Oleh :
Iman
Lesmana
Sesungguhnya tidak ada langkah-langkah baku yang dapat diterapkan dalam
melaksanakan bimbingan kelompok. Menurut Sweeney & Homeyer (2000), langkah-langkah bimbingan kelompok sangat ditentukan
oleh orentasi teoritis yang menjadi dasar penerapan model.
Dalam bab ini akan dibahas orientasi teoritis yang menjadi dasar penerapan
bimbingan kelompok yakni, model konseling kelompok yang dikemukakan oleh
Gladding (1995). Menurut Gladding (1995) ada empat langkah utama yang harus
ditempuh dalam melaksanakan konseling kelompok, yakni ; (1) langkah awal
(Beginning a Group); (2) langkah transisi (The Transition Stage in a
Group); (3) langkah kerja (The Working Stage in a Group); dan (4) langkah
terminasi (Termination of a Group).
Menurut Gladding (1999) empat langkah konseling yang dikemukannya
selaras dengan langkah-langkah dinamika kelompok dari Tuckman, yakni forming,
storming, norming, performing, dan adjourning.
1.
Tahap Awal (beginning a group)
Awal konseling merupakan langkah yang kritis dalam
proses konseling kelompok. Fokus utama dari langkah ini adalah terbentuknya
kelompok. Menurut Gladding (1999) langkah awal konseling (beginning)
paralel dengan langkah pembentukan kelompok (forming) dari Tuckman.
Dalam pelaksanaan pembentukan kelompok konselor perlu mempertimbangkan: (1)
tahapan-tahapan pembentukan kelompok (step in the forming stage); (2)
tugas-tugas pembentukan kelompok (task of beginning group); (3) Potensi
masalah pembentukan kelompok (resolving potential group in forming); (4)
prosedur pembentukan kelompok (useful
procedures for the beginning steges of a group).
Tahapan - Tahapan Pembentukan Kelompok.
Pembentukan kelompok merupakan tahap yang paling krisis
dalam proses konseling kelompok. Menurut Gladding (1999) keberhasilan dalam
melakukan pembantukan kelompok akan sangat menentukan efektivitas konseling.
Oleh karena itu konselor perlu melaksanakan pembentukan kelompok dengan
langkah-langkah dan tahapan yang akurat, sistematis dan berkesinambungan.
Menurut Gladding (1999) ada beberapa hal yang perlu
dilakukan dalam melaksanakan proses pembentukan kelompok yakni: (a)
mengembangkan alasan-alasan pembentukan kelompok (developing a rationale for
the group; (b) Menentukan format
teoretis (deciding on a theoretical format); (c) Menentukan
kerangka kerja (practical considerations); (d) Melakukan publikasi
kelompok (publicizing the group); dan (e) Melakukan persiapan latihan (pretraining)
dan (f) melakukan seleksi anggota dan
pendamping kelompok (selection of members and leaders).
Mengembangkan Alasan-Alasan Pembentukan Kelompok
Menurut Gladding (1995) dalam melakukan pembentukan
kelompok, yang harus dilakukan oleh seorang konselor pertama kali adalah
mempertimbangkan alasan yang jelas mengapa kelompok itu dibentuk, untuk
kepentingan apa, siapa anggota-anggotanya dan berapa jumlahnya.. Alasan yang jelas dan terarah merupakan kunci yang paling penting dalam
merencanakan pembentukan suatu kelompok. Penentuan alasan ini perlu dilakukan
agar konselor memiliki landasan yang kuat dalam melaksanakan proses konseling.
Menentukan Format Teoritis
Di samping menentukan alasan yang jelas seorang konselor
kelompok juga perlu memutuskan kerangka teori yang akan digunakan dalam
melaksanakan proses konseling. Menurut Gladding (1995) dengan adanya penetapan kerangka teori yang
jelas konselor akan memiliki landasan dan kerangka kerja dalam melaksanakan
proses konseling. Ward dalam Gladding (1995) mengungkapkan bahwa dalam
membentuk suatu kelompok perlu adanya batasan dan kekuatan yang dijadikan
rujukan. Rujukan itu adalah kerangka teori yang digunakan oleh konselor.
Menentukan Kerangka Kerja
Menurut Gladding (1995) pembentukan suatu kelompok juga
perlu mempertimbangkan hal-hal yang sifatnya spesifik, konkret dan praktis
secara prosedural. Pimpinan kelompok harus sensitif terhadap kondisi objektif
konseli agar terhindar dari reaksi-reaksi negatif dari anggota kelompok.
Menurut Gladding (1995) konselor kelompok perlu mempertimbangkan hal-hal yang
sangat sensitif dari konseli, terutama yang terkait dengan tipe (type), ekspektasi,
limit waktu (time focus), fungsi dan peran pemimpin, struktur, stigma,
kerahasiaan, ukuran kelompok, keanggotaan, dan durasi waktu.dalam melaksanakan
proses konseling.
Melakukan Publikasi Kelompok
Melakukan publikasik kelompok adalah hal yang penting
dalam proses pembentukan kelompok. Menurut Corey dan Corey dalam Gladding
(1995) cara yang dapat dilakukan untuk melakukan publikasi kelompok adalah
dengan pengungkapan atau penyampaian melalui kolega, kontak personal dengan
calon anggota yang berpotensi, atau dipublikasikan langsung secara umum kepada
masyarakat.
Dalam melakukan publikasi kelompok konselor perlu
menyampaikan hal-hal yang berkait dengan jenis layanan, rasional, tujuan,
sasaran, pimpinan kelompok dan topik yang akan dibahas.
Melakukan Persiapan Latihan
Langkah kelima yang perlu ditempuh dalam proses
pembentukan kelompok adalah melakukan latihan awal (pre-training) dan
seleksi anggota. Menurut Gladding (1995) latihan awal dan seleksi anggota
diarahkan pada upaya untuk mengetahui tingkat kematangan, kesiapan dan komposisi
calon anggota. Calon anggota yang potensial diseleksi melalui wawancara dan skrining.
Menurut Zimpfer dalam Gladding (1995) pre-training dan seleksi anggota
perlu dilakukan untuk mengurangi drop out pada saat kelompok sudah
berlangsung.
Melakukan Seleksi Anggota dan Pendamping Kelompok
Di samping latihan awal dan seleksi anggota pada langkah kelima dalam
proses pembentukan kelompok juga perlu melaksanakan seleksi untuk pimpinan
kelompok. Proses seleksi ini untuk memperoleh pimpinan kelompok yang profesional.
Pimpinan kelompok yang dipilih hendaknya memiliki kemampuan dalam humor,
keterbukaan diri, konfrontasi dan keterampilan lainnya.
Melakukan seleksi anggota dan pendamping kelompok merupakan bagian yang
penting dalam proses pembentukan kelompok. Menurut Gladding (1995) ada beberapa
tugas yang harus dipenuhi selama sesi pertama suatu kelompok, yaitu sebagai
berikut: (1) menyepakati permasalahan yang akan dijadikan fokus
konseling (Apprehension); (2) menetapkan tujuan dan kontrak (Goals
and Contracts); (3) menetapkan aturan-aturan kelompok (Group Rules); (4)
menetapkan batasan-batasan (Setting Limits); (5) mendorong perubahan
kearah yang lebih baik antara anggota kelompok (Promoting a Positive
Interchange Among Members).
Tugas-Tugas Pembentukan Kelompok.
Menurut
Gladding (1999) tugas pertama dalam memulai suatu kelompok adalah para
anggota kelompok melakukan kesepakatan tentang permasalahan apa yang akan di
bahas. Pada intinya, permasalahan yang diangkat sebagai fokus konseling
bersumber dari kecemasan yang ditampilkan oleh anggota kelompok. Meskipun
permasalahan yang diangkat adalah masalah individual, namun karena akan
dipecahkan secara bersama-sama, maka masalah itu perlu menjadi masalah bersama.
Kesepakatan itu perlu dilakukan supaya timbul rasa saling memiliki, rasa saling
merasakan apa yang dialami orang lain.
Target kedua yang akan dicapai dalam sesi awal
konseling adalah menetapkan tujuan dan melakukan kontrak. Menurut Corey,
Donigian & Malnati dalam Gladding (1999) menulis kontrak dan menetapkan tujuan
akan membantu anggota kelompok untuk memahami secara jelas, apa yang akan
mereka capai, berapa lama proses kegiatan berlangsung, kapan akan dilakukan dan
sebagainya.
Para anggota kelompok perlu menetapkan aturan sebelum
dan selama proses kelompok berlangsung. Aturan ini merupakan pedoman bertindak
anggota kelompok dalam melakukan proses konseling. Menurut Galdding (1999)
aturan itu biasanya terkait dengan tidak adanya kekerasan fisik, tidak
menggunakan obat-obatan terlarang, tidak saling menghina dan lain sebagainya.
Seluruh anggota kelompok perlu menyepakati dan mengikuti aturan yang telah
dibuat bersama.
Target lain yang ingin dicapai dalam sesi konseling
menetapkan batasan-batasan (setting limit). Batasan-batasan ini perlu
disepakati bersama agar menjadi pedoman bertindak anggota kelompok dalam
pelaksanaan proses konseling. Batasan-batasan ini disamping mengikat para
anggota juga mengikat pimpinan kelompok Penetapan batasan ini dapat berupa
membatasi waktu kegiatan kelompok, sampai berapa lama kegiatan ini berlangsung
dan bagaimana konsekuensinya bila waktu yang sudah ditetapkan habis, apakah
akan dilanjutkan atau tidak. Selain itu batasan ini juga dapat berupa isi (content)
dari kegiatan kelompok, dan bagaimana konsekuensinya bila anggota sudah
berbicara di luar isi yang dibicarakan sesungguhnya.
Mendorong perubahan kearah yang lebih baik antara
anggota kelompok merupakan tugas lain
dari pemimpin kelompok. Pemimpin kelompok harus mampu mendorong para anggota
kelompok untuk mau berbagi dengan anggota kelompok lain, mendorong para anggota
kelompok untuk memusatkan perhatian pada apa yang dibicarakan, dapat
memfokuskan pembicaraan apabila anggota kelompok sudah mulai menyimpang atau
memotong pembicaraan apabila interaksi antara anggota kelompok sudah mulai
menunjukkan penyimpangan (Jacobs, et al., dalam Gladding, 1995). Jika
pemimpin kelompok tidak mampu mengatasi kondisi kelompok atau tidak mampu
mendorong anggota kelompok ke arah perubahan yang lebih baik, mungkin saja ada
anggota kelompok yang drop out, menutup diri atau menyerang
anggota lainnya.
Potensi Masalah Pembentukan Kelompok
Menurut Gladding (1999) pada saat proses pembentukan
kelompok, meskipun telah dilakukan dengan memenuhi langkah-langkah seperti yang
diteorikan, dalam pelaksanaannya akan menjumpai beberapa masalah yang akan
menjadi batu sandungan dalam melaksanakan proses konseling. Masalah tersebut
terkait dengan masalah anggota kelompok (people problems) dan masalah
prosedural kelompok (group procedural problems). Masalah anggota
kelompok yang mungkin dijumpai adalah adanya tipologi dan stereotype individual
anggota kelompok yang beragam. Menurut Kline dalam Gladding (1999), tipologi orang yang dijumpai dalam kelompok
adalah: (1) manipulators; (2) resisters; (3) monopolizers; (4) silences
members; (5) user of sarcasems; dan (6) focuser on other.
Masalah-masalah prosedural kelompok yang akan
dihadapi dalam proses konseling kelompok adalah: (1) opening the group;
(2)structuring; (3) involvement; (4) group cohesions; (5) promoting hopes and
engendering risks; (closing the group).
Prosedur Pembentukan Kelompok.
Untuk mengatasi masalah-masalah yang mungkin timbul
dalam proses pembentukan kelompok, konselor hendaknya melakukan upaya
merumuskan prosedur yang tepat dalam melakukan proses awal konseling. Menurut
Gladding (1999) sesungguhnya tidak ada satu cara atau metode yang tepat yang
dapat digunakan untuk mengatasi permasalahan yang berkenaan dengan awal
konseling.menurut Gladding (1999) setiap kelompok itu memiliki sifat yang unik.
Namun secara umum, ada beberapa hal yang dapat dijadikan pegangan dalam memulai
suatu kelompok, yaitu: (1) Kerjasama (Joining); (2) (Kesepadanan) Linking;
(3) Menghentikan atau memutuskan pembicaraan (Cutting Off); (4) Lebih
menjelaskan (Drawing Out); (5) Memperjelas maksud (Clarifying the
Purpose).
2. Tahap Transisi (Transition Stage)
Tahap transisi adalah periode kedua pasca pembentukan
kelompok dan merupakan tahap awal sebelum memasuki tahap kerja. Di dalam
konseling kelompok biasanya berlangsung 12-15 sesi, tahap transisi ini
kira-kira memakan 5-20% dari keseluruhan proses konseling. Masa transisi
ditandai dengan adanya tahapan forming dan norming.
Tahap Storming atau disebut juga periode
pancaroba/ kacau balau adalah masa terjadinya konflik dalam kelompok. Konflik
dalam kelompok terjadi karena adanya kekhawatiran anggota kelompok dalam
memasuki proses konseling. Biasanya kekhawatiran muncul karena anggota kelompok
mempunyai keengganan untuk bergerak dari ketegangan primer (kekakuan saat
berada dalam situasi yang asing) menuju ketegangan sekunder (konflik dalam
kelompok).
Dalam periode kekacauan, anggota kelompok pada
awalnya khawatir dalam melakukan interaksi dengan anggota lainnya. Menurut
Gladding (1999) kekhawatiran ini biasanya berkaitan dengan rasa takut akan
kehilangan kontrol, salah pengertian, terlihat bodoh, atau ditolak. Beberapa
anggota menghindari resiko dengan bersikap diam. Sementara anggota lain yang
ingin mendapat posisi dalam kelompok bersifat lebih terbuka dan mempengaruhi
anggota kelompok yang lain. Menurut Forysth dalam Gladding (1999) kegagalan
dalam mengatasi tahapan kacau balau ini akan berakibat pada terhentinya proses
konseling. Oleh karena itu menurut Gladding (1999) konselor perlu melakukan
upaya-upaya untuk mengatasinya melalui: (a) Peer Relationship (b) Resistance
(c) Task Processing.
a). Peningkatan Hubungan Anggota Kelompok
Dalam rangka meningkatkan hubungan anggota kelompok konselor perlu
mengembangkan kepemimpinan dan menunjukkan kekuasaan yang terbuka dan asertif.
Menurut Gladding (1999) kepemimpinan yang dapat dilakukan bersifat informational,
influensial dan otoritatif. Kepemimpinan informasional dikembangkan oleh
konselor kelompok manakala anggota kelompok cukup kooperatif untuk melakukan
perubahan-perubahan. Kepemimpinan influensial biasanya dikembangkan melalui
pendekatan persuasi dan manipulasi. Kepemimpinan otoritatif dilakukan manakala
anggota kelompok tidak bias dikendalikan, oleh karena itu dalam kepemimpinan
ototritatif melakukan pulling rank agar anggota mencoba melakukan
penyesuaian dengan aturan kelompok. Diharapkan melalui proses peningkatan
hubungan, anggota kelompok lebih fokus pada isi dan pesan kelompok. Sehingga
pada gilirannya tercapai saling pengertian.
b). Resistensi
Resistensi didefinisikan sebagai perilaku kelompok untuk menghindari
daerah yang tidak nyaman dan situasi konflik. Resistensi biasanya meningkat
pada awal periode kekacauan (Higgs, dalam Gladding, 1999). Bentuk dari
resistensi ada dua jenis yaitu resistensi tidak langsung dan resistensi
langsung. Bentuk dari resistensi tidak langsung diantaranya adalah: (1)
intelektualisasi; (2) pertanyaan (questioning); (3) memberikan nasehat (giving
advise); (4) menghalangi orang lain (band aiding); (5)
ketergantungan (dependency).
1)
Intelektualisasi, perilaku yang ditandai dengan
penekanan pada abstraksi dengan penekanan emosi yang minimal.
2) Pertanyaan dalam hubungan antar individu, pertanyaan sering dipakai untuk
menyamarkan pernyataan. Dengan terus saling bertanya, anggota kelompok
menghindarkan diri dari keharusan mengungkapkan diri mereka yang sebenarnya.
3) Memberikan nasehat adalah menyuruh seseorang melakukan sesuatu pada situasi
tertentu.
4) Band aiding merupakan suatu proses menghalangi orang lain
dalam mengekspresikan kepedihan emosional dengan mengungkapkan perasaan.
5)
Ketergantungan (dependency), anggota
kelompok yang menunjukkan sikap ketergantungan mendorong munculnya pemberi
nasehat dan pelaku band aid. Mereka bersikap lemah dan butuh bantuan
namun menolak untuk mendengarkan masukannya.
Bentuk dari
resistensi langsung diantaranya adalah: (1) memonopoli (monopolizing); (2)
melawan pemimpin .(attack on the leader)
1)
Memonopoli (monopolizing) terjadi ketika seseorang dalam kelompok
mendominasi melalui pembicaraan atau tindakan yang berlebihan.
2)
Melawan pemimpin.(attack on the leader). Melawan pemimpin
merupakan salah satu bentuk dari resistensi di dalam kelompok yang akan
menyebabkan kesulitan bagi perkembangan kelompok. Melawan kelompok tidak akan
terjadi manakala konselor melakukan proses skringing pada tahapan pre-training
dengan benar. Meskipun demikian jika hal ini terjadi konselor harus
mengantisipasinya dengan segera.
c). Task Processing
Menurut Gladding
(1995) cara atau metode yang dapat digunakan untuk membantu anggota kelompok
megatasi kekacauan adalah: (1). mengatasi perasaan mereka dalam periode
kekacauan melalui proses leveling (process of leveling) yaitu
anggota dimotivasi untuk berinteraksi secara terbuka dan bebas (Kline, Toffler
dalam Gladding, 1995); (2) menyadarkan anggota bahwa kekacauan dalam kelompok
merupakan hal yang wajar. Jika pemimpin kelompok atau anggota kelompok
menyangkal bahwa terjadi konflik dalam kelompok, rasa bingung akan muncul
sehingga anggota akan kehilangan rasa percaya pada pemimpin. Dengan menghadapi
kenyataan, anggota dan pemimpin kelompok mengetahui apa yang mereka hadapi
sehingga tingkat frustrasi berkurang dan toleransi meningkat. Selain itu,
anggota dapat membuat rencana-rencana dan mengembangkan sensitivitas terhadap
situasi, sehingga situasi ini dapat membaik; (3). dengan meminta umpan balik
dari anggota mengenai kondisi mereka saat ini dan apa yang mereka pikir perlu
dilakukan (Ponzo dalam Gladding, 1995). Umpan balik dapat dilakukan secara
informal, yakni dengan spontan tanpa terikat waktu dan secara formal, yakni
dengan cara terstruktur dan batasan waktu.
Tahap berikutnya
pada masa transisi adalah Norms and Norming. Menurut Gladding (1995)
tahap Norms and Norming dibagi ke dalam lima tahap yakni: (a) Peer
Relationship; (b) Task Processing; (c)Examining Aspects of Norming; (d)
Promoting Norming; (e) Results of Norming.
Selama periode norming beberapa perubahan
penting terjadi dalam hubungan antar teman. Interaksi antar teman ini dapat
digambarkan melalui (1).identifikasi; (2) variable eksistensial; (3) harapan;
(4) kooperasi; (5) kolaborasi dan (6) kohesi.
1)
Identifikasi adalah proses perkembangan normal, dimana individu memandang dirinya sama
seperti orang lain. Kemudian muncul rasa keterikatan emosional para anggota
kepada pemimpin mereka.
2)
Variabel eksistensial. Meskipun kemajuan bisa diukur pada tiap sesi konseling kelompok, cara
terbaik yang dapat membantu individu dalam konseling kelompok adalah dengan
mengakomodasi perasaan dan interaksinya dengan anggota kelompok. Pemimpin
kelompok beserta anggotanya dapat merefleksikan kejadian masa lalu untuk
dihubungakan dengan kejadian masa kini, dan mengambil hikmahnya.
3)
Harapan. Pengalaman akan harapan
terjadi pada tingkat kognitif dan emosional dalam kelompok. Secara
kognitif, harapan adalah keyakinan bahwa apa yang diinginkan dan
kejadian-kejadian terbaik akan terjadi.
4)
Kerjasama. Kerjasama terjadi ketika
anggota kelompok bekerja bersama-sama untuk mencapai tujuan.
5)
Kolaborasi. kolaborasi terjadi sejalan dengan kooperasi. Saat para anggota bekerjasama
dalam kelompok secara harmonis, mereka juga dapat saling berbagi pengalaman dan
perasaan mengenai diri maupun masalah lain.
6)
Kohesi dapat digambarkan sebagai
kekompakan kelompok. Saat kekompakan tumbuh, kelompok bekerja sebagai satu unit
dimana semangat, rasa percaya dan solidaritas meningkat, sehingga kedekatan
emosional menjadi lebih harmonis.
Salah satu tujuan penugasan dalam tahap norming adalah agar anggota
kelompok bersedia untuk menerima dan melaksanakan berbagai norma yang disusun
sebagai aturan-aturan dan standar yang digunakan dalam menjalankan kerja
kelompok. Dengan adanya norma, anggota kelompok dapat belajar untuk mengatur,
mengevaluasi, dan mengkoordinasikan tindakan-tindakan mereka (Gibbs dalam
Gladding, 1995). Dalam prakteknya kelompok biasanya menerima dua jenis norma
yakni, norma preskriptif dan norma proskriptif. Norma preskriptif menggambarkan
tentang perilaku yang harus dilakukan, sedangkan norma proskriptif
menggambarkan perilaku yang harus dihindari (Forsyth dalam Gladding, 1995).
Norma biasanya berkembang sangat lambat sehingga sering kali tidak
dipermasalahkan sampai benar-benar terjadi pelanggaran. Norma pada dasarnya
memudahkan kelompok untuk bekerja meskipun tidak semua norma produktif
(Wilson&Hanna dalam Gladding 1995). Tujuan lain yang berhubungan dengan
tugas dalam norma kelompok adalah komitmen (Maples dalam Gladding, 1995). Komitmen
menjadi bagian sentral, pada saatnya nanti para anggota kelompok bekerja secara
individual berdasarkan tugas-tugas kelompok yang telah diembankan pada
masing-masing anggota untuk mencapai tujuan bersama.
Norming biasanya diekspresikan oleh
perilaku dan perasaan para anggota kelompok. Meskipun sulit untuk mengukur
dampak dari emosi pada kelompok, ada cara-cara konkret dan ilmiah untuk menguji
perilaku pada periode ini. Salah satu caranya adalah hubungan antar teman.
Metode ini menggunakan teori yang didasarkan atas penelitian kepribadian atau
dinamika kelompok yang disebut SYMLOG (System for the Multiple Level
Observation of Groups) (Bales dalam Gladding, 1995).
Model SYMLOG menghasilkan diagram bidang yang menggambarkan bagaimana
anggota kelompok dinilai dengan tiga dimensi: (a). dominan versus kepatuhan (dominance
versus submissiveness); (b). ramah versus ketidakramahan (friendliness
versus unfriendliness); (c). ekspresif secara instrumental versus secara
emosional (instrumentally versus emotionally expressive). Model ini juga
menghasilkan 26 peranan yang ditemukan dalam kelompok. Dengan menggunakan
SYMLOG, dinamika interaksional dan kepribadian kelompok dapat dipahami dengan
lebih baik karena sifat homogen dan heterogen kelompok dapat didefinisikan dengan
lebih jelas.
Norming dapat dieskpresikan dengan tindakan-tindakan anggota kelompok atau
pemimpin kelompok. Beberapa teknik human relation dan specific skill kelompok
dapat digunakan dalam proses ini. Keterampilan-keterampilan tersebut dapat
meliputi: (1) Mendukung (supporting); (2) Memberikan empati (empathizing);
(3) Memberikan kemudahan (facilitating); (4) Keterbukaan diri (self
disclosure); (5)
(1)
Mendukung (supporting),
yaitu tindakan memberi dukungan atau dorongan pada orang lain. Hasilnya adalah
tindakan-tindakan baru dan positif yang lebih spontan dan kreatif.
(2)
Memberikan empati (empathizing), yaitu
meletakkan diri pada posisi lain untuk mencoba merasakan persepsi dan emosi
orang lain (Brammer dalam Gladding, 1995). Pada periode norming, empati dilakukan
untuk kepentingan khusus. Para anggota harus dapat menangkap pesan verbal
meupun nonverbal dari anggota lain dan bersikap responsif.
(3)
Memberikan kemudahan (facilitating) berkaitan
dengan penggunaan pola komunikasi yang jelas dan langsung. Bagian dari pola ini
adalah memastikan bahwa pesan dikirim dan diterima dengan baik sehingga
masalah-masalah yang terpendam tidak muncul belakangan dan merusak keutuhan
kelompok.
(4)
Keterbukaan diri (self disclosure) merupakan
tanda yang paling kuat untuk menunjukkan kepercayaan dalam kelompok, yakni
mengungkapkan informasi pribadi yang belum diketahui oleh anggota lain
sebelumnya (Jaurand dalam Gladding, 1995). Keterbukaan ini meningkat saat
peserta merasa aman, dan hasilnya adalah runtuhnya hambatan komunikasi antar individu
dan tumbuhnya rasa kebersamaan.
Bila proses norming berhasil
baik, maka kelompok akan siap melangkah pada proses perkembangan selanjutnya,
yaitu tahap kerja. Anggota akan merasa terhubung dengan kelompok dan menjadi
lebih produktif. Norma memberikan pedoman untuk menjalankan organisasi. Norma
menjadi tolok ukur tingkat keberhasilan mereka baik secara individu maupun
secara kelompok. Secara garis besar, norming dapat membantu individu
merasa nyaman dalam kelompok.
3.
Tahap Kerja (Performing Stage)
Menurut Gladding
(1995) terdapat enam tahapan dalam fase kerja yakni: (a) Peer
Relationship (b) Task Processing During the working Stage (c) Teamwork and Team
Building During the Working Stage (d) Problems in the Working Stage of Groups
(e) Strategies for Assisting Groups in the Working Stage (f) Outcomes of
the Working Stage.
Peserta lebih akrab setelah
masalah dipecahkan. Perasaan empati, keharuan, perhatian penuh, dan kedekatan
emosional kelompok berangsur-angsur tumbuh. Keterpaduan dan kekompakan biasanya
bertambah dalam kelompok. Hal ini sebagai akibat interaksi antar anggota
kelompok dan pemahaman masing-masing anggota kelompok yang lebih baik. Hal lain
yang berpengaruh terhadap hubungan antar anggota kelompok adalah keterbukaan
diri (self-disclosure). Keterbukaan diri merupakan aktivitas multi
dimensional. Keterbukaan diri meliputi mendengar dan menerima umpan balik dan
juga berbicara. Keterbukaan diri dihubungkan dengan banyak faktor lain seperti
tipe kelompok, tingkat penyingkapan yang lain, norma kelompok, dan timing
atau ketepatan waktu.
