Senin, 20 April 2020

Psikologi Positif


PERSPEKTIF PSIKOLOGI POSITIF DALAM BIMBINGAN DAN KONSELING UNTUK MENDORONG PENCAPAIAN KEMANDIRIAN

 Oleh :

Iman Lesmana 



Positive education adalah konsep pendidikan yang diusung Marty (panggilan akrab Martin E. Seligman). Ia adalah presiden APA (American Psychological  Association), Directur Clinical Training Program Universitas Pennsylvania yang dijuliki Frued abad 21, dan bapak Psikologi positif, pengarang buku ‘Learned Helplessness’ danAuthentic Happiness. Psikologi positive adalah psikologi yang mengkritik semua psikologi sebelumnya. Dalam psikoanalisa dikenal bagaimana Sigmund Freud membangun teori-teori kepribadian manusia berdasarkan pengalaman-pengalamannya subjektifnya pada masa kecil dan juga pengalaman orang-orang di sekitarnya. Freud dikenal sebagai tokoh psikoanalisa yang kontroversial. Menurutnya pusat seluruh dorongan manusia berada di kekuatan libido (seksual). Tentunya eksplanasi Freud mengenai dorongan libido ini menunjukkan argumentasi yang dangkal. Karena kekuatan tersebut dianggapnya telah membutakan manusia dan menjadikannya tidak berdaya untuk mengembangkan diri ke arah yang positif. Freud beranggapan bahwa seluruh aktivitas manusia termasuk di dalamnya perilaku keagamaan dan pengembangan ilmu pengetahuan, dilakukan sebagai upaya untuk mempertahankan diri dari dorongan-dorongan negatif yang muncul. Dengan kata lain setiap kebaikan atau kemajuan yang dicapai manusia dilandasi oleh dorongan negatif.
Alfred Adler salah satu murid Freud menjelaskan bahwa tokoh penting revolusi Perancis, Napoleon Bonaparte, yang hidupnya dikelilingi oleh banyak wanita cantik, hal itu dilakukannya sebagai bentuk kompensasi dari postur tubuhnya yang pendek dan kepribadiannya yang introvert. Dengan demikian manusia dianggap tidak memiliki kebebasan untuk berbuat karena setiap gerak perbuatannya selalu dimotivasi oleh pengalaman-pengalaman yang tidak disadarinya.
Aliran behaviourisme yang memiliki pendekatan yang sangat kontradiktif dengan aliran yang mendahuluinya. Aliran ini secara terang-terangan tidak mengakui konsepsi teori Freud mengenai kesadaran dan ketidaksadaran, namun lebih menekankan pada pengaruh pengalaman dan lingkungan dalam membentuk perilaku. Menurut para tokoh pendirinya (antara lain: J. B. Watson, Ivan Pavlov, B.F. Skinner) bahwa perilaku manusia dibentuk dari proses belajar yang bersifat mekanistis. Manusia tidak memiliki kehendak bebas untuk melakukan pilihan-pilihan aktivitasnya. Karena seluruh keputusan perilakunya semata-mata dipengaruhi oleh stimulus yang mendasarinya.
Dari dua aliran pioner psikologi di atas dapat dilihat betapa konsep teori yang dulu begitu diagungkan oleh para ahli jiwa kini tampak rapuh dengan berbagai catatan negatif di dalamnya. Capaian-capaian hebat yang dilakukan manusia tidak selalui dimotivasi oleh dorongan-dorongan negatif, dan perilaku manusia juga tidak selalu dipengaruhi oleh stimulan-stimulan yang mendahuluinya, karena manusia memiliki daya nalar untuk menentukan perilakunya. Dia mau berbuat baik atau berbuat buruk karena dia ingin melakukannya. Aliran psikologi seperti psikoanalisa dan behaviourisme memandang bahwa untuk menghilangkan keburukan dalam diri manusia, maka manusia memerlukan treatment untuk dapat meninggalkan keburukan itu. Selama ini perlakuan yang diberikan difokuskan pada penghilangan gejala-gejala negatifnya. Konseling untuk menghilangkan kebiasaan buruknya. Mereka tidak mencoba menggunakan pendekatan positif dengan cara berkebalikannya, yaitu mendatangkan kebaikan.
Dalam kacamata aliran psikoanalisa dan behaviourisme, bahwa keburukan ataupun sakit mental dapat dipulihkan bila kita menyembuhkan kondisi sakitnya itu. Namun, capaian para ilmuwan maupun praktisi psikologi (negatif) selama kurun 60 tahun terakhir dalam menyembuhkan jenis-jenis penyakit mental belum memperoleh hasil yang membahagiakan (lihat Martin Seligman, 2002), terdapat 14 macam penyakit psikologi yang bisa diobati (namun tidak sepenuhnya dapat disembuhkan) dan hanya ada dua macam penyakit psikologi yang dapat disembuhkan total.
Jadi prestasi terjauh dari psikologi negatif, adalah membawa orang sakit menjadi berkurang sakitnya (from miserable to less miserable) atau paling mentok, menjadikan orang sakit psikologis jadi hilang sakitnya, atau dari kondisi “minus” ke kondisi “nol”. Kemudian timbul pertanyaan, bagaimana dengan orang yang sehat? Apakah ilmu psikologi dapat membantu meningkatkan kualitas orang yang sehat menjadi lebih sehat, lebih berbahagia dan lebih mandiri?
Psikologi positif adalah studi tentang emosi-emosi positif untuk meningkatkan kualitas hidup manusia. Psikologi positif memfokuskan pada pemahaman dan penjelasan tentang kebahagiaan dan subjective well-being (Carr, 2004). Psikologi Positif adalah studi ilmiah tentang kebahagiaan manusia/human happiness (Compton, 2005).  Psikologi positif tidak dimaksudkan untuk mengganti atau menghilangkan penderitaan, kelemahan atau gangguan (jiwa), tapi lebih kepada menambah khasanah atau memperkaya, serta untuk memahami secara ilmiah tentang pengalaman-pengalaman manusia.
Psikologi positif berakar dari psikologi humanisme yang pembahasannya fokus pada kebermaknaan dan kebahagiaan. Psikologi positif merupakan cabang baru dari ilmu psikologi yang dideklarasikan pertama kali pada tahun 1998 oleh Martin Seligman dan Mihaly Csikszentmihalyi (Seligman & Csikszentmihalyi, 2000). Mereka mengatakan: “We believe that the views on the positive side of human psychology will emerge , so that humans will reach a scientific understanding and effective way to improve the quality of individuals , families , and communities. Positive psychology aims to make normal life more meaningful , not just treating mental illness”. (“Kami percaya bahwa pandangan mengenai sisi psikologi positif manusia akan muncul, sehingga manusia akan mencapai pemahaman ilmiah dan efektif untuk meningkatkan kualitas individu, keluarga, dan masyarakat. Psikologi positif bertujuan untuk menjadikan kehidupan normal lebih bermakna, bukan hanya sekedar mengobati penyakit mental semata”).
Kebahagiaan (happiness) menjadi isu sentral yang didiskusikan dalam psikologi positif. Ada banyak penelitian yang telah dilakukan untuk mengkaji faktor-faktor yang berperan dalam kebahagiaan. Meskipun “kebahagiaan” dapat digunakan untuk merefer banyak hal, namun sebagian besar psikolog yang intens mengkaji tentang kebahagiaan mengerucut dengan tema-tema : harta, pernikahan, kehidupan social, usia yang mengalami perubahan adalah intensitas emosional, sedangkan perasaan “mencapai puncak tertinggi kehidupan” dan rasa “terpuruk dengan penyesalan” akan berkurang sejalan dengan bertambahnya usia dan pengalaman hidup (Seligman, 2000), kesehatan, agama, dan rasa syukur.
Kennon, Sheldon & Laura King, (2001) mendiskripsikan positif psikologi sebagai : it is nothing more than the scientific study ordinary human strengsths and virtues. Positive psychology revisits “the average person” with an interest in finding out what works, what’s applying evolved adaptations and learned skills? And how can psychologists explain that fact that dispite all the difficulties, the majority of people manage to live lives of dignity an purpose…positive psychology is thus an attempt to urge psychologist to adopt a more open and appreciative perspecptive regarding human potentials…motives, and capacities. Psikologi positif adalah studi ilmiah tentang kebahagiaan manusia (human happiness). Psikologi sebagai ilmu pengetahuan menunjukkan bahwa bidang studi ini secara mendasar terkonsentrasi pada penyakit bukan pada kesehatan mental. Program penelitian dan model aplikasi selalu menjurus pada bagaimana manusia berbuat salah dan tidak pada bagaimana mereka berbuat benar (Compton, 2005).
Sheldon, Frederickson, Rathunde, Csikszentmihalyi, dan Hadit (2000) mereka mendefinisikan psikologi positif sebagai studi ilmiah tentang berfungsinya manusia secara optimal. Tujuannya adalah untuk menemukan dan mempromosikan faktor-faktor yang memungkinkan individu, komunitas, dan masyarakat untuk tumbuh dan berkembang pesat.
Psikologi positif berfokus pada tiga area pengalaman manusia (Seligman & Csikszentmihalyi, 2000) yang dapat membantu membagi ruang lingkup dan orientasi perspektif psikologi positif, 3 tiang tonggak (pilar) : a) Pada tahab subjektif, psikologi positif melihat keadaan positif yang subyektif atau emosi positif seperti kebahagiaa, kesenangan kepuasan hidup, relaksasi, cinta, intimasi dan kepuasan secara umum. Keadaan positif yang subjektif termasuk juga pikiran-pikiran yang konstruktif tentang diri dan masa depan, seperti optimism dan harapan. Keadaan positif yang subjektif dapat juga termasuk perasaan-perasaan bertenaga, vitalitas, dan percaya diri, atau efek-efek dari emosi positif, b) Pada tahab individual, psikologi positif berfokus pada studi tentang sifat-sifat individual yang positif, atau pola-pola perilaku yang lebih bertahan dan tetap ada pada manusia dengan berjalannya waktu. Studi ini termasuk trait-trait individual seperti keberanian, persistence, kejujuran, atau kebijaksanaan. Sehingga dengan demikian, psikologi positif termasuk studi tentang perilaku positif dan sifat yang secara historis dapat digunakan untuk mendefinisikan keutamaan dan kekuatan karakter. Termasuk mencakup kemampuan untuk mengembangkan sensibilitas estetik atau menggali potensi kreatif dan dorongan untuk mengejar kesempurnaan, c) Pada tahab kelompok atau masyarakat, psikologi positif berfokus pada perkembangan, pembentukan, dan pemeliharaan, institusi positif. Pada area ini psikologi positif berhubungan dengan isu-isu seperti perkembangan keutamaan civic (madani), pembentukan keluarga sehat, studi tentang lingkungan kerja sehat, dan komunitas sehat. Psikologi positif dapat juga terlibat dalam penyelidikan tentang bagaimana institusi dapat bekerja lebih baik, untuk mendukung dan mengembangkan semua warga yang terkait.
 Positif psikologi adalah studi yang mempelajari proses dan kondisi yang mendorong manusia, kelompok atau institusi berkembang atau berfungsi optimal, (Gable & Haidt, 2005), maka dapat ditarik  pemahaman bahwa fokus dari psikologi positif adalah studi ilmiah tentang berfungsinya manusia secara lebih baik dan perkembangannya yang pesat juga pada area-area yang berbeda, seperti biologis, pribadi, relasi, institusional, budaya dan global (Seligman & Csikszentmihalyi, 2000).
Konsep dasar dalam intervensipPsikologi positif adalah peningkatan kesejahteraan dari konseli; memahami dan memfasilitasi kebahagiaan dan kesejahteraan adalah tujuan utama psikologi positif (Seligman, dalam: Carr 2004), dalam hal ini pengembangan kompetensi konselor efektif berbasis psikologi positif akan menuntun kepada pencapaian yang lebih efektif. Alan Carr (2004) dalam bukunya berjudul Positive Psychology juga mengatakan bahwa kebahagiaan dapat disetarakan dengan istilah subjective well-being. Ia juga memberi definisi kebahagiaan sebagai: “a positive psychological state characterised by a high level of satisfaction with life, a high level of positive affect and a low level of negative affect (psikologis positif yang dicirikan dengan tingkat kepuasan hidup yang tinggi, tinggi tingkat pengaruh positif dan rendahnya tingkat pengaruh negatif, ") Carr, (2004: 45).
Konsep psychological well-being memiliki enam dimensi pendukung. Masing-masing dimensi dalam psychological well-being menjelaskan tantangan-tantangan yang berbeda yang dihadapi individu untuk dapat berfungsi secara penuh dan positif (Ryff, 1989a; Ryff & Singer, 2006; Ryff, dalam Keyes & Haidt, 2003). Dimensi-dimensi tersebut adalah:
1.            Penerimaan Diri (Self Acceptance). Dimensi ini didefinisikan sebagai karakteristik utama dari kesehatan mental, aktualisasi diri, berfungsi optimal dan kematangan. Penerimaan diri berarti sikap yang positif terhadap diri sendiri dan kehidupan di masa lalu, serta mampu menerima kekurangan dan kelebihan serta batasan-batasan yang dimiliki dalam aspek diri individu. Individu yang memiliki tingkat penerimaan diri yang baik ditandai dengan sikap yang positif terhadap diri sendiri, mengetahui dan menerima segala aspek yang ada pada dirinya, baik kelebihan maupun kekurangan, serta memiliki sikap yang positif terhadap kehidupan di masa lalu. Sebaliknya, individu yang memiliki tingkat penerimaan diri yang kurang baik ditandai dengan perasaan tidak puas terhadap diri sendiri, kecewa terhadap apa yang terjadi di masa lalu, terganggu dengan sifat-sifat tertentu yang dimiliki dan memiliki keinginan tidak menjadi dirinya.
2.            Pertumbuhan Diri (Personal Growth). Dimensi ini didefenisikan sebagai kemampuan potensial yang dimiliki seseorang, perkembangan diri, serta keterbukaan terhadap pengalaman-pengalaman baru. Individu yang baik dalam dimensi ini memiliki perasaan untuk terus berkembang, melihat diri sendiri sebagai sesuatu yang terus tumbuh, menyadari potensi-potensi yang dimiliki dan mampu melihat peningkatan dalam diri dan tingkah laku dari waktu ke waktu. Sebaliknya, individu yang kurang baik dalam dimensi ini mempunyai perasaan bahwa ia adalah seorang yang stagnan, kurang peningkatan dalam perilaku dari waktu ke waktu, merasa bosan dengan hidup dan tidak mampu mengembangkan sikap dan perilaku yang baru.
3.            Tujuan Hidup (Purpose in Life). Dimensi ini menekankan pentingnya memiliki tujuan, pentingnya keterarahan dalam hidup dan percaya bahwa hidup memiliki tujuan dan makna. Individu yang memiliki tujuan hidup yang baik, memiliki target dan cita-cita serta merasa bahwa baik kehidupan di masa lalu dan sekarang memiliki makna tertentu. Individu tersebut juga memegang teguh kepercayaan tertentu yang dapat membuat hidupnya lebih berarti. Sebaliknya, individu yang kurang memaknai hidup, tidak memiliki tujuan dalam hidup, tidak melihat adanya manfaat dari masa lalu dan kurang memiliki target dan cita-cita, menandakan bahwa individu tersebut kurang memiliki dimensi tujuan hidup yang baik.
4.            Penguasaan Lingkungan (Environmental Mastery). Dimensi ini ditandai dengan kemampuan individu untuk memilih atau menciptakan lingkungan yang cocok atau untuk mengatur lingkungan yang kompleks. Individu yang baik dalam dimensi ini ditandai dengan kemampuannya untuk memilih dan menciptakan sebuah lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan dan nilai-nilai pibadinya dan memanfaatkan secara maksimal sumber-sumber peluang yang ada di lingkungan. Individu juga mampu mengembangkan dirinya secara kreatif melalui aktivitas fisik maupun mental. Sebaliknya, individu yang kurang dapat menguasai lingkungannya akan mengalami kesulitan mengatur kegiatan sehari-hari, merasa tidak mampu untuk mengubah atau meningkatkan apa yang ada diluar dirinya serta tidak menyadari peluang yang ada di lingkungan.
5.            Otonomi (Autonomy). Dimensi ini dideskripsikan dengan individu yang mampu menampilkan sikap kemandirian, memiliki standard internal dan menolak tekanan sosial yang tidak sesuai. Individu yang memiliki tingkatan otonomi yang baik ditunjukkan sebagai pribadi yang mandiri, mampu menolak tekanan sosial untuk berpikir dan bertingkah laku dengan cara tertentu, mampu mengatur tingkah laku diri sendiri dan mengevaluasi diri sendiri dengan standard pribadi. Sebaliknya, individu yang terlalu memikirkan ekspektasi dan evaluasi dari orang lain, bergantung pada orang lain untuk mengambil suatu keputusan serta cenderung untuk bersikap conform terhadap tekanan sosial, menandakan individu tersebut belum memiliki tingkat otonomi yang baik.
6.            Hubungan Positif dengan Orang Lain (Positive Relations with Others). Dimensi ini ditandai dengan adanya hubungan yang hangat, memuaskan, saling percaya dengan orang lain serta memungkinkan untuk timbulnya empati dan intimasi. Individu yang memiliki hubungan positif yang baik dengan orang lain ditandai dengan memiliki hubungan yang hangat, memuaskan dan saling percaya dengan orang lain, memiliki perhatian terhadap kesejahteraan orang lain, dapat menunjukkan rasa empati, rasa sayang dan keintiman serta memiliki konsep dalam memberi dan menerima dalam hubungan sesama manusia. Sebaliknya, individu yang hanya memiliki sedikit hubungan dekat dengan orang lain, susah untuk bersikap hangat, tidak terbuka dan memberikan sedikit perhatian terhadap orang lain berarti memiliki tingkatan yang kurang baik dalam dimensi ini.
Pandangan psikologi positif mempelajari apa yang membentuk siswa/konseli untuk menjadi bahagia dan bagaimana mereka dapat melakukanya. Ini termasuk apa yang dilakukan untuk dirinya sendiri, untuk keluarganya, untuk komunitas mereka. Maknanya psikologi positif membantu siswa/konseli mengembangkan kualitas-kualitas yang akan menuntun mereka kepada pencapaian yang lebih besar bagi mereka dan bagi orang lain.
Pada Abad ke-21, setiap siswa/konseli dihadapkan pada situasi kehidupan yang kompleks, penuh peluang dan tantangan serta ketidakmenentuan. Dalam konstelasi kehidupan tersebut setiap siswa/konseli memerlukan berbagai kompetensi hidup untuk berkembang secara efektif, produktif,dan bermartabat serta bermaslahat bagi diri sendiri dan lingkungannya. Pengembangan kompetensi hidup memerlukan sistem layanan pendidikan pada satuan pendidikan yang tidak hanya mengandalkan layanan pembelajaran mata pelajaran/bidang studi dan manajemen saja, tetapi juga layanan khusus yang bersifat psiko-edukatif melalui layanan bimbingan dan konseling. Berbagai aktivitas bimbingan dan konseling dapat diupayakan untuk mengembangkan potensi dan kompetensi hidup siswa/konseli yang efektif serta memfasilitasi mereka secara sistematik, terprogram, dan kolaboratif agar setiap siswa/konseli betul-betul mencapai kompetensi perkembangan atau pola perilaku yang diharapkan.
Layanan  bimbingan dan konseling membantu siswa/konseli untuk memahami, menerima, mengarahkan, mengambil keputusan,dan merealisasikan keputusan dirinya secara bertanggungjawab sehingga mencapai kesuksesan, kesejahteraan dan kebahagiaan dalam kehidupannya. Di samping itu, bimbingan dan konseling membantu peserta didik/konseli dalam memilih, meraih dan mempertahankan karir untuk mewujudkan kehidupan yang produktif dan sejahtera. Paradigma bimbingan dan konseling memandang bahwa setiap siswa/konseli memiliki potensi untuk berkembang secara optimal. Perkembangan optimal bukan sebatas tercapainya prestasi sesuai dengan kapasitas intelektual dan minat yang dimiliki, melainkan sebagai sebuah kondisi perkembangan yang memungkinkan siswa/konseli mampu mengambil pilihan dan keputusan secara sehat dan bertanggungjawab serta memiliki daya adaptasi tinggi terhadap dinamika kehidupan yang dihadapinya.
Setiap siswa/konseli satu dengan lainnya berbeda dalam hal kecerdasan, bakat, minat, kepribadian, kondisi fisik dan latar belakang keluarga serta pengalaman belajarnya. Perbedaan tersebut menggambarkan adanya variasi kebutuhan pengembangan secara utuh dan optimal melalui layanan bimbingan dan konseling. Layanan bimbingan dan konseling mencakup kegiatan yang bersifat pencegahan, perbaikan dan penyembuhan, pemeliharaan dan pengembangan. Layanan bimbingan dan konseling dilaksanakan oleh konselor atau guru bimbingan dan konseling sesuai dengan tugas pokoknya dalam upaya membantu tercapainya tujuan pendidikan nasional, dan khususnya membantu siswa/konseli mencapai perkembangan diri yang optimal, mandiri, sukses, sejahtera dan bahagia dalam kehidupannya.
Seperti yang tercantum dalam Permendiknas RI no 111 tahun 2014 tentang tujuan umum layanan bimbingan dan konseling adalah membantu siswa/konseli agar dapat mencapai kematangan dan kemandirian dalam kehidupannya serta menjalankan tugas-tugas perkembangannya yang mencakup aspek pribadi, sosial, belajar, karir secara utuh dan optimal. Tujuan khusus layanan bimbingan dan konseling adalah membantu siswa/konseli agar mampu: (1) memahami dan menerima diri dan lingkungannya; (2) merencanakan kegiatan penyelesaian studi, perkembangan karir dan kehidupannya di masa yang akan datang; (3) mengembangkan potensinya seoptimal mungkin; (4) menyesuaikan diri dengan lingkungannya;(5) mengatasi hambatan atau kesulitan yang dihadapi dalam kehidupannya dan (6) mengaktualiasikan dirinya secara bertanggung jawab. Untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan kolaborasi dan sinergisitas kerja antara konselor atau guru bimbingan dan konseling, guru mata pelajaran, pimpinan sekolah/madrasah, staf administrasi, orang tua, dan pihak lain yang dapat membantu kelancaran proses dan pengembangan siswa/konseli secara utuh dan optimal dalam bidang pribadi, sosial, belajar, dan karir.
Upaya untuk membantu siswa/konseli untuk mencapai kematangan dan kemandirian dalam kehidupannya sehingga mencapai kesuksesan, kesejahteraan dan kebahagiaan dalam kehidupan, menjadi manusia mandiri sekaligus bahagia, maka untuk meraihnya perlu melakukan berbagai hal yang merupakan kekhasan dari diri siswa, fokus ditempatnya dan memaknai hubungan dengan entitas yang lebih besar.
Dalam hal ini keberadaan bimbingan secara terintegrasi di dalam pendidikan mengandung arti bahwa upaya bimbingan dan pendidikan terarah kepada tujuan yang sama, yakni membantu siswa/konseli menolong diri sendiri (self-help).
McDaniel et.al (1961) mengemukakan : What are the basic goals and objective of counseling? Although the statement could be phrased in many different ways, we may say that the counseling process should result in assisting individual  to become aoutonomous, self-directing, and self-disaplined. This a rather ambitious statement of objectives and is not limited to the counseling and guidance. it could well be set up as general goal of education (Apakah tujuan dasar dan tujuan konseling? Walaupun pernyataan bisa diungkapkan dalam berbagai cara, kita dapat mengatakan bahwa proses konseling harus membantu individu untuk menjadi mandiri, mengarahkan diri dan disiplin diri. Ini pernyataan yang agak ambisius tujuan dan tidak terbatas untuk konseling dan bimbingan, bisa juga ditetapkan sebagai tujuan umum pendidikan).
Upaya membantu siswa/konseli meningkatkan atau memperkuat dorongan untuk mencapai integritas diri berarti mendorong konseli untuk menemukan makna hidup yang hakiki. Dalam hal ini bimbingan dan konseling adalah proses membantu siswa/konseli menemukan makna hidup yang hakiki. Kaitan bimbingan dan konseling dengan kemandirian ialah bahwa kemandirian mengandung segi-segi kehidupan normatif, kesadaran akan sistem nilai dan budaya, tanggung jawab, kemampuan bertindak etis dan religius atas dasar pemahaman yang bermakna.
Pengertian kemandirian di sini dapat diartikan sebagai zelfstandig, yaitu kemampuan berdiri di atas kaki sendiri dengan keberanian dan tanggung jawab atas segala tingkah laku sebagai manusia dewasa dalam melaksanakan segala macam kewajiban guna memenuhi kebutuhan sendiri (Kartono, 1990). Kemandirian menurut Barnadib (dalam Mu’tadin, 2001) meliputi perilaku mampu berinisiatif, mampu mengatasi hambatan atau masalah, mempunyai rasa percaya diri dan dapat melakukan sesuatu sendiri tanpa bantuan orang lain. Sikap mandiri atau
kemandirian adalah mampu berdiri di atas kemampuan sendiri dalam mempertahankan kelangsungan hidup dengan keberanian dan tanggung jawab atas segala tingkah laku sebagai manusia dewasa dalam melaksanakan segala kewajibannya guna memenuhi kebutuhan sendiri (Haqquzzaki, 1994). Masrun dkk (1986) menyatakan bahwa kemandirian adalah suatu sifat yang memungkinkan seseorang bertindak bebas, melakukan sesuatu atas dorongan diri sendiri dan untuk kebutuhan sendiri, mengejar prestasi, penuh ketekunan serta berkeinginan untuk mengerjakan sesuatu tanpa bantuan orang lain, mampu berfikir dan bertindak original, kreatif dan penuh inisiatif, mampu mengatasi persoalan yang dihadapi, mampu mengendalikan tindakan-tindakan, mampu mempengaruhi lingkungan,
mempunyai rasa percaya diri terhadap kemampuan yang dimiliki, menghargai keadaan diri dan memperoleh kepuasan atas usaha sendiri.
Apabila kembali kepada rumusan tujuan pendidikan (Kartadinata, 1983) esensi kemandirian adalah “..upaya pendidikan dalam membantu individu mengembangkan system penyesuaian diri yang adekuat berlandaskan kepada sifat-sifat manusiawi dari mausia-manusia yang terlibat didalamnya, terutama siswa”, prinsip tersebut mengandung arti bahwa mendidik bukanlah member nasehat kepada anak, melainkan mendapatkan situasi yang penuh keakraban dimana dalam situasi tersebut terwujudnya nilai-nilai hidup dalam bentuk perilaku yang dapat mempengaruhi dan mendorong siswakonseli berbuat atas kesadara dan kemamuannya sendiri. 
Melalui proses bimbingan dan konseling siswa/konseli dibantu untuk mengembangkan pemahaman dan pemaknaan terhadap pengalamannya, sehingga ia menemukan kehidupan yang bermakna. Pemikiran ini sejalan dengan asumsi yang mengatakan bahwa : The self constantly strives for meaning, that is for understanding of its experiences. There is a basic drive to organize experience into meaningful wholes : one of the highest value in life is to have meaning in one’s personal existence. Meanings are determined by the whole organismic reaction of person to his experiences. (usaha diri terus-menerus untuk menjadi bermakna, bagi pemahaman tentang pengalaman. Ada perjalanan dasar, mengatur pengalaman ke tingkat yang bermakna: salah satu nilai tertinggi dalam hidup seseorang adalah untuk memiliki makna keberadaan pribadi. Makna ditentukan oleh reaksi seluruh organismik pengalamannya) (Patterson, 1966 : 68).
Berbicara tentang kemandirian akan merujuk kepada perkembangan diri, karena diri merupakan inti dari kemandirian. Konsep tentang diri yang dikemukakan di atas tidak selalu merujuk kepada kemandirian. Konsep kemandirian merujuk kepada konsep outonomy. Ada berbagai sudut pandang dalam menjelaskan makna dan proses perkembangan kemandirian. Durkheim (1925) melihat makna dan perkembangan kemandirian dari sudut pandang yang berpusat pada masyarakat (society centered). Pandangan ini disebut juga pandangan konformistik. Menurut Durkeim kemandirian (outonomy) merupakan elemen esensial ketiga dari moralitas yang bersumber pada kehidupan masyarakat. Kemandirian tumbuh karena ada disiplin (yaitu ada aturan bertindak dan otoritas), dan komitmen terhadap kelompok. Kedua elemen ni (disiplin dan komitmen) merupakan prasyarat bagi kemandirian.
Dalam pandangan konformistik, kemandirian adalah konformitas terhadap moral kelompok rujukan. Kemandirian adalah penampilan keputusan pribadi yang didasari pegetahuan lengkap tentang konsekuensi berbagai tindakan serta keberanian menerima konsekuensi tindakan tersebut. Pemahaman terhadapan hokum moralitas menjadi faktor utama yang mendukung perkembangan kemandirian. Faktor pemahaman inilah yang membedakan kemandirian (self-determinism) dari kepatuhan (submission). 
Konsep kemandirian konformistik ini tampak pula dalam pikiran McDougal (Togan dan Busch 1984) yang melihat perilaku mandiri itu sebagai “hallmark” dari kematangan, sebagai pendorong perilaku sosial. Dalam konsep McDougal kemandirian adalah konformitas khusus, yakni konformitas terhadap kelompok yang terinternalisasi. Manusia selalu berkonformitas, perbedaan satu sama lain terletak dalam hal kelompok rujukan yang disukainya. Dalam pemikiran Durkheim maupun McDougal tampak bahwa popularitas antara kemandirian dengan konformitas adalah hal yang tidak dapat dipisahkan.
Menurut M.I. Sulaeman, (1988), berbicara tentang kemandirian tidak dapat dipisahkan dari pembicaraan tentang hakikat manusia, karena perkembangan kemandirian adalah perkembagan hakikat eksistesial manusia. Pandangan yang berpusat pada masyarakat tentang kemandrian lebih menekankan bahwa lingkungan itu mempunyai kekuatan yang ‘super’ terhadap kehidupan manusia. Seolah-olah manusia tidak bisa ‘berbuat’ terhadap dunianya; padahal manusia adalah makhluk yang semata-mata dipengaruhi lingkungan; manusia adalah makhluk yang memiliki keragaman kesamaan.
Pemikiran tentang manusia menunjukkan bahwa proses perkembangan manusia harus dipandang sebagai proses interaksional dinamis. Proses ini mengiplemenasikan bahwa manusia berhak member makna terhadap dunianya atas dasar proses ‘mengalami’ sebagai konsekuensi dari perkembngn berfikir dan penyesuaian kehendaknya. Dalam  pandangan ini kemandirian menjadi berpusat pada ego atau diri sebagai dimensi pemersatu organisasi kepribadian (Kohlberg, 1984).
Kemandirian bukanlah hasil dari proses perkembangan diri sesuai dengan hakekat eksistensi manusia. Kemandirian yang sehat adalah yang sesuai dengan hakekat manusia. Perilaku mandiri adalah perilaku memelihara hakekat eksistens diri. Erich Fromm (1947) menyebut perilaku ini sebagai kata hati humanistik.
‘Interaksional’ mengandung makna bahwa kemandirian berkembang melalui proses pengembangan keragaman manusia dalam kesamaan dan keberamaan ini. Maslow (1971) membedakan kemandirian tidak aman (insecure autonomy) dari kemandirian aman (secure autonomy). Kemandirian tidak aman adalah kekuatan kepribadian yang diyatakan dalam perilaku menentang dunia. Maslow menyebut kondisi ni sebagai kemandirian yang mementingkan diiri sendiri (selfish autonomy). Sedangkan kemandirian yang aman ialah kekuatan untuk menubuhkan cinta kasih pada dunia, kehidupan, dan orang lain, sadar akan tanggung jawab bersama dan tumbuh rasa percaya pada kehidupan. Kekuatan ini digunakan untuk menyenangi dan mencintai kehidupan dan membantu orang lain. Inilah yang dimaksud oleh Maslow dengan kemandirian yang sehat.
Maslow (1971: 165) dalam konsep transendensi menekankan bahwa autonomy dan homonoy adalah dua hal yang berhubungan dan tumbuh bersamaan. Dikatakannya bahwa: “..for as the person grows healthier and more authentic the high autonomy and the high homony grow together and tend finally to fuse and to become structured into a higher unity which includes them both. The dhicotomy between autonomy and homonomy, between selfishness and unselfishness, between the self and non-self, between the pure psyche and outer reaty, now tend to disappear, and seen as a byproduct of immaturity and of incomplete development”. (sebagai orang tumbuh lebih sehat dan lebih otentik otonomi tinggi dan homony tinggi tumbuh bersama dan cenderung akhirnya sekring dan untuk menjadi terstruktur ke dalam satu kesatuan yang lebih tinggi yang meliputi mereka berdua. Dhicotomy antara otonomi dan homonomy, antara egoisme dan tidak egois, antara diri dan non-diri, antara murni jiwa dan luar reaty, sekarang cenderung menghilang, dan dipandang sebagai produk sampingan ketidakdewasaan dan perkembangan lengkap ".)
Chekering (1971: 74) mengemukakan bahwa “..recognition and acceptance of interdependence, is the capstone of outonomy.” Kata interdependence mesti ditafsirkan lebih luas, bukan berarti ketergantungan antar manusia (saja) melainkan ketergantungan antar berbagai motif dan nilai yang melandasi perilaku yang tampil dalam interaksi dengan orang lain. Keputusan dan tindakan tidak semata-mata didasarkan kepada kebutuhan dalam dimensi ruang dan waktu tetapi juga dalam dimensi nilai. Maslow (1971) menyebut kekuatan ini sebagai meta-motivasi perilaku.
Perkembangan kemandirian adalah proses yang menyangkut unsur-unsur normatif. Ini berarti bahwa perkembangan kemandirian adalah suatu proses yang terarah, dan karena perkembangan kemandirian adalah perkembangan yang sejalan dengan hakekat eksistensial manusia, maka arah perkembanagn tersebut meski sejalan dengan dan bertolak dari tujuan hidup manusia. Berbicara tentang tujuan hidup (M.I. Soelaeman, 1988: 56-61) akan selalu terkait dengan dimensi ruang, waktu dan nilai.
 Menjadikan diri atau ego sebagai inti perkembangan kemandirian, memberi arti bahwa perkembangan manusia terarah kepada penemuan makna diri dan dunianya. Bagaimana manusia memberi makna terhadap diri dan dunianya tentu akan sangat beraneka ragam, karena bergantung kepada bagaimana dia mempersepsikan diri dan dunianya. Bagaimana manusia member makna terhadap diri dan dunianya tentu akan sangat beraneka ragam, karena bergantung kepada bagaimana dia mempersepsikan diri dan dunia itu. Disini kehidupan dibentuk dalam setiap diri manusia akan berbeda-beda. Dalam Tataran makna yang lebih tinggi, Phenix (1964) menyebut makna sinoptik dan Maslow (1968) menyebut transendensi lingkungan (trasendece of environment)-hubungan antara individu dengan dunianya tidak lagi bersifat interaksi subyek-obyek melainkan merupakan hubungan antar-subyektivitas (intersubjectivity), yakni proses dialog dalam diri.
Sifat selektif dalam memaknai kehidupan menunjukkan bahwa apa yang dipersepsikan dan dimaknai oleh manusia ditentukan melalui proses memilih. Proses memilih tidak terlepas dari proses kognitif , dalam menimbang berbagai alternative yang akan selalu terkait dengan system nilai, dan bukan proses yang bersifat reaktif atau impulsive. Bagaimana proses kognitif terjadi da bagaimana menyesuaikan kehendak terhadap berbagai dmensi kehidupan akan mewarnai cara manusia memaknai dunianya. Implikasi yang tersirat di sini ialah bahwa hampiran kognitif terhadap kemandirian dapat digunakan apabila dapat dgunakan apabila dipertautkan dengan berbagai dimensi kehidupan manusia.
Bagaimana proses perkembangan terjadi? apabila hakekat manusia ditelaah kembali, ternyata pada saat lahir ke dunia dia berada dalam ketidak-berdayaan dan ketidak-tahuan tentang dirinya dan dunianya pada tingkat ini dia menyatu dengan dunia atau alam. Menyatu dalam arti dia belum tahu hubungan subjek-objek. Dengan kemampuan berfikir, dan imajinasinya manusia mampu mengenal perbedaan diri dengan lingkungan dan orang lain, dan keterpautan diri dengan lingkungan dan orang lain. Di sini dia menuju dan berada  dalam proses peragaman (diferensiasi). Dalam tahapan ini mungkin dia sedikit demi sedikit berupaya melepaskan diri dari ikatan otoritas dan menuju kepada hubungan mutualistik mengembangkan kemampuan menuju spesialisasi tertentu, mengembangkan kemampuan instrumental untuk mampu melakukan dan memenuhi sendiri aktivitas hidup.
Chikering (1971) mengidentifikasikan tingkatan ini sebagai independesi emosional dan instrumental yang merupakan dua komponen dalam perkembangan kemandirian. Kedua komponen tersebut bersifat komplementer yang secara bertahap akan mengarah kepada pengakuan dan penerimaan ke saling bergantungan di dalam kehidupan.
Walaupun dalam tahap peragaman ini manusia sudah memiliki kemampuan instrumental tapi dia belum sampai kepada kemandirian, karena aksentuasi penampilan dirinya baru dalam aspek-aspek kehidupan tertentu. Proses peragaman dan spisialisasi ini baru merupakan proses pemilikan (having) akan pengetahuan, keterampilan, teknologi dan masih harus berlanjut ketingkat being sebagai dimensi kehidupan yang lebih penting, yakni upaya memantapkan  jati diri (Fuad Hasan, 1986). Tingkat peragaman ini harus berlanjut ke tingkat integrasi atau tingkat mendunia (Driyakara) yakni tahap mendekatan diri kepada dunia yang dihidupi dan dihadapi, dan bukan mengasingkan diri sehingga timbul kemandirian tak aman (Maslow, 1968).
Kartadinata, (1988) kemandirian adalah proses perkembangan, terbentuk melalui proses interaksi antara manusia dengan lingkungannya. Sebagi upaya pedagogis, bimbingan dan konseling  bertugas mengembangkan atau menyiapkan lingkungan dengan kehidupan orang lain dan dunianya. Esensi tujuan bimbingan dan konseling adalah memandirikan individu; kemandirian (outonomy) adalah tujuan bimbingan dan konseling. Kemandirian yang sehat akan tumbuh melalui interaksi yang sehat antara individu yang sedang berkembang dengan lingkungan dan budaya yang sehat antara individu yang sedang berkembang dengan lingkungan dan budaya yang sehat pula. Di sinilah letak esensi upaya pedagogis dalam proses bimbingan dan konseling. Dalam konteks pengembangan kemandirian, tujuan bimbingan dan konseling tidak sebatas sebagai proses pemecahan masalah yang hanya bersifat kekinian, melainkan terarah kepada penyiapan individu untuk dapat menghadapi persoalan-persoalan masa depan dan menjalani kehidupan sebagai anggota masyarakat maupun sebagai makhluk Alloh Yang Maha Kuasa. Bimbingan dan konseling bertugas memfasilitasi individu menguasai perilaku jangka panjang yang diperlukan di dalam kehidupannya, dalam mengambil keputusan sosial-pribadi, pendidikan, dan karir.
Steinberg (2002) membedakan kemandirian menjadi tiga tipe, yaitu; kemandirian emosional (emotional autonomy) yang merujuk kepada tipe darikemandirian yang berhubungan dengan perubahan dalam hubungan individu yang dekat, khususnya dengan orang tua. Kemandirian perilaku (behavioral autonomy) yang merujuk kepada kemampuan dalam mengambil keputusan dan melaksanakannya. Kemandirian nilai (value autonomy) yang merujuk kepada kemampuan seseorang dalam menangani tekanan bersama dengan tekanan dari orang lain, hal ini berarti seorang individu mempunyai dasar-dasar tentang benar dan salah, tentang apa yang penting dan tidak penting. Konstruk dan teori perkembangan kemandirian perlu dipahami oleh konselor sebagai dasar perumusan perilaku jangka panjang yang harus dikuasai individu, dan sebagai standar yang mengarahkan upaya-upaya bimbingan dan konseling. Model teori atau konstruk yang dimaksud diantaranya model perkembangan karakter (havinghurst: 1972), perkembangan ego (Loevinger, 1964), perkembangan diri, korporasi model Loevinger dan Havighurst, Sunaryo Kartadinata et.al.: 1998/2003.
Sedang untuk konsep teoritis psikologi positif, perlu diimplementasikan dalam dunia praktis pendidikan yaitu bimbingan dan konseling oleh konselor, dengan konsep positive education. Intinya adalah membimbing dan memberikan konseling kepada siswa/konseli untuk sukses (achievable) dan bahagia (well-being). Secara umum mengajarkan bagaimana belajar optimis, belajar berbagi, belajar melepaskan dendam, belajar menyelesaikan konflik, belajar untuk syukur, belajar untuk mengendalikan stress, belajar mengelola emosi…dst…dst. Disamping layanan bimbingan dan konseling sebagai layanan profesional yang diselenggarakan pada satuan pendidikan mencakup komponen program, bidang layanan, struktur dan program layanan, kegiatan dan alokasi waktu layanan. Komponen program meliputi layanan dasar, layanan peminatan dan perencanaan individual, layanan responsif, dan dukungan sistem, sedangkan bidang layanan terdiri atas bidang layanan pribadi, sosial, belajar, dan karir. dan memaksimalisasi hasil yang ‘mungkin’ didapatkan dengan cara psikologi positif. Psikologi positif dalam bimbingan dan konseling mampu mendorong siswa/konseli mencapai kemandirian (autonomy), membantu siswa/konseli mencapai kematangan dalam kehidupannya serta menjalankan tugas-tugas perkembangannya yang mencakup aspek pribadi, sosial, belajar, karir secara utuh dan optimal, menjadi outonomy and happy.

 

Referensi :


Carr, A. (2004). Positive Psychology: The Science of Happiness and Human Strength. New York: Brunner-Routledge.

Chikering, Arthur W. (1971) Education and Identity. San Fransisco: Jossey-Bass Inc, Publisher

Compton, W.C. (2005). Introduction to Positif Psychology. Singapore: Thomson Wadsworth.

Durkheim, Emile, Wilson, Everet K and Schunrer Herman (tras). (1925/1961). Moral Education: A Study in the Theory and Application of the Sosiology of Education. New York: he Free Press.

From, Erick. (1947) man for himself: an ingiryinto the Psychology of Ethic . New York: Fawcet Premier

Fuad Hasan, (1986) Mendekatkan Anaka Didik Pada Lingkungan Bukan Mengasingkanya.”. Prisma 2, 39-44

Gable,  Shelly L. & Haidt,  Jonathan. (2005). What (and Why) Is Positive Psychology? Review of General Psychology Copyright 2005 by the Educational Publishing Foundation 2005, Vol. 9, No. 2, 103–110

Haqquzaki, M. 1994. Hubungan Antara Tingkat Pendidikan Orang Tua dengan Kemandirian Remaja. Penelitian. Tidak Diterbitkan. Surakarta: Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Havighurst, R. J. (1972) Development Tasks and Education (3rd ed), New York, Mckay.

Kartono, K. (1990). Psikologi Anak. Bandung : Mandar Maju.

Kennon, Sheldon & Laura King, (2001). Why Positive Psychology is Necessary. University of Missouri-Colombia Southern Methodist University.

Kohlberg, Lawrence (1984). Essays on Moral Development II: The Psychology of Moral Development. New York: Herper & Row, Publisher, Inc

Loevinger, Jane. (1964). The Meaning and Measurement of Ego Development”, Amiricant Psychologys, 195-20s

Maslow, Abraham. (1968) Toward A Psychology of Bieng. New York: D Van Nostrand Co

Masrun, Martono, Haryanto, F.P., Hardjito, P., Sofiati, M., Bawani, A., Aritonang, I., Soetjipto, H.P., 1986. Studi Mengenai Kemandirian Pada Penduduk Di Tiga Suku Bangsa (Jawa, Batak, Bugis). Laporan Penelitian. Tidak Diterbitkan. Yogyakarta : Kantor Menteri Negara dan Lingkungan Hidup Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada

McDaniel, H.Bet al. (1981). Readings in Guidance. New York: Holt, Rinehart and Winston

Mu’tadin, Z. (2002). Kemandirian Sebagai Kebutuhan Psikologis Pada Remaja. Jurnal Penelitian. http : // www.epsikologi. com / remaja / 250602

Patterson, C.H. (1966). Theoris of Counselig ad Psycholtherapies. New York: Harper & Row, Publisher

Phenix, Philip H. (1964) Realm of Meaning: a Philosopy aof the Curriculum for General Education. New York: McGraw-Hill Book Co.

Ritchie,  Reinkraut,  Motulsky. (2009).  Developing a Competent Practitioner: Use of Self in Counseling Psychology Training. Asian Journal of Counselling. 16 ( 1). 7–29

Seligman, M.E.P. (2002). Authentic Happiness: Using the New Positive Psychology to Realize Your Potential for Lasting Fulfillment. New York: Free Press.
Seligman, M.E.P., Csikszentmihalyi, M. (2000). Positive Psychology, an Introduction. American Psychologist, 5, 5-14.

Sheldon K,M & Laura King. (2001). Why Positive Psychology. Amirican Psychologist. Asociation, Inc. 0003-066x/01/33.00. vol.36, NO, 3, 216-217.

Sheldon, Frederickson, Rathunde, Csikszentmihalyi, dan Hadit (2000). Positive psychology manifesto retrieved, September 30, 2002, http:/www.positive psychology.org/akumalmanifesto.html1

Steinberg, L., & Silk, J. S. (2002). Parenting adolescents. In M. H. Bornstein (Ed.), Handbook of parenting (Vol. 1, pp. 103–133). Mahwah, NJ: Erlbaum.

Sulaeman. M.I. (1988). Suatu Telaah Tentang Manusia-Religi-Pendidikan, Jakarta, Depdikbud

Sunarya Kartadinata. (1983) Kontribusi Iklim Keluarga dan Sekolah Terhadap Adekuasi Penyesuaian Diri. Thesis. Fakultas pasca sarjana : IKIP Bandung

Sunarya Kartadinata. (1988). Profil Kemandirian dan Orientasi Timbangan Social Mahasiswa Serta Kaitannya Dengan Perilaku Empirik dan Orientasi Nilai Rujukan. Disertasi. Fakultas Pasca Sarjana; IKIP Bandung

Sunarya Kartadinata. (1988). Pengembangan Model Anlisis Tugas-Tugas Perkembagan Dalam Peningkatan dalam Manajemen Bimbingan dann Konseling Di Sekolah. Riset Ungulan Terpadu. LIPPI.

Togan & Busch, (1984). The Development of Moral Reasoning, New York : Wiley & Sons.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Penguatan Integrasi Pendidikan

PENGUATAN INTEGRASI PENDIDIKAN DALAM ERA DISUPSI Oleh :  Asep Rohiman Lesmana, M.Pd. Pendidikan merupakan suatu entitas yang s...