Konsep Dasar Permainan : Perspektif Sejarah
Oleh :
Iman Lesmana
A. Sejarah Game dan Play
Game (Permainan) telah menjadi bagian dari masyarakat
manusia sejak zaman prasejarah. Penelitian-penelitian arkeologi dan lintas
budaya telah menemukan bahwa peradaban sepanjang sejarah mengembangkan banyak
sekali ragam permainan. Ratusan
permainan dadu, permainan tebak-tebakan, permainan kartu, permainan papan, permainan tongkat dan gelindingan,
permainan hitungan, permainan kelompok,
permainan kucing-kucingan, permainan kejar-kejaran, permainan atletik di dalam
ruangan, permainan atletik di luar ruangan, permainan bernyanyi/sajak/tari, dan lain-lain telah
dikatalogkan. Orang-orang Aborigin Amerika Utara, misalnya, memainkann lebih
dari 1.400 permainan (Wood & Goddard, 1940).
Bermain game memiliki suatu
korelasi langsung pada adaptasi dan perjuangan bertahan hidup. Ketangkasan dan
kekuatan fisik tidak terhingga nilainya pada zaman prasejarah. Orang-orang
prasejarah memainkan bentuk bermain bola yang dikenal paling awal dengan
melempar tongkat, tulang, dan batu. Objek-objek ini dibentuk dan dibundarkan untuk
bergulir dan kemudahan menangkapnya. Sekitar awal 2050 Sebelum Masehi,
orang-orang yang bermain bola digambarkan pada tulisan-tulisan Mesir kuno.
Bermain bola telah diketemukan sebagagi suatu aktivitas universal pada semua
masyarakat yang diteliti secara virtual (Sutton-Smith, 1961). Orang Eskimo
membuat bola-bola dari bulu yang diisi dengan lumut. Suku-suku bangsa yang
tinggal di pulau-pulau terpencil di Samudera India didapati sedang bermain bola
oleh para penjelajah. Bangsa Romawi kuno memproduksi bola-bola yang dibuat dari
kulit babi dan diisi udara. Bermain bola
dapat dihubungkan dengan beberapa perilaku adaptif yang memiliki nilai
perjuangan kelangsungan hidup yang penting. Permainan-permainan yang melibatkan
pertukaran objek-objek tak berarti secara berulang-ulang di antara para pemain
memerlukan praktik tindakan berbagi objek dan sumber yang bernilai nyata, yang
berfungsi untuk memperkuat nilai-nilai kerjasama dan rasa memiliki kelompok.
Permainan-permainan lempar juga berfungsi sebagai praktik untuk lemparan
senjata secara akurat dan terkoordinasi untuk membunuh mangsa. Saat ini, bola
adalah objek sentral yanng ditemukan dalam olahraga yang terorganisir, yang ada
dimana-mana di peradaban modern.
Permainan juga berkembang
dari keyakinan dan ritual-ritual spiritual. Permainan tag lahir dari
tahayul kuno bahwa menyentuh benda-benda dari kayu atau batu akan menangkal
roh-roh jahat atau menghancurkan mantera. Ritual ini kemudian mengarah pada
suatu keyakinan bahwa seseorang dapat lolos atau terkena roh-roh jahat dengan
menyentuh manusia lain. Saat ini, aspek fundamental dari permainan tag tetap
bertahan, di mana orang yang menyentuh dari sebuah jari menyebarkan roh jahat
dari satu orang ke orang lainnya.
Blindman’s bluff
diperoleh dari ritus-ritus prasejarah pengorbanan manusia. Pada zaman Yunani
kuno, hampir 1000 tahun Sebelum Masehi, permainan itu disebut muinda,
atau brazen fly, dan dimainkan oleh anak laki-laki. Seorang anak ditutup
matanya sementara yang lainnya memukul-mukul dengan daun-daun papirus. Selama
zaman Elizabeth, blindman’s bluff populer di Inggris, dan permainan ini
mendapatkan kualitas-kualitas sado-masochistic yang berakar pada
ritus-ritus pengorbanan sebelumnya. Dalam versi baru, orang yang ditutup
matanya dengan pelan dipukul dengan tali yang di-bundel. Permainan itu
menjadi terkenal buruk ketika sentuhan lembut digantikan dengan pukulan, dan blindman’s
bluff menjadi sangat terkenal untuk foreplay ‘pemanasan’ dan
candaan dalam Pengadilan Inggris. Versi yang
menyenangkan ini dilarang secara formal oleh kaum Victorian ketika
masyarakat berubah secara dramatis di Inggris. Saat ini, permainan itu tanpa
nuansa-nuansa kekerasan atau seksual dan telah kehilangan popularitasnya.
Permainan-permainan zaman
modern juga memilikir akar-akar pada kodifikasi dan organisasi agresi
sebelumnya. Catur, checckers, dan backgammon semuanya memiliki
korelasi-korelasi langsung pada perang dan strategi peperangan. Bermain kartu
berasal dari kultur orang Asia kuno untuk tujuan pengajaran strategi-strategi
militer pada para bangsawan muda. Kartu-kartu memiliki dua “tentara” merah dan
dua “tentara” hitam, yang memungkinkan lebih banyak manuver-manuver intrik
militer dan peserta dalam jumlah besar
pada permainan itu. Dalam bentuk awalnya, bermain kartu menggambarkan beragam
simbol dan personifikasi, termasuk kekuatan-kekuatan alam (angin, api, udara,
air), sumber-sumber militer, dan para prajurit serta pejabat militer dari
tingkatan yang berbeda. Pada zaman abad pertengahan, kartu diidentikan dengan
Pengadilan Bangsawan Inggris; muka Raja Henry VII diabadikan pada keempat raja
dalam tempat kartu tradisional. Bermain kartu yang dikembangkan dan identik
dengan strategi-strategi militer digantikan dengan konsep-konsep kekuatan
moneter dan kekayaan. Lagi-lagi, makna-makna dasar telah menguap, dan bermain
kartu saat ini tidak memiliki tujuan langsung selain daripada kesenangan akan
tantangan dan kompetisi intelektual.
Sepanjang sejarah, tipe permainan berbeda telah ditemukan
sebagai hal yang umum pada kultur-kultur yang berbeda. Permainan dari suatu
kultur merefleksikan perhatian, tekanan, dan konflik masyarakat yang umum dari
para anggotanya dan dari kelompok masyarakat secara keseluruhan. Ring-around-the-rosy,
yang dalam kemoderenan hanya dikenal sebagai sebuah permainan sosial yang
bersifat menyenangkan biasanya dipelajari dan dimainkan pada masa kanak-kanak
awal, memiliki akar-akar pada sebuah puisi dari zaman abad pertengahan.
Ring,
A Ring, A Rosy;
A
pocketful of posies;
Achoo,
Achoo;
We
all fall down.
Bait
tersebut menggambarkan spot/titik merah yang berputar yang pertamakali muncul
pada spot-spot tegas dengan Black
Plague (penyakit jahat yang menular), yang diikuti dengan praktik pengisian
(stuffing) kantung korban dengan bunga-bunga untuk menutupi bau dari
penyakit dan kematian tersebut karena penguburan yang cepat seringkali tidak
mungkin. “Achoos” merujuk pada respirasi/pernapasa penyakit yang menyebabkan
korban jatuh dan meninggal.
Penelitian
lintas budaya Sutton-Smith (1971) mendapati bahwa permainan untung-untungan
mendominasi budaya-budaya yang tunduk pada suatu tingkatan ketidakpastian dan
ketakterdugaan lingkungan yang tinggi, budaya-budaya yang di dalamnya
persediaan makanan, iklim, dan pola-pola migrasi sangat bervariasi. Kurangnya
kontrol manusia atas dorongan-dorongan lingkungan terefleksikan dalam
permainan-permainan yang di dalamnya kemungkinan, bukan kemampuan atau
strategi, memutuskan hasil (outcome). Permainan seperti tag,
kucing-kucingan, red rover dan permainan yang terpusat pada orang
lainnya, dapat juga menghadirkan bahasan mengenai latihan kemandirian sosial.
Penelitian sudah menunjukan bahwa dalam budaya-budaya yang di dalamnya
permainan yang berpusat pada orang (central-person game) itu menonjol,
ada suatu kepedulian kolektif yang lebih besar dengan membangun independensi
awal remaja (Sutton-Smith, 1971). Orang dapat melihat bahwa
banyak dari permainan kita saat ini memiliki akar pada budaya-budaya kuno.
Keumuman dari permainan sepanjang sejarah, dan juga keberagamannya, mengungkapkan
betapa pentingnya permainan itu dalam pengalaman manusia. Bagian berikut ini
berkenaan dengan teori-teori bermain
game yang membantu mengidentifikasi kemenarikan permainan yang tahan lama.
B. Definisi Play dan Game
Pada awal penggunannya, game bersifat instrumental dalam
memberikan kesempatan pada para anggota masyarakat untuk mempraktikkan dan
menguasai kepedulian-kepedulian kultural dan kebutuhan-kebutuhan psikologis
yang umum (misalnya, berbagi sumber daya, membunuh mangsa/buruan, mengusir roh
jahat). Dengan melakukan abstraksi pada hal-hal ini maka dalam bentuk suatu
permainan memungkinkan untuk menghasilkan kontrol dan menguasai situasi-situasi
yang dalam dunia nyata, tidak dapat diprediksi dan mengancam. Para ahli
permainan awal menggunakan konsep-konsep biologis dan genetik untuk menjelaskan
ketertarikan manusia pada permainan. Groos (1989) mengembangkan teori insting
praktis, yang di dalamnya bermain game dipandang sebagai hal yang bersifat
instingtif dan instrumental pada praktik pola perilaku yang penting yang
terjadi di kemudian hari dalam kehidupan. Teorinya didasarkan pada
observasi-observasi tentang permainan binatang dan manusia, dan memfokuskan
pada kesamaan antara perilaku bermain dan aktivitas kehidupan nyata manusia dan
perkembangan keterampilan-keterampilan bertahan hidup binatang. Semua aktivitas bermain game, menurut Groos,
merupakan suatu cabang/ranting dari insting manusia untuk mempraktikkan
keterampilan-keterampilan bertahan hidup yang endemik untuk spesies tersebut.
Bermain game pada intinya
bersifat sosial dan melibatkan belajar dan mematuhi peraturan, pemecahan
masalah, disiplin diri, dan kontrol emosional, dan adopsi peran-peran pemimpin
dan pengikut, yang kesemuanya itu merupakan komponen-komponen penting dari
sosialisasi (Serok & Blum, 1983).
Suatu aspek tertentu/khusus dari sosialisasi, kontrol agresi, telah
menerima perhatian yang besar dalam literatur game. Game memberi
kesempatan-kesempatan untuk mengeskpresikan agresi dalam cara-cara yang dapat
diterima secara sosial. Milberg (1976) berteori bahwa bermain dan
permainan/game diciptakan oleh manusia untuk memberikan keluaran-keluaran
(outlets) kemarahan dan permusuhan yang dapat diterima, yang merupakan jiplakan
dari respons bertempur/berkelahi. Berkelahi adalah suatu respon alamiah manusia
pada stimuli yang mengancam, namun seiring dengan kemajuan masyarakat,
kebutuhan akan kontrol terhadap agresi meningkat.
Redl (1958) berpendapat
bahwa agresi, kekuasaan/kekuatan, dan dominasi/ketundukan ada pada semua
permainan. Hampir semua permainan melibatkan suatu macam kontes, yang dengan
sendirinya merupakan suatu ekspresi agresi simbolik. Agresi simbolik itu
menjadi sifat dalam permainan-permainan seperti catur dan permainan dam (checkers),
yang di dalamnya salah satu lawan menyerang yang lain dengan menangkap atau
menetralisir potongan mainan lawan. Permainan menjadi alat untuk belajar
mengungguli yang lain dengan cara-cara yang dapat diterima secara sosial.
Banyak permainan membangun suatu hierarki dominansi, seperti follow-the-leader
dan Simon says. Teori permainan telah digunakan untuk mempelajari
evolusi teritorialitas dan seleksi pasangan pada mamalia dan juga kerjasama
serta konflik pada manusia (Maynard-Smith, 1984).
Freud (Strachey, 1962)
menekankan konsep tentang katarsis sebagai hal yang sentral dalam bermain.
Katarsis melibatkan pelepasan energi emosional dan psikis yang tertahan. Freud
berteori bahwa proses fundamental dari perkembangan kepribadian adalah
rintangan dan represi dorongan dasar, suatu proses yang memunculkan penambahan
ketegangan yang perlu dikeluarkan dalam cara-cara yang dapat diterima secara
sosial. Salah satu cara untuk mengeluarkan energi ini adalah melalui bermain
game/permainan. Teori katartik bermain game memberikan suatu interpretasi terhadap blindmans’ bluff ketika
permainan ini dimainkan pada masa lalu sebagai suatu pengeluaran dan pelepasan
dari dorongan-dorongan agresif dan seksual. Peller (1954) melakukan elaborasi
pada pandangan psikoanalitik tentang bermain game sebagai aktivitas yang tidak
hanya melibatkan pelepasan impuls-impuls yang tertahan (proses pokok),
melainkan juga penguasaan kegelisahan (proses sekunder). Ia memandang bermain
game sebagai suatu kendaraan untuk sublimasi impuls-impuls dasar. Aturan-aturan
dan struktur yang menjadi sifat dalam permainan merepresentasikan peran-peran
superego dalam keberhasilan melakukan represi dan sublimasi impuls-impuls yang
dapat diterima secara sosial. Dengan demikian, bermain game pada pokoknya
menjadi penting untuk resolusi perasaan-perasaan agresif yang merupakan
karakteristik dari periode oedipal.
Mitchell dan Masson (1948) menghadirkan suatu
konseptualisasi bermain permainan yang mirip, teori surplus-energi, namun
merupakan konseptualisasi yang memfokuskan pada pelepasan energi ekses fisik
sebagai lawan dari energi psikis. Teori ini mengungkapkan bahwa berrmain
game itu bersifat acak (random) dan
noninstrumental, suatu bentuk kegembiraan dan kesenangan dan tidak lebih dari
itu. Sekalipun pandangan ini tidak populer, yang lain telah membuat postulat
bahwa “maksud” utama dari bermain dan permainan adalah memberikan rasa senang
dan relaksasi pada para pesertanya. Wood dan Goddard (1940), misalnya,
berpostulat bahwa bermain bola, salah satu dari permainan yang paling kuno,
muncul karena ritme dan pengulangan yang terlibat dalam pelemparan dan
penangkapan memiliki efek rileks dan
menenangkan pada para pemain. Sementara pelepasan ketegangan energi memberikan
kelegaan, hal ini juga meningkatkan energi yang telah hilang melalui
pengeluaran fisik atau bentuk-bentuk lain dari kerja (Milberg, 1976).
Istilah play (bermain) dan game (permainan)
memiliki makna berbeda dalam literatur konseling bermain. Menurut Schaefer
& Reid (2001) bermain dipandang sebagai suatu perilaku yang muncul
secara alamiah yang dapat ditemukan dalam kehidupan manusia dan binatang.
Aktivitas sukarela dan spontan yang
tidak memiliki titik akhir atau tujuan tertentu. Bermain secara
intrinsik didorong oleh hasrat untuk bersenang-senang (Garvey dalam Schaefer
& Reid, 2001). Bermain juga merupakan suatu kekuatan pendorong dalam
perkembangan manusia. Pada masa bayi dan masa kanak-kanak akhir, bermain
memiliki suatu peran kunci untuk
eksplorasi, melatih otot dan pikiran, dan berhubungan dengan orang lain.
Kalangan konselor dan terapis telah lama memahami kekuatan dari bermain
pura-pura sebagai medium ekspresi material psikis. Dalam konseling anak,
bermain seringkali merupakan pengganti bagi verbalisasi, ekspresi fantasi, atau
asosiasi bebas. Material yang biasanya digunakan dalam konseling
bermain adalah mainan dan bahan-bahan
yang dapat dimainkan dengan beragam cara dan memiliki nilai simbolik
yang tinggi. Alat-alat bermain simbolik antara lain; boneka, rumah-rumahan,
wayang, miniatur manusia dan bentuk-bentuk binatang, kendaraan mainan,
alat-alat seni, tanah liat, dan air.
Memainkan game adalah suatu bentuk bermain dan
karenanya merupakan suatu bentuk
kesenangan sekaligus sumber kesenangan bagi individu. Game telah telah
ada sejak zaman prasejarah dan dianggap memainkan suatu berperan signifikan
dalam adaptasi terhadap lingkungannya (Sutton & Smith dalam Schaefer &
Reid, 2001). Game menuntut perilaku yang lebih terarah pada tujuan
dan keseriusan yang lebih besar
dibandingkan dengan play. Kebanyakan game memiliki aturan-aturan
yang menentukan peran-peran pemain, batasan-batasan dan harapan terhadap
perilaku, dan menggambarkan cara permainan itu berfungsi/berjalan. Akibatnya, rentang dan cakupan perilaku permainan (game)
itu lebih terbatas dibandingkan dengan play yang tak terstruktur, dan
imaginasi serta pura-pura. Menurut Schaefer & Reid (2001), jenis permainan
yang lazim digunakan dalam konseling bermain, adalah permainan papan, permainan
kartu, permainan jalanan, permainan komputer, permainan otot halus dan
permainan otot kasar.
Game telah menjadi suatu metafora sentral dan alat penelitian untuk
mengeliminasi konflik-konflik kepentingan dalam interaksi-interaksi bisnis,
politik, dan interpersonal (Schlenker & Bonoma, dalam Schaefer & Reid,
2001).
Dalam pelaksanaannya game memerlukan kemampuan
kognitif yang lebih besar dibandingkan dengan bermain (play). Untuk
bermain hopscotch ‘sondah’ atau permainan kartu perang, orang harus
dapat menghitung, mengenali angka-angka pokok, dan memahami konsep lebih
banyak/lebih sedikit. Individu yang bermain game cenderung memiliki toleransi
frustrasi yang cukup dan pengujian realitas untuk menerima
batasan-batasan dalam berperilaku, bergiliran, mengikuti aturan, dan menerima
kekalahan. Di samping itu dalam game diperlukan sejumlah konsentrasi
dan persistensi untuk mengikuti suatu permainan. Lebih jauh lagi, bermain game
melibatkan suatu tantangan pribadi untuk menerapkan keterampilan-keterampilan
seseorang.
Karakteristik terakhir yang membedakan antara play
dengan game adalah prasyarat-prasyarat game untuk interaksi
interpersonal. Sepanjang sejarah, game telah berkembang sebagai
aktivitas sosial dengan melibatkan dua orang atau lebih. Pada kebanyakan game,
tindakan-tindakan partisipasi memegang peranan penting, artinya hasil dari game
tergantung pada interaksi-interaksi dari para pemain, dan bukan pada tindakan
satu orang pemain saja. Berbeda halnya denngan bermain yang tak terstruktur
yang dapat dilaksanakan oleh dua orang individu atau lebih dengan interaksi antara mereka saja.
C. Proses-proses yang Diekspresikan dalam Bermain
Studi tentang permainan dapat menjelaskan
hubungan antara kognitif-afektif, dan proses interpersonal (Russ, 1987; J.
Singer, 1973; D. Singer & J. Singer, 1990).
Menurut Russ (2003) dengan mengamati proses permainan, konselor dapat
melihat ekspresi dari sejumlah proses kognisi, afektif, dan proses
interpersonal.
Proses kognisi yang diekspresikan melalui
proses bermain meliputi: (1) organisasi; (2) berpikir divergen; (3) simbolisme
dan (4) fantasi/ Khayalan.
1) Organisasi adalah proses psikologis yang terkait dengan
kemampuan untuk mendeskripsikan suatu fenomena dengan logis dan sistematis.
2) Berpikir divergen berkait dengan
kemampuan individu untuk mengembangkan sejumlah gagasan, tema cerita, dan simbol
secara kreatif.
3) Simbolisme berkait dengan kemampuan untuk mentransformasi
objek-objek biasa (balok, lego) ke dalam representasi-representasi objek-objek
lain (misalnya, sebuah balok menjadi telepon).
4) Fantasi/khayalan berkait dengan kemampuan untuk terlibat dalam
perilaku bermain “seakan-akan” – untuk berpura-pura berada dalam suatu waktu
dan ruang yang dipersepsikan.
Proses Afektif yang diekspresikan melalui
proses bermain meliputi: (1) ekspresi emosi; (2) ekspresi tema-tema afeksi; (3)
aturan emosi dan modulasi afeksi; dan (4) integrasi kognisi dan afeksi.
1) Ekspresi Emosi merujuk pada kemampuan individu untuk mengekspresikan
keadaan-keadaan dalam situasi bermain pura-pura, baik afeksi positif maupun
negatif. Misalnya, anak mengekspresikan kegembiraan dengan membuat boneka
menepuk tangannya dan melompat naik turun dengan senangnya.
2) Ekspresi tema-tema afeksi merujuk pada kemampuan untuk mengekspresikan
bayangan-bayangan bermuatan afeksi dan tema khusus dalam bermain. Misalnya
penggunaan pistol untuk permainan peran-perangan. Ini adalah gagasan agresif,
sekalipun tidak ada pertempuran sebenarnya.
3) Aturan emosi dan modulasi afeksi merujuk pada kemampuan memuat dan mengatur
emosi positif maupun emosi negatif.
4) Integrasi kognitif dan afeksi merujuk pada kemampuan utnuk mengintegrasikan
afeksi ke dalam suatu konteks kognitif. Afeksi diekspresikan di dalam suatu
konteks naratif dan kognitif. Misalnya, agresi diekspresikan dalam suatu cerita
mengenai pertandingan tinju.
Proses interpersonal yang diekspresikan melalui
proses bermain meliputi: (1) empati; (2) skema interpersonal/ representasi
diri; dan (3) komunikasi. Empati merujuk pada ekspresi kepedulian dan perhatian
terhadap orang lain. Sedangkan skema interpersonal/
representasi diri merujuk pada kapasitas individu untuk mempercayai orang lain.
Komunikasi merujuk pada kemampuan untuk berkomunikasi, mengekspresikan
gagasan, dan emosi pada orang lain.
Proses pemecahan masalah/ resolusi konflik yang
diekspresikan melalui proses bermain meliputi: (1) pendekatan pada masalah dan
konflik; (2) pemecahan masalah dan resolusi konflik. Pendekatan pada
permasalahan dan konflik. ditunjukkan ketika individu mencoba menemukan solusi
pada permasalahan yang muncul. Sedangkan pemecahan masalah dan resolusi konflik
ditunjukkan ketika individu menangani dan memecahkan suatu masalah.
Tabel 1
Proses Permainan Dalam Psikoterapi Dan Perkembangan
|
Mekanisme Perubahan
|
Teknik Konseling Melalui Permainan
|
Kegunaan dan Efek Proses
Permainan
|
|
Ekspresi/ katarsis
|
Izin
Pemberian label
Penerimaan
|
Kognitif :
Organisasi
Berpikir divergen
Fantasi
Afektif :
Keadaan perasaan
Tema-tema afektif
Jangkauan
Kesenangan dalam bermain
Pengaturan emosi
Integrasi kognitif
|
|
Pengalaman emosional yang
korektif
|
Izin
Pemberian label
Penerimaan
Pemahaman
|
Kognitif :
Organisasi
Berpikir divergen
Fantasi
Afektif :
Keadaan perasaan
Tema-tema afektif
Jangkauan
Kesenangan dalam bermain
Pengaturan emosi
Integrasi kognitif
|
|
Insight, pengalaman kembali
dan penanganan
|
Pemberian label
Pemahaman
Interpretasi
Memfasilitasi permainan
|
Kognitif :
Organisasi
Berpikir divergen
Simbolisme
Fantasi
Afektif :
Keadaan perasaan
Tema-tema afektif
Jangkauan
Kesenangan dalam bermain
Pengaturan emosi
Integrasi kognitif
Pemecahan masalah/ resolusi
konflik :
Pendekatan
Resolusi konflik
|
|
Memperkuat skema
interpersonal
|
Empati
Kepedulian
Keterdugaan
|
Proses interpersonal :
Empati
Representasi internal/ skema
interpersonal
Komunikasi
|
|
Mempelajari pemecahan masalah dan stategi
penaggulangan
|
Modelling
Pemecahan masalah secara aktif
Strategi penaggulangan
Pelepasan
|
Kognitif :
Berpikir divergen
Afektif :
Pengaturan emosi
Pemecahan masalah/ resolusi
konflik
|
D. Game dan Play Ditinjau dari Perspektif Perkembangan
Bermain game menduduki suatu tempat yang sentral dalam
tahapan-tahapan perkembangan bermain. Penelitian berkenaan dengan kerjasama
dalam bermain telah menemukan bahwa kerjasama dalam bermain muncul pada awal 22
bulan (Ross & Kay, 1980) namun tidak menjadi unsur penting dalam bermain
sampai masa kanak-kanak pertengahan (Stoll, Inber, & James, 1968; Zigler
& Child, 1956). Bermain game merefleksikan kesiapan dan minat individu
dalam melakukan eksplorasi bentuk-bentuk bermain yang lebih realistik dan kompleks.
Bermain dengan hubungannya dengan garis-garis perkembangan kognitif, sosial,
emosional, dan identitas dibahas berikut ini.
1. Aspek Kognitif
Piaget (1962) mengidentifikasi tiga tahapan perkembangan
kognitif dalam bermain: bermain sensori motor (2 bulan sampai 2 tahun), bermain
fantasi (2 sampai 7 tahun) , dan permainan-permainan dengan aturan (7 sampai 11
tahun). Bentuk-bentuk awal dari bermain pada infant dan toddlers didominasi
dengan tindakan-tindakan sensorimotor dari anak. Pergerakan-pergerakan tubuh
egosentris ini merefleksikan kemunculan dari pemahaman primitif akan diri dan
karakteristik narsisisme (cinta diri) dari tahapan pertama perkembangan
psikologis. Pada tahun-tahun prasekolah, aktivitas bermain anak diilhami dengan
fantasi dan simbolisasi. Anak-anak mulai dengan memainkan peran-peran dan
meniru perilaku orang dewasa dan juga peristiwa-peristiwa kehidupan nyata.
Perasaan-perasaan yang kuat dan pemikiran magis mendominasi dalam permainan
simbolik. Perhatian-perhatian psikologis yang terefleksikan dalam bermain
seringkali terpusat pada hubungan anak-anak dengan figur-figur orang dewasa
yang berarti/signifikan. Manakala anak-anak memasuki tahun-tahun sekolah dasar,
bermain menjadi semakin realistik dan kompleks, yang melibatkan
interaksi-interaksi dan situasi-situasi interpersonal yang secara gradual
mendekatan fenomena sosial kehidupan nyata.
Proses-proses kognitif dapat digunakan untuk menentukan
apa yang benar dan nyata dan mengesampingkan kesan-kesan sensori dan
eksperiental. Anak-anak usia 7 sampai 11 tahun ada dalam tahapan “operasi
kongkrit” yang melibatkan kemampuan untuk melindungi, mengklasifikasikan, dan
menata (Piaget, 1952, 1967). Anak mengembangkan kapasitas untuk membandingkan
dan membedakan informasi dan membuat persepsi-persepsi yang lebih konsisten
dengan realitas. Mengorganisir dan mengklasifikasikan informasi menjadi penting
bagi anak-anak pada tahap perkembangan ini. Jadi, organisasi, aturan, dan
prosedur permainan-permainan formal menjadi menarik bagi perasaan anak akan
tatanan/keteraturan dan realisme pada tahapan perkembangan ini.
2. Aspek Sosial
Para teoris sosial berpendapat bahwa bermain game
merefleksikan kesiapan-kesiapan individu untuk berkumpul bersama, tidak hanya
untuk persahabatan dan pertemanan, namun untuk membantu dalam menghadapi masa
yang akan datang. Mead (1934) adalah satu di antara ahli yang pertama mengetahui pentingnya game dalam
proses sosialisasi, khususnya untuk kemunculan kepekaan tempat/kedudukan
seseorang di masyarakat. Melalui partisipasi dalam permainan, individu belajar
membedakan diri dari orang lain. Mead menekankan bahwa dengan mengikuti
aturan-aturan yang membatasi perilaku permainan, anak belajar mengenai
kekuasaan masyarakat sebagai “generalized other” dan bahwa perilaku
sosial jarang dipisahkan dari pandangan dan sanksi publik. Reid (1958) menyebut
permainan/game “model-model kekuasaan,” yang menyoroti konsep kekuasaan dan kontrol
dalam permainan. Ia berpendapat bahwa dengan mensubyekkan diri pada kontrol dan
perintah oleh lain merupakan suatu aspek sentral dari kebanyakan game. Banyak
game mensyaratkan bahwa seorang pemimpin dipilih dan bahwa pemain lain
mengikuti pemimpin tersebut. Proses itu bersifat analogis dengan belajar
berurusan dengan orang lain dalam dunia nyata yang lebih kuat dari dirinya
sendiri. Hal yang berlawanan juga terjadi, di mana peran-peran pemimpin dalam
game memberikan kesempatan-kesempatan untuk menerima tanggung jawab,
mempengaruhi orang lain, dan belajar untuk menggunakan kekuasaan dengan adil.
Banyak penulis menekankan pentingnya game dalam proses
sosialisasi. Serok dan Blum (1983) menggambarkann game sebagagi situasi
kehidupan mini yang di dalamnya unsur-unsur dasar sosialisasi – kesesuaian
aturan, keberterimaan norma-norma kelompok, dan kontrol terhadap agresi –
merupakan unsur-unsur integral dari proses bermain. Bermain game memberikan
kesempatan untuk memperoleh informasi baru, eksperimen pada peran dan perilaku
baru, dan melakukan adaptasi pada tuntutan-tuntutan permainan dan norma
kolektifnya. Game memberikan suatu kesempatan bagi anak untuk menangani
dorongann-dorongan kompetitif dan agresif dalam cara-cara yang dapat diterima
secara sosial. Pada intinya,
berurusan/berhadapan dengan aturan-aturan menjadi suatu proses yang
bermakna. Lebih jauh lagi, pengalaman sosialisasi muncul ketika aturan-aturan
dilanggar. Tekanan teman sebaya dapat dirasakan untuk pertama kalinya. Para
pelanggar aturan seringkali ternoda atau harus meminta maaf agar tetap ada
dalam permainan itu. Anak-anak seringkali peka dengan konsekuensi-konsekuensi
yang menentang dari perilaku melanggar aturan.
3. Aspek Emosional
Dalam teori bermain psikoanalitiknya, Peller (1954)
mengaitkan preferensi/pilihan untuk bermain game untuk mereduksi keasyikan
oedipal. Bermain oedipal ditandai dengan fantasi idiosyncratic dan
pikiran magis yang memfokuskan pada segitiga psikoseksual dasar (Freud, 1923).
Melalui bermain dramatik, anak-anak dapat berfantasi menempatkan diri mereka sendiri pada tempat
orang-orang dewasa yang menimbulkan rasa iri mereka. Resolusi perjuangan/upaya
oedipul dicapai melalui identifikasi pada figur orang dewasa dan terefleksikan
pada perubahan dalam minat dari bermain fantasi pada permainan-permainan yang
pararel dengan kehidupan pada dunia orang dewasa. Bermain game juga mempermudah
identifikasi dengan teman sebaya dari jenis kelamin yang sama, yang membantu
melonggarkan ikatan-ikatan oedipal. Perubahan dari keasyikan oedipal adalah
langkah pertama ke arah pembentukan kepribadian otonomi yang berfungsi dalam
batas-batas peran-peran sosial yang menentukan.
4. Aspek Identitas
Bermain game, yang pada pokoknya mengadopsi peran-peran
dalam perrmainan, berrkaitan dengan perkembangan identitas dan harga diri
individu. Baumeister (1986, 1987) mengemukakan bahwa identitas berkembang dan
meluas sepanjang waktu melalui tiga proses definisi diri individu. Bentuk yang
paling sederhana dari definisi diri, Tipe I, melibatkan pemerolehan pasif dari
karakteristik/ciri-ciri stabil identitas. Pengenalan awal dari diri sebagai
individu yang memiliki suatu gender tertentu, yang menjadi milik dari suatu
keluarga tertentu, dan memiliki
karakteristik-karakteristik fisik spesifik adalah contoh-contoh dari definisi
diri awal. Ciri-ciri identitas ini
diperoleh secara pasif; individu tidak melakukan apa-apa untuk memperolehnya.
Tipe II definisi diri, yang disebut tranformasional tunggal, melibatkan suatu
perubahan yang terpisah-pisah dalam identitas berdasarkan pemenuhan sekumpulan
kriteria tertentu. Sekalipun komponen-komponen ini tidak secara pasif
diperoleh, kebanyakan merupakan tonggak/kejadian-kejadian penting universal
dalam perkembangan seorang anak yang tidak dipilih sendiri. Belajar berjalan
atau mengendarai sepeda dan masuk sekolah adalah contoh-contoh dari perubahan
tranformasional tunggal. Tipe II definisi diri muncul sepanjang rentang
kehidupan ketika orang memperoleh aspek-aspek
identitas baru, seperti bergabung dengan organisasi sosial, menjadi
seorang dokter, atau menjadi orang tua. Pada Tipe II proses-proses denifisi diri, identitas
itu stabil sampai transformasinya terjadi, dan setelah itu stabil. Tipe III
definisi diri adalah berlabel hirarkis dan melibatkan pemerolehan identitas
berdasarkan pada dimensi-dimensi eksternal, dapat dihitung, dan hirarkis.
Aspek-aspek dari Tipe III definisi diri sangat didasarkan pada kompetensi
seorang individu, yang secara terus-menerus tunduk pada perurbahan, dan
seringkali melibatkan dimensi-dimensi yang banyak. Melihat diri sendiri sebagai
orang yang kaya, cerdas, sukses, sangat disukai, atau penting di antara
teman-temannya adalah contoh dari Tipe III definisi diri.
Baumeister
menyarankan bahwa struktur-struktur peran pada permainan anak merefleksikan
kemajuan perkembangan identitas dari peran-peran yang diperoleh secara pasif
dan lebih stabil pada peran-peran yang secara eksternal ditentukan, dipilih
sendiri, dan tidak stabil. Pada suatu penelitian tahun 1988 yang dilakukan oleh
Baumeister dan Senders, 339 anak, yang usianya terentang dari 2,5 sampai 15
tahun, diminta untuk mengidentifikasi permainan-permainan favorit mereka dari
suatu daftar permainan yang diidentifikasi menurut basis struktur peran mereka,
sebagai berikut: (1) Tipe I game, berisi Simon says ‘Simon
Berkata’, House ‘Rumah’, Mother
May I ‘Ibu Bolehkah Saya’, Candyland ‘Negeri Permen’, Doctor ‘Dokter’,
dan lain-lain yang di dalamnya seorang pemain
mengadopsi suatu peran
tunggal dan stabil sepanjang
permainannya; (2) Tipe II game, terdiri atas dodgeball, kucing-kucingan
(hide-and-seek), blindman’s bluff, dan lain-lain yang di dalamnya
para pemain berubah peran-perannya sebagai bagian dari permainan tersebut; dan
(3) Tipe III game, mencakup bola basket, monopoli, baseball, catur, dan
lain-lain yang di dalamnya para pemain berubah atau mengidentifikasi dengan
beberapa peran atau mengadopsi sub-sub peran. Pada banyak game Tipe III, masing-masing pemain
mengambil dan memegang satu peran
terus-menerus dan secara bersamaan berubah/beralih di antara sub-sub peran.
Misalnya, pada bola basket, keanggotaan tim pemain tetap konstan, namun pemain
tersebut berotasi di antara beberapa sub peran: batter, fielder, runner,
dan sebagainya.
Temuan-temuan dari
penelitian itu mengindikasikan bahwa anak-anak dalam tahapan perkembangan
bermain simbolik memilih permainan-permainan nonkompetitif yang melibatkan
penetapan peran-peran stabil yang ditentukan sebelumnya. Secara teoretik,
permainan-permainan ini membantu menegaskan penumbuhan kepekaan ciri-ciri
stabil identitas anak prasekolah. Anak-anak pada tahapan latensi awal memilih
permainan-permainan yang melibatkan perubahan peran di antara beberapa peran
yang lebih kompleks dan kurang secara langsung mewakili orang-orang penting
dalam dunia sosial anak. Anak-anak praremaja dan remaja memilih permainan
kompetitif yang didasarkan pada kompetensi yang memungkinkan lebih banyak
variasi dalam struktur peran.
Seiring perkembangan usia,
kemajuan perkembangan dari permainan nonkompetitif ke kompetitif melibatkan
suatu langkah transisional yang di dalamnya permainan kompetitif dimainkan
namun yang tuntutan dan ancaman terhadap kontes dikikis dengan kepercayaan pada
keberuntungan untuk memutuskan hasil. Permainan kompetitif yang berdasarkan
untung-untungan disukai/dipilih oleh anak-anak usia 5 sampai 8 tahun (Tipe II
rentang usia), sebagaimana yang diketemukann dalam penelitian yang dilakukan
oleh Baumeister dan Senders (1988). Permainan-permainan semacam itu
memungkinkan anak-anak untuk bereksperimen dengan peran-peran yang baru dan
berbeda tanpa mengharuskan mereka untuk menangani/mengatasi lawan secara
strategis dan terampil. Pada tahapan perkembangan ini, identitas anak-anak
berada dalam perubahan yang terus-menerus, manakala mereka mulai membuat
perbandingan-perbandingan melawan teman-teman mereka sebagai sebuah dasar bagi
definisi diri (Ruble, 1983). Hal ini tidak sampai pada masa kanak-kanak akhir
yang mengidentifikasi dan definisi diri menjadi terfokus pada isu-isu
kompetensi dan pengukuran atas teman-teman sebaya, yang di dalamnya diri
menjadi semakin setara dengan performa (Erikson, 1968).
E. Jenis-jenis Permainan
Klasifikasi game yang paling luas memisahkan game
komersial dari game yang dikembangkan secara khusus untuk penggunaan dalam
terapi atau konseling. Game komersial seperti dam-daman (Gardner, 1986),
Monopoly (Crocker & Wroblewski, 1975), dan permainan kartu (Reid, 1986)
seringkali digunakan dalam terapi anak. Skema klasifikasi yang dikembangkan
oleh Sutton-Smith dan Roberts (1971) diterapkan pada sejumlah besar game
tradisional, historikal, dan komersial yang dikumpulkan pada lintas masyarakat.
Skema memiliki relevansi pada terapi bermain game juga. Para penulis ini
membedakan tiga tipe game berdasarkan pada apa yang menentukan siapa yang
menang: (1) permainan keterampilan fisik, yang di dalamnya hasil ditentukan
oleh kemampuan-kemampuan gerak pemain; (2) game strategi, yangg di dalamnya
keterampilan kognitif menentukan pemenang; dan (3) game untung-untungan, yang
di dalamnya hasil itu bersifat acak dan tidak sengaja.
1.
Game Keterampilan Fisik
Game keterampilan fisik dapat
dibagi lebih lanjut lagi ke dalam game otot kasar dan halus. Game otot kasar
mencakup tag, game bola sederhana, dan relay races. Game
pergerakan aktif tampaknya tidak cocok untuk terapi karena keterbatasan ruang
dan cenderung menyebabkan individu menjadi lebih hiperaktif. Lebih jauh lagi,
gerakan fisik yang terus-menerus biasanya tidak sesuai dengan verbalisasi dan
diskusi tentang perasaan dan emosi. Kendatipun demikian, game yang melibatkan
sejumlah pergerakan otot kasar yang signifikan telah ditemukan dapat membantu
dalam mengembangkan kontrol diri yang lebih besar melalui kodifikasi dan
struktur gerak melalui bermain game. Reid (1993) menggambarkan bagaimana sebuah
game soft darts membantu seorang anak yang hiperaktif dan defensif
menjadi lebih terorganisir dan terkontrol dalam tahapan awal perlakuan.
Schachter (1974, 1984, 1986)
telah mengembangkan serangkaian game fisik interaktif, yang ia sebut
psikoterapi kinetik, untuk memberi perlakuan pada sejumlah gangguan psikologis,
khususnya depresi. Scchachter berpendapat bahwa game pergerakan kreatif dari
psikoterapi kinetik mempermudah ekspresi dari reaksi-reaksi emosional tertentu
yang sebaliknya sulit untuk dihasilkan tanpa fungsi pengeluaran pergerakan.
Game otot halus mencakup tiddlywinks,
Pic-Up Stix, Perfection, Operation, darts, penny
hockey, dan sebagainya. Game ini biasanya sangat kompetitif, memiliki
aturan yang mudah dijelaskan, dan secara khusus bermanfaat untuk menilai
kontrol impuls anak dan tingkatan umum dan integrasi kepribadian. (Bow
& Boldberg, 1986).
2.
Game Strategi
Hasil dari game strategi pada
dasarnya tergantung pada kemampuan-kemampuan kognitif dari peserta. Banyak
game strategi dibawa ke dalam ruangan terapi, termasuk Connect Four, catur,
dam-daman, Uno, permainan kartu, dan Trouble. Keuntungan-keuntungan
dari game strategi mencakup: (1) game tersebut dapat dimainkan oleh dua orang
dalam sebuah kantor, (2) game tersebut
memberi kesempatan-kesempatan untuk mengamati kekuatan dan kelemahan intelektual,
dan (3) game tersebut memungkinkan ekspresi agresi secara simbolik tanpa
kemunculan fisiologis yang di asosiasikan dengan game fisik. Game strategi
mengaktifkan proses-proses ego termasuk usaha intelektual, konsentrasi, dan
kontrol diri. Dengan tergantung pada orientasi teoretik seseorang,
proses-proses ego ini dapat meningkatkan atau mengurangi proses terapi. Kendati
begitu, adalah jelas bahwa permainan strategi yang lebih kompleks, seperti
catur dan Stratego, mensyaratkan pengeluaran upaya intelektual yang luas
yang berfungsi untuk menunda dan mengalihkan kerja terapeutik yang sebenarnya.
3.
Game Untung-untungan
Game untung-untungan mencakup
permainan-permainan papan bingo, roulette, candyland dan Chutes
and Ladders, dan beberapa game kartu (misalnya, perang). Game masa
kanak-kanak yang tergantung pada
untung-untungan murni untuk menang cenderung ada pada suatu tingkatan sederhana
dan karenanya bermanfaat sebagai suatu pengantar pada bermain game. Game
untung-untungan memiliki nilai dalam terapi karena game tersebut menetralisir
superioritas orang dewasa dalam intelektualitas, pengalaman, dan kemampuan.
Kemenangan dalam permainan untung-untungan adalah kemenangan atas taruhan,
bukan atas lawan lainnya. Hal ini telah terobservasi bahwa manakala kompetisi
yang nyata dihilangkan, para peserta kurang termotivasi dan mendapatkan lebih
sedikit kesenangan dari permainan itu (Holmes, 1964; Rapoport, 1966; Steele
& Tedeschi, 1967).
Sejumlah skema klasifikasi telah dikembangkan untuk game
terapeutik. Game telah digolongkan berdasarkan jumlah aturan (Rabin, 1983),
tipe aktivitas game, baik yang bersifat behavioral ataupun kognitif
(Varenhorst, 1973), dan orientasi teoretik yang mendasari game-nya (Shapiro,
1993).
Schaefer dan Reid (1986)
mengidentifikasi empat kategori game: game komunikasi, game pemecahan masalah,
game peningkatan ego, dan game sosialisasi. Game komunikasi biasannya tidak
menekankan kompetisi untuk mendorong ekspresi diri. Tipe game ini biasanya
kurang terstruktur jika dibandingkan
dengan game terapeutik lainnya dan dirancang untuk mengingkatkann suatu
atmosfir yang tidak mengancam dan
permisif. Di sisi lain, game pemecahan masalah seringkali merupakan aktivitas
yang sangat terstruktur yang memberi kesempatan untuk mendiskusikan permasalahan
spesifik dan solusi praktis pada permasalahan tersebut. Game pemecahan masalah
biasanya memiliki suatu orientasi teoretik behavioral. Game peningkatan ego
menantang para pemain untuk menunjukkan penampilan pada satu sama lain;
fokusnya di sini adalah pada kompetisi dan strategi. Game sosialisasi pada umumnya digunakan dalam terapi kelompok dan
dicocokkan pada praktik interaksi sosial dan peningkatan sensitivitas/kepekaan
pada dinamika yang melandasi wacana sosial.
Game terapeutik juga telah diklasifikasikan berdasarkan pada
orientasi teoretik. Shapiro (1993) mengkategorikan masing-masing dari game
psikoterapeutik menurut penekanan teoretik. Klasifikasi yang paling umum adalah bersifat psiko-pendidikan
(26%), client-centered (17%), klarifikasi nilai (15%), psikodinamika
(12%) , dan kognitif-behavioral (11%).
Referensi :
Rusmana,
Nandang. (2009). Game & Play :
Permainan untuk para Pendidik, Pembimbing, Pelatih, dan Widyaiswara.
Bandung. Rizki Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar