PERSPEKTIF
PSIKOLOGI POSITIF DALAM BIMBINGAN DAN KONSELING UNTUK MENDORONG PENCAPAIAN
KEMANDIRIAN
Iman Lesmana
Positive
education
adalah konsep pendidikan yang diusung Marty (panggilan akrab Martin E.
Seligman). Ia adalah presiden APA (American
Psychological Association), Directur Clinical Training Program
Universitas Pennsylvania yang dijuliki Frued abad 21, dan bapak Psikologi positif,
pengarang buku ‘Learned Helplessness’ dan ‘Authentic Happiness’. Psikologi positive adalah psikologi
yang mengkritik semua psikologi sebelumnya. Dalam psikoanalisa dikenal bagaimana Sigmund Freud membangun teori-teori
kepribadian manusia berdasarkan pengalaman-pengalamannya subjektifnya pada masa
kecil dan juga pengalaman orang-orang di sekitarnya. Freud dikenal sebagai
tokoh psikoanalisa yang kontroversial. Menurutnya pusat seluruh dorongan
manusia berada di kekuatan libido (seksual). Tentunya eksplanasi Freud mengenai
dorongan libido ini menunjukkan argumentasi yang dangkal. Karena kekuatan
tersebut dianggapnya telah membutakan manusia dan menjadikannya tidak berdaya
untuk mengembangkan diri ke arah yang positif. Freud beranggapan bahwa
seluruh aktivitas manusia termasuk di dalamnya perilaku keagamaan dan
pengembangan ilmu pengetahuan, dilakukan sebagai upaya untuk mempertahankan
diri dari dorongan-dorongan negatif yang muncul. Dengan kata lain setiap
kebaikan atau kemajuan yang dicapai manusia dilandasi oleh dorongan negatif.
Alfred Adler salah satu murid Freud menjelaskan bahwa tokoh
penting revolusi Perancis, Napoleon Bonaparte, yang hidupnya dikelilingi oleh
banyak wanita cantik, hal itu dilakukannya sebagai bentuk kompensasi dari
postur tubuhnya yang pendek dan kepribadiannya yang introvert. Dengan demikian
manusia dianggap tidak memiliki kebebasan untuk berbuat karena setiap gerak
perbuatannya selalu dimotivasi oleh pengalaman-pengalaman yang tidak
disadarinya.
Aliran behaviourisme yang memiliki pendekatan yang sangat
kontradiktif dengan aliran yang mendahuluinya. Aliran ini secara
terang-terangan tidak mengakui konsepsi teori Freud mengenai kesadaran dan
ketidaksadaran, namun lebih menekankan pada pengaruh pengalaman dan lingkungan
dalam membentuk perilaku. Menurut para tokoh pendirinya (antara lain: J. B.
Watson, Ivan Pavlov, B.F. Skinner) bahwa perilaku manusia dibentuk dari proses
belajar yang bersifat mekanistis. Manusia tidak memiliki kehendak bebas untuk
melakukan pilihan-pilihan aktivitasnya. Karena seluruh keputusan perilakunya
semata-mata dipengaruhi oleh stimulus yang mendasarinya.
Dari dua aliran pioner psikologi di atas dapat dilihat
betapa konsep teori yang dulu begitu diagungkan oleh para ahli jiwa kini tampak
rapuh dengan berbagai catatan negatif di dalamnya. Capaian-capaian hebat yang
dilakukan manusia tidak selalui dimotivasi oleh dorongan-dorongan negatif, dan
perilaku manusia juga tidak selalu dipengaruhi oleh stimulan-stimulan yang
mendahuluinya, karena manusia memiliki daya nalar untuk menentukan perilakunya.
Dia mau berbuat baik atau berbuat buruk karena dia ingin melakukannya. Aliran
psikologi seperti psikoanalisa dan behaviourisme memandang bahwa untuk
menghilangkan keburukan dalam diri manusia, maka manusia memerlukan treatment
untuk dapat meninggalkan keburukan itu. Selama ini perlakuan yang diberikan
difokuskan pada penghilangan gejala-gejala negatifnya. Konseling untuk
menghilangkan kebiasaan buruknya. Mereka tidak mencoba menggunakan pendekatan
positif dengan cara berkebalikannya, yaitu mendatangkan kebaikan.
Dalam kacamata aliran psikoanalisa dan behaviourisme, bahwa
keburukan ataupun sakit mental dapat dipulihkan bila kita menyembuhkan kondisi
sakitnya itu. Namun, capaian para ilmuwan maupun praktisi psikologi (negatif)
selama kurun 60 tahun terakhir dalam menyembuhkan jenis-jenis penyakit mental
belum memperoleh hasil yang membahagiakan (lihat Martin Seligman, 2002),
terdapat 14 macam penyakit psikologi yang bisa diobati (namun tidak sepenuhnya
dapat disembuhkan) dan hanya ada dua macam penyakit psikologi yang dapat
disembuhkan total.
Jadi prestasi terjauh dari psikologi negatif, adalah membawa
orang sakit menjadi berkurang sakitnya (from miserable to less
miserable) atau paling mentok, menjadikan orang sakit psikologis jadi
hilang sakitnya, atau dari kondisi “minus” ke kondisi “nol”. Kemudian timbul
pertanyaan, bagaimana dengan orang yang sehat? Apakah ilmu psikologi dapat
membantu meningkatkan kualitas orang yang sehat menjadi lebih sehat, lebih
berbahagia dan lebih mandiri?
Psikologi positif adalah studi tentang emosi-emosi positif
untuk meningkatkan kualitas hidup manusia. Psikologi positif memfokuskan pada
pemahaman dan penjelasan tentang kebahagiaan dan subjective well-being (Carr, 2004). Psikologi Positif adalah studi ilmiah tentang kebahagiaan
manusia/human happiness (Compton,
2005). Psikologi positif tidak
dimaksudkan untuk mengganti atau menghilangkan penderitaan, kelemahan atau
gangguan (jiwa), tapi lebih kepada menambah khasanah atau memperkaya, serta untuk memahami secara ilmiah tentang
pengalaman-pengalaman manusia.
Psikologi positif berakar dari psikologi humanisme yang
pembahasannya fokus pada kebermaknaan dan kebahagiaan. Psikologi positif
merupakan cabang baru dari ilmu psikologi yang dideklarasikan pertama kali pada
tahun 1998 oleh Martin Seligman dan Mihaly Csikszentmihalyi (Seligman &
Csikszentmihalyi, 2000). Mereka mengatakan: “We believe that the views on the positive side of human psychology will
emerge , so that humans will reach a scientific understanding and effective way
to improve the quality of individuals , families , and communities. Positive
psychology aims to make normal life more meaningful , not just treating mental
illness”. (“Kami percaya
bahwa pandangan mengenai sisi psikologi positif manusia akan muncul, sehingga
manusia akan mencapai pemahaman ilmiah dan efektif untuk meningkatkan kualitas
individu, keluarga, dan masyarakat. Psikologi positif bertujuan untuk
menjadikan kehidupan normal lebih bermakna, bukan hanya sekedar mengobati penyakit
mental semata”).
Kebahagiaan (happiness) menjadi isu sentral yang
didiskusikan dalam psikologi positif. Ada banyak penelitian yang telah
dilakukan untuk mengkaji faktor-faktor yang berperan dalam kebahagiaan.
Meskipun “kebahagiaan” dapat digunakan untuk merefer banyak hal, namun sebagian
besar psikolog yang intens mengkaji tentang kebahagiaan mengerucut dengan
tema-tema : harta, pernikahan, kehidupan social, usia yang mengalami perubahan
adalah intensitas emosional, sedangkan perasaan “mencapai puncak tertinggi
kehidupan” dan rasa “terpuruk dengan penyesalan” akan berkurang sejalan dengan
bertambahnya usia dan pengalaman hidup (Seligman, 2000), kesehatan, agama, dan
rasa syukur.
Kennon, Sheldon & Laura King, (2001) mendiskripsikan
positif psikologi sebagai : it is nothing
more than the scientific study ordinary human strengsths and virtues. Positive
psychology revisits “the average person” with an interest in finding out what
works, what’s applying evolved adaptations and learned skills? And how can psychologists
explain that fact that dispite all the difficulties, the majority of people
manage to live lives of dignity an purpose…positive psychology is thus an
attempt to urge psychologist to adopt a more open and appreciative perspecptive
regarding human potentials…motives, and capacities. Psikologi positif
adalah studi ilmiah tentang kebahagiaan manusia (human happiness). Psikologi sebagai ilmu pengetahuan menunjukkan
bahwa bidang studi ini secara mendasar terkonsentrasi pada penyakit bukan pada
kesehatan mental. Program penelitian dan model aplikasi selalu menjurus pada
bagaimana manusia berbuat salah dan tidak pada bagaimana mereka berbuat benar
(Compton, 2005).
Sheldon, Frederickson, Rathunde, Csikszentmihalyi, dan Hadit
(2000) mereka mendefinisikan psikologi positif sebagai studi ilmiah tentang
berfungsinya manusia secara optimal. Tujuannya adalah untuk menemukan dan
mempromosikan faktor-faktor yang memungkinkan individu, komunitas, dan
masyarakat untuk tumbuh dan berkembang pesat.
Psikologi
positif berfokus pada tiga area pengalaman manusia (Seligman &
Csikszentmihalyi, 2000) yang dapat membantu membagi ruang lingkup dan orientasi
perspektif psikologi positif, 3 tiang tonggak (pilar) : a) Pada tahab
subjektif, psikologi positif melihat keadaan positif yang subyektif atau emosi
positif seperti kebahagiaa, kesenangan kepuasan hidup, relaksasi, cinta,
intimasi dan kepuasan secara umum. Keadaan positif yang subjektif termasuk juga
pikiran-pikiran yang konstruktif tentang diri dan masa depan, seperti optimism
dan harapan. Keadaan positif yang subjektif dapat juga termasuk
perasaan-perasaan bertenaga, vitalitas, dan percaya diri, atau efek-efek dari
emosi positif, b) Pada tahab individual, psikologi positif berfokus pada studi
tentang sifat-sifat individual yang positif, atau pola-pola perilaku yang lebih
bertahan dan tetap ada pada manusia dengan berjalannya waktu. Studi ini
termasuk trait-trait individual seperti keberanian, persistence, kejujuran, atau kebijaksanaan. Sehingga dengan
demikian, psikologi positif termasuk studi tentang perilaku positif dan sifat
yang secara historis dapat digunakan untuk mendefinisikan keutamaan dan
kekuatan karakter. Termasuk mencakup kemampuan untuk mengembangkan sensibilitas
estetik atau menggali potensi kreatif dan dorongan untuk mengejar kesempurnaan,
c) Pada tahab kelompok atau masyarakat, psikologi positif berfokus pada
perkembangan, pembentukan, dan pemeliharaan, institusi positif. Pada area ini
psikologi positif berhubungan dengan isu-isu seperti perkembangan keutamaan
civic (madani), pembentukan keluarga sehat, studi tentang lingkungan kerja
sehat, dan komunitas sehat. Psikologi positif dapat juga terlibat dalam
penyelidikan tentang bagaimana institusi dapat bekerja lebih baik, untuk
mendukung dan mengembangkan semua warga yang terkait.
Positif psikologi
adalah studi yang mempelajari proses dan kondisi yang mendorong manusia,
kelompok atau institusi berkembang atau berfungsi optimal, (Gable & Haidt,
2005), maka dapat ditarik pemahaman
bahwa fokus dari psikologi positif adalah studi ilmiah tentang berfungsinya
manusia secara lebih baik dan perkembangannya yang pesat juga pada area-area
yang berbeda, seperti biologis, pribadi, relasi, institusional, budaya dan
global (Seligman &
Csikszentmihalyi, 2000).
Konsep dasar dalam intervensipPsikologi positif adalah
peningkatan kesejahteraan dari konseli; memahami dan memfasilitasi kebahagiaan
dan kesejahteraan adalah tujuan utama psikologi positif (Seligman, dalam: Carr 2004), dalam hal ini pengembangan kompetensi konselor efektif
berbasis psikologi positif akan menuntun kepada pencapaian yang lebih efektif.
Alan Carr (2004) dalam bukunya berjudul Positive
Psychology juga mengatakan bahwa kebahagiaan dapat disetarakan dengan
istilah subjective well-being. Ia
juga memberi definisi kebahagiaan sebagai: “a positive psychological state characterised by a high level of satisfaction with life, a high level of positive
affect and a low level of negative affect (psikologis positif yang
dicirikan dengan tingkat kepuasan hidup yang tinggi, tinggi tingkat pengaruh
positif dan rendahnya tingkat pengaruh negatif, ") Carr, (2004: 45).
Konsep psychological well-being memiliki enam dimensi
pendukung. Masing-masing dimensi dalam psychological well-being menjelaskan
tantangan-tantangan yang berbeda yang dihadapi individu untuk dapat berfungsi
secara penuh dan positif (Ryff, 1989a; Ryff & Singer, 2006; Ryff, dalam
Keyes & Haidt, 2003). Dimensi-dimensi tersebut adalah:
1.
Penerimaan Diri (Self Acceptance).
Dimensi ini didefinisikan sebagai karakteristik utama dari kesehatan mental,
aktualisasi diri, berfungsi optimal dan kematangan. Penerimaan diri berarti
sikap yang positif terhadap diri sendiri dan kehidupan di masa lalu, serta
mampu menerima kekurangan dan kelebihan serta batasan-batasan yang dimiliki dalam
aspek diri individu. Individu yang memiliki tingkat penerimaan diri yang baik
ditandai dengan sikap yang positif terhadap diri sendiri, mengetahui dan
menerima segala aspek yang ada pada dirinya, baik kelebihan maupun kekurangan,
serta memiliki sikap yang positif terhadap kehidupan di masa lalu. Sebaliknya,
individu yang memiliki tingkat penerimaan diri yang kurang baik ditandai dengan
perasaan tidak puas terhadap diri sendiri, kecewa terhadap apa yang terjadi di
masa lalu, terganggu dengan sifat-sifat tertentu yang dimiliki dan memiliki
keinginan tidak menjadi dirinya.
2.
Pertumbuhan Diri (Personal Growth).
Dimensi ini didefenisikan sebagai kemampuan potensial yang dimiliki seseorang,
perkembangan diri, serta keterbukaan terhadap pengalaman-pengalaman baru.
Individu yang baik dalam dimensi ini memiliki perasaan untuk terus berkembang,
melihat diri sendiri sebagai sesuatu yang terus tumbuh, menyadari
potensi-potensi yang dimiliki dan mampu melihat peningkatan dalam diri dan
tingkah laku dari waktu ke waktu. Sebaliknya, individu yang kurang baik dalam
dimensi ini mempunyai perasaan bahwa ia adalah seorang yang stagnan, kurang
peningkatan dalam perilaku dari waktu ke waktu, merasa bosan dengan hidup dan
tidak mampu mengembangkan sikap dan perilaku yang baru.
3.
Tujuan Hidup (Purpose in Life). Dimensi
ini menekankan pentingnya memiliki tujuan, pentingnya keterarahan dalam hidup
dan percaya bahwa hidup memiliki tujuan dan makna. Individu yang memiliki
tujuan hidup yang baik, memiliki target dan cita-cita serta merasa bahwa baik
kehidupan di masa lalu dan sekarang memiliki makna tertentu. Individu tersebut
juga memegang teguh kepercayaan tertentu yang dapat membuat hidupnya lebih
berarti. Sebaliknya, individu yang kurang memaknai hidup, tidak memiliki tujuan
dalam hidup, tidak melihat adanya manfaat dari masa lalu dan kurang memiliki
target dan cita-cita, menandakan bahwa individu tersebut kurang memiliki
dimensi tujuan hidup yang baik.
4.
Penguasaan Lingkungan (Environmental Mastery).
Dimensi ini ditandai dengan kemampuan individu untuk memilih atau menciptakan
lingkungan yang cocok atau untuk mengatur lingkungan yang kompleks. Individu
yang baik dalam dimensi ini ditandai dengan kemampuannya untuk memilih dan
menciptakan sebuah lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan dan nilai-nilai
pibadinya dan memanfaatkan secara maksimal sumber-sumber peluang yang ada di
lingkungan. Individu juga mampu mengembangkan dirinya secara kreatif melalui
aktivitas fisik maupun mental. Sebaliknya, individu yang kurang dapat menguasai
lingkungannya akan mengalami kesulitan mengatur kegiatan sehari-hari, merasa
tidak mampu untuk mengubah atau meningkatkan apa yang ada diluar dirinya serta
tidak menyadari peluang yang ada di lingkungan.
5.
Otonomi (Autonomy). Dimensi ini
dideskripsikan dengan individu yang mampu menampilkan sikap kemandirian,
memiliki standard internal dan menolak tekanan sosial yang tidak sesuai.
Individu yang memiliki tingkatan otonomi yang baik ditunjukkan sebagai pribadi
yang mandiri, mampu menolak tekanan sosial untuk berpikir dan bertingkah laku
dengan cara tertentu, mampu mengatur tingkah laku diri sendiri dan mengevaluasi
diri sendiri dengan standard pribadi. Sebaliknya, individu yang terlalu
memikirkan ekspektasi dan evaluasi dari orang lain, bergantung pada orang lain
untuk mengambil suatu keputusan serta cenderung untuk bersikap conform terhadap
tekanan sosial, menandakan individu tersebut belum memiliki tingkat otonomi
yang baik.
6.
Hubungan Positif dengan Orang Lain (Positive
Relations with Others). Dimensi ini ditandai dengan adanya hubungan yang
hangat, memuaskan, saling percaya dengan orang lain serta memungkinkan untuk
timbulnya empati dan intimasi. Individu yang memiliki hubungan positif yang
baik dengan orang lain ditandai dengan memiliki hubungan yang hangat, memuaskan
dan saling percaya dengan orang lain, memiliki perhatian terhadap kesejahteraan
orang lain, dapat menunjukkan rasa empati, rasa sayang dan keintiman serta
memiliki konsep dalam memberi dan menerima dalam hubungan sesama manusia.
Sebaliknya, individu yang hanya memiliki sedikit hubungan dekat dengan orang
lain, susah untuk bersikap hangat, tidak terbuka dan memberikan sedikit
perhatian terhadap orang lain berarti memiliki tingkatan yang kurang baik dalam
dimensi ini.
Pandangan psikologi positif mempelajari apa yang membentuk
siswa/konseli untuk menjadi bahagia dan bagaimana mereka dapat melakukanya. Ini
termasuk apa yang dilakukan untuk dirinya sendiri, untuk keluarganya, untuk
komunitas mereka. Maknanya psikologi positif membantu siswa/konseli mengembangkan
kualitas-kualitas yang akan menuntun mereka kepada pencapaian yang lebih besar
bagi mereka dan bagi orang lain.
Pada Abad
ke-21, setiap siswa/konseli dihadapkan pada situasi kehidupan yang kompleks,
penuh peluang dan tantangan serta ketidakmenentuan. Dalam konstelasi kehidupan
tersebut setiap siswa/konseli memerlukan berbagai kompetensi hidup untuk
berkembang secara efektif, produktif,dan bermartabat serta bermaslahat bagi
diri sendiri dan lingkungannya. Pengembangan kompetensi hidup memerlukan sistem
layanan pendidikan pada satuan pendidikan yang tidak hanya mengandalkan layanan
pembelajaran mata pelajaran/bidang studi dan manajemen saja, tetapi juga
layanan khusus yang bersifat psiko-edukatif melalui layanan bimbingan dan
konseling. Berbagai aktivitas bimbingan dan konseling dapat diupayakan untuk
mengembangkan potensi dan kompetensi hidup siswa/konseli yang efektif serta
memfasilitasi mereka secara sistematik, terprogram, dan kolaboratif agar setiap
siswa/konseli betul-betul mencapai kompetensi perkembangan atau pola perilaku
yang diharapkan.
Layanan bimbingan dan konseling membantu
siswa/konseli untuk memahami, menerima, mengarahkan, mengambil keputusan,dan
merealisasikan keputusan dirinya secara bertanggungjawab sehingga mencapai
kesuksesan, kesejahteraan dan kebahagiaan dalam kehidupannya. Di samping itu,
bimbingan dan konseling membantu peserta didik/konseli dalam memilih, meraih
dan mempertahankan karir untuk mewujudkan kehidupan yang produktif dan
sejahtera. Paradigma bimbingan dan konseling memandang bahwa setiap
siswa/konseli memiliki potensi untuk berkembang secara optimal. Perkembangan
optimal bukan sebatas tercapainya prestasi sesuai dengan kapasitas intelektual
dan minat yang dimiliki, melainkan sebagai sebuah kondisi perkembangan yang
memungkinkan siswa/konseli mampu mengambil pilihan dan keputusan secara sehat
dan bertanggungjawab serta memiliki daya adaptasi tinggi terhadap dinamika
kehidupan yang dihadapinya.
Setiap
siswa/konseli satu dengan lainnya berbeda dalam hal kecerdasan, bakat, minat,
kepribadian, kondisi fisik dan latar belakang keluarga serta pengalaman
belajarnya. Perbedaan tersebut menggambarkan adanya variasi kebutuhan
pengembangan secara utuh dan optimal melalui layanan bimbingan dan konseling.
Layanan bimbingan dan konseling mencakup kegiatan yang bersifat pencegahan,
perbaikan dan penyembuhan, pemeliharaan dan pengembangan. Layanan bimbingan dan
konseling dilaksanakan oleh konselor atau guru bimbingan dan konseling sesuai
dengan tugas pokoknya dalam upaya membantu tercapainya tujuan pendidikan
nasional, dan khususnya membantu siswa/konseli mencapai perkembangan diri yang
optimal, mandiri, sukses, sejahtera dan bahagia dalam kehidupannya.
Seperti yang
tercantum dalam Permendiknas RI no 111 tahun 2014 tentang tujuan umum layanan
bimbingan dan konseling adalah membantu siswa/konseli agar dapat mencapai
kematangan dan kemandirian dalam kehidupannya serta menjalankan tugas-tugas
perkembangannya yang mencakup aspek pribadi, sosial, belajar, karir secara utuh
dan optimal. Tujuan khusus layanan bimbingan dan konseling adalah membantu
siswa/konseli agar mampu: (1) memahami dan menerima diri dan lingkungannya; (2)
merencanakan kegiatan penyelesaian studi, perkembangan karir dan kehidupannya
di masa yang akan datang; (3) mengembangkan potensinya seoptimal mungkin; (4)
menyesuaikan diri dengan lingkungannya;(5) mengatasi hambatan atau kesulitan
yang dihadapi dalam kehidupannya dan (6) mengaktualiasikan dirinya secara
bertanggung jawab. Untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan kolaborasi dan
sinergisitas kerja antara konselor atau guru bimbingan dan konseling, guru mata
pelajaran, pimpinan sekolah/madrasah, staf administrasi, orang tua, dan pihak
lain yang dapat membantu kelancaran proses dan pengembangan siswa/konseli
secara utuh dan optimal dalam bidang pribadi, sosial, belajar, dan karir.
Upaya untuk
membantu siswa/konseli untuk mencapai kematangan dan kemandirian dalam
kehidupannya sehingga mencapai kesuksesan, kesejahteraan dan kebahagiaan dalam
kehidupan, menjadi manusia mandiri
sekaligus bahagia, maka untuk meraihnya perlu melakukan berbagai hal yang
merupakan kekhasan dari diri siswa, fokus ditempatnya dan memaknai hubungan
dengan entitas yang lebih besar.
Dalam hal ini
keberadaan bimbingan secara terintegrasi di dalam pendidikan mengandung arti
bahwa upaya bimbingan dan pendidikan terarah kepada tujuan yang sama, yakni
membantu siswa/konseli menolong diri sendiri (self-help).
McDaniel et.al
(1961) mengemukakan : What are the basic
goals and objective of counseling? Although
the statement could be phrased in many different ways, we may say that the
counseling process should result in assisting individual to become aoutonomous, self-directing, and
self-disaplined. This a rather ambitious statement of objectives and is not
limited to the counseling and guidance. it could well be set up as general goal
of education (Apakah tujuan dasar dan tujuan konseling? Walaupun pernyataan
bisa diungkapkan dalam berbagai cara, kita dapat mengatakan bahwa proses
konseling harus membantu individu untuk menjadi mandiri, mengarahkan diri dan
disiplin diri. Ini pernyataan yang agak ambisius tujuan dan tidak terbatas
untuk konseling dan bimbingan, bisa juga ditetapkan sebagai tujuan umum
pendidikan).
Upaya membantu
siswa/konseli meningkatkan atau memperkuat dorongan untuk mencapai integritas
diri berarti mendorong konseli untuk menemukan makna hidup yang hakiki. Dalam
hal ini bimbingan dan konseling adalah proses membantu siswa/konseli menemukan
makna hidup yang hakiki. Kaitan bimbingan dan konseling dengan kemandirian
ialah bahwa kemandirian mengandung segi-segi kehidupan normatif, kesadaran akan
sistem nilai dan budaya, tanggung jawab, kemampuan bertindak etis dan religius
atas dasar pemahaman yang bermakna.
Pengertian
kemandirian di sini dapat diartikan sebagai zelfstandig, yaitu kemampuan
berdiri di atas kaki sendiri dengan keberanian dan tanggung jawab atas segala
tingkah laku sebagai manusia dewasa dalam melaksanakan segala macam kewajiban
guna memenuhi kebutuhan sendiri (Kartono, 1990). Kemandirian menurut Barnadib
(dalam Mu’tadin, 2001) meliputi perilaku mampu berinisiatif, mampu mengatasi
hambatan atau masalah, mempunyai rasa percaya diri dan dapat melakukan sesuatu
sendiri tanpa bantuan orang lain. Sikap mandiri atau
kemandirian
adalah mampu berdiri di atas kemampuan sendiri dalam mempertahankan
kelangsungan hidup dengan keberanian dan tanggung jawab atas segala tingkah
laku sebagai manusia dewasa dalam melaksanakan segala kewajibannya guna
memenuhi kebutuhan sendiri (Haqquzzaki, 1994). Masrun dkk (1986) menyatakan
bahwa kemandirian adalah suatu sifat yang memungkinkan seseorang bertindak
bebas, melakukan sesuatu atas dorongan diri sendiri dan untuk kebutuhan
sendiri, mengejar prestasi, penuh ketekunan serta berkeinginan untuk
mengerjakan sesuatu tanpa bantuan orang lain, mampu berfikir dan bertindak
original, kreatif dan penuh inisiatif, mampu mengatasi persoalan yang dihadapi,
mampu mengendalikan tindakan-tindakan, mampu mempengaruhi lingkungan,
mempunyai
rasa percaya diri terhadap kemampuan yang dimiliki, menghargai keadaan diri dan
memperoleh kepuasan atas usaha sendiri.
Apabila kembali
kepada rumusan tujuan pendidikan (Kartadinata, 1983) esensi kemandirian adalah
“..upaya pendidikan dalam membantu individu mengembangkan system penyesuaian diri
yang adekuat berlandaskan kepada sifat-sifat manusiawi dari mausia-manusia yang
terlibat didalamnya, terutama siswa”, prinsip tersebut mengandung arti bahwa
mendidik bukanlah member nasehat kepada anak, melainkan mendapatkan situasi
yang penuh keakraban dimana dalam situasi tersebut terwujudnya nilai-nilai
hidup dalam bentuk perilaku yang dapat mempengaruhi dan mendorong siswakonseli
berbuat atas kesadara dan kemamuannya sendiri.
Melalui proses
bimbingan dan konseling siswa/konseli dibantu untuk mengembangkan pemahaman dan
pemaknaan terhadap pengalamannya, sehingga ia menemukan kehidupan yang
bermakna. Pemikiran ini sejalan dengan asumsi yang mengatakan bahwa : The self constantly strives for meaning,
that is for understanding of its experiences. There is a basic drive to
organize experience into meaningful wholes : one of the highest value in life
is to have meaning in one’s personal existence. Meanings are determined by the
whole organismic reaction of person to his experiences. (usaha diri
terus-menerus untuk menjadi bermakna, bagi pemahaman tentang pengalaman. Ada
perjalanan dasar, mengatur pengalaman ke tingkat yang bermakna: salah satu
nilai tertinggi dalam hidup seseorang adalah untuk memiliki makna keberadaan
pribadi. Makna ditentukan oleh reaksi seluruh organismik pengalamannya)
(Patterson, 1966 : 68).
Berbicara
tentang kemandirian akan merujuk kepada perkembangan diri, karena diri
merupakan inti dari kemandirian. Konsep tentang diri yang dikemukakan di atas
tidak selalu merujuk kepada kemandirian. Konsep kemandirian merujuk kepada
konsep outonomy. Ada berbagai sudut
pandang dalam menjelaskan makna dan proses perkembangan kemandirian. Durkheim
(1925) melihat makna dan perkembangan kemandirian dari sudut pandang yang
berpusat pada masyarakat (society
centered). Pandangan ini disebut juga pandangan konformistik. Menurut
Durkeim kemandirian (outonomy)
merupakan elemen esensial ketiga dari moralitas yang bersumber pada kehidupan
masyarakat. Kemandirian tumbuh karena ada disiplin (yaitu ada aturan bertindak
dan otoritas), dan komitmen terhadap kelompok. Kedua elemen ni (disiplin dan
komitmen) merupakan prasyarat bagi kemandirian.
Dalam pandangan
konformistik, kemandirian adalah konformitas terhadap moral kelompok rujukan.
Kemandirian adalah penampilan keputusan pribadi yang didasari pegetahuan
lengkap tentang konsekuensi berbagai tindakan serta keberanian menerima
konsekuensi tindakan tersebut. Pemahaman terhadapan hokum moralitas menjadi
faktor utama yang mendukung perkembangan kemandirian. Faktor pemahaman inilah
yang membedakan kemandirian (self-determinism)
dari kepatuhan (submission).
Konsep
kemandirian konformistik ini tampak pula dalam pikiran McDougal (Togan dan
Busch 1984) yang melihat perilaku mandiri itu sebagai “hallmark” dari kematangan, sebagai pendorong perilaku sosial. Dalam
konsep McDougal kemandirian adalah konformitas khusus, yakni konformitas
terhadap kelompok yang terinternalisasi. Manusia selalu berkonformitas,
perbedaan satu sama lain terletak dalam hal kelompok rujukan yang disukainya.
Dalam pemikiran Durkheim maupun McDougal tampak bahwa popularitas antara
kemandirian dengan konformitas adalah hal yang tidak dapat dipisahkan.
Menurut M.I.
Sulaeman, (1988), berbicara tentang kemandirian tidak dapat dipisahkan dari
pembicaraan tentang hakikat manusia, karena perkembangan kemandirian adalah
perkembagan hakikat eksistesial manusia. Pandangan yang berpusat pada
masyarakat tentang kemandrian lebih menekankan bahwa lingkungan itu mempunyai
kekuatan yang ‘super’ terhadap kehidupan manusia. Seolah-olah manusia tidak
bisa ‘berbuat’ terhadap dunianya; padahal manusia adalah makhluk yang
semata-mata dipengaruhi lingkungan; manusia adalah makhluk yang memiliki
keragaman kesamaan.
Pemikiran
tentang manusia menunjukkan bahwa proses perkembangan manusia harus dipandang
sebagai proses interaksional dinamis.
Proses ini mengiplemenasikan bahwa manusia berhak member makna terhadap
dunianya atas dasar proses ‘mengalami’ sebagai konsekuensi dari perkembngn
berfikir dan penyesuaian kehendaknya. Dalam pandangan ini kemandirian menjadi berpusat
pada ego atau diri sebagai dimensi pemersatu organisasi kepribadian (Kohlberg,
1984).
Kemandirian
bukanlah hasil dari proses perkembangan diri sesuai dengan hakekat eksistensi
manusia. Kemandirian yang sehat adalah yang sesuai dengan hakekat manusia.
Perilaku mandiri adalah perilaku memelihara hakekat eksistens diri. Erich Fromm
(1947) menyebut perilaku ini sebagai kata hati humanistik.
‘Interaksional’
mengandung makna bahwa kemandirian berkembang melalui proses pengembangan
keragaman manusia dalam kesamaan dan keberamaan ini. Maslow (1971) membedakan
kemandirian tidak aman (insecure autonomy)
dari kemandirian aman (secure autonomy).
Kemandirian tidak aman adalah kekuatan kepribadian yang diyatakan dalam
perilaku menentang dunia. Maslow menyebut kondisi ni sebagai kemandirian yang
mementingkan diiri sendiri (selfish
autonomy). Sedangkan kemandirian yang aman ialah kekuatan untuk menubuhkan
cinta kasih pada dunia, kehidupan, dan orang lain, sadar akan tanggung jawab
bersama dan tumbuh rasa percaya pada kehidupan. Kekuatan ini digunakan untuk
menyenangi dan mencintai kehidupan dan membantu orang lain. Inilah yang
dimaksud oleh Maslow dengan kemandirian yang sehat.
Maslow (1971:
165) dalam konsep transendensi menekankan bahwa autonomy dan homonoy
adalah dua hal yang berhubungan dan tumbuh bersamaan. Dikatakannya bahwa: “..for as the person grows healthier and more
authentic the high autonomy and the high homony grow together and tend finally
to fuse and to become structured into a higher unity which includes them both.
The dhicotomy between autonomy and homonomy, between selfishness and
unselfishness, between the self and non-self, between the pure psyche and outer
reaty, now tend to disappear, and seen as a byproduct of immaturity and of
incomplete development”. (sebagai orang tumbuh lebih sehat dan lebih
otentik otonomi tinggi dan homony tinggi tumbuh bersama dan cenderung akhirnya
sekring dan untuk menjadi terstruktur ke dalam satu kesatuan yang lebih tinggi
yang meliputi mereka berdua. Dhicotomy antara otonomi dan homonomy, antara
egoisme dan tidak egois, antara diri dan non-diri, antara murni jiwa dan luar
reaty, sekarang cenderung menghilang, dan dipandang sebagai produk sampingan
ketidakdewasaan dan perkembangan lengkap ".)
Chekering
(1971: 74) mengemukakan bahwa “..recognition
and acceptance of interdependence, is the capstone of outonomy.” Kata interdependence mesti ditafsirkan lebih
luas, bukan berarti ketergantungan antar manusia (saja) melainkan
ketergantungan antar berbagai motif dan nilai yang melandasi perilaku yang
tampil dalam interaksi dengan orang lain. Keputusan dan tindakan tidak
semata-mata didasarkan kepada kebutuhan dalam dimensi ruang dan waktu tetapi
juga dalam dimensi nilai. Maslow (1971) menyebut kekuatan ini sebagai
meta-motivasi perilaku.
Perkembangan
kemandirian adalah proses yang menyangkut unsur-unsur normatif. Ini berarti
bahwa perkembangan kemandirian adalah suatu proses yang terarah, dan karena
perkembangan kemandirian adalah perkembangan yang sejalan dengan hakekat
eksistensial manusia, maka arah perkembanagn tersebut meski sejalan dengan dan
bertolak dari tujuan hidup manusia. Berbicara tentang tujuan hidup (M.I.
Soelaeman, 1988: 56-61) akan selalu terkait dengan dimensi ruang, waktu dan
nilai.
Menjadikan diri atau ego sebagai inti
perkembangan kemandirian, memberi arti bahwa perkembangan manusia terarah
kepada penemuan makna diri dan dunianya. Bagaimana manusia memberi makna
terhadap diri dan dunianya tentu akan sangat beraneka ragam, karena bergantung
kepada bagaimana dia mempersepsikan diri dan dunianya. Bagaimana manusia member
makna terhadap diri dan dunianya tentu akan sangat beraneka ragam, karena
bergantung kepada bagaimana dia mempersepsikan diri dan dunia itu. Disini
kehidupan dibentuk dalam setiap diri manusia akan berbeda-beda. Dalam Tataran
makna yang lebih tinggi, Phenix (1964) menyebut makna sinoptik dan Maslow
(1968) menyebut transendensi lingkungan (trasendece
of environment)-hubungan antara individu dengan dunianya tidak lagi bersifat
interaksi subyek-obyek melainkan merupakan hubungan antar-subyektivitas (intersubjectivity), yakni proses dialog
dalam diri.
Sifat selektif
dalam memaknai kehidupan menunjukkan bahwa apa yang dipersepsikan dan dimaknai
oleh manusia ditentukan melalui proses memilih. Proses memilih tidak terlepas
dari proses kognitif , dalam menimbang berbagai alternative yang akan selalu
terkait dengan system nilai, dan bukan proses yang bersifat reaktif atau
impulsive. Bagaimana proses kognitif terjadi da bagaimana menyesuaikan kehendak
terhadap berbagai dmensi kehidupan akan mewarnai cara manusia memaknai
dunianya. Implikasi yang tersirat di sini ialah bahwa hampiran kognitif
terhadap kemandirian dapat digunakan apabila dapat dgunakan apabila
dipertautkan dengan berbagai dimensi kehidupan manusia.
Bagaimana
proses perkembangan terjadi? apabila hakekat manusia ditelaah kembali, ternyata
pada saat lahir ke dunia dia berada dalam ketidak-berdayaan dan ketidak-tahuan
tentang dirinya dan dunianya pada tingkat ini dia menyatu dengan dunia atau
alam. Menyatu dalam arti dia belum tahu hubungan subjek-objek. Dengan kemampuan
berfikir, dan imajinasinya manusia mampu mengenal perbedaan diri dengan
lingkungan dan orang lain, dan keterpautan diri dengan lingkungan dan orang
lain. Di sini dia menuju dan berada
dalam proses peragaman (diferensiasi). Dalam tahapan ini mungkin dia
sedikit demi sedikit berupaya melepaskan diri dari ikatan otoritas dan menuju
kepada hubungan mutualistik mengembangkan kemampuan menuju spesialisasi tertentu,
mengembangkan kemampuan instrumental untuk mampu melakukan dan memenuhi sendiri
aktivitas hidup.
Chikering
(1971) mengidentifikasikan tingkatan ini sebagai independesi emosional dan
instrumental yang merupakan dua komponen dalam perkembangan kemandirian. Kedua
komponen tersebut bersifat komplementer yang secara bertahap akan mengarah
kepada pengakuan dan penerimaan ke saling bergantungan di dalam kehidupan.
Walaupun dalam
tahap peragaman ini manusia sudah memiliki kemampuan instrumental tapi dia
belum sampai kepada kemandirian, karena aksentuasi penampilan dirinya baru
dalam aspek-aspek kehidupan tertentu. Proses peragaman dan spisialisasi ini
baru merupakan proses pemilikan (having)
akan pengetahuan, keterampilan, teknologi dan masih harus berlanjut ketingkat being sebagai dimensi kehidupan yang
lebih penting, yakni upaya memantapkan
jati diri (Fuad Hasan, 1986). Tingkat peragaman ini harus berlanjut ke
tingkat integrasi atau tingkat mendunia (Driyakara) yakni tahap mendekatan diri
kepada dunia yang dihidupi dan dihadapi, dan bukan mengasingkan diri sehingga
timbul kemandirian tak aman (Maslow, 1968).
Kartadinata,
(1988) kemandirian adalah proses perkembangan, terbentuk melalui proses
interaksi antara manusia dengan lingkungannya. Sebagi upaya pedagogis,
bimbingan dan konseling bertugas
mengembangkan atau menyiapkan lingkungan dengan kehidupan orang lain dan
dunianya. Esensi tujuan bimbingan dan konseling adalah memandirikan individu;
kemandirian (outonomy) adalah tujuan
bimbingan dan konseling. Kemandirian yang sehat akan tumbuh melalui interaksi
yang sehat antara individu yang sedang berkembang dengan lingkungan dan budaya
yang sehat antara individu yang sedang berkembang dengan lingkungan dan budaya
yang sehat pula. Di sinilah letak esensi upaya pedagogis dalam proses bimbingan
dan konseling. Dalam konteks pengembangan kemandirian, tujuan bimbingan dan
konseling tidak sebatas sebagai proses pemecahan masalah yang hanya bersifat
kekinian, melainkan terarah kepada penyiapan individu untuk dapat menghadapi
persoalan-persoalan masa depan dan menjalani kehidupan sebagai anggota
masyarakat maupun sebagai makhluk Alloh Yang Maha Kuasa. Bimbingan dan
konseling bertugas memfasilitasi individu menguasai perilaku jangka panjang
yang diperlukan di dalam kehidupannya, dalam mengambil keputusan
sosial-pribadi, pendidikan, dan karir.
Steinberg
(2002) membedakan kemandirian menjadi tiga tipe, yaitu; kemandirian emosional (emotional autonomy) yang merujuk kepada
tipe darikemandirian yang berhubungan dengan perubahan dalam hubungan individu
yang dekat, khususnya dengan orang tua. Kemandirian perilaku (behavioral autonomy) yang merujuk kepada
kemampuan dalam mengambil keputusan dan melaksanakannya. Kemandirian nilai (value autonomy) yang merujuk kepada
kemampuan seseorang dalam menangani tekanan bersama dengan tekanan dari orang
lain, hal ini berarti seorang individu mempunyai dasar-dasar tentang benar dan
salah, tentang apa yang penting dan tidak penting. Konstruk dan teori
perkembangan kemandirian perlu dipahami oleh konselor sebagai dasar perumusan
perilaku jangka panjang yang harus dikuasai individu, dan sebagai standar yang
mengarahkan upaya-upaya bimbingan dan konseling. Model teori atau konstruk yang
dimaksud diantaranya model perkembangan karakter (havinghurst: 1972),
perkembangan ego (Loevinger, 1964), perkembangan diri, korporasi model
Loevinger dan Havighurst, Sunaryo Kartadinata et.al.: 1998/2003.
Sedang untuk
konsep teoritis psikologi positif, perlu diimplementasikan dalam dunia praktis
pendidikan yaitu bimbingan dan konseling oleh konselor, dengan konsep positive education. Intinya adalah
membimbing dan memberikan konseling kepada siswa/konseli untuk sukses (achievable) dan bahagia (well-being). Secara umum mengajarkan
bagaimana belajar optimis, belajar berbagi, belajar melepaskan dendam, belajar
menyelesaikan konflik, belajar untuk syukur, belajar untuk mengendalikan
stress, belajar mengelola emosi…dst…dst. Disamping layanan bimbingan dan
konseling sebagai layanan profesional yang diselenggarakan pada satuan pendidikan
mencakup komponen program, bidang layanan, struktur dan program layanan,
kegiatan dan alokasi waktu layanan. Komponen program meliputi layanan dasar,
layanan peminatan dan perencanaan individual, layanan responsif, dan dukungan
sistem, sedangkan bidang layanan terdiri atas bidang layanan pribadi, sosial,
belajar, dan karir. dan memaksimalisasi hasil yang ‘mungkin’ didapatkan dengan
cara psikologi positif. Psikologi positif dalam bimbingan dan konseling mampu
mendorong siswa/konseli mencapai kemandirian (autonomy), membantu siswa/konseli mencapai kematangan dalam
kehidupannya serta menjalankan tugas-tugas perkembangannya yang mencakup aspek
pribadi, sosial, belajar, karir secara utuh dan optimal, menjadi outonomy and happy.
Referensi :
Carr, A.
(2004). Positive Psychology: The Science of Happiness and Human Strength.
New York: Brunner-Routledge.
Chikering,
Arthur W. (1971) Education and Identity.
San Fransisco: Jossey-Bass Inc, Publisher
Compton,
W.C. (2005). Introduction to Positif Psychology. Singapore: Thomson
Wadsworth.
Durkheim,
Emile, Wilson, Everet K and Schunrer Herman (tras). (1925/1961). Moral Education: A Study in the Theory and
Application of the Sosiology of Education. New York: he Free Press.
From, Erick.
(1947) man for himself: an ingiryinto the Psychology of Ethic . New York:
Fawcet Premier
Fuad Hasan,
(1986) Mendekatkan Anaka Didik Pada
Lingkungan Bukan Mengasingkanya.”. Prisma 2, 39-44
Gable, Shelly L. & Haidt, Jonathan. (2005). What (and Why) Is Positive
Psychology? Review of General Psychology
Copyright 2005 by the Educational Publishing Foundation 2005, Vol. 9, No. 2,
103–110
Haqquzaki, M.
1994. Hubungan Antara Tingkat Pendidikan Orang Tua dengan Kemandirian Remaja.
Penelitian. Tidak Diterbitkan.
Surakarta: Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Havighurst, R. J. (1972) Development Tasks and Education (3rd
ed), New York, Mckay.
Kartono, K. (1990). Psikologi Anak. Bandung
: Mandar Maju.
Kennon, Sheldon
& Laura King, (2001). Why Positive Psychology
is Necessary. University of Missouri-Colombia Southern Methodist
University.
Kohlberg, Lawrence (1984). Essays on Moral Development II: The
Psychology of Moral Development. New York: Herper & Row,
Publisher, Inc
Loevinger,
Jane. (1964). The Meaning and Measurement
of Ego Development”, Amiricant Psychologys, 195-20s
Maslow,
Abraham. (1968) Toward A Psychology of
Bieng. New York: D Van Nostrand Co
Masrun,
Martono, Haryanto, F.P., Hardjito, P., Sofiati, M., Bawani, A., Aritonang, I.,
Soetjipto, H.P., 1986. Studi Mengenai Kemandirian Pada Penduduk Di Tiga Suku
Bangsa (Jawa, Batak, Bugis). Laporan Penelitian. Tidak
Diterbitkan. Yogyakarta : Kantor Menteri Negara dan Lingkungan Hidup Fakultas
Psikologi Universitas Gadjah Mada
McDaniel, H.Bet
al. (1981). Readings in Guidance. New
York: Holt, Rinehart and Winston
Mu’tadin, Z. (2002). Kemandirian Sebagai
Kebutuhan Psikologis Pada Remaja. Jurnal Penelitian. http : // www.epsikologi. com / remaja / 250602
Patterson, C.H. (1966). Theoris of Counselig ad Psycholtherapies.
New York: Harper & Row, Publisher
Phenix, Philip
H. (1964) Realm of Meaning: a Philosopy aof the Curriculum for
General Education. New York: McGraw-Hill Book Co.
Ritchie, Reinkraut,
Motulsky. (2009). Developing
a Competent Practitioner: Use of Self in Counseling Psychology Training. Asian Journal of Counselling. 16 ( 1). 7–29
Seligman, M.E.P. (2002). Authentic
Happiness: Using the New Positive Psychology to Realize Your Potential for
Lasting Fulfillment. New York: Free Press.
Seligman,
M.E.P., Csikszentmihalyi, M. (2000). Positive Psychology, an Introduction. American
Psychologist, 5, 5-14.
Sheldon K,M & Laura King. (2001). Why
Positive Psychology. Amirican Psychologist. Asociation, Inc.
0003-066x/01/33.00. vol.36, NO, 3, 216-217.
Sheldon,
Frederickson, Rathunde, Csikszentmihalyi, dan Hadit (2000). Positive psychology
manifesto retrieved, September 30, 2002, http:/www.positive
psychology.org/akumalmanifesto.html1
Steinberg, L., & Silk, J. S. (2002). Parenting adolescents. In M. H. Bornstein
(Ed.), Handbook of parenting (Vol. 1, pp. 103–133). Mahwah, NJ: Erlbaum.
Sulaeman. M.I. (1988). Suatu Telaah Tentang
Manusia-Religi-Pendidikan, Jakarta, Depdikbud
Sunarya
Kartadinata. (1983) Kontribusi Iklim Keluarga dan Sekolah Terhadap Adekuasi
Penyesuaian Diri. Thesis. Fakultas
pasca sarjana : IKIP Bandung
Sunarya
Kartadinata. (1988). Profil Kemandirian dan Orientasi Timbangan Social
Mahasiswa Serta Kaitannya Dengan Perilaku Empirik dan Orientasi Nilai Rujukan. Disertasi.
Fakultas Pasca Sarjana; IKIP Bandung
Sunarya
Kartadinata. (1988). Pengembangan Model Anlisis Tugas-Tugas Perkembagan Dalam
Peningkatan dalam Manajemen Bimbingan dann Konseling Di Sekolah. Riset Ungulan
Terpadu. LIPPI.
Togan & Busch, (1984). The Development of Moral Reasoning, New
York : Wiley & Sons.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar