PERKEMBANGAN DAN
KEMATANGAN KARIR REMAJA
Oleh :
Iman Lesmana
A. Karakteristik
Perkembangan Remaja
Istilah
remaja (adolecense) diartikan sebagai sesuatu yang “tumbuh” atau “tumbuh
menjadi dewasa”, secara luas mencakup proses kematangan mental, emosional,
sosial dan fisik. Ini berarti pada usia remaja (12-20 tahun, WHO) seseorang
mulai menjalani suatu proses pendewasaan diri.
Komunitas
e-psikologi (2007) memandang masa remaja sebagai sebuah periode dalam kehidupan
manusia yang batasannya usia maupun peranannya seringkali tidak terlalu jelas.
Pubertas yang dahulu dianggap sebagai tanda awal keremajaan ternyata tidak lagi
valid sebagai patokan atau batasan untuk pengkategorian remaja sebab usia
pubertas yang dahulu terjadi pada akhir usia belasan (15-18) kini terjadi pada
awal belasan bahkan sebelum usia 11 tahun.
Seorang anak berusia 10 tahun mungkin saja sudah (atau sedang) mengalami
pubertas namun tidak berarti ia sudah bisa dikatakan sebagai remaja dan sudah
siap menghadapi dunia orang dewasa. Ia belum siap menghadapi dunia nyata orang
dewasa, meski di saat yang sama ia juga bukan anak-anak lagi. Berbeda dengan
balita yang perkembangannya dengan jelas dapat diukur, remaja hampir tidak
memiliki pola perkembangan yang pasti. Dalam perkembangannya seringkali mereka
menjadi bingung karena kadang-kadang diperlakukan sebagai anak-anak tetapi di
lain waktu mereka dituntut untuk bersikap mandiri dan dewasa.
Bagi sebagian besar orang yang
baru berangkat dewasa bahkan yang
sudah melewati usia
dewasa, remaja adalah waktu yang paling berkesan dalam hidup mereka. Kenangan
terhadap masa remaja merupakan kenangan yang tidak mudah dilupakan, sebaik atau
seburuk apapun saat itu. Sementara
banyak orangtua yang memiliki anak berusia remaja merasakan bahwa usia remaja
adalah waktu yang sulit. Banyak konflik yang dihadapi oleh orangtua dan remaja
itu sendiri. Banyak orangtua yang tetap
menganggap anak remaja mereka masih perlu dilindungi dengan ketat sebab di mata
orangtua para anak remaja mereka masih belum siap menghadapi tantangan dunia
orang dewasa. Sebaliknya, bagi para
remaja, tuntutan internal membawa mereka pada keinginan untuk mencari jatidiri
yang mandiri dari pengaruh orangtua.
Keduanya memiliki kesamaan yang jelas: remaja adalah waktu yang kritis
sebelum menghadapi hidup sebagai orang dewasa (e-psikologi, 2007).
Berdasarkan
perspektif biososial masa remaja adalah masa “strom and drang”,
yaitu sebagai periode yang berada dalam dua situasi: antara kegoncangan,
penderitaan, asmara, dan pemberontakan dengan otoritas orang dewasa (Hall dalam
Yusuf, 2000), terjadinya pertumbuhan fisik, masa transisi, dan perubahan fisik
tersebut menentukan pengalaman sosialnya (Barker dalam Yusuf, 2000).
Ditinjau dari
perspektif relasi interpersonal masa remaja adalah masa mulai mengenal
minat terhadap lawan jenis yang dimulai dari kesadaran untuk berhubungan (unilaterally
aware), kontak permulaan (surface contact), dan saling berhubungan (mutually
= a continuum) (Levinger dalam Yusuf, 2000). Selanjutnya hubungan di antara
dua remaja yang berbeda jenis kelamin mendorong remaja ke arah percintaan
(pacaran) (Ellen & Elaine dalam Yusuf, 2000).
Perspektif Sosiologis dan
Antropologis memandang masa remaja sebagai
masa terjadinya
konflik dengan orang tua karena terjadi perbedaan pengalaman budaya (differential
cultural content) (Kingsley & Davis dalam Yusuf, 2000).
Perspektif psikologis memandang masa
remaja sebagai masa yang erat kaitannya dengan sense of identity vs role
confusion (Hurlock, 1980; Santrock, 1983; Makmun, 1996; Yusuf, 2000). Jika
remaja tidak mempunyai sense of identity yang sehat maka remaja akan
mengalami role confusion yang pada akhirnya akan mudah terpengaruh oleh
pengaruh dari luar.
Perspektif belajar sosial memandang masa remaja sebagai masa senang bergaul dengan
teman sebaya karena dipandang menawarkan social reward dan peer
status needs yang lebih menarik daripada keluarga (Parson & Grinder
dalam Yusuf, 2000). Selanjutnya remaja berusaha mempelajari respons-respons
sosial dengan cara mengamati dan mengimitasi berbagai perilaku teman sebayanya
(Bandura).
Ahli psikologi perkembangan, Hurlock (1980) mengemukakan
beberapa karakteristik yang menggambarkan kekhasan kehidupan remaja, antara
lain sebagai berikut. Pertama, masa remaja sebagai periode yang dinilai
penting, artinya ini adalah masa dimana seseorang dapat menentukan
bagaimana kehidupan dewasanya kelak.
Kedua, masa remaja merupakan periode peralihan, yang dimaksud peralihan di sini adalah transisi antara
masa anak menuju dewasa, dalam arti pada masa ini seseorang akan mengalami
sebuah penyesuaian baru baik dalam sikap maupun perilaku yang cukup
“dilematis”.
Ketiga, masa remaja juga merupakan periode perubahan. Perubahan yang dimaksudkan adalah perubahan dalam
sikap, perilaku maupun secara fisik. Berikut adalah macam perubahan yang
terjadi pada masa remaja: 1) meningginya emosi yang
intensitasnya bergantung kepada tingkat perubahan fisik dan psikologis yang
terjadi; 2) perubahan tubuh, minat dan peran yang diharapkan oleh kelompok
sosial untuk diperankan dan ini
menimbulkan masalah baru; 3) perubahan nilai-nilai yang dipegang, perubahan ini
sangat bergantung pada perubahan minat dan pola perilaku remaja itu sendiri.;
dan 4) munculnya sikap yang ambivalen di diri remaja berkaitan dengan perubahan
itu sendiri. disatu sisi seorang remaja sudah mulai menuntut kebebasan diri
sebagai individu yang mandiri, manun disisi lain kereka belum cukup berani
untuk bertanggung jawab atas akibat yang ditimbulkan dari tuntutan kebebasan
itu.
Keempat, masa remaja pun digambarkan sebagai periode
pencarian identitas diri (Erikson). Proses
ini pun sangat mempengaruhi prilaku remaja, karena dalam prosesnya seorang
remaja berusaha untuk memunculkan diri lewat usaha-usahanya berprilaku agar
dapat diterima oleh lingkungannya. Pemodelan menjadi aspek yang sangat penting
dalam membimbing pembentukan identitas itu, karena pada masa ini seorang remaja
sengaja mencari idola untuk membantu penyempurnaan pembentukan identitas
dirinya.
Kelima, masa remaja juga
merupakan periode yang tidak realistik, remaja cenderung memandang
kehidupan melalui kacamata berwarna “merah jambu”. Ia melihat dirinya sendiri
dan orang lain sebagai mana yang dia inginkan dan bukan sebagai mana adanya,
terlebih dalam hal mendapatkan apa-apa yang diinginkannya.
Keenam, masa remaja sebagai
ambang masa dewasa. Dengan semakin dekatnya usia kematangan yang
sebenarnya, para remaja mulai gelisah untuk meninggalkan stereotype
belasan tahun dan untuk
memberikan kesan bahwa
mereka memang sudah dewasa. Oleh karena
itu, mereka mulai berprilaku
seperti halnya
perilaku orang-orang dewasa menurut persepsinya.
Komunitas e-psikologi (2007) menyimpulkan bahwa memang
banyak perubahan pada diri seseorang sebagai tanda keremajaan, namun seringkali
perubahan itu hanya merupakan suatu tanda-tanda fisik dan bukan sebagai
pengesahan akan keremajaan seseorang.
Namun satu hal yang pasti, konflik yang dihadapi oleh remaja semakin
kompleks seiring dengan perubahan pada berbagai dimensi kehidupan dalam diri
mereka. Untuk dapat memhami remaja, maka perlu dilihat berdasarkan perubahan
pada dimensi-dimensi berikut.
1.
Perkembangan
Fisik Biologis
Pada masa pubertas, hormon seseorang
menjadi aktif dalam memproduksi dua jenis hormon (gonadotrophins atau gonadotrophic
hormones) yang berhubungan dengan pertumbuhan, yaitu: 1) Follicle-Stimulating
Hormone (FSH); dan 2). Luteinizing Hormone (LH). Pada anak perempuan, kedua hormon tersebut
merangsang pertumbuhan estrogen dan progesterone: dua jenis
hormon kewanitaan. Pada anak lelaki, Luteinizing
Hormone yang juga dinamakan Interstitial-Cell Stimulating Hormone
(ICSH) merangsang pertumbuhan testosterone.
Pertumbuhan secara cepat dari
hormon-hormon tersebut di atas mengubah sistem biologis seorang anak. Anak
perempuan akan mengalami peristiwa menstruasi pertama (menarche),
sebagai pertanda bahwa sistem reproduksinya sudah aktif. Selain itu, terjadi
juga perubahan fisik seperti payudara mulai berkembang, pinggul bertambah
besar, serta tumbuh rambut pubik atau bulu kapok di sekitar kemaluan dan
ketiak. Anak laki-laki mengalami “mimpi basah” (mimpi berhubungan seksual),
tumbuh rambut pubik atau bulu kapok di sekitar kemaluan atau ketiak, mulai
memperlihatkan perubahan dalam suara, otot, tumbuh kumis dan gondok laki
(jakun), serta fisik lainnya yang berhubungan dengan tumbuhnya hormon
testosterone. Bentuk fisik mereka
akan berubah secara cepat sejak awal pubertas dan akan membawa mereka pada
dunia remaja.
2.
Perkembangan
Kognitif
Menurut Piaget (Makmun, 1996; Yusuf, 2000; Betham, 2002;
e-psikologi, 2007) perkembangan kognitif remaja merupakan periode
terakhir dan tertinggi dalam tahap pertumbuhan operasi formal (period of
formal operations). Pada periode
ini, idealnya para remaja sudah memiliki pola pikir sendiri dalam usaha
memecahkan masalah-masalah yang kompleks dan abstrak. Kemampuan berpikir para remaja berkembang
sedemikian rupa sehingga mereka dengan mudah dapat membayangkan banyak
alternatif pemecahan masalah beserta kemungkinan akibat atau hasilnya. Kapasitas berpikir secara logis dan abstrak mereka
berkembang sehingga mereka mampu berpikir multi-dimensi seperti ilmuwan. Para remaja tidak lagi menerima informasi apa
adanya, tetapi mereka akan memproses informasi itu serta mengadaptasikannya
dengan pemikiran mereka sendiri. Mereka
juga mampu mengintegrasikan pengalaman masa lalu dan sekarang untuk
ditransformasikan menjadi konklusi, prediksi, dan rencana untuk masa depan.
Dengan kemampuan operasional formal ini, para remaja mampu mengadaptasikan diri
dengan lingkungan sekitar mereka.
3.
Perkembangan
Moral
Jika ditinjau dari perspektif perkembangan moral yang
dikemukakan oleh Lawrence Kohlberg (Setiono, 1997; Yusuf, 2000) pada umumnya
remaja berada dalam tingkatan konvensional atau berada dalam tahap ketiga
(berperilaku sesuai dengan tuntutan dan harapan kelompok), dan keempat
(loyalitas terhadap norma atau peraturan yang berlaku dan diyakininya.
Selanjutnya, komunitas e-psikologi (2007) mengemukakan
bahwa kemampuan berpikir dalam dimensi moral (moral reasoning) pada
remaja berkembang karena mereka mulai melihat adanya kejanggalan dan
ketidakseimbangan antara yang mereka percayai dahulu dengan kenyataan yang ada
di sekitarnya. Mereka lalu merasa perlu mempertanyakan dan merekonstruksi pola
pikir dengan “kenyataan” yang baru. Perubahan inilah yang seringkali mendasari
sikap "pemberontakan" remaja terhadap peraturan atau otoritas yang
selama ini diterima bulat-bulat.
4.
Perkembangan
Psikologis
Masa
remaja merupakan masa yang penuh gejolak. Pada masa ini suasana hati (mood)
dapat berubah dengan sangat cepat. Gessel et al. (Hurlock, 1980)
mengemukakan bahwa remaja empat belas tahun serigkali mudah marah, mudah
terangsang, dan emosinya cenderung “meledak”, tidak berusaha mengendalikan
perasaannya. Sebaliknya, remaja enam belas tahun mengatakan bahwa mereka “tidak
mempunyai keprihatinan”. Jadi, adanya badai dan tekanan dalam periode ini
berkurang menjelang berakhirnya awal masa remaja.
Hasil
penelitian di Chicago oleh Mihalyi dan Larson (e-psikologi, 2007)
menemukan bahwa remaja rata-rata memerlukan hanya 45 menit untuk berubah dari mood
“senang luar biasa” ke “sedih luar biasa”, sementara orang dewasa
memerlukan beberapa jam untuk hal yang sama.
Perubahan mood (swing) yang drastis pada para remaja ini
seringkali dikarenakan beban pekerjaan rumah, pekerjaan sekolah, atau kegiatan
sehari-hari di rumah. Meski mood remaja yang mudah berubah-ubah dengan
cepat, hal tersebut belum tentu merupakan gejala atau masalah psikologis.
Dalam
hal kesadaran diri, pada masa remaja para remaja mengalami perubahan yang
dramatis dalam kesadaran diri mereka (self-awareness). Mereka sangat rentan terhadap pendapat orang
lain karena mereka menganggap bahwa orang lain sangat mengagumi atau selalu
mengkritik mereka seperti mereka mengagumi atau mengkritik diri mereka
sendiri. Anggapan itu membuat remaja
sangat memperhatikan diri mereka dan citra yang direfleksikan (self-image).
Salah satu topik yang paling sering
dipertanyakan oleh individu pada masa remaja adalah masalah "Siapakah
Saya?" Pertanyaan itu sah dan normal adanya karena pada masa ini kesadaran
diri (self-awareness) mereka sudah mulai berkembang dan mengalami banyak
sekali perubahan.
5.
Perkembangan
Sosial
Pada masa remaja berkembang “social
cognition”, yaitu kemampuan untuk memahami orang lain. Remaja memahami
orang lain sebagai individu yang unik, baik menyangkut sifat-sifat pribadi,
minat, nilai-nilai maupun perasaannya. Pemahaman ini mendorong remaja untuk
menjalin hubungan sosial yang lebih akrab dengan teman sebayanya, baik melalui
jalinan persahabatan maupun percintaan. Pada masa ini juga berkembang sikap “conformity” (Yusuf, 2000).
Remaja yang sehat adalah remaja yang
mencapai perkembangan dimensi sosial dengan baik, yakni memiliki penyesuaian
sosial (social adjusment) yang tepat. Penyesuaian sosial ini dapat dimaknai
sebagai kemampuan untuk mereaksi secara tepat terhadap realitas sosial,
situasi, dan relasi. Remaja dituntut untuk memiliki kemampuan penyesuaian
sosial, baik dalam lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat sekitar.
6.
Perkembangan
Religius
Seiring dengan perkembangan kognitif,
kemampuan berpikir abstrak remaja memungkinkannya untuk dapat
mentransformasikan keyakinan beragamanya. Dia dapat mengapresiasi kualitas
keabstrakan Tuhan sebagai yang Maha Kuasa. Berkembangnya kesadaran beragama
seiring dengan mulainya remaja menanyakan atau mempermasalahkan sumber-sumber
otoritas dalam kehidupan. Pada masa remaja awal (sekitar usia 13-16 tahun)
terjadi kegocangan keyakinan akan adanya Tuhan, kadang-kadang sangat kuat, akan
tetapi kadang-kadang menjadi berkurang yang terlihat pada cara ibadahnya yang
kadang-kadang rajin dan kadang-kadang malas. Sebaliknya, pada masa remaja akhir
(usia 17-21 tahun) kehidupan beragama remaja sudah mulai stabil dan mulai
melibatkan diri ke dalam kegiatan-kegiatan keagamaan (Yusuf, 2000).
B. Karakteristik
Perkembangan Karir Remaja
Grand Theory perkembangan
karir remaja adalah yang dikemukakan oleh Super (Sharf, 1992) dalam konsep life-stages.
Super (Manrihu, 1992 : 19) meringkas konsep life-stages ke dalam 12
proposisi perkembangan karir berikut.
1.
Individu berbeda
dalam kemampuan-kemampuan, minat-minat, dan kepribadian-kepribadiannya.
2.
Dengan sifat-sifat
yang berbeda, individu mempunyai kewenangan untuk melakukan sejumlah pekerjaan.
3.
Masing-masing pekerjaan
menuntut pola khas kemampuan, minat, dan sifat-sifat kepribadian.
4.
Preferensi dan
kompetensi vokasional dapat berubah sesuai dengan situasi kehidupan.
5.
Proses perubahan
dapat dirangkum dalam suatu rangkaian tahap kehidupan.
6.
Sifat dan pola karir
ditentukan oleh taraf sosioekonomik, kemampuan mental, dan kesempatan yang
terbuka dan karakteristik kepribadian individu.
7.
Perkembangan karir
adalah fungsi dari kematangan biologis dan realitas dalam perkembangan konsep
diri.
8.
Faktor yang banyak
menentukan dalam perkembangan karir adalah perkembangan dan implementasi konsep
diri.
9.
Proses pemilihan
karir merupakan hasil perpaduan antara faktor individual dan faktor sosial,
serta antara konsep diri dan kenyataan
10. Keputusan karir tergantung pada dimana individu menemukan
jalan keluar yang memadai bagi kemampuan, minat, sifat kepribadian dan nilai.
11. Taraf kepuasan yang individu peroleh dari pekerjaan
sebanding dengan tingkat dimana mereka telah sanggup mengimplementasikan konsep
dirinya.
12. Pekerjaan dan okupasi menyediakan suatu fokus untuk
organisasi kepribadian baik pria maupun wanita.
Berdasarkan 12 proposisi tersebut,
Super membagi tahap perkembangan karir menjadi lima tahapan, yaitu : 1) tahap
pertumbuhan (growth); 2) tahap eksplorasi (exploration); 3) tahap
pendirian (establishment); 4) tahap pemeliharaan (maintenance);
dan 5 tahap kemunduran (decline) (Osipow, 1983 : 157; Manrihu, 1986:
27-29; Sharf, 1992:169). Menurut pendapat tersebut, maka tahap perkembangan
karir remaja berada pada tahap eksplorasi (exploration).
Berdasarkan uraian tersebut,
karakteristik perkembangan karir remaja sesuai dengan karakteristik
perkembangan karir pada tahap eksplorasi (usia 15-24 tahun). Tahap eksplorasi
ditandai dengan mulai melakukan penelaahan diri (self examination),
mencoba membagi berbagai peranan, serta melakukan penjelajahan pekerjaan atau
vokasional baik di sekolah, pada waktu senggang, maupun melalui sistem magang.
Level eksplorasi meliputi tiga sub tahapan berikut.
Pertama, sub tahap tentatif (usia
antara 15-17 tahun). Tahap ini
dikarakterisasikan dengan mulai dipertimbangkannya aspek-aspek kebutuhan,
minat, kapasitas, nilai-nilai dan kesempatan secara menyeluruh. Pilihan pada
masa tentatif ini mulai diusahakan untuk keluar dari fantasi, baik melalui
diskusi, bekerja, maupun aktivitas lainnya. Berdasarkan uraian tersebut, dapat
dimaknai bahwa tugas perkembangan karir pada masa remaja sub tahap tentatif
ialah kristalisasi preferensi karir (Sharf, 1992 : 212-125; Manrihu,
1986: 28-29)
Kedua, sub tahap transisi (usia antara
18-21 tahun). Tahap ini
dikarakterisasikan dengan menonjolnya pertimbangan yang lebih realistis untuk
memasuki dunia kerja atau latihan profesional serta berusaha
mengimplementasikan konsep dirinya. Tugas perkembangan pada sub tahap transisi
adalah spesifikasi preferensi karir.
Ketiga, sub tahap mencoba
(trial)-dengan sedikit komitmen (usia antara 22-24), dikarakterisasikan dengan mulai ditemukannya lahan atau
lapangan pekerjaan
yang dipandang
cocok, serta
mencobanya sebagai sesuatu yang sangat
potensial.
Pendapat lain mengenai karakteristik perkembangan karir
remaja dikemukakan oleh Muro & Kottman (1995) tujuan pengembangan
karir untuk para siswa (remaja) di sekolah menengah adalah mengembangkan
kesadaran diri dan untuk mulai eksplorasi dan orientasi karir yang lebih
formal. Secara rinci, program perlu menekankan membantu para siswa dengan
penilaian tentang keserasian pribadi mereka, kemampuan, dan minat sebelum
memusatkan pada atas eksplorasi dan orientasi karir. Para siswa perlu dipandu
untuk mengevaluasi informasi karir dalam hubungan dengan penilaian pribadi
mereka. Para siswa juga harus belajar konsep dasar teknologi. Lebih lanjut,
Murro & Kottman (1995) mengemukakan tentang kompetensi karir yang harus
dikembangkan pada tahap perkembangan karir remaja adalah sebagai berikut.
1.
Peningkatkan dan
pengembangan konsep diri positif (positive self-concept) dan
pemenuhan kebutuhan diri (self-efficacy) untuk pengembangan karir.
2.
Pemahaman teori (cognitive),
sikap (affective), dan pengembangan psikomotorik diperlukan untuk
pengambilan keputusan karir.
3.
Mempelajari
nilai-nilai tentang tanggung jawab dan kebiasaan bekerja yang baik dan
perencanaan untuk peluang pendidikan dan karir.
4.
Menunjukkan kemampuan
penguasaan teknologi dan mengidentifikasi bidang karir yang berhubungan dengan
teknologi.
Karakteristik mengenai perkembangan karir
remaja disajikan pada Tabel 4.1 halaman berikut
(115).
Tabel 1.1
Karakteristik Perkembangan Karir Remaja
Aspek
|
Indikator
|
Pengetahuan Diri
|
► Memperoleh pengetahuan
tentang pentingnya konsep perkembangan karir
► Mengembangkan
keterampilan untuk berinteraksi dengan orang lain
► Mengembangkan
kesadaran tentang pentingnya perkembangan emosional dan fisik dalam
pengambilan keputusan karir
|
Pengembangan Pendidikan Kejuruan
|
► Mengembangkan
kesadaran tentang pentingnya prestasi pendidikan untuk melihat peluang karir
► Mengembangkan
kesadaran tentang hubungan belajar dengan pekerjaan
► Mengembangkan
kesadaran tentang hubungan timbal balik tanggung jawab pribadi, kebiasaan bekerja
yang baik, dan peluang karir
► Memperoleh
keterampilan untuk memahami dan menggunakan informasi karir
► Memperoleh
kesadaran bagaimana karir berhubungan dengan fungsi dan kebutuhan masyarakat
|
Perencanaan dan Eksplorasi Karir
|
► Mengembangkan
kesadaran hubungan timbal balik antara peran hidup, gaya hidup, dan karir
► Mengembangkan
kesadaran perbedaan vokasional dan perubahan peran laki-laki dan perempuan
|
Sumber diadaptasi dari : Murro James J.
& Kottmann, T. (1995). Guidance and Counseling in The Elementary and Middle
Schools. New York : Brown & Benchmark Publisher.
C. Indikator
Kematangan Karir Remaja
Kematangan karir (career maturity)
merupakan tema sentral dalam teori perkembangan karir masa hidup (life span
career development) yang dicetuskan oleh Super. Super memperkenalkan dan
mempopulerkan konsep tentang kematangan karir setelah penelitiannya tentang
pola karir di tahun 1950-an.
Kematangan karir (career maturity)
didefinisikan sebagai kesesuaian antara perilaku karir individu dengan perilaku
karir yang diharapkan pada usia tertentu di setiap tahap. Criter (Herr &
Cramer, 1979 : 174) berpendapat bahwa “.... the maturity of an individual’s
vocational behavior as indicated by the similarity between his behavior and
that of the oldest individual’s in his vocational stages”. Definisi ini
lebih menekankan pada kematangan karir sebagai tahapan hidup (life-stages).
Sementara itu, Super (Sharf, 1992 : 155) menyatakan bahwa kematangan karir
didefinisikan sebagai “....the readiness to make appropriate career
decisions”....rediness to make (a) good choice (s) atau kesiapan individu
untuk membuat pilihan karir yang tepat. Definisi kedua ini lebih menekankan
pada kesiapan untuk membuat pilihan dan keputusan karir secara tepat.
Berdasarkan pada uraian tersebut,
dapat dimaknai bahwa kematangan karir remaja dapat diukur dari dimilikinya
indikator-indikator kematangan karir
sebagai berikut.
Pertama, aspek perencanaan karir
(career planning). Aspek ini meliputi indikator-indikator berikut : 1)
mempelajari informasi karir; 2) membicarakan karir dengan orang dewasa; 3)
mengikuti pendidikan tambahan (kursus) untuk menambah pengetahuan tentang
keputusan karir; 4) berpartisipasi dalam kegiatan ekstrakurikuler; 5) mengikuti
pelatihan-pelatihan berkaitan dengan pekerjaan yang diinginkan; 6) mengetahui
kondisi pekerjaan yang diinginkan; 7) mengetahui persyaratan pendidikan untuk
pekerjaan yang diinginkan; 8) dapat merencanakan apa yang
harus dilakukan setelah tamat sekolah; 9) mengetahui cara dan
kesempatan memasuki dunia kerja yang diinginkan; dan 10) mampu mengatur waktu
luang secara efektif.
Kedua, aspek eksplorasi karir
(career exploration). Eksplorasi karir
didefinisikan sebagai keinginan individu untuk mengeksplorasi atau melakukan
pencarian informasi terhadap sumber-sumber informasi karir. Eksplorasi
karir (Sharf, 1992 : 52-53) merupakan waktu ketika individu mengupayakan agar
dirinya memiliki pemahaman yang lebih terutama tentang informasi pekerjaan,
alternatif-alternatif karir, pilihan karir dan mulai bekerja. Aspek ini
mencakup indikator-indikator sebagai berikut : 1) berusaha menggali dan mencari
informasi karir dari berbagai sumber (guru bk, orangtua, orang yang sukses, dan
sebagainya; 2) memiliki pengetahuan tentang potensi diri, di antaranya bakat,
minat, inteligensi, kepribadian, nilai-nilai, dan prestasi; 3) memiliki cukup banyak informasi
karir.
Ketiga, pengetahuan tentang membuat
keputusan karir (decision making). aspek ini terdiri dari indikator-indikator berikut : 1) mengetahui
cara-cara membuat keputusan karir; 2) mengetahui langkah-langkah dalam membuat
keputusan karir, terutama penyusunan rencana karir; 3) mempelajari cara orang
lain membuat keputusan karir; 4) menggunakan pengetahuan dan pemikiran dalam
membuat keputusan karir.
Keempat, pengetahuan (informasi)
tentang dunia kerja (world of work information). Menurut Super (Sharf, 1993 : 158) konsep ini memiliki
dua komponen dasar, yaitu : Pertama, berhubungan dengan tugas
perkembangan ketika individu harus mengetahui minat dan kemampuan dirinya,
mengetahui cara orang lain mempelajari hal-hal yang berhubungan dengan
pekerjaannya, dan mengetahui alasan orang lain berganti pekerjaan. Kedua,
konsep yang berkaitan dengan pengetahuan tentang tugas-tugas pekerjaan dalam
satu vokasional dan perilaku-perilaku dalam bekerja.
Kelima, aspek pengetahuan tentang
kelompok pekerjaan yang lebih disukai (knowledge of preferred occupational
group). Aspek ini terdiri dari indikator-indikator
berikut: 1) memahami tugas dari pekerjaan yang diinginkan; 2) mengetahui sarana yang dibutuhkan dari
pekerjaan yang diinginkan; 3) mengetahui persyaratan fisik dan psikologis
dari pekerjaan yang diinginkan; 4) mengetahui minat-minat dan alasan-alasan
yang tepat dalam memilih pekerjaan.
Keenam, aspek realisme keputusan
karir (realism). Realisme keputusan
karir adalah perbandingan antara kemampua individu dengan pilihan pekerjaan
secara realistis (Super dalam Sharf, 1992 : 159). Aspek ini terdiri dari
indikator-indikator berikut : 1) memiliki pemahaman yang baik tentang kekuatan
dan kelemahan diri berhubungan dengan pilihan karir yang diinginkan; 2) mampu
melihat faktor-faktor yang akan mendukung atau menghambat karir yang
diinginkan; 3) mampu melihat kesempatan yang ada berkaitan dengan pilihan karir
yang diinginkan; 4) mampu memilih salah satu alternatif pekerjaan dari berbagai
pekerjaan yang beragam; dan 5) dapat mengembangkan kebiasaan belajar dan bekerja
secara efektif.
Ketujuh, orientasi karir (career
orientation). Orientasi karir
didefinisikan sebagai skor total dari: 1) sikap terhadap karir; 2) keterampilan
membuat keputusan karir; dan 3) informasi dunia kerja (Super dalam Sharf, 1992
: 159).
Sikap terhadap karir terdiri dari
perencanaan dan eksplorasi karir. Keterampilan membuat keputusan karir terdiri
dari kemampuan menggunakan pengetahuan dan pemikiran dalam membuat keputusan
karir. Informasi dunia kerja terdiri atas memiliki informasi tentang pekerjaan
tertentu dan memiliki informasi tentang orang lain dalam dunia kerjanya.
D. Masalah-masalah
Karir Remaja
Rogers (Crites, 1982) mengatakan bahwa individu (remaja)
akan mengalami masalah dalam karirnya apabila individu berada dalam salah satu kondisi
berikut: 1) luas pengetahuan mengenai dirinya tetapi sempit mengenai dunia
kerja; 2) sempit pengetahuan mengenai dirinya tetapi luas pengetahuan mengenai
dunia kerja; 3) sempit pengetahuan mengenai diri dan dunia kerja; dan 4) luas
pengetahuan diri dan dunia kerja.
Selain itu, jika dianalisis dari
teori perkembangan karir Super, terutama berdasarkan konsep kematangan karir,
maka remaja dikatakan bermasalah dalam karirnya manakala tidak mencapai
kematangan karir sesuai dengan tahap dan tugas perkembangan karirnya sebagai
berikut.
Pertama, tidak mampu merencanakan
karir dengan baik, yang ditandai dengan : 1) tidak adanya kesediaan untuk
mempelajari informasi karir secara memadai; 2) malas/tidak membicarakan karir
dengan orang dewasa; 3)
malas/tidak mengikuti pendidikan tambahan (kursus) untuk menambah pengetahuan
tentang keputusan karir; 4) malas/tidak berpartisipasi dalam kegiatan
ekstrakurikuler; 5) malas/tidak mengikuti pelatihan-pelatihan berkaitan dengan
pekerjaan yang diinginkan; 6) kurang memiliki pengetahuan tentang kondisi
pekerjaan yang diinginkan; 7) kurang memadainya pengetahuan tentang persyaratan
pendidikan untuk pekerjaan yang diinginkan; 8) kurang/tidak mampu merencanakan
apa yang harus dilakukan setelah tamat sekolah; 9) kurang/tidak memadainya
pengetahuan tentang cara dan kesempatan memasuki dunia kerja yang diinginkan;
dan 10) kurang/tidak mampu mengatur waktu luang secara efektif.
Kedua, malas melakukan eksplorasi
karir, yang
dikarakteristikkan dengan: 1)
kurang/tidak berusaha menggali dan mencari informasi karir dari berbagai sumber
(guru BK, orangtua, orang yang sukses, dan sebagainya; 2) kurang/ tidak memadainya pengetahuan tentang
potensi diri, di
antaranya bakat,
minat, inteligensi,
kepribadian, nilai-nilai, dan prestasi; 3) tidak memiliki cukup
banyak informasi
karir.
Ketiga, Kurang/Tidak Memadainya
Pengetahuan tentang Membuat keputusan Karir (Decision Making), yang ditandai dengan: (1) tidak mengetahui
cara-cara membuat keputusan karir; (2) tidak mengetahui langkah-langkah dalam
membuat keputusan karir, terutama penyusunan rencana karir; (3) malas/tidak mau
mempelajari cara orang lain membuat keputusan karir; (4) tidak mampu
menggunakan pengetahuan dan pemikiran dalam membuat keputusan karir.
Keempat, kurang/tidak memiliki
pengetahuan (informasi) tentang dunia kerja (world of work information), yang ditandai dengan : 1) kurang pengetahuan mengenai
minat dan kemampuan diri; 2) tidak mengetahui cara orang lain mempelajari
hal-hal yang berhubungan dengan pekerjaannya; 3) tidak mengetahui alasan
mengapa orang lain berganti pekrjaan; 4) tidak memiliki pengetahuan tentang
tugas-tugas pekerjaan dalam satu vokasional dan perilaku-perilaku dalam
bekerja.
Kelima, kurang memadainya
pengetahuan tentang kelompok pekerjaan yang lebih disukai (knowledge of
preferred occupational group), yang ditandai dengan: 1) tidak
memahami tugas dari pekerjaan yang diinginkan; 2) tidak mengetahui sarana yang
dibutuhkan dari pekerjaan yang diinginkan; 3) tidak mengetahui persyaratan
fisik dan psikologis dari pekerjaan yang diinginkan; 4) tidak mengetahui
minat-minat dan alasan-alasan yang tepat dalam memilih pekerjaan.
Keenam, tidak mencapai realisme
keputusan karir (adanya kesenjangan
antara kemampuan individu dengan pilihan pekerjaan secara realistis), yang
dikarakterisasikan dengan: 1) tidak memiliki pemahaman yang baik tentang
kekuatan dan kelemahan diri berhubungan dengan pilihan karir yang diinginkan;
2) tidak mampu melihat faktor-faktor yang akan mendukung atau menghambat karir
yang diinginkan; 3) tidak mampu melihat kesempatan yang ada berkaitan dengan
pilihan karir yang diinginkan; 4) tidak mampu memilih salah satu alternatif
pekerjaan dari berbagai pekerjaan yang beragam; dan 5) tidak dapat mengembangkan kebiasaan
belajar dan bekerja secara efektif.
Ketujuh, tidak memadainya orientasi
karir (career orientation) sehingga akibatnya tidak mampu membuat perencanaan dan
keputusan karir yang tepat.
Kedelapan, adanya stereotype
gender, yaitu munculnya persepsi atau pandangan yang membatasi ruang gerak
pemilihan karir karena gender yang dimiliki.
Uman Suherman. (2013). Bimbingan dan Konseling Karir : Sepanjang Rentang Kehidupan. Bandung
: Rizki Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar