Senin, 20 April 2020

Perkembangan Karir Remaja


PERKEMBANGAN DAN KEMATANGAN KARIR REMAJA


Oleh :
Iman Lesmana


A.  Karakteristik Perkembangan Remaja
            Istilah remaja (adolecense) diartikan sebagai sesuatu yang “tumbuh” atau “tumbuh menjadi dewasa”, secara luas mencakup proses kematangan mental, emosional, sosial dan fisik. Ini berarti pada usia remaja (12-20 tahun, WHO) seseorang mulai menjalani suatu proses pendewasaan diri.
            Komunitas e-psikologi (2007) memandang masa remaja sebagai sebuah periode dalam kehidupan manusia yang batasannya usia maupun peranannya seringkali tidak terlalu jelas. Pubertas yang dahulu dianggap sebagai tanda awal keremajaan ternyata tidak lagi valid sebagai patokan atau batasan untuk pengkategorian remaja sebab usia pubertas yang dahulu terjadi pada akhir usia belasan (15-18) kini terjadi pada awal belasan bahkan sebelum usia 11 tahun.  Seorang anak berusia 10 tahun mungkin saja sudah (atau sedang) mengalami pubertas namun tidak berarti ia sudah bisa dikatakan sebagai remaja dan sudah siap menghadapi dunia orang dewasa. Ia belum siap menghadapi dunia nyata orang dewasa, meski di saat yang sama ia juga bukan anak-anak lagi. Berbeda dengan balita yang perkembangannya dengan jelas dapat diukur, remaja hampir tidak memiliki pola perkembangan yang pasti. Dalam perkembangannya seringkali mereka menjadi bingung karena kadang-kadang diperlakukan sebagai anak-anak tetapi di lain waktu mereka dituntut untuk bersikap mandiri dan dewasa.
Bagi sebagian besar  orang  yang  baru  berangkat  dewasa  bahkan  yang
sudah melewati usia dewasa, remaja adalah waktu yang paling berkesan dalam hidup mereka. Kenangan terhadap masa remaja merupakan kenangan yang tidak mudah dilupakan, sebaik atau seburuk apapun saat itu.  Sementara banyak orangtua yang memiliki anak berusia remaja merasakan bahwa usia remaja adalah waktu yang sulit. Banyak konflik yang dihadapi oleh orangtua dan remaja itu sendiri.  Banyak orangtua yang tetap menganggap anak remaja mereka masih perlu dilindungi dengan ketat sebab di mata orangtua para anak remaja mereka masih belum siap menghadapi tantangan dunia orang dewasa.  Sebaliknya, bagi para remaja, tuntutan internal membawa mereka pada keinginan untuk mencari jatidiri yang mandiri dari pengaruh orangtua.  Keduanya memiliki kesamaan yang jelas: remaja adalah waktu yang kritis sebelum menghadapi hidup sebagai orang dewasa (e-psikologi, 2007).
            Berdasarkan perspektif biososial masa remaja adalah masa “strom and drang”, yaitu sebagai periode yang berada dalam dua situasi: antara kegoncangan, penderitaan, asmara, dan pemberontakan dengan otoritas orang dewasa (Hall dalam Yusuf, 2000), terjadinya pertumbuhan fisik, masa transisi, dan perubahan fisik tersebut menentukan pengalaman sosialnya (Barker dalam Yusuf, 2000).
            Ditinjau dari perspektif relasi interpersonal masa remaja adalah masa mulai mengenal minat terhadap lawan jenis yang dimulai dari kesadaran untuk berhubungan (unilaterally aware), kontak permulaan (surface contact), dan saling berhubungan (mutually = a continuum) (Levinger dalam Yusuf, 2000). Selanjutnya hubungan di antara dua remaja yang berbeda jenis kelamin mendorong remaja ke arah percintaan (pacaran) (Ellen & Elaine dalam Yusuf, 2000).
Perspektif Sosiologis  dan  Antropologis  memandang  masa  remaja  sebagai
masa terjadinya konflik dengan orang tua karena terjadi perbedaan pengalaman budaya (differential cultural content) (Kingsley & Davis dalam Yusuf,  2000).
Perspektif psikologis  memandang masa remaja sebagai masa yang erat kaitannya dengan sense of identity vs role confusion (Hurlock, 1980; Santrock, 1983; Makmun, 1996; Yusuf, 2000). Jika remaja tidak mempunyai sense of identity yang sehat maka remaja akan mengalami role confusion yang pada akhirnya akan mudah terpengaruh oleh pengaruh dari luar.
            Perspektif belajar sosial memandang masa remaja sebagai masa senang bergaul dengan teman sebaya karena dipandang menawarkan social reward dan peer status needs yang lebih menarik daripada keluarga (Parson & Grinder dalam Yusuf, 2000). Selanjutnya remaja berusaha mempelajari respons-respons sosial dengan cara mengamati dan mengimitasi berbagai perilaku teman sebayanya (Bandura).
Ahli psikologi perkembangan, Hurlock (1980) mengemukakan beberapa karakteristik yang menggambarkan kekhasan kehidupan remaja, antara lain sebagai berikut. Pertama, masa remaja sebagai periode yang dinilai penting, artinya ini adalah masa dimana seseorang dapat menentukan bagaimana kehidupan dewasanya kelak.
Kedua, masa remaja merupakan periode peralihan, yang dimaksud peralihan di sini adalah transisi antara masa anak menuju dewasa, dalam arti pada masa ini seseorang akan mengalami sebuah penyesuaian baru baik dalam sikap maupun perilaku yang cukup “dilematis”.
Ketiga, masa remaja juga merupakan periode perubahan. Perubahan yang dimaksudkan adalah perubahan dalam sikap, perilaku maupun secara fisik. Berikut adalah macam perubahan yang terjadi pada masa remaja:                       1) meningginya emosi yang intensitasnya bergantung kepada tingkat perubahan fisik dan psikologis yang terjadi; 2) perubahan tubuh, minat dan peran yang diharapkan oleh kelompok sosial untuk  diperankan dan ini menimbulkan masalah baru; 3) perubahan nilai-nilai yang dipegang, perubahan ini sangat bergantung pada perubahan minat dan pola perilaku remaja itu sendiri.; dan 4) munculnya sikap yang ambivalen di diri remaja berkaitan dengan perubahan itu sendiri. disatu sisi seorang remaja sudah mulai menuntut kebebasan diri sebagai individu yang mandiri, manun disisi lain kereka belum cukup berani untuk bertanggung jawab atas akibat yang ditimbulkan dari tuntutan kebebasan itu.
Keempat, masa remaja pun digambarkan sebagai periode pencarian identitas diri (Erikson). Proses ini pun sangat mempengaruhi prilaku remaja, karena dalam prosesnya seorang remaja berusaha untuk memunculkan diri lewat usaha-usahanya berprilaku agar dapat diterima oleh lingkungannya. Pemodelan menjadi aspek yang sangat penting dalam membimbing pembentukan identitas itu, karena pada masa ini seorang remaja sengaja mencari idola untuk membantu penyempurnaan pembentukan identitas dirinya.
            Kelima, masa remaja juga merupakan periode yang tidak realistik, remaja cenderung memandang kehidupan melalui kacamata berwarna “merah jambu”. Ia melihat dirinya sendiri dan orang lain sebagai mana yang dia inginkan dan bukan sebagai mana adanya, terlebih dalam hal mendapatkan apa-apa yang diinginkannya.
            Keenam, masa remaja sebagai ambang masa dewasa. Dengan semakin dekatnya usia kematangan yang sebenarnya, para remaja mulai gelisah untuk meninggalkan stereotype belasan  tahun  dan  untuk  memberikan  kesan  bahwa
mereka  memang  sudah  dewasa.  Oleh  karena  itu,  mereka  mulai  berprilaku
seperti halnya perilaku orang-orang dewasa menurut persepsinya.
Komunitas e-psikologi (2007) menyimpulkan bahwa memang banyak perubahan pada diri seseorang sebagai tanda keremajaan, namun seringkali perubahan itu hanya merupakan suatu tanda-tanda fisik dan bukan sebagai pengesahan akan keremajaan seseorang.  Namun satu hal yang pasti, konflik yang dihadapi oleh remaja semakin kompleks seiring dengan perubahan pada berbagai dimensi kehidupan dalam diri mereka. Untuk dapat memhami remaja, maka perlu dilihat berdasarkan perubahan pada dimensi-dimensi berikut. 

1.      Perkembangan Fisik Biologis
            Pada masa pubertas, hormon seseorang menjadi aktif dalam memproduksi dua jenis hormon (gonadotrophins atau gonadotrophic hormones) yang berhubungan dengan pertumbuhan, yaitu: 1) Follicle-Stimulating Hormone (FSH); dan 2). Luteinizing Hormone (LH).  Pada anak perempuan, kedua hormon tersebut merangsang pertumbuhan estrogen dan progesterone: dua jenis hormon kewanitaan.  Pada anak lelaki, Luteinizing Hormone yang juga dinamakan Interstitial-Cell Stimulating Hormone (ICSH) merangsang pertumbuhan testosterone.
            Pertumbuhan secara cepat dari hormon-hormon tersebut di atas mengubah sistem biologis seorang anak. Anak perempuan akan mengalami peristiwa menstruasi pertama (menarche), sebagai pertanda bahwa sistem reproduksinya sudah aktif. Selain itu, terjadi juga perubahan fisik seperti payudara mulai berkembang, pinggul bertambah besar, serta tumbuh rambut pubik atau bulu kapok di sekitar kemaluan dan ketiak. Anak laki-laki mengalami “mimpi basah” (mimpi berhubungan seksual), tumbuh rambut pubik atau bulu kapok di sekitar kemaluan atau ketiak, mulai memperlihatkan perubahan dalam suara, otot, tumbuh kumis dan gondok laki (jakun), serta fisik lainnya yang berhubungan dengan tumbuhnya hormon testosterone.  Bentuk fisik mereka akan berubah secara cepat sejak awal pubertas dan akan membawa mereka pada dunia remaja.

2.      Perkembangan Kognitif
            Menurut Piaget (Makmun, 1996; Yusuf, 2000; Betham, 2002; e-psikologi, 2007) perkembangan kognitif remaja merupakan periode terakhir dan tertinggi dalam tahap pertumbuhan operasi formal (period of formal operations).   Pada periode ini, idealnya para remaja sudah memiliki pola pikir sendiri dalam usaha memecahkan masalah-masalah yang kompleks dan abstrak.  Kemampuan berpikir para remaja berkembang sedemikian rupa sehingga mereka dengan mudah dapat membayangkan banyak alternatif pemecahan masalah beserta kemungkinan akibat atau hasilnya.  Kapasitas berpikir secara logis dan abstrak mereka berkembang sehingga mereka mampu berpikir multi-dimensi seperti ilmuwan.  Para remaja tidak lagi menerima informasi apa adanya, tetapi mereka akan memproses informasi itu serta mengadaptasikannya dengan pemikiran mereka sendiri.  Mereka juga mampu mengintegrasikan pengalaman masa lalu dan sekarang untuk ditransformasikan menjadi konklusi, prediksi, dan rencana untuk masa depan. Dengan kemampuan operasional formal ini, para remaja mampu mengadaptasikan diri dengan lingkungan sekitar mereka. 

3.      Perkembangan Moral
            Jika ditinjau dari perspektif perkembangan moral yang dikemukakan oleh Lawrence Kohlberg (Setiono, 1997; Yusuf, 2000) pada umumnya remaja berada dalam tingkatan konvensional atau berada dalam tahap ketiga (berperilaku sesuai dengan tuntutan dan harapan kelompok), dan keempat (loyalitas terhadap norma atau peraturan yang berlaku dan diyakininya.
            Selanjutnya, komunitas e-psikologi (2007) mengemukakan bahwa kemampuan berpikir dalam dimensi moral (moral reasoning) pada remaja berkembang karena mereka mulai melihat adanya kejanggalan dan ketidakseimbangan antara yang mereka percayai dahulu dengan kenyataan yang ada di sekitarnya. Mereka lalu merasa perlu mempertanyakan dan merekonstruksi pola pikir dengan “kenyataan” yang baru. Perubahan inilah yang seringkali mendasari sikap "pemberontakan" remaja terhadap peraturan atau otoritas yang selama ini diterima bulat-bulat.
           
4.      Perkembangan Psikologis
            Masa remaja merupakan masa yang  penuh gejolak. Pada masa ini suasana hati (mood) dapat berubah dengan sangat cepat. Gessel et al. (Hurlock, 1980) mengemukakan bahwa remaja empat belas tahun serigkali mudah marah, mudah terangsang, dan emosinya cenderung “meledak”, tidak berusaha mengendalikan perasaannya. Sebaliknya, remaja enam belas tahun mengatakan bahwa mereka “tidak mempunyai keprihatinan”. Jadi, adanya badai dan tekanan dalam periode ini berkurang menjelang berakhirnya awal masa remaja.
            Hasil penelitian di Chicago oleh  Mihalyi dan Larson (e-psikologi, 2007) menemukan bahwa remaja rata-rata memerlukan hanya 45 menit untuk berubah dari mood “senang luar biasa” ke  “sedih luar biasa”, sementara orang dewasa memerlukan beberapa jam untuk hal yang sama.  Perubahan mood (swing) yang drastis pada para remaja ini seringkali dikarenakan beban pekerjaan rumah, pekerjaan sekolah, atau kegiatan sehari-hari di rumah. Meski mood remaja yang mudah berubah-ubah dengan cepat, hal tersebut belum tentu merupakan gejala atau masalah psikologis.
            Dalam hal kesadaran diri, pada  masa remaja para remaja mengalami perubahan yang dramatis dalam kesadaran diri mereka (self-awareness).  Mereka sangat rentan terhadap pendapat orang lain karena mereka menganggap bahwa orang lain sangat mengagumi atau selalu mengkritik mereka seperti mereka mengagumi atau mengkritik diri mereka sendiri.  Anggapan itu membuat remaja sangat memperhatikan diri mereka dan citra yang direfleksikan (self-image).
            Salah satu topik yang paling sering dipertanyakan oleh individu pada masa remaja adalah masalah "Siapakah Saya?" Pertanyaan itu sah dan normal adanya karena pada masa ini kesadaran diri (self-awareness) mereka sudah mulai berkembang dan mengalami banyak sekali perubahan.  

5.      Perkembangan Sosial
            Pada masa remaja berkembang “social cognition”, yaitu kemampuan untuk memahami orang lain. Remaja memahami orang lain sebagai individu yang unik, baik menyangkut sifat-sifat pribadi, minat, nilai-nilai maupun perasaannya. Pemahaman ini mendorong remaja untuk menjalin hubungan sosial yang lebih akrab dengan teman sebayanya, baik melalui jalinan persahabatan maupun percintaan. Pada masa ini juga berkembang sikap “conformity  (Yusuf, 2000).
            Remaja yang sehat adalah remaja yang mencapai perkembangan dimensi sosial dengan baik, yakni memiliki penyesuaian sosial (social adjusment) yang tepat. Penyesuaian sosial ini dapat dimaknai sebagai kemampuan untuk mereaksi secara tepat terhadap realitas sosial, situasi, dan relasi. Remaja dituntut untuk memiliki kemampuan penyesuaian sosial, baik dalam lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat sekitar.
           
6.      Perkembangan Religius
             Seiring dengan perkembangan kognitif, kemampuan berpikir abstrak remaja memungkinkannya untuk dapat mentransformasikan keyakinan beragamanya. Dia dapat mengapresiasi kualitas keabstrakan Tuhan sebagai yang Maha Kuasa. Berkembangnya kesadaran beragama seiring dengan mulainya remaja menanyakan atau mempermasalahkan sumber-sumber otoritas dalam kehidupan. Pada masa remaja awal (sekitar usia 13-16 tahun) terjadi kegocangan keyakinan akan adanya Tuhan, kadang-kadang sangat kuat, akan tetapi kadang-kadang menjadi berkurang yang terlihat pada cara ibadahnya yang kadang-kadang rajin dan kadang-kadang malas. Sebaliknya, pada masa remaja akhir (usia 17-21 tahun) kehidupan beragama remaja sudah mulai stabil dan mulai melibatkan diri ke dalam kegiatan-kegiatan keagamaan (Yusuf, 2000).

B.   Karakteristik Perkembangan Karir Remaja
            Grand Theory perkembangan karir remaja adalah yang dikemukakan oleh Super (Sharf, 1992) dalam konsep life-stages. Super (Manrihu, 1992 : 19) meringkas konsep life-stages ke dalam 12 proposisi perkembangan karir berikut.
1.      Individu berbeda dalam kemampuan-kemampuan, minat-minat, dan kepribadian-kepribadiannya.
2.      Dengan sifat-sifat yang berbeda, individu mempunyai kewenangan untuk melakukan sejumlah pekerjaan.
3.      Masing-masing pekerjaan menuntut pola khas kemampuan, minat, dan sifat-sifat kepribadian.
4.      Preferensi dan kompetensi vokasional dapat berubah sesuai dengan situasi kehidupan.
5.      Proses perubahan dapat dirangkum dalam suatu rangkaian tahap kehidupan.
6.      Sifat dan pola karir ditentukan oleh taraf sosioekonomik, kemampuan mental, dan kesempatan yang terbuka dan karakteristik kepribadian individu.
7.      Perkembangan karir adalah fungsi dari kematangan biologis dan realitas dalam perkembangan konsep diri.
8.      Faktor yang banyak menentukan dalam perkembangan karir adalah perkembangan dan implementasi konsep diri.
9.      Proses pemilihan karir merupakan hasil perpaduan antara faktor individual dan faktor sosial, serta antara konsep diri dan kenyataan
10.  Keputusan karir tergantung pada dimana individu menemukan jalan keluar yang memadai bagi kemampuan, minat, sifat kepribadian dan nilai.
11.  Taraf kepuasan yang individu peroleh dari pekerjaan sebanding dengan tingkat dimana mereka telah sanggup mengimplementasikan konsep dirinya.
12.  Pekerjaan dan okupasi menyediakan suatu fokus untuk organisasi kepribadian baik pria maupun wanita.
            Berdasarkan 12 proposisi tersebut, Super membagi tahap perkembangan karir menjadi lima tahapan, yaitu : 1) tahap pertumbuhan (growth); 2) tahap eksplorasi (exploration); 3) tahap pendirian (establishment); 4) tahap pemeliharaan (maintenance); dan 5 tahap kemunduran (decline) (Osipow, 1983 : 157; Manrihu, 1986: 27-29; Sharf, 1992:169). Menurut pendapat tersebut, maka tahap perkembangan karir remaja berada pada tahap eksplorasi (exploration).
            Berdasarkan uraian tersebut, karakteristik perkembangan karir remaja sesuai dengan karakteristik perkembangan karir pada tahap eksplorasi (usia 15-24 tahun). Tahap eksplorasi ditandai dengan mulai melakukan penelaahan diri (self examination), mencoba membagi berbagai peranan, serta melakukan penjelajahan pekerjaan atau vokasional baik di sekolah, pada waktu senggang, maupun melalui sistem magang. Level eksplorasi meliputi tiga sub tahapan berikut.
            Pertama, sub tahap tentatif (usia antara 15-17 tahun). Tahap ini dikarakterisasikan dengan mulai dipertimbangkannya aspek-aspek kebutuhan, minat, kapasitas, nilai-nilai dan kesempatan secara menyeluruh. Pilihan pada masa tentatif ini mulai diusahakan untuk keluar dari fantasi, baik melalui diskusi, bekerja, maupun aktivitas lainnya. Berdasarkan uraian tersebut, dapat dimaknai bahwa tugas perkembangan karir pada masa remaja sub tahap tentatif ialah kristalisasi preferensi karir (Sharf, 1992 : 212-125; Manrihu, 1986: 28-29)
            Kedua, sub tahap transisi (usia antara 18-21 tahun). Tahap ini dikarakterisasikan dengan menonjolnya pertimbangan yang lebih realistis untuk memasuki dunia kerja atau latihan profesional serta berusaha mengimplementasikan konsep dirinya. Tugas perkembangan pada sub tahap transisi adalah spesifikasi preferensi karir.
            Ketiga, sub tahap mencoba (trial)-dengan sedikit komitmen (usia antara 22-24), dikarakterisasikan dengan mulai ditemukannya lahan atau lapangan pekerjaan
yang   dipandang   cocok,  serta   mencobanya   sebagai   sesuatu   yang   sangat
potensial.
            Pendapat lain mengenai karakteristik perkembangan karir remaja dikemukakan oleh Muro & Kottman (1995) tujuan pengembangan karir untuk para siswa (remaja) di sekolah menengah adalah mengembangkan kesadaran diri dan untuk mulai eksplorasi dan orientasi karir yang lebih formal. Secara rinci, program perlu menekankan membantu para siswa dengan penilaian tentang keserasian pribadi mereka, kemampuan, dan minat sebelum memusatkan pada atas eksplorasi dan orientasi karir. Para siswa perlu dipandu untuk mengevaluasi informasi karir dalam hubungan dengan penilaian pribadi mereka. Para siswa juga harus belajar konsep dasar teknologi. Lebih lanjut, Murro & Kottman (1995) mengemukakan tentang kompetensi karir yang harus dikembangkan pada tahap perkembangan karir remaja adalah sebagai berikut.
1.      Peningkatkan dan pengembangan konsep diri positif (positive self-concept) dan pemenuhan kebutuhan diri (self-efficacy) untuk pengembangan karir.
2.      Pemahaman teori (cognitive), sikap (affective), dan pengembangan psikomotorik diperlukan untuk pengambilan keputusan karir.
3.      Mempelajari nilai-nilai tentang tanggung jawab dan kebiasaan bekerja yang baik dan perencanaan untuk peluang pendidikan dan karir.
4.      Menunjukkan kemampuan penguasaan teknologi dan mengidentifikasi bidang karir yang berhubungan dengan teknologi.

            Karakteristik mengenai perkembangan karir remaja disajikan pada Tabel 4.1 halaman berikut (115).



Tabel 1.1
Karakteristik Perkembangan Karir Remaja

Aspek
Indikator

Pengetahuan Diri
  Memperoleh pengetahuan tentang pentingnya konsep perkembangan karir
  Mengembangkan keterampilan untuk berinteraksi dengan orang lain
  Mengembangkan kesadaran tentang pentingnya perkembangan emosional dan fisik dalam pengambilan keputusan karir
Pengembangan Pendidikan Kejuruan
  Mengembangkan kesadaran tentang pentingnya prestasi pendidikan untuk melihat peluang karir
  Mengembangkan kesadaran tentang hubungan belajar dengan pekerjaan
  Mengembangkan kesadaran tentang hubungan timbal balik tanggung jawab pribadi, kebiasaan bekerja yang baik, dan peluang karir
  Memperoleh keterampilan untuk memahami dan menggunakan informasi karir
  Memperoleh kesadaran bagaimana karir berhubungan dengan fungsi dan kebutuhan masyarakat
Perencanaan dan Eksplorasi Karir
  Mengembangkan kesadaran hubungan timbal balik antara peran hidup, gaya hidup, dan karir
  Mengembangkan kesadaran perbedaan vokasional dan perubahan peran laki-laki dan perempuan


Sumber diadaptasi dari : Murro James J. & Kottmann, T. (1995). Guidance and Counseling in The Elementary and Middle Schools. New York : Brown & Benchmark Publisher.
               
C.   Indikator Kematangan Karir Remaja
            Kematangan karir (career maturity) merupakan tema sentral dalam teori perkembangan karir masa hidup (life span career development) yang dicetuskan oleh Super. Super memperkenalkan dan mempopulerkan konsep tentang kematangan karir setelah penelitiannya tentang pola karir di tahun 1950-an.
            Kematangan karir (career maturity) didefinisikan sebagai kesesuaian antara perilaku karir individu dengan perilaku karir yang diharapkan pada usia tertentu di setiap tahap. Criter (Herr & Cramer, 1979 : 174) berpendapat bahwa “.... the maturity of an individual’s vocational behavior as indicated by the similarity between his behavior and that of the oldest individual’s in his vocational stages”. Definisi ini lebih menekankan pada kematangan karir sebagai tahapan hidup (life-stages). Sementara itu, Super (Sharf, 1992 : 155) menyatakan bahwa kematangan karir didefinisikan sebagai “....the readiness to make appropriate career decisions”....rediness to make (a) good choice (s) atau kesiapan individu untuk membuat pilihan karir yang tepat. Definisi kedua ini lebih menekankan pada kesiapan untuk membuat pilihan dan keputusan karir secara tepat. 
            Berdasarkan pada uraian tersebut, dapat dimaknai bahwa kematangan karir remaja dapat diukur dari dimilikinya indikator-indikator kematangan karir  sebagai berikut.
            Pertama, aspek perencanaan karir (career planning). Aspek ini meliputi indikator-indikator berikut : 1) mempelajari informasi karir; 2) membicarakan karir dengan orang dewasa; 3) mengikuti pendidikan tambahan (kursus) untuk menambah pengetahuan tentang keputusan karir; 4) berpartisipasi dalam kegiatan ekstrakurikuler; 5) mengikuti pelatihan-pelatihan berkaitan dengan pekerjaan yang diinginkan; 6) mengetahui kondisi pekerjaan yang diinginkan; 7) mengetahui persyaratan pendidikan untuk pekerjaan yang diinginkan; 8) dapat merencanakan apa yang harus dilakukan setelah tamat sekolah;                 9) mengetahui cara dan kesempatan memasuki dunia kerja yang diinginkan; dan 10) mampu mengatur waktu luang secara efektif.
            Kedua, aspek eksplorasi karir (career exploration). Eksplorasi karir didefinisikan sebagai keinginan individu untuk mengeksplorasi atau melakukan pencarian informasi terhadap sumber-sumber informasi karir. Eksplorasi karir (Sharf, 1992 : 52-53) merupakan waktu ketika individu mengupayakan agar dirinya memiliki pemahaman yang lebih terutama tentang informasi pekerjaan, alternatif-alternatif karir, pilihan karir dan mulai bekerja. Aspek ini mencakup indikator-indikator sebagai berikut : 1) berusaha menggali dan mencari informasi karir dari berbagai sumber (guru bk, orangtua, orang yang sukses, dan sebagainya; 2) memiliki pengetahuan tentang potensi diri, di antaranya bakat, minat, inteligensi, kepribadian, nilai-nilai, dan prestasi;           3) memiliki cukup banyak informasi karir.
            Ketiga, pengetahuan tentang membuat keputusan karir (decision making). aspek ini terdiri dari indikator-indikator berikut : 1) mengetahui cara-cara membuat keputusan karir; 2) mengetahui langkah-langkah dalam membuat keputusan karir, terutama penyusunan rencana karir; 3) mempelajari cara orang lain membuat keputusan karir; 4) menggunakan pengetahuan dan pemikiran dalam membuat keputusan karir.
            Keempat, pengetahuan (informasi) tentang dunia kerja (world of work information). Menurut Super (Sharf, 1993 : 158) konsep ini memiliki dua komponen dasar, yaitu : Pertama, berhubungan dengan tugas perkembangan ketika individu harus mengetahui minat dan kemampuan dirinya, mengetahui cara orang lain mempelajari hal-hal yang berhubungan dengan pekerjaannya, dan mengetahui alasan orang lain berganti pekerjaan. Kedua, konsep yang berkaitan dengan pengetahuan tentang tugas-tugas pekerjaan dalam satu vokasional dan perilaku-perilaku dalam bekerja.
            Kelima, aspek pengetahuan tentang kelompok pekerjaan yang lebih disukai (knowledge of preferred occupational group).  Aspek ini terdiri dari indikator-indikator berikut: 1) memahami tugas dari pekerjaan yang diinginkan;               2) mengetahui sarana yang dibutuhkan dari pekerjaan yang diinginkan;           3) mengetahui persyaratan fisik dan psikologis dari pekerjaan yang diinginkan; 4) mengetahui minat-minat dan alasan-alasan yang tepat dalam memilih pekerjaan.
            Keenam, aspek realisme keputusan karir (realism). Realisme keputusan karir adalah perbandingan antara kemampua individu dengan pilihan pekerjaan secara realistis (Super dalam Sharf, 1992 : 159). Aspek ini terdiri dari indikator-indikator berikut : 1) memiliki pemahaman yang baik tentang kekuatan dan kelemahan diri berhubungan dengan pilihan karir yang diinginkan; 2) mampu melihat faktor-faktor yang akan mendukung atau menghambat karir yang diinginkan; 3) mampu melihat kesempatan yang ada berkaitan dengan pilihan karir yang diinginkan; 4) mampu memilih salah satu alternatif pekerjaan dari berbagai pekerjaan yang beragam; dan 5) dapat mengembangkan kebiasaan belajar dan bekerja secara efektif.
            Ketujuh, orientasi karir (career orientation). Orientasi karir didefinisikan sebagai skor total dari: 1) sikap terhadap karir; 2) keterampilan membuat keputusan karir; dan 3) informasi dunia kerja (Super dalam Sharf, 1992 : 159).
            Sikap terhadap karir terdiri dari perencanaan dan eksplorasi karir. Keterampilan membuat keputusan karir terdiri dari kemampuan menggunakan pengetahuan dan pemikiran dalam membuat keputusan karir. Informasi dunia kerja terdiri atas memiliki informasi tentang pekerjaan tertentu dan memiliki informasi tentang orang lain dalam dunia kerjanya.

D.  Masalah-masalah Karir Remaja
Rogers (Crites, 1982) mengatakan bahwa individu (remaja) akan mengalami masalah dalam karirnya apabila individu berada dalam salah satu kondisi berikut: 1) luas pengetahuan mengenai dirinya tetapi sempit mengenai dunia kerja; 2) sempit pengetahuan mengenai dirinya tetapi luas pengetahuan mengenai dunia kerja; 3) sempit pengetahuan mengenai diri dan dunia kerja; dan 4) luas pengetahuan diri dan dunia kerja.
            Selain itu, jika dianalisis dari teori perkembangan karir Super, terutama berdasarkan konsep kematangan karir, maka remaja dikatakan bermasalah dalam karirnya manakala tidak mencapai kematangan karir sesuai dengan tahap dan tugas perkembangan karirnya sebagai berikut.
            Pertama, tidak mampu merencanakan karir dengan baik, yang ditandai dengan : 1) tidak adanya kesediaan untuk mempelajari informasi karir secara memadai; 2) malas/tidak membicarakan karir dengan orang dewasa;                3) malas/tidak mengikuti pendidikan tambahan (kursus) untuk menambah pengetahuan tentang keputusan karir; 4) malas/tidak berpartisipasi dalam kegiatan ekstrakurikuler; 5) malas/tidak mengikuti pelatihan-pelatihan berkaitan dengan pekerjaan yang diinginkan; 6) kurang memiliki pengetahuan tentang kondisi pekerjaan yang diinginkan; 7) kurang memadainya pengetahuan tentang persyaratan pendidikan untuk pekerjaan yang diinginkan; 8) kurang/tidak mampu merencanakan apa yang harus dilakukan setelah tamat sekolah; 9) kurang/tidak memadainya pengetahuan tentang cara dan kesempatan memasuki dunia kerja yang diinginkan; dan 10) kurang/tidak mampu mengatur waktu luang secara efektif.
            Kedua, malas melakukan eksplorasi karir, yang dikarakteristikkan dengan:  1) kurang/tidak berusaha menggali dan mencari informasi karir dari berbagai sumber (guru BK, orangtua, orang yang sukses, dan sebagainya; 2) kurang/ tidak   memadainya  pengetahuan   tentang  potensi   diri,  di  antaranya   bakat,
minat, inteligensi, kepribadian, nilai-nilai, dan prestasi; 3) tidak memiliki cukup
banyak informasi karir.
            Ketiga, Kurang/Tidak Memadainya Pengetahuan tentang Membuat keputusan Karir (Decision Making), yang ditandai dengan: (1) tidak mengetahui cara-cara membuat keputusan karir; (2) tidak mengetahui langkah-langkah dalam membuat keputusan karir, terutama penyusunan rencana karir; (3) malas/tidak mau mempelajari cara orang lain membuat keputusan karir; (4) tidak mampu menggunakan pengetahuan dan pemikiran dalam membuat keputusan karir.
            Keempat, kurang/tidak memiliki pengetahuan (informasi) tentang dunia kerja (world of work information), yang ditandai dengan : 1) kurang pengetahuan mengenai minat dan kemampuan diri; 2) tidak mengetahui cara orang lain mempelajari hal-hal yang berhubungan dengan pekerjaannya; 3) tidak mengetahui alasan mengapa orang lain berganti pekrjaan; 4) tidak memiliki pengetahuan tentang tugas-tugas pekerjaan dalam satu vokasional dan perilaku-perilaku dalam bekerja.
            Kelima, kurang memadainya pengetahuan tentang kelompok pekerjaan yang lebih disukai (knowledge of preferred occupational group), yang ditandai dengan:      1) tidak memahami tugas dari pekerjaan yang diinginkan; 2) tidak mengetahui sarana yang dibutuhkan dari pekerjaan yang diinginkan; 3) tidak mengetahui persyaratan fisik dan psikologis dari pekerjaan yang diinginkan; 4) tidak mengetahui minat-minat dan alasan-alasan yang tepat dalam memilih pekerjaan.
            Keenam, tidak mencapai realisme keputusan karir (adanya kesenjangan antara kemampuan individu dengan pilihan pekerjaan secara realistis), yang dikarakterisasikan dengan: 1) tidak memiliki pemahaman yang baik tentang kekuatan dan kelemahan diri berhubungan dengan pilihan karir yang diinginkan; 2) tidak mampu melihat faktor-faktor yang akan mendukung atau menghambat karir yang diinginkan; 3) tidak mampu melihat kesempatan yang ada berkaitan dengan pilihan karir yang diinginkan; 4) tidak mampu memilih salah satu alternatif pekerjaan dari berbagai pekerjaan yang beragam; dan         5) tidak dapat mengembangkan kebiasaan belajar dan bekerja secara efektif.
            Ketujuh, tidak memadainya orientasi karir (career orientation) sehingga  akibatnya tidak mampu membuat perencanaan dan keputusan karir yang tepat.
            Kedelapan, adanya stereotype gender, yaitu munculnya persepsi atau pandangan yang membatasi ruang gerak pemilihan karir karena gender yang dimiliki.

 Referensi  :

Uman Suherman. (2013). Bimbingan dan Konseling Karir : Sepanjang Rentang Kehidupan. Bandung : Rizki Press.










Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Penguatan Integrasi Pendidikan

PENGUATAN INTEGRASI PENDIDIKAN DALAM ERA DISUPSI Oleh :  Asep Rohiman Lesmana, M.Pd. Pendidikan merupakan suatu entitas yang s...