Kamis, 30 April 2020

Konsep Dasar Permainan & Terapi Bermain


Konsep Dasar Permainan dan Terapi Bermain


Oleh :
Iman Lesmana


1.  Definisi Permainan
Istilah play ‘bermain’ dan games ‘permainan’ memiliki makna berbeda dalam literatur terapi bermain. Menurut Schaefer & Reid (2001) bermain dipandang sebagai suatu perilaku yang muncul secara alamiah yang dapat ditemukan dalam kehidupan manusia dan binatang. Aktivitas sukarela dan  spontan yang tidak memiliki titik akhir atau tujuan tertentu. Bermain secara intrinsik didorong oleh hasrat untuk bersenang-senang (Garvey dalam Schaefer & Reid, 2001). Bermain juga merupakan suatu kekuatan pendorong dalam perkembangan manusia. Pada masa bayi dan masa kanak-kanak akhir, bermain memiliki suatu peran kunci untuk  eksplorasi, melatih otot dan pikiran, dan berhubungan dengan orang lain. Kalangan terapis anak telah lama memahami kekuatan dari bermain pura-pura sebagai medium ekspresi material psikis. Dalam terapi anak, bermain seringkali merupakan pengganti bagi verbalisasi, ekspresi fantasi, atau asosiasi bebas.  Material yang biasanya digunakan dalam terapi bermain adalah mainan dan bahan-bahan  yang dapat dimainkan dengan beragam cara dan memiliki nilai simbolik yang tinggi. Alat-alat bermain simbolik antara lain; boneka, rumah-rumahan, wayang, miniatur manusia dan bentuk-bentuk binatang, kendaraan mainan, alat-alat seni, tanah liat, dan air.
Memainkan game adalah suatu bentuk bermain dan karenanya  merupakan suatu bentuk kesenangan sekaligus sumber kesenangan bagi individu. Game telah telah ada sejak jaman prasejarah dan dianggap memainkan suatu berperan signifikan dalam adapasi terhadap lingkungannya (Sutton & Smith dalam Schaefer & Reid, 2001). Games menuntut perilaku yang lebih terarah pada tujuan dan  keseriusan yang lebih besar dibandingkan dengan play. Kebanyakan games memiliki aturan-aturan yang menentukan peran-peran pemain, batasan-batasan dan harapan terhadap perilaku, dan menggambarkan bagaimana permainan itu berfungsi/berjalan. Akibatnya, rentang dan cakupan perilaku permainan (game) itu lebih terbatas dibandingkan dengan play yang tak terstruktur, dan imaginasi serta pura-pura. Menurut Schaefer & Reid (2001) Jenis permainan yang lazim digunakan dalam terapi bermain, adalah permainan papan, permainan kartu, permainan jalanan, permainan komputer, permainan otot halus dan permainan otot kasar.
Game telah menjadi suatu metafora sentral dan alat penelitian untuk mengeliminasi konflik-konflik kepentingan dalam interaksi-interaksi bisnis, politik, dan interpersonal (Schlenker & Bonoma, dalam Schaefer & Reid, 2001).
Dalam pelaksanaannya games memerlukan kemampuan kognitif yang lebih besar dibandingkan dengan bermain (play). Untuk bermain hopscotch ‘sondah’ atau permainan kartu perang, orang harus dapat menghitung, mengenali angka-angka pokok, dan memahami konsep lebih banyak/lebih sedikit. Anak-anak yang bermain game juga harus memiliki toleransi frustrasi yang cukup dan pengujian realitas untuk menerima batasan-batasan dalam berperilaku, bergiliran, mengikuti aturan, dan menerima kekalahan. Disamping itu dalam games diperlukan sejumlah konsentrasi dan persistensi untuk mengikuti suatu permainan. Lebih jauh lagi, bermain game melibatkan suatu tantangan pribadi untuk menerapkan keterampilan-keterampilan seseorang.
Karakteristik terakhir yang membedakan antara  play dengan game adalah prasyarat-prasyarat game untuk interaksi interpersonal. Sepanjang sejarah, games telah berkembang sebagai aktivitas sosial dengan melibatkan dua orang atau lebih. Pada kebanyakan games, tindakan-tindakan partisipasi memegang peranan penting, artinya hasil dari game tergantung pada interaksi-interaksi dari para pemain, dan bukan pada tindakan satu orang pemain saja. Berbeda halnya denngan bermain yang tak terstruktur yang dapat dilaksanakan oleh dua orang anak atau lebih  dengan interaksi yang kecil di antara  mereka.
1.   Games dan Play sebagai Media Peningkatan Kemampuan Beradaptasi.
Menurut Russ (2004) para ahli sepakat bahwa bermaian tidak hanya terbatas pada makhluk manusia tetapi juga pada berbagai jenis binatang. Manusia dan binatang melakukan aktivitas bermain pada dasarnya sebagai mekanisme mempertahankan keberlangsungan hidup dan mengembangkan fungsi adaptasi.
Ada dua teori penting berkenaan dengan adaptasi makhluk lewat play, yakni teori ‘arousal’ dan teori ‘educational’. Walaupun tampak saling berlawanan  pada dasarnya kedua teori ini saling melengkapi. Teori arousal menjelaskan fenomena bermain dalam kerangka jangka pendek, sedang teori ‘pendidikan’ (educational)  untuk memberikan pemahaman yang bersifat jangka panjang. Dalam teori arousal dikatakan bahwa setiap organisme pada dasarnya berusaha mempertahankan ‘an optimal level of aousal’, artinya setiap makhluk yang pada dasarnya selalu menginginkan perubahan-perubahan. Dengan adanya ‘arousal’ yang membawa perubahan dalam pikiran, maka setiap makhluk selalu berada dalam situasi yang selalu ‘berubah’ , dan ini menghindarkan makhluk dari rasa bosan. “Ketidak-bosanan” ini dilihat dari sudut pandang adaptasi ternyata memang bermanfaat sebab kebosanan “may be dangerous to the organism because, in a semicomatose state, it is susceptible to predation. Animals relieve boredom by playing…” (Lancy, dalam Russ, 2004)
Teori kedua, yaitu teori pendidikan, pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan pendekatan fungsional di atas. Menurut teori ini, ‘bermain’ dapat “serve as an educational medium to exercise and improve the young animal’s survival and rerprpductive skills”( Lancy dalam Russ, 2004). Penelitian mengenai fungsi ‘bermain’ yang berkenaan dengan keberlangsungan hidup, pada dasarnya memberikan landasan yang kokoh bagi upaya untuk mempertahankan kehadiran games dalam kehidupan manusia. Ternyata ‘bermain’ bukanlah suatu kegiatan yang tidak ada artinya, terutama bagi upaya membekali anak-anak dengan kemampuan tertentu agar dapat bertahan hidup dalam lingkungannya. Dengan ‘bermain’ anak-anak, atau generasi baru suatu spesies akan memproleh berbagai kemampuan, keterampilan dan pengetahuan yang sangat penting untuk keberlangsungan hidup, tanpa harus merasa jenuh ketika berada dalam proses mempelajari keterampilan dan diajari pengetahuan baru tersebut.
3.   Bermain sebagai Model Intervensi
Bermain telah menjadi bagian dari proses terapi terutama sejak Melanie Klein dan Anna Freud menggunakan teknik ini dalam psikoterapi anak-anak. Menurut Russ (2004) dalam literature terapi anak ada empat fungsi penting dari bermain sebagai terapi. Pertama bermain merupakan ekspresi natural anak. Anak menggunakan permainan untuk mengekspresikan perasaan-perasaannya, anak juga menggunakan permainan sebagai upaya untuk mengekspresikan ekspresi dan fantasinya dan bahkan untuk mengekspresikan masalah dan konflik dalam dirinya. Dengan demikian bermain dapat dikategorikan sebagai media katarsis.
Kedua, anak-anak menggunakan permainan sebagai bahasa dalam berkomunikasi dengan terapis. Hubungan baik akan tercipta jika anak dan terapis berinteraksi secara intensif dalam suatu permaian, permaian juga adapt menumbuhkan rasa empati pada kedua belah pihak, sehingga akan memudahkan proses hubungan interpersonal yang lebih fungsional. Melalui permainan anak bisa menjalin komunikasi yang efektif. Dalam terapi psikodinamik dan client centered  komunikasi efektif merupakan bagaian dari proses terapi.
Ketiga, fungsi utama dari bermain adalah sebagai kendaraan yang akan mempertinggi pemahaman dan memperlancar proses konseling. Dalam perspektif psikodinamik resolusi emosional dari konflik dan trauma, merupakan indicator keberhasilan proses terapi. Dalam proses permainan anak dapat me-reexperience pengalaman-pengalamannya dan menyelesaikan masalah-masalah traumatis yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Russ (2004), Freud dan Klein setuju bahwa working through dan mastery merupakan mekanisme perubahan yang penting yang dihasilkan dalam proses terapi.  
Penggunaan permainan sebagai media terapi sebenarnya memiliki akar sejarah yang panjang dalam terapi anak, menurut Russ (2004) permaian sebagai media terapi telah digunakan secara berbeda dalam berbagai perspektif teoretis. Teori psikodinamik, client centered therapy dan behavior therapy dalam menggunakan permainan dalam proses terapi mereka.
Dalam teori psikodinamik, permainan telah digunakan sebagai media subtitusi asosiasi bebas, mengekspresikan fantasi dan menyalurkan insting-insting. Sementara dalam pendekatan client centered permainan telah digunakan sebagai sarana untuk proses komunikasi antara klien dengan konselor. Menurut Moustakas dalam Russ (2004) hubungan baik yang tercipta melalui proses permainan menjadi bagaian yang penting dalam proses terapi berpusat pada anak.
Cognitif behavior therapy mayakini bahwa permainan juga telah digunakan sebagai alat untuk mengkerangkakan proses terapi. Menurut Meichenbaum dalam Russ (2004) berfantasi dan berimajinasi dapat digunakan sebagai media untuk mengajarkan self control pada anak. Ia juga telah menggunakan permainan sebagai kendaranan untuk perubahan berpikir pada anak. Bahkan Knell dalam Russ (2004) sebagai pengembang cognitive behavior play therapy (CBPT) telah menggunakan permainan sebagai upaya untuk mereferensikan proses modeling dan reinforcement.
a.   Aspek Psikologis yang Diekspresikan dalam Bermain
Studi tentang bermain pada anak dapat menjelaskan hubungan antara kognitif-afektif, dan proses interpersonal (Russ, 1987; J. Singer, 1973; D. Singer & J. Singer, 1990).  Menurut Russ (2003) dengan mengamati proses permainan, konselor dapat melihat ekspresi dari sejumlah proses kognisi, afektif, dan proses interpersonal.
Proses kognisi yang diekspresikan melalui proses bermain meliputi: (1) Organisasi; (2) berpikir divergen; (3) simbolisme dan (4) Fantasi/ Khayalan.
1)    Organisasi adalah proses psikologis yang terkait dengan kemampuan untuk mendeskripsikan suatu fenomena dengan logis dan sistematis.
2)    Berfikir divergen berkait dengan kemampuan individu untuk mengembangkan sejumlah gagasan, tema cerita, dan simbol secara kreatif.
3)    Simbolisme berkait dengan kemampuan untuk mentransformasi obyek-obyek biasa (balok, lego) ke dalam representasi-representasi objek-objek lain (misalnya, sebuah balok menjadi telepon).
4)    Fantasi /khayalan berkait dengan kemampuan untuk terlibat dalam perilaku bermain “seakan-akan” – untuk berpura-pura berada dalam suatu waktu dan ruang yang dipersepsikan.
Proses Afektif yang diekspresikan melalui proses bermain meliputi: (1) ekspresi emosi; (2) ekspresi tema-tema afeksi; (3) Aturan emosi dan modulasi afeksi; dan (4) integrasi kognisi dan afeksi.
1)    Ekspresi Emosi merujuk pada kemampuan individu untuk mengekspresikan keadaan-keadaan dalam situasi bermain pura-pura. Baik afeksi positif maupun negatif. Misalnya, anak mengekspresikan kegembiraan dengan membuat boneka menepuk tangannya dan melompat naik turun dengan senangnya.
2)    Ekspresi tema-tema afeksi merujuk pada kemampuan untuk mengekspresikan bayangan-bayangan bermuatan afeksi dan tema khusus dalam bermain. Anak membangun suatu benteng dengan pistol untuk bersiap-siap perang. Ini adalah gagasan agresif, sekalipun tidak ada pertempuan sebenarnya.
3)    Aturan emosi dan modulasi afeksi merujuk pada kemampuan memuat dan mengatur emosi positif maupun emosi negatif.
4)    Integrasi kognitif dan afeksi merujuk pada kemampuan utnuk mengintegrasikan afeksi ke dalam suatu konteks kognitif. Afeksi diekspesikan di dalam suatu konteks naratif dan kognitif. Misalnya, agresi diekspresikan dalam suatu cerita mengenai pertandingan tinju.
Proses Interpersonal yang diekspresikan melalui proses bermain meliputi: (1) empati; (2) skema interpersonal/ representasi diri; dan (3) komunikasi. Empati merujuk pada ekspresi kepedulian dan perhatian terhadap orang lain. Sedangkan skema interpersonal/ Representasi diri merujuk pada kapasitas individu untuk mempercayai orang lain. Komunikasi merujuk pada kemampuan untuk berkomunikasi, mengekspresikan gagasan dan emosi pada orang lain.
Proses Pemecahan Masalah/ Resolusi Konflik yang diekspresikan melalui proses bermain meliputi: (1) pendekatan pada masalah dan konflik; (2) pemecehan masalah dan resolusi konflik. Pendekatan pada permasalahan dan konflik.  ditunjukkan ketika individu mencoba menemukan solusi pada permasalahan yang muncul. Sedangkan pemecahan masalah dan resolusi konflik ditunjukkan ketika individu menangani dan memecahkan suatu masalah.
b.   Peran Bermain dalam Proses Terapi
Proses bermain telah digunakan oleh para terapis untuk menimbulkan perubahan, sekalipun caranya tidak sistematik. Proses-proses kognitif, afektif, dan  interpersonal dari bermain dapat mempermudah kemampuan-kemampuan adaptif, seperti berfikir kreatif, pemecahan masalah, penanganan, dan prilaku sosial anak. Kemampuan-kemampuan adaptif ini penting bagi penyesuaian diri anak dan bermain  menjadi hal yang paling efektif dengan mentargetkan proses-proses yang spesifik. 
Menurut Russ (2004) Intervensi terapi bermain dapat memiliki dua tipe umum, yaitu (1) intervensi sebagai medium untuk berubah artinya proses bermain dalam terapi digunakan untuk menimbulkan perubahan. Misalnya, ekspresi emosi dalam bermain untuk peristiwa traumatis memungkinkan emosi dan integrasi emosi  bermanfaat bagi anak-anak yang didiagnosa mengalami  PTSD, (2) intervensi yang memperkuat proses bermain,   misalnya, anak-anak  yang mengekspresikan emosi yang tidak terkontrol, maka melalui peengembangan kemampuan bercerita dan kemampuan naratif dapat membantu anak mengatur emosinya.
Agar dapat mengembangkan fondasi empirik untuk kerangka kerja intervensi bemain, terdapat serangkaian pertanyaan yang  secara empirik perlu dijawab yaitu; (1) apakah proses-proses yang muncul dalam bermain? dan bagaimana proses-proses itu saling berkaitan? (2) apakah korelat-korelat empirik dari proses-proses bermain yang penting untuk penyesuaian dan fungsi adaptif anak?, (3) dapatkah mendemonstrasikan suatu hubungan kausal antara proses-proses bermain spesifik dan fungsi adaptif?(4) apakah arah perkembangan dari masing-masing proses intervensi bermain? (5)  apakah teknik-teknik intervensi untuk mempermudah perubahan melalui  proses-proses bermain ?. Proses-proses apa yang diekspresikan dalam bermain?
Bermain itu penting baik bagi perkembangan anak maupun dalam psikoterapi anak. Bermain melibatkan kepura-puraan, penggunaan fantasi dan khayalan, dan penggunaan simbolisme. Fein dalam Russ (2000) menyatakan bahwa bermain pura-pura adalah suatu perilaku simbolik yang di dalamnya “satu hal itu diperlakukan secara menyenangkan seakan-akan hal itu merupakan hal lainnya lagi” (hal. 282). Fein juga menyatakan bahwa kepura-puraan dilakukan dengan perasaan dan intensitas emosional, sehingga afeksi itu jalin menjalin dengan bermain pura-pura. Fein memandang bermain sebagai suatu bentuk alamiah dan kreativitas.
Krasnor dan Pepler dalam Russ (2004) mengembangkan suatu model bermain yang melibatkan empat komponen: nonliteralitas, afeksi positif, motivasi intinsik, dan fleksibilitas. Mereka yakin bahwa “bermain murni” melibatkan keempat komponen, dengan tataran yang bervariasi. Mereka juga menghadirkan tiga pandangan dasar dari hubungan antara bermain dan keterampilan-keterampilan perkembangan. Pertama, bermain merefleksikan tingkatan perkembangan anak dan, karena tu, dapat digunakan sebagai suatu alat diagnostik. Kedua, bermain memberikan suatu kesempatan untuk mempraktikan keerampilan-keterampilan. Ketiga, bermain adalah agen kausal dalam perubahan perkembangan..


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Penguatan Integrasi Pendidikan

PENGUATAN INTEGRASI PENDIDIKAN DALAM ERA DISUPSI Oleh :  Asep Rohiman Lesmana, M.Pd. Pendidikan merupakan suatu entitas yang s...