Pendekatan Konseling Karir Ciri dan Faktor
(Trait and Factor)
Oleh :
Iman Lesmana
Konseling karir ciri dan faktor (trait
and factor career counseling) dikenal memiliki latar belakang
sejarah pada bidang psikologi yang difokuskan pada identifikasi dan pengukuran
perbedaan individu dalam tingkah laku manusia (Anastasi, 1958; Patterson, 1930;
Tayler,1965). Teori Ciri dan Faktor merupakan satu dari keseluruhan
orientasi dalam proses psikologi vokasional untuk menggambarkan dan menjelaskan
pembuatan keputusan karir berdasarkan “kesesuaian individu dengan pekerjaan”.
Terbuat dari tiga asumsi atau prinsip:
1.
berdasarkan
karakteristik khusus psikologisnya setiap pekerja disesuaikan setepat mungkin
pada suatu jenis pekerjaan yang khusus;
2.
kelompok pekerja yang
berbeda pekerjaan mempunyai karakteristik psikologi yang berbeda;
3.
berbagai penyesuaian
kerja langsung dengan perjanjiannya antara karakteristik pekerja dengan tuntutan
kerja.
1.
Model
Model pendekatan konseling karir ini,
menurut Parson (1909) lebih menekankan pada tiga hal : a) individu; b)
pekerjaan; dan c) hubungan antar keduanya, sehingga Parson dingggap sebagai
pelopor yang menggabungkan pengalaman-pengalaman pada perkembangan psikometrik
dan okupasionologi yang terbaru. Yang dibuat dalam tes Minnesota yaitu minat,
keterampilan manual, persepsi ruang dan lainnya. Kemudian hasilnya dimasukkan
ke dalam informasi pekerjaan yang dipersembahkan oleh US.
Secara filosofis, teori konseling karir trait
and factor telah mempunyai komitmen kuat terhadap keunikan individu. Secara
psikologis nilai ini bermanfaat dalam waktu yang lama untuk prinsip psikologi
differensial. Sebagai konsekuensi, ada dua implikasi signifikan untuk model
ini. Pertama, hal ini sangat bersifat teoretis daripada pemasukkan
proporsi perbedaan individu. trait and factor bisa menyebabkan “dustbowl-empirism”
suatu keyakinan tunggal dengan pengertian eksplisit dan prediksi statis
ini, konsep organisasi atau konstruk hipotesis yang berpusat pada konseli dan
pendekatan psikodinamik. Kedua, analisa dan atomistic yang berorientasi ini
memberikan contoh yang disebut psikograf dimana profil konseli konseling karir trait
and factor lebih skematis atas pemecahan masalah.
a.
Diagnosis
Landasan teori konseling karir trait
and factor adalah diagnosis differensial Williamson (1939a, pp. 102-103)
dijelaskan sebagai:
“suatu proses pemikiran logis atau mengeluarkan dari yang
bersangkutpaut dan fakta yang tidak bersangkutpaut. Rumus konsisten mempunyai
makna dan pengertian atas konseli serta kecenderungan dengan prognosis atau judgement
untuk penyesuaian masa depan yang dibuat oleh klien”.
Untuk menangani masalah diagnosis dalam
pembuatan keputusan karir, Williamson (1939b) membanginya ke dalam 4 kategori
berikut.
1) Tidak ada pilihan (No choice), konseli tidak mampu
menyebutkan bidang pekerjaan yang akan dipilihnya.
2) Ketidakpastian pilihan (Uncertain choice), konseli
ragu atas pilihan karir yang telah ada di pikirannya.
3) Pilihan tidak bijaksana (Unwise choice), konseli
memilih karir yang tidak sesuai dengan bakat dan minatnya.
4) Ketidaksesuaian antara minat dan bakat (Discrepancy
between interest and aptitudes), yang termasuk kategori ini adalah: (a)
bidang pekerjaan yang diminati tidak sesuai dengan bakat konseli; (b) pekerjaan
yang diminati tidak sesuai dengan tingkat kemampuan konseli; dan (c) bakat dan
minat cocok, tetapi tidak sesuai dengan pekerjaan yang dipilih.
Untuk memulai diagnosis sebagai bantuan
untuk konseling karir dapat dimulai dengan identifikasi masalah konseli.
Terdapat tiga kelemahan: (a)
dalam mengklasifikasikan permasalahan konseli hanya menunjukkan 50%; (b)
diagnosis ini tidak berdiri sendiri tetapi diklasifikasikan ke dalam tiga kategori;
dan (c) diagnosis ini belum lengkap.
Untuk mengantisipasi masalah-masalah ini,
Crites (1969) telah menetapkan sistem diagnosis untuk masalah konseli dalam
pemilihan karir yang dapat diandalkan, independensi dan dependensi juga saling
melengkapi memberikan kriteria sebuah pengklasifikasian dari sistem
pendefinisian dan kategorisasi masalah. Kriteria ini sudah dijelaskan di tabel
8.1 dan untuk menguraikan masalah ada di bagan 8.1. Prinsip dari sistem tersebut menyatu dengan
persetujuan konseli, kesenangannya dan pilihan konseli. Bila konselor memiliki
data objektif untuk setiap variabel ini ia dapat memastikan kalsifikasi masalah
konseli ke dalam sistem karena katagori tersebut independen dan saling
berkaitan. Sistem tersebut bagaimanapun juga terbatas dari variabel yang
digunakan sebagai kriteria pengklasifikasian. Ada beberapa masalah konseli
dimana harus didiagnosis secara mendasar, berbeda dengan sistem-sistem yang
lain dan inilah yang paling menarik dari
pemilihan karir ciri dan faktor.
Walaupun diagnosis dari sistem ini belum dapat
dipastikan, tapi konselor harus mendukung pengklasifikasian masalah konseli.
Dampak masalah konseli terhadap pemilihan karir
harus dilaporkan sebagai hasil diagnosis. Sebagai contoh dapat diperhatikan
pada Tabel berikut ini.
Skala Pemilihan Karir
1.
Apa pilihan kariermu? Pekerjaan apa yang kamu minati
untuk pekerjaan tetap setelah kamu menyelesaikan pendidikan/ pelatihan?
_______________________________________________________________
2.
Tafsirkan derajat kepastian dengan pilihan karir di skala
yang ada di bawah ini. Hubungkan (beri tanda seperti menjodohkan dengan garis)
dari poin yang isinya seberapa cocok kamu dengan karir yang kamu pilih!
Kepastian Tinggi Aku sedikit
bimbang mengenai karir yang aku pilih. Aku tidak mengharapkan untuk merubahnya.
Aku mempunyai rencana untuk masuk kepada
pilihan karir tersebut dan menetap disitu.
Kepastian Menengah Aku agak ragu/bimbang
mengenai karir yang aku pilih.
Benarkah aku sudah membuat pilihan/
keputusan yang tepat.
Kepastian Rendah Aku
mempunyai banyak keraguan mengenai karir
yang aku pilih.
Aku punya pilihan tetapi kadang aku
berpikir dan bertanya-tanya pada diri sendiri apakah ini pilihan karir yang
tepat.
Proses
Dalam
proses konseling karir trait and factor terdapat sejumlah
tahapan. Menurut Williamson (1939) ada enam tahap dalam proses konseling
karir dalam pendekatan ini yaitu :
1) Analisis. Dalam tahap ini
dilakukan pengumpulan data dari konseli tentang sikap, latar belakang
keluarga, tingkat pendidikan, minat dan bakat.
2) Sintesis. Membandingkan dan menyimpulkan data yang telah didapat dari konseli
sebagai acuan dalam teknik studi kasus
dan tes profil untuk melihat keunikan dan ciri khas yang di miliki klien.
3) Diagnosis. Dalam tahap diagnosis menguraikan
karakteristik dan masalah
konseli, dan membandingkan (mencocokan) antara profil individu dengan tingkat
pendidikan dan profil standar jabatan.
4) Prognosis. Mengambil keputusan atas konsekuensi yang akan didapat dari masalah dan
kemungkinan untuk penyesuaian dan untuk mengambil alternatif tindakan yang menjadi pertimbangan konseli.
5) Konseling atau treatmen. Di sini berupa kerja sama antara konselor dan konseli
yang mengarah kepada penyesuaian yang diinginkan oleh konseli pada saat ini
maupun pada saat yang akan datang.
6) Follow-up, merupakan pengulangan dari tahapan-tahapan sebelumnya yang digunakan
sebagai bahan acuan dalam langkah tindak lanjut dalam penyelesaian masalah yang dihadapi konseli, juga sebagai usaha dalam mengantisipasi
timbulnya masalah baru pada konseli.
Keempat langkah pertama di atas hanya di lakukan oleh konselor sedangkan pada dua tahap terakhir
konseli ikut terlibat. Dalam penyelesaian pengambilan keputusan karir oleh
konseli ada tiga tahapan yang sama dengan proses yang telah dikemukakan tadi. Tahap
pertama, berupa kontak antara konselor dan konseli dimana konseli
diwawancara dan mengungkapkan permasalahannya. Konselor mendengarkan,
melihat latar belakang pribadi, dan
pendidikannya kemudian memberikan tes kepada konseli sebelum wawancara yang selanjutnya. Tahap kedua,
wawancara dilakukan untuk menafsirkan
tes yang telah dilakukan, dan mengumpulkan berbagai data dari konseli,
melalui psikometrik dan demografik konseli,
konselor berperan lebih aktif dibanding konseli. Tahap terakhir,
pemberian informasi mengenai pekerjaan. Konselor memberikan informasi tentang
pekerjaan yang cocok dengan ciri dan
faktor pada konseli dan tentu saja melihat informasi itu dari sumber yang
relevan.
Sebenarnya proses konseling karir trait
and factor terbagi dalam tiga wilayah permasalahan: a) latar belakang
masalah (kumpulan data diri); b)
pernyataan masalah (menginterpretasikan tes); dan c) resolusi masalah (informasi pekerjaan).
c.
Hasil
Jika diagnosis dalam konseling karir trait
and factor telah akurat dan prosesnya efektif, hasilnya pasti sesuai dengan
yang diharapkan. Pemecahan masalah konseli ini dilakukan dengan membatasi dan
menggunakan pendekatan tertentu. Dimana ada keraguan di situ ada keputusan;
dimana ada ketidaknyataan di situ ada kenyataan. Secara umum hal ini bertujuan
agar konseli mampu membuat keputusan karir melalui proses pembuatan keputusan
dan pemecahan masalah. Dalam pilihan karir yang sesuai dengan pendidikannya
tentu saja dapat diimplementasikan dalam dunia kerja. Satu-satunya pengecualian
untuk prognosis mungkin ditangguhkan atau penundaan pilihan selama beberapa
waktu. Dalam kasus ini, ada pilihan tetapi secara paradoks bukan untuk membuat
pilihan. Ketika perkembangannya dilihat sering terjadi, untuk alasan yang baik, meskipun ini belum murni konseling karir ciri
dan faktor. Contohnya, beberapa pola minat pekerjaan, seperti pelayanan sosial,
yang dikembangkan kemudian dibandingkan dengan yang lain, sejak pilihan harus
didasarkan pada minat, keputusan karir mungkin ditunda sampai minat benar-benar
mengkristal. Menurut data dari Strong (1943: 1955) mengindikasikan bahwa banyak
perubahan minat terjadi antar usia 15 dan 18 tahun dan tetap pada usia 21
tahun.
Hasil yang terlihat dari konseling karir
ciri dan faktor adalah: a) konseli mampu membuat pilihan secara realistik saat
memasuki awal masa dewasa; dan b)
konseli belajar cara membuat keputusan dan menyelesaikan masalah,
pembeda keputusan dan solusi. Williamson (1965: 198) menjelaskan tujuan ini
bagian dari penilaian dan kontrol pribadi:
Tugas dari konseling karir ciri dan faktor adalah untuk
membantu individu dalam merumuskan sef-understanding dan self
management yang sukses dengan membantunya menilai bakat dan kemampuan yang dimilikinya sebagai syarat
dalam perubahan tujuan hidup dan kariernya
Berbeda dengan yang telah dijelaskan,
Thompson (1954: 535) menjelaskan bahwa pendekatan ini seharusnya tidak hanya
membantu konseli untuk membuat keputusan (pilihan karir), tetapi juga harus
membantu konseli belajar proses membuat keputusan:
Perhatian konselor vokasional adalah tidak hanya membantu
individu untuk segera memecahkan masalah atau segera membuat keputusan; ia juga
harus mengetahui bahwa konseling yang efektif harus menghasilkan individu yang
lebih baik dan mampu memecahkan masalah di masa yang akan datang
Melihat cara ini, bidang konseling karir trait
and factor menjadi luas, tidak hanya isi tetapi juga proses dari pilihan
karir. Baik Williamson maupun Thompson berbicara tentang metode konseling,
untuk mencapai hasil yang menyeluruh. Pendekatan ciri dan faktor lebih berfokus
pada pembuatan pilihan karir konseli secara spesifik sebagai kriteria
keberhasilan.
2.
Metode
Metoda yang digunakan dalam konseling karir trait and
factor sebagai refleksi dari pendekatan rasionalistik dan kognitif.
Teknik-teknik yang digunakan adalah wawancara, prosedur interpretasi tes dan menggunakan
informasi pekerjaan yang selanjutnya akan disusun untuk membantu menyelesaikan
masalah konseli dan membantu dalam membuat keputusan karir. Konselor tidak
hanya melakukan pengumpulan data dengan sembarang saja tetapi juga harus
melakukan teknik-teknik tertentu seperti wawancara yang harus sesuai dengan
petunjuk yang ada. Dalam hal ini konselor harus bisa memahami perasaan, emosi
dan sikap konseli. Menurut Darley (1950, p.268) wawancara harus bisa mengungkap
dan menunjukan perasaan, sikap konseli yang sesungguhnya sehingga konselor bisa
memahami dan bisa membantu dalam mengambil keputusan, tentu saja keputusan
tersebut sepenuhnya tergantung pada diri konseli sendiri.
a.
Teknik wawancara
Williason (1939) telah mengidentifikasi
lima teknik umum yang diajukan untuk konseling karir ciri dan faktor, yaitu
sebagai berikut.
Pertama, menciptakan hubungan baik (establishing rapport).
Konselor berupaya untuk menumbuhkan kepercayaan konseli, memunculkan kemampuan
dan menumbuhkan hubungan baik dengan konseli sehingga ia akan mempercayakan
masalah yang dihadapinya pada konselor.
Kedua, mengolah pemahaman diri (cultivating self
understanding). Konselor harus berupaya untuk bisa membuat konseli untuk
berani mengungkapkan masalah dan memberikan informasi mengenai kemampuan yang
ada dalam diri konseli sehingga pemahaman konselor terhadap konseli bisa
berlangsung dengan baik.
Ketiga, mempertimbangkan atau merencanakan program tindakan (advising
or planning a program of action). Konselor harus mulai memberikan konseling
berdasarkan pemahaman individu tersebut. Konselor harus mulai merencanakan
program tindakan untuk membantu menyelesaikan permasalahan yang dihadapi
konseli.
Keempat, pelaksanaan rencana (carrying out the plan).
Membuat perencanaan tindakan yang lebih nyata bagi konseli dengan mulai membuat
persiapan dan perencanaan yang kemudian dilaksanakan dalam suatu tindakan.
Kelima, pengalihtanganan (referral). Seorang konselor
tidak selalu bisa melakukan konseling sendiri. Adakalanya seorang konselor
membutuhkan masukan dan bantuan dari pihak lain yang lebih berkompeten. Untuk
itu konselor bisa mengalihtangankan konseli pada ahli yang lebih berkompeten
untuk mengatasi masalah yang dihadapi konseli.
Lebih khusus lagi, Darley (1950, p. 266)
menyatakan tentang empat prinsip wawancara yang harus dilakukan konselor,
yaitu:
1)
Jangan menceramahi
atau mematahkan semangat konseli.
2)
Gunakan bahasa yang
mudah dipahami dan batasilah informasi yang akan
diberikan pada
konseli untuk memberikan kesempatan kepada konseli untuk mencari dan berupaya
dengan kemampuan yang dimilikinya.
3)
Yakinkan bahwa
konselor tahu tentang apa yang ingin dibicarakan oleh konseli sebelum
memberikan informasi atau jawaban.
4)
Yakinkan bahwa sikap
konseli bisa dijadikan pegangan untuk membantu pemecahan masalah.
Teknik-teknik
wawancara menurut Darley, adalah sebagai berikut.
1) Pembukaan wawancara (Opening the interview),
diawali dengan memberi salam kepada konseli
dan mempersilahkan untuk duduk kemudian memberikan pertanyaan lugas
seperti ”Apa yang ada dalam pikiran anda hari ini?” atau ” apa yang ingin anda
bahas?“ atau “apa yang dapat saya lakukan untuk anda?”.
2) Mengajukan pertanyaan (Phrasing question), untuk mendapatkan cerita yang mengalir dari konseli,
konselor diharapkan tidak mengajukan pertanyaan yang dapat dijawab “ya” atau
“tidak”. Contoh pertanyaannya: “Jadi anda ingin memulai bisnis kecil-kecilan?”
merupakan pertanyaan yang kurang efektif dibandingkan pertanyaan “Bagaimana
awalnya hingga anda memikirkan untuk berbisnis?”.
3) Pengalaman konseli (the client’s experiences),
perasaan konseli terhadap konselor tidak seluruhnya positif, terutama jika
sebelumnya ia telah mengalami hal yang kurang mengenakkan. Ia akan
membandingkan antara konselor yang satu dengan konselor lain, baik atau
buruknya. Ia akan melakukan penafsiran berdasarkan apa yang telah ia dapatkan
dari konselor lain. Untuk itu lebih baik konselor menanyakan apa yang telah diperolehnya dari konselor lain agar
pemberian konseling tidak bertentangan. Di sisi lain hal ini penting mengingat
bahwa ia akan menafsirkan apa yang orang lain telah katakan dengan pandangan
subyektifnya bukan dari pandangan sisi objektifnya.
4) Pembicaraan yang berlebihan dari konseli (Overtalking
the client). Banyak orang dalam suatu wawancara menemukan kesulitan untuk
menyatakan apa yang mereka maksud. Jangan terburu-buru menguasai konseli
apabila ia bingung dengan kalimat yang ia maksud. Kesalahan yang sering terjadi
pada awal wawancara adalah berbicara lebih cepat dari konseli atau mengalihkan
pembicaraan.
5) Menerima sikap dan perasaan konseli (Accepting the
clients attitude and feelings). Terkadang konseli tidak yakin bahwa dengan
wawancara dengan dilakukan akan membantunya dalam mengatasi permasalahan yang
tengah dihadapi berbagai macam sikap dan ekspresi akan muncul dengan wawancara.
Untuk itu, konselor perlu sesekali mengatakan hal yang mendukungnya untuk terus
mengungkapkan apa yang ada dalam pemikirannya. “Saya paham”atau “saya mengerti”
atau “ya”.
6) Mengkaji ulang (Cross-examining). Jangan
mengajukan pertanyaan kepada konseli secara terus menerus karena wawancara bukanlah suatu penelitian yang bersilangan.
Tanyakanlah hal yang perlu ketika wawancara berlangsung, jangan menumpuk
pertanyaan-pertanyaan tersebut dalam satu bagian dari wawancara. Ketika
pertanyaan dibutuhkan, tempatkanlah pertanyaan-pertanyaan tersebut dan
katakanlah dengan sebaik mungkin.
7) Keheningan dalam wawancara (Silence in the interview).
Keheningan diperlukan dalam wawancara baik bagi konselor maupun konseli.
Konseli mungkin menggunakannya untuk mencari kata-kata, sedangkan konselor
mungkin mencoba mengerti mengenai pembicaraan yang telah mereka lakukan.
8) Merefleksikan perasaan konseli (Reflecting the client
is feeling). Jika konseli sedang mencoba untuk menempatkan perasaan
emosinya menjadi kata-kata mungkin akan menjadi proses yang sulit dan kaku. Dia
mungkin memiliki perasaan malu atau merasa bersalah terhadap sikapnya atau dia
merasa bodoh di mata orang lain. Pada saat itu konselor diharapkan tidak
memberikan penilaian moral terhadap sikap konseli.
9) Mengakui ketidaktahuan (Admitting your
ignorance). Jika konseli bertanya tentang sebuah pertanyaan berdasarkan
fakta dan kita tidak mempunyai fakta, akan lebih baik untuk mengatakan “saya
tidak tahu”, daripada mencoba kesimpulan yang masih samar atau dalam cara lain mencoba
menutupi ketidaktahuan. Konseli mungkin mempunyai kepercayaan diri lebih
daripada konselor yang tidak ragu-ragu untuk mengetahui ketidaktahuannya. Hal
itu akan mendorong konselor untuk mendapatkan fakta-fakta lebih lanjut dan
untuk mengatakan kepada konseli kapan
mendapatkannya.
10) Distribusi waktu bicara (Distribution of talking
time). Mungkin kesalahan terbesar dari konselor pemula adalah
kecenderungannya untuk berbicara kepada konseli sampai koma. Termasuk wawancara
itu sendiri ada tempat tertentu dimana konselor perlu melakukan banyak
pembicaraan tapi jika wawancara adalah untuk mempunyai sebuah efek kesuksesan
pada klien, ada poin-poin tertentu dimana dia harus banyak melakukan banyak
pembicaraan dalam pengembangan pemahaman dirinya membawa sikapnya ke
permukaan dalam memformulasikan rencana
aksi. Pembicaraan umum, jika konselor berbicara dengan kesepakatan lebih dari
satu setengah waktu, bahwa wawancara akan tidak produktif daripada seorang
konseli yang berbicara lebih dari satu setengah waktu.
11) Perbendaharaan kata dalam wawacara (The vocabulary of
interview). Jika ide-ide dan kata melewati ranking konseli, dia tidak akan
belajar banyak. Ini berarti bahwa konselor harus membuat keputusan pada level
kemampuan verbal dan pemahaman diri kepada siapa dia berbicara. Dia kemudian
harus memilih kata-katanya yang sesuai, selalu untuk menjaga kata-kata
sesederhana mungkin, dan untuk menjaga ide-ide sejelas mungkin, mengulangi dan
mengatakan dengan cara lain ketika penting.
12) Banyak ide untuk setiap wawancara (The number of ideas
for interview). Ini berarti bahwa sejumlah ide dan topik didiskusikan
sebaik mungkin pada seluruh wawancara. Masalah yang sama dari sejumlah ide dari
setiap wawancara penting ketika ide meliputi kesepakatan dengan sikap emosi,
kemarahan, kegagalan, prustasi dan konflik. Ini akan memberi nilai positif saat
konselor menginginkan konseli untuk menceritakan semua pikirannya. Jika dengan
perhatian simpati yang lebih atau keingintahuan yang berlebihan konselor
merangsang konseli untuk mengatakan banyak tentang perasaannya, konseli akan
pergi dengan sangat sedikit kemungkinan untuk kembali lagi sejak dia merasakan,
perasaan bersalah dan malu untuk diekspos terlalu banyak sebagai orang baru.
13) Kendali dalam wawancara (Control of the interview).
Jika wawancara dilakukan secara berkesinambungan dan hasil akhir yang dapat
mendorong ke arah suatu modifikasi perilaku konseli, pewawancara harus dapat
mengendalikan proses wawancara tersebut. Ia harus dapat mengarahkan percakapan
dalam proses wawancara, atau dari permasalahan yang berlarut-larut. Ini bisa
dilakukan tanpa melawan arus yang menyangkut sikap konseli seperti yang telah
diungkap dalam kedelapan point diatas. Ungkapan seperti “Kita akan berbicara
tentang, ”atau” apa yang akan kita bicarakan? Konselor yang akan mengarahkan
percakapan dalam interview.
14) Hindari kata ganti orang (Avoid the personal pronoun).
Secara umum wawancara akan lebih efektif dan akan mengakibatkan suatu
percakapan bebas jika pewawancara menghindari
penggunaan kata "Saya" atau "aku" atau sejenisnya.
Konseli tidak menanyakan opini pewawancara. Konseli benar-benar menyampaikan
opininya berkenaan dengan cara untuk mengkritisi diri konseli sendiri.
15) Kabar buruk dalam wawancara (Bad news in the
interview). Tidak semua fakta harus konselor berikan pada konseli dengan
ekspresi yang menyenangkan. Itu tidak baik bila hanya menentramkan hati konseli
dengan mengatakan bahwa “semua akan membaik” atau “saya yakin kamu tidak akan
mendapatkan masalah dalam mengerjakan ini”.
16) Penambahan masalah (Additional problem).
Kadangkala konseli dalam mengutarakan masalahnya tidak diceritakan seluruhnya
pada konselor, sehingga untuk mengetahui permasalahan yang lengkap, konselor
dituntut untuk mampu membuat konseli mengungkapkan masalahnya secara lengkap.
17) Frekuensi pengunjung (The frequent visitor). Ada
kelompok yang menyukai untuk mendiskusikan masalah mereka. Mereka akan kembali
secara teratur untuk pembicaraan personal dengan konselor.
18) Membuat batasan dalam wawancara (Setting limits on the
interview). Wawancara dijadwal
terlebih dahulu, berapa lama wawancara itu dilaksanakan.
19) Perencanaan tindakan (Plans for action). Pada umumnya konseli akan melengkapi proses
pembelajaran tentang dirinya dan dunianya jika ada beberapa hal yang sekiranya
harus ia lakukan dari hasil wawancara. Lebih jauh lagi, banyak dari rencana
dalam hidup berdasarkan flesibilitas dalam
menjelaskan sesuatu tujuan dari tindakan atau membangun beberapa
rencana untuk
menemukan penyesuaian masalah baru.
20) Meringkas wawancara (Summarizing the inteview). Sejumlah pelajaran dalam wawancara secara lisan didapat
dari cara konseli meringkas wawancara. Ketika konselor melihat waktu yang
digunakan habis itu artinya tahapan pekerjaan harus segera diakhiri, dipercepat
atau diringkas. Jika mungkin konseli seharusnya melakukan peringkasan “sekarang
kita lihat apakah kita bisa menyelesaikan wawancara ini?” atau “katakan pada
saya kamu melihat situasi saat ini?” . Ungkapan-ungkapan semacam ini masih
digunakan dalam pembicaraan selanjutnya dari konseli.
21) Mengakhiri wawancara (Ending the interview). Ini
bukanlah tugas yang mudah. Ketika suasana terlihat mulai membaik konselor
menjadi bersemangat untuk menceritakan tentang dirinya dan minatnya. Wawancara
bisa menjadi komunikasi sosial yang buruk karena dapat merusak apa sebagian
besar kerja yang baik sebelumnya. Dan alangkah baiknya bila wawancara berakhir
pada saat itu. Jenis ungkapan yang menenangkan dapat digunakan pada saat itu
“apakah kamu pikir hari ini kita telah melakukan semua pekerjaan?” atau “adakah
hal lain yang ingin kamu bicarakan hari ini?”. Ungkapan tadi akan cukup baik
untuk mengakhiri suatu wawancara. Dan akan membantu pewawancara untuk
meninggalkan kegiatan tersebut. sangatlah penting untuk memperhatikan berbagai
situasi untuk mempelajari teknik dalam mengakhiri wawancara ketika waktu yang
telah ditetapkan telah habis.
b.
Interpretasi Tes
Teknik wawancara itu. Wiliamson (1939a,
pp. 139-142) membaginya ke dalam program tindakan yang meliputi kegiatan
berikut:
1)
Menasihati secara
langsung (Direct advising),
merupakan suatu aktivitas yang menjadikan konselor mempunyai alasan untuk percaya akan mendorong
ke arah masa depan dan menghindari
kegagalan moril yang serius bagi konseli yang dihadapinya.
2)
Bujukan (Persuasion), konselor membujuk konseli memahami
implikasi dan hasil diagnosis untuk langkah berikutnya. Konselor tidak menekankan pilihan konseli tetapi membujuk konseli untuk menghindari permasalahan baru.
3)
Penjelasan (Explanation), konselor menyelidiki penafsiran
arti dari hasil tes diagnosis dan data non-tes untuk meningkatkan pemahaman
konseli tentang hasil dan pilihan mereka. Masing-Masing pilihan karir yang
dipertimbangkan oleh konseli secara sistematis ditinjau dan diproyeksikan ke
masa depan yang secara psikologis dapat memprediksi kepuasan dan kesuksesan
vokasional dalam kedudukan berbeda.
Williamson (1939.1, p. 139) berpendapat
bahwa metode ini paling lengkap dan memuaskan. Lebih jauh lagi konselor
harus percaya pada keahlian konseli untuk membuat suatu tafsiran konseli
terhadap dirinya sendiri dengan melihat hasil tes dan gambaran umum serta
rekomendasi dari konseli sebagai bahan pertimbangan konseli.
Prosedur penafsiran tes dalam konseling
karir trait and factor memiliki cara khusus, walaupun tidak selalu
berkembang. Inisiatif konselor dalam proses yaitu dengan memperkenalkan atau
memberikan hasil tes. Biasanya dalam bentuk di atas lembaran kertas yang
diberikan kepada konseli dengan beberapa komentar seperti “tes yang telah
kamu terima harap dikembalikan lagi”. Beberapa konselor memulai dengan
pencarian minat (Super & Crites, 1962). Pola minat berhubungan dengan skor
dalam intelegensi, bakat, dan tes prestasi. Yang mendasari prinsip sebagai
indikator minat adalah kesesuaian antara kemampuan konseli dengan kenyataan
yang ada sebagai dasar dalam memilih karier. Jika ukuran kepribadian juga
digunakan, maka mereka dapat menyatukan antara minat dan semua data tentang
kemampuan untuk proses akhir.
Hasil tes dapat dihubungkan untuk
mempermudah pilihan karir konseli. Konselor memusatkan perhatian pada saat
wawancara dalam membuat keputusan. Alternatif mana yang akan dipilih tergantung
pada konseli sendiri. Ini adalah keputusan akhir dalam konseling karir ciri dan
faktor.
c.
Informasi Pekerjaan
Informasi pekerjaan dalam konseling karir trait
and factor dikemukakan oleh Brayfield (1950) yang dibedakan dalam tiga
fungsi:
1) Informasi (Informational). Konselor memberikan informasi kepada konseli seputar
pekerjaan untuk memastikan suatu pilihan yang telah dibuat, untuk memutuskan
dua buah pilihan yang sama menarik dan cocok, atau hanya meningkatkan
pengetahuan konseli tentang pilihan yang realistis.
2) Penyesuaian kembali (Readjustive). Konselor memperkenalkan informasi pekerjaan agar konseli
memiliki suatu dasar nyata untuk menguji suatu pilihan yang tidak sesuai,
prosesnya sebagai berikut.
Konselor pertama kali memberikan pertanyaan awal mengenai
ciri dari pekerjaan atau bidang yang telah dipilih oleh klien. Kemudian,
konselor memberikan informasi akurat yang
membuat konseli memperoleh pandangan tentang cara pandang ilusinya yang membuat
pikiran atau pekerjaan dan bidang tersebut tidak cocok dengan tujuan
kenyataannya.. pada saat ini biasanya konselor dapat mengubah interview menjadi
pertimbangan dari dasar yang realistis dimana pilihan pekerjaan yang cocok
ditemukan (Brayfield, 1950, p. 218).
3) Motivasi (Motivational). Konselor menggunakan informasi pekerjaan untuk
melibatkan konseli secara aktif dalam pengambilan keputusan. Untuk
mempertahankan kontak dengan konseli yang bebas hingga mereka bertanggung jawab
dengan pilihan mereka, dan menjaga motivasi untuk pilihan apabila kegiatan
konseli pada saat ini tidak sesuai dengan tujuan jangka panjangnya.
Christensen (1949) dan Baer dan Roeber
(1951) mengembangkan teori Brayfield dengan menambahkan:
1) Eksplorasi (Exploration). Konselor menggunakan informasi pekerjaan untuk membantu
konseli mengeksplorasi dunia kerja secara baik dari bidang pekerjaan tersebut.
2) Keyakinan (Assurance). Konselor menggunakan informasi pekerjaan untuk
meyakinkan konseli pilihan pekerjaannya cocok atau menghilangkan yang tidak
cocok.
3) Evaluasi (Evaluation). Konselor menggunakan informasi pekerjaan untuk
memeriksa keyakinan dan kesinambungan pengetahuan dari konseli tersebut dan
pemahamannya dari pekerjaan tersebut atau sejenisnya.
4) Mengejutkan (Startle). Konselor menggunakan informasi pekerjaan untuk memeriksa
apakah konseli menunjukkan tanda-tanda yakin atau tidak setelah melalui
beberapa hal.
Baer dan Roeber (1951, p. 426) meneliti
bahwa kategori-kategori tersebut untuk tujuan dan penekanan yang berbeda dalam penggunaan
informasi pekerjaan. Namun kateori-kategori tersebut tidak selalu
eksklusif. Mereka
tumpang tindih karena satu kategori biasanya mengarah ke
yang lain.
Sama seperti dalam pemahaman tes,
pelaksanaan konseling karir trait and factor berbeda bagaimana mereka
menggunakan informasi pekerjaan. Beberapa cukup memiliki pengetahuan tentang
dunia kerja hingga mereka dapat menyampaikannya secara lisan dalm interaksi
dengan konseli. Mungkin menyampaikan informasi ini lewat pamplet atau alat
lainnya. Yang lain membawa materi tertulis yang dibawa dalam interview bersama
konseli mereka. Prosedur ini sering mengubah sifat hubungan, konselor berubah
peranan dari rekan kerja atau fasilitator menjadi ahli atau guru dan konseli
menjadi siswa. Keadaan in dapat diatasi dengan konseli membaca terlebih dahulu
materi sebelum wawancara. Sayangnya, banyak konselor melakukan hal ini hanya
agar konseli pergi ke data pekerjaan, agensi konseling atau ke perpustakaan.
Membiarkannya tanpa dukungan hubungan konseling dengan para konseli, yang
cenderung pasif dan reaktif, tidak mengumpulkan informasi pekerjaan bagi mereka
sendiri dan hasilnya tahap pembuatan keputusan karir diabaikan. Walaupun ada
konseli yang memiliki inisiatif untuk memperoleh informasi, namun konselor
harus terlibat dalam tahapan terakhir yang penting ini.
3.
Materi
Untuk menggambarkan model dan metode
konseling karir trait and factor dengan materi kasus yang aktual.
Seorang perwakilan konseli dari universitas konseling telah dipilih. Seorang
pria berusia 18 tahun Mark. S melakukan
tiga wawancara setiap minggunya dalam waktu sebelum libur natal semester
pertamanya. Seperti yang diterapkan dalam lembaga itu, dia dihadapkan dengan
interview untuk disposisi. Dia diterima sebagai konselor pekerjaan dan dikirim
kepada konselor senior (full time) yang dia temui minggu berikutnya.
Materi yang dikumpulkan dalam kasus ini berupa kutipan wawancara, hasil tes,
data biografi dan demografi dan seterusnya yang telah diatur menurut model
konseling karir ciri dan faktor yaitu:
diagnosis, proses dan hasil. Metode wawancara, interpretasi tes, konseling
karir didiskusikan dalam hubungannya dengan model tersebut, yang sebelumnya
bermakna bagi penerapan selanjutnya.
a.
Diagnosis
Dalam diagnosis sebagai sebuah contoh
konseli yang dikemukakan adalah konseli yang masih ragu dalam pilihan karirnya.
Seperti kita ketahui konseli yang ragu membutuhkan dukungan data dalam hal ini
dari hasil wawancara dengan konselor dalam rangka meyakinkan dengan keputusan
pemilihan karirnya untuk masa depan. Di sini konselor dituntut untuk bisa
mengumpulkan data-data pendukung yang kuat sebagai dasar bagi pemilihan
keputusan karir konseli. Adapun cara yang ditempuh dalam pengumpulan data
melalui wawancara dan disertai tes. Tes-tes tersebut misalnya Meirer Art
Judgment Test dan American College Test (ACT), yang berfungsi
untuk melihat bakatnya. Konselor harus bisa memperkirakan minat konseli dengan
dua alasan, yaitu untuk penegasan pada minat utama konseli dan untuk
mengidentifikasi kemungkinan minat lain pada konseli yang tidak sama dengan
minat utamanya.
Dalam wawancara konselor harus bisa
menggali lebih jauh tentang diri konseli sebagai usaha untuk melengkapi data
konseli yang nantinya akan dijadikan acuan dan pendukung dalam penentuan
pemilihan keputusan karir. Dengan tujuan akhir konseli mampu menyelesaikan
permasalahan pemilihan keputusan karir secara mandiri.
b.
Proses
Dalam prosesnya konselor melakukan wawancara yang diawali
dengan tes. Penafsiran tes harus dilakukan oleh konselor untuk melihat
kecenderungan minat dan bakat konseli. Skor hasil tes harus dicatat dan
dibandingkan dengan hasil tes orang lain yang mempunyai bakat yang sama, jadi
disini akan terlihat kemampuan konseli yang sebenarnya. Terkadang konseli
bertanya pada konselor, di sini konselor harus bisa meyakinkan konseli pada
jalur pilihan karir yang sesuai dengan bakat dan minatnya. Dalam prosesnya juga
konseli dianjurkan untuk mewawancarai seorang figur ahli terkenal dalam bidang
yang sesuai dengan bakatnya, dalam rangka mendukung keyakinan pilihan
kariernya. Konselor pun bisa mengkombinasikan jalur-jalur karir yang terkait
dengan bakatnya. Proses konseling karir berakhir dengan konseli merasa lebih
baik dalam arti konseli mampu memilih karir secara tepat sesuai minat dan
bakatnya.
c.
Hasil
Setelah melalui proses di atas, hasil yang diharapkan
dari konseling karir trait and factor ini adalah perwujudan hasil
perencanaan karir konseli untuk masa depan, yang sesuai dengan minat dan
didukung pula oleh bakatnya serta memenuhi syarat-syarat dari pekerjaan yang
diminatinya.
Referensi
:
Uman
Suherman. (2013). Bimbingan dan Konseling
Karir : Sepanjang Rentang Kehidupan. Bandung : Rizki Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar