Rabu, 06 Mei 2020

Reorientasi Pendidikan Nasional


Reorientasi Pendidikan Nasional
dalam Menyiapkan Daya Generasi Emas

oleh :
Iman Lesmana

Tulisan ini didedikasikan untuk memperingati Hari Pendidikan Nasional (Setiap 2 Mei) di Tahun 2020 ini bertepatan dengan proses percepatan penanganan COVID-19 dengan mekanisme PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) dengan menitikberatkan semua kegiatan belajar dari rumah (learning from home), kuliah dari rumah (study from home), dan bekerja dari rumah (work from home). 
Artikel ini mencoba menjelaskan strategi pendidikan nasional dalam menghadapi tantangan-tantangan globalisasi. Globalisasi telah mengubah mindset para pengambil kebijakan di negara-negara maju di kawasan Asia Timur untuk merubah sistem and tata kelola pendidikan mereka melalui desentralisasi, marketisasi dan internasionalisasi untuk meningkatkan daya saing pendidikan mereka. Para pembuat kebijakan di Indonesia harus mereformasi sistem dan tata kelola pendidikan dalam hal regulasi, aturan dan pembiayaan. Ada tiga langkah yang harus diambil untuk mengatasi problem pendidikan nasional: (1) meninjau kembali dan memperbaharui kerangka legal pendidikan nasional yang lama; (2) meningkatkan proses pendidikan yang mampu memperkuat keterampilan mengajar dan pembelajaran para pendidik, dan (3) membangun budaya kewargaan dan mengembangkan kesadaran belajar masyarakat.

Kata Kunci: pendidikan nasional, daya saing negara, sistem dan tata kelola pendidikan.


Dasar Pemikiran
Salah satu topik yang menarik dan tidak pernah usang adalah pembicaraan mengenai pendidikan. Pendidikan ada seiring dengan adanya penciptaan manusia. Pendidikan bukan hanya memiliki dasar filosofis dan menjadi obyek kajian ilmu tetapi juga memiliki nilai praksis yang sangat penting bagi upaya regenerasi umat manusia. Pendidikan merupakan wahana untuk melahirkan generasi penerus dan menjadi kunci bagi kelangsungan suatu bangsa. Pendidikan telah diakui sebagai medium penting bagi suatu negara dalam membentuk karakter bangsa sekaligus mencirikan kualitas bangsa tersebut.
Berdasarkan pengalaman negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Inggris, Belgia, Jerman dan Finlandia, untuk memajukan negara, diperlukan reformasimelalui bidang pendidikan. Demikian halnya yang dilakukan oleh negara-negara Asia Timur, seperti Hong Kong, China, Singapura, Taiwan, Korea Selatan, dan Jepang. Negara-negara tersebut melakukan kebijakan penting dalam rangka menghadapi tantangan sekaligus peluang yang dihadirkan oleh globalisasi dengan memperkuat daya saingnya secara internal dan eksternal, yaitu mereformasi system endidikan dan mengubah pengelolaan pendidikan Negara-negara Asia Timur memanfaatkan isu-isu krisis keuangan dunia pada tahun 1997 atau 1998 dan tantangan globalisasi yang ditopang oleh pertumbuhan sektor ekonomi, sosial, politik dan didukung oleh perkembangan teknologi informasi untuk bangkit dari keterpurukan.
Buktinya saat ini sudah dapat disaksikan bahwa negara-negara tersebut masuk dalam jajaran negara maju dan memiliki tingkat daya saing yang tinggi dalam dunia internasional. Pendidikan telah diyakini sebagai “agent of change”.  Sementara itu dalam konteks ke-Indonesiaan, dapat dikatakan bahwa sejak krisis keuangan yang menimpa Indonesia sampai sekarang, bangsa Indonesia masih berjuang untuk membangun sikap dan mental budaya masyarakat untuk memiliki daya saing. Menurut Ali (2014:1), lahirnya reformasi di Indonesia sejak tahun 1998 telah membangkitkan kembali harapan masyarakat tentang pembangunan nasional untuk menuju bangsa Indonesia yang mandiri, maju, makmur dan berdaya saing tinggi. Mandiri berarti mampu mewujudkan kehidupan sejajar dan sederajat dengan bangsa lain dengan mengandalkan pada kemampuan dan kekuatan sendiri. Maju bermakna tingkat kemakmuran yang juga tinggi disertai dengan sistem dan kelembagaan politik dan hukum yang mantap. Adil berarti tidak ada pembatasan/diskriminasi dalam bentuk apapun, baik antar individu, gender, maupun wilayah. Makmur berarti seluruh kebutuhan hidup masyarakat Indonesia telah terpenuhi sehingga dapat memberikan makna dan arti penting bagi bangsa-bangsa lain (Kementrian PPN/Bappenas, 2014:1)
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) khususnya, harapan itu dinyatakan secara eksplisit, terutama karena tertuang dalam visi pembangunan nasional yaitu untuk menjadikan bangsa Indonesia yang mandiri, maju, adil dan makmur. Orientasi pembangunan nasional tersebut termasuk di dalamnya adalah pembangunan sektor pendidikan.
Pendidikan nasional memiliki tanggung jawab yang berat karena harus menyiapkan sumber daya manusia yang mampu berdaya saing tinggi. Pendidikan nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undangundang Dasar 1945, berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman terbukti belum mampu menghasilkan sumber daya manusia Indonesia yang kompetitif, kreatif, inovatif dalam percaturan dunia internasional.
Terdapat persoalan mendasar pada pendidikan nasional Indonesia. Secara konseptual, teoritik dan regulatif, UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional telah menjelaskan orientasi pendidikan ke depan, namun pada kenyataannya belum mampu diwujudkan secara baik. Beberapa arah, strategi dan kebijakan pendidikan nasional dirumuskan secara jelas, namun hasilnya juga belum memuaskan. Situasi demikian menimbulkan problem yang dirumuskan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut: 1) Apakah sistem pendidikan nasional Indonesia sudah using dan perlu ditinjau kembali?; 2) Proses pendidikan yang bagaimanakah  yang mampu menjawab permasalahan pendidikan nasional?; dan 3) Faktor apa sajakah yang mempengaruhi kegagalan proses pendidikan nasional di Indonesia?
Tinjauan Teoritik
Secara teoritik, konsep pendidikan dapat dilihat dari berbagai sumber. Menurut Undang-Undang No. 20 Tahun 2003, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Menurut Kunjana (2012) dalam Ika (2014), pendidikan Indonesia perlu dikembalikan pada filosofi pendidikan Ki Hajar Dewantara. Pendidikan yang dimaksud adalah nasionalistik, naturalistik dan spiritualistik yang intinya bahwa pendidikan itu memanusiakan manusia. Bahkan Hardono (2014) menjelaskan ketika mencari beberapa referensi tentang Ki Hajar Dewantara, ada satu artikel menarik yang menyinggung tentang komparasi antara konsep pendidikan Ki Hajar Dewantara dan konsep “Barat”. Konsep beliau itu mengedepankan tiga faktor, yaitu“ngerti”(cognitive domain),“ngrasa”(affective domain), dan “nglakoni (psychomotor domain).
Kedua rumusan tentang konsep pendidikan tersebut sebenarnya sangat holistik karena telah memadukan unsur kognitif, afektif dan psikomotorik, suatu ranah yang lazim dikembangkan dalam dunia pendidikan melalui proses pembelajaran dan pengajaran. Namun demikian, konsep yang bagus tersebut memerlukan pemahaman secara filosofis dan praksis dari semua unsur pendidikan, baik pengambil kebijakan (pemerintah), pendidik, peserta didik, orang tua, masyarakat termasuk pengguna dan penyedia jasa pendidikan.

Tinjauan Empirik
Secara empirik, khususnya dari sisi praksis pendidikan, implementasi  pendidikan nasional belum sesuai dengan ruhnya bila ditinjau dari sisi filosofis maupun praksis. Kartadinata (2011) mempertanyakan apakah praktek penyelenggaraan pendidikan selama ini sudah berlandaskan kepada mindset utuh ilmu pendidikan dan konsisten dengan makna yang terkandung di dalam jiwa amanat UU, dalam upaya membawa manusia Indonesia menjadi manusia yang berwatak, bermartabat, dan cerdas sesuai dengan jiwa amanat yang digariskan di dalam UU No. 20/2003. Fenomena yang tampak menunjukkan banyak terdapat kesenjangan antara mindset utuh pendidikan yang terkandung dalam UU No. 20/2003 dengan mindset pendidikan dalam praktek penyelenggaraan pendidikan, yang menumbuhkan kultur pendidikan tidak sehat. Jika pendidikan bertanggung jawab untuk membangun martabat bangsa yang diwujudkan dalam ketahanan hidup bangsa maka perlu ada upaya penyehatan kultur pendidikan untuk memperbaiki kesenjangan yang disebutkan. Diperlukan reformasi pemikiran, kebijakan, dan praktek penyelenggaraan pendidikan yang tidak semata-mata didasarkan atas pemahaman UU secara tekstual melainkan secara kontekstual dan dilandasi dengan pemaknaan filosofispedagogis yang berbasis nilai-nilai kultur dan agama.
Kunci utama penyehatan pendidikan terletak pada reformasi mindset atau tata pikir secara utuh dalam memaknai hakekat dan praktek penyelenggaraan pendidikan, dan menempatkan ilmu pendidikan sebagai framework dan landasan kerja bagi penyelenggaraan pendidikan untuk memfasilitasi perkembangan peserta didik melalui penciptaan suasana dan proses pembelajaran yang mendidik. Kondisi ini merupakan rongga bagi kebangkitan ilmu pendidikan dalam upaya menegaskan benang merah pendidikan mulai dari filosofi sampai kepada evaluasi yang akan harus berimplikasi kepada penguatan pendidikan guru dan penyehatan penyelenggaraan pendidikan melalui pelurusan mindset pendidikan, regulasi, praktek, dan manajemen pendidikan, agar sejalan dengan esensi pendidikan sebagaimana terkandung dalam jiwa UU No. 20/2003.
Dengan demikian jelaslah bahwa secara empirik praktek pendidikan masih belum mampu menjawab permasalahan pendidikan nasional, karena pembelajaran belum menyentuh aspek filosofis dan praktis. Siapa yang harus bertanggung jawab terhadap masalah ini? Untuk menjawab pertanyaan tersebut kita tidak dapat menyalahkan pihak pendidik saja, akan tetapi semua pihak, baik pemerintah, orang tua, peserta didik,  pengguna dan penyedia jasa pendidikan harus bertanggung jawab secara bersama-sama.

Kajian dan Pembahasan
Hasil Kajian
Belajar apa yang dilakukan oleh Amerika Serikat, upaya yang perlu dilakukan oleh pemerintah adalah memberikan landasan yang kuat bagi arti pentingnya pendidikan. Dalam buku yang berjudul “Foundation of Education” Ornstein dkk (2011) menjelaskan bahwa perubahan harus dimulai dengan memperbaiki profesi guru dengan alasan bahwa guru yang professional akan menghasilkan proses pembelajaran yang berkualitas sehingga menghasilkan peserta didik yang berkualitas pula.
Selanjutnya reformasi sistem pendidikan perlu dilakukan secara baik. Dalam bukunya “Education Reform and Education Policy in East Asia”, Ka Ho Mok (2006) menjelaskan bahwa salah satu kebijakan penting dalam rangka menyiapkan sumber daya manusia di negara-negara Asia Timur agar mampu bersaing dalam globalisasi adalah dengan mereformasi sistem pendidikan dan melakukan perubahan pengelolaan pendidikan melalui penetapan kebijakan yang diwujudkan dalam bentuk regulasi, provisi dan pendanaan pendidikan. Sebagai contoh konkrit, apa yang dilakukan oleh Singapura dalam menyiapkan sumber daya manusia yang berkualitas adalah melakukan perubahan kultur akademik masyarakatnya.
Dengan mengambil contoh dari pemerintah Singapura, pendidikan benar-benar dijadikan alat efektif untuk merubah mindset dan kultur masyarakat melalui konsep sekolah berfikir dan bangsa pembelajar. Selain itu, upaya lain yang perlu dilakukan dalam menguatkan pemahaman tentang arti pendidikan, khususnya pengajaran dan pembelajaran pada pendidikan tinggi sebagai lembaga yang paling bertanggung jawab menghasilkan peserta didik sesuai disiplin keilmuan adalah menanamkan pemahaman yang benar tentang disiplin keilmuan untuk menjamin profesionalisme. Hal ini dilakukan untuk menghindari “malpraktik”pendidikan. Hal ini dijelaskan dalam buku yang berjudul “A Handbook for Teaching and Learning in Higher Education: Enhancing Academic Practice” karya Fry dkk (2009).

Sementara itu, untuk dapat memberikan acuan bagaimana cara untuk dapat menghasilkan pemimpin lembaga pendidikan maka salah satu buku yang dapat dijadikan pegangan adalah “Preparing Principals for a Changing World: Lesson from Effective School Leadership Programs” karya Hammond dkk (2010). Buku ini menjelaskan langkah-langkah dalam menyiapkan kepala sekolah yang komunikatif, kreatif, inovatif dan visioner sehingga mampu melakukan perubahan pada institusi pendidikan.

Pembahasan
Setelah mencermati beberapa pengalaman negara-negara maju dalam melakukan upaya melakukan reformasi pendidikan dan pengelolaan sistem pendidikan maka menurut penulis sudah selayaknya apabila bangsa Indonesia melalui pemerintah meninjau kembali system pendidikan nasional. Peninjauan ini bukan berarti harus merubah total sistem pendidikan nasional, tetapi meninjau kembali beberapa konsep yang kurang relevan dengan tuntutan perubahan global, khususnya yang terkait substansi pendidikan dan model pengelolaannya.
Penguatan kembali “core education” sesuai kultur bangsa Indonesia nampaknya perlu mendapatkan prioritas. Menurut Nuryanta (2014), beberapa nilai inti (core values) pendidikan nasional adalah nilai keagamaan, keadilan, kebebasan, persamaan, cinta tanah air, kesesuaian, kemerdekaan, kebudayaan, kemanusiaan, kekeluargaan, gotong royong,  keramahtamahan, kedisiplinan, menghargai perbedaan, negara maritime dan kewarganegaraan yang harus ditumbuhkan sejak awal pendidikan, khususnya mulai dari pendidikan pra-sekolah.
Konsep Negara Maritim yang diprioritaskan oleh Presiden Joko Widodo perlu mendapat perhatian serius. Kalau pada konsep sebelumnya“laut” adalah“pemisah” antar pulau, maka sekarang konsep tersebut telah berubah menjadi “pemersatu” antar pulau. Konsep ini memerlukan perubahan mindset seluruh warga negara. Masyarakat harus dipahamkan bahwa laut bukanlah halangan akan tetapi menjadi wahana transportasi untuk negara maritim, terutama beberapa tahun ke depan yang sangat mungkin menggantikan transportasi darat. Perubahan mindset ini harus mulai disebarluaskan kepada masyarakat melalui pendidikan. Konsekuensi logisnya adalah masyarakat Indonesia tidak boleh lagi takut “laut”. Maka pembelajaran renang perlu dimasukkan ke dalam kurikulum, bahkan perlu diwajibkan. Hal ini sejalan dengan ajaran Rasulullah SAW, bahwa renang adalah salah satu materi pelajaran yang wajib diberikan kepada peserta didik, sebagaimana sabda Beliau: “ajarilah anak-anakmu memanah, berkuda dan berenang” (HR. Ath-Thawawi).
Sementara itu, konsep sekolah pemikiran (thinking school) yang dikembangkan oleh pemerintah Singapura dalam menghasilkan peserta didik yang kritis, kreatif dan inovatif perlu digalakkan dalam pendidikan di Indonesia. Kalau di Indonesia ada LEMHANAS yang dijadikan sebagai pendidikan yang strategis dan mendidik kalangan elit politik minoritas (legislatif, eksekutif, pimpinan perguruan tinggi, militer) maka model ini dapat diadopsi tetapi pesertanya harus diperluas. Pola pendidikan di LEMHANAS harus dibangun untuk generasi muda yang potensial sehingga menjaring banyak peserta didik potensial yang diperlukan dalam mendukung proses pembangunan bangsa. Alasan ini untuk mengatasi kenyataan bahwa berdasarkan laporan Kementrian
Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional tahun 2014, masih terdapat 2,1% anak usia 7-12 tahun dan 10,5% anak usia 13-15 tahun yang tidak sekolah pada tahun 2012. Sebagian besar anak usia 13-15 tahun yang tidak sekolah adalah lulusan SD/MI yang tidak melanjutkan ke jenjang SMP/MTs (Kementrian PPN/Bappenas, 2014: 6).
Oleh karena itu, terdapat 10 (sepuluh) isu strategis yang diangkat untuk mengatasi permasalahan pendidikan berdasarkan Rencana Pembangunan  Jangka Menengah Nasional 2015-2019 sub-bidang pendidikan. Kesepuluh isu strategis adalah sebagai berikut:
1.    Pelaksanaan program Indonesia pintar melalui wajib belajar 12 tahun
2.    Peningkatan kualitas pembelajaran
3.    Peningkatan manajemen guru, pendidikan keguruan, dan reformasi LPTK
4.    Peningkatan akses, kualitas, relevansi dan daya saing pendidikan tinggi
5.    Peningkatan pendidikan dan pengembangan anak usia dini
6.    Peningkatan ketrampilan kerja dan penguatan pendidikan orang dewasa
7.    Peningkatan pendidikan agama, pendidikan kewargaan dan pendidikan karakter untuk mendukung revolusi mental
8.    Peningkatan efisiensi pembiayaan pendidikan
9.    Peningkatan tata kelola pendidikan (Kementerian PPN/Bappenas, 2014:4).
Kesepuluh isu strategis tersebut sangat penting untuk dipahami oleh semua pihak, khususnya para pendidik untuk mendapatkan penguatan dari sisi filosofis, epistimologis dan aksiologis sehingga memudahkan dalam implementasi praksisnya. Konsep ini perlu mendapatkan penguatan dalam proses pembelajaran sehingga pemahaman filosofis dan praksis dapat diperoleh dalam penelaahan peserta didik. Bahkan secara lebih tegas Abin Syamsuddin Makmun (2014:17) menyebutkan bahwa kemungkinan model lain dalam ranah telaahan bidang pendidikan itu, ialah berdasarkan pertimbangan kepentingan pengembangan ‘body of knowledge’ dan pengayaan khazanah ilmiah disiplin ilmu pendidikan itu sendiri, seperti yang banyak diminati oleh masyarakat akademik di perguruan tinggi. Dalam hal ini, Abin menawarkan suatu model diagramatik-sirkular yang menunjukkan posisi dan interelasi antara bidang disiplin kajian keilmuan sesuai dengan struktur organisasi kelembagaan disiplin ilmu kependidikan yang secara faktual eksis hingga saat ini.
Lebih lanjut Abin menjelaskan bahwa ditinjau dari segi substansi bidang telaahannya dapat dikategorikan ke dalam tiga lapisan (layers), yaitu Disiplin Ilmu Pendidikan (FIP/JIP) sebagai intinya (core, central, nucleus) pada lapisan pertama (A), kemudian bidang-bidang Pendidikan Disiplin Ilmu pada layer kedua (B.1-dst), serta bidang-bidang Disiplin Ilmu lain  pada lapisan ketiga (C.1-dst). Ketiga lapisan gugus bidang keilmuan itu ternyata memperlihatkan adanya semacam “sharing” secara substansial, A dengan B, B dengan A dan C serta C dengan B.
Dengan adanya strategi penelaahan yang benar, diharapkan sebuah perencanaan, regulasi dan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah akan memperoleh penguatan keilmuan sehingga memiliki nilai filosofis akademis bukan hanya tekstual normative saja. Proses pendidikan harus memberikan ruang yang lebih bagi terselenggaranya pelaksanaan pengajaran dan pembelajaran yang lebih interaktif, humanis, demokratis, dialogis, dan analitis-kritis sehingga kajian pendidikan mengenai pada sasaran yang diinginkan.
Metode pembelajaran pada pendidikan tinggi diharapkan lebih berorientasi pada observation-based (discovery) learning dan collaborative learning dan mempertimbangkan aspek neurologi dan psikologi (Paparan Mendikbud dalam Sosialisasi Kurikulum 2013 pada tanggal 16 Maret 2013).
Pendidikan merupakan salah satu mekanisme untuk mendorong terjadinya perubahan baik dalam pengetahuan maupun untuk perbaikan ekonomi keluarga. Selama ini pendidikan dijadikan sebagai sarana pembelajar bagi berbagai kalangan, tanpa memandang agama, etnis, tingkat ekonomi maupun kedalaman pengetahuan. Sekolah dijadikan sebagai laboratorium untuk berbagai kalangan berinteraksi saling kenal satu sama lain dan sharing pengalaman hidup tanpa melihat adanya perbedaan. Peserta didik bisa saling mengenal budaya, agama, bahkan gaya dan selera dari berbagai kelas sosial masyarakat tanpa ada sekat. Pendidikan berjalan tanpa pembedaan sekat golongan sehingga ada proses pembelajan untuk saling kenal dan bersimpati antar peserta didik. Sekolah (negeri) sering dijadikan potret keberagaman peserta didik. Sekolah homogen ditandai dengan kesamaan karakteristik peserta didik, entah karena persamaan ekonomi, golongan, agama maupun etnisitas. Kecenderungan ini tampaknya semakin marak dengan tumbuhnya sekolah-sekolah elit, berlabel internasional, unggul dalam hal sarana dan prasarana yang tumbuh subur di kotakota besar, yang uniknya makin digemari masyarakat urban. Sekolah-sekolah tersebut hanya bisa diakses oleh masyarakat yang memiliki tingkat ekonomi menengah keatas dan tidak memungkinkan bagi golongan ekonomi bawah. Hal yang sama juga muncul disekolah-sekolah berbasis keagamaan.
Program pemerataan hasil pembangunan yang diharapkan dapat mencakup seluruh masyarakat, pada kenyataannya justru dinikmati oleh golongan mampu, terutama elit atau kelas menengah yang dekat dengan penguasa. Diperkirakan hanya sekitar 20 % golongan masyarakat menengah bawah yang dapat menikmati hasil pembangunan.
Kondisi ini memunculkan kesenjangan sosial ekonomi yang semakin lebar. Akumulasi modal terjadi tetapi hanya pada segelintir orang. Kemudahan akses kerja sama dinikmati pengusaha besar, berbagai bidang usaha mereka kuasai sedangkan masyarakat miskin masih dililit kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan. Akibatnya, upaya peningkatan kualitas manusia terhambat dan menganggu pengembangan sumber daya manusia.
Pendidikan selain mempengaruhi berbagai variabel sosial juga mempengaruhi produktivitas pekerjaan. Survey dari beberapa negara berpendapatan rendah menunjukkan bahwa ada keterkaitan antara tingkat pendidikan dengan efisiensi produksi pertanian. Pada masyarakat yang berpendidikan ada peningkatan  efisiensi produksi sebesar 7% dibandingkan dengan yang tidak berpendidikan.
Peningkatan pendidikan juga mempermudah akses dalam mencari pekerjaan. Pendidikan menjadi tujuan hampir untuk semua keluarga di Indonesia. Pendidikan menjadi escalator sosial dimana melalui pendidikan status sosial seseorang mampu dikatrol menuju status yang diharapkan. Pentingnya pendidikan membuat hampir semua orang mengalokasikan semua sumber dayanya untuk menyekolahkan penerus/generasi muda dengan menjejali mereka dengan pendidikan yang berkualitas. Kecenderungan tersebut juga dibarengi dengan semakin banyaknya penyedia pendidikan baik dari dalam maupun luar negeri (via lisensi) yang menawarkan program pendidikan unggulan mulai dari pre-school (PAUD) hingga perguruan tinggi. Masing-masing lembaga tersebut menawarkan sarana dan prasarana belajar yang lengkap, guru yang kompeten dan lingkungan pembelajaran yang nyaman plus lingkungan sosial (pertemanan) yang seimbang. Seimbang disini mereka menawarkan gaya hidup, level status sosial yang sama dan berimbang antar siswa (homogen). Selain itu, lembaga-lembaga pendidikan tersebut juga menawarkan pendidikan yang berbasis pada etnis atau agama tertentu untuk menyasar orang tua yang idealismenya masih kuat terutama yang ingin anaknya tumbuh sejak kecil dengan metode belajar yang berkualitas plus ada didikan agama eksklusif yang orang tua inginkan.
Hampir sebagian besar lembaga-lembaga pendidikan tersebut (sekolah) menarik kontribusi yang cukup besar (mahal) untuk fasilitas dan kualitas yang mereka tawarkan. Pada akhirnya kesan eksklusif menjadi lekat dengan dunia pendidikan. Siswa yang berasal dari golongan ekonomi mapan bisa memilih dimana mereka akan sekolah, sebaliknya siswa dari golongan menengah bawah pada akhirnya tidak akan punya pilihan. Inilah yang memunculkan gejala eksklusifitas pendidikan karena tidak semua anak/siswa dapat bermain, belajar bersama tanpa ada sekat status sosial, etnis, ras, maupun agama. Akhirnya eksklusifitas justru akan melahirkan diskriminasi.
Gejala kemunculan sekolah eksklusif di berbagai wilayah telah tampak. Fenomena ini menarik untuk dilihat bukan dalam kapasitas untuk mempertanyakan kualitas sekolah-sekolah tersebut tetapi lebih melihat pada akibat jangka panjangnya pada perkembangan siswa dan kehidupan bermasyarakat yang secara tidak langsung akan memagari siswa-siswa ini perspektif yang diajarkan di kelas dan tidak bisa melihat perspektif yang berbeda, sehingga ada kemungkinan akan melahirkan konflik, pertentangan, gesekan karena ketidakmampuan mereka beradaptasi dengan lingkungan yang heterogen.
Homogenisasi pendidikan kemudian diartikan sebagai keseragaman, harmonisasi yang ‘dipaksakan’, kesamaan, kesebandingan, sesuatu hal yang memang dibuat sama dan seragam dalam dunia pendidikan, termasuk didalamnya kesamaan, keberimbangan status sosial siswa dan orang tuanya, kesamaan agama siswanya hingga kesamaan etnis siswanya. Kesemuanya tersebut mewujud dalam sekolah-sekolah yang berbasis pada status (prestise)/education francise, dan sekolah berbasis agama, baik tingkat dasar maupun tingkat atas. Homogenisasi disini sama artinya diskriminasi terhadap siswa yang berbeda status sosial, agama atau etnis. Pada akhirnya sekolah yang homogen menjadi sama dengan sekolah eksklusif. Gejala homogenisasi inilah yang kemudian menjadi ancaman bagi dunia pendidikan Indonesia.
Tahun 2020 ini merupakan gerbang awal generasi milenal dan generasi alfa akan berkembang menuju kepada progres karir dengan segala sesuatu serba digital (Revolusi Industi 4.0). Semua kegiatan diarahkan dalam financial technology, ecommerce, big data, artificial intelligence, e-learning, dan seakan-akan memberikan surga dunia yang serba hingar bingar. Kehidupan di era teknologi digital ini banyak memangkas atau menghilangkan kompetensi individu. Dimana semua korporasi akan mulai menggunakan robot dalam proses produksi. Hal ini yang menjadi salah satu pendorong bahwa pentingnya soft skills, attitude, dan karakter seseorang.
          Dengan semangat HARDIKNAS di Tahun 2020 selama pandemi COVID-19 ini, Kemendikbud mengembangkan tema HARDIKNAS “Belajar dari COVID-19” sebagai bentuk semangat juang dan kekuatan daya psikologis untuk siap menghadapi situasi darurat percepatan penanganan COVID-19 segera hilang dan berlalu. Instruksi pembelajaran daring ini sebagai bentuk ikhtiar dari guru atau pendidika melaksanakan work from home dan proses penerimaan informasi peserta didik untuk belajar dari rumah saja (learning from home).
Dunia pendidikan saat ini sedang mengalami transisi dari proses belajar konvensional menuju pembelajaran daring (online/e-learning/distance learning), sehingga semua pendidik berlomba-lomba untuk mengemas proses pembelajaran dengan media yang kreatif dan inovatif berbasis teknologi digital.
          Tren kedepannya dunia pendidikan akan menghadapi bagaimana proses pengembangan pendidikan karakter, implementasi pendidikan kedamaian di Indonesia dan tentunya pendidikan berbasis teknologi digital dengan segala perubahan dan inovasi.
Program pengembangan pendidikan karakter akan terus digalakkan disetiap satuan pendidikan dari dikdasmen hingga perguruan tinggi. Dengan inovasi dari mendikbud sesuai arahan bahwa UN dihapuskan dan munculnya asesmen kompetensi minimum (AKM) dan survey karakter. Maka penulis kiranya penting menguraikan pendekatan komprehensif untuk meningkatkan pendidikan karakter.  Thomas Lickona menyarankan suatu pendekatan pendidikan karakter yang komprehensif, melibatkan berbagai komponen terkait dan berbagai latar (setting).  Pendekatan ini didefinisikan oleh “ide-ide besar” berikut:
1.    Sepanjang sejarah dan di seluruh dunia, pendidikan memiliki dua tujuan besar: membantu orang-orang menjadi cerdas dan membantu mereka menjadi baik.
2.    Baik” dapat didefinisikan dalam bentuk nilai-nilai moral yang memiliki kemanfaatan objektif—nilai-nilai yang mengakui martabat manusia dan mempromosikan kebaikan individu dan masyarakat.
3.    Dua nilai moral membentuk inti dari suatu moralitas publik yang dapat diajarkan: respect and responsibility (penghargaan dan pertanggungjawaban).
4.    Penghargaan berarti menunjukkan rasa hormat terhadap nilai seseorang atau sesuatu.  Ini mencakup menghargai diri sendiri, menghargai hak-hak dan martabat semua orang, dan menghargai lingkungan  yang membuat semua kehidupan berkelanjutan.  Penghargaan adalah sisi perlarangan dari moralitas; ia menjaga kita untuk tidak menyakiti apa yang seharusnya kita hargai.
Pertanggungjawaban adalah sisi aktif dari moralitas.  Ia mencakup melaksanakan kepedulian terhadap diri sendiri dan orang lain, memenuhi kewajiban-kewajiban kita, kontributif terhadap komunitas kita, mengurangi penderitaan, dan membangun dunia yang lebih baik.
5.    Mendidik penghargaan dan pertanggungjawaban—membuat hal-hal ini menjadi nilai-nilai operatif dalam penghidupan para siswa—adalah mendidikkan karakter.  Karakter terdiri atas:
a.      pengetahuan moral (kesadaran moral, menegetahui nilai-nilai moral, melihat dengan sudut pandang orang lain, penalaran moral, pembuatan putusan, dan pengetahuan diri)
b.      perasaan moral (hati-nurani, harga-diri, empati, mencintai kebaikan, kontrol-diri, dan rendah hati)
c.      tindakan moral (kompetensi, keinginan, dan kebiasaan)
6.    Dihadapkan dengan struktur sosial yang memburuk, sekolah-sekolah yang berharap membangun karakter harus menyediakan pendekatan yang komprehensif, yang merangkul banyak hal, terhadap pendidikan nilai yang menggunakan semua tahap kehidupan sekolah untuk membantu perkembangan karakter.  Ini mencakup 12 strategi ruang kelas dan sekolah, yang tertuju pada penciptaan nilai-nilai penghidupan penghargaan dan pertanggungjawaban dalam karakter para siswa.
          Dalam ruang kelas, suatu pendekatan komprehensif menuntut guru untuk melakukan inovasi pembelajaran sebagai berikut :
1.    Bertindak sebagai pemerduli (caregiver, pemberi kepedulian, perawat), model, dan mentor, memperlakukan para siswa dengan cinta dan penghargaan, menjadi contoh baik, mendukung perilaku prososial, dan mengkoreksi tindakan-tindakan yang menyakiti.
2.    Menciptakan sebuah komunitas moral di kelas, membantu para siswa untuk saling kenal, menghargai dan peduli antara siswa yang satu dengan yang lainnya, dan merasakan keanggotaan yang berharga dalam kelompok.
3.    Mempraktikkan disiplin moral, menggunakan penciptaan dan penegakan aturan-aturan sebagai peluang-peluang untuk menumbuhkan penalaran moral, kontrol-diri, dan penghargaan terhadap orang lain.
4.    Menciptakan sebuah lingkungan ruang kelas yang demokratis, melibatkan para siswa dalam pembuatan-putusan dan berbagi tanggung jawab untuk membuat ruang kelas menjadi tempat yang baik untuk berada dan belajar.
5.    Mengajarkan nilai-nilai melalui kurikulum, menggunakan mata-mata pelajaran sebagai wahana untuk menkaji isu-isu etis.  (Ini secara serempak merupakan sebuah strategi sekolah ketika kurikulum menangani kepedulian lintas-jenjang kelas seperti pendidikan seks, anti narkoba, alkohol, dan kekerasan remaja.)
6.    Menggunakan pembelajaran kooperatif untuk mengajari anak-anak dengan watak dan keterampilan tolong-menolong dan bekerja sama.
7.    Mengembangkan the “conscience of craft” dengan menumbuhkan tanggung jawab akademik para siswa dan penghargaan mereka terhadap nilai dari belajar dan kerja.  ( The “conscience of craft”, nurani tentang kerja, perasaan benar-salah tentang kerja dan dorongan untuk kerja sebaik-baiknya.)
8.    Mendorong refleksi moral melalui kegiatan membaca, menulis, diskusi, pembuatan-putusan, dan debat.
9.    Ajarkan pemecahan konflik agar para siswa memiliki kapasitas dan komitmen untuk memecahkan konflik dengan cara yang tidak memihak dan tanpa kekerasan.
          Suatu pendekatan yang komprehensif menuntut sekolah untuk:
10. Menumbuhkan kepedulian ke luar ruang kelas, menggunakan model-model peranan yang memberi inspirasi dan peluang-peluang untuk sekolah dan pengabdian komunitas untuk membantu para siswa belajar peduli dengan memberi kepedulian.
11. Menciptakan budaya moral positif di sekolah, mengembangkan seluruh lingkungan sekolah (melalui kepemimpinan kepala sekolah, disiplin pada tataran sekolah, suatu kepekaan sekolah terhadap komunitas, pemerintahan siswa yang demokratik, suatu komunitas moral di kalangan orang dewasa, dan waktu untuk menangani kepentingan-kepentingan moral) yang mendukung dan meningkatkan nilai-nilai yang diajarkan di ruang-ruang kelas.)
12. Rekruitasi orang tua dan anggota komunitas sebagai mitra dalam pendidikan nilai, dukung orang tua sebagai guru moral pertama anak; mendorong orang tua untuk mendukung sekolah dalam upaya-upaya menumbuhkan nilai-nilai yang baik; dan mengupayakan bantuan komunitas (yakni, masjid, gereja, biara, perusahaan, dan media) dalam memperkuat nilai-nilai yang sedang diupayakan untuk diajarkan oleh sekolah.  
         

Nilai- nilai yang harus diajarkan sekolah.  Lickona (1992) memulai uraiannya tentang pendidikan karakter di sekolah dengan dua prinsip berikut ini:
1.     Terdapat nilai-nilai yang bermanfaat secara objektif, disepakati secara universal yang harus diajarkan sekolah-sekolah di tengah masyarakat yang plural; dan
2.     sekolah-sekolah hendaknya tidak hanya memapari para siswa dengan nilai-nilai tersebut, tetapi juga membantu mereka memahami, menginternalisasi, dan bertindak berdasarkan nilai-nilai tersebut.          
          Adapun yang dimaksudkannya dengan nilai, ada dua jenis: moral dan nonmoral. Nilai-nilai moral seperti kejujuran, tanggung jawab, dan ketidakmemihakan mengandung kewajiban.  Kita merasa wajib memenuhi jani, membayar hutang, menyayangi anak, dan tidak memihak dalam menangani suatu perkara.  Nilai moral mengatakan apa yang harus dilakukan.  Kita harus terikat pada nilai-nilai moral bahkan ketika kita tidak menyukainya.
          Nilai-nilai nonmoral tidak mengandung kewajiban yang demikian.  Nilai-nilai ini mengekspresikan apa yang kita inginkan atau sukai untuk kita lakukan.  Saya dapat secara pribadi menghargai kegiatan mendengarkan musik klasik, misalnya, atau membaca sebuah novel yang  bagus.  Tapi jelas adanya saya tidak terkena kewajiban untuk melakukannya.
          Nilai-nilai moral (kewajiban) dapat diurai lebih lanjut menjadi dua kategori: universal dan nonuniversal.  Nilai-nilai moral universal – seperti memperlakukan semua orang secara adil dan menghargai penghidupan mereka, kebebasan, dan kesetaraan – mengikat semua orang dimanapun karena mereka nilai-nilai ini menegaskan nilai fundamental dan martabat manusia.  Kita memiliki hak dan bahkan suatu kewajiban untuk menuntut semua orang berbuat sesuai dengan nilai-nilai moral universal tersebut.
Harapannya sosok atau profil kompetensi peserta didik sebagai generasi emas adalah individu yang memiliki karakter tangguh, unggul dan kuat serta siap menghadapi perubahan dan inovasi teknologi digital.
Pertumbuhan teknologi digital memicu perkembangan di berbagai sektor kehidupan. Pertumbuhan teknologi internet, memicu perubahan perilaku manusia dalam bidang komunikasi, bisnis dan pendidikan. Meski banyak nilai positif dari pertumbuhan teknologi internet. Namun, sisi negatifnya juga mengancam. Misalnya, komunikasi yang serba terbuka, massifnya berita fitnah dan kencangnya konten-konten hoax di media sosial. 
Era digital, menyediakan berbagai ancaman bagi generasi muda. Salah satunya, adalah terkikisnya pondasi karakter bangsa yang good character and smart of thinking. Mengapa hal ini terjadi? Era 4.0 menyediakan alternatif komunikasi gaya baru, yaitu melalui media sosial. Dengan berselancar di dunia maya, banyak pihak merasakan nyaman. Hanya dengan bermodal kuota dan ponsel pintar, kita sudah bisa berselancar di dunia maya, menjelajahi berita. Berbagai kemudahan itu, di sisi lain menghadirkan ruang disrupsi.
Salah satu tantangan yang terjadi adalah, disrupsi di bidang pendidikan (khususnya) karakter. Teknologi era digital memberikan kompensasi bagi seseorang. Bahkan dalam proses belajar mengajar pun, seorang siswa kadang tidak perlu bertatapan dengan guru. Sayangnya, hal ini menjadi satu ancaman, yakni terjadi proses reduksi pendidikan. Nilai-nilai etika dan sopan santun memiliki predisposisi yang lebih besar untuk luntur.
Di era disrupsi, di mana segala hal berubah dengan cepat, anak-anak harus dibekali dengan kemampuan literasi digital. Karena anak-anak era kekinian banyak bersinggungan dengan internet, maka literasi digital menjadi salah satu alternatif yang paling mungkin untuk membangun pondasi pendidikan karakter era kekinian. Pada era digital, pembelajaran pun sudah beralih dari face to face menjadi e learning. E-school News (2009) mencatat bahwa beberapa perusahaan teknologi seperti Verizon, Dell, Apple dan Microsoft mendukung pendanaan e-learning, dimana dunia pendidikan pun harus ikut beralih ke era digital.
Literasi digital dapat dijadikan salah satu sarana membentuk karakter anak bangsa milenial melalui tradisi membaca di dunia maya. Literasi digital merupakan sebuah hal baru yang perlu ditradisikan agar anak bangsa mencintai membaca, mampu memilih informasi tepat, dan membangun informasi yang bersifat membangun (perdamaian).
Literasi digital merupakan salah satu bagian dari literasi media digital. Kurniawati dan Baroroh (2012) menyebutkan bahwa literasi digital adalah ketertarikan, sikap dan kemampuan individu dalam menggunakan teknologi digital dan alat komunikasi untuk mengakses, mengelola, mengintegrasikan, menganalisis dan mengevaluasi informasi, membangun pengetahuan baru, membuat dan berkomunikasi dengan orang lain agar dapat berpartisipasi secara efektif dalam masyarakat.
Literasi digital memungkinkan pola pendidikan karakter bagi generasi milenial, dengan cara terbiasa mengumpulkan informasi dan mengelolanya secara efektif. Melalui pembiasaan mengasah keterampilan literasi digital, anak-anal milenial dapat belajar bagaimana cara memiliki karakter damai. Mengelola informasi, tidak mentah menerima hoaks, dan membangun pengetahuan baru yang lebih efektif, sehingga mampu memberikan kontribusi bagi perdamaian dan persatuan bangsa.
Sebelum anak diterjunkan kepada literasi digital, penting bagi setiap keluarga membekali anak keterampilan calistung dan pendidikan kematangan emosi. Ketika anak sudah memiliki kecerdasan emosi yang baik, dipadu dengan keterampilan calistung yang optimal, maka anak-anak dapat berselancar di dunia maya tanpa mudah terhasut ujaran kebencian. Sebaliknya, harapannya mereka dapat menjadi agen perdamaian di dunia maya. Keluarga dan sekolah merupakan pendidik anak yang utama. Keluarga harus mampu membekali nilai-nilai kesopanan, kearifan, toleransi, dan perdamaian.



1 komentar:

  1. Sands Casino Online Review
    Review of deccasino Sands Casino's online casino. Learn how you can claim a free bonus, learn how to deposit and withdraw 메리트 카지노 쿠폰 money, and claim an exclusive bonus.‎Mobile casino · ‎Withdrawal methods · ‎Live casino septcasino

    BalasHapus

Penguatan Integrasi Pendidikan

PENGUATAN INTEGRASI PENDIDIKAN DALAM ERA DISUPSI Oleh :  Asep Rohiman Lesmana, M.Pd. Pendidikan merupakan suatu entitas yang s...