Selasa, 21 April 2020

Prosedur dan Langkah-Langkah BK Kelompok


Prosedur dan Langkah-Langkah BK Kelompok

Oleh :
Iman Lesmana


Sesungguhnya tidak ada langkah-langkah baku yang dapat diterapkan dalam melaksanakan bimbingan kelompok. Menurut Sweeney & Homeyer (2000), langkah-langkah bimbingan kelompok sangat ditentukan oleh orentasi teoritis yang menjadi dasar penerapan model.
Dalam bab ini akan dibahas orientasi teoritis yang menjadi dasar penerapan bimbingan kelompok yakni, model konseling kelompok yang dikemukakan oleh Gladding (1995). Menurut Gladding (1995) ada empat langkah utama yang harus ditempuh dalam melaksanakan konseling kelompok, yakni ; (1) langkah awal (Beginning a Group); (2) langkah transisi (The Transition Stage in a Group); (3) langkah kerja (The Working Stage in a Group); dan (4) langkah terminasi (Termination of a Group).  Menurut Gladding (1999) empat langkah konseling yang dikemukannya selaras dengan langkah-langkah dinamika kelompok dari Tuckman, yakni forming, storming, norming, performing, dan adjourning.

1.     Tahap Awal (beginning a group)
Awal konseling merupakan langkah yang kritis dalam proses konseling kelompok. Fokus utama dari langkah ini adalah terbentuknya kelompok. Menurut Gladding (1999) langkah awal konseling (beginning) paralel dengan langkah pembentukan kelompok (forming) dari Tuckman. Dalam pelaksanaan pembentukan kelompok konselor perlu mempertimbangkan: (1) tahapan-tahapan pembentukan kelompok (step in the forming stage); (2) tugas-tugas pembentukan kelompok (task of beginning group); (3) Potensi masalah pembentukan kelompok (resolving potential group in forming); (4)  prosedur pembentukan kelompok (useful procedures for the beginning steges of a group).
Tahapan - Tahapan Pembentukan Kelompok.
Pembentukan kelompok merupakan tahap yang paling krisis dalam proses konseling kelompok. Menurut Gladding (1999) keberhasilan dalam melakukan pembantukan kelompok akan sangat menentukan efektivitas konseling. Oleh karena itu konselor perlu melaksanakan pembentukan kelompok dengan langkah-langkah dan tahapan yang akurat, sistematis dan berkesinambungan.
Menurut Gladding (1999) ada beberapa hal yang perlu dilakukan dalam melaksanakan proses pembentukan kelompok yakni: (a) mengembangkan alasan-alasan pembentukan kelompok (developing a rationale for the group; (b) Menentukan format  teoretis (deciding on a theoretical format); (c) Menentukan kerangka kerja (practical considerations); (d) Melakukan publikasi kelompok (publicizing the group); dan (e) Melakukan persiapan latihan (pretraining) dan  (f) melakukan seleksi anggota dan pendamping kelompok (selection of members and leaders).
Mengembangkan Alasan-Alasan Pembentukan Kelompok
Menurut Gladding (1995) dalam melakukan pembentukan kelompok, yang harus dilakukan oleh seorang konselor pertama kali adalah mempertimbangkan alasan yang jelas mengapa kelompok itu dibentuk, untuk kepentingan apa, siapa anggota-anggotanya dan berapa jumlahnya.. Alasan yang jelas dan terarah merupakan kunci yang paling penting dalam merencanakan pembentukan suatu kelompok. Penentuan alasan ini perlu dilakukan agar konselor memiliki landasan yang kuat dalam melaksanakan proses konseling.
Menentukan Format  Teoritis
Di samping menentukan alasan yang jelas seorang konselor kelompok juga perlu memutuskan kerangka teori yang akan digunakan dalam melaksanakan proses konseling. Menurut Gladding (1995)  dengan adanya penetapan kerangka teori yang jelas konselor akan memiliki landasan dan kerangka kerja dalam melaksanakan proses konseling. Ward dalam Gladding (1995) mengungkapkan bahwa dalam membentuk suatu kelompok perlu adanya batasan dan kekuatan yang dijadikan rujukan. Rujukan itu adalah kerangka teori yang digunakan oleh konselor.
Menentukan Kerangka Kerja
Menurut Gladding (1995) pembentukan suatu kelompok juga perlu mempertimbangkan hal-hal yang sifatnya spesifik, konkret dan praktis secara prosedural. Pimpinan kelompok harus sensitif terhadap kondisi objektif konseli agar terhindar dari reaksi-reaksi negatif dari anggota kelompok. Menurut Gladding (1995) konselor kelompok perlu mempertimbangkan hal-hal yang sangat sensitif dari konseli, terutama yang terkait dengan tipe (type), ekspektasi, limit waktu (time focus), fungsi dan peran pemimpin, struktur, stigma, kerahasiaan, ukuran kelompok, keanggotaan, dan durasi waktu.dalam melaksanakan proses konseling.
Melakukan Publikasi Kelompok
Melakukan publikasik kelompok adalah hal yang penting dalam proses pembentukan kelompok. Menurut Corey dan Corey dalam Gladding (1995) cara yang dapat dilakukan untuk melakukan publikasi kelompok adalah dengan pengungkapan atau penyampaian melalui kolega, kontak personal dengan calon anggota yang berpotensi, atau dipublikasikan langsung secara umum kepada masyarakat.
Dalam melakukan publikasi kelompok konselor perlu menyampaikan hal-hal yang berkait dengan jenis layanan, rasional, tujuan, sasaran, pimpinan kelompok dan topik yang akan dibahas.
Melakukan Persiapan Latihan
Langkah kelima yang perlu ditempuh dalam proses pembentukan kelompok adalah melakukan latihan awal (pre-training) dan seleksi anggota. Menurut Gladding (1995) latihan awal dan seleksi anggota diarahkan pada upaya untuk mengetahui tingkat kematangan, kesiapan dan komposisi calon anggota. Calon anggota yang potensial diseleksi melalui wawancara dan skrining. Menurut Zimpfer dalam Gladding (1995) pre-training dan seleksi anggota perlu dilakukan untuk mengurangi drop out pada saat kelompok sudah berlangsung.
Melakukan Seleksi Anggota dan Pendamping Kelompok
Di samping latihan awal dan seleksi anggota pada langkah kelima dalam proses pembentukan kelompok juga perlu melaksanakan seleksi untuk pimpinan kelompok. Proses seleksi ini untuk memperoleh pimpinan kelompok yang profesional. Pimpinan kelompok yang dipilih hendaknya memiliki kemampuan dalam humor, keterbukaan diri, konfrontasi dan keterampilan lainnya.
Melakukan seleksi anggota dan pendamping kelompok merupakan bagian yang penting dalam proses pembentukan kelompok. Menurut Gladding (1995) ada beberapa tugas yang harus dipenuhi selama sesi pertama suatu kelompok, yaitu sebagai berikut: (1) menyepakati permasalahan yang akan dijadikan fokus konseling (Apprehension); (2) menetapkan tujuan dan kontrak (Goals and Contracts); (3) menetapkan aturan-aturan kelompok (Group Rules); (4) menetapkan batasan-batasan (Setting Limits); (5) mendorong perubahan kearah yang lebih baik antara anggota kelompok (Promoting a Positive Interchange Among Members).

Tugas-Tugas Pembentukan Kelompok.
Menurut  Gladding (1999) tugas pertama dalam memulai suatu kelompok adalah para anggota kelompok melakukan kesepakatan tentang permasalahan apa yang akan di bahas. Pada intinya, permasalahan yang diangkat sebagai fokus konseling bersumber dari kecemasan yang ditampilkan oleh anggota kelompok. Meskipun permasalahan yang diangkat adalah masalah individual, namun karena akan dipecahkan secara bersama-sama, maka masalah itu perlu menjadi masalah bersama. Kesepakatan itu perlu dilakukan supaya timbul rasa saling memiliki, rasa saling merasakan apa yang dialami orang lain.
Target kedua yang akan dicapai dalam sesi awal konseling adalah menetapkan tujuan dan melakukan kontrak. Menurut Corey, Donigian & Malnati dalam Gladding (1999) menulis kontrak dan menetapkan tujuan akan membantu anggota kelompok untuk memahami secara jelas, apa yang akan mereka capai, berapa lama proses kegiatan berlangsung, kapan akan dilakukan dan sebagainya. 
Para anggota kelompok perlu menetapkan aturan sebelum dan selama proses kelompok berlangsung. Aturan ini merupakan pedoman bertindak anggota kelompok dalam melakukan proses konseling. Menurut Galdding (1999) aturan itu biasanya terkait dengan tidak adanya kekerasan fisik, tidak menggunakan obat-obatan terlarang, tidak saling menghina dan lain sebagainya. Seluruh anggota kelompok perlu menyepakati dan mengikuti aturan yang telah dibuat bersama.
Target lain yang ingin dicapai dalam sesi konseling menetapkan batasan-batasan (setting limit). Batasan-batasan ini perlu disepakati bersama agar menjadi pedoman bertindak anggota kelompok dalam pelaksanaan proses konseling. Batasan-batasan ini disamping mengikat para anggota juga mengikat pimpinan kelompok Penetapan batasan ini dapat berupa membatasi waktu kegiatan kelompok, sampai berapa lama kegiatan ini berlangsung dan bagaimana konsekuensinya bila waktu yang sudah ditetapkan habis, apakah akan dilanjutkan atau tidak. Selain itu batasan ini juga dapat berupa isi (content) dari kegiatan kelompok, dan bagaimana konsekuensinya bila anggota sudah berbicara di luar isi yang dibicarakan sesungguhnya.
Mendorong perubahan kearah yang lebih baik antara anggota kelompok  merupakan tugas lain dari pemimpin kelompok. Pemimpin kelompok harus mampu mendorong para anggota kelompok untuk mau berbagi dengan anggota kelompok lain, mendorong para anggota kelompok untuk memusatkan perhatian pada apa yang dibicarakan, dapat memfokuskan pembicaraan apabila anggota kelompok sudah mulai menyimpang atau memotong pembicaraan apabila interaksi antara anggota kelompok sudah mulai menunjukkan penyimpangan (Jacobs, et al., dalam Gladding, 1995). Jika pemimpin kelompok tidak mampu mengatasi kondisi kelompok atau tidak mampu mendorong anggota kelompok ke arah perubahan yang lebih baik, mungkin saja ada anggota kelompok yang drop out, menutup diri atau menyerang anggota lainnya.
Potensi Masalah Pembentukan Kelompok
Menurut Gladding (1999) pada saat proses pembentukan kelompok, meskipun telah dilakukan dengan memenuhi langkah-langkah seperti yang diteorikan, dalam pelaksanaannya akan menjumpai beberapa masalah yang akan menjadi batu sandungan dalam melaksanakan proses konseling. Masalah tersebut terkait dengan masalah anggota kelompok (people problems) dan masalah prosedural kelompok (group procedural problems). Masalah anggota kelompok yang mungkin dijumpai adalah adanya tipologi dan stereotype individual anggota kelompok yang beragam. Menurut Kline dalam Gladding (1999),  tipologi orang yang dijumpai dalam kelompok adalah: (1) manipulators; (2) resisters; (3) monopolizers; (4) silences members; (5) user of sarcasems; dan (6) focuser on other.
Masalah-masalah prosedural kelompok yang akan dihadapi dalam proses konseling kelompok adalah: (1) opening the group; (2)structuring; (3) involvement; (4) group cohesions; (5) promoting hopes and engendering risks; (closing the group).
Prosedur Pembentukan Kelompok.
Untuk mengatasi masalah-masalah yang mungkin timbul dalam proses pembentukan kelompok, konselor hendaknya melakukan upaya merumuskan prosedur yang tepat dalam melakukan proses awal konseling. Menurut Gladding (1999) sesungguhnya tidak ada satu cara atau metode yang tepat yang dapat digunakan untuk mengatasi permasalahan yang berkenaan dengan awal konseling.menurut Gladding (1999) setiap kelompok itu memiliki sifat yang unik. Namun secara umum, ada beberapa hal yang dapat dijadikan pegangan dalam memulai suatu kelompok, yaitu: (1) Kerjasama (Joining); (2) (Kesepadanan) Linking; (3) Menghentikan atau memutuskan pembicaraan (Cutting Off); (4) Lebih menjelaskan (Drawing Out); (5) Memperjelas maksud (Clarifying the Purpose).

2.     Tahap Transisi (Transition Stage)
Tahap transisi adalah periode kedua pasca pembentukan kelompok dan merupakan tahap awal sebelum memasuki tahap kerja. Di dalam konseling kelompok biasanya berlangsung 12-15 sesi, tahap transisi ini kira-kira memakan 5-20% dari keseluruhan proses konseling. Masa transisi ditandai dengan adanya tahapan forming dan norming.
Tahap Storming atau disebut juga periode pancaroba/ kacau balau adalah masa terjadinya konflik dalam kelompok. Konflik dalam kelompok terjadi karena adanya kekhawatiran anggota kelompok dalam memasuki proses konseling. Biasanya kekhawatiran muncul karena anggota kelompok mempunyai keengganan untuk bergerak dari ketegangan primer (kekakuan saat berada dalam situasi yang asing) menuju ketegangan sekunder (konflik dalam kelompok).
Dalam periode kekacauan, anggota kelompok pada awalnya khawatir dalam melakukan interaksi dengan anggota lainnya. Menurut Gladding (1999) kekhawatiran ini biasanya berkaitan dengan rasa takut akan kehilangan kontrol, salah pengertian, terlihat bodoh, atau ditolak. Beberapa anggota menghindari resiko dengan bersikap diam. Sementara anggota lain yang ingin mendapat posisi dalam kelompok bersifat lebih terbuka dan mempengaruhi anggota kelompok yang lain. Menurut Forysth dalam Gladding (1999) kegagalan dalam mengatasi tahapan kacau balau ini akan berakibat pada terhentinya proses konseling. Oleh karena itu menurut Gladding (1999) konselor perlu melakukan upaya-upaya untuk mengatasinya melalui: (a) Peer Relationship (b) Resistance (c) Task Processing.
            a).  Peningkatan Hubungan Anggota Kelompok
Dalam rangka meningkatkan hubungan anggota kelompok konselor perlu mengembangkan kepemimpinan dan menunjukkan kekuasaan yang terbuka dan asertif. Menurut Gladding (1999) kepemimpinan yang dapat dilakukan bersifat informational, influensial dan otoritatif. Kepemimpinan informasional dikembangkan oleh konselor kelompok manakala anggota kelompok cukup kooperatif untuk melakukan perubahan-perubahan. Kepemimpinan influensial biasanya dikembangkan melalui pendekatan persuasi dan manipulasi. Kepemimpinan otoritatif dilakukan manakala anggota kelompok tidak bias dikendalikan, oleh karena itu dalam kepemimpinan ototritatif melakukan pulling rank agar anggota mencoba melakukan penyesuaian dengan aturan kelompok. Diharapkan melalui proses peningkatan hubungan, anggota kelompok lebih fokus pada isi dan pesan kelompok. Sehingga pada gilirannya tercapai saling pengertian.
            b).  Resistensi
Resistensi didefinisikan sebagai perilaku kelompok untuk menghindari daerah yang tidak nyaman dan situasi konflik. Resistensi biasanya meningkat pada awal periode kekacauan (Higgs, dalam Gladding, 1999). Bentuk dari resistensi ada dua jenis yaitu resistensi tidak langsung dan resistensi langsung. Bentuk dari resistensi tidak langsung diantaranya adalah: (1) intelektualisasi; (2) pertanyaan (questioning); (3) memberikan nasehat (giving advise); (4) menghalangi orang lain (band aiding); (5) ketergantungan (dependency).
1)     Intelektualisasi, perilaku yang ditandai dengan penekanan pada abstraksi dengan penekanan emosi yang minimal.
2)     Pertanyaan dalam hubungan antar individu, pertanyaan sering dipakai untuk menyamarkan pernyataan. Dengan terus saling bertanya, anggota kelompok menghindarkan diri dari keharusan mengungkapkan diri mereka yang sebenarnya.
3)     Memberikan nasehat adalah menyuruh seseorang melakukan sesuatu pada situasi tertentu.
4)     Band aiding merupakan suatu proses menghalangi orang lain dalam mengekspresikan kepedihan emosional dengan mengungkapkan perasaan.
5)     Ketergantungan (dependency), anggota kelompok yang menunjukkan sikap ketergantungan mendorong munculnya pemberi nasehat dan pelaku band aid. Mereka bersikap lemah dan butuh bantuan namun menolak untuk mendengarkan masukannya.
Bentuk dari resistensi langsung diantaranya adalah: (1) memonopoli (monopolizing); (2) melawan pemimpin .(attack on the leader)
1)     Memonopoli (monopolizing) terjadi ketika seseorang dalam kelompok mendominasi melalui pembicaraan atau tindakan yang berlebihan.
2)     Melawan pemimpin.(attack on the leader). Melawan pemimpin merupakan salah satu bentuk dari resistensi di dalam kelompok yang akan menyebabkan kesulitan bagi perkembangan kelompok. Melawan kelompok tidak akan terjadi manakala konselor melakukan proses skringing pada tahapan pre-training dengan benar. Meskipun demikian jika hal ini terjadi konselor harus mengantisipasinya dengan segera.
c).   Task Processing
Menurut Gladding (1995) cara atau metode yang dapat digunakan untuk membantu anggota kelompok megatasi kekacauan adalah: (1). mengatasi perasaan mereka dalam periode kekacauan melalui proses leveling (process of leveling) yaitu anggota dimotivasi untuk berinteraksi secara terbuka dan bebas (Kline, Toffler dalam Gladding, 1995); (2) menyadarkan anggota bahwa kekacauan dalam kelompok merupakan hal yang wajar. Jika pemimpin kelompok atau anggota kelompok menyangkal bahwa terjadi konflik dalam kelompok, rasa bingung akan muncul sehingga anggota akan kehilangan rasa percaya pada pemimpin. Dengan menghadapi kenyataan, anggota dan pemimpin kelompok mengetahui apa yang mereka hadapi sehingga tingkat frustrasi berkurang dan toleransi meningkat. Selain itu, anggota dapat membuat rencana-rencana dan mengembangkan sensitivitas terhadap situasi, sehingga situasi ini dapat membaik; (3). dengan meminta umpan balik dari anggota mengenai kondisi mereka saat ini dan apa yang mereka pikir perlu dilakukan (Ponzo dalam Gladding, 1995). Umpan balik dapat dilakukan secara informal, yakni dengan spontan tanpa terikat waktu dan secara formal, yakni dengan cara terstruktur dan batasan waktu.
Tahap berikutnya pada masa transisi adalah Norms and Norming. Menurut Gladding (1995) tahap Norms and Norming dibagi ke dalam lima tahap yakni: (a) Peer Relationship; (b) Task Processing; (c)Examining Aspects of Norming; (d) Promoting Norming; (e) Results of Norming.
 Selama periode norming beberapa perubahan penting terjadi dalam hubungan antar teman. Interaksi antar teman ini dapat digambarkan melalui (1).identifikasi; (2) variable eksistensial; (3) harapan; (4) kooperasi; (5) kolaborasi dan (6) kohesi.
1)     Identifikasi adalah proses perkembangan normal, dimana individu memandang dirinya sama seperti orang lain. Kemudian muncul rasa keterikatan emosional para anggota kepada pemimpin mereka.
2)     Variabel eksistensial. Meskipun kemajuan bisa diukur pada tiap sesi konseling kelompok, cara terbaik yang dapat membantu individu dalam konseling kelompok adalah dengan mengakomodasi perasaan dan interaksinya dengan anggota kelompok. Pemimpin kelompok beserta anggotanya dapat merefleksikan kejadian masa lalu untuk dihubungakan dengan kejadian masa kini, dan mengambil hikmahnya.
3)     Harapan. Pengalaman akan harapan terjadi pada tingkat kognitif dan emosional dalam kelompok. Secara kognitif, harapan adalah keyakinan bahwa apa yang diinginkan dan kejadian-kejadian terbaik akan terjadi.
4)     Kerjasama. Kerjasama terjadi ketika anggota kelompok bekerja bersama-sama untuk mencapai tujuan.
5)     Kolaborasi. kolaborasi terjadi sejalan dengan kooperasi. Saat para anggota bekerjasama dalam kelompok secara harmonis, mereka juga dapat saling berbagi pengalaman dan perasaan mengenai diri maupun masalah lain.
6)     Kohesi dapat digambarkan sebagai kekompakan kelompok. Saat kekompakan tumbuh, kelompok bekerja sebagai satu unit dimana semangat, rasa percaya dan solidaritas meningkat, sehingga kedekatan emosional menjadi lebih harmonis.
Salah satu tujuan penugasan dalam tahap norming adalah agar anggota kelompok bersedia untuk menerima dan melaksanakan berbagai norma yang disusun sebagai aturan-aturan dan standar yang digunakan dalam menjalankan kerja kelompok. Dengan adanya norma, anggota kelompok dapat belajar untuk mengatur, mengevaluasi, dan mengkoordinasikan tindakan-tindakan mereka (Gibbs dalam Gladding, 1995). Dalam prakteknya kelompok biasanya menerima dua jenis norma yakni, norma preskriptif dan norma proskriptif. Norma preskriptif menggambarkan tentang perilaku yang harus dilakukan, sedangkan norma proskriptif menggambarkan perilaku yang harus dihindari (Forsyth dalam Gladding, 1995). Norma biasanya berkembang sangat lambat sehingga sering kali tidak dipermasalahkan sampai benar-benar terjadi pelanggaran. Norma pada dasarnya memudahkan kelompok untuk bekerja meskipun tidak semua norma produktif (Wilson&Hanna dalam Gladding 1995). Tujuan lain yang berhubungan dengan tugas dalam norma kelompok adalah komitmen (Maples dalam Gladding, 1995). Komitmen menjadi bagian sentral, pada saatnya nanti para anggota kelompok bekerja secara individual berdasarkan tugas-tugas kelompok yang telah diembankan pada masing-masing anggota untuk mencapai tujuan bersama.
 Norming biasanya diekspresikan oleh perilaku dan perasaan para anggota kelompok. Meskipun sulit untuk mengukur dampak dari emosi pada kelompok, ada cara-cara konkret dan ilmiah untuk menguji perilaku pada periode ini. Salah satu caranya adalah hubungan antar teman. Metode ini menggunakan teori yang didasarkan atas penelitian kepribadian atau dinamika kelompok yang disebut SYMLOG (System for the Multiple Level Observation of Groups) (Bales dalam Gladding, 1995).
Model SYMLOG menghasilkan diagram bidang yang menggambarkan bagaimana anggota kelompok dinilai dengan tiga dimensi: (a). dominan versus kepatuhan (dominance versus submissiveness); (b). ramah versus ketidakramahan (friendliness versus unfriendliness); (c). ekspresif secara instrumental versus secara emosional (instrumentally versus emotionally expressive). Model ini juga menghasilkan 26 peranan yang ditemukan dalam kelompok. Dengan menggunakan SYMLOG, dinamika interaksional dan kepribadian kelompok dapat dipahami dengan lebih baik karena sifat homogen dan heterogen kelompok dapat didefinisikan dengan lebih jelas.
Norming dapat dieskpresikan dengan tindakan-tindakan anggota kelompok atau pemimpin kelompok. Beberapa teknik human relation dan specific skill kelompok dapat digunakan dalam proses ini. Keterampilan-keterampilan tersebut dapat meliputi: (1) Mendukung (supporting); (2) Memberikan empati (empathizing); (3) Memberikan kemudahan (facilitating); (4) Keterbukaan diri (self disclosure); (5)
(1)   Mendukung (supporting), yaitu tindakan memberi dukungan atau dorongan pada orang lain. Hasilnya adalah tindakan-tindakan baru dan positif yang lebih spontan dan kreatif.
(2)  Memberikan empati (empathizing), yaitu meletakkan diri pada posisi lain untuk mencoba merasakan persepsi dan emosi orang lain (Brammer dalam Gladding, 1995). Pada periode norming, empati dilakukan untuk kepentingan khusus. Para anggota harus dapat menangkap pesan verbal meupun nonverbal dari anggota lain dan bersikap responsif.
(3)  Memberikan kemudahan (facilitating) berkaitan dengan penggunaan pola komunikasi yang jelas dan langsung. Bagian dari pola ini adalah memastikan bahwa pesan dikirim dan diterima dengan baik sehingga masalah-masalah yang terpendam tidak muncul belakangan dan merusak keutuhan kelompok.
(4)  Keterbukaan diri (self disclosure) merupakan tanda yang paling kuat untuk menunjukkan kepercayaan dalam kelompok, yakni mengungkapkan informasi pribadi yang belum diketahui oleh anggota lain sebelumnya (Jaurand dalam Gladding, 1995). Keterbukaan ini meningkat saat peserta merasa aman, dan hasilnya adalah runtuhnya hambatan komunikasi antar individu dan tumbuhnya rasa kebersamaan.
 Bila proses norming berhasil baik, maka kelompok akan siap melangkah pada proses perkembangan selanjutnya, yaitu tahap kerja. Anggota akan merasa terhubung dengan kelompok dan menjadi lebih produktif. Norma memberikan pedoman untuk menjalankan organisasi. Norma menjadi tolok ukur tingkat keberhasilan mereka baik secara individu maupun secara kelompok. Secara garis besar, norming dapat membantu individu merasa nyaman dalam kelompok.

3.     Tahap Kerja (Performing Stage)
Menurut Gladding (1995) terdapat enam tahapan dalam fase kerja yakni: (a) Peer Relationship (b) Task Processing During the working Stage (c) Teamwork and Team Building During the Working Stage (d) Problems in the Working Stage of Groups (e) Strategies for Assisting Groups in the Working Stage (f) Outcomes of the  Working Stage.
 Peserta lebih akrab setelah masalah dipecahkan. Perasaan empati, keharuan, perhatian penuh, dan kedekatan emosional kelompok berangsur-angsur tumbuh. Keterpaduan dan kekompakan biasanya bertambah dalam kelompok. Hal ini sebagai akibat interaksi antar anggota kelompok dan pemahaman masing-masing anggota kelompok yang lebih baik. Hal lain yang berpengaruh terhadap hubungan antar anggota kelompok adalah keterbukaan diri (self-disclosure). Keterbukaan diri merupakan aktivitas multi dimensional. Keterbukaan diri meliputi mendengar dan menerima umpan balik dan juga berbicara. Keterbukaan diri dihubungkan dengan banyak faktor lain seperti tipe kelompok, tingkat penyingkapan yang lain, norma kelompok, dan timing atau ketepatan waktu.
Perhatian utama dalam tahapan kerja adalah produktivitas kinerja. Masing-masing anggota kelompok terfokus pada peningkatan kualitas kinerja untuk mencapai tujuan individu dan kelompok. Ada tiga cara untuk mencapai produktivitas yang tinggi diantaranya adalah: (1) saling memuji keunggulan masing-masing anggota kelompok; (2) role playing; (3) home work (pekerjaan rumah). Cara yang pertama adalah dengan cara saling memuji keunggulan masing-masing anggota kelompok (Yalom dalam Gladding 1995). Cara lain yang dapat ditempuh untuk meningkatkan produktivitas kelompok adalah melalui Role Playing (bermain peran). Sebab dalam bermain peran, anggota kelompok berkesempatan untuk mengekspresikan identitas  yang berbeda jauh dari identitas mereka saat ini. Teknik psikodrama ini dapat membantu anggota kelompok untuk membayangkan suatu kondisi sebelum situasi/ kondisi tersebut benar-benar terjadi di dalam kelompok.
Hal yang sangat penting dalam proses bermain peran adalah adanya kepercayaan dan perhatian setiap anggota kelompok. Proses bermain peran akan berjalan dengan optimal dan menghasilkan banyak keuntungan jika masing-masing anggota kelompok fokus terhadap peran yang dimainkannya, manfaat yang dapat diambil diantaanya adalah anggota kelompok dapat mengeveluasi proses bermain peran yang telah dilakukan, pemimpin kelompok dapat mengevaluasi hikmah, konsekwensi, alternative solusi dari permasalahan yang timbul dalam proses bermain peran tersebut.
Tugas rumah (home work) adalah salah satu cara yang dapat meningkatkan produktivitas kinerja (Gazda dalam Gladding, 1995). Setiap anggota kelompok dituntut untuk mampu mengaplikasikan berbagai hal yang telah ia dapatkan di dalam kelompok. Terdapat beberapa keuntungan ketika anggota kelompok mempraktikannya dalam kehidupan sehari-hari diantaranya adalah ia akan mendapatkan pengalaman dalam kehidupan nyata, sekaligus ia mendapatkan ilmu untuk di bawa kembali dalam kelompoknya.
Dimensi terkhir yang dapat meningkatkan produktivitas kinerja kelompok adalah inkorporasi (incorporation). Ketika tahapan kerja kelompok berakhir, anggota akan merasakan dan mengetahui apa yang ingin dicapai dan bagaimana cara untuk mencapainya. Melalui inkorporasi, anggota kelompok akan menyadari nilai yang selama ini dibangun di dalam kelompok sehingga  dapat langsung mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
Kerja kelompok dan membangun tim, merupakan hal yang penting dalam tahapan kerja kelompok. Kelompok adalah sejumlah orang yang bergaul bersama dalam suatu aktivitas. Hasil dari kinerja kelompok nampak dalam kompetisi atletik dan artistic, yakni ketika anggota kelompok beraktivitas dalam satu koordinasi untuk mencapai tujuan, seperti permainan mencapai titik angka atau menari dan mengkoordinasikan gaya. Kondisi kelompok dapat menambah semangat yang memungkinkan kelompok membangun kerjasama yang efektif. Proses membangun tim (team building) memerlukan waktu dan pola kelebihan waktu yang berbeda.
Masalah yang seringkali muncul dalam tahap kerja adalah: (1) Racial and Gender Issues (2) Group Collusions. Di antara masalah spesifik yang tumbuh selama tahapan kerja adalah rasa takut dan perlawanan, menantang pimpinan, kurang fokus pada pencapaian tujuan individu dan kelompok. Masalah-masalah dapat diungkapkan dalam banyak cara, diantaranya dengan cara emosional dan proyeksi atau menyalahkan anggota kelompok yang lain dan menarik diri dalam aktivitas kelompok. Isu-isu di luar kelompok yang juga dapat mempengaruhi suasana kelompok adalah isu gender atau ras dan/atau kolusi kelompok (group collusion).
Beberapa strategi yang dapat digunakan dalam fase kerja ini di antaranya adalah: (a) Modeling; (b) Exercises; (c) Group Observing Group; (d) Brainstorming; (e) Nominal- Group Techniqu;e (f) Synectics; (g) Written Projections; (h) Group Processing.
a).  Modeling adalah metode yang digunakan untuk mengajarkan perilaku yang kompleks pada anggota kelompok dalam periode waktu yang singkat dengan cara menyalin (copying) atau mencontoh (imitating). Modeling sangat tergantung pada timing, reinforcement (penguatan) dan banyaknya umpan balik positif yang diterima. Borgers dan Koengs dalam Gladding (1995) menekankan bahwa dalam modeling, anggota kelompok akan meniru pemimpin dan anggota kelompok yang lain dalam berbagai hal.
b). Pengertian exercise digunakan antara lain oleh pimpinan kelompok untuk menghubungkan keadaan aktivitas kelompok dengan tujuan kelompok. Persoalan yang masih menjadi perbedaan pandangan adalah: (a). apakah latihan direncanakan terlebih dahulu untuk digunakan dalam kelompok; (b). kapan latihan digunakan?

4.     Tahap Terminasi (termination stage)
Menurut Galdding (1995) tahap terminasi adalah tahap yang tidak kalah pentingnya dengan tahap pembentukkan kelompok. Dalam proses pembentukan kelompok, setiap anggota kelompok berusaha untuk saling mengenal dan memahami karakterisik masing-masing anggota kelompok; dalam tahap terminasi anggota kelompok mencoba untuk mengenal dan memahami lebih dalam lagi.
Tahap terminasi dalam konseling kelompok dibagi menjadi tujuh bagian yakni: (a) Preparing for Termination (b) Effects of Termination on Individual (c) Premature Teermination (d) Termination of Group Sessions (e) Termination of a Group  (f) Problems in Terminations (g) Follow-up Session.(Gladding, 1995).
a) Preparing for Termination
 Pemimpin kelompok harus memiliki perencenaan aktivitas kelompok yang baik, berapa lama pertemuan kelompok, kapan aktivitas akan berakhir, media apa saja yang diperlukan, tempat pelaksanaan dan pihak lain yang terlibat dalam aktivitas kelompok tersebut.
Secara umum tahap terminasi ini terbagi menjadi dua bagian yaitu: pada akhir masing-masing sesi dan pada akhir pertemuan kelompok. Keduanya melalui beberapa proses terminasi yaitu: (1) orientasi; (2) hasil/ kesimpulan; (3) diskusi yang terpusat pada tujuan; (4) tindak lanjut. (Epstein & Bishop dalam Gladding, 1995).
Pada saat sesi kelompok akan segera berakhir, pemimpin kelompok biasanya menginformasikan kepada anggota kelompok bahwasanya waktu yang telah disepakati tinggal tersisa 5 sampai 30 menit lagi, kemudian menanyakan apa hasil yang telah dicapai dan bagaimana tindak lanjutnya. Sesi ini sangat penting karena terukurnya sesi kelompok berhasil atau tidak bergantung pada sesi ini.

b) Effects of Termination on Individual
Perilaku anggota kelompok diakhir sesi konseling menunjukkan hal-hal yang terpikir dan terasa sebagai hasil dari pengalamannya di dalam kelompok ( Luft dalam Gladding, 1995). Ada anggota kelompok yang tergantung pada kelompok, sehingga ia merasa tidak berdaya jika tidak mendapat dukungan dari kelompok lagi, ada juga anggota kelompok yang merasa sedih, karena khawatir tidak dapat bertemu kembali dengan anggota kelompok lainnya, atau bahkan ada anggota kelompok yang marah, karena mungkin ada harapan yang tidak terpenuhi selama sesi konseling kelompok. Kesemuanya merupakan dinamika yang menambah keindahan dalam konseling kelompok.
Menurut Gladding (1995) langkah terbaik untuk mengakhiri sesi konseling kelompok adalah dengan merefleksikan pengalaman masing-masing anggota kelompok dan menimplikasikannya dalam aktivitas penututp dalam sesi kelompok. 
Hal yang harus diwaspadai oleh pemimpin kelompok adalah adanya anggota kelompok yang mungkin merasa tidak membutuhkan konseling kelompok, maka solusi yang diambil adalah:
(1)  konseling individual; diperuntukan bagi anggota kelompok yang memiliki masalah yang unik dan memerlukan penanganan khusus.
(2)  referral kepada kelompok lain; diperuntukkan bagi anggota kelompok yang memiliki karakteristik masalah yang berbeda dengan kelompok.
(3)  recycling; diperuntukkan bagi anggota kelompok yang menginginkan untuk tidak lagi bergabung degan kelompok.
c) Premature Termination
Terkadang anggota kelompok meninggalkan kelompok sebelum sesi kelompok berakhir. Menurut Gladding (1995) secara umum ada dua tipe premature termination yakni: (1) Premature Termination of the Group as  a Whole (2)  Premature Termination Intiated by Group Members.
(1).  Berakhirnya sesi konseling sebelum waktunya. Hal ini mungkin terjadi akibat ulah pemimpin atau anggota kelompok. Pemimpin kelompok mengakhiri sesi konseling di awal mungkin karena ia sakit atau ia ada pekerjaan lain yang lebih penting dan tidak dapat di tunda sehingg anggota kelompok merasa tidak lengkap tanpa kehadiran pemimpin kelompok dalam sesi konseling dan akhirnya aktivitas kelompok bubar.
(2).   Keluarnya anggota kelompok sebelum sesi konseling kelompok berakhir. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal diantaranya adalah: (a) external factor; (b) group deviciency; (c) problem of intimacy; (d) fear of emotional contagion; (e) inability ti share the doctor; (f) complications of concurrent individual and group therapy; (g) early provocateurs; (h) inadequate orientations to therapy; (i) complications arising from subgrouping.
d) Termination of Group Sessions
Menurut Gladding (1995) terdapat sejumlah cara untuk mengakhiri sebuah sesi konseling kelompok. Diantaranya ialah: (1) Member Summarization; (2) Leader Summarization; (3) Rounds; (4) Dyads; ( 5) Written Reactions; (6) Rating Sheets; (7) Homework .
(1)   Member Summarization. Dengan cara ini beberapa anggota kelompok diminta untuk merangkum hasil dari pertemuan aktivitas kelompok. Setiap minggunya bergantian secara sistematis, sehingga aktivitas kelompok terasa tidak membosankan.
(2)  Leader Summarization, dengan cara ini pemimpin kelompok akan merangkum dan mengomentari setiap anggota kelompok yang hadir dalam sesi konseling kelompok.
 (3)   Rounds, cara ini adalah bentuk lain dari member summarization.
(4)   Dyads, dengan cara ini kelompok akan dibagi menjadii sub kelompok yang terdiri dari dua orang, kemudian masing masing anggota kelompok mengomentari hasil dari sesi konseling kelompok.
 (5)  Written Reactions, dengan cara ini masing-masing anggota kelompok diminta untuk menuliskan kritik, saran dan hasil yang diperoleh dari sesi konseling kelompok.
 (6) Rating Sheets, dengan cara ini anggota kelompok diminta untuk menuliskan apa yang paling berkesan saat aktivitas konseling kelompok, siapa anggota kelompok yang paling memberikan inspirasi dan lain sebagainya.
 (7)    Homework, cara ini adalah cara yang paling lumrah dilakukan, yaitu dengan cara memberikan pekerjaan rumah yang akan dikumpulkan pada sesi konseling kelompok berikutnya.
 e) Termination of a Group
Pembubaran dalam kelompok biasanya dipengaruhi oleh perpaduan kondisi emosi dan perampungan tugas-tugas kelompok. Inilah saatnya ketika perilaku anggota kelompok berubah (Davies dalam Gladding, 1995).
Secara umum konseling kelompok akan berakhir ketika kelompok telah merampungkan misi-misinya. Menurut Jacobs dalam Gladding (1995) ada tujuh kemampuan yang selayaknya dikuasai oleh masing-masing anggota kelompok agar sebelum melaksanakan tahap pembubaran diantaranya adalah: (1) mengulang dan meringkas pengalaman kelompok (reviewing and sumarizing the group experience); (b) menetapkan perubahan dan perkembangan yang dikuasai anggota kelompok (assessing member’s growth, change); (3) menyelesaikan permasalahan (finishing business); (4) membuat keputusan-keputusan yang dapt diterapkan dalam kehidupan sehari-hari (applying change to everyday life); (5) menyediakan wadah penyaluran minat dan bakat (providing feedback); (6) menangani pengucapai selamat tinggal (handling good byes); (7) merencanakan pertemuan tindak lanjut (planning for continued problem resolution).
 f) Problems in Terminations
Dalam pembubaran konseling kelompok biasanya akan selalu muncul masalah diantaranya adalah sebagai berikut: (1) Denial (2) Tranference (3) Countertransference (4) Handling Termination Correctly.
(1) Penolakan adalah suatu aksi anggota kelompok yang menolak untuk pembubaran kelompok. Untuk menangani masalah ini pemimpin kelompok harus mampu meyakinkan anggotanya bahwa akan ada pertemuan pasca pembubaran sebagai tindak lanjutnya.
(2)   Transference adalah pemindahan pengaruh dari salah seorang anggota kepada anggota lainnya, atau dari suatu situasi ke dalam situasi lainnya. Hal ini akan mengganggu karena jika pengaruh yang ditularkannya adalah pengaruh negative, maka akan merambat pada anggota lain. Cara mengatasinya adalah hendaknya pemimpin kelompok bersikap bijaksana dalam menangangi pengaruh tersebut.
(3)   Countertreansference adalah reaksi emosional dari pemimpin kelompok sebagai reaksi dari transference anggota kelompok. Countertransferance terjadi ketika pimpinan kelompok mengalami kecemasan atau kekhawatiran yang tinggi. Untuk mengatasi masalah ini hendaknya meminta bantuan ahli untuk dilakukan konseling individual.
(4)   Pada dasarnya tidak ada teknik yang paling baik dalam proses pembubaran kelompok, namun ada beberapa ciri pembubaran kelompok yang tidak baik diantaranya adalah: (a) adanya persoalan kelompok yang belum terselesaikan; (b) tidak adanya tindak lanjut.

 (g) Follow-up Session
.Pertemuan tindak lanjut adalah suatu prosedur komunikasi untuk mengumpulkan kembali anggota kelompok setelahnya mereka menerapkan berbagai hal yang ia dapatkan dalam kehidupan sehari-hari. Ada beberapa cara untuk menindaklanjuti pertemuan kelompok yang telah dibubarkan, diantaranya adalah: (1)arrange for a private interview; (2) reunion; (3) evaluations questionnaire. (Gladding, 1995).
 Pertama, mengatur jadwal berbincang dengan anggota kelompok, pembicaraan berkenaan dengan kesepakatan waktu pertemuan berikutnya, tujuan pertemuan, dan kondisi anggota kelompok saat ini.
Kedua, menindaklanjuti satu pertemuan dengan melakukan reuni kelompok setelah tiga bulan atau enam bulan dari waktu pembubaran.  Cara yang paling efektif adalah dengan mengumumkannya sebelum pembubaran kelompok.
Ketiga, dengan membuat evaluasi. Setidaknya mencakup tiga hal yakni: (1) hubungan dengan kepemimpinan kelompok (the leadership of the group); (2) fasilitas yang digunakan selama konseling kelompok (the facilities in which the group was held); (3) pencapaian tujuan kelompok (the effectiveness if the group in achieving it’s object).


Referensi :

Rusmana, Nandang. (2009). Bimbingan dan Konseling Kelompok : Metode, Teknik dan Aplikasi. Bandung. Rizki Press.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Penguatan Integrasi Pendidikan

PENGUATAN INTEGRASI PENDIDIKAN DALAM ERA DISUPSI Oleh :  Asep Rohiman Lesmana, M.Pd. Pendidikan merupakan suatu entitas yang s...