Konsep Dasar
Permainan dan Terapi Bermain
Oleh :
Iman Lesmana
1. Definisi Permainan
Istilah play ‘bermain’ dan games ‘permainan’ memiliki makna
berbeda dalam literatur terapi bermain. Menurut Schaefer & Reid (2001) bermain dipandang sebagai suatu
perilaku yang muncul secara alamiah yang dapat ditemukan dalam kehidupan
manusia dan binatang. Aktivitas sukarela dan
spontan yang tidak memiliki titik akhir atau tujuan tertentu. Bermain secara intrinsik
didorong oleh hasrat untuk bersenang-senang (Garvey dalam Schaefer & Reid,
2001). Bermain juga merupakan
suatu kekuatan pendorong dalam perkembangan manusia. Pada masa bayi dan masa
kanak-kanak akhir, bermain memiliki suatu peran kunci untuk eksplorasi, melatih otot dan pikiran, dan
berhubungan dengan orang lain. Kalangan terapis anak telah lama memahami
kekuatan dari bermain pura-pura sebagai medium ekspresi material psikis. Dalam
terapi anak, bermain seringkali merupakan pengganti bagi verbalisasi, ekspresi fantasi, atau asosiasi bebas. Material yang biasanya digunakan dalam terapi
bermain adalah mainan dan bahan-bahan
yang dapat dimainkan dengan beragam cara dan memiliki nilai simbolik
yang tinggi. Alat-alat bermain simbolik antara lain; boneka, rumah-rumahan,
wayang, miniatur manusia dan bentuk-bentuk binatang, kendaraan mainan,
alat-alat seni, tanah liat, dan air.
Memainkan game adalah suatu bentuk
bermain dan karenanya merupakan suatu
bentuk kesenangan sekaligus sumber kesenangan bagi individu. Game telah telah ada sejak jaman
prasejarah dan dianggap memainkan suatu berperan signifikan dalam adapasi
terhadap lingkungannya (Sutton & Smith dalam Schaefer & Reid, 2001). Games menuntut perilaku yang lebih
terarah pada tujuan dan keseriusan yang
lebih besar dibandingkan dengan play.
Kebanyakan games memiliki
aturan-aturan yang menentukan peran-peran pemain, batasan-batasan dan harapan terhadap
perilaku, dan menggambarkan bagaimana permainan itu berfungsi/berjalan.
Akibatnya, rentang dan cakupan perilaku permainan (game) itu lebih terbatas dibandingkan dengan play yang tak terstruktur, dan imaginasi serta pura-pura. Menurut
Schaefer & Reid (2001) Jenis permainan yang lazim digunakan dalam terapi
bermain, adalah permainan papan, permainan kartu, permainan jalanan, permainan
komputer, permainan otot halus dan permainan otot kasar.
Game telah menjadi suatu metafora sentral dan alat penelitian
untuk mengeliminasi konflik-konflik kepentingan dalam interaksi-interaksi
bisnis, politik, dan interpersonal (Schlenker & Bonoma, dalam Schaefer
& Reid, 2001).
Dalam pelaksanaannya games
memerlukan kemampuan kognitif yang lebih besar dibandingkan dengan bermain (play). Untuk bermain hopscotch ‘sondah’
atau permainan kartu perang, orang harus dapat menghitung, mengenali
angka-angka pokok, dan memahami konsep lebih banyak/lebih sedikit. Anak-anak
yang bermain game juga harus memiliki toleransi
frustrasi yang cukup dan pengujian
realitas untuk menerima
batasan-batasan dalam berperilaku, bergiliran, mengikuti aturan, dan menerima
kekalahan. Disamping itu dalam games diperlukan
sejumlah konsentrasi dan persistensi untuk mengikuti suatu permainan. Lebih
jauh lagi, bermain game melibatkan
suatu tantangan pribadi untuk menerapkan keterampilan-keterampilan seseorang.
Karakteristik terakhir yang membedakan antara play
dengan game adalah
prasyarat-prasyarat game untuk interaksi interpersonal. Sepanjang sejarah, games telah berkembang sebagai aktivitas
sosial dengan melibatkan dua orang atau lebih. Pada kebanyakan games, tindakan-tindakan partisipasi
memegang peranan penting, artinya hasil dari game tergantung pada interaksi-interaksi dari para pemain, dan bukan
pada tindakan satu orang pemain saja. Berbeda halnya denngan bermain yang tak
terstruktur yang dapat dilaksanakan oleh dua orang anak atau lebih dengan interaksi yang kecil di antara mereka.
1. Games
dan Play sebagai Media Peningkatan
Kemampuan Beradaptasi.
Menurut Russ (2004) para ahli sepakat bahwa bermaian tidak hanya terbatas
pada makhluk manusia tetapi juga pada berbagai jenis binatang. Manusia dan
binatang melakukan aktivitas bermain pada dasarnya sebagai mekanisme
mempertahankan keberlangsungan hidup dan mengembangkan fungsi adaptasi.
Ada dua teori penting berkenaan dengan adaptasi makhluk lewat play, yakni teori ‘arousal’ dan teori ‘educational’.
Walaupun tampak saling berlawanan pada
dasarnya kedua teori ini saling melengkapi. Teori arousal menjelaskan fenomena bermain dalam kerangka jangka pendek,
sedang teori ‘pendidikan’ (educational) untuk memberikan pemahaman yang bersifat
jangka panjang. Dalam teori arousal dikatakan
bahwa setiap organisme pada dasarnya berusaha mempertahankan ‘an optimal level of aousal’, artinya
setiap makhluk yang pada dasarnya selalu menginginkan perubahan-perubahan.
Dengan adanya ‘arousal’ yang membawa
perubahan dalam pikiran, maka setiap makhluk selalu berada dalam situasi yang
selalu ‘berubah’ , dan ini menghindarkan makhluk dari rasa bosan. “Ketidak-bosanan” ini
dilihat dari sudut pandang adaptasi ternyata memang bermanfaat sebab kebosanan “may be dangerous to the organism because,
in a semicomatose state, it is susceptible to predation. Animals relieve
boredom by playing…” (Lancy, dalam Russ, 2004)
Teori kedua, yaitu teori pendidikan, pada dasarnya tidak jauh berbeda
dengan pendekatan fungsional di atas. Menurut
teori ini, ‘bermain’ dapat “serve as an
educational medium to exercise and improve the young animal’s survival and
rerprpductive skills”( Lancy dalam Russ, 2004). Penelitian mengenai fungsi
‘bermain’ yang berkenaan dengan keberlangsungan hidup, pada dasarnya memberikan
landasan yang kokoh bagi upaya untuk mempertahankan kehadiran games dalam kehidupan manusia. Ternyata ‘bermain’ bukanlah suatu kegiatan yang tidak ada artinya, terutama
bagi upaya membekali anak-anak dengan kemampuan tertentu agar dapat bertahan
hidup dalam lingkungannya. Dengan ‘bermain’ anak-anak, atau generasi baru suatu
spesies akan memproleh berbagai kemampuan, keterampilan dan pengetahuan yang
sangat penting untuk keberlangsungan hidup, tanpa harus merasa jenuh ketika
berada dalam proses mempelajari keterampilan dan diajari pengetahuan baru
tersebut.
3. Bermain sebagai Model Intervensi
Bermain telah menjadi bagian dari proses terapi terutama sejak Melanie
Klein dan Anna Freud menggunakan teknik ini dalam psikoterapi anak-anak.
Menurut Russ (2004) dalam literature terapi anak ada empat fungsi penting dari
bermain sebagai terapi. Pertama bermain merupakan ekspresi natural anak. Anak
menggunakan permainan untuk mengekspresikan perasaan-perasaannya, anak juga
menggunakan permainan sebagai upaya untuk mengekspresikan ekspresi dan
fantasinya dan bahkan untuk mengekspresikan masalah dan konflik dalam dirinya.
Dengan demikian bermain dapat dikategorikan sebagai media katarsis.
Kedua, anak-anak menggunakan permainan sebagai bahasa dalam berkomunikasi
dengan terapis. Hubungan baik akan tercipta jika anak dan terapis berinteraksi
secara intensif dalam suatu permaian, permaian juga adapt menumbuhkan rasa
empati pada kedua belah pihak, sehingga akan memudahkan proses hubungan
interpersonal yang lebih fungsional. Melalui permainan anak bisa menjalin
komunikasi yang efektif. Dalam terapi psikodinamik dan client centered komunikasi
efektif merupakan bagaian dari proses terapi.
Ketiga, fungsi utama dari bermain adalah sebagai kendaraan yang akan
mempertinggi pemahaman dan memperlancar proses konseling. Dalam perspektif
psikodinamik resolusi emosional dari konflik dan trauma, merupakan indicator
keberhasilan proses terapi. Dalam proses permainan anak dapat me-reexperience pengalaman-pengalamannya
dan menyelesaikan masalah-masalah traumatis yang dihadapi dalam kehidupan
sehari-hari. Menurut Russ (2004), Freud dan Klein setuju bahwa working through dan mastery merupakan mekanisme perubahan yang penting yang dihasilkan
dalam proses terapi.
Penggunaan permainan sebagai
media terapi sebenarnya memiliki akar sejarah yang panjang dalam terapi anak,
menurut Russ (2004) permaian sebagai media terapi telah digunakan secara
berbeda dalam berbagai perspektif teoretis. Teori psikodinamik, client centered
therapy dan behavior therapy dalam menggunakan permainan dalam proses terapi
mereka.
Dalam teori psikodinamik, permainan telah digunakan sebagai media subtitusi
asosiasi bebas, mengekspresikan fantasi dan menyalurkan insting-insting. Sementara
dalam pendekatan client centered permainan telah digunakan sebagai sarana untuk
proses komunikasi antara klien dengan konselor. Menurut Moustakas dalam Russ
(2004) hubungan baik yang tercipta melalui proses permainan menjadi bagaian
yang penting dalam proses terapi berpusat pada anak.
Cognitif
behavior therapy
mayakini bahwa permainan juga telah digunakan sebagai alat untuk
mengkerangkakan proses terapi. Menurut Meichenbaum dalam Russ (2004) berfantasi
dan berimajinasi dapat digunakan sebagai media untuk mengajarkan self control
pada anak. Ia juga telah menggunakan permainan sebagai kendaranan
untuk perubahan berpikir pada anak. Bahkan
Knell dalam Russ (2004) sebagai pengembang cognitive behavior play therapy
(CBPT) telah menggunakan permainan sebagai upaya untuk mereferensikan proses
modeling dan reinforcement.
a. Aspek
Psikologis yang Diekspresikan dalam Bermain
Studi tentang bermain pada anak dapat menjelaskan hubungan antara
kognitif-afektif, dan proses interpersonal (Russ, 1987; J. Singer, 1973; D.
Singer & J. Singer, 1990). Menurut Russ
(2003) dengan mengamati proses permainan, konselor dapat melihat ekspresi dari
sejumlah proses kognisi, afektif, dan proses interpersonal.
Proses kognisi yang diekspresikan melalui proses bermain meliputi: (1)
Organisasi; (2) berpikir divergen; (3) simbolisme dan (4) Fantasi/ Khayalan.
1)
Organisasi adalah proses psikologis yang terkait dengan kemampuan
untuk mendeskripsikan suatu fenomena dengan logis dan sistematis.
2)
Berfikir divergen berkait
dengan kemampuan individu untuk mengembangkan sejumlah gagasan, tema cerita,
dan simbol secara kreatif.
3)
Simbolisme berkait dengan kemampuan untuk mentransformasi
obyek-obyek biasa (balok, lego) ke dalam representasi-representasi objek-objek
lain (misalnya, sebuah balok menjadi telepon).
4)
Fantasi /khayalan berkait dengan kemampuan
untuk terlibat dalam perilaku bermain “seakan-akan” – untuk berpura-pura berada
dalam suatu waktu dan ruang yang dipersepsikan.
Proses Afektif yang diekspresikan melalui proses bermain meliputi: (1)
ekspresi emosi; (2) ekspresi tema-tema afeksi; (3) Aturan emosi dan modulasi
afeksi; dan (4) integrasi kognisi dan afeksi.
1)
Ekspresi Emosi merujuk pada kemampuan individu untuk mengekspresikan
keadaan-keadaan dalam situasi bermain pura-pura. Baik afeksi positif maupun negatif.
Misalnya, anak mengekspresikan kegembiraan dengan membuat boneka menepuk
tangannya dan melompat naik turun dengan senangnya.
2)
Ekspresi tema-tema afeksi merujuk pada kemampuan untuk mengekspresikan
bayangan-bayangan bermuatan afeksi dan tema khusus dalam bermain. Anak
membangun suatu benteng dengan pistol untuk bersiap-siap perang. Ini adalah gagasan agresif,
sekalipun tidak ada pertempuan sebenarnya.
3)
Aturan emosi dan modulasi afeksi merujuk pada kemampuan
memuat dan mengatur emosi positif maupun emosi negatif.
4)
Integrasi kognitif dan afeksi merujuk pada kemampuan
utnuk mengintegrasikan afeksi ke dalam suatu konteks kognitif. Afeksi diekspesikan
di dalam suatu konteks naratif dan kognitif. Misalnya, agresi diekspresikan dalam
suatu cerita mengenai pertandingan tinju.
Proses Interpersonal yang diekspresikan melalui proses bermain meliputi:
(1) empati; (2) skema interpersonal/ representasi diri; dan (3) komunikasi. Empati
merujuk pada ekspresi kepedulian dan
perhatian terhadap orang lain. Sedangkan skema interpersonal/ Representasi diri
merujuk pada kapasitas individu untuk mempercayai orang lain. Komunikasi merujuk pada kemampuan untuk berkomunikasi,
mengekspresikan gagasan dan emosi pada orang lain.
Proses Pemecahan Masalah/ Resolusi Konflik yang diekspresikan melalui
proses bermain meliputi: (1) pendekatan pada masalah dan konflik; (2) pemecehan
masalah dan resolusi konflik. Pendekatan pada permasalahan dan konflik. ditunjukkan ketika individu mencoba menemukan
solusi pada permasalahan yang muncul. Sedangkan pemecahan masalah dan resolusi
konflik ditunjukkan ketika individu menangani dan memecahkan suatu masalah.
b. Peran Bermain dalam Proses Terapi
Proses bermain telah digunakan oleh para terapis untuk menimbulkan
perubahan, sekalipun caranya tidak sistematik. Proses-proses kognitif, afektif,
dan interpersonal dari bermain dapat
mempermudah kemampuan-kemampuan adaptif, seperti berfikir kreatif, pemecahan
masalah, penanganan, dan prilaku sosial anak. Kemampuan-kemampuan adaptif ini
penting bagi penyesuaian diri anak dan bermain
menjadi hal yang paling efektif dengan mentargetkan proses-proses yang
spesifik.
Menurut Russ (2004) Intervensi terapi bermain dapat memiliki dua tipe umum,
yaitu (1) intervensi sebagai medium untuk berubah artinya proses bermain dalam
terapi digunakan untuk menimbulkan perubahan. Misalnya, ekspresi emosi dalam
bermain untuk peristiwa traumatis memungkinkan emosi dan integrasi emosi bermanfaat bagi anak-anak yang didiagnosa
mengalami PTSD, (2) intervensi yang
memperkuat proses bermain, misalnya, anak-anak yang mengekspresikan emosi yang tidak
terkontrol, maka melalui peengembangan kemampuan bercerita dan kemampuan
naratif dapat membantu anak mengatur emosinya.
Agar dapat mengembangkan fondasi empirik untuk kerangka kerja intervensi
bemain, terdapat serangkaian pertanyaan yang
secara empirik perlu dijawab yaitu; (1) apakah proses-proses yang muncul
dalam bermain? dan bagaimana proses-proses itu saling berkaitan? (2) apakah
korelat-korelat empirik dari proses-proses bermain yang penting untuk
penyesuaian dan fungsi adaptif anak?, (3) dapatkah mendemonstrasikan suatu
hubungan kausal antara proses-proses bermain spesifik dan fungsi adaptif?(4)
apakah arah perkembangan dari masing-masing proses intervensi bermain? (5) apakah teknik-teknik intervensi untuk
mempermudah perubahan melalui
proses-proses bermain ?. Proses-proses apa yang diekspresikan dalam
bermain?
Bermain itu penting baik bagi perkembangan anak maupun dalam psikoterapi
anak. Bermain melibatkan kepura-puraan, penggunaan fantasi dan khayalan, dan
penggunaan simbolisme. Fein dalam Russ (2000) menyatakan bahwa bermain
pura-pura adalah suatu perilaku simbolik yang di dalamnya “satu hal itu
diperlakukan secara menyenangkan seakan-akan hal itu merupakan hal lainnya
lagi” (hal. 282). Fein juga menyatakan bahwa kepura-puraan dilakukan dengan
perasaan dan intensitas emosional, sehingga afeksi itu jalin menjalin dengan
bermain pura-pura. Fein memandang bermain sebagai suatu bentuk alamiah dan
kreativitas.
Krasnor dan Pepler dalam Russ (2004) mengembangkan suatu model bermain yang
melibatkan empat komponen: nonliteralitas, afeksi positif, motivasi intinsik,
dan fleksibilitas. Mereka yakin bahwa “bermain murni” melibatkan keempat
komponen, dengan tataran yang bervariasi. Mereka juga menghadirkan tiga
pandangan dasar dari hubungan antara bermain dan keterampilan-keterampilan
perkembangan. Pertama, bermain merefleksikan tingkatan perkembangan anak dan,
karena tu, dapat digunakan sebagai suatu alat diagnostik. Kedua, bermain
memberikan suatu kesempatan untuk mempraktikan keerampilan-keterampilan.
Ketiga, bermain adalah agen kausal dalam perubahan perkembangan..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar