyek ini sebagian besar yaitu : fase yang berorientasi
pada perawatan, terutama sekali tahap stabilisasi, teori Polyvagal, untuk
menjelaskan fungsi universal dari sistem saraf manusia dalam bahaya dan konsep
dasar atas pengolahan neuropsikologi.
A. Pengenalan
1. Refugees (pengungsi)
Dewan Pengungsi Norwegia mendefinisikan pengungsi sebagai
“sebagian atau beberapa orang yang meninggalkan negaranya karena ketakutan akan
dituntutnya ras, agama, kebangsaan, sudut pandang politik atau miliki kelompok sosial tertentu”
(Lindstad dan Skretteberg, 2011, hlm. 33). UNHCR menyatakan bahwa dalam 2010
ada 43, 7 juta pengungsi. 27, 5 juta menyeberangi perbatasan negara mereka dan
diterapkan ditempat lain. Ini merupakan angka tertinggi sejak awal dekade ini.
358.840 pengungsi kedunia barat dan 10.064 dari para pengungsi tersebut datang
ke Norwegia (Lindstad dan Skretteberg, 2011).
2. Efek Traumatis dari Perang pada Keluarga
Figley dan Nash (2007, cover) menulis bahwa “kekeliruan yang
tidak dicek, efek psikologis dari pertempuran terbuka dapat menghancurkan para
pejuang, keluarga dan komunitasnya”. Mereka kemudian menulis “perang seperti
tantangan yang dapat dihadapi orang, khususnya untuk remaja dan orang dewasa
muda...“(hlm. 17). Seperti yang dijelaskan oleh Figley dan Nash, banyak
pengungsi perang yang menghadapi stres terutama orang-orang yang telah berada
dalam pertempuran aktif.
Lie (2003) menemukan bahwa dalam studinya dari 462 pengungsi
di Norwegia setelah 3 tahun datang ke Norwegia mengalami simptom trauma yang
tinggi. Gejala tersebut diperparah dengan pengangguran, kekhawatiran terhadap
keluarga di negara asal mereka, kurangnya dukungan dan keluarga di Norwegia.
Mereka 4 kali lebih mungkin untuk mengalami ketakutan dan kecemasan, keputusasaan,
dan depresi (Blom, S. 2010). Trauma perang merupakan trauma kolektif, ini
merupakan pengalaman trauma yang dapat berdampak pada seluruh keluarga sebagai
lawan satu anggota keluarga, seluruh masyarakat serta budaya. Perang
mempengaruhi kemampuan orang tua untuk menjadi tempat yang aman bagi anak-anak
mereka, serta menurunkan kepercayaan anak terhadap orang tuanya.
3. Perang dan body
Perang biasanya lebih banyak berisi ancaman, hal ini
selanjutnya akan mengaktifkan bagian dari otak manusia. Howard Bath (2011)
mengutip penelitian terbaru yang menunjukkan bahwa otak manusia mengembangkan
pengalaman. Dalam penelitian ini juga ditunjukkan bahwa anak-anak kehilangan
kemampuan mereka untuk membedakan rasa aman dan rasa bahaya. Seperti yang
dikutip dari Mandi (2011) bahwa inti dari trauma untuk anak-anak dan orang
dewasa adalah hilangnya kemampuan mereka untuk mengatur intensitas dan durasi
dari kerusakan. Menurut Perry (2009) kita tidak dapat menghilangkan kenangan
buruk (dari dalam tubuh), tetapi kita bisa membuat ruang baru dipikiran kita
tentang hal-hal positif yang baru.
B. Trauma Kompleks
Pada gejala tingkat satu yang menyatakan bahwa setelah
trauma, reaksi bertahan akan menjadi bagian dari pribadi seseorang.
Kompleksitas melibatkan adaptasi dari waktu ke waktu menjadi berbahaya.
Seseorang yang mengalami trauma kompleks akan memiliki kekurangan rasa
kepemilikan pribadi yang akan menyakitkan reaksi dan kenangannya, sedangkan
dilain waktu mereka kewalahan oleh kenangan traumatis itu sendiri. “Paparan
trauma kompleks mengakibatkan hilangnya kapasitas inti untuk regulasi diri dan
hubungan interpersonal yang berkaitan.
Anak-anak yang mendapatkan trauma kompleks sering memiliki
permasalahan pengalaman sepanjang hidupnya yang menempatkannya pada risiko
trauma tambahan dan gangguan kumulatif misalnya gangguan kejiwaan dan adiktif,
penyakit kronis, hukum, kejuruan, dan masalah keluarga. Masalah ini dapat
berlangsung dari masa kanak-kanak sampai remaja dan menjadi dewasa (Cook et al,
2007).
1. Fokus dalam Fase
Kebanyak perawatan dalam trauma dikembangkan dalam
perspektif trauma tunggal, tetapi baru-baru ini perspektif baru dan pemahaman
ke perawatan kompleks trauma juga dikembangkan. Salah satu pemahaman pentingnya
adalah fokus pada fase dari teori disosiasi struktural (van der Hart, Nijenhuis
dan Steele, 2006). 3 fase intervensi ini menggambarkan stabilisasi, integrasi,
dan rehabilitasi. Hal ini sependapat dengan Herman (1992) yang mendefinisikan
tahap pemulihan sebagai tahap bekerja untuk keselamatan, peringatan dan
berkabung, rekoneksi dan persamaan.
2. Mendukung Penghindaran Ingatan tentang
Trauma
Sebuah perspektif menjelaskan bahwa apa yang dialami oleh
seseorang akan menjadi bahan dasar untuk penyembuhan. Hal ini akan efektif
dengan PTSD sederhana, korban dari trauma kompleks membutuhkan fokus yang kuat
dalam pengaturan gejala, keselamatan, dan membangun sumber daya. Dukungan untuk
menghindari ingatan trauma adalah intervensi yang relevan dalam fase pertama
pada treatment. Kepercayaan dalam “working through” trauma adalah cara
abreaktif emosional (Nordanger, 2008) yang juga merupakan konsep penyembuhan
Barat.
3. Surfing
or deep sea diving?
Tujuan berbicara dengan anak-anak atau orang tua tentang
masa lalu mereka yang utama dan terpenting adalah membebaskan simptom. Fokus
yang kuat pada trauma dan detail sejarah dianjurkan dalam fase pertama. Hal ini
akan mengaktifkan kenangan traumatis. Seringkali detail dari trauma sejarah
adalah bagian dari prosedur. Lebih sederhana dikatakan : menempatkan headline
dalam pengalaman traumatis berbeda dari bekerja melalui kenangan trauma (Hart
van der, Nijenhuis dan Steele, 2006).
4. Struktur yang retak diantara fungsi
harian dan fungsi yang berorientasi pada trauma
Ketika anak atau orang tua berada dalam trauma bagian
ketidaksadaran maka mereka akan merasa bahwa masa lalu lebih nyata daripada
masa sekarang. Sehingga pemahaman yang mendalam tentang sifat dialektik trauma
diperlukan ketika bekerja dengan keluarga pengungsi perang. Selanjutnya
fluktuasi perlu dan normal untuk direncanakan. Teori disosiasi struktural
menyatakan secara eksplisit bahwa penyembuhan akan datang dengan cepat setika
salah satu membangun intevensi pada “fungsi hidup keseharian”. Teori disosiasi
struktural menyatakan integrasi meningkat ketika satu hubungan dikembangkan ke
satu bagian disosiasi.
C.
Keluarga
Chechnian dalam perang ke keluarga Chechnian dalam kedamaian
Pada tahun 2009, alternatif untuk
kekerasan menerima dukungan finansial dari extrafoundation Norwegia unuk
kesehatan dan rehabilitasi. Tujuan dari 2 tahun proyek tersebut adalah untuk
mengembangkan dan meningkatkan pelayanan pada komunitas Chechnian di Baerum.
Kota Baerum berjuang dengan melayani pengiriman keseluruh populasi ini.
Terdapat laporan bahwa terjad kesulitan antara layanan perlndungan anak dan
keluarga Chechnian.
D.
10
Prinsip untuk Bekerja dengan Keluarga yang Mengalami Trauma Perang
Artikel ini akan menjelaskan 10
prinsip-prinsip trauma yang diinformasikan berdasarkan teori trauma dan
aplikasi klinis pada populasi tertentu. Ke-10 prinsip tersebut adalah sebagai
berikut :
1.
Ketepatan
Level dari Trauma Sejarah Pengetahuan
Memahami gejala trauma dalam konteksnya
akan mengarah pada solusi kreatif terhadap masalah kehidupan sehari-hari. Dalam
beberapa kasus masa lalu dianggap tidak relevan dan strategi difokuskan pada
perilaku. Garis besar pada sejarah yang dipelajari anak akan secara alami
mencakup pengalaman traumatis, sumber dan latar belakang budaya. Ahmad yang
berusia 17 tahun kehlangan teman terbaiknya ketika berusia 7 tahun dalam
perjalanannya kesekolah. Menyaksikan kematian teman-temannya akhirnya hal ini
mengakibatkan trauma sehingga Ahmad tidak mau lagi dihubungkan dengan sekolah.
Sang guru tidak mengetahui akan hal ini
dan berpikir bahwa Ahmad datang terlambat kesekolah karena malas, padahal jika
seorang guru mengetahui tentang latar belakang trauma yang dialami oleh Ahmad
dapat memberikan bantuan dengan membuat perencanaan sepanjang perjalanan Ahmad
dari dan ke sekolah, dapat memberikan ruang untuk berlindung, dan bisa menerima
dengan baik tentang perilaku Ahmad tersebut. Dalam kasus Ahmad guru dapat
mengembangkan intervensi trauma efektif berbasis semata-mata pada garis cerita
tentang kematian teman-temannya.
Sehingga untuk menjadi seorang “trauma
surfer” yang baik kami menyarankan untuk menahan diri dari bertanya tentang
pengalaman emosional dalam percakapan trauma. Selanjutnya kami merekomendasikan
untuk fokus pada time line dan narasi daripada refleksi emosional pada
pengalaman (van der Weele, 2006). Apakah ia dapat menggambarkan apa yang ada
dalam pikiran dan perasaannya ketika ia sedang berjalan menuju kesekolah?
Apakah dia berpikr untuk membantu di masa sekarang saat berjalan kesekolah?
Apakah ada sesuatu yang gurunya dapat lakukan untuknya ketika dia tiba?
2.
Bentuk
Keaslian Hubungan dan Membangun Kepercayaan
Keluarga yang mengalami trauma
peperangan sering kali kehilangan kepercayaannya dalam kemanusiaan, sistem, dan
keadilan. Sehingga membentuk hubungan yang otentik sangatlah penting. Yalom
(2004) menyatakan bahwa keduanya dalam hidup dan treatment, kebermaknaan adalah
efek samping dari keterlibatan dan kewajiban. Dalam pendapat kami hubungan yang
otentik (asli) berarti hubungan yang siap untuk timbal balik. Kita sebagai
pembantu perlu membangun rasa hubungan yang aman, terutama dengan orang tua
yang pada gilirannya akan membentuk obligasi yang aman dengan anak-anak mereka.
Pengobatan trauma bagi anak-anak harus dimulai dengan menciptakan suasana
keselamatan dan keamanan. Hubungan yang selamat dan ikatan yang aman merupakan
jalan untuk menuju penyembuhan.
3.
Normalize dan psychoeducate
Salah satu strategi psikoedukatif
paling ampuh telah mengajar keluarga dan pembantu tentang cara untuk
menghalangi over and under activation
yang umumnya menjadi trauma indivdu. Konsep jendela digunakan untuk
menggambarkan kemampuan seseorang untuk mengendalikan selama gejala. Pertama
nya yaitu mengaku pemicu dan reaksi dari pemicu tersebut. Selanjutnya seseorang
tersebut akan belajar mengatur keterampilannya. Keterampilan ini terdiri dari
jenis landasan, gangguan, dan teknik pengaturan emosi (van der Weele and With,
2011; van der Hart, Nijenhuis and Steele, 2006). Lihat gambar di bawah ini
Pengurangan
stres adalah strategi yang kuat untuk mengurangi berbagai gejala trauma.
Aktivasi adrenalin dapat menjadi pemicu umum untuk mantan pertahanan tanggapan.
Menemukan tingkat aktivasi yang membuat trauma dalam jendela toleransi adalah
tugas yang menantang, tetapi ketika ditemukan memberikan kontrol dan mengurangi
stres. Tugas penting untuk trauma adalah untuk mempelajari apa pemicu nya. Pemicu
adalah rangsangan yang membawa para
trauma keluar dari jendela toleransi. Pemicu internal,
bisa pada tubuh atau pikiran dan
perasaan. Atau juga eksternal seperti
musiman, terkait dengan waktu hari atau terkait dengan orang-orang dan tempat.
4.
Bekerja
Melalui Tubuh (Work through body)
Psikoedukasi
tentang gejala distress membantu anak-anak menjembatani masa lalu dengan masa
kini. Tapi ini hanya langkah pertama sebagai pengalaman fisik beton baru
memperkuat realitas keselamatan di masa sekarang.
Di tempat kerja, kami menyarankan bahwa
orang-orang trauma memiliki pekerjaan yang akan mencakup kegiatan dan variasi
tugas. Pekerjaan statis dengan mudah akan meningkatkan akses ke memori trauma.
Menstabilkan pekerjaan akan menjadi orang yang termasuk gerakan fisik secara
teratur dan variasi dalam tugas. "Aktif lebih baik daripada pasif". Pekerjaan atau situasi sekolah
dengan penyimpangan panjang kerja monoton akan
dengan mudah membuka pintu untuk memori traumatis.
5.
Fokus
Ketika Mendukung dan Ketika Menantang
Konflik sering muncul dalam tim
perawatan kesehatan pada masalah apakah seseorang harus mendukung atau
menantang klien untuk mulai bekerja, untuk pergi ke sekolah dan sebagainya.
Anak trauma dapat pergi ke sekolah sendiri atau dijemput oleh taksi? Orang tua
trauma dapat bekerja penuh waktu atau paruh waktu? Keseimbangan antara
pendukung dan menantang anak trauma dan orang tua adalah keseimbangan yang
sulit. Pembantu akan dengan mudah berakhir di kedua ekstrem kontinum ini.
Beberapa akan menjadi terlalu pemahaman untuk kebutuhan isolasi dan kebutuhan
untuk dukungan eksternal dalam fungsi sehari-hari, sementara yang lain akan
merasa bahwa waktu sudah matang untuk tuntutan. Konflik antara perspektif ini
sering diperbesar oleh kenyataan bahwa orang-orang yang sangat trauma dapat
melihat cukup mampu berfungsi kehidupan sehari-hari biasa.
Gejala trauma akan berkurang dengan
penilaian yang lebih realistis dari fungsi seseorang. Poin-poin berikut dapat
membantu ketika mencoba untuk menemukan keseimbangan antara pendukung strategi
avoidan dan menantang strategi ini:
1. Kesulitan tidur lagi, semakin rendah
jumlah tantangan. Gangguan tidur membuat Anda rentan untuk stres. Semua 32
klien yang telah kita lihat dalam proyek kami; ibu, ayah dan anak-anak tidur di
rata-rata hanya 3 jam per malam! Ini termasuk anak-anak ke usia 3 dan itu
termasuk pengungsi yang melarikan diri selama 8 tahun yang lalu!
2. Perilaku impulsif adalah tanda
kebutuhan kurang stres dan regulasi yang lebih mendukung.
3. Ketika kualitas hubungan Anda sebagai pekerja
perawatan kesehatan rendah, tantangan harus rendah.
4. Ketika seseorang berada dalam bahaya,
baik secara psikologis maupun fisik, tuntutan lebih sedikit dapat dibuat pada
pengelolaan kehidupan sehari-hari. Pemboman kota Anda di misalnya Chechnya akan
berarti bahwa tuntutan kelas perlu disesuaikan dengan dukungan lebih dari
permintaan.
5. Hidup dengan kekerasan dalam rumah
tangga juga akan mengarah pada kebutuhan untuk mengatur tujuan pembelajaran dan
meningkatkan fokus pada isu-isu keselamatan.
Kami
menggunakan metafora "dinding bagian dalam" untuk
menggambarkan jendela toleransi,
manajemen memicu dan keseimbangan antara dukungan dan tantangan. "Dinding
bagian dalam" (van der Weele, 2006)
menjelaskan kekuatan mental berfluktuasi seseorang harus mundur kenangan yang membanjiri.
Ketika "dinding dalam" tebal, orang dapat
memilih untuk membuka pintu untuk bekerja pada beberapa kenangan. Ketika "dinding dalam" tipis, kenangan dengan mudah tanpa
sadar mengganggu kehidupan
sehari-hari. Dinding yang kuat
ketika salah satu adalah dalam keselamatan, memiliki menyenangkan dalam hidup, tidur dengan baik dan memiliki tujuan yang realistis kecil. Dinding melemahkan ketika
dalam bahaya, ketika stres dan oleh tugas-tugas sehari-hari
yang luar biasa.
Dalam proyek ini kami
telah mengatur malam tari,
konser, malam terpisah
untuk wanita, pria, anak
laki-laki dan perempuan dengan
makanan dan pembicaraan yang baik,
akhir pekan pergi bersama-sama untuk ayah dan anak serta
sekolah hari Sabtu untuk anak-anak untuk belajar kegiatan seperti menggambar dan menari. Semua
kegiatan ini mengambil keluarga keluar dari isolasi dan fokus pada kenangan trauma masa lalu, dan
untuk menstabilkan kegiatan kelompok yang "membangun
dinding bagian dalam mereka"
berdasarkan kenangan baru yang menyenangkan. Akhir pekan pergi untuk ayah dan anak, dikombinasikan dengan pembuatan film dibangun sumber daya yang kuat identitas, terutama untuk anak-anak remaja.
Konflik sering muncul dalam tim
perawatan kesehatan pada masalah apakah seseorang harus mendukung atau
menantang klien untuk mulai bekerja, untuk pergi ke sekolah dan sebagainya.
Anak trauma dapat pergi ke sekolah sendiri atau dijemput oleh taksi? Orang tua
trauma dapat bekerja penuh waktu atau paruh waktu? Keseimbangan antara
pendukung dan menantang anak trauma dan orang tua adalah keseimbangan yang
sulit. Pembantu akan dengan mudah berakhir di kedua ekstrem kontinum ini.
Beberapa akan menjadi terlalu pemahaman untuk kebutuhan isolasi dan kebutuhan
untuk dukungan eksternal dalam fungsi sehari-hari, sementara yang lain akan
merasa bahwa waktu sudah matang untuk tuntutan. Konflik antara perspektif ini
sering diperbesar oleh kenyataan bahwa orang-orang yang sangat trauma dapat
melihat cukup mampu berfungsi kehidupan sehari-hari biasa.
Gejala trauma akan berkurang dengan
penilaian yang lebih realistis dari fungsi seseorang. Poin-poin berikut dapat
membantu ketika mencoba untuk menemukan keseimbangan antara pendukung strategi
avoidan dan menantang strategi ini:
6. kesulitan tidur lagi, semakin rendah
jumlah tantangan. Gangguan tidur membuat Anda rentan untuk stres. Semua 32
klien yang telah kita lihat dalam proyek kami; ibu, ayah dan anak-anak tidur di
rata-rata hanya 3 jam per malam! Ini termasuk anak-anak ke usia 3 dan itu
termasuk pengungsi yang melarikan diri selama 8 tahun yang lalu!
7. perilaku impulsif adalah tanda
kebutuhan kurang stres dan regulasi yang lebih mendukung.
8. Ketika kualitas hubungan Anda sebagai
pekerja perawatan kesehatan rendah, tantangan harus rendah.
9. Ketika seseorang berada dalam bahaya,
baik secara psikologis maupun fisik, tuntutan lebih sedikit dapat dibuat pada
pengelolaan kehidupan sehari-hari. Pemboman kota Anda di misalnya Chechnya akan
berarti bahwa tuntutan kelas perlu disesuaikan dengan dukungan lebih dari
permintaan.
10. Hidup dengan kekerasan dalam rumah
tangga juga akan mengarah pada kebutuhan untuk mengatur tujuan pembelajaran dan
meningkatkan fokus pada isu-isu keselamatan.
Kami
menggunakan metafora "dinding bagian dalam" untuk
menggambarkan jendela toleransi,
manajemen memicu dan keseimbangan antara dukungan dan tantangan. "Dinding
bagian dalam" (van der Weele, 2006)
menjelaskan kekuatan mental berfluktuasi seseorang harus mundur kenangan yang membanjiri.
Ketika "dinding dalam" tebal, orang dapat
memilih untuk membuka pintu untuk bekerja pada beberapa kenangan. Ketika "dinding dalam" tipis, kenangan dengan mudah tanpa
sadar mengganggu kehidupan
sehari-hari. Dinding yang kuat
ketika salah satu adalah dalam keselamatan, memiliki menyenangkan dalam hidup, tidur dengan baik dan memiliki tujuan yang realistis kecil. Dinding melemahkan ketika
dalam bahaya, ketika stres dan oleh tugas-tugas sehari-hari
yang luar biasa.
Dalam proyek ini kami
telah mengatur malam tari,
konser, malam terpisah
untuk wanita, pria, anak
laki-laki dan perempuan dengan
makanan dan pembicaraan yang baik,
akhir pekan pergi bersama-sama untuk ayah dan anak serta
sekolah hari Sabtu untuk anak-anak untuk belajar kegiatan seperti menggambar dan menari. Semua
kegiatan ini mengambil keluarga keluar dari isolasi dan fokus pada kenangan trauma masa lalu, dan
untuk menstabilkan kegiatan kelompok yang "membangun
dinding bagian dalam mereka"
berdasarkan kenangan baru yang menyenangkan. Akhir pekan pergi untuk ayah dan anak, dikombinasikan dengan pembuatan film dibangun sumber daya yang kuat identitas, terutama untuk anak-anak remaja.
6.
Jangan
Membiarkan Perbaikan Sabotase untuk Koneksi
Banyak program pengobatan dan program sekolah yang memiliki
penekanan kuat pada intervensi perilaku.
Masalah bagi anak-anak yang mengalami trauma adalah bahwa intervensi ini dapat menekan reaksi yang tidak diinginkan mereka, tetapi tidak membantu
mereka melawan respons pertahanan,
penerbangan atau membekukan. Coregulation adalah istilah
yang digunakan oleh Bath (2011) sebagai lawan regulasi
koersif.
Bila Anda tidak fokus
pada trauma yang mendasari
menyebabkan perilaku yang tidak
diinginkan Anda akan melakukan
intervensi terutama pada tingkat perilaku dengan menghentikan "buruk" perilaku. Intervensi trauma informasi
pertama akan membantu anak tenang dan akan fokus
pada kebutuhan anak. Hal ini
bertentangan dengan strategi perilaku
yang akan cenderung mengabaikan kebutuhan anak. Ketika seorang anak merasa
bahwa ia / dia dalam bahaya, bahkan
ketika dalam keselamatan, hal
yang paling penting untuk dilakukan adalah untuk meningkatkan rasa aman.
7.
Menjadi
Rumah yang Bercahaya (Be a lighthouse)
Strategi ini dapat dipahami sebagai
eksternalisasi dalam terapi narasi (Epston, 1993). Orang trauma belajar untuk
berbicara dengan trauma diri miliknya. Dalam pemodelan keterampilan self
regulation ini pembantu dapat berbicara langsung dengan trauma ketika anak atau
orang tua secara emosional sangat marah.
Untuk menjadi mercusuar berarti bahwa
anda dapat membantu integrasi dengan berfokus pada pernyataan mendukung yang
penting bagi pengalaman traumatis. Anda dapat berbicara dengan rasa bersalah
langsung mengatakan; "Anda melakukan apa yang Anda bisa dalam
keadaan". Atau dengan mengatakan: "Kamu masih muda" kepada orang
muda yang berkolaborasi dengan musuh.
Seringkali anda merasa terjebak dalam realitas trauma
yang sedang berlangsung. Mereka mungkin
merasa kewalahan bersama-sama dengan keluarga trauma
sebagai lawan mampu menjadi mercusuar mereka. Prinsip
penting dalam bekerja dengan
anak-anak adalah; tidak percaya
kenyataan bahkan ketika itu nyata! Anda perlu
menghindari terjebak dengan berfokus
hanya pada skenario terburuk. Tak satu pun dari kami tahu apa-apa tentang masa depan kita; sesuatu yang mungkin terjadi yang mengubah
hidup kita terbalik besok. Anak-anak perlu merasa
aman; mereka butuhkan untuk
merasa bahwa orang tua mereka akan melakukan
apa pun dalam kekuasaan mereka untuk melindungi mereka.
8.
Fokus
pada Asas Sumber Helpers
Salah satu konsekuensi dari perang adalah hilangnya makna. Tanpa makna, anak-anak
maupun orang dewasa dapat merasa mereka memiliki
kehidupan dengan tujuan; merasa berarti terletak
pada kepercayaan masa depan
dan tujuan hidup Anda.
Berarti membuat Oleh
karena itu salah satu kemungkinan
sumber daya.
Sumber daya lain yang mungkin adalah harga diri. Salah satu jalan
untuk menghormati diri adalah untuk memahami
bahwa sistem pertahanan seseorang
selama peristiwa traumatik menyelamatkan hidup dan kewarasan seseorang tetapi
setelahnya dapat menjadi masalah seseorang. Pemahaman
yang mendalam tentang sistem pertahanan manusia ketika dalam bahaya adalah penyembuhan.
Mengisi peran menjadi seorang
penjaga yang baik dan bertanggung
jawab merupakan pusat identitas
orang tua. Membangun sumber daya ini adalah
intervensi trauma. Secara umum
arena politik tidak memiliki fokus yang memadai tentang
bagaimana membantu orang tua trauma
dalam peran mereka dari orangtua. Dalam pekerjaan kami dengan orang tua, kami berfokus pada sumber daya mereka sebagai pengasuh: mengajar mereka untuk menstabilkan anak-anak mereka, dan mendorong pentingnya tradisi dan warisan
budaya. Banyak pengungsi menemukan bahwa keterampilan orangtua mereka dipandang rendah oleh mayoritas etnis. Program
ICDP ditemukan untuk
membantu orang tua dalam proyek
ini.
9.
Membuat
Struktur
Orang yang trauma perlu didasarkan pada
kenyataan bahwa daerah yang lebih tinggi dari otak sering "off line".
Defisit dalam fungsi eksekutif aspek sentral untuk orang berjuang dengan
trauma. Masalah memori seperti lupa janji, kurang konsentrasi dan perasaan
bingung perlu ditangani dalam pengobatan. Gangguan defisit perhatian dan
mengorganisir kesulitan yang satu melihat dengan anak-anak dalam spektrum
autisme dan spektrum ADHD yang mirip dengan anak-anak yang mengalami trauma.
Dalam bekerja dengan orang dewasa yang trauma, dapat diatasi oleh ponsel
texting, informasi tertulis, dan rasa hormat umum untuk masalah memori akan
sama pentingnya dengan anak-anak yang mengalami trauma. Anak trauma dan orang
tua sering kali merasa terbebani oleh kekacauan batin mereka, dan karena itu
menyambut gaya intervensi terstruktur ini.
10.
Fokus
dalam Ritual
Teori stabilisasi dapat
menjadi alasan untuk tidak bekerja dengan kenangan yang menyakitkan ampuh. Memberikan ruang rasa sakit akan berkurang fokus paksa
pada kenangan traumatis.
Menciptakan ritual yang memegang pengalaman umum nyeri akan menjadi bagian penting dari pekerjaan menstabilkan masyarakat.
Berfokus pada hari historis tertentu, menyalakan lilin atau memiliki sudut di
kelas untuk kenangan yang
menyakitkan semua mungkin cara membingkai realitas
menyakitkan. Anak-anak dengan cerita dramatis perlu
memiliki masyarakat dan sekolah
yang ingat bahwa cerita
mereka ada. Apakah ada peringatan, patung, karya
seni yang dapat menjadi pengingat
kehidupan penduduk.
Referensi :
Larsen, C. K dan Weele, J. (2011).
Helping families from war to peace : trauma-stabilizing principles for helpers,
parents, and children. Journal of the
National Network for Professionals in Preventing Child Abuse and Neglect,
30-31, hlm. 85-99.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar