Selasa, 21 April 2020

Konsep Dasar Permainan


Konsep Dasar Permainan : Perspektif Sejarah
dan Perkembangan

Oleh :
Iman Lesmana


A.   Sejarah Game dan Play
Game (Permainan) telah menjadi bagian dari masyarakat manusia sejak zaman prasejarah. Penelitian-penelitian arkeologi dan lintas budaya telah menemukan bahwa peradaban sepanjang sejarah mengembangkan banyak sekali ragam permainan.  Ratusan permainan dadu, permainan tebak-tebakan, permainan kartu, permainan  papan, permainan tongkat dan gelindingan, permainan  hitungan, permainan kelompok, permainan kucing-kucingan, permainan kejar-kejaran, permainan atletik di dalam ruangan, permainan atletik di luar ruangan, permainan  bernyanyi/sajak/tari, dan lain-lain telah dikatalogkan. Orang-orang Aborigin Amerika Utara, misalnya, memainkann lebih dari 1.400 permainan (Wood & Goddard, 1940).
          Bermain game memiliki suatu korelasi langsung pada adaptasi dan perjuangan bertahan hidup. Ketangkasan dan kekuatan fisik tidak terhingga nilainya pada zaman prasejarah. Orang-orang prasejarah memainkan bentuk bermain bola yang dikenal paling awal dengan melempar tongkat, tulang, dan batu. Objek-objek ini dibentuk dan dibundarkan untuk bergulir dan kemudahan menangkapnya. Sekitar awal 2050 Sebelum Masehi, orang-orang yang bermain bola digambarkan pada tulisan-tulisan Mesir kuno. Bermain bola telah diketemukan sebagagi suatu aktivitas universal pada semua masyarakat yang diteliti secara virtual (Sutton-Smith, 1961). Orang Eskimo membuat bola-bola dari bulu yang diisi dengan lumut. Suku-suku bangsa yang tinggal di pulau-pulau terpencil di Samudera India didapati sedang bermain bola oleh para penjelajah. Bangsa Romawi kuno memproduksi bola-bola yang dibuat dari kulit  babi dan diisi udara. Bermain bola dapat dihubungkan dengan beberapa perilaku adaptif yang memiliki nilai perjuangan kelangsungan hidup yang penting. Permainan-permainan yang melibatkan pertukaran objek-objek tak berarti secara berulang-ulang di antara para pemain memerlukan praktik tindakan berbagi objek dan sumber yang bernilai nyata, yang berfungsi untuk memperkuat nilai-nilai kerjasama dan rasa memiliki kelompok. Permainan-permainan lempar juga berfungsi sebagai praktik untuk lemparan senjata secara akurat dan terkoordinasi untuk membunuh mangsa. Saat ini, bola adalah objek sentral yanng ditemukan dalam olahraga yang terorganisir, yang ada dimana-mana di peradaban modern.
          Permainan juga berkembang dari keyakinan dan ritual-ritual spiritual. Permainan tag lahir dari tahayul kuno bahwa menyentuh benda-benda dari kayu atau batu akan menangkal roh-roh jahat atau menghancurkan mantera. Ritual ini kemudian mengarah pada suatu keyakinan bahwa seseorang dapat lolos atau terkena roh-roh jahat dengan menyentuh manusia lain. Saat ini, aspek fundamental dari permainan tag tetap bertahan, di mana orang yang menyentuh dari sebuah jari menyebarkan roh jahat dari satu orang ke orang lainnya.
          Blindman’s bluff diperoleh dari ritus-ritus prasejarah pengorbanan manusia. Pada zaman Yunani kuno, hampir 1000 tahun Sebelum Masehi, permainan itu disebut muinda, atau brazen fly, dan dimainkan oleh anak laki-laki. Seorang anak ditutup matanya sementara yang lainnya memukul-mukul dengan daun-daun papirus. Selama zaman Elizabeth, blindman’s bluff populer di Inggris, dan permainan ini mendapatkan kualitas-kualitas sado-masochistic yang berakar pada ritus-ritus pengorbanan sebelumnya. Dalam versi baru, orang yang ditutup matanya dengan pelan dipukul dengan tali yang di-bundel. Permainan itu menjadi terkenal buruk ketika sentuhan lembut digantikan dengan pukulan, dan blindman’s bluff menjadi sangat terkenal untuk foreplay ‘pemanasan’ dan candaan dalam Pengadilan Inggris. Versi yang  menyenangkan ini dilarang secara formal oleh kaum Victorian ketika masyarakat berubah secara dramatis di Inggris. Saat ini, permainan itu tanpa nuansa-nuansa kekerasan atau seksual dan telah kehilangan popularitasnya.
          Permainan-permainan zaman modern juga memilikir akar-akar pada kodifikasi dan organisasi agresi sebelumnya. Catur, checckers, dan backgammon semuanya memiliki korelasi-korelasi langsung pada perang dan strategi peperangan. Bermain kartu berasal dari kultur orang Asia kuno untuk tujuan pengajaran strategi-strategi militer pada para bangsawan muda. Kartu-kartu memiliki dua “tentara” merah dan dua “tentara” hitam, yang memungkinkan lebih banyak manuver-manuver intrik militer dan  peserta dalam jumlah besar pada permainan itu. Dalam bentuk awalnya, bermain kartu menggambarkan beragam simbol dan personifikasi, termasuk kekuatan-kekuatan alam (angin, api, udara, air), sumber-sumber militer, dan para prajurit serta pejabat militer dari tingkatan yang berbeda. Pada zaman abad pertengahan, kartu diidentikan dengan Pengadilan Bangsawan Inggris; muka Raja Henry VII diabadikan pada keempat raja dalam tempat kartu tradisional. Bermain kartu yang dikembangkan dan identik dengan strategi-strategi militer digantikan dengan konsep-konsep kekuatan moneter dan kekayaan. Lagi-lagi, makna-makna dasar telah menguap, dan bermain kartu saat ini tidak memiliki tujuan langsung selain daripada kesenangan akan tantangan dan kompetisi intelektual.
Sepanjang sejarah, tipe permainan berbeda telah ditemukan sebagai hal yang umum pada kultur-kultur yang berbeda. Permainan dari suatu kultur merefleksikan perhatian, tekanan, dan konflik masyarakat yang umum dari para anggotanya dan dari kelompok masyarakat secara keseluruhan. Ring-around-the-rosy, yang dalam kemoderenan hanya dikenal sebagai sebuah permainan sosial yang bersifat menyenangkan biasanya dipelajari dan dimainkan pada masa kanak-kanak awal, memiliki akar-akar pada sebuah puisi dari zaman abad pertengahan.
Ring, A Ring, A Rosy;
A pocketful of posies;
Achoo, Achoo;
We all fall down.
Bait tersebut menggambarkan spot/titik merah yang berputar yang pertamakali muncul pada spot-spot tegas dengan  Black Plague (penyakit jahat yang menular), yang diikuti dengan praktik pengisian (stuffing) kantung korban dengan bunga-bunga untuk menutupi bau dari penyakit dan kematian tersebut karena penguburan yang cepat seringkali tidak mungkin. “Achoos” merujuk pada respirasi/pernapasa penyakit yang menyebabkan korban jatuh dan meninggal.
          Penelitian lintas budaya Sutton-Smith (1971) mendapati bahwa permainan untung-untungan mendominasi budaya-budaya yang tunduk pada suatu tingkatan ketidakpastian dan ketakterdugaan lingkungan yang tinggi, budaya-budaya yang di dalamnya persediaan makanan, iklim, dan pola-pola migrasi sangat bervariasi. Kurangnya kontrol manusia atas dorongan-dorongan lingkungan terefleksikan dalam permainan-permainan yang di dalamnya kemungkinan, bukan kemampuan atau strategi, memutuskan hasil (outcome). Permainan seperti tag, kucing-kucingan, red rover dan permainan yang terpusat pada orang lainnya, dapat juga menghadirkan bahasan mengenai latihan kemandirian sosial. Penelitian sudah menunjukan bahwa dalam budaya-budaya yang di dalamnya permainan yang berpusat pada orang (central-person game) itu menonjol, ada suatu kepedulian kolektif yang lebih besar dengan membangun independensi awal remaja (Sutton-Smith, 1971). Orang dapat melihat bahwa banyak dari permainan kita saat ini memiliki akar pada budaya-budaya kuno. Keumuman dari permainan sepanjang sejarah, dan juga keberagamannya, mengungkapkan betapa pentingnya permainan itu dalam pengalaman manusia. Bagian berikut ini berkenaan dengan teori-teori  bermain game yang membantu mengidentifikasi kemenarikan permainan yang tahan lama.

B.   Definisi Play dan Game
Pada awal penggunannya, game bersifat instrumental dalam memberikan kesempatan pada para anggota masyarakat untuk mempraktikkan dan menguasai kepedulian-kepedulian kultural dan kebutuhan-kebutuhan psikologis yang umum (misalnya, berbagi sumber daya, membunuh mangsa/buruan, mengusir roh jahat). Dengan melakukan abstraksi pada hal-hal ini maka dalam bentuk suatu permainan memungkinkan untuk menghasilkan kontrol dan menguasai situasi-situasi yang dalam dunia nyata, tidak dapat diprediksi dan mengancam. Para ahli permainan awal menggunakan konsep-konsep biologis dan genetik untuk menjelaskan ketertarikan manusia pada permainan. Groos (1989) mengembangkan teori insting praktis, yang di dalamnya bermain game dipandang sebagai hal yang bersifat instingtif dan instrumental pada praktik pola perilaku yang penting yang terjadi di kemudian hari dalam kehidupan. Teorinya didasarkan pada observasi-observasi tentang permainan binatang dan manusia, dan memfokuskan pada kesamaan antara perilaku bermain dan aktivitas kehidupan nyata manusia dan perkembangan keterampilan-keterampilan bertahan hidup binatang.  Semua aktivitas bermain game, menurut Groos, merupakan suatu cabang/ranting dari insting manusia untuk mempraktikkan keterampilan-keterampilan bertahan hidup yang endemik untuk spesies tersebut.
          Bermain game pada intinya bersifat sosial dan melibatkan belajar dan mematuhi peraturan, pemecahan masalah, disiplin diri, dan kontrol emosional, dan adopsi peran-peran pemimpin dan pengikut, yang kesemuanya itu merupakan komponen-komponen penting dari sosialisasi (Serok & Blum, 1983).  Suatu aspek tertentu/khusus dari sosialisasi, kontrol agresi, telah menerima perhatian yang besar dalam literatur game. Game memberi kesempatan-kesempatan untuk mengeskpresikan agresi dalam cara-cara yang dapat diterima secara sosial. Milberg (1976) berteori bahwa bermain dan permainan/game diciptakan oleh manusia untuk memberikan keluaran-keluaran (outlets) kemarahan dan permusuhan yang dapat diterima, yang merupakan jiplakan dari respons bertempur/berkelahi. Berkelahi adalah suatu respon alamiah manusia pada stimuli yang mengancam, namun seiring dengan kemajuan masyarakat, kebutuhan akan kontrol terhadap agresi meningkat.
          Redl (1958) berpendapat bahwa agresi, kekuasaan/kekuatan, dan dominasi/ketundukan ada pada semua permainan. Hampir semua permainan melibatkan suatu macam kontes, yang dengan sendirinya merupakan suatu ekspresi agresi simbolik. Agresi simbolik itu menjadi sifat dalam permainan-permainan seperti catur dan permainan dam (checkers), yang di dalamnya salah satu lawan menyerang yang lain dengan menangkap atau menetralisir potongan mainan lawan. Permainan menjadi alat untuk belajar mengungguli yang lain dengan cara-cara yang dapat diterima secara sosial. Banyak permainan membangun suatu hierarki dominansi, seperti follow-the-leader dan Simon says. Teori permainan telah digunakan untuk mempelajari evolusi teritorialitas dan seleksi pasangan pada mamalia dan juga kerjasama serta konflik pada manusia (Maynard-Smith, 1984).
          Freud (Strachey, 1962) menekankan konsep tentang katarsis sebagai hal yang sentral dalam bermain. Katarsis melibatkan pelepasan energi emosional dan psikis yang tertahan. Freud berteori bahwa proses fundamental dari perkembangan kepribadian adalah rintangan dan represi dorongan dasar, suatu proses yang memunculkan penambahan ketegangan yang perlu dikeluarkan dalam cara-cara yang dapat diterima secara sosial. Salah satu cara untuk mengeluarkan energi ini adalah melalui bermain game/permainan. Teori katartik bermain game memberikan suatu interpretasi  terhadap blindmans’ bluff ketika permainan ini dimainkan pada masa lalu sebagai suatu pengeluaran dan pelepasan dari dorongan-dorongan agresif dan seksual. Peller (1954) melakukan elaborasi pada pandangan psikoanalitik tentang bermain game sebagai aktivitas yang tidak hanya melibatkan pelepasan impuls-impuls yang tertahan (proses pokok), melainkan juga penguasaan kegelisahan (proses sekunder). Ia memandang bermain game sebagai suatu kendaraan untuk sublimasi impuls-impuls dasar. Aturan-aturan dan struktur yang menjadi sifat dalam permainan merepresentasikan peran-peran superego dalam keberhasilan melakukan represi dan sublimasi impuls-impuls yang dapat diterima secara sosial. Dengan demikian, bermain game pada pokoknya menjadi penting untuk resolusi perasaan-perasaan agresif yang merupakan karakteristik dari periode oedipal.
Mitchell dan Masson (1948) menghadirkan suatu konseptualisasi bermain permainan yang mirip, teori surplus-energi, namun merupakan konseptualisasi yang memfokuskan pada pelepasan energi ekses fisik sebagai lawan dari energi psikis. Teori ini mengungkapkan bahwa berrmain game  itu bersifat acak (random) dan noninstrumental, suatu bentuk kegembiraan dan kesenangan dan tidak lebih dari itu. Sekalipun pandangan ini tidak populer, yang lain telah membuat postulat bahwa “maksud” utama dari bermain dan permainan adalah memberikan rasa senang dan relaksasi pada para pesertanya. Wood dan Goddard (1940), misalnya, berpostulat bahwa bermain bola, salah satu dari permainan yang paling kuno, muncul karena ritme dan pengulangan yang terlibat dalam pelemparan dan penangkapan  memiliki efek rileks dan menenangkan pada para pemain. Sementara pelepasan ketegangan energi memberikan kelegaan, hal ini juga meningkatkan energi yang telah hilang melalui pengeluaran fisik atau bentuk-bentuk lain dari kerja (Milberg, 1976).
Istilah play (bermain) dan game (permainan) memiliki makna berbeda dalam literatur konseling bermain. Menurut Schaefer & Reid (2001) bermain dipandang sebagai suatu perilaku yang muncul secara alamiah yang dapat ditemukan dalam kehidupan manusia dan binatang. Aktivitas sukarela dan  spontan yang tidak memiliki titik akhir atau tujuan tertentu. Bermain secara intrinsik didorong oleh hasrat untuk bersenang-senang (Garvey dalam Schaefer & Reid, 2001). Bermain juga merupakan suatu kekuatan pendorong dalam perkembangan manusia. Pada masa bayi dan masa kanak-kanak akhir, bermain memiliki suatu peran kunci untuk  eksplorasi, melatih otot dan pikiran, dan berhubungan dengan orang lain. Kalangan konselor dan terapis telah lama memahami kekuatan dari bermain pura-pura sebagai medium ekspresi material psikis. Dalam konseling anak, bermain seringkali merupakan pengganti bagi verbalisasi, ekspresi fantasi, atau asosiasi bebas. Material yang biasanya digunakan dalam konseling bermain adalah mainan dan bahan-bahan  yang dapat dimainkan dengan beragam cara dan memiliki nilai simbolik yang tinggi. Alat-alat bermain simbolik antara lain; boneka, rumah-rumahan, wayang, miniatur manusia dan bentuk-bentuk binatang, kendaraan mainan, alat-alat seni, tanah liat, dan air.
Memainkan game adalah suatu bentuk bermain dan karenanya  merupakan suatu bentuk kesenangan sekaligus sumber kesenangan bagi individu. Game telah telah ada sejak zaman prasejarah dan dianggap memainkan suatu berperan signifikan dalam adaptasi terhadap lingkungannya (Sutton & Smith dalam Schaefer & Reid, 2001). Game menuntut perilaku yang lebih terarah pada tujuan dan  keseriusan yang lebih besar dibandingkan dengan play. Kebanyakan game memiliki aturan-aturan yang menentukan peran-peran pemain, batasan-batasan dan harapan terhadap perilaku, dan menggambarkan cara permainan itu berfungsi/berjalan. Akibatnya, rentang dan cakupan perilaku permainan (game) itu lebih terbatas dibandingkan dengan play yang tak terstruktur, dan imaginasi serta pura-pura. Menurut Schaefer & Reid (2001), jenis permainan yang lazim digunakan dalam konseling bermain, adalah permainan papan, permainan kartu, permainan jalanan, permainan komputer, permainan otot halus dan permainan otot kasar.
Game telah menjadi suatu metafora sentral dan alat penelitian untuk mengeliminasi konflik-konflik kepentingan dalam interaksi-interaksi bisnis, politik, dan interpersonal (Schlenker & Bonoma, dalam Schaefer & Reid, 2001).
Dalam pelaksanaannya game memerlukan kemampuan kognitif yang lebih besar dibandingkan dengan bermain (play). Untuk bermain hopscotch ‘sondah’ atau permainan kartu perang, orang harus dapat menghitung, mengenali angka-angka pokok, dan memahami konsep lebih banyak/lebih sedikit. Individu yang bermain game cenderung memiliki toleransi frustrasi yang cukup dan pengujian realitas untuk menerima batasan-batasan dalam berperilaku, bergiliran, mengikuti aturan, dan menerima kekalahan. Di samping itu dalam game diperlukan sejumlah konsentrasi dan persistensi untuk mengikuti suatu permainan. Lebih jauh lagi, bermain game melibatkan suatu tantangan pribadi untuk menerapkan keterampilan-keterampilan seseorang.
Karakteristik terakhir yang membedakan antara play dengan game adalah prasyarat-prasyarat game untuk interaksi interpersonal. Sepanjang sejarah, game telah berkembang sebagai aktivitas sosial dengan melibatkan dua orang atau lebih. Pada kebanyakan game, tindakan-tindakan partisipasi memegang peranan penting, artinya hasil dari game tergantung pada interaksi-interaksi dari para pemain, dan bukan pada tindakan satu orang pemain saja. Berbeda halnya denngan bermain yang tak terstruktur yang dapat dilaksanakan oleh dua orang individu atau lebih  dengan interaksi antara mereka saja.

C.   Proses-proses yang Diekspresikan dalam Bermain
Studi tentang permainan dapat menjelaskan hubungan antara kognitif-afektif, dan proses interpersonal (Russ, 1987; J. Singer, 1973; D. Singer & J. Singer, 1990).  Menurut Russ (2003) dengan mengamati proses permainan, konselor dapat melihat ekspresi dari sejumlah proses kognisi, afektif, dan proses interpersonal.
Proses kognisi yang diekspresikan melalui proses bermain meliputi: (1) organisasi; (2) berpikir divergen; (3) simbolisme dan (4) fantasi/ Khayalan.
1)    Organisasi adalah proses psikologis yang terkait dengan kemampuan untuk mendeskripsikan suatu fenomena dengan logis dan sistematis.
2)    Berpikir divergen berkait dengan kemampuan individu untuk mengembangkan sejumlah gagasan, tema cerita, dan simbol secara kreatif.
3)    Simbolisme berkait dengan kemampuan untuk mentransformasi objek-objek biasa (balok, lego) ke dalam representasi-representasi objek-objek lain (misalnya, sebuah balok menjadi telepon).
4)    Fantasi/khayalan berkait dengan kemampuan untuk terlibat dalam perilaku bermain “seakan-akan” – untuk berpura-pura berada dalam suatu waktu dan ruang yang dipersepsikan.
Proses Afektif yang diekspresikan melalui proses bermain meliputi: (1) ekspresi emosi; (2) ekspresi tema-tema afeksi; (3) aturan emosi dan modulasi afeksi; dan (4) integrasi kognisi dan afeksi.
1)    Ekspresi Emosi merujuk pada kemampuan individu untuk mengekspresikan keadaan-keadaan dalam situasi bermain pura-pura, baik afeksi positif maupun negatif. Misalnya, anak mengekspresikan kegembiraan dengan membuat boneka menepuk tangannya dan melompat naik turun dengan senangnya.
2)    Ekspresi tema-tema afeksi merujuk pada kemampuan untuk mengekspresikan bayangan-bayangan bermuatan afeksi dan tema khusus dalam bermain. Misalnya penggunaan pistol untuk permainan peran-perangan. Ini adalah gagasan agresif, sekalipun tidak ada pertempuran sebenarnya.
3)    Aturan emosi dan modulasi afeksi merujuk pada kemampuan memuat dan mengatur emosi positif maupun emosi negatif.
4)    Integrasi kognitif dan afeksi merujuk pada kemampuan utnuk mengintegrasikan afeksi ke dalam suatu konteks kognitif. Afeksi diekspresikan di dalam suatu konteks naratif dan kognitif. Misalnya, agresi diekspresikan dalam suatu cerita mengenai pertandingan tinju.
Proses interpersonal yang diekspresikan melalui proses bermain meliputi: (1) empati; (2) skema interpersonal/ representasi diri; dan (3) komunikasi. Empati merujuk pada ekspresi kepedulian dan perhatian terhadap orang lain. Sedangkan skema interpersonal/ representasi diri merujuk pada kapasitas individu untuk mempercayai orang lain. Komunikasi merujuk pada kemampuan untuk berkomunikasi, mengekspresikan gagasan, dan emosi pada orang lain.
Proses pemecahan masalah/ resolusi konflik yang diekspresikan melalui proses bermain meliputi: (1) pendekatan pada masalah dan konflik; (2) pemecahan masalah dan resolusi konflik. Pendekatan pada permasalahan dan konflik. ditunjukkan ketika individu mencoba menemukan solusi pada permasalahan yang muncul. Sedangkan pemecahan masalah dan resolusi konflik ditunjukkan ketika individu menangani dan memecahkan suatu masalah.
Tabel 1
Proses Permainan Dalam Psikoterapi Dan Perkembangan

Mekanisme Perubahan
Teknik Konseling Melalui Permainan
Kegunaan dan Efek Proses Permainan
Ekspresi/ katarsis
Izin
Pemberian label
Penerimaan
Kognitif :
Organisasi
Berpikir divergen
Fantasi
Afektif :
Keadaan perasaan
Tema-tema afektif
Jangkauan
Kesenangan dalam bermain
Pengaturan emosi
Integrasi kognitif
Pengalaman emosional yang korektif
Izin
Pemberian label
Penerimaan
Pemahaman
Kognitif :
Organisasi
Berpikir divergen
Fantasi
Afektif :
Keadaan perasaan
Tema-tema afektif
Jangkauan
Kesenangan dalam bermain
Pengaturan emosi
Integrasi kognitif
Insight, pengalaman kembali dan penanganan
Pemberian label
Pemahaman
Interpretasi
Memfasilitasi permainan
Kognitif :
Organisasi
Berpikir divergen
Simbolisme
Fantasi
Afektif :
Keadaan perasaan
Tema-tema afektif
Jangkauan
Kesenangan dalam bermain
Pengaturan emosi
Integrasi kognitif
Pemecahan masalah/ resolusi konflik :
Pendekatan
Resolusi konflik
Memperkuat skema interpersonal
Empati
Kepedulian
Keterdugaan
Proses interpersonal :
Empati
Representasi internal/ skema interpersonal
Komunikasi
Mempelajari pemecahan masalah dan stategi penaggulangan
Modelling
Pemecahan masalah secara aktif
Strategi penaggulangan
Pelepasan
Kognitif :
Berpikir divergen
Afektif :
Pengaturan emosi
Pemecahan masalah/ resolusi konflik

D.  Game dan Play Ditinjau dari Perspektif Perkembangan
Bermain game menduduki suatu tempat yang sentral dalam tahapan-tahapan perkembangan bermain. Penelitian berkenaan dengan kerjasama dalam bermain telah menemukan bahwa kerjasama dalam bermain muncul pada awal 22 bulan (Ross & Kay, 1980) namun tidak menjadi unsur penting dalam bermain sampai masa kanak-kanak pertengahan (Stoll, Inber, & James, 1968; Zigler & Child, 1956). Bermain game merefleksikan kesiapan dan minat individu dalam melakukan eksplorasi bentuk-bentuk bermain yang lebih realistik dan kompleks. Bermain dengan hubungannya dengan garis-garis perkembangan kognitif, sosial, emosional, dan identitas dibahas berikut ini.

1.   Aspek Kognitif
Piaget (1962) mengidentifikasi tiga tahapan perkembangan kognitif dalam bermain: bermain sensori motor (2 bulan sampai 2 tahun), bermain fantasi (2 sampai 7 tahun) , dan permainan-permainan dengan aturan (7 sampai 11 tahun). Bentuk-bentuk awal dari bermain pada infant dan toddlers didominasi dengan tindakan-tindakan sensorimotor dari anak. Pergerakan-pergerakan tubuh egosentris ini merefleksikan kemunculan dari pemahaman primitif akan diri dan karakteristik narsisisme (cinta diri) dari tahapan pertama perkembangan psikologis. Pada tahun-tahun prasekolah, aktivitas bermain anak diilhami dengan fantasi dan simbolisasi. Anak-anak mulai dengan memainkan peran-peran dan meniru perilaku orang dewasa dan juga peristiwa-peristiwa kehidupan nyata. Perasaan-perasaan yang kuat dan pemikiran magis mendominasi dalam permainan simbolik. Perhatian-perhatian psikologis yang terefleksikan dalam bermain seringkali terpusat pada hubungan anak-anak dengan figur-figur orang dewasa yang berarti/signifikan. Manakala anak-anak memasuki tahun-tahun sekolah dasar, bermain menjadi semakin realistik dan kompleks, yang melibatkan interaksi-interaksi dan situasi-situasi interpersonal yang secara gradual mendekatan fenomena sosial kehidupan nyata.
Proses-proses kognitif dapat digunakan untuk menentukan apa yang benar dan nyata dan mengesampingkan kesan-kesan sensori dan eksperiental. Anak-anak usia 7 sampai 11 tahun ada dalam tahapan “operasi kongkrit” yang melibatkan kemampuan untuk melindungi, mengklasifikasikan, dan menata (Piaget, 1952, 1967). Anak mengembangkan kapasitas untuk membandingkan dan membedakan informasi dan membuat persepsi-persepsi yang lebih konsisten dengan realitas. Mengorganisir dan mengklasifikasikan informasi menjadi penting bagi anak-anak pada tahap perkembangan ini. Jadi, organisasi, aturan, dan prosedur permainan-permainan formal menjadi menarik bagi perasaan anak akan tatanan/keteraturan dan realisme pada tahapan perkembangan ini.


2.   Aspek Sosial
Para teoris sosial berpendapat bahwa bermain game merefleksikan kesiapan-kesiapan individu untuk berkumpul bersama, tidak hanya untuk persahabatan dan pertemanan, namun untuk membantu dalam menghadapi masa yang akan datang. Mead (1934) adalah satu di antara ahli  yang pertama mengetahui pentingnya game dalam proses sosialisasi, khususnya untuk kemunculan kepekaan tempat/kedudukan seseorang di masyarakat. Melalui partisipasi dalam permainan, individu belajar membedakan diri dari orang lain. Mead menekankan bahwa dengan mengikuti aturan-aturan yang membatasi perilaku permainan, anak belajar mengenai kekuasaan masyarakat sebagai “generalized other” dan bahwa perilaku sosial jarang dipisahkan dari pandangan dan sanksi publik. Reid (1958) menyebut permainan/game “model-model kekuasaan,” yang menyoroti konsep kekuasaan dan kontrol dalam permainan. Ia berpendapat bahwa dengan mensubyekkan diri pada kontrol dan perintah oleh lain merupakan suatu aspek sentral dari kebanyakan game. Banyak game mensyaratkan bahwa seorang pemimpin dipilih dan bahwa pemain lain mengikuti pemimpin tersebut. Proses itu bersifat analogis dengan belajar berurusan dengan orang lain dalam dunia nyata yang lebih kuat dari dirinya sendiri. Hal yang berlawanan juga terjadi, di mana peran-peran pemimpin dalam game memberikan kesempatan-kesempatan untuk menerima tanggung jawab, mempengaruhi orang lain, dan belajar untuk menggunakan kekuasaan dengan adil.
Banyak penulis menekankan pentingnya game dalam proses sosialisasi. Serok dan Blum (1983) menggambarkann game sebagagi situasi kehidupan mini yang di dalamnya unsur-unsur dasar sosialisasi – kesesuaian aturan, keberterimaan norma-norma kelompok, dan kontrol terhadap agresi – merupakan unsur-unsur integral dari proses bermain. Bermain game memberikan kesempatan untuk memperoleh informasi baru, eksperimen pada peran dan perilaku baru, dan melakukan adaptasi pada tuntutan-tuntutan permainan dan norma kolektifnya. Game memberikan suatu kesempatan bagi anak untuk menangani dorongann-dorongan kompetitif dan agresif dalam cara-cara yang dapat diterima secara sosial. Pada intinya,  berurusan/berhadapan dengan aturan-aturan menjadi suatu proses yang bermakna. Lebih jauh lagi, pengalaman sosialisasi muncul ketika aturan-aturan dilanggar. Tekanan teman sebaya dapat dirasakan untuk pertama kalinya. Para pelanggar aturan seringkali ternoda atau harus meminta maaf agar tetap ada dalam permainan itu. Anak-anak seringkali peka dengan konsekuensi-konsekuensi yang menentang dari perilaku melanggar aturan.

3. Aspek Emosional
Dalam teori bermain psikoanalitiknya, Peller (1954) mengaitkan preferensi/pilihan untuk bermain game untuk mereduksi keasyikan oedipal. Bermain oedipal ditandai dengan fantasi idiosyncratic dan pikiran magis yang memfokuskan pada segitiga psikoseksual dasar (Freud, 1923). Melalui bermain dramatik, anak-anak dapat berfantasi  menempatkan diri mereka sendiri pada tempat orang-orang dewasa yang menimbulkan rasa iri mereka. Resolusi perjuangan/upaya oedipul dicapai melalui identifikasi pada figur orang dewasa dan terefleksikan pada perubahan dalam minat dari bermain fantasi pada permainan-permainan yang pararel dengan kehidupan pada dunia orang dewasa. Bermain game juga mempermudah identifikasi dengan teman sebaya dari jenis kelamin yang sama, yang membantu melonggarkan ikatan-ikatan oedipal. Perubahan dari keasyikan oedipal adalah langkah pertama ke arah pembentukan kepribadian otonomi yang berfungsi dalam batas-batas peran-peran sosial yang menentukan.

4.   Aspek Identitas
Bermain game, yang pada pokoknya mengadopsi peran-peran dalam perrmainan, berrkaitan dengan perkembangan identitas dan harga diri individu. Baumeister (1986, 1987) mengemukakan bahwa identitas berkembang dan meluas sepanjang waktu melalui tiga proses definisi diri individu. Bentuk yang paling sederhana dari definisi diri, Tipe I, melibatkan pemerolehan pasif dari karakteristik/ciri-ciri stabil identitas. Pengenalan awal dari diri sebagai individu yang memiliki suatu gender tertentu, yang menjadi milik dari suatu keluarga  tertentu, dan memiliki karakteristik-karakteristik fisik spesifik adalah contoh-contoh dari definisi diri awal.  Ciri-ciri identitas ini diperoleh secara pasif; individu tidak melakukan apa-apa untuk memperolehnya. Tipe II definisi diri, yang disebut tranformasional tunggal, melibatkan suatu perubahan yang terpisah-pisah dalam identitas berdasarkan pemenuhan sekumpulan kriteria tertentu. Sekalipun komponen-komponen ini tidak secara pasif diperoleh, kebanyakan merupakan tonggak/kejadian-kejadian penting universal dalam perkembangan seorang anak yang tidak dipilih sendiri. Belajar berjalan atau mengendarai sepeda dan masuk sekolah adalah contoh-contoh dari perubahan tranformasional tunggal. Tipe II definisi diri muncul sepanjang rentang kehidupan ketika orang memperoleh aspek-aspek  identitas baru, seperti bergabung dengan organisasi sosial, menjadi seorang dokter, atau menjadi orang tua. Pada Tipe II proses-proses denifisi diri, identitas itu stabil sampai transformasinya terjadi, dan setelah itu stabil. Tipe III definisi diri adalah berlabel hirarkis dan melibatkan pemerolehan identitas berdasarkan pada dimensi-dimensi eksternal, dapat dihitung, dan hirarkis. Aspek-aspek dari Tipe III definisi diri sangat didasarkan pada kompetensi seorang individu, yang secara terus-menerus tunduk pada perurbahan, dan seringkali melibatkan dimensi-dimensi yang banyak. Melihat diri sendiri sebagai orang yang kaya, cerdas, sukses, sangat disukai, atau penting di antara teman-temannya adalah contoh dari Tipe III definisi diri.
          Baumeister menyarankan bahwa struktur-struktur peran pada permainan anak merefleksikan kemajuan perkembangan identitas dari peran-peran yang diperoleh secara pasif dan lebih stabil pada peran-peran yang secara eksternal ditentukan, dipilih sendiri, dan tidak stabil. Pada suatu penelitian tahun 1988 yang dilakukan oleh Baumeister dan Senders, 339 anak, yang usianya terentang dari 2,5 sampai 15 tahun, diminta untuk mengidentifikasi permainan-permainan favorit mereka dari suatu daftar permainan yang diidentifikasi menurut basis struktur peran mereka, sebagai berikut: (1) Tipe I game, berisi Simon says ‘Simon Berkata’,  House ‘Rumah’, Mother May I ‘Ibu Bolehkah Saya’, Candyland ‘Negeri Permen’, Doctor ‘Dokter’, dan lain-lain yang di dalamnya seorang pemain  mengadopsi  suatu  peran  tunggal  dan stabil sepanjang permainannya; (2) Tipe II game, terdiri atas dodgeball, kucing-kucingan (hide-and-seek), blindman’s bluff, dan lain-lain yang di dalamnya para pemain berubah peran-perannya sebagai bagian dari permainan tersebut; dan (3) Tipe III game, mencakup bola basket, monopoli, baseball, catur, dan lain-lain yang di dalamnya para pemain berubah atau mengidentifikasi dengan beberapa peran atau mengadopsi sub-sub peran. Pada banyak game Tipe III, masing-masing pemain mengambil  dan memegang satu peran terus-menerus dan secara bersamaan berubah/beralih di antara sub-sub peran. Misalnya, pada bola basket, keanggotaan tim pemain tetap konstan, namun pemain tersebut berotasi di antara beberapa sub peran: batter, fielder, runner, dan sebagainya.
          Temuan-temuan dari penelitian itu mengindikasikan bahwa anak-anak dalam tahapan perkembangan bermain simbolik memilih permainan-permainan nonkompetitif yang melibatkan penetapan peran-peran stabil yang ditentukan sebelumnya. Secara teoretik, permainan-permainan ini membantu menegaskan penumbuhan kepekaan ciri-ciri stabil identitas anak prasekolah. Anak-anak pada tahapan latensi awal memilih permainan-permainan yang melibatkan perubahan peran di antara beberapa peran yang lebih kompleks dan kurang secara langsung mewakili orang-orang penting dalam dunia sosial anak. Anak-anak praremaja dan remaja memilih permainan kompetitif yang didasarkan pada kompetensi yang memungkinkan lebih banyak variasi dalam struktur peran.
          Seiring perkembangan usia, kemajuan perkembangan dari permainan nonkompetitif ke kompetitif melibatkan suatu langkah transisional yang di dalamnya permainan kompetitif dimainkan namun yang tuntutan dan ancaman terhadap kontes dikikis dengan kepercayaan pada keberuntungan untuk memutuskan hasil. Permainan kompetitif yang berdasarkan untung-untungan disukai/dipilih oleh anak-anak usia 5 sampai 8 tahun (Tipe II rentang usia), sebagaimana yang diketemukann dalam penelitian yang dilakukan oleh Baumeister dan Senders (1988). Permainan-permainan semacam itu memungkinkan anak-anak untuk bereksperimen dengan peran-peran yang baru dan berbeda tanpa mengharuskan mereka untuk menangani/mengatasi lawan secara strategis dan terampil. Pada tahapan perkembangan ini, identitas anak-anak berada dalam perubahan yang terus-menerus, manakala mereka mulai membuat perbandingan-perbandingan melawan teman-teman mereka sebagai sebuah dasar bagi definisi diri (Ruble, 1983). Hal ini tidak sampai pada masa kanak-kanak akhir yang mengidentifikasi dan definisi diri menjadi terfokus pada isu-isu kompetensi dan pengukuran atas teman-teman sebaya, yang di dalamnya diri menjadi semakin setara dengan performa (Erikson, 1968).

E.    Jenis-jenis Permainan
Klasifikasi game yang paling luas memisahkan game komersial dari game yang dikembangkan secara khusus untuk penggunaan dalam terapi atau konseling. Game komersial seperti dam-daman (Gardner, 1986), Monopoly (Crocker & Wroblewski, 1975), dan permainan kartu (Reid, 1986) seringkali digunakan dalam terapi anak. Skema klasifikasi yang dikembangkan oleh Sutton-Smith dan Roberts (1971) diterapkan pada sejumlah besar game tradisional, historikal, dan komersial yang dikumpulkan pada lintas masyarakat. Skema memiliki relevansi pada terapi bermain game juga. Para penulis ini membedakan tiga tipe game berdasarkan pada apa yang menentukan siapa yang menang: (1) permainan keterampilan fisik, yang di dalamnya hasil ditentukan oleh kemampuan-kemampuan gerak pemain; (2) game strategi, yangg di dalamnya keterampilan kognitif menentukan pemenang; dan (3) game untung-untungan, yang di dalamnya hasil itu bersifat acak dan tidak sengaja.

1.   Game Keterampilan Fisik
Game keterampilan fisik dapat dibagi lebih lanjut lagi ke dalam game otot kasar dan halus. Game otot kasar mencakup tag, game bola sederhana, dan relay races. Game pergerakan aktif tampaknya tidak cocok untuk terapi karena keterbatasan ruang dan cenderung menyebabkan individu menjadi lebih hiperaktif. Lebih jauh lagi, gerakan fisik yang terus-menerus biasanya tidak sesuai dengan verbalisasi dan diskusi tentang perasaan dan emosi. Kendatipun demikian, game yang melibatkan sejumlah pergerakan otot kasar yang signifikan telah ditemukan dapat membantu dalam mengembangkan kontrol diri yang lebih besar melalui kodifikasi dan struktur gerak melalui bermain game. Reid (1993) menggambarkan bagaimana sebuah game soft darts membantu seorang anak yang hiperaktif dan defensif menjadi lebih terorganisir dan terkontrol dalam tahapan awal perlakuan.
Schachter (1974, 1984, 1986) telah mengembangkan serangkaian game fisik interaktif, yang ia sebut psikoterapi kinetik, untuk memberi perlakuan pada sejumlah gangguan psikologis, khususnya depresi. Scchachter berpendapat bahwa game pergerakan kreatif dari psikoterapi kinetik mempermudah ekspresi dari reaksi-reaksi emosional tertentu yang sebaliknya sulit untuk dihasilkan tanpa fungsi pengeluaran pergerakan.
Game otot halus mencakup tiddlywinks, Pic-Up Stix, Perfection, Operation, darts, penny hockey, dan sebagainya. Game ini biasanya sangat kompetitif, memiliki aturan yang mudah dijelaskan, dan secara khusus bermanfaat untuk menilai kontrol impuls anak dan tingkatan umum dan integrasi kepribadian. (Bow & Boldberg, 1986).

2.   Game Strategi
Hasil dari game strategi pada dasarnya tergantung pada kemampuan-kemampuan kognitif dari peserta. Banyak game strategi dibawa ke dalam ruangan terapi, termasuk Connect Four, catur, dam-daman, Uno, permainan kartu, dan Trouble. Keuntungan-keuntungan dari game strategi mencakup: (1) game tersebut dapat dimainkan oleh dua orang dalam sebuah kantor,  (2) game tersebut memberi kesempatan-kesempatan untuk mengamati kekuatan dan kelemahan intelektual, dan (3) game tersebut memungkinkan ekspresi agresi secara simbolik tanpa kemunculan fisiologis yang di asosiasikan dengan game fisik. Game strategi mengaktifkan proses-proses ego termasuk usaha intelektual, konsentrasi, dan kontrol diri. Dengan tergantung pada orientasi teoretik seseorang, proses-proses ego ini dapat meningkatkan atau mengurangi proses terapi. Kendati begitu, adalah jelas bahwa permainan strategi yang lebih kompleks, seperti catur dan Stratego, mensyaratkan pengeluaran upaya intelektual yang luas yang berfungsi untuk menunda dan mengalihkan kerja terapeutik yang sebenarnya.

3.   Game Untung-untungan
Game untung-untungan mencakup permainan-permainan papan bingo, roulette, candyland dan Chutes and Ladders, dan beberapa game kartu (misalnya, perang). Game masa kanak-kanak yang  tergantung pada untung-untungan murni untuk menang cenderung ada pada suatu tingkatan sederhana dan karenanya bermanfaat sebagai suatu pengantar pada bermain game. Game untung-untungan memiliki nilai dalam terapi karena game tersebut menetralisir superioritas orang dewasa dalam intelektualitas, pengalaman, dan kemampuan. Kemenangan dalam permainan untung-untungan adalah kemenangan atas taruhan, bukan atas lawan lainnya. Hal ini telah terobservasi bahwa manakala kompetisi yang nyata dihilangkan, para peserta kurang termotivasi dan mendapatkan lebih sedikit kesenangan dari permainan itu (Holmes, 1964; Rapoport, 1966; Steele & Tedeschi, 1967).

Sejumlah skema klasifikasi telah dikembangkan untuk game terapeutik. Game telah digolongkan berdasarkan jumlah aturan (Rabin, 1983), tipe aktivitas game, baik yang bersifat behavioral ataupun kognitif (Varenhorst, 1973), dan orientasi teoretik yang mendasari game-nya (Shapiro, 1993).
          Schaefer dan Reid (1986) mengidentifikasi empat kategori game: game komunikasi, game pemecahan masalah, game peningkatan ego, dan game sosialisasi. Game komunikasi biasannya tidak menekankan kompetisi untuk mendorong ekspresi diri. Tipe game ini biasanya kurang terstruktur jika  dibandingkan dengan game terapeutik lainnya dan dirancang untuk mengingkatkann suatu atmosfir yang tidak  mengancam dan permisif. Di sisi lain, game pemecahan masalah seringkali merupakan aktivitas yang sangat terstruktur yang memberi kesempatan untuk mendiskusikan permasalahan spesifik dan solusi praktis pada permasalahan tersebut. Game pemecahan masalah biasanya memiliki suatu orientasi teoretik behavioral. Game peningkatan ego menantang para pemain untuk menunjukkan penampilan pada satu sama lain; fokusnya di sini adalah pada kompetisi dan strategi. Game sosialisasi pada  umumnya digunakan dalam terapi kelompok dan dicocokkan pada praktik interaksi sosial dan peningkatan sensitivitas/kepekaan pada dinamika yang melandasi wacana sosial.
          Game terapeutik juga  telah diklasifikasikan berdasarkan pada orientasi teoretik. Shapiro (1993) mengkategorikan masing-masing dari game psikoterapeutik menurut penekanan teoretik. Klasifikasi yang  paling umum adalah bersifat psiko-pendidikan (26%), client-centered (17%), klarifikasi nilai (15%), psikodinamika (12%) , dan kognitif-behavioral (11%).


Referensi :

Rusmana, Nandang. (2009). Game & Play : Permainan untuk para Pendidik, Pembimbing, Pelatih, dan Widyaiswara. Bandung. Rizki Press.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Penguatan Integrasi Pendidikan

PENGUATAN INTEGRASI PENDIDIKAN DALAM ERA DISUPSI Oleh :  Asep Rohiman Lesmana, M.Pd. Pendidikan merupakan suatu entitas yang s...