Kamis, 30 April 2020

Konsep Dasar Terapi Permainan Kelompok


Konsep Dasar Terapi Permainan Kelompok

Oleh :
Iman Lesmana


1.   Definisi dan Tujuan  Terapi Permainan Kelompok
Sweeney and Homeyer (1999:5) mendefiniskan play therapy sebagai berikut:
 a dynamic interpersonal relationship between a child and a therapist trained in play therapy procedures who provides selected play materials and facilitates the development of safe relationship for the child to fully express and explore self (feelings, thoughts, experiences, and behaviors) throught the child’s natural medium of communication, play”.
Pengertian yang terkandung dalam pendapat ini adalah play therapy merupakan hubungan dinamik antara terapis-anak melalui permainan sehingga mereka mampu mengeksplorasi dan mengekspresikan diri. 
Asumsi yang mendasari penggunaan play therapy adalah bermain merupakan  cara alamiah anak untuk mengekpresikan kebutuhan, dan melalui bermian pula anak secara simbolis mencoba mengatasi ketakukan dan trauma yang mereka alami. Hal ini sejalan dengan pandangan  Sweeney and Homeyer dalam Russ (2004) yang menyatakan bahwa “play therapy is a primary, and usually the most appropriate intervention for children, play is a natural expressive language of children”.
Sweeney and Homeyer (1999) menambahkan bahwa terdapat  sembilan   keuntungan dari terapi permainan kelompok, yaitu (1) kelompok dapat meningkatkan spontanitas anak sehingga  level partisipasi mereka juga tinggi, (2) terapi permainan kelompok dapat merespon dua persoalan sekaligus yaitu dimensi intrapsikis dan interpersonal anak, (3)  dalam adegan kelompok memungkin untuk terjadi  refleksi dan katarsis,  (4) terapi permainan kelompok merupakan kesempatan bagi anak untuk mencapai self-growth dan self-exploration, (5) melalui terapi permaian kelompok (group play  therapy anak lebih didekatkan dengan realitas kehidupan sebenarnya, (6) karena terapi permainan kelompok ibarat miniatur masyarakat maka anak akan memahami makna kehadiranya bagi anak-anak yang lain, (7) adegan dalam terapi permainan kelompok dapat mengurangi kecenderungan anak berfantasi dalam menyelesaikan masalah yang dialaminya, (8) anak memiliki peluang untuk mempraktekkan pada kehidupan sehari-hari pengalaman yang diperoleh dalam  terapi permainan kelompok, dan (9) kehadiran satu atau beberapa orang anak mungkin dapat membantu dalam pengembangan hubungan terapetik bagi beberapa orang anak.
Anak-anak belajar mengenal dirinya dalam terapi permainan kelompok. Mereka belajar karena mereka dipersilahkan berkomunikasi dengan bahasa mereka, yaitu bahasa bermain. Melaui permainan dan mereka belajar melalui apa yang mereka dengar dan mengamati persepsi ahli terapi dan anak-anak lain terhadap mereka. Anak-anak belajar bahwa menjadi seseorang dengan jati diri mandiri bukan hanya dianjurkan dan diterima melainkan juga dinilai dengan penghargaan. Di dalam suatu kelompok, kerjasama merupakan hal yang penting, dan kesediaan mengikuti keinginan orang lain kadang-kadang merupakan sesuatu yang sangat dianjurkan. Pada saat yang sama, kreativitas dan orijinalitas merupakan sesuatu yang dihargai.
 Vander Kolk dalam Russ (2004) mengemukan manfaat-manfaat terapi permaian kelompok adalah (1) menerima seorang anak secara penuh, (2) semata-mata mengajak bermain tanpa uraian panjang-lebar, tanpa menentukan sasaran, tanpa alasan yang tak perlu, tanpa bertanya-tanya, atau tanpa perkecualian, (3) membantu anak-anak belajar mengekspresikan diri dan menikmati indahnya dihargai, (4) membolehkan tetapi tidak mendorong prilaku menyimpang pada awal terapi, (5) membolehkan semua “prilaku simbolik” sambil membatasi prilaku destruktif, (6) mencegah anak-anak untuk saling menyerang secara fisik, (7) memberlakukan batasan-batasan secara lembut, bukan dengan jalan mengkritik, dan ringkas (tidak bertele-tele); (8) memberitahu batasan-batasan hanya bilamana diperlukan, dan (9) merasakan dan menyatakan empati.
2.   Terapi Permainan Kelompok sebagai Alternatif Model  Psikoterapi.
Penggunaan terapi permainan sebagai alternatif model dalam psikoterapi memang sempat diragukan oleh para ahli. Menurut Sweeney & Homeyer (1999) dewasa ini, kecenderungan untuk menganggap terapi kelompok sebagai sesuatu yang superfisial telah banyak berkurang selama satu dekade terakhir ini, meskipun  belum hilang sama sekali. Masih diyakini bahwa terapi permainan kelompok adalah suatu bentuk terapi yang kurang jelas intervensinya, yang hanya cocok bagi orang-orang yang kekurangan uang atau memerlukan kesabaran yang tinggi  di dalam proses. Namun demikian, pada skala nasional dan internasional, terapi permainan kelompok telah dapat diterima, baik oleh praktisi klinis secara individual maupun oleh agen-agen yang berkecimpung di bidang layanan terapi.
Sweeney & Homeyer (1999) menyatakan dua faktor yang berperan penting bagi perubahan sikap terhadap terapi perimainan kelompok, yaitu (1) terapi permainan kelompok telah mengembangkan suatu teori sistematik dengan prinsip yang dapat diuji melalui metode ilmiah dan memiliki akar epistimologi yang jelas sehingga mendorong banyak ahli terapi untuk mencobakan terapi perimainan kelompok sebagai upaya untuk memenuhi tuntutan yang berkembang. 
 (2) Tujuan terapi perimainan kelompok, seperti juga semua terapi, adalah   memberikan efek perubahan dasar bagi keseimbangan yang intrapsikis individu. Melalui hubungan, perolehan kelegaan, kekuatan fikiran, pengujian realitas, dan sublimasi, terapis mendorong timbulnya keseimbangan baru dalam struktur kepribadian, ego yang semakin kokoh, superego yang diserasikan, dan citra-diri yang semakin membaik. Pengalaman pribadi yang diperoleh menjanjikan efek-efek penyembuhan pada orang yang diperlakukan secara tidak wajar.
Menurut Ginott dalam Sweeney & Homeyer (1999) dalam mengevaluasi suatu pendekatan terapi,  sekurang-kurangnya ada enam pertanyaan yang  harus terjawab lebih dahulu, yakni: (1) apakah metode yang digunakan dapat memfasilitasi atau  menghambat terbangunnya suatu hubungan terapis, (2) apakah metode tersebut memperlancar atau  menghambat upaya melahirkan ide pemulihan emosi, (3) apakah metode ini membantu atau  mementahkan pencapaian kekuatan berfikir, (4) apakah metode ini menambah atau  mengurangi kesempatan untuk pengujian realita, (5) apakah metode ini membukakan atau menutup jalur-jalur sublimasi (upaya mengarahkan-ulang yang mengacu pada tujuan yang lebih luhur yang berselaras dengan cita dan aspirasi manusia beradab). 
Bila pertanyaan tersebut diarahkan pada terapi permainan kelompok, maka menurut Sweneey dan Homeyer (1999) jawaban adalah:
Apakah terapi permainan kelompok memfasilitasi atau  menghambat terbangunnya suatu hubungan terapeutik? Kehadiran beberapa anak nampaknya memfasilitasi terbangunnya hubungan yang diinginkan antara terapis dengan anak. Penetapan kerangka kelompok ternyata bermanfaat selama berlangsungnya pertemuan pertama. Perjumpaan dengan terapis sering menakutkan bagi anak.   Anak tadi merasa enggan untuk berpisah dari ibunya dan harus mengikuti seorang yang asing dalam sebuah ruangan yang dirasakan asing. Rasa takut anak akan berkurang karena ditemani oleh dua atau tiga anak seusianya.
 Dalam terapi individual, merupakan hal yang lumrah bagi seorang anak untuk merasa tidak nyaman pada pertemuan pertama, menarik diri sepenuhnya, tidak berani berbicara sepatah katapun atau menyentuh sepotong mainan pun sepanjang pertemuan. Dalam terapi permainan kelompok, kehadiran anak-anak lain terasa menimbulkan iklim yang santai, mengurangi rasa tegang, dan menstimulir aktivitas dan partisipasi. Kelompok itu berfungsi “menghimbau” munculnya spontanitas dan anak-anak mendekatkan dirinya dengan  terapis  serta membangun perasaan percaya  secara lebih pasti dibandingkan  dalam terapi individual.
Kelompok  memberikan kesempatan hubungan multilateral yang tidak terdapat pada terapi permainan individual. Selain menerima dan menghormati kepercayaan orangtua yang telah mendelegasikan penanganan anaknya, kelompok  juga menawarkan banyak sekali model identifikasi dan contoh ideal ego kepada anak. Anak-anak mengidentifikasi dirinya bukan dengan terapis saja, melainkan juga dengan anggota-anggota lainnya dari kelompok tersebut.  Seorang anak laki-laki yang berpenampilan keperempuan-perempuanan, misalnya, dapat membangkitkan kekuatan egonya dengan cara berkawan dengan seorang teman bermain yang maskulin dan mau menerima dirinya, dan seorang anak yang terbiasa terlalu dilindungi bisa menjadi lebih independen dengan cara mengenali dirinya sendiri dengan bergabung pada anggota-anggota kelompok yang lebih mandiri.
Anak-anak yang agak penghayal yang hidup sangat jauh dengan dunia nyata, gemar berfantasi berlebihan, dicobakan untuk masuk ke dunia realita oleh kawan-kawannya dari kelompok yang lebih terbuka. Anak-anak yang hiperkinetik, di sisi lainnya bisa menjadi kurang aktif dan lebih introspektif di bawah dengan kendali dari teman-teman sekelompok yang lebih tenang. Hasilnya adalah bahwa keduanya baik anak yang bersifat suka menarik diri dan anak yang aktif secara berlebihan mencapai keseimbangan yang lebih sehat antara dunia pribadinya yang dipenuhi fantasi dan dunia terbuka yang menampilkan realita.
Fokus perlakuan  dalam terapi perrmain kelompok adalah anak secara perorangan. Tidak perlu ada sasaran kelompok  dan  kohesi kelompok yang harus ditentukan. Setiap anak dapat melibatkan dirinya  dalam kegiatan yang tidak ada hubungannya dengan anggota-anggota lainnya. Kelompok-kelompok kecil membentuk dan membubarkan diri secara spontan sesuai dengan minat anak yang selalu berubah-ubah. Namun demikian hubungan interpersonal  merupakan suatu unsur yang penting  dalam terapi permainan kelompok. Proses terapi berdasarkan kenyataan bahwa setiap anggota kelompok dapat berstatus sebagai pemberi dan bukan hanya sebagai penerima bantuan. Seperti yang diringkaskan oleh Hobbs dalam Sweeney (1999): “ dalam terapi permainan kelompok, seseorang dapat mencapai keseimbangan kematangan  antara  status pemberi dan status penerima,  antara keadaan bergantung pada diri sendiri dan bergantung seperlunya secara realistik kepada orang lain”
Dalam terapi permainan kelompok, terdapat juga resiko yang harus diambil. Sebagai contoh, seorang anak yang dikucilkan oleh kelompok berkemungkinan mengalami kembali gejala trauma awal dan berperilaku yang bersifat merusak. Namun demikian, bahaya-bahaya seperti itu tidak merupakan bagian dari kelompok melainkan merupakan hasil dari pengelompokan yang keliru. Sama halnya seperti terapi kelompok dewasa, klien dalam terapi permainan kelompok harus dikelompokkan demi dampak terapis dari  masing-masing peserta.
Apakah terapi permainan kelompok   memperlancar atau  menghambat pemulihan emosi?. Anak-anak sangat berbeda dalam mempergunakan medium pemulihan emosi mereka dan memilih cara untuk “memainkan” atau “mengutarakan” masalah-masalah mereka. Medium terapis yang paling cocok bagi anak-anak usia belia adalah permainan. Istilah terapi permainan sering disalah-artikan oleh para guru dan orangtua. Seperti pernah terlontar pernyataan dari seorang guru tentang anak-anak didalam terapi: “yang mereka butuhkan adalah pengurangan waktu bermain, bukan lebih banyak bermain.” Dalam terapi, istilah permainan dan bermain tidak berkonotasi makna rekreasional seperti biasanya, melainkan berekuivalensi dengan kebebasan beraksi dan bereaksi, menerima dan mengekspresikan perasaan, menaruh prasangka dan menghargai orang lain.
 Dalam suasana atau iklim yang aman, dapat  dikatakan bahwa permainan dan bermain adalah bahasa paling alami dari seorang anak untuk mengekspresikan dirinya. Melalui permainan, anak dapat menyatakan bagaimana ia merasakan siapa dirinya dan orang-orang yang berarti dalam hidupnya dan peristiwa-peristiwa yang dialami didalam kehidupannya. Bilamana terapis  mengerti bahasa permainan si anak dan mampu mengkomunikasikan pemahamannya, si anak biasanya mengalami kemajuan  dalam mengekspresikan perasaannya yang baru dengan cara yang lebih mendalam. Urutan-urutan kegiatan bermain anak dan respon yang diberikan oleh terapis kemudian menjadi percakapan psikologis dengan bahasa yang dimengerti  dan dihargai oleh anak.
 Perlu untuk diperhatikan bahwa  dalam menangani anak-anak yang masih belia tidak terlalu verbal dan terlalu “berdasarkan bahasa buku teks.” Bahkan tidak selalu perlu bagi anak-anak yang agak dewasa untuk menyatakan semua perasaannya secara verbal. Bahasa simbol mainan sudah sangat jelas dan membawa arti bagi sebagian besar anak-anak dan sering sudah cukup bagi mereka untuk “menyatakan” masalah melalui  bahasa permainan mereka sendiri. Banyak kesalahan besar dalam terapi anak-anak yang dilakukan oleh  orang dewasa yang mencoba memberikan kedalaman fikiran mereka kepada anak-anak yang lebih muda dengan  bahasa simboliknya melalui permainan. Memaksa anak-anak untuk menyatakan fikiran dan perasaannya secara verbal adalah bagaikan mengharuskan mereka bercakap-cakap dengan menggunakan bahasa asing.
Terapi permainan kelompok merupakan upaya untuk melahirkan ide pemulihan emosi, yaitu melalui permainan dan verbalisasi sehingga setiap anak dapat menggunakan cara simbolik untuk mengekspresikan keinginannya. Pemulihan emosi simbolik selalu bersifat lebih terapis dibandingkan dengan cara memperagakan langsung. Lebih berguna selama terapi  jika anak  menendang boneka ibu daripada ibu sungguhan, menembak boneka bayi daripada bayi sungguhan, dan menusuk boneka ayah daripada ayah sungguhan.
 Dalam terapi individual, pemulihan emosi sebagian besar bebas dari bimbingan. Yang tampak  dalam terapi adalah anak  bergerak secara  bebas dari satu kegiatan ke kegiatan lainya dan dari satu permainan ke permainan lainnya. Kegiatan-kegiatan yang nampaknya tidak berhubungan, seperti  kegiatan verbal yang  bebas dari campur tangan orang dewasa, dapat membimbing ke arah munculnya tema-tema yang berhubungan dengan masalah utama anak
Terapi permainan kelompok mempunyai kelebihan dibandingkan dengan perlakuan secara individu dalam kaitannya dengan pemulihan emosi. Selain “pemulihan emosi yang bebas bimbingan,” terapi permainan kelompok juga memberikan kesempatan untuk menjadi orang lain dalam  merasakan sesuatu” dan yang bersifat “membujuk” (Slavson dalam Sweeney, 1999). Banyak anak-anak, terutama yang penakut, berpartisipasi secara sembunyi-sembunyi sebagai penonton pada kegiatan-kegiatan yang mereka sangat ingin ikuti tetapi mereka merasa takut. Kelompok dapat mempercepat timbulnya perasaan permisif pada anak-anak. Bilamana seorang anak tampil dalam  “kegiatan yang berani”, maka anak-anak lain juga merasa mudah untuk melakukan hal yang sama. Anak-anak yang merasa takut untuk memulai kegiatannya sendiri memperoleh keberanian melakukan hal yang sama dengan ditemani oleh anak-anak sepermainannya. Seolah-olah mereka menyadari bahwa ruangan bermain itu  adalah “daerah aman” di mana mereka bisa beristirahat ataupun berteriak tanpa rasa takut.  
Dramatis rasanya menyaksikan seorang anak yang berdiri di pojok ruangan, tidak berani melangkahkan kakinya tetapi dengan sorot mata yang penuh keinginan untuk turut serta  dalam kegiatan yang sedang berlangsung, bagaimana matanya membelalak ketika anak lelaki lain mencampakkan boneka bayi atau menembak boneka ibu. Dapat dicermati bagaimana anak-anak berpindah dari pengamatan pasif  ke keterlibatan sesekali  dalam kegiatan-kegiatan awal, dan akhirnya sampai ke tingkat kerjasama dengan anak-anak lain.
Harus ditekankan disini bahwa pelampiasan dan pelepasan ketegangan selalu dipicu oleh adanya keeratan hubungan. Hal ini terjadi bilamana ada kepercayaan  antara anak dengan terpis . Hanya  dalam suasana yang aman  anak-anak merasa bebas untuk mengungkapkan tahapan-tahapan emosional yang tertahan sebelumnya dan melepaskannya  dalam lingkungan yang lebih sehat dan kondusif.
Apakah terapi permainan kelompok membantu ataukah mementahkan pencapaian kekuatan berfikir?  Tidak terdapat hubungan langsung antara kekuatan berfikir dengan penyesuaian diri. Banyak orang dengan gangguan kejiwaan yang serius yang bertumpu pada dinamika kepribadian mereka, sementara itu banyak sekali orang yang disebut-sebut sebagai  normal namun memiliki i kekuatan berfikir yang relatif kecil untuk dapat  menggerakkan motivasi perilaku mereka.
Pernyataan ini  bukan untuk mengecilkan arti kekuatan berfikir, tetapi untuk menunjukkan keterbatasannya sebagai suatu katalisator perubahan dalam terapi. Sering terjadi kekuatan berfikir lebih merupakan hasil dan bukan merupakan sebab suatu terapi, yang didapat oleh orang-orang yang telah tumbuh secara emosional dan siap untuk berkenalan dengan orang-orang yang tidak berkesadaran. Hal ini berlaku bagi orang dewasa dan anak-anak. Melalui pertumbuhan emosional, anak-anak memperoleh kesadaran yang lebih mendalam mengenai diri sendiri dan mengenai hubungan-hubungannya kepada orang-orang penting  dalam kehidupan mereka. Kekuatan berfikir ini seringkali mengakar dan diperoleh tanpa bantuan interpretasi dan penjelasan. Seperti yang ditunjukkan oleh Slavson dalam Sweeney (1999): “ dalam kegiatan kelompok-kelompok di mana tidak diberikan interpretasi, anak-anak menjadi sadar akan perubahan yang terjadi didalam dirinya sendiri dan sadar tentang motif dan reaksi sebelumnya”.  Dalam terapi permainan kelompok kekuatan berfikir bersifat langsung dan mengakar, baik verbal maupun non-verbal.
Menurut Sweeney (1999) beberapa terapis terkemuka mengemukakan bahwa terapi individual memberikan kerangka yang lebih baik untuk menghasilkan kekuatan berfikir dibandingkan dengan terapi kelompok. Mereka percaya bahwa  hanya perlakuan individual yang dapat memberikan keamanan dan keberanian kepada pasien untuk menghadapi ketidaksadaran mereka. Hal ini mungkin benar adanya dalam terapi orang dewasa. Namun demikian, pengalaman dengan kelompok-kelompok anak-anak usia belia telah menunjukkan bahwa stimulasi timbal balik ide dan perasaan dan pengaktifan emosional yang saling menguntungkan  membawa kekuatan berfikir cerdas ke permukaan.
Apakah terapi permainan kelompok menambah atau  mengurangi kesempatan untuk pengujian realita?. Berbeda dengan perlakuan  individual, terapi permainan kelompok memberikan kerangka sosial yang nyata untuk menemukan dan bereksperimen dengan cara baru  dan lebih memuaskan dalam berinteraksi dengan rekan sebaya. Kelompok membentuk suatu lingkungan di mana kekuatan berfikir dengan cara baru dapat diuji melalui  hubungan-hubungan interpersonal
Kehadiran beberapa anak di ruang bermain berfungsi untuk menancapkan pengalaman terapi  ke dunia realita. Perasaan kekanak-kanakan untuk tampil sebagai yang paling hebat dan ajaib dapat  mengganggu upaya menyesuaikan diri secara baik, yang kemudian diungkap dan dimodifikasi melalui kelompok. Anak-anak saling menolong satu sama lain  untuk menyadari tanggung jawab mereka di dalam hubungan antar perorangan.
Kelompok sebagai  sebuah masyarakat kecil menawarkan motivasi dan dukungan untuk terjadinya perubahan sekaligus merupakan ajang yang aman untuk menguji pola-pola perilaku baru.  Dalam kelompok, seorang anak bukan hanya belajar aspek-aspek apa saja dari perilakunya yang dapat diterima secara sosial,  melainkan  juga belajar apa yang dapat disetujui oleh sesama anggota kelompok. Anak dapat mengamati dan memperoleh pengalaman bahwa berbagi mainan ataupun gagasan itu direstui oleh “kelompok”, selain itu  ia juga  belajar bahwa kontribusinya diharapkan dan diterima oleh kelompok.
Manfaat yang dapat diambil dari kelompok adalah bahwa anak-anak dapat kesempatan memperoleh pengalaman bahwa realita eksternal itu memberikan kepuasan dan berguna. Bagi banyak anak, realita berisi harapan-harapan negatif yang memberatkan. Mereka memandang dunia sebagai sesuatu yang mengerikan dan penuh dengan larangan, dan tidak ada yang bisa diharapkan darinya selain kehancuran. Bagi anak-anak ini, realita terapi yang dikondisikan merupakan pengalaman yang berganti-ganti secara emosional. Mereka memperoleh pengalaman berkelompok, tetapi di dalam kelompok-kelompok itu mereka harus berada di luar dirinya sendiri dan selalu berada dalam pengawasan.  Dalam kelompok-kelompok itulah mereka harus lebih menyembunyikan diri daripada mengungkapkan diri, dan penghalang antara mereka dan orang-orang lain sangatlah besar.
Dalam terapi permainan kelompok, anak-anak didorong untuk menghadapi suatu kualitas baru yang mencakup keakraban hubungan. Mereka belajar bahwa mereka dapat tetap mempertahankan jati diri mereka sesuai keinginan hatinya tetapi masih tetap terlindungi dengan aman, mereka dapat mendekatkan diri kepada hal-hal baru maupun dunia anak dewasa, dan tidak perlu takut terluka hatinya. Dalam suasana aman, anak-anak dapat saling bertatap muka secara langsung dengan penuh kejujuran. Mereka akan meraih, mungkin pertama kali   dalam hidupnya kedekatan emosional dan bukan hanya kedekatan fisik.  
Apakah terapi permainan kelompok membukakan atau  menutup jalur-jalur sublimasi ?, Salah satu tujuan psikoterapi  adalah membantu anak-anak mengembangkan sublimasi yang selaras dengan tuntutan lingkungan.  Kemampuan untuk menerima sebagian, menekan sebagian kecil, dan menyalurkan dorongan primitif merupakan  ciri individu  yang sudah matang.
Berbeda dengan terapi orang dewasa, terapi permainan kelompok menawarkan banyak kegiatan untuk menyalurkan berbagai dorongan primitif. Sebagai contoh misalnya, anak-anak bisa mensublimasikan minat  dalam soal anal dengan cara bermain dengan lumpur dan tanah liat, minat oral dengan cara “memasak” dan “menyajikan makanan,” dan minat seksual dengan cara memakaikan dan membukakan baju boneka. Selain itu, beberapa pembatasan atau larangan di dalam terapi permainan kelompok dirancang untuk mendorong sublimasi. Saling menyerang secara fisik dan langsung tidaklah diperkenankan. Penyerangan-penyerangan seperti itu semata-mata hanyalah untuk menggantikan agresi dari korban awal yang sungguhan dan  menggantikannya dengan korban mainan. Permainan bertujuan untuk menyalurkan dorongan-dorongan agresi melalui  peragaan simbolis, misalnya badut, mainan yang dipompa, boneka-boneka berukuran manusia sesunguhnya, dan permainan-permainan kompetitif.
Salah satu alat ukur kemajuan terapi permain kelompok adalah pergeseran   menjadi sublimasi. Pada tahap awal terapi, anak-anak cenderung untuk menggantikan kekejaman kepada sesama teman dalam satu kelompok dan terapis sebagai korbannya. Mereka menyerang anggota-anggota kelompok, merampas mainan-mainan   teman, dan mencampuri urusan anak yang lain yang sedang beraktivitas. Selama terapi berlangsung, sublimasi menggantikan penggantian. Sebagai pengganti,  kebiasaannya saling menyerang  anak-anak  disublimasikan  ke dalam permainan-permainan (games); sebagai pengganti keinginan untuk saling mencipratkan air, anak memberi makan boneka; sebagai penyalur hasrat memuncratkan cat, anak  mewarnai gambar; dan sebagai pengganti keinginan untuk melemparkan balok kayu, anak membangun “rumah”.
Sweeney (1997) membuat ringkasan berupa sembilan manfaat dasar dari terpi permainan kelompok:
1)    Kelompok-kelompok cenderung mempromosikan spontanitas kepada anak-anak dan oleh karenanya meningkatkan derajat partisipasinya didalam permainan. Upaya ahli terapi untuk mengkomunikasikan kelonggaran dipacu oleh dinamika kelompok, sehingga dapat membebaskan anak-anak dari resiko keterlibatan didalam berbagai tingkah laku permainan.
2)    Kehidupan afektif anak-anak dicakup dalam dua tingkat – isu intrapsikis dari anggota-anggota kelompok individual dan isu interpersonal antara si ahli terapi  dan anggota-anggota kelompok.
3)    Pembelajaran tentang apa yang dirasakan oleh anak lain dan penglepasan kelegaan berlangsung pada tiap satuan kelompok. Anak-anak mengamati ekspresi emosional dan tingkah-laku anggota-anggota kelompok lain dan belajar mengatasi prilaku, ketrampilan memecahkan masalah, dan jalan alternatif untuk mengekspresikan diri. Pada saat anak-anak melihat anggota kelompok lain terlibat didalam kegiatan-kegiatan yang pada awalnya membuat mereka berhati-hati atau cemas, pada saat berikutnya mereka akan memperoleh keberanian untuk menjajagi.
4)    Anak-anak mengalami perolehan kesempatan untuk pengembangan-diri dan ekplorasi-diri didalam terapi permainan kelompok. Proses ini difasilitasi oleh respons dan reaksi anggota kelompok terhadap ekspresi emosional dan ekpresi prilaku. Anak-anak mempunyai kesempatan untuk merefleksikan dan mencapai kemampuan memahami diri sendiri manakala mereka mengevaluasi dan mengulang evaluasi diri mereka melaui masukan dari sesama teman.
5)    Kelompok-kelompok memberikan kesempatan yang signifikan untuk menancapkan anak-anak ke dunia nyata. Penentuan batas dan pengujian kenyataan terjadi bukan hanya diantara ahli terapi dan anggota kelompok individual melainkan juga diantara anak-anak itu sendiri. Karena kelompok tadi berfungsi sebagai sebuah mikrokosmo nyata masyarakat, pengalaman terapi kelompok secara nyata dikaitkan dengan realita.
6)    Karena kelompok-kelompok terapi permainan berfungsi sebagai mikrokosmo masyarakat, ahli terapi mempunyai kesempatan untuk memperoleh pandangan yang substansial melalui penampilan anak-anak didalam kehidupannya sehari-hari. Perspektif kehidupan nyata ini dapat dilihat didalam mikrokosmo yang terbukti di ruang bermain.
7)    Kerangka permainan kelompok dapat mengurangi kebutuhan anak-anak, atau, kecenderungan mengulang-ulang atau menarik diri dari permainan fantasi. Sementara prilaku-prilaku ini mungkin saja diperlukan oleh beberapa anak didalam pemrosesan isu-isu mereka, kerangka permainan kelompok dapat membawa anak-anak yang terhenti didalam pengulangan atau fantasi kedalam situasi disini-dan-sekarang.
8)    Anak-anak mempunyai kesempatan berlatih untuk kehidupan sehari-hari. Terapi permainan kelompok memberikan kesempatan kepada anak-anak untuk mengembangkan kemampuan interpersonal, menguasai prilaku baru, menawarkan dan menerima bantuan, dan eksperimen dengan ekspresi-ekspresi alternatif emosi dan prilaku.
9)    Kehadiran lebih dari satu anak didalam kerangka terapi permainan bisa menjadi faktor pembantu didalam pengembangan hubungan terapis bagi beberapa anak. Ketika anak-anak yang suka menarik diri mengamati ahli terapi sedang membangun kepercayaan dengan anak-anak lain, mereka sering terdorong untuk turut serta didalamnya. Keadaan ini membantu mengurangi kecemasan anak-anak yang merasa tidak yakin tentang keadaan ruang bermain dan  ahli terapi yang bekerja di dalamnya.
3.  Prosedur dan Langkah-langkah Terapi Permainan Kelompok .
      a.  Prosedur Terapi Permainan Kelompok
          Menurut Sweeney & Homeyer (1999) ada enam prosedur yang harus ditempuh dalam melaksanaan terapi kelompok yakni : (1) melakukan pertimbangan-pertimbangan etis dan legal; (2) melakukan seleksi kelompok dan ukurannya; (3) pembentukan kelompok dan  penyiapan bahan-bahan; (4) penentuan  lama waktu setiap sesi dan frekuensinya; (5) mengatur respon terapis; dan (6) menetapkan batasan –batasan antar kelompok.
  1). Pertimbangan-pertimbangan Etis dan Legal
Wajar kiranya untuk mengingatkan kembali perlunya tanggung jawab etis seorang ahli terapi permainan kelompok untuk mengikuti pelatihan dan memperoleh pengalaman yang diawasi didalam bidang ini. Selain itu, para ahli terapi anak-anak harus faham tentang hukum yang berlaku di suatu negara dimana ia menjalankan praktek. Para konselor juga harus sadar akan adanya pedoman-pedoman etis organisasi profesional bersangkutan, demikian pula kebijakan dan prosedur bagi lembaga yang mempekerjakannya. Bagi para ahli terapi yang mengkhususkan diri pada kerja kelompok, menurut Sweeney (1999) Pedoman Etis untuk Konselor Kelompok yang didirikan oleh Asosiasi Ahli Kerja Kelompok (1990) juga merupakan sumber acuan yang berguna.
Izin orangtua harus diperoleh terlebih dulu sebelum memberikan terapi kelompok untuk anak-anak, sama halnya seperti konseling individual. Karena para orangtua secara legal bertanggung jawab terhadap anaknya, mereka harus disadarkan tentang maksud kelompok tadi, dan persetujuan yang memadai dapat diperoleh. Perlu diingat bahwa peradilan anak-anak sering merupakan isu, sehingga krusial bagi ahli terapi untuk memastikan bahwa pembimbing legal anak-anak itulah yang memberikan persetujuan, dan bahwasanya hal itu merupakan persetujuan yang diketahui semua pihak. Latihan-latihan yang direncanakan harus dijelaskan kepada para orangtua – dan kepada anak-anak. Didalam beberapa situasi, yaitu dalam kaitan dengan konseling sekolah, soal kewenangan tidaklah diperlukan.
Sama halnya dengan kelompok lain, anak-anak tidak dapat diberi janji mutlak mengenai kerahasiaan ketika mereka berada didalam terapi permainan kelompok. Kerahasiaan tidak boleh diungkapkan oleh si ahli terapi didalam situasi yang bisa dilaporkan, seperti ketika dianggap perlu untuk melaporkan perlakuan kasar kepada pihak yang berwenang ataupun memberikan informasi kepada sekolah atau administratur lembaga menurut kebijakan.
Beberapa negara di dunia telah memperketat hukum tentang hak orangtua. Hukum ini menyatakan sebagian bahwa tidak ada pegawai sekolah yang boleh “mengedepankan atau mendorong seorang anak untuk menyembunyikan informasi dari orangtua anak tersebut. Oleh karenanya, konselor sekolah telah diberitahu bahwa mereka tidak diperkenankan untuk menuntut bahwa anak-anak didalam suatu kelompok konseling mempertahankan kerahasiaan tentang apa yang dibagi bersama oleh anak-anak lainnya didalam pertemuan-pertemuan kelompok. Walaupun oleh hukum dimaksudkan bahwa secara pasti personil sekolah tidak diperkenankan menyimpan kerahasiaan antara seorang anak tertentu dan orangtuanya, pada prakteknya ketentuan ini telah berlaku. Jelasnya, memahami keadaan seseorang dan hukum profesional serta kode etik merupakan hal yang penting.         
Skrining dan penyiapan kelompok-kelompok permainan itu juga merupakan satu isu etis. Anak-anak jarang mengetahui kemana mereka seharusnya, sehingga merupakan tanggung jawab si ahli terapi itu untuk memastikan penempatannya di  kelompok yang sesuai. Sama halnya dengan kelompok-kelompok dewasa, anak-anak sebaiknya mempunyai kesempatan untuk berpartisipasi atau meninggalkan kelompoknya.
   2). Seleksi Kelompok dan Ukurannya
Keberhasilan suatu terapi permainan kelompok boleh jadi erat hubungannya dengan seleksi anggota kelompok dan besarnya jumlah anak didalam kelompok itu. Ginott dalam Sweeney & Homeyer (1999) menyatakan bahwa persyaratan mendasar untuk seleksi kelompok adalah kapasitas dan hadirnya “kelaparan sosial”.  Hal ini mengacu pada kebutuhan anak-anak untuk diterima oleh teman-temannya dan keigninan kuat untuk mendapatkan dan menjaga statusnya didalam kelompok.
Ada anak-anak yang tidak akan merespons dengan baik kepada terapi permainan kelompok. Anak-anak seperti ini sebaiknya dilihat secara umum berdasarkan pendekatan individual. Sementara hal ini pada umumnya merupakan keputusan per kasus, Ginott dalam Sweeney & Homeyer (1999)  mengemukakan beberapa kontradiksi di antaranya adalah: (1) Anak-anak menunjukkan persaingan yang ketat; (2) Anak-anak yang luar biasa agresifnya; (3) Anak-anak yang memperagakan kebolehannya berdasarkan gender; (4) Anak-anak yang mengalami kesulitan karena kurangnya ikatan ibu-anak; (5) Anak-anak yang sosiopatik (yaitu anak-anak yang dengan sengaja menimbulkan bahaya ataupun dendam); (6) Anak-anak dengan citra diri yang sangat buruk.
Pada umumnya dianjurkan untuk menggunakan terapi permainan individual sebagai bagian dari proses skrining untuk anggota-anggota terapi permainan kelompok yang potensial. Bahkan suatu sesi permainan individual dapat mengungkapkan indikasi atau kontraindikasi untuk memasukkannya kedalam sebuah kelompok. Metode-metode skrining lain dapat juga dianggap sesuai, termasuk laporan orangtua, laporan guru, penilaian atas tingkah-laku, dan interviu anak.
Pertimbangan lain di dalam kerja kelompok dengan anak-anak adalah ukuran kelompok. Pada umumnya, semakin muda usia anak-anak, semakin kecil kelompok itu. Anak-anak yang masih sangat belia biasanya masih baru mulai belajar bagaimana berfungsi didalam kelompok jenis apa saja diluar kerangka keluarganya langsung. Isu yang dapat dikaitkan mungkin adalah tingkat struktur yang ada didalam kelompok, dan apakah hal ini harus dihubungkan dengan usia anak-anak itu. Hal ini pada umumnya akan bervariasi sesuai dengan teori kelompok dan populasi kelompok, seperti yang nanti dibahas pada bab-bab yang berikutnya. Perlu diingat bahwa akan sulit untuk mengamati terlalu banyak jumlah anak-anak, dan sebagian besar fasilitas tidak dapat menampung sebuah kelompok besar. Ingat juga bahwa dua orang anak sudah merupakan kelompok, dan bahkan kelompok kecil ini bisa sangat banyak memberikan manfaat.
Mungkin akan bermanfaat mempertahankan kelompok agar tetap seimbang. Misalnya, sementara sudah sering terbukti bermanfaat untuk menjalankan kelompok yang membahas topik-topik tertentu dan untuk populasi tertentu, ada baiknya mungkin untuk menghindari pembentukan kelompok anak-anak yang telah mengalami trauma yang sama. Hal ini mungkin perlu untuk menghindari semakin meningkatnya perilaku ataupun emosi traumatis.
Jika sebuah kelompok memiliki dua orang anak perempuan, mungkin akan bermanfaat untuk mengimbanginya dengan dua anak laki-laki. Disarankan pada umumnya bahwa sebuah kelompok tidak memiliki mayoritas berupa salah satu gender. Jika sebuah kelompok mempunyai dua anak yang kurang supel, ada gunanya untuk mengimbanginya dengan dua anak yang pandai bergaul atau yang penuh percaya diri.
Walupun hal ini bervariasi pada terapi permainan kelompok anak-anak dan kasus-kasus lainnya, rentang usia anak-anak didalam terapi permainan kelompok pada umumnya tidak melebihi dua belas bulan. Perbedaan antara anak usia tiga tahun dengan anak usia lima tahun jelas terlalu besar untuk sebagian besar sasaran terapis. Hal ini merupakan suatu aturan yang sesuai untuk diikuti kecuali jika isu yang dibahas adalah isu penundaan perkembangan. Dalam soal gender, anak-anak pada umumnya tidak perlu dipisahkan oleh perbedaan jenis kelamin sampai usia pertengahan sekolah dasar hingga sekolah menengah pertama. Yang terakhir, ukuran fisik anak-anak juga perlu dipertimbangkan. Dengan adanya berbagai pola pertumbuhan anak-anak secara individu, seorang anak dengan tubuh besar atau seorang anak berukuran tubuh lebih kecil tidaklah dianjurkan untuk dimasukkan kedalam kelompok. Sama halnya dengan dinamika-dinamika lainnya, keseimbangan merupakan kunci.


   3).  Pembentukan Kelompok dan Penyiapan Bahan-bahan
Pertimbangan awal yang krusial haruslah ditujukan kepada fasilitas dan bahan-bahan yang akan digunakan untuk terapi permainan kelompok. Kantor konseling regular mungkin tidak sesuai karena perlunya untuk menetapkan terlalu banyak batasan. Sementara banyak ruangan kelompok dilengkapi dengan karpet, kursi, dan bantal empuk, ruangan kelompok permainan seringkali mempunyai kebutuhan yang berbeda. Idealnya, ruangan kelompok yang dipersiapkan untuk kelompok-kelompok terapi permainan adalah ruangan yang terbaik, berlantai keramik dan dilengkapi dengan mainan-mainan tahan banting dan perabotan. Akan tetapi sebuah ruangan berukuran memadai yang tidak dipersiapkan untuk terapi permainan bisa saja berfungsi asalkan si ahli terapi itu mengenali perlunya batas-batas kewajaran.
Ruangan sebaiknya tidak terlalu kecil ataupun terlalu besar. Sebuah ruangan yang setidak-tidaknya berukuran lebar empat meter dan panjang lima meter dapat dianjurkan. Ruangan yang terlalu kecil dapat menjurus kepada frustasi dan agresi diantara anggota-anggota kelompok. Ruangan yang terlalu besar bukan saja akan menciptakan peluang terjadinya prilaku yang tak terkendali melainkan juga akan memungkinkan anak-anak yang suka menarik diri dari pergaulan akan menghindari interaksi. Potensi terjadinya kebisingan dan kesemrawutan juga perlu diperhatikan, yang menjadikan lokasi ruangan kelompok didalam fasilitas konseling sebuah pertimbangan penting.
Bahan-bahan permainan bisa beragam menurut teori dan maksudnya. Landreth dalam Sweeney & Homeyer (1999) memberi saran bahwa pada umumnya media permainan harus dipilih untuk menunjang maksud-maksud berikut ini:  (1) memfasilitasi seluas mungkin ekspresi kreatif; (2) memfasilitasi seluas mungkin ekspresi emosional yang melibatkan minat anak-anak; (3) memfasilitasi permainan yang ekspresif dan eksploratif; (4) memberikan kesempatan untuk bereksplorasi dan berekspresi tanpa verbalisasi; (5) memberikan kesempatan untuk meraih sukses tanpa struktur yang direncanakan terlebih dahulu; (6) memberikan kesempatan untuk berlangsungnya permainan yang tidak didasari kesepakatan terlebih dahulu.
Pertimbangan lainnya juga dapat diberikan sebagai saran. Mungkin akan menjadi kurang baik untuk menyediakan cukup mainan dari satu jenis apapaun sehingga setiap anggota kelompok mendapatkan masing-masing satu. Sementara hal ini mungkin nampak mencerminkan keadilan, keadaan seperti ini menghalangi anak-anak untuk berkesempatan belajar berbagi dan mengatasi konflik dengan bahan mainan dalam jumlah terbatas.
Dengan anak-anak yang lebih tua usianya dan anak-anak yang beranjak dewasa, kerangka kelompok aktivitas dari suatu jenis tertentu sangatlah dianjurkan. Salah satu manfaat utama dari kelompok-kelompok aktivitas adalah bahwa anggota –anggota kelompok menikmati berlanjutnya kesempatan untuk menuangkan ekspresi non-verbal yang disediakan oleh terapi permainan, yang disertai dengan manfaat aktivitas kelompok dan diskusi.
   4).  Menetapkan Alokasi Waktu Setiap Sesi dan Frekuensinya
Panjang setiap sesi kelompok harus dipertimbangkan. Pada umumnya dianjurkan untuk mengaitkan panjang sesi kelompok dengan usia anak sebagai anggota. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa semakin muda usia anak-anak, pada umumnya semakin pendek durasi sesi. Fasilitator kelompok harus mempertimbangkan rentang perhatian si anak, dengan memperhitungkan usia psikologis diatas usia kronologis. Untuk anak-anak pra-sekolah dan anak-anak usia awal sekolah dasar, sebuah kelompok terapi permainan dapat berlangsung selama dua puluh sampai empat puluh menit. Untuk anak-anak dengan usia mendekati usia sekolah menengah pertama, kelompok permainannya bisa berlangsung sampai satu jam.
Durasi kelompok juga akan beragam. Gumaer (1984) mencatat bahwa sebagian besar riset menunjukkan bahwa agar konseling kelompok berlangsung efektif dengan anak-anak, paling sedikit diperlukan sepuluh sesi. Sekali lagi, hal ini bervariasi untuk kelompok-kelompok yang bertemu didalam kerangka yang berbeda (sekolah, rumah sakit, dan sebagainya) dan untuk populasi yang berbeda (kelompok populasi yang teraniaya secara seksual, yang penuh duka dan kecemasan, dan lainnya).
Frekuensi pertemuan kelompok adalah isu lain yang harus diperhatikan dengan seksama. Hal ini akan berkaitan dengan tujuan kelompok dan kepelikan masalah-masalah yang muncul. Pertemuan kelompok jangka pendek yang intensif dua sampai lima kali seminggu bisa jadi akan sangat efektif. Penelitian oleh Kot (1995) melaporkan hasil yang positif tentang keefektifan terapi permainan jangka pendek dan intensif yang bertumpu pada anak, yang mengikutsertakan anak-anak yang pernah menyaksikan kekerasan domestik dan sementara waktu tinggal di penampungan-penampungan keluarga. Walaupun riset ini menyangkut terapi permainan individual, penunjukkannya adalah signifikansi dan potensi dari kelompok permainan terapis jangka pendek yang intensif.
    5). Mengatur Respon Terapis
Sementara respon-respon dari ahli terapi permainan kelompok lagi-lagi beragam menurut teori dan penetapan kerangkanya, ada beberapa prinsip yang harus dipertimbangkan. Peran terapis konselor di dalam terapi permainan adalah sama dengan peran yang dimainkan didalam terapi permainan individual. Namun demikian, ahli terapi permainan kelompok harus memiliki toleransi yang tinggi pada kesemrawutan dan kebisingan  dan harus mampu menangani kericuhan yang sering terjadi. Perlu ditekankan disini bahwa si ahli terapi itu menjaga agar respon-responnya berimbang diantara anggota kelompok dan menghindari kiat menempatkan fokus pada anak-anak yang lebih aktif dan memerlukan perhatian. Hal ini merupakan jebakan yang mudah menjerumuskan namun memberi tahu bahwa tidak boleh terjadi penganak-tirian kepada anak-anak yang kurang banyak bercakap dan kurang aktif. Pesan ini pada umumnya mempertajam pandangan diri yang terlanjur ada dan bersifat negative. Seperti halnya dengan setiap klien, respons terapis tidak boleh bersifat memojokkan, dan dalam hal melakukan terapi permainan kelompok, sebaiknya nama anak disertakan. Bilamana suatu respon diberikan tanpa menyebutkan nama anak dimaksud, anggota-anggota kelompok mungkin tidak tahu kepada siapa respon tadi ditujukan. Sebagai tambahannya, akan sangat berguna untuk menghindari pemakaian bentuk orang ketiga bilamana sedang berinteraksi dengan anak-anak. Misalnya, pada waktu akan menelusuri prilaku saja, akan sangat bijak untuk menggantikan kalimat seperti “Randy sedang bermain di pasir” dengan kalimat dalam bentuk seperti “Randy, kamu sedang bermain di pasir.” Tidak berbeda dengan orang dewasa, anak-anak juga merasa lebih dihargai bilamana diajak bicara daripada dibicarakan.
    6).  Pembatasan pada Setiap  Sesi Permainan Kelompok
Menurut Sweeney & Homeyer (1999) pembentukan kerangka/ pola pada terapi permainan adalah salah satu aspek yang paling besar perannya dan paling mendorong pertumbuhan proses konseling. Kerangka kerja terapi permainan kelompok lebih jelas jika dibandingkan dengan sesi-sesi dalam konseling individual, dan kehadiran serta kemampuan merespon sang ahli terapi dapat diuji secara ketat. Oleh karena itu, ahli permainan kelompok haruslah seorang yang mahir dalam hal menetapkan batas.
Sekedar mengingatkan bahwa asumsi dasar untuk menetapkan batas di dalam ruang bermain akan berguna. Landreth dan Sweeney (1997: 34) meringkaskannya sebagai berikut: (1) batas itu menentukan garis pemisah hubungan terapis; (2) batas itu memberikan keamanan dan keselamatan bagi si anak, baik secara fisik maupun secara emosional; (3) batas itu menunjukkan niat baik sang ahli terapi untuk menyediakan jaminan keselamatan bagi si anak; (4) batas itu menancapkan sesi pada realita; (5) batas itu memberikan peluang kepada sang ahli terapi untuk tetap menjaga sikap positif dan sikap menerima sang anak; (6) batas memberikan kesempatan kepada anak untuk menyatakan perasaan negatifnya tanpa merusak suasana, dan kekhawatiran akan datangnya pembalasan dendam; (7) batas menawarkan stabilitas dan konsistensi; (8) batas meningkatkan dan memperkuat rasa tanggung jawab-diri dan kontrol-diri; (9) batas itu melindungi ruangan terapi permainan; dan (10) batas menjamin standar legal, etis dan profesional tetap terpelihara.
Batas dan kerangka terapi merupakan hal yang unik didalam terapi permainan kelompok. Angota-anggota kelompok mengalami pemberlakuan batas yang ditetapkan bukan hanya oleh ahli terapi melainkan juga oleh angota-anggota kelompok lainnya. Seperti telah disarankan sebelumnya, hal ini bertindak sebagai fungsi kunci. Ahli terapi permainan kelompok tadi juga harus cerdas didalam mengantisipasi batas dan harus matang untuk menetapkan batas-batas. Batas yang jelas dan menyeluruh (tanpa syarat) juga sangat menentukan bilamana bekerja dengan kelompok-kelompok. Karena tingkat aktivitas bisa sedemikian tingginya, keinginan untuk menetapkan batas secara terus-menerus mungkin tidak terbendung, padahal maksudnya adalah untuk menjaga agar kontrol tetap berfungsi. Ahli terapi permainan kelompok harus sabar dan membiarkan anak-anak melakukan sendiri kegiatannya, sementara dia menetapkan batas yang sesuai.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Penguatan Integrasi Pendidikan

PENGUATAN INTEGRASI PENDIDIKAN DALAM ERA DISUPSI Oleh :  Asep Rohiman Lesmana, M.Pd. Pendidikan merupakan suatu entitas yang s...