Perhatian utama dalam tahapan kerja adalah
produktivitas kinerja. Masing-masing anggota kelompok terfokus pada peningkatan
kualitas kinerja untuk mencapai tujuan individu dan kelompok. Ada tiga cara
untuk mencapai produktivitas yang tinggi diantaranya adalah: (1) saling memuji
keunggulan masing-masing anggota kelompok; (2) role playing; (3) home work (pekerjaan
rumah). Cara yang pertama adalah dengan cara saling memuji keunggulan
masing-masing anggota kelompok (Yalom dalam Gladding 1995). Cara lain yang
dapat ditempuh untuk meningkatkan produktivitas kelompok adalah melalui Role
Playing (bermain peran). Sebab dalam bermain peran, anggota kelompok
berkesempatan untuk mengekspresikan identitas yang berbeda jauh dari identitas mereka saat
ini. Teknik psikodrama ini dapat membantu anggota kelompok untuk membayangkan
suatu kondisi sebelum situasi/ kondisi tersebut benar-benar terjadi di dalam
kelompok.
Hal yang sangat penting dalam proses bermain peran
adalah adanya kepercayaan dan perhatian setiap anggota kelompok. Proses bermain
peran akan berjalan dengan optimal dan menghasilkan banyak keuntungan jika masing-masing
anggota kelompok fokus terhadap peran yang dimainkannya, manfaat yang dapat
diambil diantaanya adalah anggota kelompok dapat mengeveluasi proses bermain
peran yang telah dilakukan, pemimpin kelompok dapat mengevaluasi hikmah,
konsekwensi, alternative solusi dari permasalahan yang timbul dalam proses
bermain peran tersebut.
Tugas rumah (home work) adalah salah satu cara
yang dapat meningkatkan produktivitas kinerja (Gazda dalam Gladding, 1995).
Setiap anggota kelompok dituntut untuk mampu mengaplikasikan berbagai hal yang
telah ia dapatkan di dalam kelompok. Terdapat beberapa keuntungan ketika
anggota kelompok mempraktikannya dalam kehidupan sehari-hari diantaranya adalah
ia akan mendapatkan pengalaman dalam kehidupan nyata, sekaligus ia mendapatkan
ilmu untuk di bawa kembali dalam kelompoknya.
Dimensi terkhir yang dapat meningkatkan produktivitas
kinerja kelompok adalah inkorporasi (incorporation). Ketika tahapan
kerja kelompok berakhir, anggota akan merasakan dan mengetahui apa yang ingin
dicapai dan bagaimana cara untuk mencapainya. Melalui inkorporasi, anggota
kelompok akan menyadari nilai yang selama ini dibangun di dalam kelompok
sehingga dapat langsung
mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
Kerja kelompok dan membangun tim, merupakan hal yang
penting dalam tahapan kerja kelompok. Kelompok adalah sejumlah orang yang
bergaul bersama dalam suatu aktivitas. Hasil dari kinerja kelompok nampak dalam
kompetisi atletik dan artistic, yakni ketika anggota kelompok beraktivitas
dalam satu koordinasi untuk mencapai tujuan, seperti permainan mencapai titik
angka atau menari dan mengkoordinasikan gaya. Kondisi kelompok dapat menambah
semangat yang memungkinkan kelompok membangun kerjasama yang efektif. Proses
membangun tim (team building) memerlukan waktu dan pola kelebihan waktu
yang berbeda.
Masalah yang seringkali muncul dalam tahap kerja
adalah: (1) Racial and Gender Issues (2) Group Collusions. Di antara
masalah spesifik yang tumbuh selama tahapan kerja adalah rasa takut dan
perlawanan, menantang pimpinan, kurang fokus pada pencapaian tujuan individu
dan kelompok. Masalah-masalah dapat diungkapkan dalam banyak cara, diantaranya
dengan cara emosional dan proyeksi atau menyalahkan anggota kelompok yang lain
dan menarik diri dalam aktivitas kelompok. Isu-isu di luar kelompok yang juga
dapat mempengaruhi suasana kelompok adalah isu gender atau ras dan/atau kolusi
kelompok (group collusion).
Beberapa strategi yang dapat digunakan dalam fase
kerja ini di antaranya adalah: (a) Modeling; (b) Exercises; (c) Group
Observing Group; (d) Brainstorming; (e) Nominal- Group Techniqu;e (f)
Synectics; (g) Written Projections; (h) Group Processing.
a). Modeling
adalah metode yang digunakan untuk mengajarkan perilaku yang kompleks pada
anggota kelompok dalam periode waktu yang singkat dengan cara menyalin (copying)
atau mencontoh (imitating). Modeling sangat tergantung pada timing,
reinforcement (penguatan) dan banyaknya umpan balik positif yang diterima.
Borgers dan Koengs dalam Gladding (1995) menekankan bahwa dalam modeling,
anggota kelompok akan meniru pemimpin dan anggota kelompok yang lain dalam
berbagai hal.
b). Pengertian exercise digunakan antara lain
oleh pimpinan kelompok untuk menghubungkan keadaan aktivitas kelompok dengan
tujuan kelompok. Persoalan yang masih menjadi perbedaan pandangan adalah: (a).
apakah latihan direncanakan terlebih dahulu untuk digunakan dalam kelompok;
(b). kapan latihan digunakan?
4. Tahap Terminasi (termination stage)
Menurut Galdding (1995) tahap terminasi adalah tahap
yang tidak kalah pentingnya dengan tahap pembentukkan kelompok. Dalam proses
pembentukan kelompok, setiap anggota kelompok berusaha untuk saling mengenal
dan memahami karakterisik masing-masing anggota kelompok; dalam tahap terminasi
anggota kelompok mencoba untuk mengenal dan memahami lebih dalam lagi.
Tahap terminasi dalam konseling kelompok dibagi
menjadi tujuh bagian yakni: (a) Preparing for Termination (b)
Effects of Termination on Individual (c) Premature Teermination (d) Termination
of Group Sessions (e) Termination of a Group
(f) Problems in Terminations (g) Follow-up Session.(Gladding, 1995).
a) Preparing for Termination
Pemimpin kelompok harus memiliki
perencenaan aktivitas kelompok yang baik, berapa lama pertemuan kelompok, kapan
aktivitas akan berakhir, media apa saja yang diperlukan, tempat pelaksanaan dan
pihak lain yang terlibat dalam aktivitas kelompok tersebut.
Secara umum tahap terminasi ini terbagi menjadi dua bagian yaitu: pada
akhir masing-masing sesi dan pada akhir pertemuan kelompok. Keduanya melalui
beberapa proses terminasi yaitu: (1) orientasi; (2) hasil/ kesimpulan; (3)
diskusi yang terpusat pada tujuan; (4) tindak lanjut. (Epstein & Bishop
dalam Gladding, 1995).
Pada saat sesi kelompok akan segera berakhir, pemimpin kelompok biasanya
menginformasikan kepada anggota kelompok bahwasanya waktu yang telah disepakati
tinggal tersisa 5 sampai 30 menit lagi, kemudian menanyakan apa hasil yang
telah dicapai dan bagaimana tindak lanjutnya. Sesi ini sangat penting karena
terukurnya sesi kelompok berhasil atau tidak bergantung pada sesi ini.
b) Effects of
Termination on Individual
Perilaku anggota
kelompok diakhir sesi konseling menunjukkan hal-hal yang terpikir dan terasa
sebagai hasil dari pengalamannya di dalam kelompok ( Luft dalam Gladding,
1995). Ada anggota kelompok yang tergantung pada kelompok, sehingga ia merasa
tidak berdaya jika tidak mendapat dukungan dari kelompok lagi, ada juga anggota
kelompok yang merasa sedih, karena khawatir tidak dapat bertemu kembali dengan
anggota kelompok lainnya, atau bahkan ada anggota kelompok yang marah, karena
mungkin ada harapan yang tidak terpenuhi selama sesi konseling kelompok.
Kesemuanya merupakan dinamika yang menambah keindahan dalam konseling kelompok.
Menurut Gladding
(1995) langkah terbaik untuk mengakhiri sesi konseling kelompok adalah dengan
merefleksikan pengalaman masing-masing anggota kelompok dan menimplikasikannya
dalam aktivitas penututp dalam sesi kelompok.
Hal yang harus
diwaspadai oleh pemimpin kelompok adalah adanya anggota kelompok yang mungkin
merasa tidak membutuhkan konseling kelompok, maka solusi yang diambil adalah:
(1) konseling
individual; diperuntukan bagi anggota kelompok yang memiliki masalah yang unik
dan memerlukan penanganan khusus.
(2) referral kepada
kelompok lain; diperuntukkan bagi anggota kelompok yang memiliki karakteristik
masalah yang berbeda dengan kelompok.
(3) recycling;
diperuntukkan bagi anggota kelompok yang menginginkan untuk tidak lagi
bergabung degan kelompok.
c) Premature
Termination
Terkadang anggota
kelompok meninggalkan kelompok sebelum sesi kelompok berakhir. Menurut Gladding
(1995) secara umum ada dua tipe premature termination yakni: (1)
Premature Termination of the Group as a
Whole (2) Premature Termination Intiated
by Group Members.
(1). Berakhirnya sesi konseling sebelum waktunya.
Hal ini mungkin terjadi akibat ulah pemimpin atau anggota kelompok. Pemimpin
kelompok mengakhiri sesi konseling di awal mungkin karena ia sakit atau ia ada
pekerjaan lain yang lebih penting dan tidak dapat di tunda sehingg anggota
kelompok merasa tidak lengkap tanpa kehadiran pemimpin kelompok dalam sesi
konseling dan akhirnya aktivitas kelompok bubar.
(2).
Keluarnya anggota kelompok sebelum sesi konseling kelompok berakhir. Hal ini disebabkan
oleh beberapa hal diantaranya adalah: (a) external factor; (b) group
deviciency; (c) problem of intimacy; (d) fear of emotional contagion; (e)
inability ti share the doctor; (f) complications of concurrent individual and
group therapy; (g) early provocateurs; (h) inadequate orientations to therapy;
(i) complications arising from subgrouping.
d) Termination of
Group Sessions
Menurut Gladding
(1995) terdapat sejumlah cara untuk mengakhiri sebuah sesi konseling kelompok.
Diantaranya ialah: (1) Member Summarization; (2) Leader Summarization; (3)
Rounds; (4) Dyads; ( 5) Written Reactions; (6) Rating Sheets; (7) Homework .
(1) Member Summarization. Dengan cara ini
beberapa anggota kelompok diminta untuk merangkum hasil dari pertemuan
aktivitas kelompok. Setiap minggunya bergantian secara sistematis, sehingga
aktivitas kelompok terasa tidak membosankan.
(2) Leader Summarization, dengan cara ini
pemimpin kelompok akan merangkum dan mengomentari setiap anggota kelompok yang
hadir dalam sesi konseling kelompok.
(3) Rounds, cara ini adalah bentuk lain dari member
summarization.
(4) Dyads, dengan cara ini kelompok akan dibagi menjadii sub
kelompok yang terdiri dari dua orang, kemudian masing masing anggota kelompok
mengomentari hasil dari sesi konseling kelompok.
(5)
Written Reactions, dengan cara ini masing-masing anggota kelompok diminta untuk menuliskan
kritik, saran dan hasil yang diperoleh dari sesi konseling kelompok.
(6) Rating Sheets, dengan cara ini
anggota kelompok diminta untuk menuliskan apa yang paling berkesan saat aktivitas
konseling kelompok, siapa anggota kelompok yang paling memberikan inspirasi dan
lain sebagainya.
(7)
Homework, cara ini adalah cara yang paling lumrah dilakukan, yaitu dengan cara
memberikan pekerjaan rumah yang akan dikumpulkan pada sesi konseling kelompok
berikutnya.
e) Termination of a Group
Pembubaran dalam
kelompok biasanya dipengaruhi oleh perpaduan kondisi emosi dan perampungan
tugas-tugas kelompok. Inilah saatnya ketika perilaku anggota kelompok berubah
(Davies dalam Gladding, 1995).
Secara umum
konseling kelompok akan berakhir ketika kelompok telah merampungkan
misi-misinya. Menurut Jacobs dalam Gladding (1995) ada tujuh kemampuan yang
selayaknya dikuasai oleh masing-masing anggota kelompok agar sebelum
melaksanakan tahap pembubaran diantaranya adalah: (1) mengulang dan
meringkas pengalaman kelompok (reviewing and sumarizing the group
experience); (b) menetapkan perubahan dan perkembangan yang dikuasai
anggota kelompok (assessing member’s growth, change); (3) menyelesaikan
permasalahan (finishing business); (4) membuat keputusan-keputusan yang
dapt diterapkan dalam kehidupan sehari-hari (applying change to everyday
life); (5) menyediakan wadah penyaluran minat dan bakat (providing
feedback); (6) menangani pengucapai selamat tinggal (handling good
byes); (7) merencanakan pertemuan tindak lanjut (planning for continued
problem resolution).
f) Problems in Terminations
Dalam pembubaran
konseling kelompok biasanya akan selalu muncul masalah diantaranya adalah
sebagai berikut: (1) Denial (2) Tranference (3) Countertransference (4)
Handling Termination Correctly.
(1) Penolakan
adalah suatu aksi anggota kelompok yang menolak untuk pembubaran kelompok.
Untuk menangani masalah ini pemimpin kelompok harus mampu meyakinkan anggotanya
bahwa akan ada pertemuan pasca pembubaran sebagai tindak lanjutnya.
(2) Transference adalah pemindahan
pengaruh dari salah seorang anggota kepada anggota lainnya, atau dari suatu
situasi ke dalam situasi lainnya. Hal ini akan mengganggu karena jika pengaruh
yang ditularkannya adalah pengaruh negative, maka akan merambat pada anggota
lain. Cara mengatasinya adalah hendaknya pemimpin kelompok bersikap bijaksana
dalam menangangi pengaruh tersebut.
(3) Countertreansference adalah reaksi
emosional dari pemimpin kelompok sebagai reaksi dari transference anggota
kelompok. Countertransferance terjadi ketika pimpinan kelompok mengalami
kecemasan atau kekhawatiran yang tinggi. Untuk mengatasi masalah ini hendaknya
meminta bantuan ahli untuk dilakukan konseling individual.
(4) Pada dasarnya tidak ada teknik yang paling
baik dalam proses pembubaran kelompok, namun ada beberapa ciri pembubaran
kelompok yang tidak baik diantaranya adalah: (a) adanya persoalan kelompok yang
belum terselesaikan; (b) tidak adanya tindak lanjut.
(g) Follow-up Session
.Pertemuan tindak
lanjut adalah suatu prosedur komunikasi untuk mengumpulkan kembali anggota
kelompok setelahnya mereka menerapkan berbagai hal yang ia dapatkan dalam
kehidupan sehari-hari. Ada beberapa cara untuk menindaklanjuti pertemuan kelompok
yang telah dibubarkan, diantaranya adalah: (1)arrange for a private
interview; (2) reunion; (3) evaluations questionnaire. (Gladding, 1995).
Pertama, mengatur jadwal berbincang dengan anggota kelompok, pembicaraan
berkenaan dengan kesepakatan waktu pertemuan berikutnya, tujuan pertemuan, dan
kondisi anggota kelompok saat ini.
Kedua,
menindaklanjuti satu pertemuan dengan melakukan reuni kelompok setelah tiga
bulan atau enam bulan dari waktu pembubaran.
Cara yang paling efektif adalah dengan mengumumkannya sebelum pembubaran
kelompok.
Ketiga, dengan
membuat evaluasi. Setidaknya mencakup tiga hal yakni: (1) hubungan
dengan kepemimpinan kelompok (the leadership of the group); (2) fasilitas
yang digunakan selama konseling kelompok (the facilities in which the group
was held); (3) pencapaian tujuan kelompok (the effectiveness if the
group in achieving it’s object).
Referensi :
Rusmana,
Nandang. (2009). Bimbingan dan Konseling
Kelompok : Metode, Teknik dan Aplikasi. Bandung. Rizki Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar